Anda di halaman 1dari 15

PENGETAHUAN ILMIAH atau ILMU

I.Pengertian Ilmu.
Pengetahuan ilmiah atau ilmu (bah. Inggris Science dan Latin Scientia yang diturunkan
dari kata scire), memiliki makna ganda, yaitu; mengetahui (to know), dan belajar (to
learn). Sisi pertama to know menunjuk pada aspek statis ilmu, yaitu sebagai hasil, berupa
pengetahuan sistematis. Sisi kedua menunjuk pada hakikat dinamis ilmu, sebagai sebuah
proses (aktivitas-metodis). Sisi kedua tersebut hendak menunjukkan bahwa ilmu sebagai
aktifitas pembelajaran, bukanlah sebuah aktifitas menunggu secara pasif, melainkan
merupakan sebuah usaha secara aktif untuk menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki
sampai pengetahuan itu diperoleh secara utuh, obyektif, valid, dan sistematis.
Tegasnya, pengertian ilmu, dalam hal ini, menunjuk pada tiga hal, yaitu; pertama; ilmu
sebagai proses berupa aktifitas kognitif-intelektuali (aktivitas penelitian), kedua; ilmu
sebagai prosedur berupa metode ilmiah, dan ketiga;. Ilmu sebagai hasil atau produk berupa
pengetahuan sistematis. Penjelasannya demikian:
Ilmu sebagai aktifitas, menggambarkan hakikat ilmu sebagai sebuah rangkaian aktivitas
pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis (tujuan). Rasional artinya, proses aktifitas yang
menggunakan kemampuan pemikiran untuk menalar dengan tetap berpegang pada kaidah-
kaidah logika, kognitif artinya; aktivitas pemikiran yang bertalian dengan; pengenalan,
pencerapan, pengkonsepsian, dalam membangun pemahaman pemahaman secara
terstruktur guna memperoleh pengetahuan, dan teleologis artinya; proses pemikiran dan
penelitian yang mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, misalnya; kebenaran
pengetahuan, serta memberi pemahaman, penjelasan, peramalan, pengendalian, dan
aplikasi atau penerapan. Semua itu dilakukan setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian,
pengkajian, atau dalam rangka pengembangan ilmu.
Ilmu sebagai prosedur menunjuk pada pola prosedural, tata langkah, teknik atau cara, serta
alat atau media. Pola prosedural, misalnya; pengamatan, percobaan, pengukuran, survei,
deduksi, induksi, analisis, dan lainnya. Tata langkah, misalnya; penentuan masalah,
perumusan hipotesis (bila diperlukan), pengumpulan data, penarikan kesimpulan, dan
pengujian hasil. Teknik atau cara, misalnya; penyusunan daftar pertanyaan, wawancara,
perhitungan, dan lainnya. Alat dan media, timbangan, meteran, perapian, komputer, dan
lainnya.

