Anda di halaman 1dari 12

KEARIFAN LOKAL DALAM KITAB TARJUMATUL MUKHTAR

FI SYAHRI GHAYATIL IKHTISAR

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


FIKIH LOKAL
Dosen Pengampu : Bapak Nurdhin Baroroh, S.H.I., M.SI.

Nama Anggota:

1. Anang Ma’ruf (20103060035)


2. Putri Khoirun Nisa (20103060039)
3. Arfinia Ulfa (20103060036)
4. Muhammad Zaki Akbar (20103060041)
5. Halima Tussa’diah (20103060040)
6. Jawhar Ali Ahmad (20103060037)
7. Nurul Fathiyah (20103060038)
8. Raihan Faiz Irmanutama (20103060042)
9. Qonita Najmah Fairusah (20103060032)
10. Umar Ibnu Aziz (20103060047)
11. Zulfa Fajruzzaman (20103060028)
12. Zahwan Syarif (20103060034)

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2022

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Riwayat Singkat Muhammad Ghazali bin Zainal Arif
B. Pemikiran Fikih Menurut Muhammad Ghazali bin Zainal Arif
C. Kearifan Lokal Menurut Muhammad Ghazali bin Zainal Arif
D. Aspek Lokalitas dalam Perspektif Muhammad Ghazali bin Zainal Arif

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat berupa tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi deng
an tempat atau daerah hidupnya. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal b
ukanlah suatu hal yang statis, melainkan berubah atau dinamis sejalan dengan berjalannya wa
ktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Diantara kitab fikih Indonesia yang menarik untuk diteliti adalah Kitab Tarjumatul Muk
htar fi Syarhi Ghayatil Ikhtisar karya Muhammad Ghazali bin Zaenal Arif. Keunikan kitab fik
ih ini adalah dari sisi model penulisannya dan kandungan lokal dalam kajian fikihnya. Kitab i
ni ditulis menggunakan huruf Arab pegon dan berbahasa Sunda. Sebagaimana diakui oleh pen
ulisnya, dan tercantum dalam judul kitabnya, kitab ini adalah terjemah sekaligus syarah dari k
itab Ghayat karya Abu Syuja' al Isfahami. Dari sini dapat dijelaskan bahwa kitab ini bermazha
b Syafi'i, mazhab yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Siapa itu Muhammad Ghazali bin Zainal Arif?


2. Bagaimana pemikiran fikih menurut Muhammad Ghazali bin Zainal Arif?
3. Bagaimana kearifan lokal menurut Muhammad Ghazali bin Zainal Arif?
4. Bagaimana aspek lokalitas dalam perspektif Muhammad Ghazali bin Zainal Arif?
C. Tujuan Makalah

1. Untuk menjelaskan siapa itu Muhammad Ghazali bin Zainal Arif.


2. Untuk menjelaskan pemikiran fikih menurut Muhammad Ghazali bin Zainal Arif.
3. Untuk menjelaskan Kearifan Lokal menurut Muhammad Ghazali bin Zainal Arif.
4. Untuk menjelaskan aspek lokalitas dalam perspektif Muhammad Ghazali bin Zainal Arif.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Singkat Muhammad Ghazali bin Zainal Arif


Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif Majalengka, Pengarang Kitab Syarah
Taqrîb Berbahasa Sunda yang juga murid Syaikh Soleh Darat Semarang (1317 H/ 1900
M) kitab tulis tangan (manuskrip/ makhthûth) berjudul “Tarjamah al-Mukhtâr Syarahna
Ghâyah al-Ikhtishâr” yang ditulis dalam bahasa Sunda beraksara Arab. Kitab tersebut dit
ulis pada hari Sabtu, 1 Dzulqa’idah tahun 1317 Hijri (bertepatan dengan 3 Maret 1900 M
asehi). Kitab tersebut sudah didigitalkan. Pengarang karya ini adalah seorang ulama dari
Majalengka, yang bernama Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif. Pada halaman sa
mpul kitab, tertulis teks sebagai berikut;
‫إي كتاب ترجمة المختار شرحنا غاية االختصار كراغاننا شيخ أبي شجاع بغس مذهب إمامنا الشافعي أنو غومفوالكي كان اي شرح‬

