Anda di halaman 1dari 134

PANDUAN PRAKTEK KLINIS

SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN


No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

OTITIS EKSTERNA
Pengertian OE adalah peradangan dari kulit liang telinga.
1.
(Definisi)
1. Nyeri telinga
2. Anamnesis
2. Riwayat mengorek-ngorek telinga
1. Pasien duduk di kursi pemeriksaan THT
2. Pemeriksaan otoskopi dapat dilakukan secara sederhana menggunakan
3. Pemeriksaan fisik lampu kepala dan corong telinga atau otoskop, tetapi dapat juga
menggunakan peralatan yang lebih canggih, sehingga akan lebih teliti
seperti pemeriksaan dengan mikroskop atau endoskopi
1. OE Sirkumskripta (Furunkulosis) :
Tanda : terdapat furunkel pada liang telinga, hiperemis, tarikan pada
telinga dan penekanan pada tragus akan menyebabkan nyeri yang hebat.
4. Kriteria diagnosis
2. OE Difusa
Tanda : terdapat furunkel pada liang telinga, hiperemis, tarikan pada
telinga dan penekanan pada tragus akan menyebabkan nyeri yang hebat.
5. Diagnosis Kerja Otitis Eksterna
6. Diagnosis banding
Pemeriksaan Kultur kuman dan sensitivitas antibiotik (bila perlu)
7.
penunjang
8. Tatalaksana
11. Edukasi Tidak boleh mengorek- ngorek telinga
Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
15. Indikator medis Pasien sembuh
16. Kepustakaan  Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat
Disease, Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994,
p. 71-5.
 Figueiredo RR, Azevedo AA, Kós AO, Tomita S. Complications of ent
foreign bodies: a retrospective study. Braz J Otorhinolaryngol. Jan-Feb
2008;74(1):7-15.
 Jung T.T.K, Jinn T.H. Disease of The External Ear. In Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. Ontario: BC
Decker Inc; 2003. p. 234-5.
 Kroon D.F, Strasnick B. Disease of the Auricle, External Auditory Canal,
and Tympanic Membrane. In Glasscock Shambaugh Surgery Of The Ear

1
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

5th Edition. Ontario : BC Decker Inc;2003. p.351-2.


 5. Lee .K.J. Noninfectious disorders of the ear. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery 9th Edition. Elseiver Science Publishers, 2008, p.
345

2
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

ABSES PARAFARING
1. Pengertian Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
(Definisi) parafaring akibat komplikasi infeksi di daerah tonsil dan sekitarnya.
2.  Nyeri tenggorok, nyeri menelan
 Nyeri alih pada telinga
 Kesulitan menelan oleh karena sakit
Anamnesis
 Demam
 Tinitus
 Hipersalivasi, mulut berbau, suara sengau
3. Terdapat nanah pada ruang sebelah lateral tonsila palatina, bila sulit
Pemeriksaan fisik
dideteksi perlu ro photo dengan soft tissue tehnik.
4. Anamnesis terdapat benjolan dengan flukstuasi di daerah dinding lateral
Kriteria diagnosis
faring, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Abses Parafaring
6. Diagnosis banding Abses Retrofaring
7. Pemeriksaan 1. Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
penunjang 2. Kultur dan Sensitivitas Antibiotik
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Prognosis
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam

13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV


Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

3
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

ABSES PERITONSIL
Abses peritonsil adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
Pengertian
1. disekitar tonsila palatina akibat komplikasi infeksi di daerah tonsil dan
(Definisi)
sekitarnya.
 Nyeri tenggorok, nyeri menelan
 Nyeri alih pada telinga
 Kesulitan menelan oleh karena sakit
2. Anamnesis
 Demam
 Tinitus
 Hipersalivasi, mulut berbau, suara sengau
1. Tonsila palatina membengkak, nanah terdapat pada ruang atau tonsila
palatine, uvula terdorong ke kontra lateral
3. Pemeriksaan fisik
2. Palatum molesis yang terlihat bengkak, hiperemis, fluktuasi
3. Tonsil uvula terdorong ke media
Anamnesis terdapat benjolan dengan flukstuasi di daerah pillar tonsil
4. Kriteria diagnosis anteroposterior, fossa piriformis inferior dan palatum superior, pemeriksaan
penunjang
5. Diagnosis Kerja Abses Peritonsil
6. Diagnosis banding Karsinoma Tonsil
Pemeriksaan 3. Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
7.
penunjang 4. Kultur dan Sensitivitas Antibiotik
8. Tatalaksana -
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14. -
rekomendasi
16. Indikator medis -
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
17. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
4
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

ABSES RETROFARING
Pengertian Abses retrofaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
1.
(Definisi) retrofaring akibat komplikasi infeksi di daerah tonsil dan sekitarnya.
 Nyeri tenggorok, nyeri menelan
 Nyeri alih pada telinga
 Kesulitan menelan oleh karena sakit
2. Anamnesis
 Demam
 Tinitus
 Hipersalivasi, mulut berbau, suara sengau
3. Pemeriksaan fisik Nanah terdapat di ruang belakang dinding faring
Anamnesis terdapat benjolan dengan flukstuasi di daerah dinding belakang
4. Kriteria diagnosis
faring, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Abses Retrofaring
6. Diagnosis banding Abses Parafaring
Pemeriksaan 5. Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
7.
penunjang 6. Kultur dan Sensitivitas Antibiotik
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam

13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV


Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi

5
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

ABSES SEPTUM
1. Pengertian (Definisi) Abses septum nasi (selanjutnya disebut abses septum) adalah kumpulan pus
dalam suatu ruang antara septum nasi (baik komponen tulang dan atau
kartilago) dan mukoperikondrium dan atau mukoperiosteum.
Abses septum didahului oleh hematoma septum yang terinfeksi dan
menimbulkan terbentuknya abses. Berdasarkan klasifikasi Beck, abses septum
berdasarkan etiologinya dibagi menjadi abses septum primer (karena trauma
hidung), sekunder (karena infeksi sinonasal dan gigi) dan spontan (idiopatik).
2. Anamnesis  Obstruksi nasi progresif (umumnya bilateral) lebih dari 1 minggu
 Nyeri progresif dorsum nasi/ dalam kavum nasi
 Gejala lain: Demam tinggi, secret mukopurulen, nyeri kepala, malaise,
epistaksis, pembengkakan, nyeri tekan nasus eksternus.
3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan nasus eksternus dan rhinoskopi anterior.
Pemeriksaan rhinoskopi anterior:
 Pembengkakan septum berat, mukosa tampak kemerahan, fluktuatif
(sering pada septum anterior dan bilateral)
4. Kriteria diagnosis 1. Sesuai dengan kriteria anamnesis
2. Sesuai dengan kriteria pemeriksaan fisik
3. Sesuai dengan kriteria pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Abses septum
6. Diagnosis banding Hematoma septum
7. Pemeriksaan 1. Endoskopi hidung jika abses di septum posterior (lebih jarang).
penunjang 2. Pungsi dan aspirasi
 Tindakan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis,
pemeriksaan kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan dalam
abses dan mencegah terjadinya infeksi intrakranial.
3. CT-Scan tidak rutin dilakukan:
 Irisan aksial dengan kontras
 Indikasi: sumber penyebab tidak jelas dan untuk mengetahui
komplikasi thrombosis sinus kavernosus, abses otak, dan komplikasi

6
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

orbita
8. Tatalaksana* 1. Tatalaksana non-bedah:
 Rawat inap: Berikan antibiotika spektrum luas dan terapi simtomatik
 Antibiotika empirik: amoksisilin-asam klavulanat, penisilin,
kloksasilin dan sefuroksim
 Antibiotika sesuai kultur (jika antibiotika empirik tidak menunjukkan
perbaikan)
 Metronidazol diberikan pada abses akibat infeksi gigi
2. Tatalaksana bedah:
 Abses septum harus dilakukan insisi-drainase
 Pada abses septum unilateral diinsisi pada daerah abses
 Pada abses septum bilateral dan kartilago lunak diinsisi pada kedua
sisi dengan level berbeda untuk menghindari perforasi septum
Bentuk insisi: insisi Killian, L-shape
 Langkah-langkah tindakan insisi-drainase abses septum dengan
pembiusan umum sebagai berikut:
1) Posisi penderita telentang,
2) Desinfeksi alkohol 70% daerah hidung dan sekitarnya, lapangan
operasi dipersempit dengan linen steril,
3) Dekongesti kavum nasi dengan kapas/kasa yang dibasahi
oksimetazolin 0,5%,
4) Insisi Killian (vertikal) di satu sisi abses dengan pisau no.15 atau 11,
5) Aspirasi pus untuk pemeriksaan mikrobiologi,
6) Evaluasi kartilago septum, jika intak dan abses septum bilateral,
maka perlu dibuat insisi kontralateral tidak satu level,
7) Pus dan jaringan lunak dan kartilago nekrotik dibersihkan,
selanjutnya dicuci dengan larutan garam fisiologis,
8) Pemasangan Penrose drain selama 2-3 hari,
9) Tampon ringan kedua kavum nasi selama 2-3 hari.
 Rekonstruksi septum
o Sedini mungkin, terutama pada anak
o Untuk mencegah deformitas wajah dan disfungsi nasal
o Dapat dikerjakan segera setelah drainase abses sebagai tindakan
primer atau setelah resolusi dari infeksi sebagai tindakan
sekunder.
9. Kepustakaan 1. Alshaikh N, Lo S. Nasal septal abscess in children: From diagnosis to
management and prevention. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology 2011;75:737-44.
2. Huang YC, Hung PL, Lin HC. Nasal septal abscess in an immunocompetent
7
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

child. Pediatric and Neonatology 2012;53:213-5.


3. Nwosu JN, Nnadede PC. Nasalseptal hematoma/abscess: management and
outcome in a tertiary hospital of a developing country. Patient Preference and
Adherence 2015;9:1017-21.
4. Huizing EH, de Groot JAM. Functional reconstructive nasal surgery.
Stuttgart: Georg Thieme Verlag 2003; 175-9.
5. Hansen JT, Netter FH. Netter’s clinical anatomy. Philadelphia: Saunders
Elsevier, 2010,pp.395,398-9.

ANGINA LUDWIG
1 Pengertian (Definisi) Yaitu infeksi ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon yang progresif
. dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras pada perabaan sub
mandibula.

2 Anamnesis Adanya pembengkakan besar di bawah rahang bawah


. Jika lokasinya di dasar mulut :
- lidah terangkat
- trismus
- lnn regional membengkak dan sakit
- mulut/ bibir terbuka
- air ludah sering mengalir keluar
- kepala cenderung tertarik ke belakang
- Demam
3 Pemeriksaan fisik - melibatkan bilateral space
. - gangren serosanguis, infiltrasi pus sedikit/ tidak ada melibatkan jaringan ikat,
fascia, dan muskulus tetapi tidak melibatkan glandula penyebaran melalui fascia
lebih sering daripada melalui sistem limfatik
- adanya pembengkakan besar
- tenderness (+)
- konsistensi keras seperti papan (woody)
- kulit mengkilap, merah, panas/ hangat
4 Kriteria diagnosis Adanya fokal infeksi terutama odontogenik
.
5 Diagnosis Kerja Angina Ludwig
.
6 Diagnosis banding Abses Submandibula
8
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

. Abses Retrofaring
7 Pemeriksaan 7. Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
. penunjang 8. Kultur dan Sensitivitas Antibiotik
8 Tatalaksana
.
9 Kompetensi
Dokter Spesialis THT-KL
.
1 Edukasi
1
.
1 Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
2 Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
. Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
1
3 Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
.
1
Tingkat
4
rekomendasi
.
1 Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
7 Modul THT-KL
. Guideline Penyakit THT di Indonesia

9
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

BENDA ASING TENGGOROK


1. Pengertian (Definisi) Masuknya benda asing di jalan nafas, baik sengaja maupun tidak, bila
menutup seluruh jalan nafas dapat berakibat fatal.
2. Anamnesis Nyeri tenggorok, nyeri menelan
Batuk-batuk
Kesulitan menelan oleh karena sakit
Tersedak
Penurunan Kesadaran
Henti Nafas
3. Pemeriksaan fisik Tampak benda asing di tenggorokan.
Suara stridor inspirasi
4. Kriteria diagnosis Anamnesis terdapat benda asing di tenggorokan, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Benda asing di tenggorokan
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Ro Cervical AP/Lat soft Tissue
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis

10
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

17. Kepustakaan 1.Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi


2.Modul THT-KL
3.Guideline Penyakit THT di Indonesia

BIOPSI LESI JINAK RONGGA HIDUNG)


1 Pengertian (Definisi) Biopsi lesi jinak rongga hidung adalah suatu tindakan diagnostik untuk
. menegakkan diagnosis lesi di rongga hidung ini bersifat jinak atau tidak. Lesi
jinak rongga hidung adalah suatu istilah untuk pertumbuhan suatu masa
didalam rongga hidung dan sinus paranasal yang berdasarkan histologinya
diklasifikasikan sebagai neoplasma jinak. Pertumbuhan yang ditandai dengan
ekspansi lokal ini dapat menyebabkan pendesakan pada struktur-struktur
penting disekitar hidung dan sinus paranasal seperti orbita, otak dan dasar
tengkorak (Carrau, 2001; Kennedy et al, 2012; Nepal, 2014).
2 Indikasi  Lesi jinak rongga hidung berdasarkan histologinya antara lain :
. 1. Epitelial terdiri dari :
- Papiloma inverted
- Papiloma keratotik
- Papiloma fungiformis
- Papiloma silindrikal
- Adenoma
2. Mesenkimal terdiri dari :
- Fibroma
- Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma
- Osteoma
- Chondroma
3. Neural terdiri dari :
- Schwanoma
- Neurofibroma
- Meningioma
11
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

4. Fibrousosseous terdiri dari


- Fibrous displasia
- Ossifying fibroma
- Giant cell tumor
- Giant cell granuloma
-Aneurysma bone cyst
5. Vaskular terdiri dari :
- Hemangioma
- Hemangioperisitoma
- Pyogenic granuloma
6. Odontogenik terdiri dari :
- Ameloblastoma
- Adamantinoma
- Kista tulang
 Lesi sistemik rongga hidung berdasarkan histologinya antara lain :
- Sarkoidosis
- Langerhans cell histiocytosis
- Lethal Midline Granuloma (maligna)
- Churg-Strauss Syndrome
- Wagener Granulomatosis
- Aspirin –Exacerbated Respiratory Disease (Samter Triad)
3 Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
. 2. Kelainan sistemik seperti hipertensi
4 Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
. A. Pasien
1. Penjelasan biopsi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent).
2. Konsul: Kesehatan Anak/ Penyakit Dalam/ Kardiologi (atas indikasi).
3. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula
darah sewaktu.
4. Pemeriksaan radiologi
 Foto toraks PA
 CT Scan sinus paranasal tanpa kontras

B. Bahan dan Alat


1. Bahan
12
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Larutan Betadine 100 ml


 Lidocain dan adrenalin ampul (4:1)
 Spuit dysposable 5 cc
 Vaselin atau cathy gel
 Tampon gulung
 Salep antibiotik
 Alkohol 70% 25 ml
 Kassa steril 1 pack (@5 lembar)
 Kapas steril
 Plester atau hipafik
2. Alat
 Set endoskopi dengan scope 0⁰
 Pinset bayonate
 Spekulum hidung
 Spatula lidah
 Cunam biopsy
 Suction dan kanul suction

C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis.
5 Prosedur Prosedur pemasangan tampon kapas Lidocain Adrenalin
. (4:1)
 Peganglah endoskopi dengan lensa 0 0 dengan tangan kiri,
kemudian masukkan scope lensa 00 ke nostril kanan/kiri
dengan bertumpu pada atap vestibulum agar tidak banyak
pergerakan dan mengganggu visualisasi. Dilakukan evaluasi
massa di dalam kavum nasi.
 Tangan kanan memegang pinset bayonet dan menjepit kapas
yang sdh diberikan analgesi topical lidocain: adrenalin dengan
perbandingan 4 cc lidocain : 1 cc adrenalin, kapas dimasukkan
ke dalam kavum nasi jika memungkinkan di medial dan lateral
dari massa yang tampak pada kavum nasi. Tampon dibiarkan
di dalam kavum nasi selama 10 menit.
 Setelah 10 menit tampon dikeluarkan dan kemudian dilakukan
evaluasi massa dan sumber perlekatannya.

Prosedur biopsi lesi jinak rongga hidung


 Dengan tangan kiri tetap memegang endoskop, tangan kanan
13
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

memegang cunam biopsy (forsep blaksley lurus atau upturn) ,


cunam diarahkan menembus massa dalam posisi menutup,
kemudian di dalam massa cunam dibuka dan dilakukan
penjepitan isi massa sambil diputar ke kiri atau ke kanan.
Jaringan yang diapat disimpan di dalam larutan formalin dan
dikirim ke bagian patologi anatomi.
 Asisten memegang kanul suction, apabila terdapat darah di
suction agar tidak mengganggu visualisasi.
 Dilakukan pemasangan kembali tampon kapas lidocain :
adrenalin dan dibiarkan selama 10-15 menit untuk
menghentikan perdarahan.
 Apabila darah masih tetap mengalir dan tidak berhenti setelah
diberikan tampin kapas lidocain adrenalin, dilakukan
pemasangan tampon anterior yang telah dilapisi vaselin atau
salep antibakteri ke dalam rongga hidung atau menggunakan
tampon yang dimasukkan ke dalam handscoon, dipasang
dalam kavum nasi.
 Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu waktu memasang
tampon tidak melukai kolumela dan eptum nasi karena bagian
ini sangat mudah mengalami trauma dan pemasangan tampon
tidak boleh terlalu padat.
 Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga
hidung, selanjutnya memasang kasa + plester di anterior untuk
menahan tampon supaya tidak keluar. Pada pemasangan
tampon hidung bilateral, bila perlu berilah oksigen yang telah
dihumidifikasi dan pasien harus diobservasi.
 Berilah antibiotik spektrum luas selama pemasangan tampon.
 Tampon hidung anterior dipertahankan selama 2x24 jam. Bila
setelah dilepas darah masih ada, lakukan kembali pemasangan
tampon posterior, pasang infus dan transfusi darah sesuai
indikasi.
6 Pasca Prosedur 1. Medikamentosa
. Tindakan  Antibiotika spektrum luas
 Analgetik
 Anti perdarahan
2. Evaluasi outcome :
 Tidak ada darah yang mengalir di dinding belakang posterior faring,
rembesan di tampon anterior jika dipasang tampon.
3. Diet: lunak dan dingin selama pemasangan tampon.
14
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

7 Indikator medis Biopsi lesi jinak rongga hidung tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan
. selesai dalam 30 menit.
Target:
80% biopsi lesi jinak rongga hidung tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan
selesai dalam 30 menit.
8 Kepustakaan 1. Carrau RL, Myers EN. Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinuses. In:
. Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll BP,editors. Head and Neck Surgery
– Otolaryngology. Philadhelpia: Lippicontt-Raven Pub; 2001. p.1445-68.
2. Kennedy DW, Hwang PH, David W Kennedy, Petter H Hwang. In:
Rhinology, Disease of the nose, sinuses and skull base. 1st ed, Thieme
New York Stutgart 2012 p 395-407.
3. Nepal A. Benign sinonasal masses: A Clinicopathological and
Radiological Profile. Kathmandu University University Medical Journal
2014; 11 (41):4-8.
4. Syrjanen KJ. HPV Infection in Benign and Malignant Sinonasal lesions. J
Clin Pathol 2003; 56:174-181.
5. Bakari A, Afolabi OA, Adoga AA, Kodiya AM, Ahmad BM. Clinico-
pathological profile of sinonasal masses: an experience in national ear
care center Kaduna, Nigeria. BMC Research Notes 2010; 3 (186) : 1-5.
6. Thapa N. Diagnosis and Treatment of Sinonasal Inverted Papilloma.
Nepalese Journal of ENT Head & Neck Surgery 2010; 1 (1) : 30-33.
7. Kim DY, Hong SL, Lee CH, Jin HR, Kang JM, Lee BJ, et al. Inverted
Papilloma of the Nasal Cavity and Paranasal Sinus : A Korean
Multicenter Study. The Laryngoscope 2012; 122: 487-494.
8. Baradaranfar MH, Dabirmoghaddam P. Endoscopic endonasal Surgery for
Resection of Benign Sinonasal Tumors: experience With 107 Patients.
Arch Iranian Med 2006; 9(3):244-249.
9. Joo DJ, Chhetri DK, Wang MB. How I Do It. Endoscopic Removal of
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibromas : A Video Presentation. The
Laryngoscop 2008; 118:XX: 1-3.
10. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.
Eur J Gen 2010; 7(4):419-425.
11. Nicolai P, Castelnuovo P, Villaret AB, Farina D.. The Role of Endoscopy
in the Management of Benign and Malignant Sinonasal Tumors. In:
Georgalas C, Fokkens W, editors. Rhinology and Skull Base Surgery.
Stutgatgart,New York: Thieme;2013.p.835-861.

15
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

BIOPSI NASOFARING/ EKSPLORASI NASOFARING


Pharyngeal biopsy (ICD 9CM: 29.12)
1. Pengertian (Definisi) Suatu cara pengambilan contoh jaringan di daerah nasofaring untuk
pemeriksaan patologi/ morfologi secara mikroskopis.

2. Indikasi Memperoleh gambaran histopatologis jaringan tumor di nasofaring untuk


rencana terapi dan prognosis pasien.
3. Kontraindikasi Keadaan umum tidak memungkinkan untuk dilakukan biopsi
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
D. Pasien
5. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent)
6. Ijin operasi
7. Ijin pembiusan bila dibius
8. Usia >40 tahun, dilakukan pemeriksaan EKG
9. Konsul: Anestesi/ Kesehatan Anak/ Penyakit Dalam/ Kardiologi bila
diperlukan.
10. Pemeriksaan laboratorium:
 Darah rutin
 Waktu perdarahan, waktu pembekuan
 SGOT, SGPT
 Ureum dan Creatinin darah
 Gula darah sewaktu
11. Pemeriksaan radiologi
 Foto toraks Posterior Anterior (PA)
12. Pasien dalam keadaan tidak puasa bila dilakukan bius local dan
puasa 6 jam sebelum operasi bila dilakukan bius umum.