1
Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan sistematis, ilmu dipahami sebagai
seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (dunia obyek) yang sama dan saling
berkaitan secara logis. Ilmu, karena itu, dipandang sebagai sebuah koherensi sistematik,
dengan prosedur, aksioma, dan lambang–lambang yang dapat dilihat dengan jelas melalui
pembuktian-pembuktian ilmiah. Ilmu memuat di dalam dirinya hipotesis-hipotesis
(jawaban-jawaban sementara) dan teori-teori (hipotesis-hipotesis teruji) yang belum
mantap sepenuhnya. Ilmu sering disebut pula sebagai konsep pengetahuan ilmiah karena
ilmu harus terbuka bagi pengujian ilmiah (pengujian keilmuan).
Jadi, ilmu cenderung dipahami sebagai pengetahuan yang diilmiahkan atau pengetahuan
yang diilmukan, sebab tidak semua pengetahuan itu bersifat ilmu atau harus diilmiahkan.
Sebagai hasil kegiatan ilmiah, ilmu merupakan sekelompok pengetahuan (konsep-konsep)
mengenai sesuatu hal (pokok soal) yang menjadi titik minat bagi permasalahan tertentu.
Sebuah pengetahuan ilmiah memiliki 5 (lima) ciri pokok, yaitu; empiris, sistematis,
obyektif, analitis, dan verifikatif. Ilmu, dalam hal ini, cenderung dilihat dalam hubungan
dengan obyek keilmuan (obyek material dan formal) dan metode keilmuan tertentu.
Kesatuan ilmu bersumber di dalam kesatuan obyeknya. Orang, misalnya kaum peneliti,
membatasi ilmu sebatas metodologi keilmuan. Alasannya, kaitan-kaitan logis yang dicari
di dalam ilmu tidak dicapai dengan penggabungan ide-ide yang terpisah, tetapi pada
pengamatan dan berpikir metodis, yang tertata rapih. Alat bantu metodologis keilmuan
adalah “teknologi ilmiah” dalam menguji-coba atau mengeksperimentasi konsep-konsep
ilmu.
Ketiga unsur dimaksud menggambarkan sebuah pengertian yang lengkap dan utuh
mengenai ilmu itu sendiri. Ketiganya, sesungguhnya bukan saling bertentangan, tetapi
merupakan sebuah kesatuan, di mana manusia lah yang menjadi pelaku (subyek) ilmu itu
sendiri. Alasannya, hanya manusia sajalah yang memiliki kemampuan rasional, melakukan
aktivitas kognitif (menyangkut pengetehuan), dan mendambakan berbagai tujuan yang
berkaitan dengan ilmu. Suatu aktivitas, hanya dapat mencapai tujuan bila mana
dilaksanakan dengan metode yang tepat.
Pengertian ilmu sebagaimana di atas, dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu; ilmu sebagai
aktivitas, ilmu sebagai pengetahuan sistematis, ilmu sebagai metode (The Liang Gie
1996:130). Ilmu sebagai aktivitas kognitif harus mematuhi berbagai kaidah pemikiran
logis, sementara, disebut pengetahuan sistematis karena ilmu merupakan hasil dari

2
pelaksanaan proses-proses kognitif yang terpercaya, dan sistematis, Ilmu disebut metodik
karena ilmu sebagai aktivitas kognitif (intelektual) sampai perwujudannya sebagai
pengetahuan sistematis, terjalin dalam sebuah langkah atau prosedur ilmu yang disebut
metode. Pandangan tersebut mengantarkan pada sebuah rumusan yang bersifat tentatif
tentang ilmu sebagai berikut;
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional kognitif, dengan berbagai metode
berupa anek prosedur dan tata langkah, sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan
yang sitematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, dan keorangan untuk
tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, atau
penerapan.

II. Obyek Pengetahuan ilmiah atau Ilmu.


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara filsafati, sebuah pengetahuan ilmiah atau
ilmu, memiliki perbedaan dengan bentuk pengetahuan yang umum (common sense).
Alasannya, bila sebuah jenis pengetahuan umum tidak memiliki obyek, bentuk pernyataan,
serta dimensi dan cirri yang khusus maka sebaliknya, sebuah pengetahuan ilmiah atau
pengetahuan keilmuan (ilmu) selalu mengendaikan adanya; obyek keilmuan, bentuk
pernyataan, serta dimensi dan ciri yang khusus.
Obyek pengetahhaun ilmiah atau obyek keilmuan, dalam hal ini, mencakup segala sesuatu
(yang tampak secara fisik maupun non fisik berupa fenomena atau gejala kerohanian,
kejiwaan, atau sosial), yang sejauh dapat dijangkau oleh pikiran atau indera manusia. Para
filsuf, karenanya, membagi obyek keilmuan itu dalam dua golongan besar, yaitu; obyek
material dan obyek formal keilmuan. Obyek material meliputi: ide abstrak, benda-benda
fisik, jasad hidup, gejala rohani, gejala sosial, gejala kejiwaan, gejala alam, proses tanda,
dan sejenisnya. Obyek formal, meliputi; sudut pandang, minat akademis, atau cara kerja
yang digunakan untuk menggali, menggarap, menguji, menganalisis, dan menyusun
berbagai pemikiran yang tersimpan dalam khasanah kekayaan obyek material di atas dan
menyuguhkannya dalam bentuk ilmu.