‫فقير الحقير محمد غزالي بن زين العارف مجالغكا غفر اهلل لهما‬

1317 ‫كيغغنا غويتان نرجمهكن نليكا فووي سفت اولنا بولن ذو القعدة تهون‬

“Ieu kitab “Tarjamah al-Mukhtâr” syarahna “Ghayah al-Ikhtishâr” karangana Syaikh A


bî Syujâ’ bangsa madzhab imamuna al-Syâfi’î. Anu ngumpulakeun kana ieu syarah [al-]f
aqir al-haqir Muhammad Ghazali bin Zainul Arif Majalengka. Ghafarallâhu lahumâ. Ke
nging ngawitan nerjemahkeuna nalika poe Saptu, Awalna bulan Dzulkaedah tahun 1317
[Hijri].”
Terjemahan teks di atas dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
“Ini adalah kitab ‘Tarjamah al-Mukhtâr’ yang merupakan syarah [penjelasan] atas kitab
‘Ghâyah al-Ikhtishâr’ karangan Syaikh Abî Syujâ’ seorang ulama madzhab Imam Syâfi’î
Yang menghimpun syarah ini adalah seorang hamba yang fakir lagi hina Muhammad G
hazali bin Zainul Arif Majalengka. Semoga Allah mengampuni keduanya. Dimulai mener
jemahkan [syarah ini] pada hari Sabtu, awal bukan Dzulkaedah tahun 1317 [Hijri].”
Dalam kata pengantarnya, Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif Majalengk
a mengatakan bahwa kitab “Ghâyah al-Ikhtisâr” karangan Syaikh Abî Syujâ’, juga kitab
“Muqaddimah Bâ-Fadhal” (atau Masâ’il al-Ta’lîm) karangan Syaikh Abdullâh Bâ-Fadhal
al-Hadhramî, adalah dua kitab yang sangat penting kandungan isinya dan banyak dipedo
mani oleh mayoritas umat Muslim sebagai tuntunan ilmu fikih madzhab Syafi’i. Syaikh
Muhammad Ghazali bin Zainal Arif Majalengka pun berhasrat untuk menuliskan syarah

3
(penjelasan) dan terjemah atas dua kitab tersebut dalam bahasa Sunda, agar kemanfaatan
dan kandungan isi kitab tersebut dapat dipahami secara lebih mudah dan luas oleh kalang
an pembaca Sunda. Pada pengantarnya, Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif Maja
lengka juga menyinggung sosok gurunya, yaitu Syaikh Muhammad Shalih ibn ‘Umar al-
Samârânî (Syaikh Soleh Darat Semarang). Sang guru menasehati dirinya akan pentingnya
kemanfaatan ilmu sebagai salah satu bekal keabadian setelah mati, dan nasehat itu diingat
dan dijalankan dengan baik oleh beliau.
Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif Majalengka menulis;
‫ غغكي‬A‫تنا ايت جسيم كوريغ فقير حقير انو لغكوغ ضعيف فون محمد غزالي بن زين العارف مجالغكا حاجة بدي نرجمهكن كالين‬

‫باس سندا انمغ جسيم كوريغ هنت ايا فسن سئتك رومهوس تياس غدمل كراغن أتو أهل غدمل ترجمة‬.

