Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

THALASEMIA

Disusun Oleh :

Maulana Azis 21.0604.0024

Lailatul Nur Hidayati 21.0604.00

Cantika Salsabilla. K 21.0604.00

Muta Alliva 21.0604.00

PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2021
A. Definisi
Istilah thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu Thalassa artinya laut
dan Haema artinya darah, yang mengacu pada adanya gangguan sintesis
dari rantai globin α dan ß yang merupakan subunit dari hemoglobin (Hb A
(α2;ß2). Thalasemia merupakan penyakit/kelainan herediter yang
heterogen disebabkan oleh adanya defek produksi hemoglobin normal,
akibat kelainan morfologi eritrosit dan indeks-indeks eritrosit. Thalasemia
adalah penyakit genetic yang diturunkan secara autosomal resesif menurut
hukum mendel dari orang tua ke pada anak-anaknya (Regar, 2009).
B. Jenis-Jenis Thalasemia
1. Talasemia-α (gangguan pembentukan rantai α)
Dikenal sebagai penyakit hemoglobin H, ditandai dengan penurunan
sintesis rantai α globin karena delesi salah satu sampai keempat gen α
globin yang seharusnya ada. Talasemia α dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu :
a. Talasemia-α tipe delesi
Ditandai oleh delesi (kehilangan) gen α. Delesi gen α dapat
terjadi karena persilangan yang tak seimbang (unequal
crossover) yang dapat menghilangkan satu atau bahkan dua gen
α dengan halotip -/ dan --/. Gejala klinis yang timbul
tergantung pada jumlah gen α yang utuh (intact), mulai dari
yang paling ringan (hampir normal) pada α-Thal-2 sampai yang
paling berat pada hydrops fetalis, dimana bayi lahir mati atau
sesaat sesudah lahir (Regar, 2009).
b. Talasemia-α tipe nondelesi
Pada bentuk ini tidak dijumpai delesi gen α, namun terjadi
mutasi pada gen tersebut yang menyebabkan gangguan pada
rantai globin α. Gen α abnormal yang menyebabkan gangguan
pada sinteis rantai globin α tersebut di tulis sebagai: αT
sehingga terdapat halotip αT α T /, αT -/, dan ααT /. Gangguan
yang menyebabkan timbulnya gen αT bervariasi, tetapi pada
dasarnya dapat berupa gangguan pada mRNA atau pada protein
(Regar, 2009)
2. Talasemia-ß (gangguan pembentukan rantai ß)
Penyakit ini ditandai oleh bekurangnya sintesis ß globin. Berbeda
dengan gen α, tiap kromosom hanya mengandung satu gen ß. Bentuk
ini lebih heterogen dibandingkan dengan talasemiaα, tetapi untuk
kepentingan klinis umumnya dibedakan antara ß 0 -Thalassaemia dan
ß + - thalassaemia. Klasifikasi klinis talasemia-ß :
a. Thalasemia mayor
Keadaan ini menimbulkan salah satu dari dua sindrom; 1) ditandai
dengan anemia berat biasanya timbul antara bulan kedua dan
keduabelas dari kehidupan (Talasemia-ß mayor) dan 2) ditandai
dengan anemia moderat yang timbul setelah usia 1-2 tahun
(Talasemia-ß intermedia). Anemia berat ini disebabkan karena
kekurangan Hb A (α2ß2). Ketidakmampuan untuk memproduksi
rantai ß menyebabkan adanya rantai α yang berlebihan pada tahap
awal dan akhir dari eritroblas polikromatik. Rantai α mengendap
