OTITIS EKSTERNA
Pengertian OE adalah peradangan dari kulit liang telinga.
1.
(Definisi)
1. Nyeri telinga
2. Anamnesis
2. Riwayat mengorek-ngorek telinga
1. Pasien duduk di kursi pemeriksaan THT
2. Pemeriksaan otoskopi dapat dilakukan secara sederhana menggunakan
3. Pemeriksaan fisik lampu kepala dan corong telinga atau otoskop, tetapi dapat juga
menggunakan peralatan yang lebih canggih, sehingga akan lebih teliti
seperti pemeriksaan dengan mikroskop atau endoskopi
1. OE Sirkumskripta (Furunkulosis) :
Tanda : terdapat furunkel pada liang telinga, hiperemis, tarikan pada
telinga dan penekanan pada tragus akan menyebabkan nyeri yang hebat.
4. Kriteria diagnosis
2. OE Difusa
Tanda : terdapat furunkel pada liang telinga, hiperemis, tarikan pada
telinga dan penekanan pada tragus akan menyebabkan nyeri yang hebat.
5. Diagnosis Kerja Otitis Eksterna
6. Diagnosis banding
Pemeriksaan Kultur kuman dan sensitivitas antibiotik (bila perlu)
7.
penunjang
8. Tatalaksana
11. Edukasi Tidak boleh mengorek- ngorek telinga
Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
15. Indikator medis Pasien sembuh
16. Kepustakaan Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat
Disease, Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994,
p. 71-5.
Figueiredo RR, Azevedo AA, Kós AO, Tomita S. Complications of ent
foreign bodies: a retrospective study. Braz J Otorhinolaryngol. Jan-Feb
2008;74(1):7-15.
Jung T.T.K, Jinn T.H. Disease of The External Ear. In Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. Ontario: BC
Decker Inc; 2003. p. 234-5.
Kroon D.F, Strasnick B. Disease of the Auricle, External Auditory Canal,
and Tympanic Membrane. In Glasscock Shambaugh Surgery Of The Ear
1
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
2
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
ABSES PARAFARING
1. Pengertian Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
(Definisi) parafaring akibat komplikasi infeksi di daerah tonsil dan sekitarnya.
2. Nyeri tenggorok, nyeri menelan
Nyeri alih pada telinga
Kesulitan menelan oleh karena sakit
Anamnesis
Demam
Tinitus
Hipersalivasi, mulut berbau, suara sengau
3. Terdapat nanah pada ruang sebelah lateral tonsila palatina, bila sulit
Pemeriksaan fisik
dideteksi perlu ro photo dengan soft tissue tehnik.
4. Anamnesis terdapat benjolan dengan flukstuasi di daerah dinding lateral
Kriteria diagnosis
faring, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Abses Parafaring
6. Diagnosis banding Abses Retrofaring
7. Pemeriksaan 1. Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
penunjang 2. Kultur dan Sensitivitas Antibiotik
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Prognosis
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
3
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
ABSES PERITONSIL
Abses peritonsil adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
Pengertian
1. disekitar tonsila palatina akibat komplikasi infeksi di daerah tonsil dan
(Definisi)
sekitarnya.
Nyeri tenggorok, nyeri menelan
Nyeri alih pada telinga
Kesulitan menelan oleh karena sakit
2. Anamnesis
Demam
Tinitus
Hipersalivasi, mulut berbau, suara sengau
1. Tonsila palatina membengkak, nanah terdapat pada ruang atau tonsila
palatine, uvula terdorong ke kontra lateral
3. Pemeriksaan fisik
2. Palatum molesis yang terlihat bengkak, hiperemis, fluktuasi
3. Tonsil uvula terdorong ke media
Anamnesis terdapat benjolan dengan flukstuasi di daerah pillar tonsil
4. Kriteria diagnosis anteroposterior, fossa piriformis inferior dan palatum superior, pemeriksaan
penunjang
5. Diagnosis Kerja Abses Peritonsil
6. Diagnosis banding Karsinoma Tonsil
Pemeriksaan 3. Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
7.
penunjang 4. Kultur dan Sensitivitas Antibiotik
8. Tatalaksana -
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14. -
rekomendasi
16. Indikator medis -
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
17. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
4
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
ABSES RETROFARING
Pengertian Abses retrofaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
1.
(Definisi) retrofaring akibat komplikasi infeksi di daerah tonsil dan sekitarnya.
Nyeri tenggorok, nyeri menelan
Nyeri alih pada telinga
Kesulitan menelan oleh karena sakit
2. Anamnesis
Demam
Tinitus
Hipersalivasi, mulut berbau, suara sengau
3. Pemeriksaan fisik Nanah terdapat di ruang belakang dinding faring
Anamnesis terdapat benjolan dengan flukstuasi di daerah dinding belakang
4. Kriteria diagnosis
faring, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Abses Retrofaring
6. Diagnosis banding Abses Parafaring
Pemeriksaan 5. Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
7.
penunjang 6. Kultur dan Sensitivitas Antibiotik
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
5
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
ABSES SEPTUM
1. Pengertian (Definisi) Abses septum nasi (selanjutnya disebut abses septum) adalah kumpulan pus
dalam suatu ruang antara septum nasi (baik komponen tulang dan atau
kartilago) dan mukoperikondrium dan atau mukoperiosteum.
Abses septum didahului oleh hematoma septum yang terinfeksi dan
menimbulkan terbentuknya abses. Berdasarkan klasifikasi Beck, abses septum
berdasarkan etiologinya dibagi menjadi abses septum primer (karena trauma
hidung), sekunder (karena infeksi sinonasal dan gigi) dan spontan (idiopatik).
2. Anamnesis Obstruksi nasi progresif (umumnya bilateral) lebih dari 1 minggu
Nyeri progresif dorsum nasi/ dalam kavum nasi
Gejala lain: Demam tinggi, secret mukopurulen, nyeri kepala, malaise,
epistaksis, pembengkakan, nyeri tekan nasus eksternus.
3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan nasus eksternus dan rhinoskopi anterior.
Pemeriksaan rhinoskopi anterior:
Pembengkakan septum berat, mukosa tampak kemerahan, fluktuatif
(sering pada septum anterior dan bilateral)
4. Kriteria diagnosis 1. Sesuai dengan kriteria anamnesis
2. Sesuai dengan kriteria pemeriksaan fisik
3. Sesuai dengan kriteria pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Abses septum
6. Diagnosis banding Hematoma septum
7. Pemeriksaan 1. Endoskopi hidung jika abses di septum posterior (lebih jarang).
penunjang 2. Pungsi dan aspirasi
Tindakan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis,
pemeriksaan kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan dalam
abses dan mencegah terjadinya infeksi intrakranial.
3. CT-Scan tidak rutin dilakukan:
Irisan aksial dengan kontras
Indikasi: sumber penyebab tidak jelas dan untuk mengetahui
komplikasi thrombosis sinus kavernosus, abses otak, dan komplikasi
6
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
orbita
8. Tatalaksana* 1. Tatalaksana non-bedah:
Rawat inap: Berikan antibiotika spektrum luas dan terapi simtomatik
Antibiotika empirik: amoksisilin-asam klavulanat, penisilin,
kloksasilin dan sefuroksim
Antibiotika sesuai kultur (jika antibiotika empirik tidak menunjukkan
perbaikan)
Metronidazol diberikan pada abses akibat infeksi gigi
2. Tatalaksana bedah:
Abses septum harus dilakukan insisi-drainase
Pada abses septum unilateral diinsisi pada daerah abses
Pada abses septum bilateral dan kartilago lunak diinsisi pada kedua
sisi dengan level berbeda untuk menghindari perforasi septum
Bentuk insisi: insisi Killian, L-shape
Langkah-langkah tindakan insisi-drainase abses septum dengan
pembiusan umum sebagai berikut:
1) Posisi penderita telentang,
2) Desinfeksi alkohol 70% daerah hidung dan sekitarnya, lapangan
operasi dipersempit dengan linen steril,
3) Dekongesti kavum nasi dengan kapas/kasa yang dibasahi
oksimetazolin 0,5%,
4) Insisi Killian (vertikal) di satu sisi abses dengan pisau no.15 atau 11,
5) Aspirasi pus untuk pemeriksaan mikrobiologi,
6) Evaluasi kartilago septum, jika intak dan abses septum bilateral,
maka perlu dibuat insisi kontralateral tidak satu level,
7) Pus dan jaringan lunak dan kartilago nekrotik dibersihkan,
selanjutnya dicuci dengan larutan garam fisiologis,
8) Pemasangan Penrose drain selama 2-3 hari,
9) Tampon ringan kedua kavum nasi selama 2-3 hari.
Rekonstruksi septum
o Sedini mungkin, terutama pada anak
o Untuk mencegah deformitas wajah dan disfungsi nasal
o Dapat dikerjakan segera setelah drainase abses sebagai tindakan
primer atau setelah resolusi dari infeksi sebagai tindakan
sekunder.
9. Kepustakaan 1. Alshaikh N, Lo S. Nasal septal abscess in children: From diagnosis to
management and prevention. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology 2011;75:737-44.
2. Huang YC, Hung PL, Lin HC. Nasal septal abscess in an immunocompetent
7
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
ANGINA LUDWIG
1 Pengertian (Definisi) Yaitu infeksi ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon yang progresif
. dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras pada perabaan sub
mandibula.
. Abses Retrofaring
7 Pemeriksaan 7. Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
. penunjang 8. Kultur dan Sensitivitas Antibiotik
8 Tatalaksana
.
9 Kompetensi
Dokter Spesialis THT-KL
.
1 Edukasi
1
.
1 Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
2 Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
. Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
1
3 Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
.
1
Tingkat
4
rekomendasi
.
1 Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
7 Modul THT-KL
. Guideline Penyakit THT di Indonesia
9
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
10
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis.
5 Prosedur Prosedur pemasangan tampon kapas Lidocain Adrenalin
. (4:1)
Peganglah endoskopi dengan lensa 0 0 dengan tangan kiri,
kemudian masukkan scope lensa 00 ke nostril kanan/kiri
dengan bertumpu pada atap vestibulum agar tidak banyak
pergerakan dan mengganggu visualisasi. Dilakukan evaluasi
massa di dalam kavum nasi.
Tangan kanan memegang pinset bayonet dan menjepit kapas
yang sdh diberikan analgesi topical lidocain: adrenalin dengan
perbandingan 4 cc lidocain : 1 cc adrenalin, kapas dimasukkan
ke dalam kavum nasi jika memungkinkan di medial dan lateral
dari massa yang tampak pada kavum nasi. Tampon dibiarkan
di dalam kavum nasi selama 10 menit.
