Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ETNOFARMASI

ANTROPOLOGI KESEHATAN DAN KEBUDAYAAN SUKU JAWA

DISUSUN OLEH:

ZULFATUL LAILIYAH
G 701 16 028
KELAS A

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, karena berkat restuNya
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Budaya sebagai benih
identitas suatu bangsa namun dalam lintas generasi masih terdapat penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi sampai saat ini, begitu banyak kebudayaan di
Indonesia dalam makalah ini hanya salah satunya yaitu Antropologi Kesehatan
dan Kebudayaan Suku Jawa , kurang lebih bagiamana yang terjadi jika dilihat
dari sudut pandang Antropologi, dan makalah ini disusun sebagai salah satu syarat
nilai tugas dalam mata kuliah Etnofarmasi

Palu , 07 Mei 2019


ZULFATUL LAILIYAH
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..- 1
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. 2

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………............... 3
B. Rumusan Masalah ………………………………………………... 4
C. Tujuan dan Manfaat……………………………………………. 4
BAB II. PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Suku Jawa................................................................ 5

B. Sejarah Suku Jawa................................................................................. 9

C. Kajian Antropologi pada Suku Jawa........................................................ 10

D. upaya penyembuhan sakit sampai sekarang ini........................................ 12


E. Prinsip pengobatan tradisional patah tulang.............................................. 11

BAB III. PENUTUP


KESIMPULAN…………………………………………………..................…. 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem pengetahuan menjadi salah satu yang begitu penting dalam
kehidupan masyarakat, masyarakat bisa berkembang dan menangani
permasalahan dalam kehidupan mereka adalah dari sistem pengetahuan yang
mereka miliki termasuk dalam rangka mengatasi sakit atau penyakit yang
dialami.
Pada buku Antropologi Kesehatan karya Prof. Mulyono menjelaskan
lebih lanjut mengenai konsep sehat dan sakit, dalam kenyataan kehidupan
sehari-hari di masyarakat tolok ukur untuk menentukan apakah seseorang
secara individual dalam kondisi sehat adalah kemampuan fungsional
menjalankan peranan sosialnya. Seseorang menentukan kondisi kesehatannya
dalam keadaan baik (sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya sesuatu
kelainan fisik atau psikis yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari.
Persepsi seseorang terhadap kondisi kesehatannya dipengaruhi oleh budaya
atau kebudayaan yang dimilikinya.
Masyarakat Jawa juga mengenal agen-agen yang mampu
menyembuhkan penyakit yang dialami oleh masyarakat. Masyarakat modern
seperti sekarang ini akan lebih mengenal dokter pada saat mereka sakit.
Dokter memberikan pengobatan yang logis bagi masyarakat sekarang karena
pengobatannya mengacu pada pengobatan dari Barat. Masyarakat juga
mengenal seseorang yang dituakan pada masyarakat mereka dan tentu saja
mampu mengobati penyakit yang mereka derita yang disebut dengan Dukun.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas , di susunlah rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran umum Kebudayaan Suku Jawa ?
2. Seperti apa sejarah Kebudayaan Suku Jawa ?
3. Seperti apa kajian Antropologi pada Kebudayaan Suku Jawa ?
4. Mengapa dukun masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Jawa
dalam upaya penyembuhan sakit sampai sekarang ini?
5. Bagaimana penyembuhan tradisional pada dukun patah tulang
menurut penelitian?
6. Bagaimana Prinsip Pengobatan tradisional patah tulang?

