Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

AL- MUNASABAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an Pada
Fakultas Syariah Dan Hukum Islam Semester 2 Kelompok 4
Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI)

Dosen Pengampu :
MA’ADUL YAQIEN MAKKARATENG

Oleh:
KELOMPOK 4

ANDI RASTI
NIM : 742302021060

HERIANA
NIM : 742302021063

MUH. REZKI FIRMAN


NIM: 742302021066

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
BONE

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan judul: ”AL-
MUNASABAH”.
Semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi kami semua dalam memenuhi
tugas dari mata kuliah Ulumul Qur’an dan semoga segala yang tertuang dalam Makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pembaca dalam rangka membangun khasanah
keilmuan. Makalah inidisajikank husus dengan tujuan untuk memberi arahan dan tuntunan agar
yang membaca bias menciptakan hal-hal yang lebih bermakna.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Watampone, 17 April 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar ii
Daftar isi iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 2
C. Tujuan penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Al-munasabah 3
B. Fungsi Munasabah 3-4
C. Pendapat-pendapat disekitar Munasabah 5-7
D. Macam-macam Munasabah Dalam Al-Qur’an 7-16
BAB III PENUTUP 17
A. Kesimpulan 17
B. Saran 18
C. Daftar pustaka 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahirnya pengetahuan tentang teori korelasi (munasabah) ini berawal dari
kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaiman terdapat dalam mashab Usmani,
sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan hal ini, ulama
Salaf berbeda pendapat tentang urutan surah dalam Al-Qur’an. Segolongan dari mereka
berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifiy dari Nabi SAW. Golongan kedua
berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah sepakat dan
memastikan bahwasusunan ayat-ayat adalah tauqifiy. Golongan ketiga berpendapat
serupa dengan golongan pertama, kecuali surah Al-anfal [8] dan bara’ah [9] yang
dipandang bersifat ijtihadi.
Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al- Qadi Abu Bakar dalam satu
pendapatnya, Abu Bakar Ibnu Al- Anbari, Al- Kirmani dan Ibnu Al- Hisar. Pendapat
kedua didukung oleh Malik, Al- Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibnu
Al- Faris. Pendapat ketiga di anut oleh Al- baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan
pendapat ini adalah adanya mashab-mashab ulama salaf yang bervariasi dalam urutan
suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologi turunnya, seperti Mashab Ali
yang dimulai dari ayat Iqra’, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya
(Makkih kemudian Madani). Adapun mashab Ibnu mas’ud dimulai dari surah Al-Baqarah
[2], kemudian An-Nisa’ [4] lalu surah Ali ‘imran [3].1
Mempelajari dan mengetahui munasabah merupakan hal yang sangatpenting dan
menduduki porsi yang utama dalam disiplin ilmu tafsir. Hal ini karena adanya
mempelajarinya seorang interpretator dapat melakukan penaqwilan dan pemahamaan
yang baik. Oleh karena itu, ada ulama yang membahasnya secara spesifik. Diantara
merekan adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim (w.807 H) dalam bukunya Al-Burhan fi
munasabah Nidzammuddurar fi Tanasubil Ayat Wassuwar.
Karena Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur seiring dengan timbulnya
berbagai peristiwa dan berbagai kejadian, maka seorang mufassir tidak dituntut untuk
selalu mengacu pada munasabah ketika menginterprestasi setiap ayat dalam Al-Qur’an.
Oleh sebab itu, seorang mufasir tidak dapat menemukan keterkaitan (irtibath) antara ayat
satu dengan ayat lainnya. Bila ini terjadi, si mufassir tidak berhak untuk memaksakan
lahirnya musabah yang liar.

1
Jalaluddin As-Suyuthi, Asrar Tartib Al-Qur’an, Dar Al-I’tisham, Kairo, hlm. 68-69

1
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian munasabah
2. Fungsi munasabah
3. Pendapat-pendapat disekitar munasabah
4. Macam-macam munasabah dalam Al-Qur’an
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu munasabah
2. Untuk mengetahui apa fungsi munasabah
3. Untuk mengetahui pendapat-pendapat disekitar tentang munasabah
4. Untuk mengetahui macam-macam munasabah dalam Al-Qur’an