III. Hubungan Pengetahuan dan Ilmu


Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung di
dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala atau peristiwa, baik

3
yang bersifat alamiah, keorangan, atau kemasyarakat. Pengetahuan dapat dibagi atas dua
bentuk, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa adalah bentuk
pengetahuan yang biasa ditemui dalam pikiran atau pandangan umum (common sense)
dalam kehidupan harian, sementara pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang
telah diolah secara kritis menurut prinsip-prinsip keilmuan untuk menjadi ilmu.
Pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge) adalah pengetahuan yang disusun bersdasarkan
azas-azas yang cocok dengan pokok soal dan dapat membuktikan kesimpulan-
kesimpulannya. Pengetahuan ilmiah melukiskan suatu obyek khusus tentang jenis
pengetahuan yang khusus mengenai obyek dimaksud.
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sitematis. Jadi, pengetahuan
merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu. Pengetahuan, karenanya,
merupakan dasar bangunan sebuah ilmu. Tanpa pengetahuan, sukar disadari, ditemukan,
atau dikembangkan sebuah ilmu dalam bentuk apa pun. Pengetahuan yang merupakan isi
substatif ilmu, dalam dunia keilmuan disebut fakta (fact), kebenaran, azas, nilai, dan
keterangan) yang diperoleh manusia. Ilmu bukan sekedar fakta, tetapi ilmu mengamati,
menganalisis, menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal yang bersifat faktawi
(faktual) yang dihimpun dan dicatat sebagai data (datum).
Ilmu, dalam hal ini, didasarkan pada sesuatu hal pokok sebagai fakta (pengetahuan) yang
pokok soal khusus di dalam ilmu. Pokok soal itu dapat berupa ide abstrak, misalnya; sifat
Tuhan, sifat bilangan, atau fakta empiris, misalnya; sifat tanah, ciri kulit, bentuk materi,
berat badan, lembaga adat, pemerintah, dan sebagainya, yang mendorong minat (focus of
interest) atau sikap pikiran padanya. Jadi, bila ilmu berbeda dari filsafat berdasarkan ciri
empiris ilmu maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematis dari ilmu itu
sendiri. Hal-hal berupa pokok soal dimaksud, di dalam filsafat disebut obyek material
ilmu, sementara fokus minat atau sikap terhadap hal pokok dimaksud disebut obyek formal
ilmu, yang menunjuk pada sudut pendekatan atau tata cara khusus yang dilakukan dalam
menghadapi obyek materi ilmu dimaksud.
Ilmu, sebagaimana pengetahuan, memiliki dimensi sosial kemasyarakatan, juga dimensi
kebudayaan, dan dimensi permainan. Dimensi kemasyarakatan sebagai sebuah pranata
sosial (Social institution), karena ilmu, sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu
unsur yang berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan. Dimensi kebudayaan sebagai
“kekuatan kebudayaan” (cultural force), kerena ilmu, sebagaimana pengetahuan,

4
merupakan salah satu wujud kebudayaan yang sekaligus berkembang dalam bentuk
kebudayaan, serta memberikan sumbangan bagi kemajuan kebudayaan itu sendiri. Dimensi
permainan, (game), karena ilmu, dalam perkembangannya, menunjukkan ciri –ciri yang
mirip dengan sifat-sifat suatu permainan, misalnya; keingintahuan, perlombaan, dan
penerimaan hadiah. Ketiga hal dimaksud, bukan merupakan arti sesungguhnya dari ilmu,
melainkan dianggap sebagai dimensi umum dari ilmu.