Setelah 10 menit tampon dikeluarkan dan kemudian dilakukan
evaluasi massa dan sumber perlekatannya.
7 Indikator medis Biopsi lesi jinak rongga hidung tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan
. selesai dalam 30 menit.
Target:
80% biopsi lesi jinak rongga hidung tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan
selesai dalam 30 menit.
8 Kepustakaan 1. Carrau RL, Myers EN. Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinuses. In:
. Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll BP,editors. Head and Neck Surgery
– Otolaryngology. Philadhelpia: Lippicontt-Raven Pub; 2001. p.1445-68.
2. Kennedy DW, Hwang PH, David W Kennedy, Petter H Hwang. In:
Rhinology, Disease of the nose, sinuses and skull base. 1st ed, Thieme
New York Stutgart 2012 p 395-407.
3. Nepal A. Benign sinonasal masses: A Clinicopathological and
Radiological Profile. Kathmandu University University Medical Journal
2014; 11 (41):4-8.
4. Syrjanen KJ. HPV Infection in Benign and Malignant Sinonasal lesions. J
Clin Pathol 2003; 56:174-181.
5. Bakari A, Afolabi OA, Adoga AA, Kodiya AM, Ahmad BM. Clinico-
pathological profile of sinonasal masses: an experience in national ear
care center Kaduna, Nigeria. BMC Research Notes 2010; 3 (186) : 1-5.
6. Thapa N. Diagnosis and Treatment of Sinonasal Inverted Papilloma.
Nepalese Journal of ENT Head & Neck Surgery 2010; 1 (1) : 30-33.
7. Kim DY, Hong SL, Lee CH, Jin HR, Kang JM, Lee BJ, et al. Inverted
Papilloma of the Nasal Cavity and Paranasal Sinus : A Korean
Multicenter Study. The Laryngoscope 2012; 122: 487-494.
8. Baradaranfar MH, Dabirmoghaddam P. Endoscopic endonasal Surgery for
Resection of Benign Sinonasal Tumors: experience With 107 Patients.
Arch Iranian Med 2006; 9(3):244-249.
9. Joo DJ, Chhetri DK, Wang MB. How I Do It. Endoscopic Removal of
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibromas : A Video Presentation. The
Laryngoscop 2008; 118:XX: 1-3.
10. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.
Eur J Gen 2010; 7(4):419-425.
11. Nicolai P, Castelnuovo P, Villaret AB, Farina D.. The Role of Endoscopy
in the Management of Benign and Malignant Sinonasal Tumors. In:
Georgalas C, Fokkens W, editors. Rhinology and Skull Base Surgery.
Stutgatgart,New York: Thieme;2013.p.835-861.
15
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
16
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
F. Petugas
2. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Perawat kamar operasi/ poliklinik THT-KL yang mempunyai
kewenangan klinis
4. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis (bila
dilakukan bius umum)
5. Prosedur 1. Identifikasi
2. Sign in
3. Time out
4. Pasien duduk tegak/ pasien terbaring dalam narkose umum di meja
operasi
5. Dilakukan tindakan a/antisepsis (alat steril, memakai sarung tangan dan
masker)
6. Tampon hidung dengan kapas efedrin-lidokain atau penyemprotan/ spray
dengan anestesi local xylocaine 10% mulai dari rongga hidung 1
semprotan dilanjutkan ke daerah nasofaring 2 semprotan
17
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
Target:
80% biopsy nasofaring tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai
dalam 30 menit
8. Kepustakaan 1. Anderson, M., Forsby, N., Klein, G., /henle W., 2007, Relationship
between the Epstein-Barr Viral and Undifferential Nasopharyngeal
Carcinoma: Corelated nucleic acid hybridization and histopathological
18
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
20
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
17. Konsul:
Anestesi: untuk teknik hipotensi
Kesehatan Anak: bila usia di bawah 18 tahun atas indikasi
Penyakit Dalam: bila usia di atas 18 tahun atas indikasi
Kardiologi: bila usia di atas 40 tahun
18. Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan darah tepi lengkap
PT dan APTT
SGOT, SGPT
Ureum dan creatinin darah
Elektrolit
Gula darah sewaktu
Pemeriksaan golongan darah
Pemeriksaab HbsAg dan anti HCV (bila terdapat kecurigaan)
19. Pemeriksaan radiologi
CT Scan sinus paranasal potongan aksial, koronal dan agital
ketebalan 3 mm, soft tissue setting.
Foto toraks
20. Elektrokardiografi
21. Pemeriksaan penunjang lain atas indikasi
22. Pemeriksaan nasoendoskopi
23. Cukur bulu hidung
24. Medikamentosa sebelum operasi: injeksi antibiotika, kortikosteroid
dan asam traneksamat
25. Puasa 6 jam sebelum operasi
22
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
Suction lurus Panjang (15 cm) Ferguson Suction Tube (20 Fr,
Length 15 cm) 2 buah
Suction bengkok besar Eicken Antrum Cannula 2 buah (Diam 4
mm, Length 12.5 cm)
Suction bengkok kecil Eicken Antrum Cannula 2 buah (Diam 3
mm, Length 12.5 cm)
Suction bengkok 90o Eicken Castelnuovo Antrum Cannula 2 buah
(Diam 2.5 mm, Length 12.5 cm)
1 buah tip suction frontal
Kerrison Bone Punch 1 mm dan 3 mm
Forceps Lurus Kecil (width 1,8 mm, Length 15 cm)/ Blakesley
Straight Forceps (kecil, sedang, dan besar).
Forceps 45o Kecil (45o, width 1,8 mm, Length 15 cm)/ Blakesley
45o Forceps (kecil, sedang, dan besar).
Forceps 90o Kecil (90o, width 1,8 mm, Length 15 cm)/ Blakesley
90o Forceps (kecil, sedang, dan besar).
Forceps Lurus Besar Nasal Forceps (45o, width 4.8 mm, Length
11 cm)
Forceps Lurus Kecil Nasal Forceps (45o, width 2.5 mm, Length
11 cm)
Forceps Cutting Lurus Nasal Cutting Forceps (kecil, sedang dan
besar)
Forceps Cutting 45o Nasal Cutting Forceps (kecil, sedang dan
besar)
Gunting Kecil Suction Tube
Killian Speculum dengan kunci Killian Struycken Nasal Speculum
Killian Speculum tanpa kunci
Killian Speculum 1 blade Panjang/ 1 blade pendek
Scissor Angle Straight (Lurus)
Scissor Angle Right (Kanan) (Right, Length 18 cm)
Scissor Angle Left (Kiri) Scissors (Left, Length 18 cm)
J Currette
KUHN curette/ suction curette
Antrium maxilla forceps besara dan kecil
Bipolar forceps cauter
Giraffe forceps blade kanan, kiri, depan dan belakang
Elevator Cottle (Tombak)
24
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
25
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
CALDWELL-LUC
1. Pengertian (Definisi) Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan pembedahan membuka mukosa
buccoginggival di dinding depan sinus maksilaris.
4. Konsul: Anestesi
5. Konsul: Penyakit Dalam/ Kardiologi (atas indikasi)
6. Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan darah tepi lengkap
PT dan APTT
Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula
darah sewaktu
7. Pemeriksaan penunjang
Nasoendoskopi, Foto polos sinus paranasanal, bila perlu : CT
Scan
8. Puasa 6 jam sebelum operasi
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Antibiotik profilaksis intravena diberikan 30 menit sebelum insisi
28
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi
6. Dilakukan prosedur aseptik antiseptik pada medan operasi
7. Dilakukan prosedur anestesi infiltrasi
8. Pada sulkus ginggivobukal (fosa kanina), tepat diatas
soket gigi dibuat insisi (insisi dapat antara caninus sp premolar)
melalui mukosa dan periosteum beberapa sentimeter dari garis tengah.
Mukosa secukupnya dipertahankan dibagian bawah untuk
memudahkan penutupan (A).
9. Periosteum dielevasi. Insersi otot-otot wajah mungkin memerlukan diseksi
tajam untuk membebaskan diseksi tsjsm untuk membebaskannya dari dinding
depan antrum (B).
10. Pemaparan diperluas ke atas sampai titik tepat dibawah tepi orbita, dimana
saraf infra orbita diidentifikasi dan dipertahankan. Dengan menggunakan
osteotom atau bor, dinding depan antrum dibuka. Lubang ini harus benar-
benar diatas soket gigi dan diatas lantai antrum. Semua fragmen patahan
tulang diambil (C).
11. Dengan cunam Kerrison, lubang dilebarkan sampai ukuran yang
diinginkan untuk memungkinkan eksplorasi (D).
29
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
9. Indikator medis Tonsilektomi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 60 menit
Target:
80% tonsilektomi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 60
30
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
menit
10. Kepustakaan
1. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World Health
Organization
2. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization
DIRECT LARINGOSKOPI
1. Pengertian (Definisi) Direk Laringoskopi adalah pemeriksaan lumen laring secara langsung
dengan menggunakan alat Direct – Laryngoscopy. Tujuan tindakan ini
adalah untuk melihat isi lumen laring, keadaan dinding atau mukosa
laring serta bentuk lumen laring. Terutama untuk mengambil sitologi atau
biopsi tumor. Dilakukan untuk indikasi diagnostik. Pada laringoskopi
langsung, memberikan kesempatan untuk pemeriksaan adanya tumor
jinak laring maupun tumor ganas laring di bawah anestesi umum. Pada
operasi ini juga dilakukan biopsi , ekstirpasi dan “map of larynx” untuk
kepentingan diagnotik dan terapetik. Suspensi laringoskopi memberikan
pandangan yang sangat baik dari tingkat tumor dan kondisi keseluruhan
dari mukosa saluran napas.
2. Indikasi 1. Acute Laryngitis (ICD 10: J040)
2. Acute Obstructive laryngitis (croup) (ICD 10: J050)
3. Acute epligotitis (ICD 10: J051)
4. Acute laryngopharyngitis (ICD 10: J060)
5. Chronic Laryngitis (ICD 10: J370)
6. Paralysis of vocal cords and larynx (ICD 10: J380)
7. Polyp of vocal cords and larynx (ICD 10: J381)
8. Nodules of vocal cords (ICD 10: J382)
31
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
Petugas
Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Pasien dibaringkan dalam posisi Boyce
2. Alat Direct – Laringoscopy dipegang dengan tangan kiri dengan
menggenggam bagian vertikal gagang laringoskop memakai empat jari
dan ibu jari
3. Jari tengah dan jari manis tangan kanan membuka bibir atas dan mengait
gigi insisivus
4. Jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan memegang bagian distal direk
laring serta menarik bibir agar tidak terjepit di antara pipa Direct -
Laringoscopydengan gigi
5. Direct - Laringoscopydidorong tangan kiri seperti memegang pena pada
leher pegangan
6. Direct - Laringoscopydimasukkan secara vertikal ke dalam mulut melalui
ujung kanan mulut, pada saat ini kepala penderita diangkat sedikit sampai
verteks berada kira-kira 1 sentimeter dari meja.