C. Tujuan
 Memahami bagaimana cara melihat atau mempelajari segala aspek
yang dapat dijangkau dari cabang ilmu Antropologi.
 Mempelajari potensi potensi penyimpangan kebudayaan dengan
melihat penyimpangan dalam Suku Jawa.
 Mengetahui seluk beluk Kebudayaan Suku Jawa termasuk
sejarahnya.
 Mengetahui eksistensi dukun yang masih tetap dipertahankan oleh
masyarakat Jawa dalam upaya penyembuhan sakit sampai sekarang
ini.
 Mengetahui cara penyembuhan tradisioal menurut penelitian
 Mengetahui prinsip pengobatan tradisional patah tulang
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Suku Jawa


Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan
jumlahnya di sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni
khususnya di provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur tetapi di provinsi Jawa
Barat, Banten dan tentu saja di Jakarta, mereka juga banyak ditemukan.
Menurut Prof. Mr. Hardjono.almarhum , Guru Besar Universitas Gaja Mada,
ditahun 1980-an mengatakan mengenai  arti Jawa atau Jawi dari sudut pandang
kebatinan. Begini katanya : Dimas, banyak orang yang sebenarnya tidak mengerti
arti kata Jawa atau Jawi. Ja itu artinya lahir dan wi artinya burung., jadi seperti
burung, manusia itu harus melewati dua tahapan untuk menjadi manusia
sempurna. Pertama terlahir sebagai telur, baru kemudian terbuka menjadi burung. 
Beliau tidak mau menjelaskan artinya yang jelas, dan membiarkan kita untuk
mengkajinya lebih dalam lagi.
Berikut adalah beberapa aspek yang bisa menggambarkan masyarakat suku jawa
secara umum.
1) Kepercayaan
Agama Islam berkembang baik di Jawa. Hal ini tampak dari
banyaknya bangunan-bangunan tempat ibadat agama ini. Agama Islam
adalah agama mayoritas masyarakat Jawa. Selain itu ada juga penganut
agama Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan aliran kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia ini sudah diatur
dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersikap
nrimo, yaitu menyerahkan diri pada takdir. Selain itu, orang Jawa percaya
kepada kekuatan atau kesakten (kesaktian) yang terdapat pada benda-
benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain. Mereka juga
mempercayai keberadaan arwah dan roh leluhur, dan mahluk-mahluk
halus seperti memedi, lelembut, tuyul, serta jin yang menempati alam
sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, mahluk halus
tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, atau
keselamatan. Tetapi sebaliknya ada juga mahluk halus yang dapat
menimbulkan ketakutan dan kematian.
2) Ekonomi
Bertani merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat
pedesaan di Jawa. Pekerjaan pertanian ini dilakukan dengan membuat
kebun kering (tegalan) atau membuat sawah. Selain tanaman padi,
masyarakat pedesaan di Jawa biasanya menanam ketela pohon, jagung,
ketela rambat, kedelat, kacang tanah, kacang tunggak, gude, dan lain-lain.
Penduduk desa tidak semuanya memiliki tanah pertanian yang luas. Selain
dari pertanian, masyarakat Jawa juga menjalankan beberapa usaha
sambilan untuk menambah pendapatan, seperti: membuat tempe kara
benguk (mucuna utilis), mencetak bata merah, mbotok, membuat minyak
goreng kelapa, membatik, menganyam tikar, tukang kayu, tukang batu,
reparasi sepeda, dan lapangan pekerjaan lain.
3) Bahasa
Keturunan-keturunan masyarakat Jawa berpendapat bahawa bahasa Jawa
adalah bahasa yang sangat sopan dan mereka, khususnya orang-orang
yang lebih tua, menghargai orang-orang yang menuturkan bahasa mereka.
Bahasa Jawa juga sangat mempunyai arti yang luas.

