Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH TES PROYEKTIF

Theoretical Foundation of Projective Psychology


Dosen Pengampu: Neneng Tati Sumiati, M.Si., Psikolog

Disusun oleh:
Kelompok 2 – Kelas 6C

Citra Alun Firdaus 11190700000107


Nadya Rahmadini Putri 11190700000132
Hanifa Faizah Ramadhani 11190700000137

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta
Inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini tepat
pada waktunya.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikodiagnostik
Tes Proyektif. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai dasar
teori psikologi proyektif dan tentang masalah konsep proyeksi serta teori psikologi proyektif.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Neneng Tati Sumiati, M.Si., Psikolog. yang
telah memberikan arahan serta bimbingannya dalam proses penulisan makalah ini, serta
penugasan makalah ini yang tentunya dapat menambah wawasan bagi penulis dan pembaca.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses
penulisan makalah ini. Terima kasih kepada pihak yang bersedia membagi pengetahuannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat menerima apabila adanya kritik dan saran yang membangun untuk
mendukung makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.

Jakarta, 11 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

BAB I : Pendahuluan..............................................................................................................1
1.1.............................................................................................................. Latar belakang
....................................................................................................................................1
1.2......................................................................................................... Rumusan masalah
....................................................................................................................................1
1.3........................................................................................................................... Tujuan
....................................................................................................................................1

BAB II : Pembahasan.............................................................................................................2
2.1 Introduction....................................................................................................................2
2.2 On the problems of the concept of projection.................................................................4
2.3 A theory of projective psychology.................................................................................17

BAB III: Penutup..................................................................................................................27


3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................28

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak perumusan eksplisit hipotesis proyektif oleh Lawrence K. Frank pada tahun
1939, metode proyektif tidak hanya memiliki aplikasi yang semakin luas, tetapi jumlah,
ruang lingkup, dan tujuannya menjadi semakin sesuai. Konsekuensi yang hampir tak
terelakkan dari perkembangan di bidang ini selama dekade terakhir telah menjadi
kesenjangan yang semakin lebar antara beberapa prosedur uji proyektif dan substruktur
teoretisnya. Ada interaksi terus-menerus antara teori dan praktik dalam ilmu atau disiplin
apa pun, dan menjadi semakin penting untuk mencari integrasi antara teori dan praktik
dalam psikologi proyektif sebagai satu langkah menuju pengayaan timbal balik yang
berkelanjutan dari empirisme dan pembangunan konstruksi.
Secara umum dengan ilmuwan lain, psikolog mengembangkan lima jenis bahan
utama: (1) alat dan konsep intelektual; (2) deskripsi hubungan situasi-orang tertentu
yang diwakili oleh studi genetik dan dinamis tentang kepribadian; (3) hipotesis; (4)
model fisiologis dan psikologis; dan (5) proposisi dari beberapa tingkat umum yang
telah ditemukan konsisten dengan bukti fisiologis dan psikologis yang kurang lebih
komprehensif.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Masalah Konsep dalam Psikologi Proyektif ?
1.2.2. Bagaimana Teori Psikologi Proyektif?
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui masalah dalam Psikologi Proyektif.
1.3.2. Untuk mengetahui bagaimana teori Psikologi Proyektif.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Introduction
Alat intelektual dan konsep ilmu psikologi terdiri dari banyak definisi, perbedaan, dan
konstruksi yang data psikologis dapat dipesan. Alat dan konsep intelektual ini, apa pun jenis dan
tingkat generalitasnya, mewakili kebiasaan berpikir para psikolog dengan cara yang mereka
anggap berguna dan bermanfaat untuk berpikir dan berbicara tentang fenomena psikologis,
klasifikasi yang mereka anggap membantu, konsep yang telah menunjukkan keberhasilan
mereka dalam konstruksi hipotesis dan model, dan bagian-bagian dari bahasa matematika dan
metode statistik yang telah menunjukkan nilai dalam pertanyaan psikologis. Ada semakin
banyak studi genetik dan dinamis tentang kepribadian yang dalam beberapa tahun terakhir telah
mencapai proporsi yang mengesankan. Penyelidikan kepribadian ini telah menyarankan konsep,
hipotesis, dan model, dan mereka telah memberikan informasi yang dapat digunakan untuk
menguji "kebenaran" proposisi psikologis.
Hipotesis dan model sebagian besar jatuh dalam ranah spekulasi dan biasanya tidak dapat
dibedakan secara tajam satu sama lain. Hipotesis adalah proposisi yang peneliti memiliki
beberapa alasan untuk percaya mungkin berubah menjadi "benar"-yaitu, salah satu yang
mungkin berubah menjadi konsisten dengan tubuh substansial bukti yang relevan. Contoh
hipotesis semacam itu adalah gagasan bahwa kepribadian dapat dilihat sebagai Gestalt yang
menjalankan jalur dinamis dalam waktu. Model mungkin hanya sebuah bentuk rumit dari
hipotesis-asumsi dan kesimpulan yang ditarik agar konsisten dengan seperangkat proposisi dan
karena itu mampu dianggap sebagai mungkin "benar". Model seperti itu sering membantu
menyempurnakan konsep dan alat analisis yang ada dan agak jarang berperan dalam
pengembangan hipotesis lebih lanjut.
Dalam model psikologi memiliki keuntungan penting yang mengharuskan penyelidik
untuk menawarkan pernyataan eksplisit tentang asumsinya. Oleh karena itu proses pembuatan
model membantu memberikan ketepatan pada pemikiran psikologis, berkontribusi untuk
memaksa penyelidik untuk mengenali keterbatasan kumpulan tertentu dari asumsi yang dia
gunakan, dan dapat membantunya dalam mengenali dan mungkin menerima kemungkinan
alternatif yang mungkin tidak menjadi perhatiannya. Konsepsi ego, id, dan superego saat ini,