IV. Konsep Ilmu


Sasaran ilmu adalah pembentukan konsep (pengertian), baik untuk kepentingan
pengembangan ilmu secara murni (misalnya; untuk menyusun teori dan dan menghasilkan
dalil-dalil, atau azas), maupun untuk kepentingan praktis bagi tindakan penerapan nyata.
Konsep merupakan ide umum yang mewakili sesuatu himpunan hal yang biasanya
dibedakan dari pencerapan atau persepsi mengenai suatu hal khusus. Konsep merupakan
alat penting untuk pemikiran terutama dalam hal penelitian ilmiah atau penelitian
keilmuan.
Konsep ilmu adalah bagan, rencana, atau pengertian, baik yang bersifat abstrak maupun
operasional, yang merupakan alat penting untuk kepentingan pemikiran dalam ilmu atau
pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu harus memiliki suatu atau beberapa konsep kunci atau
konsep tambahan yang bertalian. Beberapa contoh konsep ilmiah, misalnya; konsep
bilangan di dalam matematika, konsep gaya di dalam fisika, konsep evolusi di dalam
biologi, stimulus di dalam psikologi, kekuasaan atau strata sosial di dalam ilmu-ilmu
sosial, simbol di dalam linguistik, keadilan dalam ilmu hukum, keselamatan dalam ilmu
teologi, atau lingkungan di dalam ilmu-ilmu interdisipliner.
Konsep-konsep ilmu atau konsep ilmiah tersebut sangat dibutuhkan agar suatu ilmu dapat
menyusun berbagai azas, teori, sampai dalil-dalil. Sesuatu konsep ilmiah dapat merupakan
semacam sarana untuk ilmuwan melakukan pemikiran dalam mengembangkan
pengetahuan ilmiah. Misalnya; dengan konsep evolusi, Charles Darwin lalu dapat
menyusun dan mengembangkan suatu teori tentang asal–usul manusia, yang mulai dari
tahap perkembangan binatang menyusui yangcerdas kemudian makin berkembangan
menjadi manusia. Inti konsep evolusi yang membentuk teori evolusi itu demikian: bahwa
bentuk-bentuk organisme yang lebih rumit berasal dari sejumlah kecil bentuk-bentuk yang

5
lebih sederhana dan primitif dalam perkembangannya secara berangsur-angsur sepanjang
zaman.
Konsep evolusi, kemudian diterapkan pula dalam memahami perkembangan ilmu dengan
menunjukkan bahwa cabang-cabang ilmu khusus terlahir dalam jalinan umum dari
pemikiran reflektif filsafat dan setelah itu berkembangan mencapai suatu taraf kematangan
sehingga dipandang berbeda dan kemudian dipisahkan dari filsafat. Hal demikian berlaku
pula terhadap upaya penelaan terhadap gejala-gejala alam dan kehidupan maupun gajala-
gejala mental dan kemasyarakatan, yang dewasa ini, semuanya secara pasti telah
berkembang menjadi ilmu-ilmu fisis, biologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang berdiri
sendiri-sendiri. Ciri umum daripada ilmu-ilmu tersebut yang membuatnya berbeda dari
filsafat adalah ciri empirisnya. Jelasnya, bila filsafat masih tetap merupakan pemikiran
reflektif yang coraknya sangat umum, kebalikannya ilmu-ilmu fisis, biologis, psikologis,
dan ilmu-ilmu sosial telah merupakan rangkaian aktivitas intelektual yang bersifat empiris.
Sifat tersebut lah yang selalu merupakan ciri umum dari ilmu.
Jelasnya, konsep ilmu, agar dapat berguna secara ilmiah maka ia harus memiliki dua sifat
dasar, yaitu sifat operasional untuk kepentingan pengamatan (observasi), dan sifat abstrak
untuk kepentingan penyimpulan dan generalisasi. Bersifat operasional, maksudnya, setiap
konsep ilmu mengandung pengertian-pengertian yang berkesesuaian dengan fakta atau
situasi yang dapat diamati secara empiris. Ciri empiris dari ilmu mengandung pengertian
bahwa pengetahuan yang diperoleh tersebut adalah berdasarkan pengamatan (observation)
atau eksperimentasi (experimentation). Konsep ilmu, di sisi lain, bersifat abstrak untuk
kepentingan melakukan penyimpulan atau membuat keterangan-keterangan ilmiah yang
berlaku secara umum. Konsep-konsep ilmu tersebut kadang-kadang begitu abstrak
sehingga hampir berupa khayalan. Misalnya; konsep ketakterhinggaan matematika
(mathematical infinity), manusia ekonomis (the economic man), atau negara ideal (the
ideal state).
Konsep ilmu sebagai sasaran ilmu, tidak boleh dikacaukan, seolah-olah sama atau
menyerupai inti atau pokok soal pengetahuan. Alasannya, pokok soal pengetahuan tersebut
belum dapat mengembangakan suatu ilmu ke taraf yang lebih tinggi seperti konsep ilmu
dimaksud. Ilmu yang telah cukup berkembang harus memiliki satu atau beberapa konsep
kunci, juga beberapa konsep tambahan yang bertalian dengannya.