7. Ujung laringoskopi dimasukkan melalui sisi kiri dasar lidah, melalui
dasar lidah.
8. Identifikasi Valekula, epiglotis, plika faringo-epiglotik dan laring
9. Memasuki sinus piriformis kanan. Direct - Laringoscopydisusupkan di
sisi kanan lidah sampai dinding posterior faring. Suatu gerakan ringan ibu
jari tangan kiri diberikan pada ujung Direct - Laringoscopy sehingga
menuju aritenoid kanan yang merupakan penunjuk ke sinus piriformis.
Bibir Direk Laring harus tetap di anterior dan pipa harus selalu berada di
medial. Pipa kemudian akan menyusup melalui sinus piriformis kanan
sampai 2 – 3 cm dan pada dasar sinus terhenti
33
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
34
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
35
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
C. Petugas
4. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
5. Perawat kamar operasi/ poliklinik THT-KL yang mempunyai
kewenangan klinis
6. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis (bila
dilakukan bius umum)
7. Dokter umum yang mempunyai kewenangan klinis
5. Prosedur Tindakan EKSTRAKSI SERUMEN :
1. Identifikasi pasien. Pasien yang tidak kooperatif ATAU berisiko
terjadi komplikasi selama prosedur tindakan, dianjurkan dilakukan
dengan pembiusan
2. Identifikasi konsistensi serumen. Bila serumennya keras maka
sebelum tindakan harus diberikan larutan pelunak serumen
3. Pasien dalam posisi duduk stabil. Pada pasien anak harus dipangku
oleh orang dewasa yang berperan memegang/ menahan kedua kaki,
tangan kanan memegang kedua tangan pasien, dan tangan kiri
memegang/menahan kepala pasien
4. Daun telinga ditarik ke arah superior dan posterior untuk pasien
dewasa ATAU ke arah posterior untuk pasien anak
5. Pengait serumen dimasukkan ke liang telinga, selanjutnya melewati
celah antara serumen dan kulit liang telinga dengan posisi ujung
pengait sejajar dengan bidang kulit liang telinga. Bila belum
ditemukan celah antara serumen dan kulit (seperti pada serumen
impaksi), maka harus dibuat celah terlebih dahulu. Selanjutnya ujung
pengait dirotasikan sehingga berada di dalam serumen dan serumen
ditarik keluar. Manipulasi dengan alat pengait tidak dianjurkan di
daerah inferior dinding liang telinga disebabkan kemungkinan
terpicunya refleks vagal yang ditandai dengan batuk
6. Evaluasi liang telinga dan membran timpani
FARINGITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Faringitis adalah suatu peradangan atau infeksi pada mukosa dan
struktur pembuluh Limfe pada tenggorokan (faring).
Berdasarkan perjalanannya :
- Akut : 1 hari – 1 bulan
- Sub akut : 1 bulan – 3 bulan
- Kronis : > 3 bulan
Biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A. Namun bakteri lain
seperti n. gonorrhoeae, c. diphtheria, h. influenza juga dapat menyebabkan
faringitis. Apabila disebabkan oleh infeksi virus biasanya oleh rhinovirus,
adenovirus, parainfluenza virus dan coxsackie virus.
2. Anamnesis - Nyeri tenggorok, nyeri menelan
- Selaput lendir yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau ringan dan
tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan nanah
- Kesulitan menelan oleh karena sakit
- Demam
- Pembesaran kelenjar getah bening di leher
- Peningkatan jumlah sel darah putih
3. Pemeriksaan fisik Tampak dinding faring hiperemis
Pembesaran kelenjar getah bening
4. Kriteria diagnosis Anamnesis terdapat benda asing di tenggorokan, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Faringitis Akut
6. Diagnosis banding 1. Tonsilitis Akut
39
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
2. Faringitis Kronis
7. Pemeriksaan Cek Laboratorium
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
42
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
HIPERTROFI ADENOID
1. Pengertian (Definisi) Adenoiditis adalah radang kronis pada adenoid
2. Anamnesis Pernafasan mulut obligat
Hiponasalitas
Snoring atau gejala gangguan pernafasan saat tidur lainnya
Lendir hidung persisten
Nafas bau busuk
Lendir di tenggorok
3. Pemeriksaan fisik Fasies Adenoid : mulut terbuka, permukaan midfasial rata, lingkaran hitam
dibawah mata
4. Kriteria diagnosis Anamnesis Fasies Adenoid : mulut terbuka, permukaan midfasial rata,
lingkaran hitam dibawah mata, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Hipertrofi Adenoid
6. Diagnosis banding Tonsilitis Kronis
7. Pemeriksaan Ro Kepala Lateral Soft Tissue
penunjang Endoskopi Nasofaring
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
43
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
KARSINOMA HIPOFARING
1. Pengertian (Definisi) Carcinoma Hipofaring adalah Tumor ganas yang terdapat pada hipofaring
( posterior dari laring )
Carcinoma Hipofaring meliputi 3 (tiga) daerah yaitu :
Karsinoma Sinus Piriformis
Karsinoma Dinding Posterior Faring
Karsinoma Regio Postkrikoid
2. Anamnesis 1. nyeri tenggorok (odinofagi)
2. sulit menelan (disfagia) biasanya progesif
3. sakit telinga (otalgia persisten unilateral)
4. sesak nafas (Dispnea)
5. suara serak (hoarsness)
6. Penurunan Berat Badan
3. Pemeriksaan fisik 1. Glositis
2. Stomatitis
3. Pembesaran kelenjar limfe retrofaring
4. Leukoplakia
5. Edema dan eritema pada struktur hipofaring
4. Kriteria diagnosis Karsinoma sel Squamosa pada Hipofaring
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Tiroid
6. Diagnosis banding Karsinoma Nasofaring
Karsinoma Laring
7. Pemeriksaan 1. Panendoscopy (Laryngoscopy, esophagoscopy, dan bronchoscopy)
penunjang 2. Radiologi
44
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
45
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
KARSINOMA LIDAH
1. Pengertian (Definisi) Karsinoma ganas lidah adalah karsinoma ganas yang berasal atau terdapat
pada lidah.
2. Anamnesis a. Gejala awal : keluhan sering tidak nyata
Nyeri sering terdapat pada lesi berbentuk ulkus, yang dapat menjalar
keseluruh mulut dan telinga.
Keluhan lain rasa baal pada lidah, sariawan yang tidak sembuh-
sembuh.
Bila timbul hambatan gerak lidah akan mempengaruhi artikulasi proses
bicara dan menelan.
b. Gejala lanjut : Limfadenopati leher.
c. Perluasan karsinoma ke saraf
3. Pemeriksaan fisik Poliklinik THT-KL pada daerah lidah: nyeri pada lidah, perubahan warna
lidah , pembengkakan atau ulkus, hipersalivasi, bau mulut karena infeksi
sekunder atau gerak lidah yang asimetris dan terbatas.
4. Kriteria diagnosis FNAB / Lidah
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Laring
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Laboratorium rutin, DR3, GDS, SGOT dan SGPT,
penunjang Ureum, Creatinin, Albumin.
Histopatologi
Pemeriksaan radiologi konvensional (soft tissue leher AP/Lat)
CT Scan Orofaring sentrasi lidah ( Axial dan Coronal)
Ro foto toraks
46
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
USG Abdomen
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
47
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
48
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
KARSINOMA PAROTIS
1. Pengertian (Definisi) Karsinoma parotid mempunyai pengertian adanya masa yang tumbuh
secara abnormal pada kelenjar parotis, bahkan dapat meluas jauh ke
bagian tubuh. Merupakan karsinoma terbanyak (80%) dari karsinoma
kelenjar ludah.terbanyak adalah jenis epitel sekitar 95%.
2. Anamnesis Karsinoma parotid mempunyai pengertian adanya masa yang tumbuh
secara abnormal pada kelenjar parotis, bahkan dapat meluas jauh ke
bagian tubuh. Merupakan karsinoma terbanyak (80%) dari karsinoma
kelenjar ludah.terbanyak adalah jenis epitel sekitar 95%.
3. Pemeriksaan fisik Palpasi(batas tegas, tidak nyeri tekan, konsistensinya noduler seringnya),
pemeriksaan kelenjar lymphe di tempat lain yaitu cervical, axilla, inguinal. Foto
polos leher AP/Lateral sofftissue, Sialografi, foto thorax.
4. Kriteria diagnosis Biopsi Kelenjar Parotis
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Parotis
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Pemeriksaan PA FNAB, Frozen section selama intra operatif
penunjang Pemeriksaan kelenjar lymphe di tempat lain yaitu cervical,axilla,inguinal. Foto
polos leher AP/Lateral sofftissue,Sialografi, foto torax
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
49
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
KARSINOMA SINONASAL
1. Pengertian (Definisi) Tumor hidung dan sinus paranasal yang jarang ditemukan.
2. Anamnesis Gejala Nasal : obstruksi hidung unilateral dan rhinorhea. Sekret nya sering
bercampur darah atau epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang
hidung sehingga terjadi deformitas hidung.
Gejala orbital : perluasan tumor ke arah orbita menimblkan gejala diplopia,
proptosis atau penonjolan bola mata, ophtamophlegia, gangguam visus dan
epiphora.
Gejala Oral : perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau
ulkus di palatum atau di procesus alveolaris.
Gejala Fasial : Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi.
Disertai nyeri anesthesia atau paresthesia di muka
Gejala Intrakranial : perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit
kepala hebat, ophtamolphlegia, dan gangguan visus.
3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan THT : pada rinoskopi anterior dan posterior tampak massa
di dalam cavum nasi, terkadang bisa didapatkan pembesaran disekitar
pipi.
Pemeriksaan leher :
a. Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher,
b. Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid
atau tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra
laryngeal. Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid
50
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
51
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
KARSINOMA TIROID
1. Pengertian (Definisi) Neoplasma tiroid adalah massa/ benjolan abnormal pada kelenjar tiroid.
Massa/benjolan tersebut tumbuh membesar dari sel kelenjar tiroid.
