Anda di halaman 1dari 2

Salah satu kasus yang dapat dikategorikan sebagai Penghindaran Pajak secara agresif adalah mengenai

Treaty Shopping. Menurut Victor Thuronyi, treaty shopping merupakan suatu praktik yang dilakukan
oleh wajib pajak suatu negara yang tidak memiliki tax treaty dan mendirikan anak perusahaan di negara
yang memiliki tax treaty, kemudian melakukan kegiatan investasinya melalui anak perusahaan tersebut,
sehingga investor tersebut dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya
yang tercantum dalam tax treaty tersebut.

Selain pendapat ahli, di Indonesia juga memiliki pendapat lain mengenai Treaty Shopping yang
dikemukaan oleh. Treaty Shopping adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas,
misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian
penghindaran pajak berganda (P3B), oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk
mendapatkan fasilitas tersebut. Atau dengan kata lain, Treaty tax ini menikmati Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty untuk menghindari pajak, sedangkan hal tersebut tidak sesuai
tujuan P3B yang dibuat sebagai upaya untuk menghindari terjadinya pajak berganda antara dua Negara.

Contoh nyata dari Tax Treaty adalah yang pernah ditangani oleh salah satu pegawai Direktorat Jendral
Pajak. PT D Membayar royalti atas merek sabun mandi kepada PT C yang berdomisili di Uni Emirat Arab.
Berdasarkan dokumen BPOM, pemberi otorisasi penggunaan merek di Indonesia adalah PT B yang
berdomisili di Swiss. Pada setiap kemasan sabun yang dijual di Indonesia tertera “Made under authority
of PT B”. Kemudian, PT C diduga merupakan perusahaan cangkang (conduit) dari PT B. Ia dibentuk oleh
sebuah korporasi hanya untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di P3B Indonesia – UEA, di mana dalam
P3B tersebut tarif pajak atas royalti relaif rendah yaitu 5 persen. Maka, PT C bukan beneficial owner atas
merek sabun tersebut. Beneficial owner yang sebenarnya adalah PT B yang berdomisili di Swiss. Tarif
pajak royalti yang diatur dalam P3B Indonesia – Swiss adalah 12.5%. Dengan demikian ada dugaan telah
terjadi penyalahgunaan P3B.

Untuk menentukan apakah entitas luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia (WPLN) itu
sebagai beneficial owner atau bukan, PER-10/PJ/2017 memberikan kriteria sebagai berikut:

a. bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b. bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, yang harus memenuhi
ketentuan:
1. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang
mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
2. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain;
3. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan
4. tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau
seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.

Kriteria-Kriteria tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk mendalami apakah PT C sebagai Benefecial
Owner.

Contoh lain adalah Starbucks, dimana selama tiga tahun sejak 2009 hingga 2012, Starbucks UK
menyatakan tidak memperoleh keuntungan dan tidak membayar pajak walaupun meraup penjualan 1,2
billion pound di Inggris. Ada 3 mekanisme yang dilakukan yaitu :
1. Intellectual Property Company. Starbucks memiliki perusahaan pemegang hak kekayaan intelektual
atas desain, resep dan logo Starbucks yang berada di Netherland bernama Starbucks Coffee EMEA BV.
Starbuck Inggris dan seluruh unitnya diharuskan membayar fee royalty sebesar 6% dari total penjualan.
Biaya fee tersebut kemudian digunakan untuk mengurangi besarnya pajak penghasilan yang mesti
dibayar oleh Starbuck Inggris. Sedangkan pendapatan fee royalty yang diterima oleh perusahaan
Netherland, dikenakan pajak minim (hanya 2%) sesuai dengan ketentuan perpajakan negara tersebut.

2. Transfer Pricing. Biji kopi dihasilkan oleh perusahaan di Switzerland (Starbuck Coffee Trading) dan
di sangrai oleh perusahaan Netherland (Dutch Roasting Co), perusahaan yang terpisah dari perusahaan
induk. Dalam aturan pajak Netherland dan Switzerland, Starbucks diharuskan mengalokasikan
keuntungan kepada perusahaan di kedua negara tersebut. Alokasi ini kemudian di setting dengan harga
tertentu untuk meniminalkan pajak dan dikenal dengan transfer pricing. Bagi Starbucks Coffee Trading,
pendapatan dari pengalihan keuntungan penjualan komoditi dikenakan pajak rendah (hanya 5%) di
Switzerland. Sedangkan bagi perusahaan Netherland (Dutch Roasting Co) biaya pembelian biji kopi,
sangrai, listrik dan packaging dapat digunakan sebagai pengurang jumlah pajak yang harus dibayar.

3. Intercompany loan. Melakukan transaksi pinjaman antar perusahaan. Penerima pinjaman dapat
menjadikan biaya bunga sebagai pengurang pembayaran pajak. Sedangkan di negara tertentu,
pendapatan bunga yang diterima pemberi pinjaman tidak akan dikenakan pajak.

Secara singkat, Starbucks Inggris mengurangi pajak yang harus di bayar dengan cara mengakui biaya free
royalty, biaya bunga atas pinjaman dan mengalihkan keuntungan ke negara lain. Seluruh aksi korporasi
tersebut bukanlah tindakan illegal. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut termasuk
kedalam aggressive tax avoidance

Anda mungkin juga menyukai