B. Sejarah Suku Jawa


Asal-usul suku Jawa banyak versinya. Versi yang paling populer adalah
bahwa leluhur orang Jawa adalah Ajiasaka, Pandita dari India yang datang ke
Jawa. Kisah Ajisaka dan murid-muridnya kemudian digunakan sebagai patokan
aksara Jawa (ha na ca ra ka ...).
Versi lain mengatakan nenek moyang orang Jawa datang dari sekitar lereng
Gunung Merapi. Karena di lereng dan kaki gunung Merapi berdiri kerajaan
Mataram kuno, yang mana mereka mendirikan Candi Borobudur. Kerajaan
Maratam Kuno kemudian pindah ke Jawa Timur karena bencana dahsyat letusan
Gunung Merapi yang bahkan membuat Borobudur terkubur tanah.
Jika ditarik ribuan tahun ke belakang, di Jawa sudah ada kehidupan. Bahkan di
Sangiran (Sragen), ditemukan fosil manusia purba, terutama dari
jenis phitecanthropus erectus. Jauh-hari bahkan di Mojokerto (Jawa Timur)
sudah hidup nenek moyang manusia Jawa yang diberi julukan Homo
Mojokertensis. Mereka hidup 200 ribu tahun yang lalu.
Masyarakat Jawa sekarang mendiami wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Yogyakarta. Jika diperluas, mereka yang tinggal di Cirebon dan Indramayu juga
diklasifikasikan sebagai orang Jawa karena bahasa yang mereka gunakan lebih
dekat ke bahasa Jawa daripada bahasa Sunda. banyak orang Jawa menetap di
selatan Sumatera (Lampung dan sekitarnya), sebagian besar Banten (Keturunan
pasukan Mataram) Jakarta dan Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena berbagai
alasan, antara lain: kolonial Belanda membawa orang Jawa ke tempat-tempat itu
untuk menjadi buruh perkebunan. Selain itu, etnis Jawa juga menyebar ke
Suriname.
Bahasa Jawa (ngoko dan Kromo) umum digunakan dalam bahasa sehari-hari
instruksi. Tentu ada beberapa dialek. Ada dialek Yogya-Solo, semarangan,
Banyumasan, Tegal dan Jawa Timur.
Soal kehidupan beragama, setelah kedatangan Wali Songo, umumnya orang
Jawa adalah Muslim. Sebagian kecil masih Hindu dan Budha, selain Kristen dan
Katolik. Ada juga masih memegang ajaran-ajaran kejawen. 

C. Kajian Antropologi pada Suku Jawa


Pada dasarnya antropologi dibagi ke dalam dua garis besar, yakni
antropologi fisik dan antropologi budaya. Dan dalam hal ini, kami mencoba
mengupas keduanya, tentang bagaimana kajian antropologi fisik suku jawa dan
kajian antropologi budayanya.
1) Antropologi fisik suku Jawa 
Orang Jawa adalah sebutan bagi orang yang tinggal di Jawadwipa atau di
pulau Jawa pada dulu kala. Pada saat ini yang dinamakan orang Jawa
adalah penduduk yang menghuni di pulau Jawa bagian tengah dan timur
yang disebut suku bangsa Jawa dan anak keturunannya.
Dalam khasanah Arkeologi, nama Java Man sudah tidak asing lagi, ini
menunjuk kepada nenek moyang orang Jawa dikala purba. Situs manusia
purba di Indonesia, pulau Jawa adalah di Sangiran yang terbelah sisi utara
dan selatan karena dilewati aliran Kali Cemoro yang mengalir
dari Gunung Merapi menuju ke Bengawan Solo. Bagian utara termasuk
wilayah Desa Krikilan, Sragen, sedangkan yang belahan selatan
masuk Desa Krendowahono, Karanganyar.

2) Antropologi budaya suku Jawa


Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat kental.
Adat istiadat suku Jawa masih sering digunakan dalam berbagai kegiatan
masyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga kematian. Ini merupakan
sebuah bahan kajian yang sangat menarik untuk dituangkan ke dalam
sebuah makalah. Maka, saya coba kupas satu per-satu dari mulai masa
kehamilan sampai kematian pada adat suku jawa.
a) Adat Istiadat Suku Jawa saat Kehamilan
Saat seorang wanita suku Jawa mengandung dan usia
kandungannya sudah mencapai tujuh bulan, mereka akan
melakukan semacam ritual selamatan atau biasa disebut mitoni.
Salah satu ritual mitoni yang harus dijalankan oleh ibu hamil
tersebut adalah tingkeban.
Pada ritual ini, wanita yang tengah mengandung dimandikan
menggunakan campuran air dan bunga. Kain yang digunakan
sebagai kemben pun jumlahnya harus tujuh dan dipakai secara
bergantian saat acara tingkeban berlangsung.