6
V. Ciri Pokok Ilmu
Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, berbeda dengan pengetahuan biasa, memiliki beberapa
ciri pokok, yaitu:
a. sistematis; para filsuf dan ilmwan sepaham bahwa ilmu adalah pengetahuan atau
kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Ciri sistematis ilmu
menunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai keterangan dan data yang tersusun
sebagai kumpulan pengetahuan tersebut mempunyai hubungan-hubungan saling
ketergantungan yang teratur (pertalian tertib). Pertalian tertib dimaksud disebabkan,
adanya suatu azas tata tertib tertentu di antara bagian-bagian yang merupakan pokok
soalnya.
b. empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh berdasarkan
pengamatan serta percobaan-percobaan secara terstruktur di dalam bentuk
pengalaman-pengalaman, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ilmu
mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal
empiris yang bersifat faktawi (faktual), baik berupa gejala atau kebathinan, gejala-
gejala alam, gejala kejiwaan, gejala kemasyarakatan, dan sebagainya. Semua hal
faktai dimaksud dihimpun serta dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan
persediaan bagi ilmu. Ilmu, dalam hal ini, bukan sekedar fakta, tetapi fakta-fakta
yang diamati dalam sebuah aktivitas ilmiah melalui pengamalaman. Fakta bukan
pula data, berbeda dengan fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan
mengenai sesuatu hal yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi inderawi.
c. obyektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengatahuan yang bebas dari
prasangka perorangan (personal bias), dan perasaan-perasaan subyektif berupa
kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung pernyataan serta
data yang menggambarkan secara terus terang atau mencerminkan secara tepat
gejala-gejala yang ditelaahnya. Obyektifitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan
pengetahuan itu haruslah sesuai dengan obyeknya (baik obyek material maupun
obyek formal-nya), tanpa diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subyektif
dari penelaahnya.
d. analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan membeda-bedakan
pokok soalnya ke dalam bagian-bagian yang terpecinci untuk memahami berbagai
sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian tersebut. Upaya pemilahan atau

7
penguraian sesuatu kebulatan pokok soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu
bidang keilmuan senantiasa tersekat-sekat dalam cabang-cabang yang lebih sempit
sasarannya. Melalui itu, masing-masing cabang ilmu tersebut membentuk aliran
pemikiran keilmuan baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus
dikembangkan secara khusus menunju spesialisasi ilmu.
e. verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran-kebenaran yang terbuka untuk
diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan disampaikan
kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi) dimaksud lah
yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar dapat diakui
kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau diverifikasi dari berbagai
sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui benar. Ciri verifikasif ilmu
sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah pada
tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleh manusia untuk menemukan suatu
nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran ilmiah. Kebenaran
tersebut dapat berupa azas-azas atau kaidah-kaidah yang berlaku umum atau
universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan. Melalui itu, manusia
berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa mendatang dan menerangkan
atau menguasai alam sekelilingnya. Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit
mengerti dan meramalkan, serta menguasai gejala atau peristiwa-peristiwa alam,
seperti; hujan, banjir, gunung meletus, dan sebagainya. Orang, karena itu, lari
kepada tahyul atau mitos yang gaib. Namun, demikian, setelah adanya ilmu, seperti;
vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara tepat dan
cermat bermacam-macam peristiwa tersebut serta meramalkan hal-hal yang akan
terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat menguasainya untuk kemanfaatan diri
atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itu lah, orang cenderung mengartikan
ilmu sebagai seperangkat pengetahuan yang teratur dan telah disahkan secara baik,
yang dirumuskan untuk maksud menemukan kebenaran-kebenaran umum, serta
tujuan penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran-kebenaran ilmu demi
kepentingan pribadi atau masyarakat, dan alam lingkungan.
Selain, kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan lainnya, misalnya;
ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental, dimaksudkan bahwa ilmu merupakan
alat atau sarana tindakan untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu, dalam hal ini sukar namun,