2. Anamnesis Benjolan pembesaran tiroid atau nodul yang disertai rasa nyeri, kadang-
kadang disertai gejala penekannan pada esofagus atau trakea.
3. Pemeriksaan fisik Nodul konsistensi keras atau lunak, tidak nyeri , berbenjol-benjol, berbatas
tegas atau tidak.
4. Kriteria diagnosis Biopsi Kelenjar Tiroid / FNAB
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Tiroid
6. Diagnosis banding Tumor Metastasis (Laring)
7. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium : tidak ada pemeriksaan khusus kecuali karsinoma
penunjang noduler. T3 dan T4 kadang-kadang diperlukan. Human TIroglobulin (HTG)
dapat digunakan sebagai karsinoma marker berdiferensisai baik.
Pemeriksaan radiologi : USG dan isotop scan, Torak
Pemeriksaan Histopatologi : biopsi jarum halus
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
52
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
KARSINOMA TONSIL
1. Pengertian (Definisi) Adanya masa yang tumbuh secara abnormal pada tonsil, bahkan dapat meluas
jauh ke bagian tubuh.
2. Anamnesis Gejala Dini :
Disfagia, odinofagia, hot potato voice
Hipersekresi, sesak
Nyeri tenggorok yang tidak sembuh-sembuh
Otitis media serosa
Otalgia
Trismus
3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan THT : pada pemeriksaan tonsil tampak tonsil membesar,
salah satu sisi lebih besar dibanding sisi satunya
Pemeriksaan leher :
a) Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring
dan tiroid.
b) Palpasi : Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening leher.
4. Kriteria diagnosis Biopsi Tonsil
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Tonsil
6. Diagnosis banding Tonsilitis Kronis
Abses Peritonsiler
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan radiologi :
penunjang X-foto leher AP dan lateral (jaringan lunak)
Tomogram laring atau “CT-Scan” (bila tersedia fasilitas)
2. Biopsi
8. Tatalaksana
53
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
LARINGITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Adanya proses inflamasi akut di mokosa membrane laring yang disebabkan
infeksi (spesifik dan non spesifik), trauma dan iritasi
2. Anamnesis Gejala Dini :
- Serak/Hoarseness
- Rasa tidak nyaman di leher atas
- Batuk/Cought
- Symptom umum : demam,malaise
3. Pemeriksaan fisik Anamnesis, gambaran Hiperemis dan Edema pada Laring, pemeriksaan
penunjang
4. Kriteria diagnosis Gambaran Hiperemis dan Edema pada Laring
5. Diagnosis Kerja Laringitis Akut
6. Diagnosis banding Tonsilitis Kronis
7. Pemeriksaan 1. Swab Tenggorokan atau kultur darah untuk mengetahui kuman dan uji test
penunjang sensitivitas-resistensi AB.
2. Pemeriksaan Endoscopy Laryng (fiber atau rigid endoscopy)
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
54
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
LARINGITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Terjadi proses peradangan kronis laring yang di sebabkan sinusitis kronis,
deviasi septum nasi, polip dan bronkhitis kronis
2. Anamnesis Suara serak
Sesak napas
Infeksi sebelumnya (hidung buntu, batuk)
Pola hidup pasien (seperti pekerjaan, makan dan minum pasien)
3. Pemeriksaan fisik 1. Laringoskopi indirect, untuk menilai dan mengevaluasi kondisi laring secara
Umum. Menilai langsung keadaan di daerah laring seperti adanya oedema dan
hiperemis di plika aritenoid, plika ventrikularis dan pita suara Adakah hiperemi,
polip, nodul didaerah pita suara. Pemeriksaan ini Sedikit membuat pasien tidak
nyaman.
2. Fiberendoskopi, untuk menilai dan mengevaluasi kondisi laring secara umum.
Adakah massa, polip, nodul, swab didaerah tersebut. Pemeriksaan ini lebih jelas
dan bisa direkam di televisi/ monitor
3. Rontgen cervical ap-lat , untuk menilai kemungkinan adanya suatu massa di
daerah laring. Ini jarang di lakukan, kecuali memang pasien mengarah adanya
massa di daerah laring dan sekitarnya.
4. Rontgen thorax dan SPN 3 posisi, untuk menilai kondisi kavum nasi dan sinus
paranasal secara umum ini dilakukan jika pasien ada riwayat rhinosinusitis atau
sinusitis sebelumnya, dan mengevaluasi apakah pasien ada kelainan di paru-paru.
4. Kriteria diagnosis Anamnesis, gambaran Hiperemis dan Edema pada Laring, pemeriksaan
penunjang
5. Diagnosis Kerja Laringitis Kronis
6. Diagnosis banding Faringitis Non Spesifik
Faringitis Spesifik
7. Pemeriksaan 1. Swab Tenggorokan atau kultur darah untuk mengetahui kuman dan uji test
55
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
56
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
LARINGOMALASIA
1. Pengertian (Definisi) Kelainan kongenital laring yang menunjukkan suatu kelemahan ariepiglotis
dan epiglotis
2. Anamnesis 1. Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara
biasa muncul pada minggu 4-6 awal.
2. Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang
biasanya membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak
terdapat sekret nasal.
3. Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis,
ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus,
selama dan setelah makan.
4. Tangisan bayi biasanya normal
5. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi
kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi.
6. Bayi gembira dan tidak menderita.
3. Pemeriksaan fisik 1. Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar.
2. Dapat terlihat takipneu ringan
3. Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal
4. Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi
terlentang
5. Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi
selama pemeriksaan
6. Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar
angulus sternalis
4. Kriteria diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
pemeriksaan laring dengan menggunakan serat fiber fleksibel selama periode
58
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
pernapasan spontan.
Gambaran Epiglotis yang lemah
5. Diagnosis Kerja Laringomalasia
6. Diagnosis banding Trakeomalasia
7. Pemeriksaan Fiberendosopy
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
59
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
MENIERE
1. Pengertian (Definisi) Penyakit Meniere ditandai dengan pendengaran berfluktuatif,vertigo,tinnitus
dan rasa tertekan pada telinga.Penyakit ini dikenal juga sebagai
hydropslymfatik yaitu suatu gangguan telinga dalam(Labyrinth) yang mana
terdapat peningkatan volume dan tekanan endolimfe telinga dalam.Terdapat
bentuk klasik meniere dan beberapa varian yang disebut sebagai
sindromalermoyez, hidrops vestibular dan hidropskoklea. Pada tipe klasik
terdapat serangan vertigo dalam beberapa menit sampai beberapa jam, tetapi
ada juga bentuk lain berupa kehilangan pendengaran yang berfluktuatif,
tinnitus dan atau tekanan tetapi tidak disertai vertigo,atau hanya serangan
vertigo saja.
Riwayat yang berhubungan dengan Pusing berputar, Penurunan
2. Anamnesis
pendendengaran, danTinitus
3. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan THT-KL menggunakan otoskopi, didapati normal
4. Kriteria diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan.
5. Diagnosis Kerja Meniere
6. Diagnosis banding BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
7. Pemeriksaan Tes Penala didapati kesan sensorineural
penunjang Audiogram didapati tuli sensorineural terutama nada rendah
Pemeriksaan laboratorium tidak didapati pemeriksaan yang spesifik
Tes Keseimbangan
Tes Kalori
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
- Istirahat dan berbaring dalam posisi yang meringankan keluhan
11. Edukasi
- Kebiasan merokok harus segera dihentikan
60
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
Tang Biopsi
Tang Ekstirpasi Corpus Alienum
Sumber cahaya
Kabel sumber cahaya
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis sesuai
tingkat kompetensi pendidikannya
Bedah Mikrolaring
1. Teknik operasi
2. Pasien tidur diatas meja operasi posisi supine
3. Dokter anestesi mengintubasi laring (jika ada penggunaan laser
diantisipasi) diarahkan ke sisi kiri mulut
4. Bantalan ditempatkan dibawah bahu supaya dapat ekstensi kepala dan
leher secara sempurna.
5. Meja ditempatkan di posisi tredelenburg terbalik agar didapatkan posisi
yang nyaman untuk melihat laring melalui mikroskop.
6. Laringoskop dimasukkan seperti yang sebelumnya disebutkan.
7. Saat laring sudah tervisualisasi dengan adekuat, ujung dari laringoskop
operator didekatkan ke midline sehingga jaringan yang patologi terlihat.
8. Laringoskop dimasukkan, epiglotis diungkit, lalu laringoskop dimasukkan
untuk mengevaluasi seluruh struktur anterior laring
9. Alat suspension apparatus disambungkan ke laringoskop lalu
disambungkan ke Mayo stand atau direkatkan ke meja operasi.
Laringoskop yang tergantung dari meja yang menempel dari tempat tidur
membuat pergerakan dari meja tanpa mengganggu posisi laringoskop.
10. Mikroskop didekatkan ke lapangan operasi dan laring divisualisasi dengan
lensa pembesaran 400 mm. Instrumen laring dapat digunakan dengan alat
mikro sesuai indikasi (forsep yang sesuai dengan peruntukannya).
11. Bila menggunakan laser CO2 maka wajah harus ditutup dengan handuk
yang lembab dan mata ditutup dengan penutup mata yang lembab. Tidak
63
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
satupun bagian dari wajah yang boleh terekspos. Petugas kamar operasi
harus menggunakan pelindung mata.
12. Bila diperlukan pemeriksaan pada komisura posterior dan area ini tertutup
oleh ETT, maka ETT dipindahkan dan ventilasi dilanjutkan dengan
menggunakan alat Venturi Jet. Venturi diletakkan pada saluran cahaya
laringoskop dan diposisikan diatas inlet laryngeal. Saat posisi sudah
adekuat, pergerakan dinding dada dapat dilihat dengan baik tanpa obstruksi
pada laring.
13. Instrumen kanul penghisap diletakkan di saluran cahaya dapat membantu
menghisap asap yang dihasilkan dari prosedur laser. Hal ini
memungkinkan karena pencahayaan untuk prosedur ini dihasilkan dari
mikroskop.