2
3

seperti yang awalnya dikembangkan oleh Freud dan dielaborasi oleh banyak orang lain, adalah
tatanan model yang mungkin memiliki nilai heuristik yang besar dalam formulasi psikologis
klinis.
Ada alasan untuk percaya bahwa selama dua dekade terakhir khususnya psikologi
kepribadian telah membuat kemajuan substansial dalam menambah penyimpanan alat
intelektualnya, dalam meningkatkan volume studi yang berkaitan dengan "kepribadian total"
berbeda dengan lebih pertanyaan segmental, dalam mengembangkan hipotesis penting dan
berpotensi jauh jangkauannya. Hipotesis proyektif adalah contoh yang dapat terus-menerus diuji
penting dari eksperimen yang sebenarnya dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari
beberapa metode proyektif.
Hipotesis proyektif, yang menjadi semakin jelas, harus ditangani dengan sangat hati-hati.
Misalnya, ada kemungkinan ekstrapolasi yang tidak hati-hati dari gagasan di luar batas yang
telah dirancang. Di balik hipotesis proyektif itu sendiri berdiri matriks asumsi keseluruhan yang
mungkin berbeda dari satu psikolog proyektif ke yang lain dan yang sebagian besar telah
disimpan implisit. Jika psikologi proyektif ingin tumbuh dalam penerimaan dan validitas, adalah
penting bahwa asumsi ini dibuat sepenuhnya eksplisit dan perlu bahwa mereka diuji untuk
memastikan apakah mereka telah menetapkan validitas dan umum dalam bidang penyelidikan di
mana mereka sedang digunakan. Jelaslah bahwa syarat-syarat pengujian mereka harus bersifat
publik dan dapat diulang sesuai permintaan jika data yang mereka berikan akan diterima pada
kumpulan konsep dan proposisi umum yang akan terbukti berguna dalam studi kepribadian dan
dalam evaluasi psikologis klinis.
Pertanyaan tentang validitas dan reliabilitas dari beberapa metode proyektif adalah
sesuatu yang menjadi perhatian sebagian besar pekerja profesional, dan perkembangan dalam
psikologi proyektif harus mengarah pada pemenuhan tuntutan sehubungan dengan masalah ini.
Namun, ada sejumlah besar pengalaman profesional yang membuktikan kebutuhan, setidaknya
sejauh menyangkut tes proyektif, untuk melihat validitas dan reliabilitas.
Prosedur proyektif mungkin sesuatu dari urutan yang sangat berbeda dari gagasan serupa
tentang tes psikometri. Di balik perhatian yang diungkapkan untuk validitas dan reliabilitas
mungkin ada serangkaian reservasi tentang tubuh proposisi yang menjadi dasar hipotesis
proyektif. Dalam arti ekspresi yang paling luas, proposisi-proposisi ini diturunkan dari
psikoanalisis, dan sifat spesifiknya harus ditetapkan sebelum landasan baru dapat dipatahkan
4

dalam psikologi proyektif, yang lebih penting daripada pernyataan lengkap dari proposisi
psikoanalisis yang menjadi landasan psikologi proyektif adalah melakukan upaya serius untuk
menghubungkan psikologi analitis dan non-analitis lebih dekat dengan apa yang mungkin
menjadi keuntungan masing-masing.
Dalam makalah pertama Dr. Leopold Bellak menelusuri sejarah perkembangan konsep
proyeksi, yang sekarang digunakan secara luas dan longgar. Saat mencoba untuk memverifikasi
secara eksperimental deskripsi klinis asli Freud tentang proyeksi, ia merasa perlu untuk
mendefinisikan kembali proses persepsi yang terlibat dalam apa yang dikenal sebagai metode
proyektif. Sementara ia lebih suka menggunakan istilah "psikologi aperseptif" dan "distorsi
aperseptif" dalam preferensi untuk terminologi yang lebih akrab, kontribusi Bellak
menempatkan dia cukup jelas dalam arus utama psikologi proyektif. Jika terminologinya tampak
meyakinkan dan berguna, istilah itu akan diterima pada waktunya. Upayanya untuk menyatakan
kembali konsep dasar psikoanalisis dalam hal proses distorsi aperseptif dan teori pembelajaran
Gestalt tentu akan membutuhkan kerja eksperimental dan eksplorasi lebih lanjut.
Namun, rumusan teori kepribadiannya yang didasarkan pada rekonseptualisasi ini
seharusnya membantu menyelesaikan beberapa masalah yang dihadapi klinisi dengan
menggunakan metode proyektif. Ini merupakan satu rentang jembatan melintasi perpecahan
yang masih memisahkan nonanalitik dari psikologi analitis.