b) Adat Istiadat Suku Jawa saat Upacara Pernikahan


Adat istiadat suku Jawa juga sering dilaksanakan saat upacara
pernikahan. Masyarakat suku Jawa percaya akan adanya hari yang
baik untuk melaksanakan pernikahan. Hari baik tersebut, biasanya,
berpatokan pada buku primbon Jawa.
Sebulan sebelum acara pernikahan berlangsung, calon pengantin
suku Jawa tidak diperbolehkan untuk saling bertemu. Khusus calon
mempelai wanita, biasanya, akan dipingit.
Ritual pingitan ini ditujukan untuk mempersiapkan fisik dan
mental si gadis yang akan memasuki jenjang pernikahan. Sehari
sebelum acara pernikahan, calon mempelai wanita kembali
melakukan ritual. Kali ini, ritualnya berupa siraman.
Pada acara siraman, air yang digunakan oleh calon pengantin
biasanya sudah dicampur dengan bermacam-macam bunga.
Kemudian, malam harinya, diadakan ritual midodareni. Ritual ini
biasanya juga menjadi acara pertemuan sebelum pernikahan antara
kedua keluarga calon mempelai.
Saat acara pernikahan berlangsung, ritual adat istiadat suku Jawa
yang dilakukan lebih banyak. Mulai saling melempar sirih hingga
ritual membasuh kaki mempelai pria oleh mempelai wanitanya.
c) Adat Istiadat Suku Jawa saat Upacara Kematian
Ketika salah satu masyarakat suku Jawa meninggal, ritual adat
istiadat pun tidak lepas mengiringi. Ritual yang biasa dilakukan
adalah brobosan, yaitu melintas di bawah mayat yang sudah
ditandu dengan cara berjongkok.
Ritual adat istiadat pun belum selesai hingga di situ. Setahun
pertama setelah meninggal, biasanya, pihak keluarga yang
ditinggalkan akan mengadakan selamatan pendak siji, pendak loro,
hingga  pendak telu atau selamatan yang dilakukan di tahun ketiga.
D. Dukun Dalam Masyarakat Jawa
Dukun dalam masyarakat Jawa bukan hal yang asing lagi bahkan
sampai sekarang ini banyak sekali penyebutan mengenai dukun ini, mulai dari
nujum, wong pinter, dan lain-lain. Dari zaman dahulu dukun lebih diartikan
oleh masyarakt Jawa sebagai wong pinter karena kemampuannya dalam
menangani segala masalah yang dialami oleh seseorang. Meskipun demikian
dukun atau wong pinter dalam masyarakat Jawa lebih sering difungsikan
sebagai orang yang mampu mengobati suatu penyakit yang disebabkan oleh
hal-hal yang diluar nalar manusia.
Masyarakat Jawa pada umumnya mengenal timbulnya sakit dari
beberapa sebab yaitu adanya ketidak seimbangan antara suhu tubuh yaitu
antara panas dan dingin dan juga karena adanya gangguan dari kekuatan atau
makhluk lain. Fenomena tersebut sama halnya seperti yang dikatakan oleh
Foster, Foster menjelaskan dalam bukunya bahwa etiologi penyakit terdiri
dari dua sistem yaitu sistem medis personalistik dan sistem medis naturalistik.
Suatu sistem personalistik adalah suatu sistem di mana penyakit (illness)
disebabkan oleh intervensi dari suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk
supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia
(seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang
sihir atau tukang tenung). Orang yang sakit adalah korbannya, objek dari
agresi atau hukuman yang ditujukan khusus kepadanya untuk alasan-alasan
yang khusus menyangkut dirinya saja. Sedangkan dalam sistem medis
naturalistic, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah sistematik yang bukan
pribadi. Sistem-sistem naturalistic, di atas segalanya mengakui adanya satu
model keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam
tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh (humor atau dosha), yin dan yang,
berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam
lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan ini
terganggu, maka hasilnya adalah timbulnya penyakit (Foster, 2011: 63-64)
Orang Jawa sekarang tentu sudah banyak mengetahui apa yang
menyebabkan berbagai penyakit itu. Makin sedikit juga orang yang masih
percaya akan teori-teori tradisional mengenal sebab-sebab penyakit, misalnya
bahwa suatu penyakit itu disebabkan karena roh meninggalkan tubuh untuk
suatu saat atau disebabkan karena roh meninggalkan tubuh untuk suatu saat,
atau disebabkan karena ada benda-benda asing yang dimasukkan ke dalam
tubuh dengan sengaja. Sebaliknya ada beberapa teori tradisional lain
mengenai penyakit yang tetap menjadi keyakinan orang Jawa, bahkan di
antara mereka yang sudah terpelajar, yaitu misalnya keyakinan bahwa batuk,
bersin, dan rasa pegal itu disebabkan karena “masuk angin”. Mereka juga
masih percaya bahwa berbagai penyakit berat disebabkan karena guna-guna,
atau karena orang yang sakit itu di masa yang lalu pernah melanggar
pantangan atau pernah berbuat dosa. Oleh karena itu, walaupun makin banyak
orang desa mulai berobat ke Puskesmas atau kepada seorang dokter, dengan
adanya keyakinan-keyakinan tersebut di atas, masih banyak juga orang yang
pergi ke dukun setelah berkali-kali berobat ke dokter atau Puskesmas tanpa
banyak hasil. Dengan demikian dukun memang masih diperlukan dalam
masyarakat Jawa.
Dukun yang dapat mengobati dan menyembukan orang, seringkali
juga menggunakan teknik-teknik ilmu gaib berdasarkan asas pikiran asosiasi
prelogik, setelah membuat diagnose penyakitnya berdasarkan teori-teori
tradisional tersebut di atas. Tergantung diagnose yang diperolehnya dengan
cara perhitungan, dengan meditasi, atau cukup dengan membuat analisa dari
gejala-gejala penyakitnya, seorang dukun akan berusaha memanggil kembali
roh yang sedang mengembara itu ke tubuhnya, sambil mengusir roh jahat
yang menyebabkan penyakitnya, atau dengan membuang benda-benda asing
yang terdapat dalam tubuh pasien. Misalnya, seorang dukun yang dihadapkan
seorang pasien yang muntah-muntah darah membuat diagnose bahwa orang
itu dihinggapi oleh Densambang, yaitu roh jahat menyebabkan orang jadi
sakit (Koentjaraningrat, 1994: 416).
E. Penyembuhan Tradisional Patah Tulang
Dukun patah tulang merupakan suatau bentuk pengobatan tradisional
yang masih cukup banyak dipakai oleh penderita sebagai alternatif terhadap
cara pengobatan yang diberikan oleh ilmu kedokteran
(Mangunsudirdjo,1992:76).
Pengobatan tradisional patah tulang bukanlah suatu hal yang baru untuk
dibahas, seperti yang sudah dilakukan oleh Muhastiningsih dalam
penelitiannya mengenai tinjauan terhadap peran serta dukun patah tulang
dalam program upaya kesehatan tradisional didesa Cimande, kecamatan
Caringin Bogor, memaparkan bahwa lima belas (100%) dukun patah tulang
berjenis kelami laki-laki.
Mulyono Notosiswoyo dalam tesisnya yang berjudul “Pengobatan
Tradisional Patah Tulang Cimande”, ia meneliti tentang mengapa dan
bagaimana pengobatan tradisional patah tulang dapat bertahan sebagai suatu
profesi dalam pelayanan pengobatan pada masyarakat indonesia (1995:8).
Dalam tulisannya, ia menjelaskan bahwa masyarakat masih mempercayai
adanya kekuatan supranatural yang dimiliki oleh dukun patah tulang tersebut
beserta doa dan minyaknya. Selain itu kharisma yang tadinya dimiliki oleh
gurunya atau orang tuanya ikut mendukung pengakuan masyarakat terhadap
kemampuan mereka mengobati patah tulang dan sejenisnya
(Notosiswoyo,1995:130).