14. Di akhir dari prosedur, pasien dapat di intubasi ulang untuk pemulihan
anestesi, hal ini dapat dilakukan dengan dua metode:
15. Laringoskop diangkat dan pasien diintubasi seperti biasa
16. Pasien di intubasi ulang dengan laringoskop masih pada posisi
17. Operasi selesai
18. Sign out
Komplikasi 1. Laringospasme
2. Edema glotik
3. Trauma gigi
6. Pasca Prosedur 1. Medikamentosa
Tindakan Dexametason dosis tunggal intraoperatif injeksi (Rekomendasi A)
Antibiotika: amoksisilin klavulanat selama 3 hari
Analgetika: asam mefenamat atau metampiron selama 3 hari
Lain-lain asam traneksamat
2. Evaluasi outcome:
b.Tidak ada risiko obstruksi napas yang dapat berisiko mengancam
kematian
c. Luka operasi tidak infeksi
3. Diet: lunak dan dingin 5 hari
7. Kepustakaan 1. Ballenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck,
Philadelphia, Lea & Fabiger, 2009, chapter 29,31-33,37, pp.570-588,605-
41,682-746
2. Bailey BJ and Pillsburry III HC. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadelphia, JB Lippincott Co, 2014, chapter 68,
pp.989-1003
3. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery.
New Delhi, Elsevier, 6th Ed, 2014, Chapter 61, pp.303-07
64
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
4. Lee KJ. Essential Otolaryngology. Head & Neck Surgery. New York.
McGraw Hill, 8th Ed, 2002, Chapter 31, pp. 724-92
5. Nauman HH. Head and Neck Surgery, Vol 3, New York, Thieme Medical
Publishers Inc, 1997, Chapter 13, pp 358-59
6. Perhati - kl. Modul laring faring 2015. Jakarta, bab disfonia - neoplasma
jinak laring.
7. Potsic WP. Surgical Pediatric Otolaryngology, New York, Thieme
Medical Publishers Inc, 1997, Chapter 42, pp 532-37
8. Scott Brown. Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Great Britain,
Edward Arnold, 7thed, 2007 Chapter 88, pp.1135- 49
9. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World
Health Organization
10. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization
65
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
5. Prosedur 1. Identifikasi
2. Sign in
3. Time out
4. Menggunakan anestesi umum,
5. Penderita terlentang di atas meja operasi.
6. Tindakan A dan antiseptik lapangan operasi baik untuk area
rongga mulut maupun wajah pasien.
7. Setelah penandaan dan infiltrasi sempurna dilakukan insisi
sesuai penandaan dan perencanaan gambar.
8. Dilakukan insisi pada sublabial/subsilia/bikoronal yang
diekstensikan tergantung posisi dan daerah fraktur.
9. Dilakukan diseksi secara tumpul hingga periosteum,
periosteum dipisahkan dari tulang sehingga tercapai maksila
68
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
70
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
71
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
Lampu kepala
Mesin suction dan selang suction
Spekulum hidung
Bayonet hidung
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Dokter umum yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Memegang spekulum hidung dengan cara : ibu jari pada joint, jari
telunjuk diletakkan pada dorsum hidung dan jari lainnya pada batang
spekulum untuk memegang.
2. Masukkan spekulum ke nostril kiri/kanan, spekulum harus selalu
terbuka dan diarahkan ke superior dan jangan ke lantai hidung.
Inspeksi akan lebih baik dengan menekan puncak hidung
3. Berikan anestesi topikal untuk menekan rasa tidak nyaman, risiko
apnea, bradikardi, dan hipotensi yang diakibatkan blocking the nasal-
vagal reflex. Tampon kapas yang telah diberi larutan pantocaine 1%
atau lidocaine (dengan atau tanpa 1-2 tetes larutan epinefrin 1 : 1.000)
disimpan di rongga hidung selama 3-5 menit. Evaluasi sumber
perdarahan setelah tampon kapas dibuka.
4. Pasanglah tampon hidung anterior yang telah dilapisi vaselin atau salep
antibakteri ke dalam rongga hidung.
5. Tampon dipasang dengan cara berlapis-lapis (layering) mulai dari
dasar hidung ke koana di belakang sampai setinggi konka media di
atas. Atau menggunakan tampon yang dimasukkan ke dalam
handscoon dan dipasang dalam kavum nasi.
6. Hal-hal yang harus diperhatikan :
- Waktu memasang tampon tidak boleh mengenai kolumela dan
septum nasi, karena bagian ini sangat mudah mengalami
trauma.
- Ujung tampon tidak boleh ada yang keluar ke orofaring
ataupun terlihat di orofaring di belakang palatum molle, hal ini
dapat menyebabkan iritasi, rasa tidak enak pada pasien dan
akan berbahaya bila tampon sampai ke saluran aerodigestive
dan dapat menyebabkan komplikasi.
- Tampon dipasang secukupnya, tidak boleh terlalu padat karena
dapat menyebabkan komplikasi
7. Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga hidung,
dilanjutkan dengan memasang kasa dan plester di anterior untuk
72
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
73
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
74
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
75
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
76
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
TINITUS
1. Pengertian (Definisi) Tinnitus adalah suatu persepsi bising yang tidak didahului oleh adanya stimulus
suara. Tinnitus dapat terjadi sebagai suatu nada murni atau beragam bunyi dan bisa
bernada tinggi melengking, bernada rendah, berdering, berdengung, menderu,
mengklik, mendesis, kasar, berdenyut, atau stabil.
2. Anamnesis Anamnesa riwayat penyakit lengkap dan penggunaan obat-obatan merupakan
komponen esensial dalam menerapi pasien tinnitus.
3. Pemeriksaan fisik Semua pasien harus diperiksa tekanan darahnya pada kedua lengan, dan
pemeriksaan rutin harus mencakup tes audiometric (tes audiometri hantaran
udara, tulang dan speech audiometric). Pemeriksaan labolatorium harus
meliputi kadar hematokrit, dan tes flouresensi absorbsi antibody treponema.
Jika disertai adanya kecurigaan terhadap ganggguan fisik atau metabolik,
perlu diperiksa kimiawi darah, kadar tiroid, profil lipid, dan pemeriksaan lain
yang diperlukan. Pada kasus penurunan pendengaran unilateral, tes audiologi
dan radiologi perlu dilakukan untuk mengeliminasi kecurigaan adanya tumor
di fossa posterior. Sebagian besar tumor dan anomaly yang terbaik diperiksa
dengan CT. bagi pasien dengan tinnitus yang non-pulsatif, MRI merupakan
pilihan pemeriksaan utama untuk menyingkirkan kemungkinan vestibular
schwannoma atau tumor lain dari sisterna cerebellopontin angle.
4. Kriteria diagnosis Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis Kerja Tinitus
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Tes Audiometri nada murni dan tutur
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Tidak boleh mengorek- ngorek telinga
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
77
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and
Throat Disease, Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New
York, 1994, p. 71-5.
2. Figueiredo RR, Azevedo AA, Kós AO, Tomita S. Complications of ent
foreign bodies: a retrospective study. Braz J Otorhinolaryngol. Jan-Feb
2008;74(1):7-15.
3. Jung T.T.K, Jinn T.H. Disease of The External Ear. In Ballenger’s
17. Kepustakaan Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. Ontario: BC
Decker Inc; 2003. p. 234-5.
4. Kroon D.F, Strasnick B. Disease of the Auricle, External Auditory Canal,
and Tympanic Membrane. In Glasscock Shambaugh Surgery Of The Ear
5th Edition. Ontario : BC Decker Inc;2003. p.351-2.
5. Lee .K.J. Noninfectious disorders of the ear. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery 9th Edition. Elseiver Science Publishers, 2008, p.
345
78
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
TONSILITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Radang akut pada tonsila palatina oleh kuman non spesifik yang keluhannya
kurang dari 3 bulan
2. Anamnesis 1. nyeri tenggorok
2. nyeri menelan
3. Nyeri kepala
4. demam (suhu tinggi)
5. sakit telinga (diproyeksikan ke telinga)
6. mulut berbau
7. Tonsil bengkak hiperemis, permukaan tampak bercak-bercak putih
(mambran)
8. Kelenjar leher sub mandibula besar dan Nyeri
3. Pemeriksaan fisik Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
4. Kriteria diagnosis Tonsil bengkak hiperemis, permukaan tampak bercak-bercak putih (membran)
5. Diagnosis Kerja Tonsilitis Akut
6. Diagnosis banding 1. tonsilitis difteri
2. agranula sitosis
3. leukimia akuta
4. tonsilitis plaut vincent
5. mononukleosis infeksiosa
7. Pemeriksaan 1. Swab Tenggorokan atau kultur darah untuk mengetahui kuman dan uji test
penunjang sensitivitas-resistensi AB.
2. ASTO
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
79
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
TONSILITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Tonsilitis Kronik adalah radang kronik pada tonsila palatina yang disebabkan
oleh bakteri non spesifik yang keluhannya lebih dari 3 bulan.
Jenis tonsilitis kronik, ada 3 (tiga) yaitu :
a. Hipertrofikans
b. Folikularis
c. Fibrotika
2. Anamnesis 1. nyeri tenggorok
2. nyeri menelan
3. Nyeri kepala
4. demam (suhu tinggi)
5. sakit telinga (diproyeksikan ke telinga)
6. mulut berbau
7. Tonsil bengkak hiperemis, permukaan tampak bercak-bercak putih
(mambran)
8. Kelenjar leher sub mandibula besar dan Nyeri
3. Pemeriksaan fisik 1. Tonsil bengkak, hiperemi
2. Kripte melebar
3. Terdapat detritus pada tonsil
4. Tonsil besar derajat III (ada kesulitan makan/nafas)
5. Kadang disertai bercak-bercak putih pada tonsil
6. Kelenjar sub mandibula membesar
4. Kriteria diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Tonsilitis Kronik
6. Diagnosis banding Tonsilitis akut
Faringitis akut
Nasofaringitis
7. Pemeriksaan 1. Swab Tenggorokan atau kultur darah untuk mengetahui kuman dan uji test
penunjang sensitivitas-resistensi AB.
2. ASTO
3. Patologi Anatomi
8. Tatalaksana
80
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
81
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
82
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
83
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
TULI SYARAF
1. Pengertian (Definisi) Penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga pada
telinga bagian dalamPenurunan fungsi pendengaran sensorineural
dikelompokkan lagi menjadi:
I. Penurunan fungsi pendengaran sensorik (Koklea) disebabkan oleh :
1. Trauma akustik
2. Infeksi virus pada telinga dalam
Obat-obatan tertentu ; Streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina,
asetosal atau alkohol
3. Tuli mendadak
4. Aplasia (Kongenital)
5. Pajanan Bising
II. Penurunan fungsi pendengaran neural (RetroKoklea) bisa disebabkan oleh :
1. Tumor otak yang juga menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf di sekitarnya
dan batang otak
2. Tumor syaraf auditorium
3. Berbagai penyakit otak dan saraf
4. Beberapa penyakit keturunan
Pada anak-anak, kerusakan saraf pendengaran bisa terjadi akibat :
a. Gondongan
b. Campak Jerman (rubella)
c. Meningitis
d. Infeksi telinga dalam
Kerusakan jalur saraf pendengaran di otak bisa terjadi akibat penyakit
demielinasi (penyakit yang menyebabkan kerusakan pada selubung saraf).
