4/Okt-Des/2020
66
Lex Crimen Vol. IX/No. 4/Okt-Des/2020
67
Lex Crimen Vol. IX/No. 4/Okt-Des/2020
68
Lex Crimen Vol. IX/No. 4/Okt-Des/2020
69
Lex Crimen Vol. IX/No. 4/Okt-Des/2020
menjadi maksimum Rp225,00 x 1.000 = teriakan atau tanda bahaya palsu, seperti
Rp225.000,00 (dua ratus dua puluh lima ribu teriakan “kebakaran! Kebakaran!” seperti
rupiah). halnya yang dapat dipidana berdasarkan Pasal
Subjek atau pelaku tindak pidana dalam 172 KUHP, melainkan sudah cukup jika
Pasal 503 KUHP adalah barangsiapa. dilakukan teriakan-teriakan atau jeritan-jeritan
Sebagaimana telah dikemukakan dalam tanpa adanya kata-kata tertentu.
pembahasan Pasal 172 KUHP. kata Teriakan itu menyebabkan ketenteraman
“barangsiapa” menunjukkan bahwa siapa saja (ketenangan) malam hari dapat terganggu.
dapat menjadi pelaku atau subjek tindak pidana Oleh S.R. Sianturi dikatakan bahwa, “yang
ini. Ini dengan pembatasan bahwa, yang dapat dimaksud dengan ketenterman malam adalah
melakukan tindak pidana atau subjek tindak ketenangan orang-orang pada umumnya di
pidana pada umumnya adalah manusia. Jadi, daerah itu untuk istirahat (tidur) malam”.35 R.
dalam sistem KUHP, hanya manusia yang dapat Soesailo memberi keterangan bahwa, “supaya
menjadi pelaku atau subjek tindak pidana. dapat dihukum menurut pasal ini, maka
Korporasi atau badan hukum bukan merupakan perbuatan itu harus dilakukan pada malam hari
pelaku atau subjek tindak pidana. – waktunya orang tidur (jam berapa, itu
Berkenaan dengan unsur perbuatan atau tergantung pada kebiasaan di tempat itu, pada
tindakan sebenarnya dalam Pasal 503 KUHP ini umumnya sesudah jam 11 malam)”.36
diatur 3 (tiga) perbuatan atau tindakan yang KUHP sendiri dalam Buku Kesatu (Aturan
dilarang dan diancam pidana, yaitu: Umum) ada memberikan definisi tentang
a. membikin ingar (rumoer) atau riuh malam hari, yaitu dalam Pasal 98 ditentukan
(burengerucht), sehingga ketenteraman bahwa, “yang disebut waktu malam yaitu
(ketenangan) malam hari dapat terganggu. waktu antara matahari terbenam dan matahari
Istilah ingar atau riuh, dijelaskan oleh terbit”.37 Berkenaan dengan adanya kata
Wirjono Prodjodikoro bahwa, menurut “malam” dalam Pasal 503, Hoge Raad
penjelasan pada KUHP Belanda, ingar (rumoer) (Mahkamah Agung Belanda), 27 Oktober 1902,
berarti membuat ramai di dalam rumah memberikan pertimbangan bahwa, “cukuplah
sehingga orang-orang tetangga terdekat apabila di dalam surat tuduhan disebutkan
terganggu dalam ketenteraman malam suatu jam tertentu di waktu malam dengan
(nachtrust), sedangkan riuh/gaduh penjelasan, bahwa kegaduhan itu dapat
(burengerucht) berarti membuat geger di mengganggu istirahat malam”.38 Berdasarkan
antara agak banyak rumah dalam suatu pertimbangan dalam putusan tersebut
kompleks rumah.32 Jadi, membikin riuh/gaduh sebenarnya sudah cukup jika teriakan-teriakan
mengakibatkan lebih banyak tetangga yang itu dilakukan waktu malam, yang menurut Pasal
terganggu dibandingkan dengan membikin 98 KUHP, berarti antara matahari terbenar dan
ingar di mana tetangga yang terganggu lebih matahari terbit.