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-munasabah
Kata “munasabah” secara etimologi bermakna “berdekatan” (muqarabah). Bila
kita mendengar ungkapan “fulan yunasib bi fulan”, maksudnya ada kemiripan antara
kedua fulan itu, sehingga sulit untuk dibedakan antara keduanya. Akan tetapai, istilah
munasabah yang dimaksud oleh pakar tafsir adalah format hubungan antara beberapa
kalimat dalam satu ayat yang sama atau antara ayat dan ayat dalam ayat yang berbeda-
beda. Sedangkan menurut bahasa Al-munasabah berarti ‫ المشا كلة‬dan ‫ لمقا ر بة‬artinya
keserasian dan kedekatan.2 Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi
As-Suyuthi) baahwa munasabah adalah adanya keserupaan dan kedekatan diantara
berbagai ayat, surah dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. 3 Hubungan
tersebut dapat berbentuk keterkaiatan makna antarayat dan macam-macam hubungan,
atau kemestian dalam pikiran (nalar).
Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit
ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat
dicari penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau
kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau surah lain? Karena pemahaman ayat secara persial
(pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin terjadi kekeliruan.
Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin memperolehapresiasi yang utuh
mengenali Al- qur’an, maka ia harus dipahami secara terkait. Selanjutnya menurut beliau
apabila Al- qur’an tidak dipahami secara utuh dan terkait, Al- qur’an akan kehilangan
relevansinya untuk masa sekarang dan akan datang. Sehingg Al- qur’an tidak dapat
menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia.

B. Fungsi Munasabah
Seperti Disinggung sebelum ini, beberapa ahli ulumul-Qur’an menjuluki ilmu
Munasabah dengan beberapa julukan.Yang terpenting di antaranya ialah bahwa ilmu
munasabah sebagai ilmu yang baik (‘ilmu hasan), ilmu yang mulia (ilmuan syarif) dan ilmu
yang agung (‘ilmu ‘azhimun).Semua julukan ini mengisyaratkan betapa ilmu munasabah
mendapatkan tempat dan penghargaan yang cukup tinggi dalam lapangan ilmu-ilmu Al-
Qur’an dan sekaligus memiliki fungsi atau peran yang cukup signifikan dalam memahami
dan menafsirkan Al-Qur’an.Bahkan seperti dinyatakan az-Zarkasyi yang telah dikutipkan
sebelum ini, ilmu munasabah dapat dijadikan sebagai salh satu tolak ukur untuk mengetahui
kualitas kecerdasan seorang mufassir.

2
M. Quraish Shihab, wawasan Al-qur’an, (Bandung. Mizan, cet. IV, 1996), hlm.319
3
M. Quraish shihab, wawasan Al-qur’an, hlm. 319

3
Banyak para analis tafsir menyatakan adalah salah satu dugaan sebagian orang yang
memandang tidak perlu melakukan penggalian ilmu munasabah dalam menafsirkan Al-
Qur’an hanya dengan alasan karena ayat-ayat Al-Qur’an yang jumlah ayatnya sangat
banyak itu diturunkan dalam waktu yang lama dan ditempat serta latar belakang yang
berbeda pula.Menurut hemat penulis, ilmu musabah itu paling sedikit berfungsi sebagai
ilmu pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan tidak
jarang dengan pendekatan ilmu munasabah penafsiran akan semakinmenjadi jelas, mudah
dan indah. Dan karenanya, ilmu munasabah cukup memiliki peranan dalam
mengingatkan kualitas penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.

Urgensi dari keberadaan ilmu munasabah akan semakin terasa kebutuhannya


manakala seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an menggunakan metode tafsir Al-
Mawdhu’i (tematik) dan atau tafsir al-muqaran (komparasi). Bukankah satu dari sekian
banyak langksh tafsir al-mawdhui dan tafsir al-muqaran menuntut mufassir supaya
mempertimbangkan keterkaitan (munasabah) anatara ayat yang berbicara tentang
masalah yang sejenis.

Di antara kegunaan ilmu munasabah seperti dikemukakan az-Zarkasyi ialah dapat


menjadikan bagian demi bagian pembicaraan menjadi tersusun demikian rupa laksana
sebuah bangunan yang tampak kokoh lagi serasi antara bagian demi bagiannya. 4 Itulah
sebabnya mengapa al-Imam Abu Bakar an—Naisaburi, konon katanya selalu menegur
ulama-ulama Baghdad tempo dulu karena minimnya pengetahuan mereka tentang ilmu
munasabah yang sangat penting itu.