III. Penderita yang mempunyai kedua bentuk kerusakan telinga diatas dinamakan
Kerusakan pendengaran tercampur – mixed hearing loss
2. Anamnesis 1. Pasien kesulitan dalam mendengarkan percakapan terutama pada daerah
sekitar berisik
2. Tinitus
3. Tidak dapat mendengarkan televisi atau radio dengan volume normal
4. Pusing
5. Dan didapati gangguan keseimbangan
3. Pemeriksaan fisik 1. Tensi Darah
2. Pemeriksaan Dengan Garputala;Rinne,Weber, dan Scwabach
84
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
85
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
TONSILEKTOMI
1. Pengertian (Definisi) Tonsilektomi adalah prosedur operasi pengangkatan tonsil yang dilakukan
dengan atau tanpa adenoidektomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat
selurh tonsil dan kapsulnya, dengan menlakukan disesksi pada ruang peritonsil
di antara kapsul tonsil dan otot dinding fossa tonsil (AAO-NHS 2011)
2. Indikasi 1. Chronic tonsillitis (ICD 10: J35.0), Hypertrophy of Tonsil (ICD 10:
J35.1), Hypertrophy of Tonsils with hypertrophy of adenoids (ICD 10:
J35.3), peritonsillar abscess (ICD 10: J36)
2. Recurrent acute tonsillitis (ICD 10: J03.91)
3. Malignant neoplasm of tonsil (ICD 10: C09.0 sampai C09.9)
4. Benign neoplasm of tonsil (ICD 10: D10.4)
5. Hodgkin lymphoma of tonsil (ICD 10: C81.0 sampa C81.9)
6. Obstructive Sleep Apnea Syndome/ Sleep Disorder Breathing (ICD 10:
G47.3)
3. Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
2. Risiko tinggi pembiusan umum
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent)
2. Ijin operasi
3. Ijin pembiusan
4. Konsul: Anestesi
5. Konsul: Kesehatan Anak/ Penyakit Dalam/ Kardiologi (atas indikasi)
6. Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan darah tepi lengkap
PT dan APTT
Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula
darah sewaktu
7. Pemeriksaan radiologi
Foto toraks
8. Puasa 6 jam sebelum operasi
86
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Antibiotik profilaksis intravena diberikan 30 menit sebelum insisi
2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi
6. Teknik operasi tonsilektomi adalah mengangkat jaringan tonsil yang secara
umum dilakukand engan insisi mukosa faring dan diseksi tonsil diikuti
dengan hemostasis mengikat pembuluh darah (Teknik operasi dapat
menggunakan cold instrument atau guillotine dissection. Teknik lain untuk
87
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
88
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
89
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
TRAKEOSTOMI
1. Pengertian (Definisi) Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada trakea bagian anterior
2. Indikasi 1. Mengatasi sumbatan jalan napas atas (acute respiratory failure) (ICD
10 : J96.0) yang dapat disebabkan oleh :
a. Infeksi saluran napas, seperti : epiglotitis akut,
laringotrakeobronkitis akut)
b. Trauma daerah kepala leher
c. Tumor jinak maupun ganas daerah faring, laring, esofagus
d. Kelainan kongenital saluran napas atas
e. Paralisis abduktor bilateral
f. Benda asing di laring
2. Mengeluarkan sekret dari saluran trakeobronkial (bronkopneumonia,
bronkiektasis, koma)
3. Menunjang pemberian napas bantuan/ventilasi mekanik (emfisema
paru, paralisis otot napas)
4. Tidak dapat dilakukan intubasi pada prosedur anestasi umum
(operasi bedah daerah kepala leher, kelumpuhan laring)
3. Kontraindikasi 1. Massa di mediastinum/toraks
2. Gangguan pembekuan darah (relatif)
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang
dapat terjadi.
2. Ijin Operasi, Ijin Pembiusan
3. Konsul :
• Anestesi : untuk intubasi atau bantuan ventilasi
• Anak : bila usia di bawah 18 tahun atas indikasi
• Penyakit Dalam : bila usia di atas 18 tahun atas
indikasi
• Kardiologi : bila usia di atas 40 tahun atas
indikasi
4. Pemeriksaan laboratorium:
• Analisa gas darah
90
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
Needle holder
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat Kamar Operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan
klinis
3. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis
5. Prosedur 1. Identifikasi
2. Sign in
3. Time out
4. Trakeostomi dapat dilakukan dengan anestesi lokal maupun
umum.
5. Posisi penderita tidur telentang, kepala hiperekstensi (punggung
diganjal bantal).
6. Desinfeksi betadin daerah operasi dan sekitarnya, lapangan
operasi dipersempit dengan doek steril (drapping)
7. Infiltrasi lidokain epinefrin di daerah operasi untuk anestesi dan
vasokonstriksi.
8. Insisi secara vertikal (atau horisontal) pada pertengahan antara
kartilago krikoid dan sternum, lapangan operasi diperlebar dengan
retraktor.
9. Insisi di garis tengah dipisahkan (diperdalam) lapis demi lapis
secara tumpul dg klem arteri, hati-hati terhadap vena jugularis
anterior, arteri tiroidea ima, kelenjar tiroid (ismus tiroid dapat
diklem dipotong selanjutnya diligasi/kauter atau disisihkan ke atas
atau ke bawah).
10. Identifikasi trakea dengan punksi percobaan (bila mengenai
lumen trakea ditandai udara/bubble masuk dalam spuit yang terisi
cairan).
11. Pada anak (pediatric tracheostomy) ring trakea dijahit kanan dan
kiri pada lokasi insisi trakea
12. Trakea diinsisi pada ring kedua dan ketiga dari arah inferior ke
superior (inferior bjorg flap) atau jenis insisi lain seperti vertikal,
horizontal, superior bjorg flap dan starplasti
13. Kanul trakea diinsersikan secara gentle dan dilakukan tes
benang (bila kanul trakea masuk dalam lumen trakea, maka
benang akan bergerak dihembus oleh udara pernapasan lewat
kanul).
14. Kanul trakea difiksasi dengan mengisi balon kanul, jahitan pada
92
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
94
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
95
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
96
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
97
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
RINITIS ALERGI
1. Pengertian (Definisi) Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi dengan dilepaskan suatu mediator kimia (IgE) pada mukosa jalan nafas
hidung ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik pada pasien
atopik yang sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama sebelumnya.
2. Anamnesis Gejala-gejala mayor rinitis alergi adalah bersin, rinorea, hidung tersumbat,
serta hidung gatal dan lakrimasi.
3. Pemeriksaan fisik 1. Rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya banyak sekret yang encer.
2. Pada anak-anak dapat ditemukan tanda-tanda allergic shiner yaitu
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi kerena
statis vena sekunder akibat obstruksi hidung, allergic salute yaitu tempat
anak menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan, karena gatal
yang lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease.
4. Kriteria diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Alergi
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis Vasomotor
2. Rhinitis Medikamentosa
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah
penunjang 2. Uji Provokatif dan eliminasi
3. Uji Kulit (skin prick test)
4. Pemeriksaan Histologi
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Menghindari Alergen
2. Resiko komplikasi
3. Pengobatan
98
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
99
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
101
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
PRESBIASTASIS
1. Pengertian (Definisi) Presbiastasis merupakan terminologi untuk gangguan keseimbangan yang
merupakan hasil dari proses penuaan. Kondisi ini adalah efek dari perubahan
degenerasi.
2. Anamnesis Dengan anamnesis kita dapat mengetahui kemungkinan gangguan
keseimbangan. Penting untuk ditanyakan onset, intensitas, lamanya serangan.
Perlu ditanyakan apakah gangguan keseimbangan timbul saat perubahan
posisi tertentu. Adakah rasa tidak stabil, takut berjalan, atau bertambah buruk
pada kegelapan. Apakah disertai dengan rasa mual dan ingin muntah,
gangguan pendengaran, rasa penuh di telinga atau keluhan telinga
berdenging. Bentuk serangan perlu ditanyakan apakah ringan atau dirasakan
sangat berat, bersifat episodik atau terus menerus. Selain itu perlu ditanyakan
penyakit lain sebelumnya seperti influenza, radang pada telinga, riwayat
operasi telinga, pemakaian obat-obatan ototoksik, serta penyakit penyerta
seperti diabetes, hipertensi, gangguan vaskular lain serta riwayat trauma
kepala.
3. Pemeriksaan fisik 1. THT rutin, otopneumatoskopi.
2. Tekanan darah.
3. Pemeriksaan fungsi serebelum, terdiri dari dua pemeriksaan yaitu:
- Past pointing test, yaitu dengan merentangkan tangan kemudian
diangkat tinggi dan telunjuk menyentuh telunjuk dengan mata tertutup.
- Tes jari hidung, yaitu dalam posisi duduk pasien diminta menunjuk
hidung dengan jari pada keadaan mata terbuka dan tertutup.
4. Tes proprioseptif, terdiri dari dua pemeriksaan yaitu:
- Tes Romberg, dilakukan dengan cara berdiri tegak dengan kaki rapat
mata terbuka kemudian mata tertutup. Dapat dipertajam dengan
memposisikan kaki tandem depan belakang, lengan dilipat di dada, mata
tertutup. Pada orang normal posisi ini dapat dilakukan dengan baik lebih
dari 30 detik.
- Stepping test, berjalan 50 langkah ditempat, bila terdapat perubahan
posisi melebihi 1 meter dan badan berputar lebih dari 30° berarti sudah
mengalami gangguan keseimbangan.
5. Pemeriksaan Neurotologi, terdiri dari pemeriksaan adanya nistagmus,
pemeriksaan saraf kranial N III, IV, VI, VII, IX.