2.2. The Problems of The Concept of Projection


Dr. Leopold Bellak di dalam papernya mencoba menelusuri sejarah perkembangan dari
konsep proyeksi yang pada saat sekarang ini sudah sedemikian luas dan kabur arti
penggunaannya. Di dalam usaha verifikasi eksperimental pembuktian terhadap konsep klinis
mengenai proyeksi seperti yang dikemukakan Freud, ia berpendapat bahwa penting kiranya
untuk mengadakan redefinisi terhadap proses-proses perseptual yang terkandung di dalam
proyeksi itu, dan inilah yang merupakan dasar dari metode proyektif.
Beberapa definisi awal tentang konsep projection sebagai suatu proses defensif, seperti
yang dikemukakan oleh Freud, Frank, dan di dalam eksperimen Bealy, Bromier, dan Bowers.
Definisi projection berdasarkan hasil penyelidikan-penyelidikan eksperimental yang kemudian,
merupakan verifikasi terhadap definisi-definisi awal, dan dikemukakannya istilah apperception
dan apperceptive distortion sebagai terminologi pengganti istilah projection (Dr. Leopold
5

Bellak), dengan pengertian yang tidak terbatas pada proses defensif semata-mata. Bellak
mengemukakan istilah apperceptive psychology dan apperceptive distortion, sebagai istilah yang
lebih tepat untuk digunakan di dalam pembahasan ini. Bellak berusaha menggabungkan konsep
dasar psikoanalisis, khususnya mengenai apperceptive distortion ini, dengan konsep teori belajar
dari Gestalt, melalui penyelidikan dan eksplorasi-eksplorasi eksperimental.
Proyeksi merupakan suatu istilah yang banyak digunakan di dalam bidang-bidang
psikologi klinis, dinamis dan sosial. Frank mengemukakan bahwa metode proyektif adalah
merupakan suatu tipe pendekatan yang bersifat dinamis dan holistik di dalam disiplin psikologi.
Istilah proyeksi pertama kali dikemukakan oleh Freud, di dalam karyanya The Anxiety Neurosis
(1894), dimana ia mengemukakan bahwa : Psyche akan mengembangkan suatu kecemasan
neurotik apabila psyche merasa tidak berdaya untuk mengatasi rangsangan-rangsangan (seksual)
yang berasal dari dalam (endogenous), sehingga rangsangan-rangsangan tersebut akan
diproyeksikan ke dunia luar.
Di dalam karyanya On the Defense Neuropsychoses ( 1896), Freud memberikan elaborasi
terlebih jauh terhadap konsep proyeksi. Dikemukakannya secara lebih eksplisit, bahwa; Proyeksi
adalah suatu proses pemetaan (pelampiasan ke luar) dorongan-dorongan, perasaan-perasaan dan
sentimen-sentimen individu kepada orang lain atau ke dunia luar, sebagai proses yang bersifat
defensif, dimana individu yang bersangkutan tidak menyadari munculnya gejala yang di luar
kehendaknya itu (undesireable phenomena). Elaborasi lebih jauh lagi, dapat dilihat pada kasus
Schreber, penderita paranoia, yang dikemukakan Freud sebagai berikut :
Penderita paranoia tersebut mempunyai kecenderungan homoseksual, dimana karena
adanya tekanan dari super ego, ia mentransformasikan suatu reaksi-formasi dari I love him
menjadi I hate him. Proyeksi benci kepada objek yang tadinya dicintai, disebabkan super ego
tidak memperkenankan benci tersebut muncul di kesadaran dan muncul terealisir, dan lagi pula
ia merasa bahwa bahaya dari dunia luar akan lebih menekan ketimbang bahaya dari dalam, bila
benci itu sampai muncul. Jadi di sini, super ego menghambat ekspresi benci berdasarkan norma-
norma moral yang dimiliki individu yang bersangkutan. Healy, Bronner dan Bowers
mendefinisikan proyeksi sebagai :
Suatu proses defensif yang dikendalikan oleh prinsip kenikmatan (pleasure-principle),
dimana ego, yang berpedoman kepada dunia luar, akan merasa tercela bila keinginan-keinginan
dan idea-idea ketidaksadaran muncul ke dalam kesadaran. Kalaupun konsep proyeksi yang
6

mulanya berasal dari apa yang terdapat pada psikosis dan neurosis, diterapkan kepada bentuk-
bentuk tingkah laku yang lain, seperti yang dikemukakan Freud di dalam The Future of an
illusion dan Totem and Taboo, maka proyeksi juga merupakan suatu mekanisme yang terpenting
di dalam pembentukan kepercayaan beragama. Bahkan di dalam konteks kebudayaan, dikatakan
pula bahwa proyeksi berperan sebagai suatu proses defensif terhadap kecemasan.
Di dalam pustaka-pustaka psikoanalisis, sering dijumpai bentuk defense mechanism,
dimana proyeksi adalah merupakan proses defensif yang paling penting, namun sangatlah sedikit
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap konsep proyeksi tersebut, sehingga Sears
mengatakan : Mungkin satu-satunya istilah yang paling tidak jelas pengertiannya di dalam teori
psikoanalisis adalah istilah proyeksi. Aplikasi konsep proyeksi paling banyak dilakukan di dalam
bidang psikologi klinis yang kita kenal sebagai teknik proyektif. Termasuk di dalamnya adalah
tes Rorschach, TAT, tes Szondi, Sentence Completion Test, EPPS, dan lain-lainnya. Dasar
asumsi yang melandasi tes-tes tersebut adalah, bahwa bila subjek dihadapkan pada sejumlah
stimulus yang ambiguous (kabur) dan ia diminta untuk memberikan respon terhadap stimulus itu,
subjek akan memproyeksikan need dan press-nya sebagai responnya terhadap stimulus tersebut.
Suatu penyelidikan eksperimental telah dilakukan, di dalam usaha untuk menjelaskan fenomena
proyeksi, dan dilaporkan sebagai berikut :
1. Pada eksperimen yang pertama, menggunakan sejumlah subjek dan kepada mereka
disajikan sejumlah kartu-kartu TAT, dimana eksperimen berjalan di dalam kondisi yang
terkontrol.
2. Pada eksperimen kedua, subjek-subjek dikenai posthypnotic sewaktu ia menceritakan
tentang gambar pada kartu TAT, agar ia dapat merasakan agresinya (tanpa disadari
individu).
Berdasarkan kedua eksperimen tersebut, subjek menunjukkan tingkah laku seperti apa
yang dikemukakan di dalam hipotesis proyeksi dan pada tingkah laku tersebut menunjukkan
adanya peningkatan agresi (bila tingkah laku pada eksperimen kedua dibandingkan dengan yang
pertama). Hal itu terjadi karena di dalam kondisi posthypnotic, sewaktu diminta untuk bercerita,
subjek berada dalam keadaan yang teramat sedih dan depresif, sehingga mereka
memproyeksikan sentimen-sentimen mereka ke dalam cerita pada kartu. Sampai pada
eksperimen yang pernah dilakukan ini, tidak terdapat adanya perubahan terhadap konsep
proyeksi bahwa kenyataan proyeksi adalah sebagai suatu proses pemetaan (pelampiasan ke luar)
7