16
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

13. Tomografi computer potongan aksial dan koronal setinggi nasofaring


sampai leher dengan kontras/ Pencitraan Resonansi Magnetik.

E. Bahan dan Alat


3. Bahan
 Tampon/kapas
 Lidokain ampul
 Efedrin/adrenalin ampul
 Kapas/tampon hidung adrenalin: lidokain = 1:4
 Botol berisi formalin 4%
 Lampu kepala
 Xylocain spray 10%
4. Alat
 Endoskopi
 Monitor
 Light source
 Lampu kepala
 Biopsy cunam
 Pinset baonet
 Suction hidung
 Nasal speculum

F. Petugas
2. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Perawat kamar operasi/ poliklinik THT-KL yang mempunyai
kewenangan klinis
4. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis (bila
dilakukan bius umum)
5. Prosedur 1. Identifikasi
2. Sign in
3. Time out
4. Pasien duduk tegak/ pasien terbaring dalam narkose umum di meja
operasi
5. Dilakukan tindakan a/antisepsis (alat steril, memakai sarung tangan dan
masker)
6. Tampon hidung dengan kapas efedrin-lidokain atau penyemprotan/ spray
dengan anestesi local xylocaine 10% mulai dari rongga hidung 1
semprotan dilanjutkan ke daerah nasofaring 2 semprotan
17
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

7. Tampon adrenalin dimasukkan ke dalam hidung, dilakukan 2 kali


masing-masing selama 5 menit. Sekret dan jaringan nekrotik yang ada
dibersihkan dengan suction
8. Denan bantuan endoskopi, cunam biopsy dimasukkan menyusuri dasar
hidung, konka media, sampai dinding belakang nasofaring diarahkan
menuju massa tumor
9. Kemudian ujung forsep digeserkan ke samping mengikuti dinding lateral
sambal ditarik ke depan perlahan-lahan. Penarikan forceps ke depan ± 1
cm di belakang koana dan ± 1 cm dari dinding posterior atau dicari
daerah Fossa Rosenmuller
10. Dilakukan pengambilan sebagian jaringan yang dicurigai
11. Jaringan tumor dimasukkan ke dalam botol berisi formalin 10%
12. Perdarahan dirawat dengan memasukkan kapas berisi cairan
vasokonstriktor
13. Bila diberikan terapi analgetik dan antibiotika profilaksis
14. Bila masih terdapat perdarahan massif, dapat dilakukan pemaangan
tampon anterior
15. Operasi selesai
16. Sign out
6. Pasca Prosedur 4. Medikamentosa
Tindakkan  Antibiotika oral: amoxicillin 3x 500 mg
 Analgetika: asam mefenamat 3 x 500 mg
 Lain-lain asam traneksamat
5. Evaluasi outcome:
 Hasil operasi: didapatkan jaringan tumor
 Komplikasi tindakan: nyeri, perdarahan
6. Tindak lanjut rawat jalan:
 Kontrol setelah ada hasil biopsy atau 2 hari bila dilakukan
pemasangan tampon anterior
7. Indikator medis Biopsi nasofaring tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 30
menit

Target:
80% biopsy nasofaring tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai
dalam 30 menit
8. Kepustakaan 1. Anderson, M., Forsby, N., Klein, G., /henle W., 2007, Relationship
between the Epstein-Barr Viral and Undifferential Nasopharyngeal
Carcinoma: Corelated nucleic acid hybridization and histopathological

18
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

examination. Int.J. Cancer 20: 486-494.


2. Bernadette Brennan. 2009. Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet J rare
Disease. June 2009.
3. Christopher M. Nutting, Chritopher P Cotrill and William I Wei. 2009.
Tumors of the Nasopharynx in Principles and Practice of Head and Neck
Surgery and Oncology.; 2nd ed. Informa UK Ltd. 342-354
4. Ho-Sheng et al. 2009. Malignant nasopharyngeal tumors. Chinese Journal
of Cancer. Vol V. 2009
5. Lin HS. 2013. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Review: Annals of
Oncology. 2013
6. William IW, Daniel T.T. Chua, 2014. Nasopharyngeal Carcinoma. BJ
Bailey, et al., eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Vol 2. 5 th
Ed. Philadelphia: Lipppincott Williams and Wilkings. Pp: 1875-97
7. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World
Health Organization
8. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical Modification
(ICD 9CM). World Health Organization

BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)


1. Pengertian (Definisi) Adanya Kanalit yang terdapat didalam salah satu atau
lebihkanalisakan menyebabkan penderita merasakan suatugejala yang
disebut vertigo; yaitu suatu sensasirasa ruang berputar yang dialami
penderita setelah menggerakkan kepala keposisi tertentu disertai gejala
nistagmus. Vertigo yang timbul akibat adanya gerakan kepala secara
tiba-tiba dikenal dengan nama Benign Paroxysmal Positional Vertigo
( BPPV )
Ditanyakan adanya perasaan berputar bila condong kesalah satu posisi,
lamanya intensitas dan frekuensi serangan Pasien biasanya mengeluh vertigo
dengan onset akut kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala.
2. Anamnesis
Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur pada posisi lateral, bangun
dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan membungkuk. Vertigo
bisa diikuti dengan mual.
Pemeriksaan tes nigtagmus posisi terdiri dari dua cara yaitu tes provokasi nistagmus
dengan menggunakan parasat Hallpike (positioning test) dan tes posisi (positional
3. Pemeriksaan fisik test). Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan parasat Hallpike dibantu dengan
menggunakan kacamata Frenzel atau kamera infra merah dengan monitor, agar dapat
melihat lebih jelas arah nistagmus yang terjadi.
4. Kriteria diagnosis Sesuai dengan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik
19
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

5. Diagnosis Kerja BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)


6. Diagnosis banding
Pemeriksaan Perasat Hallpike
7.
penunjang
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
Latihan Brandt Daroff merupakan suatu metode untuk mengobati BPPV.
Latihanini 95% berhasil. Latihan ini dilakukan dalam 3 set perhari selama 2
minggu. Pada tiap-tiap set, sekali melakukan manuver dibuat dalam 5 kali.
Satu pengulanganya itu manuver dilakukan pada masing-masing sisi berbeda
(membutuhkan waktu 2 menit). Jadwal latihan Brandt Daroff yang
11. Edukasi
disarankan :
Waktu Latihan Durasi
Pagi 5 kali pengulangan 10 menit
Sore 5 kali pengulangan 10menit
Malam 5 kali pengulangan 10 menit
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
1. Hanger HC, Mulley GP. Cerumen: its fascination and clinical
importance: a review. J R Soc Med. 1992;85:346¬9.
2. McCarter DF, Courtney AU, Pollart SM. Cerumen Impaction. Am
Fam Physician. 2007;75(10):1523-¬‐8.
3. Memel D, Langley C, Watkins C, Laue B, Birchall M, Bachmann
M. Effectiveness of ear syringing in general practice: a randomised
controlled trial and patients’ experiences. Br J Gen Pract.
17. Kepustakaan 2002;52:906-¬‐11.
4. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology : a Step-¬‐
by-¬‐step learning guide. New York: George Thieme Verlag; 2011.
5. Menner AL. A Pocket Guide to The Ear. New York: Thieme; 2011.
6. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10).
World Health Organization
7. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization

20
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL (BSEF)/


FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGEY (FES)
1. Pengertian (Definisi) Operasi sinus dengan bantuan endoskopi untuk membersihkan jaringan
patologi dan memperbaiki drainase dan ventilasi sinus
2. Indikasi 1. Rinosinusistis kronik: setelah 14 hari teapi medikamentosa optimal, tidak
terdapat perbaikan
2. Rinosinusitis jamur
3. Anatomi sinonasal patologis
4. Epistaksis untuk ligase arteri sfenopalatina
5. Pott;s puffy tumor
6. Polip nasi grade II & III, polip antrokoana
7. Rinitis atrofi
8. Benda asing di sinus paranasal
3. Kontraindikasi Relatif: anemia berat, hipertensi gangguan hemostasis tidak terkontrol
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
G. Pasien
14. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
15. Ijin operasi
16. Ijin pembiusan
21
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

17. Konsul:
 Anestesi: untuk teknik hipotensi
 Kesehatan Anak: bila usia di bawah 18 tahun atas indikasi
 Penyakit Dalam: bila usia di atas 18 tahun atas indikasi
 Kardiologi: bila usia di atas 40 tahun
18. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 SGOT, SGPT
 Ureum dan creatinin darah
 Elektrolit
 Gula darah sewaktu
 Pemeriksaan golongan darah
 Pemeriksaab HbsAg dan anti HCV (bila terdapat kecurigaan)
19. Pemeriksaan radiologi
 CT Scan sinus paranasal potongan aksial, koronal dan agital
ketebalan 3 mm, soft tissue setting.
 Foto toraks
20. Elektrokardiografi
21. Pemeriksaan penunjang lain atas indikasi
22. Pemeriksaan nasoendoskopi
23. Cukur bulu hidung
24. Medikamentosa sebelum operasi: injeksi antibiotika, kortikosteroid
dan asam traneksamat
25. Puasa 6 jam sebelum operasi

H. Bahan dan Alat


5. Bahan
 Tampon hidung Netcell (PVA)/ Rapid Rhino (hydrocolloid fabric)
 Surgicell (carboxymethyl celloulosa)
 Surgical Patties
 Tampon gulung
 Oxymetazoline nasal spray
 Xylocain gel
 Gentamisin injeksi
 Deksametason ampul
 Fibrin glue jika diperlukan

22
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Jarum spinal jika diperlukan


 Disposable syringe 3 ml, 5 ml, 10 ml.
 Injeksi epidefrin/ Phenilcain
 H2O2 3%
 Betadine
 Saline water
6. Alat
 Nasal Endoscopic scope 0o, 30o, 45o, 70o, ukuran 4 mm dan 2,7
mm
 Endoskopi fluorescence LCS
 Camera system
 Light source
 Kabel Light Source
 TV monitor system
 AntiFog
 Navigation system
 Radiofrequency System
 Bipolar System
 Microdebrider system, terdiri dari:
o Tip Microdebrider
o Hand piece Microdebrider
o Hand Piece Burr Cutting & Diamond
 Electrocauter Bipolar dan monopolar
 Mesin suction 2 buah
 Gunting septum Heymann Nasal Scisssors
 1 buah frontal dan & 2 buah sfneoid mushroom/umbrella: Frontal
Stammberger Punch
 Suction Rasp Kecil Tumpul Freer Suction Elevator
 Suction Rasp Besar Tajam Castelnuovo Suction Elevator
 Back Bitting & Side Bitting Blade di atas Rotated Stammberger
Rhinoforce® II Antrum Punch
 Oistium seeker frontal KUHN Frontal Sinus Seeker/ Ostium
Seeker Maxilla
 Suction lurus besar Ferguson Suction Tube 2 buah (Diam 12 Fr/4
mm, Length 11 cm)
 Suction lurus kecil Ferguson Suction Tube 2 buah (Diam 8 Fr/2.5
mm, Length 11 cm)
23
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Suction lurus Panjang (15 cm) Ferguson Suction Tube (20 Fr,
Length 15 cm) 2 buah
 Suction bengkok besar Eicken Antrum Cannula 2 buah (Diam 4
mm, Length 12.5 cm)
 Suction bengkok kecil Eicken Antrum Cannula 2 buah (Diam 3
mm, Length 12.5 cm)
 Suction bengkok 90o Eicken Castelnuovo Antrum Cannula 2 buah
(Diam 2.5 mm, Length 12.5 cm)
 1 buah tip suction frontal
 Kerrison Bone Punch 1 mm dan 3 mm
 Forceps Lurus Kecil (width 1,8 mm, Length 15 cm)/ Blakesley
Straight Forceps (kecil, sedang, dan besar).
 Forceps 45o Kecil (45o, width 1,8 mm, Length 15 cm)/ Blakesley
45o Forceps (kecil, sedang, dan besar).
 Forceps 90o Kecil (90o, width 1,8 mm, Length 15 cm)/ Blakesley
90o Forceps (kecil, sedang, dan besar).
 Forceps Lurus Besar Nasal Forceps (45o, width 4.8 mm, Length
11 cm)
 Forceps Lurus Kecil Nasal Forceps (45o, width 2.5 mm, Length
11 cm)
 Forceps Cutting Lurus Nasal Cutting Forceps (kecil, sedang dan
besar)
 Forceps Cutting 45o Nasal Cutting Forceps (kecil, sedang dan
besar)
 Gunting Kecil Suction Tube
 Killian Speculum dengan kunci Killian Struycken Nasal Speculum
 Killian Speculum tanpa kunci
 Killian Speculum 1 blade Panjang/ 1 blade pendek
 Scissor Angle Straight (Lurus)
 Scissor Angle Right (Kanan) (Right, Length 18 cm)
 Scissor Angle Left (Kiri) Scissors (Left, Length 18 cm)
 J Currette
 KUHN curette/ suction curette
 Antrium maxilla forceps besara dan kecil
 Bipolar forceps cauter
 Giraffe forceps blade kanan, kiri, depan dan belakang
 Elevator Cottle (Tombak)

24
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Chissel (pahat) straight and curve


 Freeyer/ Respatorium double ended
 Clip ligator arteri sfenopalatina
 Pinset bayonet besar dan kecil
 Hijack bone panch
 Bone Tang
 Sickle Knife 3 buah (straight, left and right)
 Suction monopolar
 Flouressence LCS Tracet
I. Petugas
5. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
6. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis sesuai
tingkat kompetensi pendidikannya
7. Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
8. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 17. Identifikasi
18. Sign in
19. Time out
20. Pasien terbaring dalam narkose umum posisi anti Trendelenburg 20
derajat.
21. Dilakukan a dan antisepsis lapangan operasi
22. DIlakukan tindakan tampon adrenalin 1/1000 lidokain 2% 1:4 atau
oxymethazolin pada kavum nasi dan dinding lateral hidung selama 10
menit dengan menggunakan endoskopi
23. Infiltrasi di daerah aksila konka media dengan adrenalin lidokain
1:200.000
24. Dilakukan unsinektomi dengan Back Bitting/ Insisi Sickle Knife.
25. Mencari dan membuat patensi ostium sinus maksila dan meatal
antrostomy.
26. Jika terdapat sel Haller, infundibulum etmoid diangkat.
27. TIndakan etmoidektomi, retrograde atau antegrade jika proses patologis
meluas ke sinus etmoid anterior.
28. Tindakan etmoidektomi posterior jika proses meluas ke sinus etmoid
posterior.
29. Frontal sinusektomi, jika proses meluas ke frontal.
30. Sfenoidektomi/sfenoidotomi jika proses patologi meluas ke sinus sfenoid.
31. Revisi anatomi patologis: Konka media bulosa dan paradoksikal
32. Pasang tampon hidung jika perlu.

25
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

33. Operasi selesai


34. Sign out
6. Pasca Prosedur 7. Rencana rawat inap sekitar 3-5 hari
Tindakan 8. Medikamentosa selama rawat inap:
 Antibiotika injeksi: golongan sefalosporin selama 3-5 hari
 Paracetamol atau NSAID intra vena
 Jika diperlukan metilprednisolon dosis tinggi (3 x 125 mg)
 Jika diperlukan pseudoefedrin HCL oral
 Jika diperlukan asam traneksamat intravena
9. Evaluasi outcome:
 Tidak ada perdarahan
 Lka operasi tidak infeksi
 Tidak ada komplikasi operasi ke mata
 Tidak ada komplikasi operasi intrakranial
10. Tidakan pasca operasi
 Lepas tampon hidung hari ketiga pasca operasi
 Bila tidak ada perdarahan hidung pasien dapat rawat jalan dan setelah
lepas tampon hidung
11. Tindak lanjut rawat jalan
 Terapi rawat jalan
o Antibiotik golongan amoksisilin klavulanat/ makrolid/
aminoglikosida/ quinolone sesuai jenis infeksi
o Analgetik paracetamol atau NSAID
o Steroid nasal topical
o Irigasi cuci hidung dengan larutan NACl isotonis
o Anti perdarahan jika perlu
 Kontrol 2 kali per minggu, 2 minggu pertama pasca operasi. 1 kali
perminggu, untuk 2 minggu selanjutnya, dilanjutkan 2 minggu sekali
hingga 2 bulan.
7. Indikator medis FESS tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 180 menit
Target:
80% FESS tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 150 menit
8. Kepustakaan 12. Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Third Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. Copyright 2001
13. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World
Health Organization
14. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization
26
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

CALDWELL-LUC
1. Pengertian (Definisi) Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan pembedahan membuka mukosa
buccoginggival di dinding depan sinus maksilaris.

2. Indikasi 1. Fungus ball (bola jamur) di sinus maksilaris yang besar.


2. Polip antrokoanal yang besar mengisi sinus maksilaris.
3. Biopsi massa terbatas di dalam sinus maksilaris
4. Pendekatan untuk tatalaksana fraktur maksila (terutama area
lantai orbita)
5. Eksplorasi cavum/anthrum maksilaris
3. Kontraindikasi 1. Gigi permanen belum erupsi
2. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
3. Risiko tinggi pembiusan umum
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent)
2. Ijin operasi
3. Ijin pembiusan
27
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

4. Konsul: Anestesi
5. Konsul: Penyakit Dalam/ Kardiologi (atas indikasi)
6. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula
darah sewaktu
7. Pemeriksaan penunjang
 Nasoendoskopi, Foto polos sinus paranasanal, bila perlu : CT
Scan
8. Puasa 6 jam sebelum operasi

B. Bahan dan Alat


7. Bahan
 Larutan Betadine 100 ml
 Alkohol 70% 25 ml
 Kassa Depper (@5 buah)
 Kassa steril 1 pack (@5 lembar)
 Benang silk 4-0 1 pack
8. Alat
 Bipolar cautery system 1 set
 Disektor
 Osteotom atau bor
 Cunam Kerrison
 Forcep
 Benang nilon atau terserap 4.0
 Sonde
 Needle holder
 Blade holder
 Blade no.15 (disposable)
 Lampu kepala
 Mesin suction dan selang suction

C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Antibiotik profilaksis intravena diberikan 30 menit sebelum insisi
28
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi
6. Dilakukan prosedur aseptik antiseptik pada medan operasi
7. Dilakukan prosedur anestesi infiltrasi
8. Pada sulkus ginggivobukal (fosa kanina), tepat diatas
soket gigi dibuat insisi (insisi dapat antara caninus sp premolar)
melalui mukosa dan periosteum beberapa sentimeter dari garis tengah.
Mukosa secukupnya dipertahankan dibagian bawah untuk
memudahkan penutupan (A).
9. Periosteum dielevasi. Insersi otot-otot wajah mungkin memerlukan diseksi
tajam untuk membebaskan diseksi tsjsm untuk membebaskannya dari dinding
depan antrum (B).

10. Pemaparan diperluas ke atas sampai titik tepat dibawah tepi orbita, dimana
saraf infra orbita diidentifikasi dan dipertahankan. Dengan menggunakan
osteotom atau bor, dinding depan antrum dibuka. Lubang ini harus benar-
benar diatas soket gigi dan diatas lantai antrum. Semua fragmen patahan
tulang diambil (C).
11. Dengan cunam Kerrison, lubang dilebarkan sampai ukuran yang
diinginkan untuk memungkinkan eksplorasi (D).