Suatu hal yang patut diingatkan di sini ialah bahwa pekerjaan mencari hubungan
antara sesama ayat Al-Qur’an memang bukan merupakan perkara mudah yang bisa
dilakukan sembarang orang. Menelusuri Munasabah Al-qur’an anatar bagian demi
bagian merupakan pekerjaan yang benar-benar menuntut ketekunan dan kesabaran
seseorang, bahkan boleh jadi hanya sungguh memiliki gairah (ghirrah) untuk itu.
Karenanya maka mudah dipahami jika kenyataan memang menunjukan bahwa tidak
begitu banyak mufassir yang melibatkan ilmu munasabah dalam memaparkan
penafsiran Al-Qur’an. Termasuk di dalamnya para ahli tafsir kontemporer sekalipun.

Berlainan dengan ilmu asbabin-nuzul yang digolongkan ke dalam ilmu sima’i dan
karenanya maka bersifat naqli/periwayatan, ilmu munasabah tergolong ke dalam
kelompok ilmu-ilmu ijtihad yang karenanya bersifat penalaran.Sebagai ilmu ijtihad,
ilmu munasabah tentu memiliki peluang yang sangat memadai untuk dikembangkan
dalam upaya memperkaya dan memperkuat penafsiran Al-Qur’an. Caranya, anatara lain
dengan terus menerus mencari hubungan antara ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai

4
Az-Zarkasyi, ulumul qur’an, hlm. 36

4
aspeknya. Dalam penelusuran munasabah ayat-ayat Al-qur’an, siapa pun pasti
memerlukan bantuan ilmu asbabin-nuzul dan ilmul-makki wal-madani. Di sinilah
terletak arti penting dari keberadaan beberapa cabang ilmu Al-Qur’an yang termuat
dalam buku ini

C. Pendapat-pendapat di sekitar munasabah


1. Tertib surah dan ayat
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam Al- qur’an adalah tauqifiy,
artinya penetapan dari Rasul. Sementara tertipsurah dalam Al- qur’an masih
terjadi perbedaan pendapat.
Ada tiga pendapat yang berbeda mengenai tertib surah dalam Al- qur’an, yaitu
a. Tauqifiy
Menurut jhumur ulama bahwa tertib surah sebagaimana dijumpai dalam
mushaf sekarang ini adalah tauqifiy.
Kelompok ini mengajukan alasan sebagai berikut:
1. Setiap tahun jibril datang menemui Nabi dalam rangka mendengarkan atau
menyimak bacaan Al- qur’an yang dilakukan oleh Nabi, selain itu pada
mu’aradlah yang terakhir dihadiri oleh Zaid bin Tsabit dan di saat itu Nabi
membacanya sesuai dengan tertib surah sekarang.
2. Nabi sering membaca Al- qur’an dengan tertib surah seperti yang ada
sekarang.
b. Ijtihady
kelompok ini mengatakan bahwa tertib surah dalam Al- qur’an adalah
ijtihady. Alasan mereka adalah:
1. tidak ada petunjuk langsung dari rasulullah tentang tertib surah dalam Al-
qur’an.
2. Sahabat perna mendengar Rasul membaca Al- qur’an berbeda dengan
susunan surah yang sekarang, hal ini dibuktikan dengan munculnya empat
buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara satu
dengan yang lainnya, yaitun mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn
Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3. Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda. Ini menunjukkan
bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Nabi. 5

5
Namun demikian pendapat tersebut masih dapat dibantah dengan alasan bahwa sahabat tidak selamanya selalu
dalam majlis rasul. Sedangkan surah atau ayat terus turun, maka boleh jadicatatan sahabat ada yang melompat-
lompat. Jika ada sahabat lain yang memberitahu mungkin saja langsung ia masukkan dalam catatannya tanpa
melihat urutan susunannya.