sentimen-sentimen yang tidak dapat diterima ego, ke dunia luar.


Kemudian eksperimen tersebut dilakukan dengan variasi yang lebih luas, dimana di dalam
keadaan posthypnotic subjek merasakan suatu kegembiraan yang sangat. Hal ini berarti bahwa
rasa gembira tersebut juga dapat diproyeksikan ke dalam cerita-cerita pada kartu. Sampai pada
eksperimen yang terakhir ini, sebenarnya tidaklah dapat dikatakan bahwa konsep proyeksi hanya
didasarkan sebagai suatu defense mechanism, karena tidak terdapat kebutuhan atau usaha ego
untuk menekan secara disruptif terhadap efek-efek kegembiraan. Sebenarnya, apabila kita baca
kembali karya Freud secara lebih cermat (seperti yang dilakukan Dr. Ernst Kris), terlihat pula
bahwa Freud juga memberikan antisipasi terhadap dasar pemikiran di atas itu, seperti yang
dikemukakannya di dalam Totem and Taboo, yaitu:
Proyeksi tidaklah secara khusus terwujud sebagai usaha untuk mengadakan defense,
karena ternyata, walaupun tidak ada konflik dapat pula terjadi proyeksi. Proyeksi inner-
perception kepada dunia luar, merupakan suatu mekanisme yang primitif, yang juga ikut
mempengaruhi sense-perception (persepsi indera), yang memberikan andil yang besar di dalam
membentuk dunia luar. Di dalam kondisi-kondisi yang diliputi oleh ketidakpastian, inner-
perception yang berupa proses-proses ideasional dan emosional, yang berasal dari inner-world,
bersama-sama sense-perception (persepsi indera) membentuk dunia luar.
Selanjutnya dikemukakan bahwa sesuatu yang kita proyeksikan ke dunia luar (seperti pada
manusia-manusia primitif), dapat berubah bentuk menjadi sesuatu yang lain itu hanya dikenal
oleh indera kita saja, karena sebenarnya bentuk asli dari sesuatu itu bersifat latent, tetapi dapat
dimunculkan kembali. Dan sesuatu yang bersifat latent itu disebut sebagai coexistence dari
persepsi dan memorik, atau bila digeneralisasi, dikatakan sebagai eksistensi proses
ketidaksadaran psikis yang muncul ke alam sadar.
Dasar pikiran Freud di dalam penjelasan di atas adalah, apercept memory (ingatan masa
lalu) mempengaruhi yang sekarang terhadap suatu stimulus. Jadi interpretasi TAT juga
berdasarkan asumsi Freud tersebut. Misalnya, persepsi masa lalu subjek terhadap ayahnya akan
mempengaruhi persepsi subjek terhadap figur ayah di dalam gambar TAT. Jelaslah sekarang,
bahwa apercept memory: akan mempengaruhi yang sekarang terhadap stimulus, dan hal tersebut
tidak dapat secara sempit dikatakan sebagai suatu usaha defensif saja, seperti yang dikemukakan
di dalam definisi proyeksi yang asli (asal mula). Di sini kita dapat mengasumsikan, bahwa semua
persepsi yang sekarang akan dipengaruhi kedua macam persepsi itu, merupakan bidang yang
8

dibahas tersendiri di dalam Psikologi Kepribadian.