29
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

12. Pengangkatan jaringan patologis selanjutnya dilakukan dengan


menggunakan forceps. Mukosa normal diusahakan tidak cidera; tetapi
semua mukosa patologis hendaknya diambil (E).
13. Pada kasus-kasus tertentu, misalnya pada polip antrokoanal atau bola
jamur yang besar, prosedur ini dapat dilakukan bersama dengan
prosedur lainnya.
14. Jabir mukosa diatas lubang dinding depan didekatkan dengan jahitan
satu-satu atau jelujur menggunakan benang nilon atau terserap 4-0
15. Bila diperlukan dilakukan pemasangan tampon anterior cavum
nasi
16. Operasi selesai
17. Sign out
6. Pasca Prosedur 1. Pemberian antibiotik
Tindakkan 2. Analgetik
3. Penatalaksanaan komplikasi
7. Follow-up / Tindak 1. Pengangkatan tampon
Lanjut 2. Penilaian keberhasilan pengobatan
8. Komplikasi 1. Kerusakan akar gigi
2. Kerusakan dasar orbita
3. Hipestesi atau parestesi pipi
4. Kerusakan bola mata
5. Emfisema subkutan
6. Kerusakan sarf alveol superior dan soket gigi
7. Edem berkepanjangan
8. Infeksi
9. Perdarahan
10. Pembengkakan wajah
11. Fistula oroantral

9. Indikator medis Tonsilektomi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 60 menit
Target:
80% tonsilektomi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 60

30
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

menit
10. Kepustakaan
1. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World Health
Organization
2. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization

DIRECT LARINGOSKOPI
1. Pengertian (Definisi) Direk Laringoskopi adalah pemeriksaan lumen laring secara langsung
dengan menggunakan alat Direct – Laryngoscopy. Tujuan tindakan ini
adalah untuk melihat isi lumen laring, keadaan dinding atau mukosa
laring serta bentuk lumen laring. Terutama untuk mengambil sitologi atau
biopsi tumor. Dilakukan untuk indikasi diagnostik. Pada laringoskopi
langsung, memberikan kesempatan untuk pemeriksaan adanya tumor
jinak laring maupun tumor ganas laring di bawah anestesi umum. Pada
operasi ini juga dilakukan biopsi , ekstirpasi dan “map of larynx” untuk
kepentingan diagnotik dan terapetik. Suspensi laringoskopi memberikan
pandangan yang sangat baik dari tingkat tumor dan kondisi keseluruhan
dari mukosa saluran napas.
2. Indikasi 1. Acute Laryngitis (ICD 10: J040)
2. Acute Obstructive laryngitis (croup) (ICD 10: J050)
3. Acute epligotitis (ICD 10: J051)
4. Acute laryngopharyngitis (ICD 10: J060)
5. Chronic Laryngitis (ICD 10: J370)
6. Paralysis of vocal cords and larynx (ICD 10: J380)
7. Polyp of vocal cords and larynx (ICD 10: J381)
8. Nodules of vocal cords (ICD 10: J382)
31
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

9. Other disease of vocal cords (ICD 10: J383)


10. Edema of larynx (ICD 10: J384)
11. Laryngeal spasm (ICD 10: J385)
12. Stenosis of larynx (ICD 10: J386)

3. Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia


2. Risiko tinggi pembiusan umum
3. Leher kaku/tidak bisa digerakkan dan resikomeningkat pd trauma leher
(RA, cervical spine injury,dll)
4. Ketidakmampuan membuka mulut (trismus,scleroderma, dll)
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
Pasien
 Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent)
 Ijin operasi
 Ijin pembiusan
 Konsul: Anestesi
 Konsul: Kesehatan Anak/ Penyakit Dalam/ Kardiologi (atas indikasi)
 Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula darah
sewaktu
 Pemeriksaan radiologi
 Foto toraks
 Puasa 6 jam sebelum operasi

Bahan dan Alat


Bahan
 Larutan Betadine 100 ml
 Alkohol 70% 25 ml
 Lidocain spray
 Adrenalin
Alat
 Lampu kepala
 Mesin suction dan selang suction
 Direct - LaringoskopLurus ( Miller Laryngoscopy )
32
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Direct - LaringoskopLengkung ( Macintosh Laryngoscopy )


 Tang Biopsi
 Tang Ekstirpasi Corpus Alienum
 Sumber cahaya
 Kabel sumber cahaya

Petugas
 Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
 Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
 Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Pasien dibaringkan dalam posisi Boyce
2. Alat Direct – Laringoscopy dipegang dengan tangan kiri dengan
menggenggam bagian vertikal gagang laringoskop memakai empat jari
dan ibu jari
3. Jari tengah dan jari manis tangan kanan membuka bibir atas dan mengait
gigi insisivus
4. Jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan memegang bagian distal direk
laring serta menarik bibir agar tidak terjepit di antara pipa Direct -
Laringoscopydengan gigi
5. Direct - Laringoscopydidorong tangan kiri seperti memegang pena pada
leher pegangan
6. Direct - Laringoscopydimasukkan secara vertikal ke dalam mulut melalui
ujung kanan mulut, pada saat ini kepala penderita diangkat sedikit sampai
verteks berada kira-kira 1 sentimeter dari meja.
7. Ujung laringoskopi dimasukkan melalui sisi kiri dasar lidah, melalui
dasar lidah.
8. Identifikasi Valekula, epiglotis, plika faringo-epiglotik dan laring
9. Memasuki sinus piriformis kanan. Direct - Laringoscopydisusupkan di
sisi kanan lidah sampai dinding posterior faring. Suatu gerakan ringan ibu
jari tangan kiri diberikan pada ujung Direct - Laringoscopy sehingga
menuju aritenoid kanan yang merupakan penunjuk ke sinus piriformis.
Bibir Direk Laring harus tetap di anterior dan pipa harus selalu berada di
medial. Pipa kemudian akan menyusup melalui sinus piriformis kanan
sampai 2 – 3 cm dan pada dasar sinus terhenti

33
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

10. Selama melakukan tahapan tersebut diatas dilakukan identifikasi mukosa


laring, adanya massa maupun corpus alienum.
11. Pada waktu mengeluarkan Direct - Laringoscopyposisi penderita dan arah
gerakan Direct - Laringoscopydilakukan dengan cara yang berlawanan
6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda perdarahan akibat laserasi atau adanya perforasi
Tindakkan 2. Bila timbul laserasi dalam sampai ke lapisan muskuler maka dilakukan
penanganan konservatif dengan pemantauan secara radiologi dan klinis
yang ketat
3. Pada kasus dimana secara endoskopi atau secara tampak tanda-tanda
perforasi dilakukan penanganan bedah dalam 3 (tiga) jam pertama,
kemudian dipasang NGT.
7. Indikator medis Direct Laringoskopi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 30
menit
Target:
80% Direct Laringoskopi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai
dalam 30 menit
8. Kepustakaan 1. Bailey and Johnson, 2000. Otolaryngology. Head and Neck Surgery, 4th
Edition. Lippin cott Williams and Wilkins. Philadelphia.
2. Bambang Hermani,. Kelainan Laring,Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Edisi ke-6. Balai Penerbit
FKUI , Jakarta, 2007
3. Ballenger, Johan Jacob, 1994. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok
Kepala Leher. Binarupa Aksara. Hal: 511-6
4. Buku Modul Utama, Modul Laring , Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Edisi I, 2008

34
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

EKSTRAKSI/ IRIGASI SERUMEN


1. Pengertian (Definisi) Tindakan mengeluarkan serumen yang menutup sebagian atau menutup
seluruh liang telinga dengan menggunakan metode/ Teknik ekstraksi manual,
irigasi, atau kombinasi kedua teknik tersebut. Tidndakan tersebut dapat
dilakukan dengan didahului pemberian pelunak serumen atau langsung.

Impacted cerumen/ serumen impaksi adalah mencakup serumen yang menutup


sebagian atau menutup seluruh liang telinga
2. Indikasi Serumen impaksi/ impacted cerumen (ICD 10: H61.2)
3. Kontraindikasi 1. Perforasi membrantimpani
2. Infeksi aktif kulit liang telinga (otitis eksterna)
3. Metode/ teknik irigasi tidak boeh dilakukan pada serumen yang
menutup seluruh liang telinga
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
2. Ijin Tindakan bila tidakan dilakukan dalam pembiusan atau kasus sulit
(risiko tinggi komplikasi)
3. Pemberian cairan/ larutan pelunak serumen 15 menit sebelum
ekstraksi atau irigasi (bila diperlukan).

B. Bahan dan Alat

35
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

EKTRAKSI SERUMEN dengan/tanpa kombinasi teknik


SUCTIONING
1. BAHAN :
• Kapas
• Kertas tissue = 5 lembar
• Larutan pelunak serumen berbahan dasar air (air (H2O), asam
asetat 2%, NaCl 0,9%) ATAU bukan air / bukan minyak
(Gliserol, Karbogliserin 10%) ATAU minyak (minyak kelapa
(murni), minyak zaitun (murni), minyak almond (murni)
2. ALAT :
• Mesin suction = 1 unit
• Suction tip liang telinga nomor 1, 2, dan 3 = 1 unit
• Handuk = 1 unit Panduan Praktik Klinik Tindakan PP
PERHATI-¬‐KL 65
• Pengait serumen = 1 unit
• Aplikator kapas = 1 unit
• Otoskop = 1 unit
• Lampu kepala = 1 unit
• Mikroskop ATAU endoskop = 1 unit (bila tersedia)
IRIGASI SERUMEN dengan / tanpa kombinasi SUCTIONING:
prinsip kerja irigasi adalah mengalirkan air ke belakang serumen
melalui celah antara serumen dan dinding liang telinga, dan
selanjutnya cairan irigasi akan dipantulkan keluar oleh membran
timpani sehingga timbul tekanan ke arah luar liang telinga yang
akan mendorong serumen.
1. BAHAN:
• Kapas
• Kertas tissue = 5 lembar
• Air (H2O) yang bersih/sudah direbus ATAU NaCl 0,9%
ATAU Asam Asetat 2% yang sudah sesuai dengan suhu tubuh
2. ALAT:
• Mesin suction = 1 unit
• Suction tip liang telinga nomor 1, 2, dan 3 = masing‐ masing 1
unit
• Spuit 20-50 cc = 1 unit
• Selang feeding tube /pengganti lain yang lentur = 1 unit
• Nierbekken = 1 unit
• Mangkuk air = 1 unit
• Handuk = 1 unit
36
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

• Pengait serumen = 1 unit


• Aplikator kapas = 1 unit
• Otoskop = 1 unit
• Lampu kepala = 1 unit
• Mikroskop ATAU endoskop = 1 unit (bila tersedia)

C. Petugas
4. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
5. Perawat kamar operasi/ poliklinik THT-KL yang mempunyai
kewenangan klinis
6. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis (bila
dilakukan bius umum)
7. Dokter umum yang mempunyai kewenangan klinis
5. Prosedur Tindakan EKSTRAKSI SERUMEN :
1. Identifikasi pasien. Pasien yang tidak kooperatif ATAU berisiko
terjadi komplikasi selama prosedur tindakan, dianjurkan dilakukan
dengan pembiusan
2. Identifikasi konsistensi serumen. Bila serumennya keras maka
sebelum tindakan harus diberikan larutan pelunak serumen
3. Pasien dalam posisi duduk stabil. Pada pasien anak harus dipangku
oleh orang dewasa yang berperan memegang/ menahan kedua kaki,
tangan kanan memegang kedua tangan pasien, dan tangan kiri
memegang/menahan kepala pasien
4. Daun telinga ditarik ke arah superior dan posterior untuk pasien
dewasa ATAU ke arah posterior untuk pasien anak
5. Pengait serumen dimasukkan ke liang telinga, selanjutnya melewati
celah antara serumen dan kulit liang telinga dengan posisi ujung
pengait sejajar dengan bidang kulit liang telinga. Bila belum
ditemukan celah antara serumen dan kulit (seperti pada serumen
impaksi), maka harus dibuat celah terlebih dahulu. Selanjutnya ujung
pengait dirotasikan sehingga berada di dalam serumen dan serumen
ditarik keluar. Manipulasi dengan alat pengait tidak dianjurkan di
daerah inferior dinding liang telinga disebabkan kemungkinan
terpicunya refleks vagal yang ditandai dengan batuk
6. Evaluasi liang telinga dan membran timpani

Tindakan IRIGASI SERUMEN:


1. Identifikasi pasien
2. Identifikasi konsistensi serumen. Bila serumennya keras, maka
37
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

sebelum tindakan harus diberikan larutan pelunak serumen


3. Pasien dalam posisi duduk stabil. Pada pasien anak harus dipangku
oleh orang dewasa yang berperan memegang/ menahan kedua kaki,
tangan kanan memegang kedua tangan pasien, dan tangan kiri
memegang/menahan kepala pasien
4. Handuk diletakkan di pundak sisi telinga yang dibersihkan
5. Nierbekken diletakan dibawah telinga yang akan dibersihkan
6. Daun telinga ditarik ke arah superior dan posterior untuk pasien
dewasa ATAU ke arah posterior untuk pasien anak Panduan Praktik
Klinik Tindakan
7. Cairan disemprotkan ke arah celah di antara serumen dan kulit liang
telinga. Arah irigasi tidak dianjurkan ke arah inferior dinding liang
telinga disebabkan kemungkinan terpicunya refleks vagal yang
ditandai dengan batuk
8. Liang telinga dikeringkan dengan kapas/suction
9. Evaluasi liang telinga dan membran timpani
6. Pasca Prosedur Evaluasi outcome:
Tindakkan Tidak ada serumen
Tidak ada komplikasi: ekskoriasi atau laserasi kulit liang telinga, perforasi
membrane timpani, dan reflex vagal (bradikardia, penurunan kesadaran)
7. Indikator medis Ekstraksi/irigasi serumen tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai
dalam 15 menit
Target:
80% ekstraksi/irigasi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 10
menit
8. Kepustakaan 1. Hanger HC, Mulley GP. Cerumen: its fascination and clinical
importance: a review. J R Soc Med. 1992;85:346¬9.
2. McCarter DF, Courtney AU, Pollart SM. Cerumen Impaction. Am
Fam Physician. 2007;75(10):1523-¬‐8.
3. Memel D, Langley C, Watkins C, Laue B, Birchall M, Bachmann
M. Effectiveness of ear syringing in general practice: a randomised
controlled trial and patients’ experiences. Br J Gen Pract.
2002;52:906-¬‐11.
4. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology : a Step-¬ ‐
by-¬‐step learning guide. New York: George Thieme Verlag; 2011.
5. Menner AL. A Pocket Guide to The Ear. New York: Thieme; 2011.
6. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10).
World Health Organization
7. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
38
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Modification (ICD 9CM). World Health Organization

FARINGITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Faringitis adalah suatu peradangan atau infeksi pada mukosa dan
struktur pembuluh Limfe pada tenggorokan (faring).
Berdasarkan perjalanannya :
- Akut  : 1 hari – 1 bulan
- Sub akut : 1 bulan – 3 bulan
- Kronis  : > 3 bulan
Biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A. Namun bakteri lain
seperti n. gonorrhoeae, c. diphtheria, h. influenza juga dapat menyebabkan
faringitis. Apabila disebabkan oleh infeksi virus biasanya oleh rhinovirus,
adenovirus, parainfluenza virus dan coxsackie virus.
2. Anamnesis - Nyeri tenggorok, nyeri menelan
- Selaput lendir yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau ringan dan
tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan nanah
- Kesulitan menelan oleh karena sakit
- Demam
- Pembesaran kelenjar getah bening di leher
- Peningkatan jumlah sel darah putih
3. Pemeriksaan fisik Tampak dinding faring hiperemis
Pembesaran kelenjar getah bening
4. Kriteria diagnosis Anamnesis terdapat benda asing di tenggorokan, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Faringitis Akut
6. Diagnosis banding 1. Tonsilitis Akut

39
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Faringitis Kronis
7. Pemeriksaan Cek Laboratorium
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam

13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV


14. Tingkat rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
FARINGITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Faringitis adalah suatu peradangan atau infeksi pada mukosa dan struktur
pembuluh Limfe pada tenggorokan (faring) yang sudah berlangsung > 3
bulan)
2. Anamnesis Nyeri tenggorok, nyeri menelan
Timbul rasa sakit ditenggorokan jika terdapat hal-hal yang merangsang 
(makanan pedas, asap dll.).
Terasa gatal ditenggorokan.
Batuk yang berdahak.
Kadang-kadang suara serak.
Pembesaran kelenjar getah bening di leher
3. Pemeriksaan fisik Tampak dinding faring hiperemis
Pembesaran kelenjar getah bening
4. Kriteria diagnosis Anamnesis pembuluh darah di dinding faring mengalami kongesti
Mukosa menghasilkan secret lebih banyak dari biasanya, secret mucus
menetap beberapa lama menjadi faringitis kronik hipertrofikan.
Pembuluh darah menebal
Jaringan limfoid hipertrofi (granulasi) ada yang bersatu sehingga nampak
sebagai penebalan mukosa yang nyata sekali, sekret berkurang dan kental.
Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Faringitis Kronis
6. Diagnosis banding Tonsilitis Kronis
40
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Apus Tenggorok


penunjang 2. Pemeriksaan Darah Rutin
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
FASIAL PARESE
1. Pengertian (Definisi) Merupakan kelumpuhan otot-otot wajah, pasien tidak dapat atau kurang dapat
menggerakkan otot wajah sehingga tampak wajah pasien tidak simetris.
Parese : Kelumpuhan n VII yang sifatnya sementara
Paralise : Kelumpuhan n VII yang sifatnya menetap
Ditanyakan adanya perasaan berputar bila condong kesalah satu posisi,
lamanya intensitas dan frekuensi serangan Pasien biasanya mengeluh vertigo
dengan onset akut kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala.
2. Anamnesis
Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur pada posisi lateral, bangun
dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan membungkuk. Vertigo
bisa diikuti dengan mual.
1. Kualitatif : pemerksaanpadaotot-ototmuka
a. lipatan dahi
b. celah mata
c. lipatan pipi
3. Pemeriksaan fisik d. celah sudut mulut
2. Pemeriksaan gustometer
3. Tes Schimer
4. Pemeriksaan refleks stapedius
5. Audio Vestibuler
4. Kriteria diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan.
Pembagian :
1. Menurut lokasi kerusakan :
 Central : Kerusakan mulai dari nucleus n VII sampai ke pusat
 Perifer : Kerusakan di bawah nucleus n VII
41
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Menurut derajad kerusakan :


 Neuroproxia
 Neurotmesin
 Axonotmesin
5. Diagnosis Kerja BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
6. Diagnosis banding Bells Palsy
7.
Pemeriksaan Perasat Hallpike
penunjang
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
rekomendasi
16. Indikator medis
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
17. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

42
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

HIPERTROFI ADENOID
1. Pengertian (Definisi) Adenoiditis adalah radang kronis pada adenoid
2. Anamnesis Pernafasan mulut obligat
Hiponasalitas
Snoring atau gejala gangguan pernafasan saat tidur lainnya
Lendir hidung persisten
Nafas bau busuk
Lendir di tenggorok
3. Pemeriksaan fisik Fasies Adenoid : mulut terbuka, permukaan midfasial rata, lingkaran hitam
dibawah mata
4. Kriteria diagnosis Anamnesis Fasies Adenoid : mulut terbuka, permukaan midfasial rata,
lingkaran hitam dibawah mata, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Hipertrofi Adenoid
6. Diagnosis banding Tonsilitis Kronis
7. Pemeriksaan Ro Kepala Lateral Soft Tissue
penunjang Endoskopi Nasofaring
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
43
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

KARSINOMA HIPOFARING
1. Pengertian (Definisi) Carcinoma Hipofaring adalah Tumor ganas yang terdapat pada hipofaring
( posterior dari laring )
Carcinoma Hipofaring meliputi 3 (tiga) daerah yaitu :
 Karsinoma Sinus Piriformis
 Karsinoma Dinding Posterior Faring
 Karsinoma Regio Postkrikoid
2. Anamnesis 1. nyeri tenggorok (odinofagi)
2. sulit menelan (disfagia) biasanya progesif
3. sakit telinga (otalgia persisten unilateral)
4. sesak nafas (Dispnea)
5. suara serak (hoarsness)
6. Penurunan Berat Badan
3. Pemeriksaan fisik 1. Glositis
2. Stomatitis
3. Pembesaran kelenjar limfe retrofaring
4. Leukoplakia
5. Edema dan eritema pada struktur hipofaring
4. Kriteria diagnosis Karsinoma sel Squamosa pada Hipofaring
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Tiroid
6. Diagnosis banding Karsinoma Nasofaring
Karsinoma Laring
7. Pemeriksaan 1. Panendoscopy (Laryngoscopy, esophagoscopy, dan bronchoscopy)
penunjang 2. Radiologi
44
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

a. Radiografi dada dan USG Abdomen


b. CT-Scan
c. MRI
3. Patologi Anatomik (Biopsi)
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

45
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

KARSINOMA LIDAH
1. Pengertian (Definisi) Karsinoma ganas lidah adalah karsinoma ganas yang berasal atau terdapat
pada lidah.
2. Anamnesis a. Gejala awal : keluhan sering tidak nyata
 Nyeri sering terdapat pada lesi berbentuk ulkus, yang dapat menjalar
keseluruh mulut dan telinga.
 Keluhan lain rasa baal pada lidah, sariawan yang tidak sembuh-
sembuh.
 Bila timbul hambatan gerak lidah akan mempengaruhi artikulasi proses
bicara dan menelan.
b. Gejala lanjut : Limfadenopati leher.
c. Perluasan karsinoma ke saraf
3. Pemeriksaan fisik Poliklinik THT-KL pada daerah lidah: nyeri pada lidah, perubahan warna
lidah , pembengkakan atau ulkus, hipersalivasi, bau mulut karena infeksi
sekunder atau gerak lidah yang asimetris dan terbatas.
4. Kriteria diagnosis FNAB / Lidah
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Laring
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Laboratorium rutin, DR3, GDS, SGOT dan SGPT,
penunjang Ureum, Creatinin, Albumin.
Histopatologi
Pemeriksaan radiologi konvensional (soft tissue leher AP/Lat)
CT Scan Orofaring sentrasi lidah ( Axial dan Coronal)
Ro foto toraks
46
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

USG Abdomen
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam

13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV


14. Tingkat rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia
KARSINOMA NASOFARING
1. Pengertian (Definisi) Adanya masa yang tumbuh secara abnormal pada laring bahkan dapat meluas jauh
ke bagian tubuh
2. Anamnesis  Batuk terus-menerus
 Perubahan suara yang di akui oleh penderita sendiri ataupun keluarganya
 Nyeri telan dan sakit tenggorok menetap
 Batuk darah atau material solid
 Berat badan turun , lemah dan lesu
 Sulit bernafas, atau merasa ada yang mengganjal di tenggorok
 Sakit telinga (sakit berasal dari dalam tenggorok dapat dirasakan di telinga)
 Tonjolan atau massa di leher atau tenggorok
3. Pemeriksaan fisik  Pemeriksaan THT : pada laringoskop indirekta (LI) atau laringoskopi serat
optik (LSO) dapat diketahui tumor di laring.
 Pemeriksaan leher :
o Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring
dan tiroid.
o Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid
atau tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra
laryngeal. Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid
membesar dank eras. Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening
leher
4. Kriteria diagnosis Biopsi Laring - PA

47
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

5. Diagnosis Kerja Karsinoma Laring


6. Diagnosis banding Tuberkulosis laring
Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip)
Nodul vokal
7. Pemeriksaan Pemeriksaan radiologi :
penunjang  X-foto leher AP dan lateral (jaringan lunak)
 Tomogram laring atau “CT-Scan” (bila tersedia fasilitas)
Biopsi :
Biopsi dilakukan dengan LI, LD atau LSO/FOL
8. Tatalaksana*
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens*** Terapi : I/ II/ III/ IV
15. Indikator medis
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
16. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

48
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

KARSINOMA PAROTIS
1. Pengertian (Definisi) Karsinoma parotid mempunyai pengertian adanya masa yang tumbuh
secara abnormal pada kelenjar parotis, bahkan dapat meluas jauh ke
bagian tubuh. Merupakan karsinoma terbanyak (80%) dari karsinoma
kelenjar ludah.terbanyak adalah jenis epitel sekitar 95%.
2. Anamnesis Karsinoma parotid mempunyai pengertian adanya masa yang tumbuh
secara abnormal pada kelenjar parotis, bahkan dapat meluas jauh ke
bagian tubuh. Merupakan karsinoma terbanyak (80%) dari karsinoma
kelenjar ludah.terbanyak adalah jenis epitel sekitar 95%.
3. Pemeriksaan fisik Palpasi(batas tegas, tidak nyeri tekan, konsistensinya noduler seringnya),
pemeriksaan kelenjar lymphe di tempat lain yaitu cervical, axilla, inguinal. Foto
polos leher AP/Lateral sofftissue, Sialografi, foto thorax.
4. Kriteria diagnosis Biopsi Kelenjar Parotis
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Parotis
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Pemeriksaan PA  FNAB, Frozen section selama intra operatif
penunjang Pemeriksaan kelenjar lymphe di tempat lain yaitu cervical,axilla,inguinal. Foto
polos leher AP/Lateral sofftissue,Sialografi, foto torax
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
49
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam


13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

KARSINOMA SINONASAL
1. Pengertian (Definisi) Tumor hidung dan sinus paranasal yang jarang ditemukan.