5
Dari dua pendapat dan alasan di atas, maka boleh jadi susunan surah itu
sebagian bersifat tauqifiy dan sebagian lagi bersifat ijtihady. Akibat dari
dua pendapat di atas muncul pendapat yang ketiga.

c. Tauqifiy dan Ijtihady


Pendapat ketiga ini mengatakan bahwa tertib sebagian surah dalam Al- qur’an
adalah tauqifiy dan sebagian lagi adalah ijtihady. Alasannya:
1. Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi
sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh
Allah misalnya Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran, dan lain-lain.
Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri
menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Surah
yang diberi nama oleh para sahabat seperti Al- Baro’ah, yaitu surah
yang tidak diawali dengan lafaz basmalah.
2. Seseorang bertanya kepada Usman mengapa surah Al- Baro’ah tidak
memakai basmalah? Usman menjawab “saya lihat isinya sama dengan
surah sebelumnya (Al Anfal). Rasul tidak sempat menjelaskan dimana
diletakkan surah sesudah Surah Al Anfal”. Ungkapan ini menunjukkan
bahwa Rasul tidak ada petunjuk mengenai urutan-urutan surah dalam
Al- qur’an.
Namun demikian alasan yang dikemukakan tersebut dipertanyakan.
Ternyata riwayat tersebut, menurut sebagian ulama adaalah lemah,
baik dari sisi sanad maupun matan. Dari sisi sanad bahwa Yazid yang
meriwayatkan hadis tersebut tidak dikenal oleh Bukhari dan Ibnu
Katsir. Dari sisi matan ternyata Rasul wafat satu tahun tiga bulan
setelah turunnya Surah Al Baro’ah, jadi tidak mungkin sekiranya tidak
dijelaskan oleh Rasul.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa susunan atau tertib surah
yang ada dalam Al- qur’an itu adalah ditetapkan secara tauqifiy.

3. Tentang munasabah

Pada bagian ini muncul pertanyaan, apakah musabah itu ada atau tidak?
Dari pertanyaan ini muncul dua pendapat yang berbeda sebagai jawabannya.
Pendapat pertama mengatakan bahwa munasabah itu tidak ada. Dan pendapat
yang kedua mengatakan bahwa munasabah itu ada.

Argumentasi pendapat pertama bahwa: suatu kalimat baru memiliki


munasabah apabila ia diucapkan dalam konteks yang sama. Karena ayat Al-
Qur’an turun dalam berbagai konteks, maka tidak mesti ia memiliki munasabah.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh seorang mufassir yang bernama Izzudin ibn
Abdul Aslam.
6
Di sini kelihatan bahwa Izzudin seakan ingin mengatakan bahwa susunan
ayat mesti berdasarkan masa turunnya, misalnya (a,b,c,d,e,...) bilamana
susunannya sudah di ubah, kalaupuan mau mengatakan bahwa itu ada
munasabahnya, berarti itu terlalu dipaaksakan.

Sementara argumen pendapat kedua mengatakan bahwa ketidakberurutan


itulah menunjukkan adanya rahasia. Di sinilah relevansi pembicaraan munasabah.
Pendapat adanya munasabah dalam Al- qur’an juga dikemukakan oleh mufassir,
diantaranya As-Suyuthi, Al-Qathathan, Fazlurrahman, dan lain-lainnya.

D. Macam-macam Munasabah
Dalam Al-Qur’an sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah yaitu
berikut ini.

1. Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya

As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antarsatu surat dengan surat


sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat
sebelumnya.6 Sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah [1] ayat 1, ada ungkapan
Alhamdulillah. Ungkapan ini berkorelasi dengan Surah Al-Baqarah [2] ayat 152 dan
186:

Artinya: “ Krena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu
dan bersyukurlah pada-Ku dan janganlah kamu menghindari (nikmat)-Ku.” (Q.S Al-
Baqarah [2]: 152)

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka


(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohom kepada-Ku, maka hensaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepad-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 186)

6
As-Suyuthi, Asrar..., hlm. 83.

7
Ungkapan “rabb al-aamin” dalam surat Al-Fatihah [1] berkorelasi dengan suarat Al-
Baqarah [2] ayat 21-22:

Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptkanmu dan orang-
orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari

langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu: karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sukutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 21-22)

Di dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 2 ditegaskan ungkapan:

Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya.” (Q.S Al-Baqarah [2]:
2)

Ungkapan ini berkorelasi ddengan surat Ali ‘Imran [3] ayat 3:

Artinya: “Dia menurunkan Al-Kitab () Al-Qur’an kepadamu dengan sebenarnya,


membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan
Injil.” (Q.S Ali ‘Imran {3} ayat 3)

Demikian pula pada surat Al-Baqarah [2]: 4 diungkapkan secara global, yaitu
ungkapan: …, dirinci lebih jauh oleh Ali ‘Imran [3]: 3:

8
Artinya: “Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan
Injil.” (Q.S Ali ‘Imran [3]:3)
2. Munasabah Antarnama Surat dan Tujuan Turunnya

Setiap surat memiliki tema pembicaraan yang menonjol. Hal ini tercermin pada
namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah [2], surat Yusuf [12], surat An-
Naml [27], dan surat Al-Jinn [72].7Lihatlah firman Allah:

Artinya: ”Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembeli seekor sapi betina.” “Mereka berkata, “Apakah kamu
hendak menjadikan kami buah ejakan?”Musa menjawab, “Aku berlindung kepada
Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” Mereka
menjawab, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan
kepada kami, sapi betina apakah itu?”. Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda;
pertengahan anatara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia

7
Muhammad Abd Al-Azhim Az-Zarqani, manahil Al-irfan fi Uhum Al-Qur’an, Dar Al-fikr, Beirut, t.t., jilid I, hlm. 351

9
menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya
sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami Insya Allah akan
mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).”Musa berkata, “Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak
tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada
belangnya”.Mereka berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi
betina yang sebenarnya,” kemudian mereka menyembelihnya dan hamper saja
mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 67-71)

Cerita tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah [2] di atas merupakan ini
pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan
perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan
pada hari kemudian.

3. Munasabah Antarbagian Suatu Ayat

Munasabah antarbagian suatu ayat sering berbentuk pola munasabah Al-


Tadhadat (perlawanan) seperti terlihat dalam surat Al-Hadid [57] ayat 4:

Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudia
Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan dia bersama kamu di mana saj kamu berada.Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.”(_Q.S Al-hadid [57]: 4)

Antara kata “yaliju” (masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar), serta kata
“yanzilu” (turun) dengan kata “ya ‘ruju” (naik) terdapat korelasi perlawanan.Contoh
lainnya adalah kata “al-adzab” dan “ar-rahmah” dan jani baik setelah ancaman.
Munasabah seperti ini dijumpai dalam surat Al-Baqarah [2], An-Nisa [4], dan surat
Al-Maidah [5].

4. Munasabah Antarayat yang Letaknya Berdampingan

10
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas,
tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antarayat yang terlihat dengan jelas
umumnya menggunakan pola ta ‘kid (penguat), tafsir (penjelas), I ‘tiradh
(bantahan), dan tasydid (penegasan).

Munasabah antarayat yang menggunakan pola ta ‘kid, yaitu apabila salah satu
ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di
sampingnya. Contoh firman Allah:

Artinya : “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S Al-Fatihah [1]: 1-2)
Ungkapan “rabb al- ‘alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “ar-rahman”
dan “ar-rahim” pada ayat pertama.

Munasabah antarayat menggunakan pola tafsir apabila satu ayat atau bagian
ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat disampingnya.
Contoh firman Allah:

Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini ttidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa (yaitu) mereka yang beriman kepadanya yang gaib, yang
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan
kepada mereka.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 2-3)

Kata “muttaqin” ayat kedua ditafsirkan maknanya oleh ayat ketiga.Dengan


demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-hal yang gaib,
mengerjakan shalat, dan seterusnya.
Munasabah antarayat menggunakan pola I ‘tiradh apabila pada satu kalimat
atau lebih tidak ada kedudukannya dalm I ‘rab (struktur kalimta), baik
dipertengahan kalimat atau antara dua kalimat yang berhubungan maknanya.

11
Contohnya firman Allah pada surat An-Nahl [16] ayat 57:

Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S Al-Fatihah [1]: 6-7)

Ungkapan “ash-shirath al-mustaqim” pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan


“shiratalladzina…”.Antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang
ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang tidak diperkuat olehnya (tidak
langsung).

Munasabah antarayat yang tidak jelas dilihat melalui qara ‘in ma’ nawiyyah
(hubungan makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah: Al-Tanzir
(perbandingan), al-mudhadat (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan
at-takhalush (perpindahan).

Munasabah yang berpolakan at-tanzir terlihat pada adanya perbandingan


antara ayat-ayat yang berdampingan. Contohnya firman Allah:

Artinya: “Itulah orang-orang yang beriman sebenar-sebenarnya. Mereka akan


memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta
rezeki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari
rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang
yang beriman itu tidak menyukainya.” (Q.S Al-Anfal [8]: 4-5)

Pada ayat kelima, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar terus


melaksanakan perintah-Nya, meskipun para sahabatnya tidak
menyukainya.Sementara pada ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap
keluar dari rumah untuk berperang.Munasabah anatarkedua ayat tersebut terletak
pada perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap pemberian
ghanimah yang dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka untuk
berperang.Padahal sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terhadap
keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan Islam.