sedikit. Jadi, perbedaan antara Pasal 503 ke-1 ini
S.R. Sianturi membicarakan ingar dan riuh dengan Pasal 172 KUHP, yaitu perbuatan
itu secara sekaligus, yakni pengertian ingar atau mengeluarkan teriakan atau tanda bahaya
riuh yaitu “suara riuh yang tidak enak didengar palsu dalam Pasal 172 dapat dilakukan waktu
dan mengganggu, seolah-olah diperbuat secara malam maupun siang, sedangkan teriakan-
main-main atau kenakalan”.33 Perbuatan teriakan dalam Pasal 503 KUHP harus dilakukan
membikin ingar atau riuh ini, “dapat berupa pada waktu malam hari untuk dapat dipidana.
teriakan-teriakan, nyanyian-nyanyian b. membikin ingar (rumoer) di dekat bangunan
melengking, memukul-mukul kaleng, membuat untuk menjalankan ibadat yang dibolehkan
anjing-anjing marah sehingga menggonggong di waktu ada ibadat
dan sebagainya”.34 Jadi, tidak perlu ada
32 35
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Ibid.
36
Indonesia, ed.3 cet.4, Refika Aditama, Bandung, 2012, R. Soesilo, Loc.cit.
37
hlm. 168. Tim Penerjemah BPHN, Op.cit., hlm. 49.
33 38
Ibid. P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana
34
S.R. Sianturi, Loc.cit. Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 209.
70
Lex Crimen Vol. IX/No. 4/Okt-Des/2020
Bangunan untuk menjalankan ibadat ini Ada sejumlah kepentingan hukum yang
”misalnya gereja, mesjid, kelenteng, biara, dilindungi melalui hukum pidana apabila
candi, dan sebagainya”/39 Membikin ingar di kepentingan itu telah menjadi kepentingan
dekat bangunan untuk menjalankan ibadat umum. Kepentingan-kepentingan hukum yang
seperti ini di waktu ada ibadat merupakan dilindungi dalam hukum pidana tersebut,
suatu tindak pidana. Dengan adanya kata-kata biasanya dikelompokkan ke dalam tiga
”di waktu ada ibadat” berarti jika ingar dibikin golongan, yaitu:
di waktu tidak ada ibadat, maka tidak dapat a. kepentingan hukum negara;
dipidana menurut ketentuan ini. b. kepentingan hukum masyarakat; dan,
c. membikin ingar (rumoer) di dekat bangunan c. kepentingan hukum perseorangan.42
untuk sidang pengadilan, di waktu ada Kepentingan hukum negara adalah
sidang. kepentingan hukum dari negara sebagai
Bangunan untuk siang pengadilan, yaitu keseluruhan. Yang menjadi kepentingan
“gedung Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri, hukum negara yaitu keberlanjutan,
Pengadilan Tinggi, dan sebagainya”.40 S.R. ketenteraman dan keamanan negara.
Sianturi memberi catatan bahwa, “yang Kepentingan hukum masyarakat adalah
dimaksud dengan sidang pengadilan di sini kepentingan hukum dari masyarakat itu sendiri.
tidak terbatas kepada sidang-sidang peradilan Yang menjadi kepentingan hukum masyarakat
pidana, tetapi juga peradilan perdata, agama, yaitu ketenteraman dan keamanan masyarakat.