2. Anamnesis Gejala Nasal : obstruksi hidung unilateral dan rhinorhea. Sekret nya sering
bercampur darah atau epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang
hidung sehingga terjadi deformitas hidung.
Gejala orbital : perluasan tumor ke arah orbita menimblkan gejala diplopia,
proptosis atau penonjolan bola mata, ophtamophlegia, gangguam visus dan
epiphora.
Gejala Oral : perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau
ulkus di palatum atau di procesus alveolaris.
Gejala Fasial : Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi.
Disertai nyeri anesthesia atau paresthesia di muka
Gejala Intrakranial : perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit
kepala hebat, ophtamolphlegia, dan gangguan visus.

3. Pemeriksaan fisik  Pemeriksaan THT : pada rinoskopi anterior dan posterior tampak massa
di dalam cavum nasi, terkadang bisa didapatkan pembesaran disekitar
pipi.
 Pemeriksaan leher :
a. Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher,
b. Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid
atau tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra
laryngeal. Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid
50
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

membesar dank eras. Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening


leher
4. Kriteria diagnosis Biopsi Sinonasal
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Sinonasal
6. Diagnosis banding Polip
Angiofibroma
7. Pemeriksaan Nasoendoskopi dan sinuskopi
penunjang Foto polos SPN
CT scan atau MRI
Foto polos paru untuk melihat metastase
USG Abdomen untuk melihat metastase
Biopsi Sinonasal
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

51
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

KARSINOMA TIROID
1. Pengertian (Definisi) Neoplasma tiroid adalah massa/ benjolan abnormal pada kelenjar tiroid.
Massa/benjolan tersebut tumbuh membesar dari sel kelenjar tiroid.
2. Anamnesis Benjolan pembesaran tiroid atau nodul yang disertai rasa nyeri, kadang-
kadang disertai gejala penekannan pada esofagus atau trakea.
3. Pemeriksaan fisik Nodul konsistensi keras atau lunak, tidak nyeri , berbenjol-benjol, berbatas
tegas atau tidak.
4. Kriteria diagnosis Biopsi Kelenjar Tiroid / FNAB
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Tiroid
6. Diagnosis banding Tumor Metastasis (Laring)
7. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium : tidak ada pemeriksaan khusus kecuali karsinoma
penunjang noduler. T3 dan T4 kadang-kadang diperlukan. Human TIroglobulin (HTG)
dapat digunakan sebagai karsinoma marker berdiferensisai baik.
Pemeriksaan radiologi : USG dan isotop scan, Torak
Pemeriksaan Histopatologi : biopsi jarum halus
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi

52
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

16. Indikator medis


17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

KARSINOMA TONSIL
1. Pengertian (Definisi) Adanya masa yang tumbuh secara abnormal pada tonsil, bahkan dapat meluas
jauh ke bagian tubuh.
2. Anamnesis Gejala Dini :
 Disfagia, odinofagia, hot potato voice
 Hipersekresi, sesak
 Nyeri tenggorok yang tidak sembuh-sembuh
 Otitis media serosa
 Otalgia
 Trismus
3. Pemeriksaan fisik  Pemeriksaan THT : pada pemeriksaan tonsil tampak tonsil membesar,
salah satu sisi lebih besar dibanding sisi satunya
 Pemeriksaan leher :
a) Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring
dan tiroid.
b) Palpasi : Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening leher.
4. Kriteria diagnosis Biopsi Tonsil
5. Diagnosis Kerja Karsinoma Tonsil
6. Diagnosis banding Tonsilitis Kronis
Abses Peritonsiler
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan radiologi :
penunjang  X-foto leher AP dan lateral (jaringan lunak)
 Tomogram laring atau “CT-Scan” (bila tersedia fasilitas)
2. Biopsi
8. Tatalaksana
53
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL


11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

LARINGITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Adanya proses inflamasi akut di mokosa membrane laring yang disebabkan
infeksi (spesifik dan non spesifik), trauma dan iritasi
2. Anamnesis Gejala Dini :
- Serak/Hoarseness
- Rasa tidak nyaman di leher atas
- Batuk/Cought
- Symptom umum : demam,malaise
3. Pemeriksaan fisik Anamnesis, gambaran Hiperemis dan Edema pada Laring, pemeriksaan
penunjang
4. Kriteria diagnosis Gambaran Hiperemis dan Edema pada Laring
5. Diagnosis Kerja Laringitis Akut
6. Diagnosis banding Tonsilitis Kronis
7. Pemeriksaan 1. Swab Tenggorokan atau kultur darah untuk mengetahui kuman dan uji test
penunjang sensitivitas-resistensi AB.
2. Pemeriksaan Endoscopy Laryng (fiber atau rigid endoscopy)
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
54
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

16. Indikator medis


17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

LARINGITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Terjadi proses peradangan kronis laring yang di sebabkan sinusitis kronis,
deviasi septum nasi, polip dan bronkhitis kronis
2. Anamnesis Suara serak
Sesak napas
Infeksi sebelumnya (hidung buntu, batuk)
Pola hidup pasien (seperti pekerjaan, makan dan minum pasien)
3. Pemeriksaan fisik 1. Laringoskopi indirect, untuk menilai dan mengevaluasi kondisi laring secara
Umum. Menilai langsung keadaan di daerah laring seperti adanya oedema dan
hiperemis di plika aritenoid, plika ventrikularis dan pita suara Adakah hiperemi,
polip, nodul didaerah pita suara. Pemeriksaan ini Sedikit membuat pasien tidak
nyaman.
2. Fiberendoskopi, untuk menilai dan mengevaluasi kondisi laring secara umum.
Adakah massa, polip, nodul, swab didaerah tersebut. Pemeriksaan ini lebih jelas
dan bisa direkam di televisi/ monitor
3. Rontgen cervical ap-lat , untuk menilai kemungkinan adanya suatu massa di
daerah laring. Ini jarang di lakukan, kecuali memang pasien mengarah adanya
massa di daerah laring dan sekitarnya.
4. Rontgen thorax dan SPN 3 posisi, untuk menilai kondisi kavum nasi dan sinus
paranasal secara umum ini dilakukan jika pasien ada riwayat rhinosinusitis atau
sinusitis sebelumnya, dan mengevaluasi apakah pasien ada kelainan di paru-paru.
4. Kriteria diagnosis Anamnesis, gambaran Hiperemis dan Edema pada Laring, pemeriksaan
penunjang
5. Diagnosis Kerja Laringitis Kronis
6. Diagnosis banding Faringitis Non Spesifik
Faringitis Spesifik
7. Pemeriksaan 1. Swab Tenggorokan atau kultur darah untuk mengetahui kuman dan uji test
55
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

penunjang sensitivitas-resistensi AB.


2. Pemeriksaan Endoscopy Laryng (fiber atau rigid endoscopy)
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

56
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

LARINGO PHARYNGEAL REFLUX


1. Pengertian (Definisi) Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang
diakibatkan aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring.
2. Anamnesis - suara serak
- mendehem
- sekret di belakang hidung
- kesulitan dalam proses menelan
- batuk setelah makan/berbaring, tersedak
- perasaan mengganjal di tenggorok
3. Pemeriksaan fisik Laringoskopi untuk menilai adanya penebalan, kemerahan dan edema terutama di
posterior laring (laringitis posterior) paling sering ditemukan.
4. Kriteria diagnosis Anamnesis respon dari gejala kebiasaan dan pengobatan secara empirik,
observasi endoskopi pada mukosa, dan bukti adanya refluks dengan
multichannel impedance dan studi monitor pH. Pemeriksaan monitoring pH
merupakan gold standard serta sangat sensitif dan spesifik untuk pemeriksaan
LPR.
5. Diagnosis Kerja Laringo Pharyngeal Reflux
6. Diagnosis banding GERD
Faringitis
7. Pemeriksaan 1. Fiberendosopy
penunjang 2. Skoring RFS dan RSI
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
57
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam


13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

LARINGOMALASIA
1. Pengertian (Definisi) Kelainan kongenital laring yang menunjukkan suatu kelemahan ariepiglotis
dan epiglotis
2. Anamnesis 1. Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara
biasa muncul pada minggu 4-6 awal.
2. Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang
biasanya membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak
terdapat sekret nasal.
3. Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis,
ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus,
selama dan setelah makan.
4. Tangisan bayi biasanya normal
5. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi
kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi.
6. Bayi gembira dan tidak menderita.
3. Pemeriksaan fisik 1. Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar.
2. Dapat terlihat takipneu ringan
3. Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal
4. Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi
terlentang
5. Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi
selama pemeriksaan
6. Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar
angulus sternalis
4. Kriteria diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
pemeriksaan laring dengan menggunakan serat fiber fleksibel selama periode
58
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

pernapasan spontan. 
Gambaran Epiglotis yang lemah
5. Diagnosis Kerja Laringomalasia
6. Diagnosis banding Trakeomalasia
7. Pemeriksaan Fiberendosopy
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

59
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

MENIERE
1. Pengertian (Definisi) Penyakit Meniere ditandai dengan pendengaran berfluktuatif,vertigo,tinnitus
dan rasa tertekan pada telinga.Penyakit ini dikenal juga sebagai
hydropslymfatik yaitu suatu gangguan telinga dalam(Labyrinth) yang mana
terdapat peningkatan volume dan tekanan endolimfe telinga dalam.Terdapat
bentuk klasik meniere dan beberapa varian yang disebut sebagai
sindromalermoyez, hidrops vestibular dan hidropskoklea. Pada tipe klasik
terdapat serangan vertigo dalam beberapa menit sampai beberapa jam, tetapi
ada juga bentuk lain berupa kehilangan pendengaran yang berfluktuatif,
tinnitus dan atau tekanan tetapi tidak disertai vertigo,atau hanya serangan
vertigo saja.
Riwayat yang berhubungan dengan Pusing berputar, Penurunan
2. Anamnesis
pendendengaran, danTinitus
3. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan THT-KL menggunakan otoskopi, didapati normal
4. Kriteria diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan.
5. Diagnosis Kerja Meniere
6. Diagnosis banding BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
7. Pemeriksaan  Tes Penala didapati kesan sensorineural
penunjang  Audiogram didapati tuli sensorineural terutama nada rendah
 Pemeriksaan laboratorium tidak didapati pemeriksaan yang spesifik
 Tes Keseimbangan
 Tes Kalori
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
- Istirahat dan berbaring dalam posisi yang meringankan keluhan
11. Edukasi
- Kebiasan merokok harus segera dihentikan
60
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Ad Vitam : dubia adbonam / malam


12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
17. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

NODUL PLICA VOCALIS


1. Pengertian (Definisi) Nodul adalah benjolan kecil pada 1/3 anterior dan 1/3 tengah korda vokalis,
biasanya simetris kanan dan kiri. Terbentuk pada daerah yang mendapat
tekanan terbanyak ketika korda vokalis bertemu waktu vibrasi. Tekanan
berulang-ulang pada daerah yang sama sehingga menimbulkan kerusakan dan
pada proses penyembuhan timbul nodul
Etiologi - Vocal abuse/vocal misuse
Sering pada anak-anak, guru, penyanyi
- Vocal abuse :
Perilaku atau kejadian yang menyebabkan trauma pada korda
vokalis, misalnya : banyak bicara, bersihkan tenggorok, batuk,
menghirup iritan, merokok, berteriak.
- Vocal misuse :
Penggunaan suara yang salah, misalnya : bicara terlalu keras,
bicara dengan nada tinggi dan rendah yang abnormal
Gejala Klinik Suara serak/parau.
Pemeriksaan - Pemeriksaan fisik: telinga, hidung dan tenggorok, daerah leher dan
dada
- Laringoskopia indirekta
- Laringoskopia direkta
- Fiber – Optic Laringoscopy (FOL)
- Pemriksaan penunjang :
Pemeriksaan Stroboscope, Ro Thorak, pemeriksaan laboratorium
Terapi - Voice therapy
- Kurangi berbicara, jangan berbisik
- Bila cukup besar, ekstirpasi dengan bedah laring mikroskopik
61
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

(BLM) ( eksisi lesi laring ICD 9:30.09 )


2. Indikasi Disfonia (ICD 10: R490)
Nodul of vocal cord (ICD 10 J.382)
3. Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
2. Risiko tinggi pembiusan umum
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent)
2. Ijin operasi
3. Ijin pembiusan
4. Konsul: Anestesi
5. Konsul: Penyakit Dalam/ Kardiologi (atas indikasi)
6. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula
darah sewaktu
7. Pemeriksaan radiologi
 Foto toraks
8. Puasa 6 jam sebelum operasi

B. Bahan dan Alat


1. Bahan
 Larutan Betadine 100 ml
 Alkohol 70% 25 ml
 Kassa Depper Tonsil 4 pack (@5 buah)
 Kassa steril 1 pack (@5 lembar)
 Benang silk 2-0 1 pack
2. Alat
 Laringoscope dewasa (Direct - Laringoskop Lengkung /
Macintosh Laryngoscopy )
 Laringoscope anak-anak / bayi ( Direct - Laringoskop Lurus /
Miller Laryngoscopy )
 Telescope 00 , 300 , 900
 Fibre Optic Laryngoscope dan forcep biopsi
 Forcep lurus dan upturn
 Pompa Penyedot (Sucktion pump)
62
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Tang Biopsi
 Tang Ekstirpasi Corpus Alienum
 Sumber cahaya
 Kabel sumber cahaya

C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis sesuai
tingkat kompetensi pendidikannya

5. Prosedur 1. Antibiotik profilaksis intravena diberikan 30 menit sebelum insisi


2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi

Bedah Mikrolaring
1. Teknik operasi
2. Pasien tidur diatas meja operasi posisi supine
3. Dokter anestesi mengintubasi laring (jika ada penggunaan laser
diantisipasi) diarahkan ke sisi kiri mulut
4. Bantalan ditempatkan dibawah bahu supaya dapat ekstensi kepala dan
leher secara sempurna.
5. Meja ditempatkan di posisi tredelenburg terbalik agar didapatkan posisi
yang nyaman untuk melihat laring melalui mikroskop.
6. Laringoskop dimasukkan seperti yang sebelumnya disebutkan.
7. Saat laring sudah tervisualisasi dengan adekuat, ujung dari laringoskop
operator didekatkan ke midline sehingga jaringan yang patologi terlihat.
8. Laringoskop dimasukkan, epiglotis diungkit, lalu laringoskop dimasukkan
untuk mengevaluasi seluruh struktur anterior laring
9. Alat suspension apparatus disambungkan ke laringoskop lalu
disambungkan ke Mayo stand atau direkatkan ke meja operasi.
Laringoskop yang tergantung dari meja yang menempel dari tempat tidur
membuat pergerakan dari meja tanpa mengganggu posisi laringoskop.
10. Mikroskop didekatkan ke lapangan operasi dan laring divisualisasi dengan
lensa pembesaran 400 mm. Instrumen laring dapat digunakan dengan alat
mikro sesuai indikasi (forsep yang sesuai dengan peruntukannya).
11. Bila menggunakan laser CO2 maka wajah harus ditutup dengan handuk
yang lembab dan mata ditutup dengan penutup mata yang lembab. Tidak
63
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

satupun bagian dari wajah yang boleh terekspos. Petugas kamar operasi
harus menggunakan pelindung mata.
12. Bila diperlukan pemeriksaan pada komisura posterior dan area ini tertutup
oleh ETT, maka ETT dipindahkan dan ventilasi dilanjutkan dengan
menggunakan alat Venturi Jet. Venturi diletakkan pada saluran cahaya
laringoskop dan diposisikan diatas inlet laryngeal. Saat posisi sudah
adekuat, pergerakan dinding dada dapat dilihat dengan baik tanpa obstruksi
pada laring.
13. Instrumen kanul penghisap diletakkan di saluran cahaya dapat membantu
menghisap asap yang dihasilkan dari prosedur laser. Hal ini
memungkinkan karena pencahayaan untuk prosedur ini dihasilkan dari
mikroskop.
14. Di akhir dari prosedur, pasien dapat di intubasi ulang untuk pemulihan
anestesi, hal ini dapat dilakukan dengan dua metode:
15. Laringoskop diangkat dan pasien diintubasi seperti biasa
16. Pasien di intubasi ulang dengan laringoskop masih pada posisi
17. Operasi selesai
18. Sign out
Komplikasi 1. Laringospasme
2. Edema glotik
3. Trauma gigi
6. Pasca Prosedur 1. Medikamentosa
Tindakan  Dexametason dosis tunggal intraoperatif injeksi (Rekomendasi A)
 Antibiotika: amoksisilin klavulanat selama 3 hari
 Analgetika: asam mefenamat atau metampiron selama 3 hari
 Lain-lain asam traneksamat
2. Evaluasi outcome:
b.Tidak ada risiko obstruksi napas yang dapat berisiko mengancam
kematian
c. Luka operasi tidak infeksi
3. Diet: lunak dan dingin 5 hari
7. Kepustakaan 1. Ballenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck,
Philadelphia, Lea & Fabiger, 2009, chapter 29,31-33,37, pp.570-588,605-
41,682-746
2. Bailey BJ and Pillsburry III HC. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadelphia, JB Lippincott Co, 2014, chapter 68,
pp.989-1003
3. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery.
New Delhi, Elsevier, 6th Ed, 2014, Chapter 61, pp.303-07
64
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

4. Lee KJ. Essential Otolaryngology. Head & Neck Surgery. New York.
McGraw Hill, 8th Ed, 2002, Chapter 31, pp. 724-92
5. Nauman HH. Head and Neck Surgery, Vol 3, New York, Thieme Medical
Publishers Inc, 1997, Chapter 13, pp 358-59
6. Perhati - kl. Modul laring faring 2015. Jakarta, bab disfonia - neoplasma
jinak laring.
7. Potsic WP. Surgical Pediatric Otolaryngology, New York, Thieme
Medical Publishers Inc, 1997, Chapter 42, pp 532-37
8. Scott Brown. Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Great Britain,
Edward Arnold, 7thed, 2007 Chapter 88, pp.1135- 49
9. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World
Health Organization
10. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization

65
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION/ORIF


1. Pengertian (Definisi) ORIF adalah tindakan pembedahan untuk mereposisi tulang yang patah
kembali ke posisi yang normal, dan dilakukan fiksasi internal tulang
yang patah dengan menggunakan plate and screw agar memperoleh
osteosintesis di antara patahan tulang sehingga penyembuhan luka pada
tulang yang patah dapat berjalan dengan baik dan stabil.
2. Indikasi 1. Wajah asimetris
2. Gangguan fungsi mengunyah
3. Gangguan fungsi pernapasan
4. Gangguan penglihatan
5. Maloklusi
6. Trismus
Pada kasus trauma wajah dan maksilofasial :
• Fracture of skull and facial bones (ICD 10: S 02)
• Fracture of malar and maxillary bones (ICD 10: S 02.4)
• Fracture of other skull and facial bones (ICD 10: S 02.8)
• Fracture of skull and facial bones, part unspecified (ICD 10: S02.9)
3. Kontraindikasi Relatif:
1. Penurunan kesadaran
2. Keadaan umum tidak stabil (tekanan darah, nadi, pernapasan dan
suhu).
3. Gangguan hemodinamik
4. Gangguan pembekuan darah
5. Infeksi saluran pernapasan atas
6. Gangguan fungsi jantung dan paru
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. PASIEN
66
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang


dapat terjadi.
2. Ijin Operasi
3. Ijin Pembiusan
4. Konsul : Anestesi/Kesehatan Anak/ Penyakit Dalam
/Kardiologi (atas indikasi)
5. Pemeriksaan laboratorium:
• Pemeriksaan darah tepi lengkap
• PT dan APTT
• Atas indikasi: SGOT, SGPT , ureum dan kreatinin darah,
gula darah sewaktu, elektrolit
6. Pemeriksaan Radiologi:
• Foto polos sinus paranasal : posisi Waters
• Foto kepala lateral maupun servikal lateral
• Tomografi komputer sinus paranasal dan wajah 3
dimensi
• Rontgen toraks
7. Lain-lain : EKG bila perlu
8. Penderita puasa minimal 6 jam sebelum ORIF
B. BAHAN DAN ALAT
9. BAHAN HABIS PAKAI
 Plate and screw yang akan digunakan sesuai lokasi fraktur
(plate 1.2mm, 1.6mm, 2.0mm, 2.4mm, screw 4mm, 5mm,
6mm, 8mm, bentuk plate “L”,”Y”,”T” dan “I”)
 Wire dan Arch Bar
 Larutan betadine 100 mL
 Alkohol 70% 25 mL
 Epinefrin : NaCl 0.9% = 1: 200.000
 Kassa depper tonsil 4 pack (@5 buah)
 Kasa steril 1 pack (@ 5 lembar)
 Benang vicryl 4.0
 Benang prolene 4.0 atau 5.0
 Tampon hidung Poly vynil Acetat (PVA)
 Pisau Bisturi
 Spuit disposible 5 cc, 3 cc
 Plester
 Selang NGT sesuai kondisi jika diperlukan
10. ALAT
67
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Plate dan screw handling