dalam sel dan mengakibatkan timbulnya gangguan terhadap
berbagai fungsi sel, serta terjadi fagositosis dan degradasi dari
sebagian eritroblas yang mengandung endapan tersebut oleh
makrofag sumsum tulang (Regar, 2009).
b. Talasemia mirror
Adanya satu gen normal pada individu heterozigot memungkinkan
sintesis rantai ß globin yang memadai sehingga penderita biasanya
secara klinis asimtomatik (Regar, 2009).
c. Thalasemia intermediet
Penderita secara genetik bersifat heterogen. Umumnya penderita
dengan kelainan ini cukup sehat dan hanya membutuhkan transfusi
darah pada saat terjadinya infeksi (Regar, 2009).
C. Etiologi
Etiologi thalasemia adalah faktor genetic (herediter). Thalasemia
merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah
merah dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (<
100 hari). Penyebab kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak
normal (hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini karena adanya
ganggua pembentukan yang disebabkan oleh :
1. Gangguan struktur pembentukan hemoglobin (hb abnormal)
2. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin
Permasalahan talasemia akan muncul jika talasemia trait kawin dengan
sesamanya sehingga kemungkinan yang bisa terjadi adalah 25% dari
keturunannya menurunkan talasemia mayor, 50% anak mereka menderita
talasemia trait dan hanya 25% anak mempunyai darah normal (Regar,
2009).
D. Patofisiologi
Konsekuensi berkurangnya intesis salah satu rantai globin berasal dari
kadar hemoglobin intrasel yang rendah (hipokromia) maupun relative
rantai lainnya.
1. Patofisiologi Thalasemia 
Thalasemia  di sebabkan oleh ketidakseimbangan pada
sintesis rantai  dan non- (rantai  pada bayi, rantai  setelah
bayi berusia 6 bulan). Rantai  yang bebas akan membentuk
tetramer ini akan merusak sel-sel darah merah serta
prekusornya. Ratai  yang bebas akan membentuk tetrame yang
stabi (HbBars) dan tetramer ini mengikat oksigen dengan
kekuatan (aviditsa) yang berlebihan aehingga teradi hipoksia
jaringan (Mitchell, 2009).
2. Patofisiologi Thalasemia β
Dengan berkurangnya sintesis β-globin, rantai  tak terikat
yang berlebihan akan membentuk agregat yang sangat tidak
stabil dan terjadi karena kerusakan membrane sel. Selanjutnya
precursor sel darah merah dihancurkan dalam sumsum tulang
(eritroiesis yang tidak efektif) dan sel-sel darah merah yang
abnormal dihilangkan oleh fagosit dalam limpa (hemolisis).
Anemiayang berat menyebabkan ekspansi kompensatorik
sumsum eritropoietik yang akhirnya akan mengenai tulang
kortikal dan menyebabkan kelainan skeletal pada anak-anak
yang sedang tumbuh. Eritropeiesis yang tidak efektif juka
disetai dengan absorpsi besi yang berlebihan ari makanan,
bersama dengan transfuse darah yang dilakukan berkali-kali,
absorbs besi yang berlebihan ini akan menimbulkan kelebihan
muatan besi yang berat (Mitchell, 2009)
E. Pathway
(Sofiana & Fahrul, 2013)

F. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dengan thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala
awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya akan lebih berat dalam tahu
pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa
minggu setelah lahir. Anak tidak nafsumakan, diare, kehilangan lemak
tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi, anemia kronis
dapat mnyebabkan pembesaran jantung (Mitchell, 2009).
Terdapat hepatosplenomegali, ikterus ringan, perubahan pada
tulang yang menetap yang menyebabkan terjadinya bentuk muka
mongoloid akibat system eritropoesis yang hiperaktif. Adana penipisan
korteks tulang panjang, tangan dan kaki yang menyebabkan fraktur
patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi
menyebabakan perawakan pendek. Dapat juga ditemukan epistaksis,
pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu (Mitchell, 2009)..

Secara umum, tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain:
a. Letargi
b. Pucat
c. Kelemahan
d. Anoreksia
e. Sesak nafas
f. Tebalnya tulang cranial
g. Pembesaran limpa
h. Menipisnya tulang kartilago
(Mitchell, 2009).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Untuk menggandakan gen globin yang kemudian hasilnya digunakan
untuk menentukan jenis mutasi melalui metode lain.
2. DNA sequencing
Untuk menentukan urutan nukleotida dalam DNA yang dilaksanakan
dengan 2 metode, yaitu :
a. Metode kimia (Metode Maxam dan Gilbert)
b. Metode dideoksinukleotida (Metode Sanger)
3. Southern blotting
Untuk mendeteksi delesi yang panjang dan mutasi titik.
4. Dot blotting
Untuk mendeteksi mutasi titik. Syarat-syaratnya mutasi tersebut telah
di ketahui sebelumnya.
5. Denaturating gradiet gel electrophoresis (DGGE)
Untuk mendeteksi muatan yang sebelumnya tak diketahui dan untuk
membandingkan degan pola pada muatan yang sudah di ketahui.
(Regar, 2009)

H. Penatalaksanaan Medis
1. Transfuse sel darah merah sampai kadar Hb sekitar 11g/dl. Pemberian
sel drahmerah sebaiknya 10-20ml/Kg/BB.
2. Tidakan splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda
hipersplenisme atau kebutuhan transfuse meningkat atau karena sangat
besarnya limpa.
3. Transplantasi sumsum tulang, biasa dilakuka pada thalasemia beta
mayor.
4. Pemberian iron chelating agent untuk mengeluarkan besi dari jaringan
tubuh.
5. Pemberian kelasi besi (desferoxamine) untuk mengatasi masalah
kelebihan zat besi.
6. Pemberian asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat, khususnya pada pasien yang jarang mendapat transfusi
darah.
7. Vitamin E 200-400 IU (International Unit) setiap hari sebagai
antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
8. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
9. Pemantauan fungsi organ.
(Regar, 2009)
I. Penatalaksana Keperawatan
1. Pengukuran parameter pertumbuhan (BB, TB, dan lingkar kepala)
2. Memeriksa TTV pasien
3. Pemeriksaan fisis komperhensif
4. Pencatatan terhadap setiap perubahan kondisi fisik anak
5. Skrining perkembangan dan gangguan perilaku (KPSP, Denver II)
6. Mendeteksi masalah perilaku anak dengan Pediatric Symptom
Checklist(PSC)
7. Menilai kualitas hidup anak dengan Pediatric Quality of Life Inventory
TM (PedsQLTM)
(mentri kesehatan RI, 2018)

J. Dampak Penyakit Thalasemia


1. Fisik
a. Penderita thalasemia mengalami perubahan aktivitas komlemen
b. Kelemahan fisik
c. Gangguan fungsi organ
d. Malnutrisi
(Thirafi, 2016)
2. Psikologis
a. Cemas
b. Depresi
c. Pikiran tentang masa depan yang tidak jelas
d. Merasa tidk mampu mengembangkan potensi diri
(Thirafi, 2016)
3. Sosial
Anak dengan thalasemia mengalami penurunan fungsi sosial
dimana anak dengan thalasemia sering tidak masuk sekolah
dikarenakan harus rutin melakukan pengobatan (Dini Mariani, Yeni
Rustiana, 2014).

4. Ekonomi
Status ekonomi keluarga dengan thalasemia sangat buruk
dikarenakan harus melakukan pengobatan terus menerus dan seumur
hidup untuk anggota keluarga dengan thalasemia (Dini Mariani, Yeni
Rustiana, 2014).
DAFTAR PUSTKA

Dini Mariani, Yeni Rustiana, Y. N. (2014). Analisis Faktor Yang


Memengaruhi Kualitas Hidup Anak Thalasemia Betamayor. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 17(1), 1–10.
Kesehatan, K., Indonesia, R., & Direktorat, S. (2019). Hari thalasemia sedunia
2018 : bersama untuk masa depan yang lebih baik, (September 2017), 2018–
2019.
mentri kesehatan RI. (2018). Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/1/2018 Tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia, 1–90.
Mitcheel, Kumar dkk. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta :
EGC
Regar, J. (2009). Aspek genetik talasemia. Jurnal Biomedik, 1(3), 151–158.
Thirafi, K. N. (2016). Psychological Well-Being Pada Penderita Thalasemia.
Jurnal Ilmiah Psikologi, 9(2), 197–207.

Anda mungkin juga menyukai