2.2.1. Apperception dan Apperceptive Distortion


Bellak mendefinisikan apperception sebagai suatu proses dinamis pada
organisme di dalam memberikan interpretasi yang berarti terhadap suatu persepsi.
Definisi dan penggunaan istilah apperception ini menyebabkan perlunya disusun suatu
hipotesis kerja, yaitu bahwa ada suatu proses apersepsi yang tidak mengadakan
interpretasi terhadap persepsi (noninterpreted perception) dan bahwa setiap interpretasi
yang subjektif akan membentuk apperceptive distortion. Distorsi appersepsi merupakan
suatu bentuk penyimpangan didalam memberikan makna pada suatu stimulus.
Penyimpangan ini menunjuk pada persepsi yang sedikit banyak sudah melenceng (bias)
karena adanya pengaruh faktor-faktor dari dalam diri seperti: dorongan, kebutuhan,
harapan, emosi, memori, kerangka berfikir dan sebagainya.
Maka dapatlah kita definisikan istilah apperception tersebut sebagai suatu kondisi
yang mendekati persepsi kognitif murni yang objektif (nearly pure cognitive objective
perception), dimana kebanyakan subjek akan sepakat di dalam mendefinisikan secara
eksak atau tepat suatu stimulus, misalnya :
1. Umumnya subjek akan sepakat untuk mengatakan bahwa gambar pada kartu
nomor 1 TAT, sebagai gambar seorang anak laki-laki yang sedang bermain biola.
Jadi di sini dapat kita tetapkan bahwa persepsi tersebut merupakan suatu norma,
sedangkan subjek-subjek yang mengatakan bahwa kartu tersebut berisi gambar
seorang anak laki-laki di sebuah danau (seperti yang dikatakan para penderita
schizophrenia), subjek tersebut berarti mengalami apperceptive distortion
terhadap situasi stimulus pada kartu nomor 1 TAT.
2. Pada beberapa subjek lain, ditemukan adanya interpretasi-interpretasi yang
berbeda, misalnya dikatakan sebagai seorang anak laki-laki yang berbahagia, anak
laki-laki yang sedih, anak laki-laki yang ambisius, dan lainnya, maka berdasarkan
hipotesis persepsi non kognitif murni, dan bahwa subjek-subjek tersebut
mengalami apperceptive distortion, dapatlah dikatakan bahwa ada perbedaan taraf
distortion yang dialami subjek-subjek tersebut.

3.2.2. Bentuk - bentuk distorsi apersepsi


9

Untuk dapat mengidentifikasikan dan mengartikan bentuk-bentuk apperceptive


distortion dalam tarafnya yang berbeda-beda, di bawah ini dikemukakan beberapa bentuk
apperceptive distortion, yaitu :
A. Projection (Proyeksi)
Proyeksi merupakan apperceptive distortion yang bertaraf paling tinggi, dan
secara hipotesis, mempunyai arti yang bertolak-belakang (berlawanan) dengan
persepsi yang benar-benar objektif (a completely objective perception).
Berdasarkan tingkatan, proyeksi dapat mewujudkan pada :
1. Gangguan-gangguan psikosis pada umumnya
2. Defense-defense neurotik pada umumnya
3. Beberapa proses maturational atau kemasakan yang masih di dalam taraf
normal.
Proyeksi (true projection) tidak hanya merupakan pelampiasan keluar
perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen yang berasal dari ketidaksadaran,
dalam bentuk sebagai defense, tetapi pelampiasan keluar perasaan-perasaan dan
sentimen-sentimen tersebut ke dunia luar itu juga disebabkan karena ego tidak
dapat menerima perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen tersebut. Dan dapat
pula ditambahkan bahwa proyeksi semacam itu tidaklah dapat ditempatkan di
dalam kehidupan kesadaran, tanpa melalui psikoterapi khusus dalam jangka
panjang. Konsep ini nampak muncul sebagai suatu fenomena yang terdapat pada
penderita paranoid (yang telah disinggung sebelumnya), dimana proyeksi muncul
sebagai suatu perubahan dari I love him di dalam ketidaksadaran, menjadi He
hates me di alam kesadaran.
True projection pada kasus ini merupakan proses yang meliputi 4 tahap, yaitu:
1. I love him (terhadap objek homoseksual), yang merupakan suatu dorongan
id yang unacceptable (tidak dibenarkan)
2. Kemudian muncul suatu reaksi formasi, yaitu : I hate him;
3. Agresi (hate = benci) juga merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan dan
ini kemudian di repress
4. Akhirnya, dalam kesadaran, persepsi diubah menjadi He hates me.
Tahap terakhir ini sajalah yang biasanya nampak di alam kesadaran. Bellak
10

menyebut proses ini sebagai proses inverted projection, yang merupakan lawan
dari simple projection. Tahap pertama proses ini adalah munculnya suatu bentuk
defense mechanism yang lain, yaitu reaksi formasi. Secara berurutan dikatakan
sebagai berikut :
1. I love him adalah merupakan dorongan yang tidak diperkenankan muncul
di dalam kehidupan sosial (karena merupakan objek cinta homoseksual),
dan juga berdasarkan apa yang telah dipelajari di dalam hubungannya
dengan ayah, dorongan ini dirasakan sebagai impuls yang membahayakan.
2. Kemudian dorongan tersebut berubah menjadi I hate him (reaksi formasi)
yang bertindak sebagai ganti perasaan love.
Terlihat di sini bahwa pada inverted projection, yang pertama-tama muncul
adalah reaksi formasi, yang kemudian disusul oleh simple projection dalam
bentuk apperceptive distortion yang merupakan pemetaan (proyeksi) sentimen-
sentimen subjektif kepada dunia luar.

B. Simple Projection (Simple Distortion)


Simple projection merupakan proses yang tidak mempunyai indikasi klinis,
dan merupakan kejadian yang umum di dalam kehidupan sehari-hari. Suatu
contoh lucu dikemukakan di bawah ini :
1. Harun berhasrat ingin meminjam printer untuk mencetak beberapa lembar
tugas psikologi dari Rudy. Ketika dalam perjalanan ke rumah Rudy,
Harun berpikir bagaimana caranya nanti yang harus dikatakan pada Rudy
untuk meminjam printer tersebut. Kemudian ia berpikir pula; “Jangan-
jangan Rudy nanti mengatakan bahwa saya dulu pernah meminjam
sesuatu dan mengembalikannya dalam keadaan rusak.” Kemudian Harun
melanjutkan lagi fantasinya dengan menjawab bahwa, “memang dulu ia
meminjam kalkulator itu dalam keadaan rusak.”
2. Kemudian Harun melanjutkan khayalannya lagi dengan mengatakan,
“Rudy mungkin akan mengatakan bahwa saya akan menghabiskan tinta
printer ketika meminjam printer.” Dan kemudian Harun menjawab pula
dan seterusnya, dan seterusnya. Akhirnya, sewaktu Harun sampai ke
11