 Respatorium/elevator
 Drill/bor
 Pinset
 Birkett Artery forcep
 Negus Artery forcep
 Gunting Jaringan
 Rowe hook
 Rowe forcep
 Needle holder
 Blade Holder
 Chisel
 Hammer
 Langenback
 Lampu kepala
 Mesin suction dan selang suction
 Kauter jika diperlukan
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
sesuai tingkat kompetensi pendidikannya
3. Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan
klinis
4. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis

5. Prosedur 1. Identifikasi
2. Sign in
3. Time out
4. Menggunakan anestesi umum,
5. Penderita terlentang di atas meja operasi.
6. Tindakan A dan antiseptik lapangan operasi baik untuk area
rongga mulut maupun wajah pasien.
7. Setelah penandaan dan infiltrasi sempurna dilakukan insisi
sesuai penandaan dan perencanaan gambar.
8. Dilakukan insisi pada sublabial/subsilia/bikoronal yang
diekstensikan tergantung posisi dan daerah fraktur.
9. Dilakukan diseksi secara tumpul hingga periosteum,
periosteum dipisahkan dari tulang sehingga tercapai maksila
68
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

degloving (seluruh os maksila terpapar berikut daerah garis


frakturnya), lalu dilakukan reposisi dan fiksasi dengan internal
fiksasi yang stabil sepanjang garis fraktur.
10. Dilakukan pemasangan plate and screw pada daerah fraktur,
dilakukan mobilisasi awal untuk mengevaluasi dan mencapai
oklusi yang optimal,
11. Dilakukan perawatan perdarahan dengan memperhatikan
jaringan lunak dan mempreservasi suplai neurovascular di
daerah operasi.
12. Luka operasi ditutup lapis demi lapis, dilakukan penutupan
luka dengan menggunakan verban tekan.
13. Operasi selesai
14. Sign out
6. Pasca Prosedur 1. Evaluasi Outcome:
tindakan • Tanda vital baik
• Tidak perdarahan aktif
• Tidak ada komplikasi : perdarahan, anemia, obstruksi jalan
nafas, cedera saraf, kebocoran cairan otak, trauma periorbita,
maloklusi, gangguan gerakan bola mata, infeksi, dan syok
2. Perawatan pasca tindakan
• Perawatan pasca tindakan selama 5 hari
• Pemeriksaan radiologi pasca operasi
• Kompres dingin 43
• Lepas tampon setelah 2 hari jika terdapat rekonstruksi hidung
• Diet lunak per oral atau cair per NGT
• Menjaga higiene mulut
3. Medikamentosa :
• Antibiotika : Seftriakson injeksi (dosis disesuaikan)
• Analgetik parasetamol (dosis disesuaikan)
• Transamin injeksi (dosis disesuaikan)
• Vitamin K injeksi (dosis disesuaikan)
• Ranitidin injeksi (dosis disesuaikan)
• Terapi pulang : antibiotika (Amiokxillin Klavulanat 3 x 625
mg atau Klindamisin 3 x 300mg), analgetik (Paracetamol
3x500mg atau Calcium Diklofenak 2x 50 mg)
7. Indikator medis ORIF tanpa komplikasi selesai dalam waktu 180 menit
Target:
80% ORIF tanpa penyulit selesai dalam waktu 120 menit
8. Kepustakaan 1. Stack Jr BC. Ruggiero FP. Midface Fracture. In: Johnson JT, Rosen
69
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

CA eds. Bailey’s Head and Neck Surgery -Otolaryngology Vol 1.


Lippincot Williams and Wilkins. Philadelphia. 2014:1209 -24.
2. Doerr TD, Mathog RH. Le Fort Fractures (Maxillary fractures). In:
Papel ID, Frodel JL eds. Facial Plastic and Reconstructive Surgery.
Thieme. New York. 2008: 991 -1000.
3. Loyo M, Boahene KDO. Maxillary and Mandibular. In : Sclafani
AP. Sataloff’s Comprehensive Textbook Of Otolaryngology Head and
Neck Surgery Vol. 3. Jaypee. New Delhi. 2016: 947 - 961.
4. Banks P, Brown A. Fractures of the facial skeleton. Wright; 2001
5. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10).
World Health Organization
6. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization

70
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Pemasangan Tampon anterior


1. Pengertian (Definisi) Pemasangan tampon anterior adalah suatu prosedur tindakan pemasangan
tampon di bagian anterior hidung yang bertujuan menghentikan perdarahan
hidung aktif yang berasal dari hidung bagian anterior. Tampon dapat berupa
Nasal kateter (epistat/xomed), Nasal tampon (merocel/ netcel sponge) atau Rol
tampon.
2. Indikasi Epistaksis anterior
3. Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
2. Alergi terhadap bahan tampon dan antibiotik zalf
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan tindakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent)
2. Ijin tindakan
3. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula
darah sewaktu, HbsAg
4. Pemeriksaan radiologi
 Foto Os Nasal, SPN
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
 Nasal kateter – epistat/xomed
 Nasal tampon merocel/ netcel sponge
 Rol Tampon
 Larutan betadine
 Antibiotik topikal zalf
 Oksigen
2. Alat

71
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Lampu kepala
 Mesin suction dan selang suction
 Spekulum hidung
 Bayonet hidung
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Dokter umum yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Memegang spekulum hidung dengan cara : ibu jari pada joint, jari
telunjuk diletakkan pada dorsum hidung dan jari lainnya pada batang
spekulum untuk memegang.
2. Masukkan spekulum ke nostril kiri/kanan, spekulum harus selalu
terbuka dan diarahkan ke superior dan jangan ke lantai hidung.
Inspeksi akan lebih baik dengan menekan puncak hidung
3. Berikan anestesi topikal untuk menekan rasa tidak nyaman, risiko
apnea, bradikardi, dan hipotensi yang diakibatkan blocking the nasal-
vagal reflex. Tampon kapas yang telah diberi larutan pantocaine 1%
atau lidocaine (dengan atau tanpa 1-2 tetes larutan epinefrin 1 : 1.000)
disimpan di rongga hidung selama 3-5 menit. Evaluasi sumber
perdarahan setelah tampon kapas dibuka.
4. Pasanglah tampon hidung anterior yang telah dilapisi vaselin atau salep
antibakteri ke dalam rongga hidung.
5. Tampon dipasang dengan cara berlapis-lapis (layering) mulai dari
dasar hidung ke koana di belakang sampai setinggi konka media di
atas. Atau menggunakan tampon yang dimasukkan ke dalam
handscoon dan dipasang dalam kavum nasi.
6. Hal-hal yang harus diperhatikan :
- Waktu memasang tampon tidak boleh mengenai kolumela dan
septum nasi, karena bagian ini sangat mudah mengalami
trauma.
- Ujung tampon tidak boleh ada yang keluar ke orofaring
ataupun terlihat di orofaring di belakang palatum molle, hal ini
dapat menyebabkan iritasi, rasa tidak enak pada pasien dan
akan berbahaya bila tampon sampai ke saluran aerodigestive
dan dapat menyebabkan komplikasi.
- Tampon dipasang secukupnya, tidak boleh terlalu padat karena
dapat menyebabkan komplikasi
7. Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga hidung,
dilanjutkan dengan memasang kasa dan plester di anterior untuk
72
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

menahan tampon supaya tidak keluar. Pada pemasangan tampon


hidung bilateral:
- Bila perlu berikan oksigen yang telah dihumidifikasi
- Penderita harus diobservasi
8. Berilah antibiotik spektrum luas selama pemasangan tampon.

6. Pasca Prosedur 1. Medikamentosa


Tindakkan  Antibiotika sepektrum luas: selama pemasangan tampon
 Analgetika: asam mefenamat atau metampiron selama 3 hari
 Lain-lain asam traneksamat
2. Evaluasi :
 Tampon hidung anterior dipertahankan selama 2 x 24jam, bila
setelah dilepas epistaksis masih ada, lakukan kembali pemasangan
tampon hidung anterior.
 Bila epistaksis masif lanjutkan dengan pemasangan tampon posterior,
pasang infus dan transfusi sesuai indikasi
7. Indikator medis Komplikasi pemasangan tampon hidung meliputi cedera pada mukosa atau
kartilago septum (nekrosis dan perforasi), sinusitis, sinkop dan yang paling
jarang sindrom syok sepsis. Tampon hidung dapat dioleskan dengan salep
antibiotik topikal untuk mencegah terjadinya toxic shock syndrome.
Penggunaan antibiotik profilaksis sistemik selama pemasangan tampon
direkomendasikan untuk mencegah terjadinya sinusitis.
Target:
80% Pemasangan tampon anterior tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan
selesai dalam 5 menit
8. Kepustakaan 1. Randall DA. The nose and paranasal sinuses. Lee KJ. editor, Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery, International edition, Mc. Graw-
Hill, 2003. p:682 – 723.
2. Bailey BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014.
3. Rudmik L, Smith TL. Management of intractable spontaneous epistaxis.
Am J Rhiol Allergy 2012; 26:55-60.
4. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management.
Postgrad Med J 2005;81:309-14.
5. Lore JM, Medina JE. An atlas of head and neck surgery. 4 th ed. Elsevier
Inc. 2005. p: 270 – 285.
6. Fokkens WJ. Epistaksis management : evaluation of old tricks and new
treatment options. Rhinol 2011; 49: 385-6.

73
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Pemasangan Tampon posterior (Bellocq)


1. Pengertian (Definisi) Pemasangan tampon posterior adalah suatu prosedur tindakan pemasangan
tampon di bagian posterior hidung yang bertujuan menghentikan perdarahan
hidung aktif yang berasal dari hidung bagian posterior. Tampon dapat berupa
nelaton kateter atau tampon bellocq.
2. Indikasi Epistaksis posterior
3. Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
2. Alergi terhadap bahan tampon dan antibiotik zalf
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan tindakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent)
2. Ijin tindakan
3. Konsultasi : dokter spesialis jantung, penyakit dalam untuk penyakit
dasar/penyebab.
4. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula
darah sewaktu, HbsAg
5. Pemeriksaan radiologi
 Foto Os Nasal, SPN
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
 Nelaton kateter
 Tampon bellocq
 Larutan betadine
 Antibiotik topikal zalf
 Oksigen
2. Alat
 Lampu kepala

74
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Mesin suction dan selang suction


 Spekulum hidung
 Bayonet hidung
C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Dokter umum yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Berikan anestesi lokal pada hidung/orofaring dengan larutan anestesi
dengan atau tanpa larutan adrenalin.
2. Masukkan Nelaton kateter melalui lubang hidung sampai terlihat di
orofaring dengan cara pasien membuka mulut dengan bantuan spatula
lidah, lalu ditarik keluar dari mulut.
3. Pada ujung kateter ini dikaitkan 2 benang tampon bellocq tadi,
kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar
dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk
untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Atau
masukkan Nelaton kateter melalui lobang hidung sampai terlihat di
orofaring, menggunakan spatula lidah. Isi balon dengan udara atau
cairan secukupnya (antara 2 – 3 cc). Nelaton ditarik kembali lewat
hidung perlahan-lahan sampai dirasakan menyangkut di nasofaring, di
belakang choana posterior dan tidak keluar atau meluncur ke kavum
nasi.
4. Perhatikan adakah refleks naso vagal.
5. Setelah tampon posterior terpasang dengan baik, pasang tampon
anterior
6. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan
kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di
nasofaring tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut
difiksasi longgar di pipi. Atau Nelaton kateter yang di depan hidung
difiksasi dengan gulungan kasa kecil.
7. Pasien diberi antibiotik spektrum luas, dirawat inap dan diawasi tanda-
tanda refleks vagal terutama kearah jantung/kardiovaskuler.

6. Pasca Prosedur 1. Medikamentosa


Tindakkan  Antibiotika sepektrum luas: selama pemasangan tampon
 Analgetika: asam mefenamat atau metampiron selama 3 hari
 Lain-lain asam traneksamat
2. Evaluasi :

75
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Tampon hidung posterior dipertahankan selama 2 x 24jam, bila


setelah dilepas epistaksis masih ada, lakukan kembali pemasangan
tampon hidung posterior.
 Bila masih epistaksis masif lanjutkan pemasangan tampon posterior,
pasang infus dan transfusi sesuai indikasi. Pikirkan tindakan
embolisasi/pembedahan jika epistaksis berlanjut.
7. Indikator medis Komplikasi pemasangan tampon hidung meliputi cedera pada mukosa atau
kartilago septum (nekrosis dan perforasi), sinusitis, sinkop dan yang paling
jarang sindrom syok sepsis. Tampon hidung dapat dioleskan dengan salep
antibiotik topikal untuk mencegah terjadinya toxic shock syndrome.
Penggunaan antibiotik profilaksis sistemik selama pemasangan tampon
direkomendasikan untuk mencegah terjadinya sinusitis.
Target:
80% Pemasangan tampon posteriortanpa terjadi komplikasi pasca tindakan
selesai dalam 10 menit
8. Kepustakaan 1. Randall DA. The nose and paranasal sinuses. Lee KJ. editor, Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery, International edition, Mc. Graw-
Hill, 2003. p:682 – 723.
2. Bailey BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014.
3. Rudmik L, Smith TL. Management of intractable spontaneous epistaxis.
Am J Rhiol Allergy 2012; 26:55-60.
4. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management.
Postgrad Med J 2005;81:309-14.
5. Lore JM, Medina JE. An atlas of head and neck surgery. 4 th ed. Elsevier
Inc. 2005. p: 270 – 285.
6. Fokkens WJ. Epistaksis management : evaluation of old tricks and new
treatment options. Rhinol 2011; 49: 385-6.
7. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Dalam : Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2010: 155-9.

76
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

TINITUS
1. Pengertian (Definisi) Tinnitus adalah suatu persepsi bising yang tidak didahului oleh adanya stimulus
suara. Tinnitus dapat terjadi sebagai suatu nada murni atau beragam bunyi dan bisa
bernada tinggi melengking, bernada rendah, berdering, berdengung, menderu,
mengklik, mendesis, kasar, berdenyut, atau stabil.
2. Anamnesis Anamnesa riwayat penyakit lengkap dan penggunaan obat-obatan merupakan
komponen esensial dalam menerapi pasien tinnitus.
3. Pemeriksaan fisik Semua pasien harus diperiksa tekanan darahnya pada kedua lengan, dan
pemeriksaan rutin harus mencakup tes audiometric (tes audiometri hantaran
udara, tulang dan speech audiometric). Pemeriksaan labolatorium harus
meliputi kadar hematokrit, dan tes flouresensi absorbsi antibody treponema.
Jika disertai adanya kecurigaan terhadap ganggguan fisik atau metabolik,
perlu diperiksa kimiawi darah, kadar tiroid, profil lipid, dan pemeriksaan lain
yang diperlukan. Pada kasus penurunan pendengaran unilateral, tes audiologi
dan radiologi perlu dilakukan untuk mengeliminasi kecurigaan adanya tumor
di fossa posterior. Sebagian besar tumor dan anomaly yang terbaik diperiksa
dengan CT. bagi pasien dengan tinnitus yang non-pulsatif, MRI merupakan
pilihan pemeriksaan utama untuk menyingkirkan kemungkinan vestibular
schwannoma atau tumor lain dari sisterna cerebellopontin angle.
4. Kriteria diagnosis Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis Kerja Tinitus
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Tes Audiometri nada murni dan tutur
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Tidak boleh mengorek- ngorek telinga
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV

77
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and
Throat Disease, Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New
York, 1994, p. 71-5.
2. Figueiredo RR, Azevedo AA, Kós AO, Tomita S. Complications of ent
foreign bodies: a retrospective study. Braz J Otorhinolaryngol. Jan-Feb
2008;74(1):7-15.
3. Jung T.T.K, Jinn T.H. Disease of The External Ear. In Ballenger’s
17. Kepustakaan Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. Ontario: BC
Decker Inc; 2003. p. 234-5.
4. Kroon D.F, Strasnick B. Disease of the Auricle, External Auditory Canal,
and Tympanic Membrane. In Glasscock Shambaugh Surgery Of The Ear
5th Edition. Ontario : BC Decker Inc;2003. p.351-2.
5. Lee .K.J. Noninfectious disorders of the ear. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery 9th Edition. Elseiver Science Publishers, 2008, p.
345

78
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

TONSILITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Radang akut pada tonsila palatina oleh kuman non spesifik yang keluhannya
kurang dari 3 bulan
2. Anamnesis 1. nyeri tenggorok
2. nyeri menelan
3. Nyeri kepala
4. demam (suhu tinggi)
5. sakit telinga (diproyeksikan ke telinga)
6. mulut berbau
7. Tonsil bengkak hiperemis, permukaan tampak bercak-bercak putih
(mambran)
8. Kelenjar leher sub mandibula besar dan Nyeri
3. Pemeriksaan fisik Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
4. Kriteria diagnosis Tonsil bengkak hiperemis, permukaan tampak bercak-bercak putih (membran)
5. Diagnosis Kerja Tonsilitis Akut
6. Diagnosis banding 1. tonsilitis difteri
2. agranula sitosis
3. leukimia akuta
4. tonsilitis plaut vincent
5. mononukleosis infeksiosa
7. Pemeriksaan 1. Swab Tenggorokan atau kultur darah untuk mengetahui kuman dan uji test
penunjang sensitivitas-resistensi AB.
2. ASTO
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
79
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

TONSILITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Tonsilitis Kronik adalah radang kronik pada tonsila palatina yang disebabkan
oleh bakteri non spesifik yang keluhannya lebih dari 3 bulan.
Jenis tonsilitis kronik, ada 3 (tiga) yaitu :
a. Hipertrofikans
b. Folikularis
c. Fibrotika
2. Anamnesis 1. nyeri tenggorok
2. nyeri menelan
3. Nyeri kepala
4. demam (suhu tinggi)
5. sakit telinga (diproyeksikan ke telinga)
6. mulut berbau
7. Tonsil bengkak hiperemis, permukaan tampak bercak-bercak putih
(mambran)
8. Kelenjar leher sub mandibula besar dan Nyeri
3. Pemeriksaan fisik 1. Tonsil bengkak, hiperemi
2. Kripte melebar
3. Terdapat detritus pada tonsil
4. Tonsil besar derajat III (ada kesulitan makan/nafas)
5. Kadang disertai bercak-bercak putih pada tonsil
6. Kelenjar sub mandibula membesar
4. Kriteria diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Tonsilitis Kronik
6. Diagnosis banding Tonsilitis akut
Faringitis akut
Nasofaringitis
7. Pemeriksaan 1. Swab Tenggorokan atau kultur darah untuk mengetahui kuman dan uji test
penunjang sensitivitas-resistensi AB.
2. ASTO
3. Patologi Anatomi
8. Tatalaksana
80
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL


11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

81
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

TULI MENDADAK (SUDDEN DEAFNESS)


1. Pengertian (Definisi) Ialah Tuli yang terjadi secara tiba-tiba,dimana jenis ketuliannya adalah
sensorineural yang biasanya terjadi pada satu telinga dengan penurunan
pendengaran sensorineural 30 db atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi
berturut-turut pada pemeriksaan audiometric dan berlangsung dalam waktu
kurang dari 3 hari.
2. Anamnesis 1. Tuli mendadak kurang dari 3 hari
2. Tuli didapati pada telinga unilateral dan Billateral
3. Tinitus
4. Vertigo
3. Pemeriksaan fisik 1. Tensi Darah
2. Otoskopi didapati dalam batas normal
3. Tes Penala: Rinne Positif, weber lateralisasi ke telinga sehat,schwabach
memendek. Dengan Kesan sensorineural
4. Audiometri nada murni: Tuli sensorineural ringan sampai berat
5. Audiometri Tutur: kurang dari 100% dengan kesan tuli sensorineural
6. Timpanometri :Timpanogram tipe A dengan kesan Sensorineural
7. Pemeriksaan Laboratorium untuk melihat kemungkina infeksi
virus,bakteri,hiperlipidemia,hiperfibrinogen,hipotiroid,penyakit autoimun,
dan faal hemostasis
8. CT Scan Kepala
4. Kriteria diagnosis Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis Kerja Tuli Mendadak
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Tes Audiometri nada murni dan tutur
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam

82
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV


Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and
Throat Disease, Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New
York, 1994, p. 71-5.
2. Figueiredo RR, Azevedo AA, Kós AO, Tomita S. Complications of ent
foreign bodies: a retrospective study. Braz J Otorhinolaryngol. Jan-Feb
2008;74(1):7-15.
3. Jung T.T.K, Jinn T.H. Disease of The External Ear. In Ballenger’s
17. Kepustakaan Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. Ontario: BC
Decker Inc; 2003. p. 234-5.
4. Kroon D.F, Strasnick B. Disease of the Auricle, External Auditory Canal,
and Tympanic Membrane. In Glasscock Shambaugh Surgery Of The Ear
5th Edition. Ontario : BC Decker Inc;2003. p.351-2.
5. Lee .K.J. Noninfectious disorders of the ear. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery 9th Edition. Elseiver Science Publishers, 2008, p.
345