12
Munasabah yang berpolakan al-mudhadat terlihat pada adanya perlawanan
makna antara satu ayat dengan makna lain yang berdampingan. Dalam surat Al-
Baqarah [2] ayat 6, umpamanya, terhadap ungkapan:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.” (Q.S Al-
Baqarah [2]: 6)

Ayat ini berbicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap
peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak-watak orang
mukmin.

Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih


lanjut dari satu ayat. Umpamanya dalam surat Al-A ‘raf [7] ayat 26 diungkapkan:

Artinya: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu


pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan
pakaian takwa itulah yang paling baik.Yang demikian itu adalah sebahagian tanda-
tanda dari kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S Al-A ‘raf
[7]: 26)

Ayat ini, menurut Az-Zamakhsary, dating setelah pembicaraan tentang


terbukanya aurat Adam-Hawa dan ditutupnya dengan daun. Hubungan ini
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun
merupakan karunia Allah.Telanjang dan terbuka aurat merupakan suatu perbuatan
yang hina dan menutupnyabmerupakan bagian yang besar dari takwa.

Selanjutnya, pola munasabah takhallush terlihat pada perpindahan dari awal


pembicaraan pada maksud tertentu secara halus.Umpamanya, dalamsurat Al-A ‘raf

13
[7], mula-mula Allah berbicara tentang Nabi Musa dan para pengikutnya yang
selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya. 8

5.Munasabah Antarsuatu kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat di Sampingnya

Dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 1 sampai ayat 2, umpamanya, Allah memulai
penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang yang
bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok
manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.

6. Munasabah Antarfashilah (pemisah) dan Isi Ayat

Munasabah ini mengandung tujuan tertentu.Diantaranya adalah menguatkan


(tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Umpamanya, dalam surat Al-
Ahzab [33] ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:

Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah
menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Mahakuat
Lagi Mahaperkasa” (Q.S Al-Ahzab [33]: 25)

Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang orang mukmin dari peperangan;
bukan karena lemah, melainkann karena Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa.Jadi,
adanya fashilah di antara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar
pemahaman terhadapa ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari
fashilah adalah member penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah, makna
ayat sudah jelas. Umpamanya dalam surat An-Naml [27] ayat 80:

Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati


mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar

8
As-Suyuti, Al-itqan..., hlm. 109

14
vpanggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (Q. S An-Naml [27]
ayat 80)

Kalimat “Idza wallau mudbirin” merupakan penjelasan tambahan makna orang


tuli.
7. Munasabah Antarawal Surat dengan Akhir Surat yang Sama

Tentang munsabah semacam ini, As-Suyuthi mengarang sebuah buku yang


berjudul Marasid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqti wa AL-Mathali’. Contoh
munasabah ini terdapat dalam surat Al- Qashash [28] yang bermula dengan
menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi kekejaman Fir’aun. Atas
perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari mesir dengan penuh
tekanan. Di akhir surat, Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi
Muhammad SAW. Yangbmenghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas
kemenangannya. Di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak menolong
orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi
oleh kedua Nabi tersebut.

8. Munasabah Antarpenutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya

Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, dijumpai munasabah dengan


akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. 9 Umpamanya,
pada permulaan suta Al-Hadid [57] dimulai dengan tasbih:

Artinya: “Semua yang berada di langit dan bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha perkasa lagi
Mahabijaksana.” (Q.S Al-Hadid [57]:1)

Ayat ini munasabah dengan akhir surat sebelumnya, Al-Waqi’ah [56]


yang memerintahkan bertasbih:

Artinya: “Maka bertasbilah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”
(Q. S AL –Waqi’ah [56]:96)

Kemudian surat Al-Baqarah [2]:

99
As-Suyuthi, Al-itqan..., hlm. 111

15
Artinya: “Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keragan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa.” (Q. S AL-Baqarah [2]: 1-2)

Ayat ini bermunasababh dengan akhir surat Al-Fatihah [1]:

Artinya: “…(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat


kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.” (Q. S Al-Fatihah [1]: 7)