atau administrasi, demikian pula peradilan Contoh kepentingan hukum masyarakat yaitu
militer”.41 Sekarang ini, dalam Pasal 24 ayat (2) ketenangan di malam hari. Oleh karenanya
UUD 1945 ditentukan bahwa, kekuasaan diancam dengan pidana kurungfan paling lama
kehakiman dilakukan oleh sebuah 3 hari atau pidana denda paling banyak 225
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang rupiah, barangsiapa membikin ingar atau riuh,
berada di bawahnya dalam sehingga ketenteraman malam hari dapat
lingkungan peradilan umum, lingkungan terganggu, atau, barangsiapa membikin gaduh
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, di dekat bangunan untuk menjalankan ibadat
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan yang dibolehkan atau untuk sidang pengadilan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Jadi, di waktu ada ibadat atau sidang (Pasal 503
bangunan untuk sidang pengadilan sekarang ini KUHP). Kepentingan hukum perseorangan
mencakup gedung untuk Mahkamah Agung dan adalah kepentingan hukum dari seseorang,
badan-badan peradilan di bawahnya dalam tetapi gangguan terhadap kepentingan hukum
lingkungan peradilan umum, lingkungan ini telah melibatkan kepentingan umum.
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, Kepentingan hukum perseorangan yang
lingkungan peradilan tata usaha negara, serta dilindungi dalam hukum ini terdiri dari:
Mahkamah Konstitusi. jiwa/nyawa, badan, kehormatan/nama baik,
Perbuatan membikin ingar itu harus kehormatan kesusilaan, kemerdekaan, dan
dilakukan di waktu ada sidang. Jika perbuatan harta benda.43
sekalipun dilakukan di dekat bangunan untuk Berdasarkan kepentingan-kepentingan yang
sidang pengadilan, tetapi bukan pada waktu dilindungi dalam hukum pidana ini maka S.R.
ada sidang, misalnya pada waktu tengah malam Sianturi telah membagi bukunya dalam tiga
di mana tidak sedang dilakukan sidang, maka kelompok tindak pidana, yaitu:
perbuatan tidak dapat dipidana berdasarkan Bagian I : Tindak Pidana terhadap Negara
pasal ini. Bagian II : Tindak Pidana terhadap
Masyarakat
B. Kedudukan Pasal 172 dan Pasal 503 KUHP Bagian III : Tindak Pidana terhadap Pribadi.44
Sebagai Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Salah satu bagian dari Tindak Pidana
Umum terhadap Masyarakat adalah Tindak Pidana
42
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di
39
R. Soesilo, Loc.cit. Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 18.
40 43
Ibid. Ibid., hlm. 18, 19.
41 44
S.R. Sianturi, Op.cit., hlm. 330. S.R. Sianturi, Op.cit., hlm. vii, ix, xii.
71
Lex Crimen Vol. IX/No. 4/Okt-Des/2020
terhadap Ketertiban Umum. Menurut S.R. kelompok ini mempunyai akibat yang lebih luas
Sianturi tindak pidana terhadap ketertiban dalam masyarakat, yaitu terjadinya atau
umum ini mencakup: kemungkinan terjadinya keresahan / kekacauan
1. Penghasutan (Pasal 160 – 163bis) dalam masyarakat. Ini berbeda dengan
2. Pemasukan paksa ke rumah (Pasal 167, kelompok Tindak Pidana Terhadap Pribadi di
168) mana korban langsung adalah pribadi, misalnya
3. Penyertaan pada perkumpulan terlarang dalam pencurian maka korban langsung yaitu
(Pasal 169) orang yang kecurian. Berbeda dengan Tindak
4. Tindakan kekerasan terhadap orang atau Pidana Terhadap Ketertiban Umum, yang
barang (Pasal 170) merupakan bagian dari Tindak Pidana Terhadap
5. Mengganggu ketenangan (Pasal 171, 172, Masyarakat, di mana korban langsung adalah
503) anggota-anggota masyarakat.