83
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

TULI SYARAF
1. Pengertian (Definisi) Penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga pada
telinga bagian dalamPenurunan fungsi pendengaran sensorineural
dikelompokkan lagi menjadi:
I. Penurunan fungsi pendengaran sensorik (Koklea) disebabkan oleh :
1. Trauma akustik
2. Infeksi virus pada telinga dalam
Obat-obatan tertentu ; Streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina,
asetosal atau alkohol
3. Tuli mendadak
4. Aplasia (Kongenital)
5. Pajanan Bising
II. Penurunan fungsi pendengaran neural (RetroKoklea) bisa disebabkan oleh :
1. Tumor otak yang juga menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf di sekitarnya
dan batang otak
2. Tumor syaraf auditorium
3. Berbagai penyakit otak dan saraf
4. Beberapa penyakit keturunan
Pada anak-anak, kerusakan saraf pendengaran bisa terjadi akibat :
a. Gondongan
b. Campak Jerman (rubella)
c. Meningitis
d. Infeksi telinga dalam
Kerusakan jalur saraf pendengaran di otak bisa terjadi akibat penyakit
demielinasi (penyakit yang menyebabkan kerusakan pada selubung saraf).
III. Penderita yang mempunyai kedua bentuk kerusakan telinga diatas dinamakan
Kerusakan pendengaran tercampur – mixed hearing loss
2. Anamnesis 1. Pasien kesulitan dalam mendengarkan percakapan terutama pada daerah
sekitar berisik
2. Tinitus
3. Tidak dapat mendengarkan televisi atau radio dengan volume normal
4. Pusing
5. Dan didapati gangguan keseimbangan
3. Pemeriksaan fisik 1. Tensi Darah
2. Pemeriksaan Dengan Garputala;Rinne,Weber, dan Scwabach
84
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

3. Audiometri Nada Murni


4. Audiometri Tutur
5. Timpanometri
4. Kriteria diagnosis Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis Kerja Tuli Syaraf
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Tes Audiometri nada murni dan tutur
penunjang
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam

13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV


Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and
Throat Disease, Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New
York, 1994, p. 71-5.
2. Figueiredo RR, Azevedo AA, Kós AO, Tomita S. Complications of ent
foreign bodies: a retrospective study. Braz J Otorhinolaryngol. Jan-Feb
2008;74(1):7-15.
3. Jung T.T.K, Jinn T.H. Disease of The External Ear. In Ballenger’s
17. Kepustakaan Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. Ontario: BC
Decker Inc; 2003. p. 234-5.
4. Kroon D.F, Strasnick B. Disease of the Auricle, External Auditory Canal,
and Tympanic Membrane. In Glasscock Shambaugh Surgery Of The Ear
5th Edition. Ontario : BC Decker Inc;2003. p.351-2.
5. Lee .K.J. Noninfectious disorders of the ear. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery 9th Edition. Elseiver Science Publishers, 2008, p.
345

85
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

TONSILEKTOMI
1. Pengertian (Definisi) Tonsilektomi adalah prosedur operasi pengangkatan tonsil yang dilakukan
dengan atau tanpa adenoidektomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat
selurh tonsil dan kapsulnya, dengan menlakukan disesksi pada ruang peritonsil
di antara kapsul tonsil dan otot dinding fossa tonsil (AAO-NHS 2011)
2. Indikasi 1. Chronic tonsillitis (ICD 10: J35.0), Hypertrophy of Tonsil (ICD 10:
J35.1), Hypertrophy of Tonsils with hypertrophy of adenoids (ICD 10:
J35.3), peritonsillar abscess (ICD 10: J36)
2. Recurrent acute tonsillitis (ICD 10: J03.91)
3. Malignant neoplasm of tonsil (ICD 10: C09.0 sampai C09.9)
4. Benign neoplasm of tonsil (ICD 10: D10.4)
5. Hodgkin lymphoma of tonsil (ICD 10: C81.0 sampa C81.9)
6. Obstructive Sleep Apnea Syndome/ Sleep Disorder Breathing (ICD 10:
G47.3)
3. Kontraindikasi 1. Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
2. Risiko tinggi pembiusan umum
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
(informed consent)
2. Ijin operasi
3. Ijin pembiusan
4. Konsul: Anestesi
5. Konsul: Kesehatan Anak/ Penyakit Dalam/ Kardiologi (atas indikasi)
6. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: SGOT, SGPT, ureum dan creatinin darah, gula
darah sewaktu
7. Pemeriksaan radiologi
 Foto toraks
8. Puasa 6 jam sebelum operasi
86
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

B. Bahan dan Alat


1. Bahan
 Larutan Betadine 100 ml
 Alkohol 70% 25 ml
 Kassa Depper Tonsil 4 pack (@5 buah)
 Kassa steril 1 pack (@5 lembar)
 Benang silk 2-0 1 pack
2. Alat
 Bipolar cautery system 1 set
 Mouth gag Davis 1 set dengan tongue depressor ukuran 1,2,3,4
 Tonsing Holding forceps 1 buah
 Tonsil Dissector dan Pillar Retractor 2 buah
 Birkett Artery Forceps 1 buah
 Negus Artery forceps 1 buah
 Gunting tonsil
 Adenoid Currete 2 buah
 Yankauer Suction Catheter Bulb Tip (disposable)
 Needle holder
 Blade holder
 Blade no.12 (disposable)
 Sickle Knife
 Lampu kepala
 Mesin suction dan selang suction

C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
3. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.
5. Prosedur 1. Antibiotik profilaksis intravena diberikan 30 menit sebelum insisi
2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi
6. Teknik operasi tonsilektomi adalah mengangkat jaringan tonsil yang secara
umum dilakukand engan insisi mukosa faring dan diseksi tonsil diikuti
dengan hemostasis mengikat pembuluh darah (Teknik operasi dapat
menggunakan cold instrument atau guillotine dissection. Teknik lain untuk
87
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

mengangkat tonsil bersamaan dengan hemostasis dapat dilakukan dengan


electrosurgery/ diathermy. radiofrequency ablation, coblation, harmonic
scalpel, thermal welding, carbon dioxide laser, micro debrider.
7. Tahapan tonsilektomi dengan metode diseksi (Dissection method)
a. Pasien dalam posisi terlentang, kepala ekstensi
b. Dipasang mouth gag Davis sesuai dengan ukuran rongga mulut pasien.
c. Pole atas tonsil dipegang dengan klem kemudian ditarik kea rah
medial
d. Lakukan insisi secara tajam antara nassa tonsil dan pillar dengan
menggunakan sickle knife mulai dari pole di atas tonsil.
e. Selanjutnya insisi dilanjutkan secara gentle.
f. Kemudian dilakukan diseksi tonsil menggunakan disektor sampai
tinggal pedikel tonsil di pole inferior. Diseksi juga dapat dilakukan
dengan menggunakan electrosurgery/ diathermy, radiofrequency
ablation, coblation, harmonic scalpel, thermal welding, carbon
dioxide laser, micro debrider.
g. Pedikel diklem dengan Negus Artery forceps, tonsil digunting.
h. Perdarahan dirawat dengan cara ligase menggunakan benang silk 2-0.
i. Hal yang sama dilakukan pada tonsil sisi kontralateral.
j. DIlakukan evalusai pada fossa tonsil, bila ada perdarahan dilakukan
hemostasis.
k. Mouth gag Davis dilepas
8. Operasi selesai
9. Sign out
6. Pasca Prosedur 1. Medikamentosa
Tindakkan  Dexametason dosis tunggal intraoperatif injeksi (Rekomendasi A)
 Antibiotika: amoksisilin klavulanat selama 3 hari
 Analgetika: asam mefenamat atau metampiron selama 3 hari
 Lain-lain asam traneksamat
2. Evaluasi outcome:
 Tidak ada risiko obstruksi napas yang dapat berisiko mengancam
kematian
 Tidak ada perdarahan dan terbentuk fibrin
 Luka operasi tidak infeksi
 Tidak ada dehidrasi
3. Diet: lunak dan dingin 5 hari
7. Indikator medis Tonsilektomi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 60 menit
Target:

88
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

80% tonsilektomi tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan selesai dalam 60


menit
8. Kepustakaan 1. Rusmarjono, Soepardi EA, Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid.
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti Dwi R, editor.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok. Edisi Ke 6. Jakarta:
FKUI; 2007. H.223-5.
2. Lore JM, Medina JE. Tonsillectomy and Adenoidectomy. In: Lore JM,
Medina JE, editor. An Atlas of Head& Neck Surgery. 4thEd. Philladelphia:
ElsevierSaunders; 2005: p.770-2
3. 3. Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editor. Head & Neck surgery-
otolaryngology. 4th edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins;
2006.P.1184-98
4. Baugh RF, Archer SM, Mitchell RB, Rosenfeld RM, Amin R, Burns JJ, et
al. Clinical practice guideline: tonsillectomy in children. Otolaryngol
Head neck Surg. 2011; 144: S1-30.
5. Baglio G, Belussi L, et al. The clinical and organisational appropriateness
of tonsillectomy and adenoidectomy, The Italian National Program for
Clinical Practice Guidelines. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology; 2005.
6. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World
Health Organization
7. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization

89
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

TRAKEOSTOMI
1. Pengertian (Definisi) Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada trakea bagian anterior
2. Indikasi 1. Mengatasi sumbatan jalan napas atas (acute respiratory failure) (ICD
10 : J96.0) yang dapat disebabkan oleh :
a. Infeksi saluran napas, seperti : epiglotitis akut,
laringotrakeobronkitis akut)
b. Trauma daerah kepala leher
c. Tumor jinak maupun ganas daerah faring, laring, esofagus
d. Kelainan kongenital saluran napas atas
e. Paralisis abduktor bilateral
f. Benda asing di laring
2. Mengeluarkan sekret dari saluran trakeobronkial (bronkopneumonia,
bronkiektasis, koma)
3. Menunjang pemberian napas bantuan/ventilasi mekanik (emfisema
paru, paralisis otot napas)
4. Tidak dapat dilakukan intubasi pada prosedur anestasi umum
(operasi bedah daerah kepala leher, kelumpuhan laring)
3. Kontraindikasi 1. Massa di mediastinum/toraks
2. Gangguan pembekuan darah (relatif)
4. Persiapan Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
A. Pasien
1. Penjelasan operasi dan kemungkinan komplikasi yang
dapat terjadi.
2. Ijin Operasi, Ijin Pembiusan
3. Konsul :
• Anestesi : untuk intubasi atau bantuan ventilasi
• Anak : bila usia di bawah 18 tahun atas indikasi
• Penyakit Dalam : bila usia di atas 18 tahun atas
indikasi
• Kardiologi : bila usia di atas 40 tahun atas
indikasi
4. Pemeriksaan laboratorium:
• Analisa gas darah
90
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

• Pemeriksaan darah tepi lengkap


• PT dan APTT Panduan Praktik Klinik
Tindakan PP PERHATI-KL 45 Pemeriksaan
tambahan atas indikasi
• SGOT, SGPT
• Ureum dan creatinin darah
• Elektrolit
• Gula darah sewaktu
• Pemeriksaan golongan darah
• Pemeriksaan HbsAg dan anti HCV (bila terdapat
kecurigaan)
5. Pemeriksaan Radiologi: (non emergency)
• Foto Toraks
6. Elektrokardiografi (non emergency)
7. Pemeriksaan penunjang lain atas indikasi (non emergency)
8. Medikamentosa sebelum operasi : injeksi antibiotik
profilaksis, bila diperlukan kortikosteroid dan asam
traneksamat
9. Puasa 6 jam sebelum operasi (non emergency)

B. Bahan dan Alat


1. Bahan habis pakai
 Kassa
 Antiseptik
 Lidokain
 Sulfa atropin
 Suction cateter
 Pisau Bisturi
 Disposible spuit
 Benang jahit
 Kanul trakea
2. Alat
 Drapping
 Scalpel
 Klem artery bengkok (mimimal 2 buah)
 Gunting 1 buah
 Pinset 1 buah
 Hook langenbeck 1 pasang
91
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

 Needle holder

C. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. Perawat Kamar Operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan
klinis
3. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis
5. Prosedur 1. Identifikasi
2. Sign in
3. Time out
4. Trakeostomi dapat dilakukan dengan anestesi lokal maupun
umum.
5. Posisi penderita tidur telentang, kepala hiperekstensi (punggung
diganjal bantal).
6. Desinfeksi betadin daerah operasi dan sekitarnya, lapangan
operasi dipersempit dengan doek steril (drapping)
7. Infiltrasi lidokain epinefrin di daerah operasi untuk anestesi dan
vasokonstriksi.
8. Insisi secara vertikal (atau horisontal) pada pertengahan antara
kartilago krikoid dan sternum, lapangan operasi diperlebar dengan
retraktor.
9. Insisi di garis tengah dipisahkan (diperdalam) lapis demi lapis
secara tumpul dg klem arteri, hati-hati terhadap vena jugularis
anterior, arteri tiroidea ima, kelenjar tiroid (ismus tiroid dapat
diklem dipotong selanjutnya diligasi/kauter atau disisihkan ke atas
atau ke bawah).
10. Identifikasi trakea dengan punksi percobaan (bila mengenai
lumen trakea ditandai udara/bubble masuk dalam spuit yang terisi
cairan).
11. Pada anak (pediatric tracheostomy) ring trakea dijahit kanan dan
kiri pada lokasi insisi trakea
12. Trakea diinsisi pada ring kedua dan ketiga dari arah inferior ke
superior (inferior bjorg flap) atau jenis insisi lain seperti vertikal,
horizontal, superior bjorg flap dan starplasti
13. Kanul trakea diinsersikan secara gentle dan dilakukan tes
benang (bila kanul trakea masuk dalam lumen trakea, maka
benang akan bergerak dihembus oleh udara pernapasan lewat
kanul).
14. Kanul trakea difiksasi dengan mengisi balon kanul, jahitan pada
92
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

kulit leher, dan pita leher.


15. Luka operasi yang terlalu lebar dapat dijahit secara longgar,
terakhir ditutup dengan kassa, dan kanul dalam dipasang.
16. Operasi selesai
17. Sign out
6. Pasca Prosedur 1. Evaluasi Outcome:
tindakan • Tidak ada stridor dan retraksi
• Posisi kanul baik
• Tidak ada perdarahan aktif
• Tidak ada komplikasi emfisema subkutis
2. Rencana Perawatan
• Penderita dirawat selama 2 hari.
• Selama dirawat dilakukan perawatan kanul dan kanul dalam
serta observasi ada tidaknya komplikasi antara lain dengan
melakukan foto toraks bila ditemukan emfisema subkutis.
• Bila tidak ada komplikasi balon kanul dikempeskan setelah 4
jam
• Jahitan fiksasi kulit leher diangkat setelah 1 minggu (rawat
jalan)
• Penderita diedukasi cara perawatan kanul dan kanul dalam serta
tindakan pertama bila kanul buntu total atau salah posisi.
3. Medikamentosa : antibiotik post operasi (Amoksisilin 3 x 500mg
atau sefalosporin) dan mukolitik (Ambroksol/Karbosistein, dosis
disesuaikan) selama 5 hari
7. Indikator medis Trakeostomi terintubasi tanpa penyulit selesai dalam waktu 15 menit.
Target :
90% trakeostomi tanpa penyulit selesai dalam waktu 15 menit
8. Kepustakaan 1. Myers EN. Tracheostomy. In : EN Myers, ed. Operative
Otolaryngology Head and Neck Surgery vol. 1. WB Saunders.
Philadelphia. 2014, pp. 293-305
2. Goldsmith AJ, Wynn R. Upper airway obstruction. In: Lucente FE,
Har-el.eds. Essential of otolaryngology 5th ed. Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia, 2004; 257-61.
3. Burkey BB. Airway Control and Laryngotracheal Stenosis in
Adults. In : JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear,
Head and Neck. 17th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. 2009, pp.
903-12 Panduan Praktik Klinik Tindakan PP PERHATI-KL 48
4. Kost KM. Tracheotomy & Intubation. In : BJ Bailey, et al., eds.
Head and Neck Surgery – Otolaryngology.Vol 2. 5th Ed.
93
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2014, pp. 908-944


5. Yu KCY. Airway Management & Tracheotomy. In : AK Lalwani,
ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head and
Neck Surgery. International Edition. McGraw-Hill, Boston, 2012.
pp. 536-42
6. Woodson G. The Larynx. In : KJ Lee, ed. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 10th Ed. McGraw-Hill,
New York. 2012, pp. 529-56
7. Bhatti, NI. Surgical Management of the Difficult Adult Airway.
In : Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th ed.
Philadelphia.2010.pp 122-29
8. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10).
World Health Organization
9. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization

94
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

OTITIS EKSTERNA NEKROTIKAN


1. Pengertian (Definisi) Disebut juga Otitis Eksterna Nekrotikan atau Osteomielitis dasar tengkorak
merupakan infeksi telinga luar yang berbahaya. Ditandai dengan adanya
jaringan granulasi pada liang telinga dan nekrosis kartilago dan tulang liang
telinga hingga meluas ke dasar tengkorak.
2. Anamnesis 1. Nyeri telinga
2. Keluar cairan dari telinga
3. Nyeri kepala
3. Pemeriksaan fisik 1.
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan 1. Dilakukan pemeriksaan laboratorium klinik lengkap: DR3
penunjang (Hb,AL,AT,AE,Hct), PT, APTT, GDS, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin,
Albumin, elektrolit, Golongan Darah, HbsAg rapid.
2. Dilakukan pemeriksaan mikrobiologi terhadap cairan pus yang didapatkan
dari swab telinga.
3. Dilakukan pemeriksaan Rontgen, CT Scan
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien Sembuh
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

95
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

OTITIS MEDIA EFUSI


1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesis 1. Telinga terasa penuh, terasa ada cairan (grebeg-grebeg)
2. Pendengaran menurun
3. Terdengar suara dalam telinga sewaktu menelan atau menguap
3. Pemeriksaan fisik 1. Pemeriksaan fisik memperlihatkan imobilitas gendang telinga pada
penilaian otoskop pneumatik.. Pada otitis media serosa, membrane timpani
tampak berwarna kekuningan, sementara pada otitis  media mukoid terlihat
lebih kusam dan keruh. Membrane timpani dapat berwarna biru atau
keunguan bila ada produk-produk darah dalam telinga.
2. Reflek cahaya berubah atau menghilang.
3. Garpu tala : untuk membuktikan adanya tuli konduksi.
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan Audiogram : tuli konduktif.
penunjang
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Pasien Sembuh
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

96
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS


1. Pengertian (Definisi) OMSK adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran
timpani dan riwayat keluarnya secret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan,
baik terus menerus atau hilang timbul.
2. Anamnesis 3. Keluar cairan dari telinga terus menerus atau hilang timbul.
4. Nyeri telinga
3. Pemeriksaan fisik 2. Pasien duduk di kursi pemeriksaan THT
3. Pemeriksaan otoskopi dapat dilakukan secara sederhana menggunakan
lampu kepala dan corong telinga atau otoskop, tetapi dapat juga
menggunakan peralatan yang lebih canggih, sehingga akan lebih teliti
seperti pemeriksaan dengan mikroskop atau endoskope.
4. Kriteria diagnosis 1. Membran timpani perforasi, central / perifer, tanda kronisitas granuloma,
penebalan primentorium dan cholesteatom
2. Audiometri nada murni dan audiometri nada tutur.
3. Kultur dan sensitifitas.
4. Foto Ro. Mastoid.
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis banding OMSK Maligna
7. Pemeriksaan 4. Kultur dan sensitifitas
penunjang 5. Foto Ro. Mastoid
6. CT scan mastoid
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Menjaga agar telinga tidak kemasukan air.
2. Dilarang berenang.
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Pasien Sembuh
17. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

97
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

RINITIS ALERGI
1. Pengertian (Definisi) Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi dengan dilepaskan suatu mediator kimia (IgE) pada mukosa jalan nafas
hidung ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik pada pasien
atopik yang sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama sebelumnya.
2. Anamnesis Gejala-gejala mayor rinitis alergi adalah bersin, rinorea, hidung tersumbat,
serta hidung gatal dan lakrimasi.
3. Pemeriksaan fisik 1. Rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya banyak sekret yang encer.
2. Pada anak-anak dapat ditemukan tanda-tanda allergic shiner yaitu
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi kerena
statis vena sekunder akibat obstruksi hidung, allergic salute yaitu tempat
anak menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan, karena gatal
yang lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease.
4. Kriteria diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Alergi
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis Vasomotor
2. Rhinitis Medikamentosa
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah
penunjang 2. Uji Provokatif dan eliminasi
3. Uji Kulit (skin prick test)
4. Pemeriksaan Histologi
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Menghindari Alergen
2. Resiko komplikasi
3. Pengobatan
98
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam


Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Rhinitis Alergi teratasi
17. Kepustakaan 1. Chaaban MR, Naclerio RM. Immunology and Allergy. In: Johnson JT,
Rosen CA, eds. Bailey's Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 1.
Pennsylvania: Lippincott Williams&Wilkins; 2014:379-96.
2. Abbas, AK, Lichtman AH, Pillai S. Immediate Hypersensitivity. In:
Cellular And Molecular Immunology, International Edition, Sixth edition,
Saunder Elsivier, 2014

99
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

SKIN PRICK TEST


1. Pengertian (Definisi) Skin Prick test adalah suatu pengujian yang dilakukan pada kulit untuk
mengidentifikasi substansi alergi (alergen) yang menjadi pemicu timbulnya
reaksi alergi.
2. Anamnesis 1. Riwayat Alergi
2. Riwayat penyakit Atopi
3. Riwayat Pemakaian obat antihistamin, dekongestan dan kortikosteroid.
3. Pemeriksaan fisik 1. Tekanan darah.
2. Frekuensi nadi
3. Bebas penyakit kulit di lokasi pemeriksaan (volar lengan atas).
4. Kriteria diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Rinitis Alergi
6. Diagnosis banding Rhinitis Akut
Rhinitis Vasomotor
7. Pemeriksaan Skin Prick Test
penunjang Ig E
8. Tatalaksana Pemberian Antihistamin
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Tujuan pemeriksaan
2. Komplikasi
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Tes Alergi tuntas
17. Kepustakaan 3. Chaaban MR, Naclerio RM. Immunology and Allergy. In: Johnson JT,
Rosen CA, eds. Bailey's Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 1.
100
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Pennsylvania: Lippincott Williams&Wilkins; 2014:379-96.