“Tina eta jisim kuring fakir hakir anu langkung doip pun Muhammad Ghazali bin Zainal
Arif Majalengka hajat bade nerjemahkeun kalayan ngangge basa Sunda, anamung jisim
kuring genteu aya pisan saeutik rumahos tiasa ngadamel karangan atawa ahli ngadamel
tarjamah.”
Terjemahan bahasa Indonesia dari teks di atas adalah sebagai berikut:
“Darinya, saya yang fakir, hina, dan sangat lemah ini, yaitu Muhammad Ghazali bin Zain
al Arif Majalengka berkehendak untuk menerjemahkan dengan menggunakan bahasa Su
nda. Namun demikian, saya sama sekali tidak merasa sebagai seorang yang ahli menulis
karangan atau pun menerjemahkan.”
Karya syarah dan terjemahan berbahasa Sunda ini kemudian dinamakan “Tarjama
h al-Mukhtâr”. Dalam menulis karyanya ini, Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif
Majalengka merujuk kepada beberapa sumber-sumber kitab, seperti “Fath al-Mukhtâr”,
“Hâsyiah al-Bâjûrî” (karangan Syaikh Ibrahim al-Bajuri), “Minhâj al-Qawwîm” (karanga
n Syaikh Ibn Hajar al-Haitami), kitab karangan Sulaiman al-Kurdî (kemungkinan al-Haw
âsyî al-Madaniyyah), “Murqât al-Shu’ûd”, “Kâsyifah al-Sajâ”, “Murâqî al-‘Ubûdiyyah”
(ketiganya karangan Syaikh Nawawi Banten), “al-Durar al-Bahiyyah” (karangan Sayyid
Bakri Syatha), dan “Fath al-Mu’în” (karangan Syaikh Zainuddin al-Malibari).
Keberadaan kitab “Tarjamah al-Mukhtâr” karya seorang ulama Majalengka berna
ma Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif yang merupakan syarah dan terjemah ber
bahasa Sunda atas kitab “Ghâyah al-Ikhtishâr” dan ditulis pada tahun 1317 Hijri (1900 M
asehi) tentu memberikan data dan informasi yang kaya sekaligus penting terkait khazanah
ulama Majalengka. Data dan informasi tambahan lainnya adalah beliau murid dari Syaikh
Soleh Darat Semarang. Sayangnya, saya belum mendapatkan informasi lanjutan siapakah

4
gerangan sosok Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif ini, dan di daerah Majalengk
a manakah tepatnya sang penulis karya ini berasal.

B. Pemikiran Fikih Menurut Muhammad Ghazali bin Zainal Arif


Pemikiran fikih Muhammad Ghazali dalam kitab syarahnya bersifat deskriptif, inf
ormatif tanpa menganalisis metode ijtihad yang digunakan. Sasaran Muhammad Ghazali
ditujukan kepada masyarakat awam yang memiliki kecenderungan taklid madzab, sehing
ga yang mereka butuhkan adalah pedoman atau panduan menjalankan syariat islam yang
bersifat praktis dan implementatif. Menurut Muhammad Ghazali dasar hukum dianggap t
idak penting, karena dalam masalah sumber hukum Muhammad Ghazali menyandarkan k
epada imam madzab yang dianut.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa konsep fikih menurut Muhammad
Ghazali termasuk konsep fikih klasik. Hal ini dapat diketahui pada karyanya dalam kitab
Tarjumatul Mukhtar Fi Syahrani Ghayatil Ikhtisari ketika membahas masalah ukuran dua
kullah untuk kesucian air wudhu. Beliau menjelaskan bahwa ukuran dua kullah adalah ap
abila ditimbang menjadi dua ratus kati Baghdadi. Ukuran kati Baghdadi menurut imam N
awawi adalah seberat 128 dirham ditambah empat pertujuh dirham. Kati Baghdadi adalah
ukuran yang asing untuk masyarakat Indonesia pada masa itu. Kemudian konsep klasik la
in adalah penggunaan kayu siwak. Kayu siwak yang utama adalah kayu irak. Jika tidak a
da boleh menggunakan pelepah kurma atau kayu zaitun. Jenis kayu tersebut sangat sulit d
itemukan di Indonesia. Maka, penyebutan jenis kayu ini mengindikasikan model transfor
masi. Konsep klasik lain yang masih menghiasi penjelasan kitab ini adalah ukuran mud u
ntuk air yang digunakan berwudhu dan penyebutan sungai Nil di Mesir dalam penjelasan
mensucikan najis yang berasal dari jilatan anjing Masih adanya penyebutan fikih klasik
menunjukkan adanya proses kontinuitas dengan kitab fikih sebelumnya. Penjelasan dala
m kitab fikih ini memiliki mata rantai kesinambungan dengan kitab rujukannya.