rumah Rudy, ia melihat Rudy sedang duduk di depan. Dan Rudy


kemudian menyapa Harun: “Tumben, malam-malam datang kemari, apa
ada yang bisa kubantu?” Kontan Harun menjawab dengan, “bilang saja
kalau nggak mau pinjamkan printermu!”
Cerita di atas dapat interpretasi sebagai berikut :
Sewaktu Harun ingin meminjam sesuatu, ia teringat suatu pengalaman yang
cukup mengecewakan, karena ditolak waktu meminjam, hal itu juga diingat
(berdasarkan apa yang dipelajari dari orang tuanya dan saudara-saudaranya)
bahwa meminjam itu kurang baik. Pengalaman ini selalu mengganjal dalam hati,
dia merasa bahwa Rudy akan marah kepadanya, dan ia menunjukkan respon yang
agresif di dalam imajinasinya. Jadi proses ini dapat dikatakan bahwa, image
Harun terhadap Rudy mengalami apperceptive distortion karena adanya
pengalaman dengan saudaranya itu.
Bilamana kita memfokuskan masalah, maka fokusnya pada, mengapa Harun
tidak dapat menyadari, bahwa sebenarnya realita telah membuktikan
ketidakbenaran konsep pikirannya yang semacam itu. Tetapi senyatanyalah
bahwa berdasarkan fakta-fakta empiris, tingkah laku neurotik tidak dapat secara
mudah berubah tanpa melalui suatu psikoterapi. Kasus Harun berbeda dengan
kasus paranoid (homoseksual) dalam masalah taraf kesubjektifan dan keabsurdan
distorsi yang terjadi (apperceptive distortion). Perbedaan itu nampak di dalam
taraf-taraf sebagai berikut :
1. Kekakuan di dalam mengalamatkan proyeksi
2. Sering tanpa disadari, terjadinya proyeksi semacam itu (kasus paranoid
lebih jarang ketimbang kasus Harun yang merupakan kejadian sehari-
hari)
3. Keeksklusifan proyeksi tersebut
4. Peran kesadaran di dalam proses proyeksi tersebut.
Pada kasus lain, misalnya :
 Ada seorang mahasiswa yang belum mengumpulkan tugas, karena
kesibukannya yang relatif banyak dan membutuhkan perhatian ektra.
Ketika tenggat waktu yang diberikan telah berkahir, ia merasa (perasaan
12

yang tidak benar) bahwa dosennnya seolah-olah kelihatan marah


kepadanya ketika belum mengumpulkan tugas. Perasaan yang muncul dari
diri mahasiswa itu, dinamakan a guilty conscience (rasa bersalah di dalam
konsiensia). Perasaan itu akan selalu timbul bila, ia tidak menyelesaikan
tugas secepatnya kemudian bertemu dengan dosennya dan menjelaskan
mengapa kejadian—terlambat mengumpulkan tugas terjadi. Perasaan itu
dapat muncul lagi, bilamana dia melakukan hal yang sama. Meskipun
dosennya sebenarnya tidak seperti yang dia rasakan.
Rasa bersalah yang dirasakan oleh mahasiswa sebenarnya refleksi dari
perilaku dosen yang seolah-olah memarahinya ketika belum mengumpulkan tugas
sesuai dengan batas waktu. Namun sebenarnya perilaku yang ditunjukan mungkin
akibat kekesalan pada sesuatu kemudian diekspresikan saat itu. Perilaku
mahasiswa tersebut dapat kita katakan sebagai suatu simple distortion, yang
diakibatkan adanya transfer of learning, atau image masa lalu mempengaruhi
tingkah laku yang sekarang.

C. Sensitization
Di dalam kasus mahasiswa yang terlambat mengumpulkan tugas, dapat dilihat
sebagai suatu fenomena baru, dimana ada beberapa subjek yang sama sekali acuh
dan tidak memberikan reaksi apa-apa, tetapi ada pula subjek-subjek yang sangat
memperhatikan dan menunjukkan reaksinya terhadap kemarahan tersebut.
Subjek-subjek yang sangat memperhatikan dan merasakan kemarahan dosen
walaupun pada saat itu, secara objektif, stimulus kemarahan kepada mahasiswa
tidak ada. Proses ini secara klinis disebut : sensitivity of neurotics (kesensitifan
yang neurotis). Jika kita lihat dari segi ketiadaan persepsi yang objektif, maka
proses tersebut dapat kita katakan sebagai a more sentitive perception of existing
stimuli (suatu persepsi yang memiliki kesensitifan melebihi keadaan
stimulusnya).
Hipotesis sensitization adalah bahwa suatu objek yang sesuai dengan pola-
pola tingkah laku yang pernah dilakukan akan lebih mudah diterima daripada
objek-objek yang tidak sesuai dengan pola-pola tingkah laku yang pernah
13