4. Abbas, AK, Lichtman AH, Pillai S. Immediate Hypersensitivity. In:
Cellular And Molecular Immunology, International Edition, Sixth edition,
Saunder Elsivier, 2014

101
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

PRESBIASTASIS
1. Pengertian (Definisi) Presbiastasis merupakan terminologi untuk gangguan keseimbangan yang
merupakan hasil dari proses penuaan. Kondisi ini adalah efek dari perubahan
degenerasi.
2. Anamnesis Dengan anamnesis kita dapat mengetahui kemungkinan gangguan
keseimbangan. Penting untuk ditanyakan onset, intensitas, lamanya serangan.
Perlu ditanyakan apakah gangguan keseimbangan timbul saat perubahan
posisi tertentu. Adakah rasa tidak stabil, takut berjalan, atau bertambah buruk
pada kegelapan. Apakah disertai dengan rasa mual dan ingin muntah,
gangguan pendengaran, rasa penuh di telinga atau keluhan telinga
berdenging. Bentuk serangan perlu ditanyakan apakah ringan atau dirasakan
sangat berat, bersifat episodik atau terus menerus. Selain itu perlu ditanyakan
penyakit lain sebelumnya seperti influenza, radang pada telinga, riwayat
operasi telinga, pemakaian obat-obatan ototoksik, serta penyakit penyerta
seperti diabetes, hipertensi, gangguan vaskular lain serta riwayat trauma
kepala.
3. Pemeriksaan fisik 1. THT rutin, otopneumatoskopi.
2. Tekanan darah.
3. Pemeriksaan fungsi serebelum, terdiri dari dua pemeriksaan yaitu:
- Past pointing test, yaitu dengan merentangkan tangan kemudian
diangkat tinggi dan telunjuk menyentuh telunjuk dengan mata tertutup.
- Tes jari hidung, yaitu dalam posisi duduk pasien diminta menunjuk
hidung dengan jari pada keadaan mata terbuka dan tertutup.
4. Tes proprioseptif, terdiri dari dua pemeriksaan yaitu:
- Tes Romberg, dilakukan dengan cara berdiri tegak dengan kaki rapat
mata terbuka kemudian mata tertutup. Dapat dipertajam dengan
memposisikan kaki tandem depan belakang, lengan dilipat di dada, mata
tertutup. Pada orang normal posisi ini dapat dilakukan dengan baik lebih
dari 30 detik.
- Stepping test, berjalan 50 langkah ditempat, bila terdapat perubahan
posisi melebihi 1 meter dan badan berputar lebih dari 30° berarti sudah
mengalami gangguan keseimbangan.
5. Pemeriksaan Neurotologi, terdiri dari pemeriksaan adanya nistagmus,
pemeriksaan saraf kranial N III, IV, VI, VII, IX.
4. Kriteria diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan.
5. Diagnosis Kerja BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
6. Diagnosis banding
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium darah.
penunjang - Darah rutin
102
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

- Lipid darah
- Gula darah
- Kekentalan darah/koagulasi
- Agregasi trombosit
2. Audiometri Nada Murni
3. Audiometri Tutur
4. Tes Nistagmus Posisi dan Kalori dengan Elektronistagmografi
5. Posturografi.
8. Tatalaksana
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Terapi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Melakukan sendiri, cara ini dapat dilakukan pada pasien yang tidak
memerlukan pengawasan atau pada pasien yang tidak dalam serangan
akut. Hasil terbaik bisa didapatkan bila latihan dilakukan 20-30 menit tiap
sesi sebanyak 2 sampai 3 kali setiap hari. Beberapa pasien mengalami
perbaikan atau berkurang gejala setelah 3-4 minggu terapi.
2. Rehabilitasi Vestibular, program ini dirancang untuk pasien dengan
serangan akut atau pengawasan selama latihan dilakukan. Biasanya terapi
ini menggunakan beberapa alat bantu latihan dengan frekwensi 1 atau 2
kali seminggu selama 60 menit tiap sesi dan dilakukan sebanyak 8 sampai
10 sesi. Latihan ini juga bertujuan untuk mencegah jatuh pada pasien usia
lanjut.
3. Pelatihan Keseimbangan, terapi ini dirangcang untuk pasien dengan
gangguan keseimbangan ringan, kebanyakan dari mereka tidak
mengeluhkan adanya vertigo. Prioritas utama dari program ini adalah
mencegah jatuh, melatih koordinasi gerakan, dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari.
4. Reposisi / Desensitisasi, terapi ini dikhususkan untuk pasien VPPJ.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah beberapa tindakan terapi
dapat memicu serangan dan dirasakan makin memburuk dalam 1 atau 2
minggu terapi. Kita perlu menginformasikan dan memotifasi pasien agar
program terapi dapat berjalan seperti yang diharapkan. Memberikan
edukasi dan informasi kepada keluarga pasien serta melibatkannya dalam
program akan memberikan hasil yang lebih baik.
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
103
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
17. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

PRESBIKUSIS
104
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

1. Pengertian (Definisi) Tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses penuaan organ pendengaran
yang terjadi secara berangsur-angsur dan simetris pada kedua sisi telinga
2. Anamnesis Penurunan pendengaran dengalama semakin lama munurun pada kedua
telinga karena proses ketuaan
3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan THT dalam batas normal
4. Kriteria diagnosis Penurunan pendengaran dengalama semakin lama munurun pada kedua
telinga karena proses ketuaan
5. Diagnosis Kerja Presbikusis
6. Diagnosis banding Noice induce hearing loss
Ototoksik hearing loss
Presbatasis
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium darah.
penunjang - Darah rutin
- Lipid darah
- Gula darah
- Kekentalan darah/koagulasi
- Agregasi trombosit
2. Audiometri Nada Murni
3. Audiometri Tutur
4. Tes Nistagmus Posisi dan Kalori dengan Elektronistagmografi
5. Posturografi.
8. Tatalaksana
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
12. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Pasien sembuh
Standar Pelayanan Medis THT RS Dr.Moewardi
17. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

REPOSISI FRAKTUR OS NASAL (FON)


105
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

Reposisi FON adalah tindakan melakukan pengembalian dari fragmen tulang


1. Pengertian (Definisi)
nasal yang mengalami fraktur kembali ke kedudukan semula
1. Riwayat trauma wajah
2. Nyeri pangkal hidung
2. Anamnesis 3. Mimisan
4. Hidung buntu
5. Teraba krepitasi
Deformitas hidung dengan dan tanpa riwayat trauma hidung
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan hidung luar terdapat deviasi piramid hidung
4. Kriteria diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Fraktur os nasal
1. Trauma wajah
6. Diagnosis banding
2. Trauma maxillofacial
1. Ro. SPN
Pemeriksaan 2. CT - Scan SPN
7.
penunjang 3. 3D Kepala
4. Laboratorium
8. Tatalaksana Persiapan:
Terdiri atas persiapan pasien, bahan dan alat, serta petugas
1. Pasien
1. Identitas pasien
2. Penjelasan operasi, prosedur operasi, tujuan operasi dan kemungkinan
komplikasi yang dapat terjadi (informed consent)
3. Ijin operasi
4. Ijin pembiusan
5. Konsul: Anestesi
6. Konsul: Penyakit Dalam/ Kardiologi/Anak (atas indikasi)
7. Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah tepi lengkap
 PT dan APTT
 Atas indikasi: Analisa Gas Darah, SGOT, SGPT, albumin, ureum
dan creatinin darah, gula darah sewaktu
8. Pemeriksaan radiologi
 Foto Waters
 Foto Os Nasal
 Foto Thorax
 MSCT Scan Kepala / MSCT Scan Kepala 3D (atas indikasi )
9. Puasa 6 jam sebelum operasi
106
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Bahan dan Alat


1. Bahan
 Larutan Betadine 100 ml
 Alkohol 70% 25 ml
 Kassa steril 1 pack (@10 lembar)
 Kassa gulung
 Kapas steril
 Adrenalin 1:200.000
 Zalf antibiotik
2. Alat
 Elevator Boeis atau Ballanger
 Forceps Asch
 Forceps Walsham
 Pinset Bayonet
 Spekulum hidung
 Suction instrument
 Mesin suction dan selang suction
 Lampu kepala

3. Petugas
1. Dokter Spesialis THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
2. PPDS Sp.1 THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis sesuai
tingkat kompetensi pendidikannya
3. Perawat kamar operasi THT-KL yang mempunyai kewenangan klinis
4. Dokter Spesialis Anestesi yang mempunyai kewenangan klinis.

Prosedur:
1. Antibiotik profilaksis intravena diberikan 30 menit sebelum operasi
2. Identifikasi
3. Sign in
4. Time out
5. Pasien terbaring dalam narkose umum di meja operasi
6. Posisikan pasien, letakkan bantal dibawah bahu agar posisi leher dapat
ekstensi maksimal.
7. Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic daerah operasi
8. Dilakukan pemasangan duk steril
9. Jarak antara tepi rongga hidung ke sudut nasofrontal diukur, kemudian
107
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

elevator boeis dimasukkan lebih dalam ke lubang hiudng sampai di bawah


fragmen fraktur depresi sekitar 1 cm dibawah sudut nasofrontal
10. Kemudian elevator Boeis dengan tuntunan ibu jari dibagian luar secara
perlahan mencoba menaikkan fragmen fraktur depresi dan mendorong ke
sisi kontralateral sehingga fragmen fraktur kembali ke posisi anatomi
11. Reposisi fraktur nasal dapat dilakukan dengan forceps Walsham sedangkan
forceps Asch dapat dipakai pada dislokasi septum yaitu untuk elevasi
dorsum nasi dan mengembalikan septum ke posisi anatomi
12. Reduksi disempurnakan dengan molding sisa fragmen menggunakan jari
13. Setelah reposisi, dilakukan fiksasi dengan menggunakan gips
14. Dan dipasang tampon antibiotik pada kedua hidung
15. Operasi selesai
16. Sign out
Pasca Prosedur Tindakan:
1. Medikamentosa
a. Antibiotika: injeksi amoksisilin klavulanat selama 3 hari
b.Analgetika: asam mefenamat atau metampiron selama 3 hari
c.Injeksi methyl prednisolon
d.Lain-lain : injeksi asam traneksamat selama 3 hari
2. Evaluasi outcome:
 Awasi adanya edema, ekimosis, hematoma , infeksi dan
kebocoran LCS
 Posisi tidur, jangan sampai daerah operasi tertekan
 Diet: lunak
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
 Menjelaskan diagnosis penyakit
11. Edukasi
 Menjelaskan pilihan rencana tatalaksana dan alasan pemilihan tatalaksana
Quo ad vitam : dubia ad bonam
12. Prognosis Quo ad functionam :dubia
Quo ad sanactionam : dubia
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
Tingkat
14.
rekomendasi
16. Indikator medis Reposisi Fraktur Os Nasal tanpa perdarahan hebat dan aspirasi dapat
selesai dilakukan dalam 60 menit
Target:
80% reposisi fraktur os nasal tanpa terjadi komplikasi pasca tindakan
108
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

selesai dalam 60 menit


 Ballenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck,
Philadelphia, Lea & Fabiger, 2009, chapter 29,31-33,37, pp.570-588,605-
41,682-746
 Bailey BJ and Pillsburry III HC. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadelphia, JB Lippincott Co, 2014, chapter 68,
pp.989-1003
 Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery.
New Delhi, Elsevier, 6th Ed, 2014, Chapter 61, pp.303-07
17. Kepustakaan
 Lee KJ. Essential Otolaryngology. Head & Neck Surgery. New York.
McGraw Hill, 8th Ed, 2002, Chapter 31, pp. 724-92
 Nauman HH. Head and Neck Surgery, Vol 3, New York, Thieme Medical
Publishers Inc, 1997, Chapter 13, pp 358-59
 Potsic WP. Surgical Pediatric Otolaryngology, New York, Thieme
Medical Publishers Inc, 1997, Chapter 42, pp 532-37
 Scott Brown. Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Great Britain,
Edward Arnold, 7thed, 2007 Chapter 88, pp.1135- 49

ABSES SEPTUM

109
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

1. Pengertian (Definisi) Kumpulan pus yang terdapat diantara tulang rawan atau tulang paraseptum
nasi.
2. Anamnesis Hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa nyeri yang hebat terutama
terasa di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala.
3. Pemeriksaan fisik 1. Inspeksi : Tampak hidung bagian luar ( apeks nasi ) yang hiperemi, oedem,
dan kulit yang mengkilat.
2. Palpasi : Didapatkan nyeri pada sentuhan
3. Rhinoskopi anterior : Tampak tumor pada septum nasi berwarna merah
keabu – abuan , pada sentuhan terasa lunak, dengan pemberian kapas yang
dibasahi dengan solution tetrakain efedrin 1% tidak mengempis.
4. Pungsi dan aspirasi : Tindakan ini berguna untuk membantu menegakkan
diagnosis, pemeriksaan kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan
dalam abses dan mencegah terjadinya infeksi intrakranial.
4. Kriteria diagnosis Tampak tumor pada septum nasi berwarna merah keabu – abuan , pada
sentuhan terasa lunak, dengan pemberian kapas yang dibasahi dengan solution
tetrakain efedrin 1% tidak mengempis.
5. Diagnosis Kerja Abses Septum
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis kronis
2. Rhinitis alergi
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan 1. Pungsi dan aspirasi
penunjang 2. Tindakan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis,
pemeriksaan kultur, selain itu juga dapat mengurangi tekanan dalam abses
dan mencegah terjadinya infeksi intrakranial.
8. Tatalaksana Pungsi dan Aspirasi
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang dapat timbul
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat A
rekomendasi
110
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

16. Indikator medis Abses Septum Teratasi


17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

BENDA ASING DI HIDUNG


1. Pengertian (Definisi) Masuknya benda asing di hidung, dapat berupa benda hidup ( binatang)
111
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

maupun benda mati, bisa dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
2. Anamnesis Hidung tersumbat tiba – tiba biasanya unilateral, anosmia, ataupun hiposmia,
setelah lebih dari 2 – 3 hari sekret mukous, mukopurulent, kadang – kadang
berbau. Dan pada yang organik dirasakan ada yang bergerak – gerak di dalam
rongga hidung, hidung makin hari semakin tersumbat.
3. Pemeriksaan fisik Dengan rhinoskopi anterior : didapatkan benda asing
4. Kriteria diagnosis 1. Mirip sinsitis akut, sekret mukopurulen, unilateral, bau busuk.
2. Obstruksi hidung seringkali total pada sisi yang kena.
5. Diagnosis Kerja Benda Asing di Hidung
6. Diagnosis banding Benda Asing di Hidung
7. Pemeriksaan 1. Rhinoskopi anterior
penunjang 2. Nasoendoskopi
8. Tatalaksana Ekstraksi benda asing di hidung
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Pengawasan pada anak-anak agar tidak memasukkan benda asing ke
hidung lagi
2. Tidak mengkorek-korek hidung
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Benda asing di hidung teratasi
17. Kepustakaan 4. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth edition,
Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
5. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
6. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

EPISTAKSIS ANTERIOR
1. Pengertian (Definisi) Terjadinya suatu perdarahan dari dalam hidung bagian anterior. Kebanyakan
berasal dari pleksus kieselbach dari septum anrterior dan arteri ethmoidalis
112
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

anterior.
2. Anamnesis Perdarahan yang terjadi pada septum anterior biasanya ringan, berulang dan
dapat berhenti sendiri. Terdapat riwayat mengorek hidung pada anak.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior :
1. Perdarahan di bagian hidung anterior
2. Tampak sumber perdarahan di 1/3 latera hidung anterior
4. Kriteria diagnosis Perdarahan yang terjadi pada septum anterior biasanya ringan, berulang dan
dapat berhenti sendiri. Terdapat riwayat mengorek hidung pada anak.
5. Diagnosis Kerja Epistaksis Anterior
6. Diagnosis banding 4. Septum Deviasi
5. Penyakit kelainan darah
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, X-Ray Sinus paranasal, kalau perlu CT-Scan
penunjang kepala.
8. Tatalaksana Tampon anterior Hidung
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Tidak mengorek korek hidung.
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Epistaksis Teratasi
17. Kepustakaan 7. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
8. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

EPISTAKSIS POSTERIOR
1. Pengertian (Definisi) Terjadinya suatu perdarahan dari dalam hidung bagian posterior biasanya
berasal dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri sphenopalatina.
113
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Anamnesis Perdarahan yang terjadi dapat lebih hebat dan jarang berhenti sendiri. Swering
ditemukan pada pernderita hipertensi, srteriosklerosis, atau pasien dengan
kardiovaskuler karena pecahnya arteri sphenopalatina.
3. Pemeriksaan fisik 1. Rhinoskopi anterior tampak darah keluar dari cavum nasi.
2. Tidak tampak bleeding point pada 1/3 anterior
4. Kriteria diagnosis Perdarahan yang terjadi dapat lebih hebat dan jarang berhenti sendiri. Swering
ditemukan pada pernderita hipertensi, srteriosklerosis, atau pasien dengan
kardiovaskuler karena pecahnya arteri sphenopalatina.
5. Diagnosis Kerja Epistaksis Posterior
6. Diagnosis banding 1. Epistaksis Anterior
2. Septum deviasi
3. Keganasan
4. Penyakit kelainan darah
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, X-Ray Sinus paranasal, kalau perlu CT-Scan
penunjang kepala.
8. Tatalaksana Tampon Belloq
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Kumur kumur es batu
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Epistaksis teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology,
Fifth edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p:
612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical
Publishers, Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery,
International edition, Mc. Graw-Hill, 2003

Inverted Papiloma
1. Pengertian (Definisi) merupakan lesi jinak hidung dan sinus paranasal
2. Anamnesis Sumbatan hidung unilateral atau bilateral, rasa nyeri kepala atau sekitar mata,
114
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

penciuman terganggu, epistaksis dapat terjadi sinusitis.


Pada tumor yang sudah meluas ke organ sekitarnya seperti mata dapat
mengakibatkan diplopia, proptosis sampai kebutaan
3. Pemeriksaan fisik 1. Inspeksi : Asimetris wajah, proptosis, gigi goyah, peradangan kulit
sekitar penonjolan masa
2. Rinoskopi anterior dan posterior : Deskripsi secara lengkap massa ,
permukaan licin atau tidak , mudah berdarah atau tidak, rapuh,
berbenjol-benjol
3. Palpasi : dengan memakai sarung tangan paloasi daerah gusi, palatum,
rahang, apakah terdapat nyeri tekan , penonjolan atau gigi goyang.
4. Pemeriksaan kelenjar getah bening leher
5. Nasoendoskopi
6. Tomografi komputer . Pada pemeriksaan Ct scan dapat menunjukkan
asal tumor dengan adanya gambaran hiperostosis pada 89.1% .
7. MRI
4. Kriteria diagnosis Sumbatan hidung unilateral atau bilateral, rasa nyeri kepala atau sekitar mata,
penciuman terganggu, epistaksis dapat terjadi sinusitis.
Pada tumor yang sudah meluas ke organ sekitarnya seperti mata dapat
mengakibatkan diplopia, proptosis sampai kebutaan
5. Diagnosis Kerja Inverted papiloma
6. Diagnosis banding 1. Rhinosinusitis Kronis polip Nasi
2. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan 1. Nasoendoskopi
penunjang 2. MSCT Sinus Paranasal
8. Tatalaksana 1. Open approaches
Rinotomi lateral, midface degloving, medial maxillectomi,.

2. Endoscopic approaches
Beberapa keunggulan nya adalah menurunkan tingkat morbiditas, mengurangi
resiko perdarahan masif, mengurangi bekas luka operasi oleh karena insisi
kulit, visualisasi lebih baik, dan dapat digunakan sebagai proses pembelajara
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Tidak mengorek-korek hidung.
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
115
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Inverted Papiloma teratasi
17. Kepustakaan 1. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p:
612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

RHINITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Radang akut pada membran mukosa hidung yang diikuti dengan gangguan
fungsi hidung yang berakibat gangguan pernafasan, fungsi proteksi,
pelembaban udara yang dihirup, dan penciuman yang biasanya disebabkan
oleh virus, yang paling sering adalah Rhinovirus, virus lainnya adalah
116
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

myxovirus, virus coxsackie dan virus echo.


2. Anamnesis Gejala klinik : Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam,
didapatkan rasa panas , kering dan gatal didalam hidung. Kemudian akan
timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat dan ingus encer, yang
biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : mukosa hidung tampak edema dan hiperemis, rongga
hidung terdapat sekret serous.
4. Kriteria diagnosis Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Akut
6. Diagnosis banding 6. Rhinitis Alergi
7. Rhinitis vasomotor
8. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, X-Ray Sinus paranasal, kalau perlu CT-Scan
penunjang kepala.
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Minum obat teratur
2. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Rhinitis akut teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

RHINITIS ATROFI
1. Pengertian (Definisi) Infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan
tulang konka. Mukosa hidung terdapat sekret yang kental dan cepat mengering
sehingga terdapat krusta yang berbau busuk.
2. Anamnesis Gejala klinik : Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang

117
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala
dan hidung merasa tersumbat.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media
menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang berwarna
hijau.
4. Kriteria diagnosis Anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Atrofi
6. Diagnosis banding 1. Rhinosinusitis Kronis
2. Rhinitis Vasomotor
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media,
penunjang pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer
atau CT Scan sinus paranasal.
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Minum obat teratur
2. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Rhinitis Atrofi teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

RHINITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Radang kronis pada mukosa hidung yang disebabkan oleh proses alergi dan
non alergi.
2. Anamnesis Sumbatan hidung, sekret biasanya banyak dan mukopurulen, mulut kering,
nyeri kepala, gangguan tidur.