C. Kearifan Lokal Menurut Muhammad Ghazali bin Zainal Arif


Kitab tarjumatul Mukhtar Fi Syarhi Ghayatil Ikhtisar merupakan salah satu kitab f
ikih lokal nusantara, yang menunjukkan kreatifitas ulama nusantara yang dalam menulis
kitab ini menggunakan bahasa lokal yaitu bahasa Sunda lokalitas yang digunakan dalam
kitab ini menunjukan siapa sasaran utama dalam katab. Meskipun diakui dari aspek bahas
a lumayan rumit, karena tidak menggunakan bahasa sunda murni, akan tetapi bercampur
dengan bahasa Jawa dan bahkan terdapat kosa kata bahasa Arab yang dimasukkan dalam

5
bahasa Sunda sebagaimana yang disebutkan oleh Uki sukiman. Berikut karakteristik yang
dijelaskan dalam kitab ini.
a) Integrasi tasawuf dalam Fikih
Muhammad Ghazali dalam kitab ini berusaha untuk mengintegrasikan aspek ta
sawuf dalam fikihnya. model deskripsi yang digunakan dapat memberikan gambaran
tentang bagaimana ajaran Islam. umumnya kajian fikih cenderung bersifat formal, se
hingga terlihat rigid dan kaku. Padahal seharusnya fikih fi integrasikan dengan bidan
g lainnya seperti akidah dan akhlak. Karena fikih merupakan ibadah amaliya dan dal
am dalam pelaksanaanya membutuhkan unsur akhlak.
Integrasi antara fikih dan akhlak terlihat dalam menjelaskan tentang wudhu, kh
ususnya dalam niat wudhu. Muhammad Ghazali menulis “Ketikan air menyentuh mu
ka ingatlah dalam hati dan ucapkanlah niat untuk mendapatkan wudhu karena mela
kukan perintah Allah SWT. Atau niat dengan nawaitu fardha wudhu’I lillahi ta’ala”.
Ketika air sudah menyentuh muka maka ingatlah untuk melakukan niat karena melak
sanakan perintah Allah yang maha tinggi. Hal itu juga sama dengan saat bersuci dari
hadas yakni niat bersuci dari hadas seperti nawaitu taharata anil hadasi fardha lillahi t
a’ala. ketika sampai air pada muka, seandainya tidak ingat dan tidak diniatkan untuk
bersuci maka itu tidak sah.
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat upaya penulis untuk mengintegarasikan ant
ara rukun wudhu yaitu niat dengan keharusan mengingat Allah SWT karena niat tida
k hanya dipahami secara formal sebagai ucapan seseorang saja, tetapi harus dibareng
i dengan hati. Dengan demikian bersatunya aspek lahir yaitu ucapan atau lafal niat it
u sendiri dan batin adalah ingatan seseoranag terhadap tujuan wudhu yaitu Allha, hal
demikianlah niat wudhu yang benar.
b) Fikih Iftiradhi
Fikih iftiradhi adalah fikih pengandaian dimana pembahasan fikih yang tidak re
alistis. Lawan dari fikih iftiradhi adalah fiqh al-waq’y yaitu fikih realitas yang dibaha
s dalam fikih ini adalah sesuatu realitas yang terjadi dalam kehidupan, sedangkan dal
am fikih Iftiradhi pembahasan yang melebar terhadap sesuatu yang tidak mungkin ter
jadi. Hal itu terjadi dalam kitab ini, dimana banyak mengandung bahasa pengandaian.
Misalnya, dalam pembahasan kulit binatang yang najis dapat disamak dengan meng
hilangkan kotoranatau najis yang melekat dalam kulit tersebut, kecuali pada binatang
yang haram dagingnya seperti anjing dan babi. Dalam menjelaskan “tetapi yang tida
k bisa dianggap suci karena disamak adalah anjing dan babi dan segala sesuatu yan