4. Kriteria diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan.
5. Diagnosis Kerja BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium darah.
penunjang - Darah rutin
102
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
- Lipid darah
- Gula darah
- Kekentalan darah/koagulasi
- Agregasi trombosit
2. Audiometri Nada Murni
3. Audiometri Tutur
4. Tes Nistagmus Posisi dan Kalori dengan Elektronistagmografi
5. Posturografi.
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Terapi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Melakukan sendiri, cara ini dapat dilakukan pada pasien yang tidak
memerlukan pengawasan atau pada pasien yang tidak dalam serangan
akut. Hasil terbaik bisa didapatkan bila latihan dilakukan 20-30 menit tiap
sesi sebanyak 2 sampai 3 kali setiap hari. Beberapa pasien mengalami
perbaikan atau berkurang gejala setelah 3-4 minggu terapi.
2. Rehabilitasi Vestibular, program ini dirancang untuk pasien dengan
serangan akut atau pengawasan selama latihan dilakukan. Biasanya terapi
ini menggunakan beberapa alat bantu latihan dengan frekwensi 1 atau 2
kali seminggu selama 60 menit tiap sesi dan dilakukan sebanyak 8 sampai
10 sesi. Latihan ini juga bertujuan untuk mencegah jatuh pada pasien usia
lanjut.
3. Pelatihan Keseimbangan, terapi ini dirangcang untuk pasien dengan
gangguan keseimbangan ringan, kebanyakan dari mereka tidak
mengeluhkan adanya vertigo. Prioritas utama dari program ini adalah
mencegah jatuh, melatih koordinasi gerakan, dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari.
4. Reposisi / Desensitisasi, terapi ini dikhususkan untuk pasien VPPJ.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah beberapa tindakan terapi
dapat memicu serangan dan dirasakan makin memburuk dalam 1 atau 2
minggu terapi. Kita perlu menginformasikan dan memotifasi pasien agar
program terapi dapat berjalan seperti yang diharapkan. Memberikan
edukasi dan informasi kepada keluarga pasien serta melibatkannya dalam
program akan memberikan hasil yang lebih baik.
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
103
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
17. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
PRESBIKUSIS
104
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
1. Pengertian (Definisi) Tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses penuaan organ pendengaran
yang terjadi secara berangsur-angsur dan simetris pada kedua sisi telinga
2. Anamnesis Penurunan pendengaran dengalama semakin lama munurun pada kedua
telinga karena proses ketuaan
3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan THT dalam batas normal
4. Kriteria diagnosis Penurunan pendengaran dengalama semakin lama munurun pada kedua
telinga karena proses ketuaan
5. Diagnosis Kerja Presbikusis
6. Diagnosis banding Noice induce hearing loss
Ototoksik hearing loss
Presbatasis
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium darah.
penunjang - Darah rutin
- Lipid darah
- Gula darah
- Kekentalan darah/koagulasi
- Agregasi trombosit
2. Audiometri Nada Murni
3. Audiometri Tutur
4. Tes Nistagmus Posisi dan Kalori dengan Elektronistagmografi
5. Posturografi.
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
17. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
3. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis sesuai
tingkat kompetensi pendidikannya
3. Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
4. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.
Prosedur:
1. Antibiotik profilaksis intravena diberikan 30 menit sebelum operasi
2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi
6. Posisikan pasien, letakkan bantal dibawah bahu agar posisi leher dapat
ekstensi maksimal.
7. Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic daerah operasi
8. Dilakukan pemasangan duk steril
9. Jarak antara tepi rongga hidung ke sudut nasofrontal diukur, kemudian
107
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
ABSES SEPTUM
109
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
1. Pengertian (Definisi) Kumpulan pus yang terdapat diantara tulang rawan atau tulang paraseptum
nasi.
2. Anamnesis Hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa nyeri yang hebat terutama
terasa di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala.
3. Pemeriksaan fisik 1. Inspeksi : Tampak hidung bagian luar ( apeks nasi ) yang hiperemi, oedem,
dan kulit yang mengkilat.
2. Palpasi : Didapatkan nyeri pada sentuhan
3. Rhinoskopi anterior : Tampak tumor pada septum nasi berwarna merah
keabu – abuan , pada sentuhan terasa lunak, dengan pemberian kapas yang
dibasahi dengan solution tetrakain efedrin 1% tidak mengempis.
4. Pungsi dan aspirasi : Tindakan ini berguna untuk membantu menegakkan
diagnosis, pemeriksaan kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan
dalam abses dan mencegah terjadinya infeksi intrakranial.
4. Kriteria diagnosis Tampak tumor pada septum nasi berwarna merah keabu – abuan , pada
sentuhan terasa lunak, dengan pemberian kapas yang dibasahi dengan solution
tetrakain efedrin 1% tidak mengempis.
5. Diagnosis Kerja Abses Septum
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis kronis
2. Rhinitis alergi
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan 1. Pungsi dan aspirasi
penunjang 2. Tindakan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis,
pemeriksaan kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan dalam abses
dan mencegah terjadinya infeksi intrakranial.
8. Tatalaksana Pungsi dan Aspirasi
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang dapat timbul
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat A
rekomendasi
110
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
maupun benda mati, bisa dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
2. Anamnesis Hidung tersumbat tiba – tiba biasanya unilateral, anosmia, ataupun hiposmia,
setelah lebih dari 2 – 3 hari sekret mukous, mukopurulent, kadang – kadang
berbau. Dan pada yang organik dirasakan ada yang bergerak – gerak di dalam
rongga hidung, hidung makin hari semakin tersumbat.
3. Pemeriksaan fisik Dengan rhinoskopi anterior : didapatkan benda asing
4. Kriteria diagnosis 1. Mirip sinsitis akut, sekret mukopurulen, unilateral, bau busuk.
2. Obstruksi hidung seringkali total pada sisi yang kena.
5. Diagnosis Kerja Benda Asing di Hidung
6. Diagnosis banding Benda Asing di Hidung
7. Pemeriksaan 1. Rhinoskopi anterior
penunjang 2. Nasoendoskopi
8. Tatalaksana Ekstraksi benda asing di hidung
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Pengawasan pada anak-anak agar tidak memasukkan benda asing ke
hidung lagi
2. Tidak mengkorek-korek hidung
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Benda asing di hidung teratasi
17. Kepustakaan 4. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth edition,
Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
5. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
6. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003
EPISTAKSIS ANTERIOR
1. Pengertian (Definisi) Terjadinya suatu perdarahan dari dalam hidung bagian anterior. Kebanyakan
berasal dari pleksus kieselbach dari septum anrterior dan arteri ethmoidalis
112
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
anterior.
2. Anamnesis Perdarahan yang terjadi pada septum anterior biasanya ringan, berulang dan
dapat berhenti sendiri. Terdapat riwayat mengorek hidung pada anak.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior :
1. Perdarahan di bagian hidung anterior
2. Tampak sumber perdarahan di 1/3 latera hidung anterior
4. Kriteria diagnosis Perdarahan yang terjadi pada septum anterior biasanya ringan, berulang dan
dapat berhenti sendiri. Terdapat riwayat mengorek hidung pada anak.
5. Diagnosis Kerja Epistaksis Anterior
6. Diagnosis banding 4. Septum Deviasi
5. Penyakit kelainan darah
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, X-Ray Sinus paranasal, kalau perlu CT-Scan
penunjang kepala.
8. Tatalaksana Tampon anterior Hidung
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Tidak mengorek korek hidung.
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Epistaksis Teratasi
17. Kepustakaan 7. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
8. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003
EPISTAKSIS POSTERIOR
1. Pengertian (Definisi) Terjadinya suatu perdarahan dari dalam hidung bagian posterior biasanya
berasal dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri sphenopalatina.
113
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
2. Anamnesis Perdarahan yang terjadi dapat lebih hebat dan jarang berhenti sendiri. Swering
ditemukan pada pernderita hipertensi, srteriosklerosis, atau pasien dengan
kardiovaskuler karena pecahnya arteri sphenopalatina.
3. Pemeriksaan fisik 1. Rhinoskopi anterior tampak darah keluar dari cavum nasi.
2. Tidak tampak bleeding point pada 1/3 anterior
4. Kriteria diagnosis Perdarahan yang terjadi dapat lebih hebat dan jarang berhenti sendiri. Swering
ditemukan pada pernderita hipertensi, srteriosklerosis, atau pasien dengan
kardiovaskuler karena pecahnya arteri sphenopalatina.
5. Diagnosis Kerja Epistaksis Posterior
6. Diagnosis banding 1. Epistaksis Anterior
2. Septum deviasi
3. Keganasan
4. Penyakit kelainan darah
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, X-Ray Sinus paranasal, kalau perlu CT-Scan
penunjang kepala.
8. Tatalaksana Tampon Belloq
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Kumur kumur es batu
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Epistaksis teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology,
Fifth edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p:
612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical
Publishers, Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery,
International edition, Mc. Graw-Hill, 2003
Inverted Papiloma
1. Pengertian (Definisi) merupakan lesi jinak hidung dan sinus paranasal
2. Anamnesis Sumbatan hidung unilateral atau bilateral, rasa nyeri kepala atau sekitar mata,
114
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
2. Endoscopic approaches
Beberapa keunggulan nya adalah menurunkan tingkat morbiditas, mengurangi
resiko perdarahan masif, mengurangi bekas luka operasi oleh karena insisi
kulit, visualisasi lebih baik, dan dapat digunakan sebagai proses pembelajara
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Tidak mengorek-korek hidung.
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
115
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Inverted Papiloma teratasi
17. Kepustakaan 1. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p:
612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003
RHINITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Radang akut pada membran mukosa hidung yang diikuti dengan gangguan
fungsi hidung yang berakibat gangguan pernafasan, fungsi proteksi,
pelembaban udara yang dihirup, dan penciuman yang biasanya disebabkan
oleh virus, yang paling sering adalah Rhinovirus, virus lainnya adalah
116
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
RHINITIS ATROFI
1. Pengertian (Definisi) Infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan
tulang konka. Mukosa hidung terdapat sekret yang kental dan cepat mengering
sehingga terdapat krusta yang berbau busuk.
2. Anamnesis Gejala klinik : Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang
117
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala
dan hidung merasa tersumbat.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media
menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang berwarna
hijau.
4. Kriteria diagnosis Anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Atrofi
6. Diagnosis banding 1. Rhinosinusitis Kronis
2. Rhinitis Vasomotor
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media,
penunjang pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer
atau CT Scan sinus paranasal.
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Minum obat teratur
2. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Rhinitis Atrofi teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003
RHINITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Radang kronis pada mukosa hidung yang disebabkan oleh proses alergi dan
non alergi.
2. Anamnesis Sumbatan hidung, sekret biasanya banyak dan mukopurulen, mulut kering,
nyeri kepala, gangguan tidur.