dilakukannya. Sebagai contoh, misalnya; Di dalam masalah persepsi membaca,


kata-kata yang pernah dipelajari akan lebih mudah diterima pola-polanya
daripada ejaan-ejaannya. Eksperimen yang dilakukan Levine, Chein dan Murphy,
mengenai sensitization ini, menunjukkan sebagai berikut :
 Menggunakan sejumlah subjek yang sudah dilaparkan, dan kepada mereka
di perlihatkan sejumlah gambar, di antaranya terdapat gambar makanan.
Dari hasil eksperimen tersebut ternyata :
 Dalam keadaan lapar, subjek-subjek melihat gambar makanan di dalam
kartu-kartu yang disajikan, meskipun kartu tersebut tidak terdapat gambar
makanan. Subjek-subjek tersebut akan lebih sering menunjukkan
ketepatannya di dalam melihat gambar-gambar makanan yang disajikan
beberapa kali.
Berdasarkan eksperimen tersebut menunjukkan bahwa di dalam keadaan
deprivasi (lapar) timbulah suatu peningkatan efisiensi kognitif di dalam ego
sewaktu menalari objek yang dilihatnya, sehingga dapat mengakibatkan
meredakan deprivasi tersebut, dan proses ini juga merupakan suatu kompensasi di
dalam fantasi untuk mengatasi adanya wishfulfillment, dan disebut : autistic
perception. Proses ini dapat pula kita terapkan di dalam konsep sensitization,
bilamana image tentang makanan itu timbul akibat deprivasi, maka stimulus itu
lebih mudah diterima. Prinsip yang sama, terdapat pula pada eksperimen Bruner
dan Postman, sebagai berikut:
1. Menggunakan beberapa subjek yang diminta untuk mencocokkan ukuran
bulatan dari sinar yang dapat diubah-ubah dengan suatu benda bulat yang
dipegangnya.
2. Subjek-subjek tersebut berada dalam beberapa taraf keadaan shock
(merupakan variasi keadaan yang dapat diubah-ubah), dan diminta untuk
mencocokkan sinar bulat dengan benda bulat yang dipegangnya itu.
3. Selama dalam keadaan shock, ternyata variasi penilaian perseptual sangat
kecil, sedangkan dalam keadaan biasa (post shock) terjadi deviasi yang
besar.
Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, kedua ahli itu mengemukakan teori
14

kewaspadaan yang selektif (Theory of Selective Vigilence), dimana dijelaskan,


bahwa organisme akan melakukan diskriminasi yang lebih akurat bila berada
dalam kondisi yang tertekan (stress). Tetapi bila kondisi stress telah mereda,
muncullah keekspansivan (melebih-lebihkan suatu penilaian), sehingga akan
membuat error yang lebih banyak.
Sebagai hipotesisnya dikemukakan :
Ketegangan (akibat kondisi stress) akan mengakibatkan adanya peningkatan
kesadaran terhadap image di dalam ingatan, dan mengakibatkan pula timbulnya
penilaian yang lebih akurat di dalam mempersamakan ukuran antara percept-
memory benda yang pernah dipegangnya dengan bulatan dari sinar yang sedang
dilihatnya.

D. Externalization
Inverted projection, simple projection dan sensitization adalah merupakan
proses-proses yang terjadinya tidak disadari individu yang bersangkutan, dan
sukar untuk dapat menyadarkan individu terhadap proses yang terjadi pada
dirinya itu. Tetapi sebaliknya, ada proses-proses tertentu yang sering dijumpai
oleh ahli-ahli klinis, yang berbeda dengan proses-proses yang disebutkan di atas.
Proses-proses ini sering dijumpai pada subjek-subjek yang menceritakan suatu
gambar pada kartu TAT, misalnya :
 Ini adalah gambar seorang ibu yang sedang melihat ke dalam kamar untuk
memastikan apakah anaknya sudah selesai mengerjakan pekerjaan
rumahnya. Dan kemudian ia nampak sedang menegur anaknya karena
belum selesai mengerjakan pekerjaan rumah itu.
 Ketika proses inquiry (pemeriksaan), subjek tersebut secara spontan
mengatakan; Saya merasa bahwa kejadian di dalam gambar ini persis
seperti apa yang pernah saya alami, yaitu antara saya dan ibu saya,
walaupun saya tidak merealisir hal itu di dalam cerita yang saya
kemukakan tadi.
Di dalam ulasan psikoanalitik, dikatakan bahwa proses mengemukakan cerita
tersebut berasal dari daerah pra-sadar (preconscious), dimana subjek tidak
15

menyadari apa yang diceritakan (pada mulanya), tetapi hal itu mudah untuk
disadarkan atau dibawa ke alam sadar (melalui inquiry). Fenomena semacam itu,
disebut eksternalisasi (externalization), yaitu bahwa represi terhadap pola image
yang membentuk suatu efek yang terorganisir akan mudah untuk dimunculkan
kembali.