F. Prinsip Pengobatan Tradisional Patah Tulang


Prinsip pengobatan tradisional patah tulang mencakup pemberian
pemberian sugesti atau penguatan psikis, reposisi, relaksasi, dan fiksasi.
Sugesti dilakukan dengan cara memberi minum air yang sudah diberi doa-doa
dan dimotivasi. Tetapi adakalanya diberi benda tertentu yang bersifat spiritual.
Setelah diketahuai jenis patah tulangnya, kemudian dilakukan reposisi dengan
cara tekan dan urut menggunakan minyak. Untuk mengetahui apakah tulang
yang patah sudah kembali pada posisi semula. Pengobat tradisional
memanfaatkan getaran panas dan dingin yang dirasakan lewat perabaan
tangannya, setelah direposisi dilakukan dengan cara tekan dan urut
menggunakan minyak. Untuk mengetahui apakah tulang yang patah sudah
kembali keposisi semula, pengobat tradisional memanfaatkan getaran panas
dan dingin lewat perabaan tangan, setelah reposisi dilakukan reposisi untuk
mengendorkan otot-otot yang tegang dengan cara membasuh air
hangat.selanjutnya di fiksasi untuk bertujuan agar tulang yang telah direposisi
tidak berubah lagi posisinya. Sebelum difiksasi dilakukan pada bagian sekitar
daerah yang cidera diberi minyak ramuan khusus yang bersifat menghangatkan
dan ditaburi talk (bedak) untuk menghindari lecet kulit. Alat untuk fiksasi
dengan menggunakan bambu atau kayudenga kapas atau kain bersih/perban,
bagi penderita patah tulang dengan luka terbuka biasanya langsung dirujuk
kerumah sakit setelah dilakukan reposisi (Notosiswoyo,dkk ,2001:21)
BAB III
KESIMPULAN

Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan jumlahnya di
sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di
provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan
tentu saja di Jakarta, mereka juga banyak ditemukan.
Selain itu, orang Jawa percaya kepada kekuatan atau kesakten (kesaktian) yang
terdapat pada benda- benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain.
Mereka juga mempercayai keberadaan arwah dan roh leluhur, dan mahluk-mahluk
halus seperti memedi, lelembut, tuyul, serta jin yang menempati alam sekitar
tempat tinggal mereka.
Dukun dalam masyarakat Jawa bukan hal yang asing lagi bahkan sampai sekarang
ini banyak sekali penyebutan mengenai dukun ini, mulai dari nujum, wong pinter,
dan lain-lain.
Masyarakat Jawa pada umumnya mengenal timbulnya sakit dari beberapa sebab
yaitu adanya ketidak seimbangan antara suhu tubuh yaitu antara panas dan dingin
dan juga karena adanya gangguan dari kekuatan atau makhluk lain

DAFTAR PUSTAKA
Foster,GMB,Bg Anderson,1986, Antropologi Kesehatan (dari priyanti Pakan
Suryadarma dan Meutia F, Hatta swasono), Jakarta, Universitas Indonesia Press.

Notosiswoyo, Mulyono, 1995, Faktor pengaruh pengobatan Tradisional Patah


tulang yang diminatioleh masyarakat Media penelitian dan pengembangan
kesehatan, Vol V No.4

Notosiswoyo, dkk, 2001, Review Penelitian Pengobatan Tradisional Patah


Tulang. Media penelitian dan pengembangan kesehatan. Vol XI No 4

Anda mungkin juga menyukai