6. Perbuatan mengganggu rapat-rapat Demikian juga berkenaan dengan Pasal 172
(Pasal 172, 174) KUHP dan Pasal 503 KUHP, yang merupakan
7. Penghinaan kepada penguasa umum, bagian dari Tindak Pidana Terhadap Ketertiban
bendera kebangsaan atau golongan Umum, korban-korban langsung dari dua tindak
rakyat (Pasal 154 – 157) pidana tersebut pada umumnya adalah
8. Pengemisan, penggelandangan dan anggota-anggota masyarakat di sekitar
pemabukan (Pasal 301, 504, 505, 300, peristiwa yang bersangkutan. Dengan demikian,
536 – 539) terutama berkenaan dengan tindak pidana
9. Tindak pidana lainnya yang melanggar Pasal 503 KUHP, ancaman pidana terhadap
ketertiban umum (Pasal 158, 159, 507, tindak pdiana Pasal 503 KUHP ini, yaitu pidana
508, 508bis, 512, 512a, 510, 511, 516, kurungan paling lama 3 hari atau denda paling
517, 518). 45 banyak Rp225,00 (x 1.000 menurut Peraturan
Tindak Pidana Pasal 172 dan Pasal 503 KUHP Mahkamah Agung Nomor: 02 Tahun 2012),
sebagai tindak pidana mengganggu ketenangan dapat dipandang terlalu rendah. Oleh
merupakan bagian dari Tindak Pidana Terhadap karenanya, ancaman pidana terhadap tindak
Ketertiban Umum. pidana dalam Pasal 503 KUHP perlu
Mengenai karakteristik Tindak Pidana ditingkatkan, baik mengenai pidana
Terhadap Ketertiban Umum dikemukakan oleh perampasan kemerdekaan, maupun pidana
S.R. Sianturi: denda yang diancamkan.
Di KUHP Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Selain itu Pasal 503 dalam KUHP
Umum diatur di Bab V Buku II dan Bab II Buku ditempatkan dalam Buku Ketiga (Pelanggaran),
III. Ternyata pada pasal 153 bis sd 181 dan pasal di mana dari sudut pembedaan jenis-jenis
503 sd 520 terdiri dari aneka tindakan: yaitu delik/tindak pidana, delik pelanggaran
yang sehubungan dengan tugas-tugas peradilan merupakan delik undang-undang (wetsdelict)
terhadap keturunan, terhadap kesusilaan, yaitu merupakan perbuatan yang nanti disadari
terhadap perasaan kepatutan, di bidang bersifat melawan hukum karena dimasukkan ke
keagamaan. Kiranya penempatan semua delik dalam undang-undang, sedangkan jika tidak
ini di bawah judul Tindak Pidana dimasukkan ke dalam undang-undang, orang-
(Kejahatan/Pelanggaran) Terhadap Ketertiban orang tidak akan menyadari bahwa perbuatan
Umum dititik beratkan kepada kemungkinan seperti itu bersifat melawan hukum. Dilihat
terjadi atau terjadinya keresahan atau dari sudut karakteristik delik pelanggaran
kekacauan dalam masyarakat.46 (overtredingen) ini, tindak pidana Pasal 503
Sebagaimana dikemukakan oleh S.R. Sianturi KUHP tidak cocok dimasukkan ke dalam delik
karakteristik dari Tindak Pidana Terhadap pelanggaran.
Ketertiban Umum adalah dititik beratkan Perbuatan membikin ingar atau riuh
kepada terjadinya atau kemungkinan terjadinya sehingga ketenteraman malam hari dapat
keresahan atau kekacauan dalam masyarakat. terganggu, membikin gaduh di dekat bangunan
Jadi, tindak pidana yang termasuk ke dalam ibadat weaktu ada ibadat, dan membin gaduh
dekat bangunan untuk sidang pengadilan pada
45
Ibid., hlm. 306. waktu ada sidang, merupakan perbuatan-
46
Ibid., hlm. 305-306.
72
Lex Crimen Vol. IX/No. 4/Okt-Des/2020
73
Lex Crimen Vol. IX/No. 4/Okt-Des/2020
Peraturan Perundang-undangan:
Engelbrecht, W.A. dan E.M.L. Engelbrecht,
Kitab2 Undang2, Undang2 dan
Peraturan2 Serta Undang2 Dasar
Sementara Republik Indonesia, A.W.
Sijthoff’s Uitgeversmij, Leiden, 1956.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 02 Tahun
2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP
Tim Penerjemah BPHN, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Sinar Harapan, Jakarta,
1983.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana (Berita
Negara Republik Indonesia lI Nomor 9).
74