6
g berasal dari keduanya atau dari salah satunya. Begitu juga hewan yang suci seper
ti kambing yang dihamili oleh anjing atau babi kemudian kambing tersebut hamil, m
aka anaknya dihukumi najis karena dinisbatkan kepada ayahnya”.
Penggambaran kambing yang dihamili anjing merupakan bentuk pengandaian
yang mustahil terjadi. Dimana dalam kenyataanya hal tersebut tidak mungkin terjadi,
karena binatang biasanya melakukan perkembangbiakan sesama jenis. Hal ini merup
akan bentuk pengandaian apabila nanti dikemudian hari terjadi.
c) Pribumisasi fikih dalam konteks lokal
Karakteristik lain yang ditemukan dalam kitab ini yakni upaya kontekstualisasi
fikih sesuai zaman dan tempat, dengan mengambil contoh nyata dalam kehidupan ma
syarakat lokal. Upaya tersebut terlihat misalnya daam pembahasan penggunaan waad
ah halal atau haram untuk bersuci. Seperti wadah yang terbuat dari emas atau perak h
aram digunakan. Termasuk wadah yang ditambal dengan perak yang cukup besar. Da
n apabila wadah tersebut dijadikan sebagai hiasan, maka haram untuk memakainya.
Selain itu juga membahas siwak, dimana penggunaan siwak tidak harus dengan kayu
siwak tetapi juga dapat menggunakan pembersih gigi yang dapat dipakai. Hal ini jug
a merupakan upaya kontekstualisasi berdasarkan keragaman pembersih gigi yang ber
beda disetiap daerah.
Pembahasan lain yang juga menunjukkan upaya kearifan lokal yakni masalah s
tatus banci. Banci adalah mereka yang tidak jelas kelaminya. Penyebutan dan pemba
hasan status banci ini muncul dalam masalah wudhu (membasuh jenggot), batal wud
hu (sesuatu yang keluar dari qubul dan dhubur), najis air kencing bayi, dan kewajiba
n memerintahkan shalat kepada anak-anak. Dibahasnya problem ini menunjukkan ke
pedulian penulis terhadap realitas kehidupan.
Bentuk kearifan lokal lain adalah penjelasan bolehnya menggunakan kendi seb
agai wadah untuk menampung air yang digunakan untuk berwudhu. Dalam keseharia
n masyarakat Indonesia banyak menggunakan kendi sebagai alat tamping air untuk b
erwudhu, air yang keluar dari kendi bersifat memancar atau mengalir sehingga tidak
menghawatirkan menjadi musta’mal. Unsur lainnya seperti rambut yang berkonde, k
onde merupakan khas Indonesia khususnya bagi perempuan Jawa atau Sunda sehing
ga konde wajib dilepas ketika mandi wajib agar air mengalir keseuruh rambutnya kar
ena sebagai rukun dari mandi wajib tersebut. Ketika ada bagian tubuh tidak terkena a
ir maka mandi wajibnya tidak sah.

7
D. Aspek Lokalitas dalam Perspektif Muhammad Ghazali bin Zainal Arif
Pribumisasi Fikih dalam konteks Lokal Karakteristik lain yang ditemukan dalam
kitab Tarjumatul Mukhtar ini adalah upaya kontekstualisasi fikih sesuai zaman dan tempa
t. Penulis kitab ini berusaha membumikan kajiannya dengan mengambil contoh riil dari k
ehidupanmasyarakat lokal, yaitu masyarakat Majalengka khususnya dan masyarakat Indo
nesia pada umumnya. Kontektualisasi ini menunjukkan sisi dinamis dari fikih, sehingga s
ifat aplikatif dan adaptabilitasnya menjadi nampak.
Upaya kontekstualisasi tersebut terlihat misalnya dalam pembahasan tentang peng
gunaan wadah yang halal atau haram untuk bersuci. Wadah yang terbuat dari emas dan p
erak haram digunakan. Termasuk di dalamnya wadah yang tidak terbuat dari kedua bahan
tersebut tetapi ditambal dengan perak yang cukup besar. Jika wadah tersebut menurut ada
t dianggap sebagai hiasan, maka hukumnya haram memakainya. Demikian juga ketika m
embahas masalah siwak. Penggunaan siwak tidak harus dari kayu siwak, tetapi juga dapat
menggunakan pembersih gigi yang biasa dipakai. Ini merupakan upaya kontekstualisasi b
erdasarkan keragaman alat pembersih gigi, yang berbeda antara satu daerah dengan daera
h yang lain. Sehingga penggunaan kayu siwak, yang merupakan ketentuan dalam fikih kl
asik, dimodernisasikan dengan menggantinya menggunakan alat yang secara substansial
memiliki fungsi yang sama.
Bentuk kearifan lokal yang lain adalah penjelasan bolehnya menggunakan kendi s
ebagai wadah untuk menampung air yang digunakan untuk berwudhu. Alat kendi sangat
banyak terdapat di Indonesia, sehingga masyarakat sudah familiar dengan alat ini. Dalam
keseharian, banyak masyarakat yang menggunakan kendi sebagai alat penampung air unt
uk berwudhu. Air yang keluar dari kendi bersifat memancar atau mengalir sehingga tidak
dikhawatirkan menjadi musta'mal. Bentuk kendi yang tertutup dapat menjamin kesuciaan
nya dari najis.
Unsur lokal lain yang juga disebut adalah rambut yang berkonde. Konde adalah k
has keindonesiaan, khususnya di kalangan masyarakat Jawa dan Sunda. Perempuan Jawa
atau Sunda biasa menggunakan konde di rambut. Tujuannya adalah untuk memberi hiasa
n pada rambut bagian belakang. Seorang perempuan yang menggunakan konde, maka ket
ika dia mandi wajib harus melepaskan kondenya. agar air yang mengalir membasahi selur
uh rambutnya. Jika ada satu rambutpun yang tidak terkena siraman air, maka dia belum d
inyatakan suci. Oleh karena itu konde harus dilepas, sehingga rambut terurai dan semua r
ambut dapat dibasuh dengan air. Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa kitab fikih
ini berusaha memberikan penjelasan yang kontekstual Meskipun hanya mensyarah kitab