118
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : edem mukosa hidung, konka berwarna hipertrofi
terutama konka inferior, permukaan berbenjol-benjol, sekret mukopurulen
dapat ditemukan diantara konka inferior dan septum, dan juga didasar rongga
hidung
4. Kriteria diagnosis 1. Sumbatan hidung.
2. Sekret biasanya banyak dan mukopurulen.
3. Mulut kering.
4. Nyeri kepala.
5. Gangguan tidur
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Kronis
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis atrofi
2. Rhinitis alergi
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, Foto rontgen SPN, CT Scan Sinus Paranasal
penunjang
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Minum obat teratur
2. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Rhinitis Kronis teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003
RHINITIS VASOMOTOR
1. Pengertian (Definisi) Terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh
bertambahnya aktifitas parasimpatis. Bertambahnya aktivitas vasomotor ini
dipengaruhi oleh emosi, posisi tubuh, kelembapan udara, perubahan suhu luar,
latihan jasmani, dll.
119
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
2. Anamnesis Gejala klinik : hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan tergantung pada
posisi pasien, rinore yang mukus atau serus. Gejala tersebut dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, asap rokok.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : edem mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau
merah tua, rongga hidung terdapat sedikit sekret mukoid.
Tes kulit negatif.
4. Kriteria diagnosis Gejala klinik : hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan tergantung pada
posisi pasien, rinore yang mukus atau serus. Gejala tersebut dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, asap rokok.
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Vasomotor
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis alergi
2. Rhinitis akut
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, Foto rontgen SPN, CT Scan Sinus Paranasal
penunjang
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 3. Menghindari penyebab
4. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Rhinitis Vasomotor teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82l edition,
RHINOSINUSITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Adalah radang akut mukosa sinus paranasal sesuai anatomi sinus yang terkena
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusitis sfenoid.
2. Anamnesis Gejala demam, rasa lesu, ingus kental kadang-kadang bau, lendir mengalir ke
nasofaring, hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena kurang
120
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
17. Kepustakaan 1. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth edition,
Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003
RHINOSINUSITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Adalah radang mukosa sinus paranasal sesuai anatomi sinus yang terkena
dengan lama gejala lebih dari 12 minggu. dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
2. Anamnesis Gejala demam, rasa lesu, ingus kental kadang-kadang bau, lendir mengalir ke
nasofaring, hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena. Gejala
sinusitis maksilaris terutama dirasakan pagi bangun tidur. Gejala pipi penuh/
122
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
sakit dirasakan semakin berat pada siang hari. Sedang sinusitis ethmoidalis
justru sebaliknya. Semakin siang dirasakan gejala semakin mengurang. Pada
sinusitis maksilaris gejala juga timbul kalau letak kepala menunduk, karena
muara sinus maksilaris saat menunduk berada dibawah.
3. Pemeriksaan fisik 1. Rhinoskopi anterior : mukosa konka hiperemis dan edem
2. Rhinoskopi posterior : tampak post nasal drip
3. Profokasi tes positip pada meatus medius.
4. Pemeriksaan rontgenologis : dengan posisi waters, PA dan lateral akan
tampak pengkabutan pada sinus yang mengalami peradangan atau air fluid
level pada sinus yang sakit.
5. CT Scan SPN.
6. Konsultasi dengan SMF gigi Mulut. Infeksi gigi atas pada sinus yang
bersangkutan dapat menyebabkan sinusitis maksilaris (10%)
4. Kriteria diagnosis Berdasarkan anamnesis : gejala demam, rasa lesu, ingus kental kadang-kadang
bau, lendir mengalir ke nasofaring, hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah
sinus yang terkena. Gejala sinusitis maksilaris terutama dirasakan pagi bangun
tidur. Gejala pipi penuh/ sakit dirasakan semakin berat pada siang hari. Sedang
sinusitis ethmoidalis justru sebaliknya. Semakin siang dirasakan gejala
semakin mengurang. Pada sinusitis maksilaris gejala juga timbul kalau letak
kepala menunduk, karena muara sinus maksilaris saat menunduk berada
dibawah.
5. Diagnosis Kerja Rhinosinusitis kronis
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis kronis
2. Rhinitis alergi
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, Foto rontgen SPN, CT Scan SPN
penunjang
8. Tatalaksana Non medikamentosa , medikamentosa dan operatif
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Menghindari penyebab
2. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Rhinosinusitis Kronis teratasi
123
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
17. Kepustakaan 1. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth edition,
Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003
SEPTUM DEVIASI
1. Pengertian (Definisi) Suatu pembengkokan septum yang banyak terjadi,dan pada derajat tertentu
dapat menimbulkan gangguan berupa obstruksi hidung.
2. Anamnesis Sumbatan hidung unilateral atau bilateral, rasa nyeri kepala atau sekitar mata,
penciuman terganggu, dapat terjadi sinusitis.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : bentuk deformitas septum :
1. Deviasi bentuk C atau S
124
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
2. Dislokasi yaitu bagian bawah kartilago septum keluar dari krista maksila
dan masuk ke dalam rongga hidung
3. Penonjolan tulang atau tulang rawan septum bila memanjang dari depan ke
belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina
4. Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka
dihadapannya disebut sinekia
4. Kriteria diagnosis Sumbatan hidung unilateral atau bilateral, rasa nyeri kepala atau sekitar mata,
penciuman terganggu, dapat terjadi sinusitis.
5. Diagnosis Kerja Septum Deviasi
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis alergi
2. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan 1. Nasoendoskopi
penunjang 2. MSCT Sinus Paranasal
8. Tatalaksana Septum reseksi
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Tidak mengorek-korek hidung.
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Septum deviasi teratasi
17. Kepustakaan 1. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth edition,
Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003
125
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
2. Bising di telinga
3. Keluar cairan dari telinga
4. Kurang dengar hingga tidak dapat mendengar
5. Sering menarik-narik daun telinga
6. Sering meminta mengulangi kata yang telah diucapkan
7. Sering salah mendengar instruksi yang diperintahkan
8. Sering mengisolasi diri
9. Berbicara terlalu keras atau lemah
10. Gangguan berbicara
3. Pemeriksaan fisik 1. Pemeriksaan THT
2. Pemeriksaan timpanometri
3. Pemeriksaan audiometri
4. Kriteria diagnosis 5. Bila hasil pemeriksaan anak menunjukan respons < atau sama dengan 40 db
(pada frekuensi 500,1000,2000, 4000 Hz berarti : Lulus skrining (PASS)
6. Bila hasil pemeriksaan anak menunjukan respons > 40 db pada frekuensi
500,1000,2000, 4000 Hz berarti : tidak Lulus skrining (REFER)
7. Bila hasil pemeriksaan anak menunjukan respons > 40 db pada frekuensi 500
Hz , sedangkan respons < atau sama dengan 40 db (1000,2000, 4000 Hz) maka
lihat batas bising lingkungan
5. Diagnosis Kerja Gangguan pendengaran.
6. Diagnosis banding Neuropati auditori, ADHD, Autism, CAPD, Afasia, Retardasi mental,
disleksia, gangguan komunikasi lainnya
7. Pemeriksaan 7. Timpanometri
penunjang 8. Audiometri
9. OAE
8. Tatalaksana 1. Tentukan usia sesuai maturasi yang tepat (prematur/ cukup bulan/usia
koreksi)
2. Penilaian perkembangan mendengar dan wicara serta perkembangan
motoric
3. Evaluasi faktor risiko ketulian, termasuk kemungkinan adanya sindroma
yang berhubungan dengan ketulian
4. Konsul dokter spesialis anak (tumbuh kembang), neurologi anak
5. Bila diperlukan konsul dokter spesialis mata, jantung, dan
psikolog/psikiatri anak
6. Pemeriksaan genetik jika diperlukan
7. Habilitasi dengan Alat Bantu Dengar (ABD) dan Implan koklea
8. Terapi wicara
9. Terapi Mendengar
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
126
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
127
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
(delayed speech), tidak memberi respons saat dipanggil atau ada suara/bunyi.
Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidak sesuai dengan
usia anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu dengan isyarat.
3. Pemeriksaan fisik 4. Pemeriksaan THT
5. Pemeriksaan timpanometri
6. Pemeriksaan audiometri
4. Kriteria diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT, pemeriksaan
pendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaan
perkembangan motorik, kemampuan berbicara serta psikologis.
- Tuli sebagian (hearing impaired) yaitu penurunan fungsí pendengaran
tetapi masih bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar;
- Tuli total (deaf) adalah gangguan fungsí pendengaran yang sedemikian
terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat
pengerasan bunyi.
5. Diagnosis Kerja Gangguan pendengaran.
6. Diagnosis banding Neuropati auditori, ADHD, Autism, CAPD, Afasia, Retardasi mental,
disleksia, gangguan komunikasi lainnya
7. Pemeriksaan 10. Timpanometri.
penunjang 11. OAE
12. BERA
8. Tatalaksana 1. Tentukan usia sesuai maturasi yang tepat (prematur/ cukup bulan/usia
koreksi)
2. Penilaian perkembangan mendengar dan wicara serta perkembangan
motoric
3. Evaluasi faktor risiko ketulian, termasuk kemungkinan adanya sindroma
yang berhubungan dengan ketulian
4. Konsul dokter spesialis anak (tumbuh kembang), neurologi anak
5. Bila diperlukan konsul dokter spesialis mata, jantung, dan
psikolog/psikiatri anak
6. Pemeriksaan genetik jika diperlukan
7. Habilitasi dengan Alat Bantu Dengar (ABD) dan Implan koklea
8. Terapi wicara
9. Terapi Mendengar
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
10. Edukasi 6. Penggunaan Alat Bantu Dengar yang sesuai
7. Menjaga kebersihan telinga
11. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
129
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
130
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
13. Tingkat
rekomendasi
14. Penelaah kritis 9. dr. Aulia Hervi Anggraini, Sp.THT-KL., MARS
10. dr. Satrio Wishnu Pratomo, B.Med.Sc., Sp.THT-KL
11. dr. Febri Arianto Bayu Laksmono, Sp. THT-KL
12. dr. Aldityas Eko Wibawanto, Sp.THT-KL
15. Indikator medis Pasien Sembuh
16. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
PRESBIKUSIS
ICD :
1. Pengertian (Definisi) Tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses penuaan organ
pendengaran yang terjadi secara berangsur-angsur dan simetris pada
kedua sisi telinga
132
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
133
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur
1.Modul THT-KL
16. Kepustakaan
2.Guideline Penyakit THT di Indonesia
134