8
juga amat muda dalam arti, senantiasa merupakan sarana tindakan untuk melakukan
banyak hal yang mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide-ide baru. Ilmu berciri
faktual, dalam arti, ilmu tidak memberikan penilaian, baik atau buruk terhadap apa yang
ditelaannya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi sepengguna. Pandangan
terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolah karena, menurut mereka ilmu sebagai sebuah
hasil budaya manusia, selalu bertautan atau berhubungan dengan nilai. Ilmu, karenanya,
tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai dan selalu harus
bertanggungjawab atasnya.

VI. Dimensi khusus Ilmu


Ilmu, dalam perkembangannya yang luas dan bertumbuh beraneka ragam, telah
menampilkan pula berbagai dimensi keilmuan yang cukup luas dan beragam, serta bersifat
khas atau khusus. Dimensi ilmu menunjuk pada perwatakan, peranan, serta kepentingan
yang sepatutnya yang dianggap termasuk dalam ilmu. Berbagai pandangan filsuf,
sebagaimana ditunjukkan oleh The Liang Gie (1996: 131-133), menunjukkan beberapa
dimensi ilmu yang secara khusus atau spesifik dapat dijumpai dari ilmu-ilmu yang
bersangkutan, yaitu:
1. dimensi ekonomi, ilmu memiliki dimensi ekonomis, dalam arti, ilmu dilihat sebagai
salah satu faktor utama dalam mempertahankan dan mengembangkan produksi.
2. dimensi linguistik, bahwa ilmu dipahami sebagai suatu bahasa buatan. Ilmu, dalam
hal ini, dilihat sebagai suatu konstruksi kebahasaan (a construction of language),
dengan seperangkat tanda dan hubungan-hubungan spesifik tertentu serta antara
obyek-obyek, dan dengan praktek.
3. dimensi matematis, ilmu berdimensi matematis dalam hal menekankan segi-segi
kuantitatif dan proses-proses kuantifikasi dalam ilmu. Ilmu, dalam hal ini, mencakup
penalaran matematis dan analisis data atas fenomena alamiah.
4. dimensi politik, bahwa ilmu memiliki dimensi kekuasaan (power) sebagaimana
ditunjukkan oleh Francis Bacon: knowledge is power. Ilmu, dalam hal ini cenderung
dipahami sebagai kekuatan dalam hal membangun dan menyelenggarakan
pemerintahan atau kekuasaan serta mempertahankannya.