8
sebelumnya, namun penulis berupaya memberikan penjelasan dengan mengintegrasikan
kearifan lokal di dalamnya. Dengan cara ini, ketentuan fikih menjadi semakin jelas bagi u
mat muslim, karena sesuai dengan realitas kehidupan yang mereka hadapi. Maka fungsi f
ikih sebagai pedoman praktis dalam menjalankan ajaran Islam akan terpenuhi.

BAB III

PENUTUP

9
A. Kesimpulan
Dalam kata pengantarnya, Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif
Majalengka mengatakan bahwa kitab “Ghâyah al-Ikhtisâr” karangan Syaikh Abî Syujâ’,
juga kitab “Muqaddimah Bâ-Fadhal” (atau Masâ’il al-Ta’lîm) karangan Syaikh Abdullâh
Bâ-Fadhal al-Hadhramî, adalah dua kitab yang sangat penting kandungan isinya dan
banyak dipedomani oleh mayoritas umat Muslim sebagai tuntunan ilmu fikih madzhab
Syafi’i.
Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif Majalengka pun berhasrat untuk
menuliskan syarah (penjelasan) dan terjemah atas dua kitab tersebut dalam bahasa Sunda,
agar kemanfaatan dan kandungan isi kitab tersebut dapat dipahami secara lebih mudah
dan luas oleh kalangan pembaca Sunda.
Pada pengantarnya, Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif Majalengka juga
menyinggung sosok gurunya, yaitu Syaikh Muhammad Shalih ibn ‘Umar al-Samârânî
(Syaikh Soleh Darat Semarang). Sang guru menasehati dirinya akan pentingnya
kemanfaatan ilmu sebagai salah satu bekal keabadian setelah mati, dan nasehat itu diingat
dan dijalankan dengan baik oleh beliau.
Keberadaan kitab “Tarjamah al-Mukhtâr” karya seorang ulama Majalengka
bernama Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif yang merupakan syarah dan
terjemah berbahasa Sunda atas kitab “Ghâyah al-Ikhtishâr” dan ditulis pada tahun 1317
Hijri (1900 Masehi) tentu memberikan data dan informasi yang kaya sekaligus penting
terkait khazanah ulama Majalengka.
Data dan informasi tambahan lainnya adalah beliau murid dari Syaikh Soleh
Darat Semarang. Sayangnya, saya belum mendapatkan informasi lanjutan siapakah
gerangan sosok Syaikh Muhammad Ghazali bin Zainal Arif ini, dan di daerah
Majalengka manakah tepatnya sang penulis karya ini berasal.

B. Saran
Perlunya memanfaatkan ekspresi budaya tradisional dan karya budaya secara
optimal dengan menghormati hak-hak sosial dan budaya masyarakat setempat serta
melakukan dokumentasi digital yang memadai untuk dapat diakses oleh pihak lain, atau
masyarakat setempat agar kearifan lokal budaya serta ilmu yang dapat terjaga dengan
baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ali sodiqin, Fakhriati dkk. 2012. Kitab Fikih Lokal: Menggali Kearifan Lokal dalam Karya

Ulama Indonesia. Yogyakarta: Q-Media dan Jur. PMH Fak. Syari’ah dan Hukum

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

11

Anda mungkin juga menyukai