Kajian munasabah sebetulnya merupakan usaha para pakar tafsir untuk


menemukan hakikat hubungan antara suatu ayat dan ayat lainnya, antara satu surat
dan surat lainnya, dan antara awal surat dan akhirnya. Oleh karena itu, munasabah
yang telah dikodifikasikan bersifat ijtihadi dan bukan tauqifi.Munasabah yang
selama ini dikemukakan oleh para pakar tafsir tidak dapat terlepas dari dikotomi
benar-salah.Apakah criteria yang dapat dijadikan pedoman?Ternyata tidak
ada.Yang ada hanyalah kriteria global yang tidak hanya saja berlaku bagi kajian
munasabah, tetapi juga bagi disiplin ilmu lainnya.Kendatipun demikian, hasil yang
telah diperoleh selama ini oleh pakar tafsir mengenai munasabah merupakan
khazanah keislaman yang cukup tinggi.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian munasabah menurut bahasa, Al-munasabah berarti keserasian dan
kedekatan. Kajian munasabah sebetulnya merupakan usaha para pakar tafsir untuk
menemukan hakikat hubungan antara suatu ayat dan ayat lainnya, antara satu surat dan
surat lainnya, dan antara awal surat dan akhirnya. Oleh karena itu, munasabah yang telah
dikodifikasikan bersifat ijtihadi dan bukan tauqifi. Munasabah yang selama ini
dikemukakan oleh para pakar tafsir tidak dapat terlepas dari dikotomi benar-salah.
Kriteria yang dapat dijadikan pedoman ternyata tidak ada, yang ada hanyalah kriteria
global yang tidak hanya saja berlaku bagi kajian munasabah tetapi juga bagi disiplin ilmu
lainnya. Kendatipun demikian, hasil yang telah diperoleh selama ini oleh pakar tafsir
mengenai munasabah merupakan khazanah keislaman yang cukup tinggi.

Fungsi munasabah yaitu untuk menemukan arti tersirat dalam susunan dan urutan
kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Qur’an. Untuk menjadikan bagian-
bagian dalam Al-Qur’an saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian
yang utuh. Pendapat-pendapat disekitar munasabah yaitu [1] Tertib surah dan ayat, yang
terdiri dari Tauqify, Ijtihady, Tauqify dan Ijtihady; [2] Tentang munasabah yang terdiri
dari dua pendapat, pendapat yang pertama menurut seorang mufassir yang bernama
Izzudin ibn Abdul Aslam bahwa suatu kalimat baru memiliki munasabah apabila ia
diucapkan dalam konteks yang sama. Karena ayat Al-Qur’an turun dalam berbagai
konteks, maka tidak mesti ia memiliki munasabah. Sedangkan pendapat yang ke dua
tentang adanya munasabah dalam Al-Qur’an yaitu menurut seorang mufassir, diantaranya
As-Suyuthi, Al-Qathathan, Fazlurrahman, dan lain-lainnya bahwa ketidak berurutan
itulah menunjukkan adanya rahasia. Di sinilah relevansi pembicaraan munasabah.

Adapun macam-macam munasabah dalam Al-Qur’an yaitu Munasabah antarsurat


dengan surat sebelumnya, Munasabah Antarnama Surat dan Tujuan Turunnya,
Munasabah Antarbagian Suatu Ayat, Munasabah Antarayat yang Letaknya
Berdampingan, Munasabah Antarsuatu kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat di
Sampingnya, Munasabah Antarfashilah (pemisah) dan Isi Ayat, Munasabah Antarawal
Surat dengan Akhir Surat yang Sama, dan Munasabah Antarpenutup Suatu Surat dengan
Awal Surat Berikutnya.

17
B. Saran
Dengan demikian membahasan makalah ini yang berjudul Al-Munasabah,
semoga dapat menambah wawasan bagi kita semua. Kami sebagai penulis sangat
menyadari bahwa dalam penulissan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan sangat
jauh dari kesempurnaan. Sehingg penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk memperbaiki makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. Abu anwar, M.Ag, 2012, Ulumul Qur’an: sebuah pengantar, jakarta timur:
Amzah
Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, B.A., S.H., M.A., M.M. 2019, Ulumul
Qur’an, Depok: Rajawali Pers
Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag.2012, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung:
CV Pustaka Setia

18

Anda mungkin juga menyukai