9
5. dimensi psikologis; bahwa ilmu bukanlah kumpulan keajaiban, melainkan suatu
sikap terhadap dunia dengan kreativitas kejiwaan yang penuh daya seni serta
keindahan yang tinggi.
6. dimensi sosiologis, bahwa ilmu, dalam hal ini, cenderung dipahami sebagai sebuah
lembaga sosial (social institution), mendorong aktivitas sosial (social aktivity), serta
membangun jaringan-jaringan yang menghimpun, menguji, serta menyebarkan
pengetahuan, dan menciptakan sebuah masyarakat ilmuwan.
7. dimensi nilai, bahwa ilmu bukan sekedar untuk menjejerkan ide-ide atau gagasan-
gagasan, tetapi lebih daripada itu merupakan sebuah nilai (value) pada dirinya, dan
karenanya, ilmu tidak dapat membebaskan diri dari nilai-nilai yang diembannya
sejak awal proses pembentukan maupun penerapannya.
8. dimensi sejarah, ilmu, dalam hal ini, dipahami sebagai bagian dari perkembangan
sejarah manusia dan kebudayaan. Ilmu, karenanya, merupakan sebuah kekuatan
sejarah yang sangat besar peranannya bagi setiap generasi manusia di dalam
periodenya masing-masing. Ilmu sebagai kekuatan sejarah, selalu membangun
eksistensi sosial manusia dalam arahnya yang selalu baru.
9. dimensi kultur, bahwa ilmu sebagai produk budaya manusia yang sekaligus
ditempatkan menjadi kekuatan budaya (cultural force) dalam membangun peradaban
manusia dan dunia sebagai pribadi dan dunia yang berbudaya.
10. Dimensi kemanusiaan; ilmu adalah produk daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang
bertautan langsung dengan nilai rasa (cita rasa) manusia dan kemanusiaan itu
sendiri. Manusia adalah obyek sekaligus subyek bagi ilmu itu sendiri, dan ilmu
selalu berorientasi pada manusia sebagai kausa ontologis (penyebab ada) bagi ilmu
itu sendiri. Manusia lah yang mengembangkan ilmu, tetapi sekaligus mendapatkan
keuntungan (benefit) dari ilmu itu sendiri.
11. dimensi rekreatif, bahwa ilmu memiliki dimensi permaianan yang dilombahkan dan
dilakukan dengan kegembiraan. Ilmu, dalam hal ini, dilihat sebagai suatu permainan
yang ditimbulkan oleh keingintahuan untuk menemukan alam semesta dan dirinya
sendiri, serta memperluas atau memperbesar kesadaran manusia akan dunia tempat
ia hidup dan berkarya.
12. dimensi sistem; ilmu, dalam hal ini, merupakan suatu kebulatan sistem yang terdiri
dari unsur-unsur yang berada dalam keadaan yang saling berinteraksi. Jadi, ilmu

10
dipahami sebagai pengetahuan sistematis yang memiliki ciri sistematis, sistim
penjelasan (a system of explanation), dan terpola atau terstruktur, serta menjadi
suatu sistim keyakinan tentang alam, kaidah-kaidah alam, kaidah-kaidah
pembilangan, serta hubungannya dengan manusia.
13. dimensi logik, bahwa ilmu konsistensi proposisi-proposisi ilmu dalam membangun
sebuah penalaran yang sehat dan lurus guna mencapai kesimpulan-kesimpulan
keilmuan yang bersifat valid dan obyektif. Melalui itu, ilmu, secara formal, dapat
diterima sebagai sebuah ilmu yang resmi, valid, dan obyektif.
Pembahasan mengenai dimensi khusus keilmuan di atas, memperlihatkan bahwa,
sesungguhnya masih terdapat lagi banyak dimensi keilmuan yang lain yang bersifat khas,
namun, semua dimensi tersebut saling terkait secara komplementar (saling melengkapi)
untuk meberikan manfaat atau kegunaan secara utuh dan sempurna bagi kemajuan ilmu
maupun bagi manusia dan alam kehidupannya. Konsekuensinya, penonjolan secara
sepihak pada salah satu dimensi yang paling disukai saja, misalnya; dimensi ekonomi ilmu
karena membawa keuntungan langsung, akan sangat mengganggu kemajuan ilmu secara
utuh serta cenderung merapuhkan vitalitas ilmu itu sendiri. Alasannya, kerena kemajuan
pada dimesi ekonomi akan sangat ditunjang oleh dimensi lain, sementara persoalan-
persoalan yang dimunculkan oleh faktor ekonomi itu sendiri tidak mungkin hanya dapat
dipecahkan secara ekonomi pula.

VII. Bentuk Pernyataan dan Ragam Proposisi Ilmiah (Keilmuan)


1. Deskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah (pernyataan keilmuan) berupa
uraian terpeinci, baik mengenai bentuk, susunan, peranan, serta hal-hal terperinci
lainnya dari fenomena atau obyek keilmuan yang bersangkutan. Bentuk pernyataan
deskriptif ini, biasanya terdapat pada cabang-cabang ilmu khusus yang bersifat
deskriptif, misalnya; ilmu anatomi, biologi, astronomi, dan sebagainya.
 
2. Perskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang berupa petunjuk-petunjuk atau
ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaliknya
dilakukan dalam hubungan dengan suatu obyek keilmuan. Bentuk pernyataan
perskripsi dimaksud, banyak dijumpai dalam cabang-cabang ilmu sosial. Misalnya;
ilmu-ilmu pendidikan yang memuat petunjuk-petuntuj mengenai cara-cara mengajar

11
yang baik di dalam kelas. Hal demikian pun dapat dijumpai di dalam ilmu
administrasi negara yang berupaya memaparkan berbagai azas atau ukuran-ukuran,
dan berbagai peraturan lainnya tentang bagaimana menjalankan sebuah organisasi
pemerintahan yang baik, membangun menajemen yang efektif, atau prosedur kerja
yang efisien.
 
3. Eksposisi Pola; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang memaparkan pola-pola
dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena atau
obyek keilmuan yang ditelaah. Misalnya, dalam Antropologi, dipaparkan pola-pola
kebudayaan berbagai suku bangsa, atau dalam Sosiologi, diungkapkan pola-pola
perubahan masyarakat dari tahap kehidupan pedesaan menjadi masyarakat
perkotaan. 
4. Rekonstruksi historis; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang berusaha
menggambarkan atau menceriterakan sesuatu hal pada masa lampau dengan
beruasah memberikan penjelasan atau menunjukkan alasan yang diperlukan bagi
pertumbuhan hal dimaksud, baik secara alamiah maupun secara budaya melalui
campur tangan manusia, dengannya orang akan berusaha memberikan petunjuk-
petunjuk atau penyiasatan hidup ke depan. Bentuk pernyataan ilmiah ini dapat
dijumpai dalam ilmu-ilmu khusus, seperti; Historiografi atau Ilmu purbakala.
5. Azas ilmiah (azas keilmuan); merupakan ragam proposisi ilmiah yang mengandung
prinsip-prinsip kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati. Azas
ilmiah, dalam ilmu-ilmu sosial, sering dipahami sebagai prinsip yang memadai
untuk dijadikan pedoman di dalam melakukan tindakan-tindakan. Misalnya; azas
peredaran planet berdasarkan pengamatan astronomi, yang menyatakan; makin dekat
sesuatu planet kepada matahari, makin pendek masa putarannya.
6. Kaidah ilmiah (kaidah keilmuan); merupakan ragam proposisi yang mengungkapkan
keajegan (keteraturan) atau hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya di
antara fenomena-fenomena. Melalui itu, ia digeneralisasikan sebagai hal yang secara
umum berlaku bagi fenomena yang sejenis. Misalnya; Hukum gaya berat dari Ishak
Newton atau Kaidah Boyle di dalam ilmu-ilmu kimiah bahwa volume suatu gas
berubah secara terbalik dengan tekanan bila suhu yang sama tetap dipertahankan.

12
Kaidah, ilmiah, karenanya, seringkali diartikan sebagai suatu pernyataan prediktif
dan universal.
7.
VII. Struktur pengetahuan ilmiah (Ilmu).
Guna membantu Anda melakukan pemetaan pemikiran secara utuh terhadap hakikat ilmu
maka Anda diminta untuk mempelajari bagan di bawah:

13
Gambar Struktur Pengetahuan Ilmiah

14
E. Sumber:
1. Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
2. The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
F. Tugas:
 tunnjukkan perbedaan antara pengetahuan dan ilmu;
 jelaskan hubungan antara pengetahuan dan ilmu
 jelaskan arti arti konsep ilmu dalam kegiatan keilmuan;
 tunjukkan perbedaan antara ciri ilmu dan dimensi ilmu;
Catatan :
Jawaban Evaluasi deserahkan secara of line di ruang prodi dan menanda tangani
absen sebagai tanda bukti penyerahan tugas

15

Anda mungkin juga menyukai