118
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : edem mukosa hidung, konka berwarna hipertrofi
terutama konka inferior, permukaan berbenjol-benjol, sekret mukopurulen
dapat ditemukan diantara konka inferior dan septum, dan juga didasar rongga
hidung
4. Kriteria diagnosis 1. Sumbatan hidung.
2. Sekret biasanya banyak dan mukopurulen.
3. Mulut kering.
4. Nyeri kepala.
5. Gangguan tidur
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Kronis
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis atrofi
2. Rhinitis alergi
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, Foto rontgen SPN, CT Scan Sinus Paranasal
penunjang
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Minum obat teratur
2. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Rhinitis Kronis teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

RHINITIS VASOMOTOR
1. Pengertian (Definisi) Terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh
bertambahnya aktifitas parasimpatis. Bertambahnya aktivitas vasomotor ini
dipengaruhi oleh emosi, posisi tubuh, kelembapan udara, perubahan suhu luar,
latihan jasmani, dll.
119
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Anamnesis Gejala klinik : hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan tergantung pada
posisi pasien, rinore yang mukus atau serus. Gejala tersebut dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, asap rokok.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : edem mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau
merah tua, rongga hidung terdapat sedikit sekret mukoid.
Tes kulit negatif.
4. Kriteria diagnosis Gejala klinik : hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan tergantung pada
posisi pasien, rinore yang mukus atau serus. Gejala tersebut dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, asap rokok.
5. Diagnosis Kerja Rhinitis Vasomotor
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis alergi
2. Rhinitis akut
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, Foto rontgen SPN, CT Scan Sinus Paranasal
penunjang
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 3. Menghindari penyebab
4. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Rhinitis Vasomotor teratasi
17. Kepustakaan 1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth
edition, Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82l edition,

RHINOSINUSITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) Adalah radang akut mukosa sinus paranasal sesuai anatomi sinus yang terkena
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusitis sfenoid.
2. Anamnesis Gejala demam, rasa lesu, ingus kental kadang-kadang bau, lendir mengalir ke
nasofaring, hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena kurang
120
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

dari 12 minggu. Gejala sinusitis maksilaris terutama dirasakan pagi bangun


tidur. Gejala pipi penuh/ sakit dirasakan semakin berat pada siang hari. Sedang
sinusitis ethmoidalis justru sebaliknya. Semakin siang dirasakan gejala
semakin mengurang. Pada sinusitis maksilaris gejala juga timbul kalau letak
kepala menunduk, karena muara sinus maksilaris saat menunduk berada
dibawah.
3. Pemeriksaan fisik 1. Rhinoskopi anterior : mukosa konka hiperemis dan edem
2. Rhinoskopi posterior : tampak post nasal drip
3. Profokasi tes positip pada meatus medius.
4. Pemeriksaan rontgenologis : dengan posisi waters, PA dan lateral akan
tampak pengkabutan pada sinus yang mengalami peradangan atau air fluid
level pada sinus yang sakit.
5. Konsultasi dengan SMF gigi Mulut. Infeksi gigi atas pada sinus yang
bersangkutan dapat menyebabkan sinusitis maksilaris (10%)
4. Kriteria diagnosis Berdasarkan anamnesis : gejala demam, rasa lesu, ingus kental kadang-kadang
bau, lendir mengalir ke nasofaring, hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah
sinus yang terkena kurang dari 12 minggu. Gejala sinusitis maksilaris terutama
dirasakan pagi bangun tidur. Gejala pipi penuh/ sakit dirasakan semakin berat
pada siang hari. Sedang sinusitis ethmoidalis justru sebaliknya. Semakin siang
dirasakan gejala semakin mengurang. Pada sinusitis maksilaris gejala juga
timbul kalau letak kepala menunduk, karena muara sinus maksilaris saat
menunduk berada dibawah.
5. Diagnosis Kerja Rhinosinusitis Akut
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis alergi
2. Rhinitis akut
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, X-Ray Sinus paranasal, kalau perlu CT-Scan kepala.
penunjang
8. Tatalaksana Non medikamentosa dan medikamentosa
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Menghindari penyebab
2. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Rhinosinusitis akut teratasi
121
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

17. Kepustakaan 1. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth edition,
Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

RHINOSINUSITIS KRONIS
1. Pengertian (Definisi) Adalah radang mukosa sinus paranasal sesuai anatomi sinus yang terkena
dengan lama gejala lebih dari 12 minggu. dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
2. Anamnesis Gejala demam, rasa lesu, ingus kental kadang-kadang bau, lendir mengalir ke
nasofaring, hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena. Gejala
sinusitis maksilaris terutama dirasakan pagi bangun tidur. Gejala pipi penuh/

122
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

sakit dirasakan semakin berat pada siang hari. Sedang sinusitis ethmoidalis
justru sebaliknya. Semakin siang dirasakan gejala semakin mengurang. Pada
sinusitis maksilaris gejala juga timbul kalau letak kepala menunduk, karena
muara sinus maksilaris saat menunduk berada dibawah.
3. Pemeriksaan fisik 1. Rhinoskopi anterior : mukosa konka hiperemis dan edem
2. Rhinoskopi posterior : tampak post nasal drip
3. Profokasi tes positip pada meatus medius.
4. Pemeriksaan rontgenologis : dengan posisi waters, PA dan lateral akan
tampak pengkabutan pada sinus yang mengalami peradangan atau air fluid
level pada sinus yang sakit.
5. CT Scan SPN.
6. Konsultasi dengan SMF gigi Mulut. Infeksi gigi atas pada sinus yang
bersangkutan dapat menyebabkan sinusitis maksilaris (10%)
4. Kriteria diagnosis Berdasarkan anamnesis : gejala demam, rasa lesu, ingus kental kadang-kadang
bau, lendir mengalir ke nasofaring, hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah
sinus yang terkena. Gejala sinusitis maksilaris terutama dirasakan pagi bangun
tidur. Gejala pipi penuh/ sakit dirasakan semakin berat pada siang hari. Sedang
sinusitis ethmoidalis justru sebaliknya. Semakin siang dirasakan gejala
semakin mengurang. Pada sinusitis maksilaris gejala juga timbul kalau letak
kepala menunduk, karena muara sinus maksilaris saat menunduk berada
dibawah.
5. Diagnosis Kerja Rhinosinusitis kronis
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis kronis
2. Rhinitis alergi
3. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan Laboratorium, Nasoendoskopi, Foto rontgen SPN, CT Scan SPN
penunjang
8. Tatalaksana Non medikamentosa , medikamentosa dan operatif
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi 1. Menghindari penyebab
2. Kontrol sesuai anjuran
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
14. Tingkat
A
rekomendasi
16. Indikator medis Rhinosinusitis Kronis teratasi

123
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

17. Kepustakaan 1. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth edition,
Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

SEPTUM DEVIASI
1. Pengertian (Definisi) Suatu pembengkokan septum yang banyak terjadi,dan pada derajat tertentu
dapat menimbulkan gangguan berupa obstruksi hidung.
2. Anamnesis Sumbatan hidung unilateral atau bilateral, rasa nyeri kepala atau sekitar mata,
penciuman terganggu, dapat terjadi sinusitis.
3. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior : bentuk deformitas septum :
1. Deviasi bentuk C atau S
124
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Dislokasi yaitu bagian bawah kartilago septum keluar dari krista maksila
dan masuk ke dalam rongga hidung
3. Penonjolan tulang atau tulang rawan septum bila memanjang dari depan ke
belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina
4. Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka
dihadapannya disebut sinekia
4. Kriteria diagnosis Sumbatan hidung unilateral atau bilateral, rasa nyeri kepala atau sekitar mata,
penciuman terganggu, dapat terjadi sinusitis.
5. Diagnosis Kerja Septum Deviasi
6. Diagnosis banding 1. Rhinitis alergi
2. Rhinosinusitis Kronis
7. Pemeriksaan 1. Nasoendoskopi
penunjang 2. MSCT Sinus Paranasal
8. Tatalaksana Septum reseksi
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
11. Edukasi Tidak mengorek-korek hidung.
12. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
13. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
16. Indikator medis Septum deviasi teratasi
17. Kepustakaan 1. B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fifth edition,
Volume One, Bailey Lippincott Williams & Wilkins, 2014, p: 612- 620
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers,
Inc., New York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International
edition, Mc. Graw-Hill, 2003

GANGGUAN PENDENGARAN PADA ANAK USIA SEKOLAH


ICD 10 : F80.4 ; H90.0 ; H90.1 ; H90.11 ; H90.12 ; H90.2; H90.3 ; H90.4 ; H90.41 ; H90.42
1. Pengertian Gangguan pendengaran pada anak usia sekolah usia 5 tahun sampai dengan
(Definisi) 15 tahun dimana berkaitan dengan infeksi saluran napas atas dan tidak
memberikan respon yang baik pada stimulus bunyi serta terdapat penurunan
nilai akademik.
2. Anamnesis 1. Rasa penuh di telinga

125
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Bising di telinga
3. Keluar cairan dari telinga
4. Kurang dengar hingga tidak dapat mendengar
5. Sering menarik-narik daun telinga
6. Sering meminta mengulangi kata yang telah diucapkan
7. Sering salah mendengar instruksi yang diperintahkan
8. Sering mengisolasi diri
9. Berbicara terlalu keras atau lemah
10. Gangguan berbicara
3. Pemeriksaan fisik 1. Pemeriksaan THT
2. Pemeriksaan timpanometri
3. Pemeriksaan audiometri
4. Kriteria diagnosis 5. Bila hasil pemeriksaan anak menunjukan respons < atau sama dengan 40 db
(pada frekuensi 500,1000,2000, 4000 Hz berarti : Lulus skrining (PASS)
6. Bila hasil pemeriksaan anak menunjukan respons > 40 db pada frekuensi
500,1000,2000, 4000 Hz berarti : tidak Lulus skrining (REFER)
7. Bila hasil pemeriksaan anak menunjukan respons > 40 db pada frekuensi 500
Hz , sedangkan respons < atau sama dengan 40 db (1000,2000, 4000 Hz) maka
lihat batas bising lingkungan
5. Diagnosis Kerja Gangguan pendengaran.
6. Diagnosis banding Neuropati auditori, ADHD, Autism, CAPD, Afasia, Retardasi mental,
disleksia, gangguan komunikasi lainnya
7. Pemeriksaan 7. Timpanometri
penunjang 8. Audiometri
9. OAE
8. Tatalaksana 1. Tentukan usia sesuai maturasi yang tepat (prematur/ cukup bulan/usia
koreksi)
2. Penilaian perkembangan mendengar dan wicara serta perkembangan
motoric
3. Evaluasi faktor risiko ketulian, termasuk kemungkinan adanya sindroma
yang berhubungan dengan ketulian
4. Konsul dokter spesialis anak (tumbuh kembang), neurologi anak
5. Bila diperlukan konsul dokter spesialis mata, jantung, dan
psikolog/psikiatri anak
6. Pemeriksaan genetik jika diperlukan
7. Habilitasi dengan Alat Bantu Dengar (ABD) dan Implan koklea
8. Terapi wicara
9. Terapi Mendengar
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
126
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

10. Edukasi 4. Penggunaan Alat Bantu Dengar yang sesuai.


5. Menjaga kebersihan telinga.
11. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
12. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
13. Tingkat
A
rekomendasi
14. Penelaah kritis 1. dr. Aulia Hervi Anggraini, Sp.THT-KL., MARS
2. dr. Satrio Wishnu Pratomo, B.Med.Sc., Sp.THT-KL
3. dr. Febri Arianto Bayu Laksmono, Sp. THT-KL
4. dr. Aldityas Eko Wibawanto, Sp.THT-KL
15. Indikator medis Gangguan pendengaran teratasi
16. Kepustakaan 1. Hodgson WR. Testing infants and young children. In: Handbook of
Clinical Audiology. Katz JK. 5th edition. William and Wilkins, Baltimore,
2002.
2. Gelfand SA. Assessment of Infant and Children. In: Essentials of
Audiology. 2nd edition Thieme, New York, Stutgart, 2001: p.377-‐96.
3. Diefendorf AO. Detection and Assessment of Hearing Loss in Infant and
Children. In: Handbook of clinical audiology. Katz JK. Ed 5th edition.
William and Wilkins, Baltimore, 2002: p. 440-‐65
4. Rehm HL. Genetic hearing loss. In: Pediatric audiology. 1st edition.
Thieme, New York, 2008: p. 13-‐25.
5. Alexiades G. Medical evaluation and management of hearing loss in
children. In: Pediatric audiology. 1st edition. Thieme, New York, 2008: p.
25-‐31.
6. Lee KJ. Congenital hearing loss. In: Essential otolaryngology head and
neck surgery. Ninth edition. The McGraw-‐Hill Companies, Inc. New
York, 2008: p. 135-‐62.
7. Wetmore RF. Pediatric otolaryngology. In: the requisites in pediatric.
Mosby Elsevier, Philadelphia, 2007: p. 66.
8. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World
Health Organization.
9. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization

127
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI BARU LAHIR


ICD 10 : F80.4 ; H90.0 ; H90.1 ; H90.11 ; H90.12 ; H90.2; H90.3 ; H90.4 ; H90.41 ; H90.42
1. Pengertian Kelainan fungsi pendengaran sejak lahir.
(Definisi)
2. Anamnesis Gejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat ketulian
tidak terlihat. Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberi respons
terhadap bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambat bicara
128
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

(delayed speech), tidak memberi respons saat dipanggil atau ada suara/bunyi.
Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidak sesuai dengan
usia anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu dengan isyarat.
3. Pemeriksaan fisik 4. Pemeriksaan THT
5. Pemeriksaan timpanometri
6. Pemeriksaan audiometri
4. Kriteria diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT, pemeriksaan
pendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaan
perkembangan motorik, kemampuan berbicara serta psikologis.
- Tuli sebagian (hearing impaired) yaitu penurunan fungsí pendengaran
tetapi masih bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar;
- Tuli total (deaf) adalah gangguan fungsí pendengaran yang sedemikian
terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat
pengerasan bunyi.
5. Diagnosis Kerja Gangguan pendengaran.
6. Diagnosis banding Neuropati auditori, ADHD, Autism, CAPD, Afasia, Retardasi mental,
disleksia, gangguan komunikasi lainnya
7. Pemeriksaan 10. Timpanometri.
penunjang 11. OAE
12. BERA
8. Tatalaksana 1. Tentukan usia sesuai maturasi yang tepat (prematur/ cukup bulan/usia
koreksi)
2. Penilaian perkembangan mendengar dan wicara serta perkembangan
motoric
3. Evaluasi faktor risiko ketulian, termasuk kemungkinan adanya sindroma
yang berhubungan dengan ketulian
4. Konsul dokter spesialis anak (tumbuh kembang), neurologi anak
5. Bila diperlukan konsul dokter spesialis mata, jantung, dan
psikolog/psikiatri anak
6. Pemeriksaan genetik jika diperlukan
7. Habilitasi dengan Alat Bantu Dengar (ABD) dan Implan koklea
8. Terapi wicara
9. Terapi Mendengar
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
10. Edukasi 6. Penggunaan Alat Bantu Dengar yang sesuai
7. Menjaga kebersihan telinga
11. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fumgsionam : dubia ad bonam / malam
129
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

12. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV


13. Tingkat
A
rekomendasi
14. Penelaah kritis 5. dr. Aulia Hervi Anggraini, Sp.THT-KL., MARS
6. dr. Satrio Wishnu Pratomo, B.Med.Sc., Sp.THT-KL
7. dr. Febri Arianto Bayu Laksmono, Sp. THT-KL
8. dr. Aldityas Eko Wibawanto, Sp.THT-KL
15. Indikator medis Gangguan pendengaran teratasi
16. Kepustakaan 1. Hodgson WR. Testing infants and young children. In: Handbook of
Clinical Audiology. Katz JK. 5th edition. William and Wilkins, Baltimore,
2002.
2. Gelfand SA. Assessment of Infant and Children. In: Essentials of
Audiology. 2nd edition Thieme, New York, Stutgart, 2001: p.377-‐96.
3. Diefendorf AO. Detection and Assessment of Hearing Loss in Infant and
Children. In: Handbook of clinical audiology. Katz JK. Ed 5th edition.
William and Wilkins, Baltimore, 2002: p. 440-‐65
4. Rehm HL. Genetic hearing loss. In: Pediatric audiology. 1st edition.
Thieme, New York, 2008: p. 13-‐25.
5. Alexiades G. Medical evaluation and management of hearing loss in
children. In: Pediatric audiology. 1st edition. Thieme, New York, 2008: p.
25-‐31.
6. Lee KJ. Congenital hearing loss. In: Essential otolaryngology head and
neck surgery. Ninth edition. The McGraw-‐Hill Companies, Inc. New
York, 2008: p. 135-‐62.
7. Wetmore RF. Pediatric otolaryngology. In: the requisites in pediatric.
Mosby Elsevier, Philadelphia, 2007: p. 66.
8. International Classification of Diseases 10th Revision (ICD 10). World
Health Organization.
9. International Classification of Diseases 9th Revision Clinical
Modification (ICD 9CM). World Health Organization

OTITIS MEDIA EFUSI


ICD ( H650/H651/H652/H653)
1. Pengertian
(Definisi)
2. Anamnesis 5. Telinga terasa penuh, terasa ada cairan (grebeg-grebeg)
6. Pendengaran menurun

130
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

7. Terdengar suara dalam telinga sewaktu menelan atau menguap


3. Pemeriksaan fisik 4. Pemeriksaan fisik memperlihatkan imobilitas gendang telinga pada
penilaian otoskop pneumatik.. Pada otitis media serosa, membrane
timpani tampak berwarna kekuningan, sementara pada otitis  media
mukoid terlihat lebih kusam dan keruh. Membrane timpani dapat
berwarna biru atau keunguan bila ada produk-produk darah dalam telinga.
5. Reflek cahaya berubah atau menghilang.
6. Garpu tala : untuk membuktikan adanya tuli konduksi.
4. Kriteria diagnosis
5. Diagnosis Kerja Otitis Media Efusi
6. Diagnosis banding Otitis Media Akut
7. Pemeriksaan Audiogram : tuli konduktif.
penunjang
8. Tatalaksana Farmakologi
 Antihistamin
Loratadine 1x10 mg
 Dekongestan
Pseudoefedrin HCl 2x120 mg
 Kortikosteroid
Metilpredniolon 3x4 mg
9 Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
10. Edukasi  Edukasi penyakit: OME sering pada anak-anak sehingga cukup sulit
dalam melakukan diagnosis penyakitnya. Perhatian orangtua dan guru
sangat membantu dalam mendiagnosis.
 Penyakit ini dapat dicegah dengan menghindari rokok atau asap
rokok, memperpanjang ASI eksklusif, pada pasien anak-anak
disarankan tidak sering ke tempat ramai berisiko.
11. Prognosis Ad Vitam : dubia ad bonam / malam
Ad Sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam / malam
12. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
131
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

13. Tingkat
rekomendasi
14. Penelaah kritis 9. dr. Aulia Hervi Anggraini, Sp.THT-KL., MARS
10. dr. Satrio Wishnu Pratomo, B.Med.Sc., Sp.THT-KL
11. dr. Febri Arianto Bayu Laksmono, Sp. THT-KL
12. dr. Aldityas Eko Wibawanto, Sp.THT-KL
15. Indikator medis Pasien Sembuh
16. Kepustakaan Modul THT-KL
Guideline Penyakit THT di Indonesia

PRESBIKUSIS
ICD :
1. Pengertian (Definisi) Tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses penuaan organ
pendengaran yang terjadi secara berangsur-angsur dan simetris pada
kedua sisi telinga
132
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

2. Anamnesis Penurunan pendengaran dengalama semakin lama munurun pada kedua


telinga karena proses ketuaan
3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan THT dalam batas normal
4. Kriteria diagnosis Penurunan pendengaran dengalama semakin lama munurun pada kedua
telinga karena proses ketuaan
5. Diagnosis Kerja Presbikusis
6. Diagnosis banding Noice induce hearing loss
Ototoksik hearing loss
Presbatasis
7. Pemeriksaan 6. Pemeriksaan laboratorium darah.
penunjang - Darah rutin
- Lipid darah
- Gula darah
- Kekentalan darah/koagulasi
- Agregasi trombosit
7. Audiometri Nada Murni
8. Audiometri Tutur
9. Tes Nistagmus Posisi dan Kalori dengan Elektronistagmografi
10.Posturografi.
8. Tatalaksana  Alat bantu dengar (ABD)
 Peralatan bantu (assistive device)
 Implan koklea
 Membaca gerak bibir (lip reading):
 Latihan mendengar (auditory training)
 Diet
 menghindari suara / tempat yang bising
9. Kompetensi Dokter Spesialis THT-KL
10. Edukasi
Ad Vitam : dubia adbonam / malam
11. Prognosis Ad Sanationam : dubia adbonam / malam
Ad Fungsionam : dubia adbonam / malam
12. Tingkat evidens Terapi : I/ II/ III/ IV
13. Tingkat rekomendasi
13. dr. Aulia Hervi Anggraini, Sp.THT-KL., MARS
14. dr. Satrio Wishnu Pratomo, B.Med.Sc., Sp.THT-KL
14. Penelaah kritis
15. dr. Febri Arianto Bayu Laksmono, Sp. THT-KL
16. dr. Aldityas Eko Wibawanto, Sp.THT-KL
15. Indikator medis Pasien sembuh

133
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
No. Revisi
No. Dokumen Halaman
025.01/SPO/RSUAULIA/2021 1
0.0
Ditetapkan oleh :
Tanggal Terbit
STANDAR PROSEDUR
1 September 2021
OPERASIONAL
dr. Bachtiar Fanani
Direktur

1.Modul THT-KL
16. Kepustakaan
2.Guideline Penyakit THT di Indonesia

134

Anda mungkin juga menyukai