E. Persepsi kognitif murni dan aspek-aspek lain di dalam hubungan


stimulus-respon)
Pure perception (persepsi murni) adalah merupakan suatu proses hipotesis
yang merupakan lawan dari proses apperceptive distortion, dan secara
operasional subjektif dapat kita definisikan sebagai kesepakatan di dalam
memberikan arti terhadap suatu stimulus apabila diadakan komparasi dengan
interpretasi-interpretasi lain terhadap stimulus tersebut, (singkatnya) adalah
kesepakatan di dalam menginterpretasikan stimulus yang sama. Secara lebih luas
dapat dikatakan bahwa tingkah laku yang umumnya rasional dan sesuai dengan
stimulus-stimulus yang ada, merupakan tingkah laku yang adaptif (adaptive
behavior). Di dalam eksperimen-eksperimen Bellak, dikemukakan bahwa subjek
lebih sering memproyeksikan agresinya terhadap cerita-cerita yang mengandung
unsur agresi, walaupun di dalam keadaan biasa, misalnya : Gambar-gambar yang
menunjukkan suatu keadaan yang kacau (huddle) dan sebuah pistol, akan lebih
mudah mengarahkan munculnya cerita-cerita agresi, daripada bila gambar itu
menunjukkan suatu pemandangan alam yang permai.
Di dalam ulasan psikologis, dikatakan bahwa respon tersebut merupakan
sebagian dari fungsi stimulusnya (the response in part a function of the stimulus).
Di dalam ulasan apperceptive psychology dikatakan bahwa kebanyakan subjek
akan sepakat (agreement) di dalam mengemukakan dasar-dasar persepsinya
terhadap suatu stimulus, dan kesepakatan itu berdasarkan keadaan subjektif
stimulus tersebut. Oleh Gordon W. Allport tindakan-tindakan yang konsisten
dengan aspek-aspek objektif dari stimulusnya seperti yang dikemukakan di atas
tadi, disebut adaptive behavior. Sebagai contoh, misalnya :
Pada kartu nomor 1 TAT subjek mengadaptasikan dirinya terhadap fakta
16

gambar yang menunjukkan sebuah biola. Ada beberapa prinsip dari adaptive
behavior, yaitu :
1. Taraf variasi adaptive behavior berbanding terbalik dengan taraf kejelasan
stimulusnya. Atau dapat dikatakan, semakin jelas stimulusnya semakin
kecil variasi adaptive behaviornya, ataupun, semakin kabur stimulusnya,
semakin besar variasi adaptive behavioraya. Misalnya :
a. Gambar-gambar pada TAT dan bercak-bercak tinta pada Tes
Rorshach, merupakan stimulus yang relatif kabur (tidak berstruktur),
akan merangsang timbulnya sedemikian banyak respon-respon
apperceptive distortion (variasi adaptive behaviornya sedemikian
besar)
b. Sebaliknya, salah satu gambar pada Tes Staford Binet, yaitu gambar
suatu perkelahian antara seorang kulit putih dan orang-orang Indian,
akan merangsang timbulnya respon yang sama pada kebanyakan
subjek anak-anak umur 10-12 tahun (variasi adaptive behaviornya
sangat kecil).
2. Taraf kejelasan adaptasi (adaptive behaviornya) juga ditentukan oleh
aufgäbe atau set (tugas yang diberikan atau respon yang harus dilakukan).
Akan lebih mudah bagi subjek bila diminta untuk menyebutkan gambar
apa, ketimbang bila subjek diminta untuk menceritakan isi gambar
tersebut, karena bila subjek mengemukakan cerita tentang gambar
tersebut, subjek cenderung kurang memperhatikan aspek-aspek objektif
dari stimulusnya.
3. Kondisi organisme sewaktu menerima stimulus, juga memperhatikan rasio
adaptive behavior-nya, misalnya : Di dalam eksperimen Lavine, Chain
dan Murphy mengenai sensitization dapat kita lihat bahwa subjek-subjek
menunjukkan apperceptive distortion yang berbeda- beda tarafnya.
Bahkan seorang subjek yang sama, akan memberikan reaksi yang
berbeda-beda pada waktu baru bangun dari tidurnya dan pada waktu
sudah lama terjaga.
Selanjutnya Allport juga mengemukakan istilah expressive behavior.
17

Expressive behavior ini dapat dilihat dari contoh di bawah ini : Jika beberapa
seniman (artis diminta untuk tampil di dalam kondisi yang sama, tidaklah dapat
diharapkan bahwa mereka akan menunjukkan penampilan kreatif yang sama.
Ketidaksamaan penampilan tersebut disebabkan adanya individual differences di
dalam mengekspresikan penampilan masing-masing. Dalam hal ini karakter
pribadi (personal characteristics) setiap individu akan lebih menentukan
expressive behaviornya (dibanding dengan kondisi stimulusnya). Jadi dapat
disimpulkan, bahwa adaptasi (adaptive behavior) dan apperceptive distortion
terlihat dari apa yang dilakukan seseorang, sedangkan expressive behavior terlihat
dari bagaimana seseorang melakukan sesuatu.

2.3. A Theory of Projective Psychology


Psikologi proyektif adalah nama yang mungkin diberikan untuk sudut pandang yang
semakin sistematis berkembang dalam psikologi kontemporer. Istilah ini mengacu pada asumsi,
hipotesis, dan proposisi yang kurang lebih umum, yang meskipun belum menikmati formalisasi,
menemukan ekspresi khusus mereka di tangan dokter yang menggunakan metode proyektif dari
satu jenis atau lainnya dalam penelitian dan diagnosis kepribadian. Matriks konseptual dari sudut
pandang proyektif dalam psikologi terdiri dari sejumlah konsep tentang kepribadian yang
implisit dan eksplisit, serta sejumlah konsepsi tentang sifat dan tugas sains secara umum, dan
saya menganggapnya tidak mungkin. Tahap perumusan bahwa konsensus akan dicapai pada
semua masalah teoretis utama oleh mereka yang merasa berkomitmen, atau diidentifikasi
dengan, penggunaan metode proyektif dalam studi, diagnosis, atau terapi kepribadian.
Struktur ilmu baru psikologi proyektif, yang hanya cerita pertama telah didirikan,
bersandar, di atas dasar konsep umum yang agak aman, kepentingan teoretis, dan aplikasi luas
yang telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir terutama dalam ilmu perilaku. Namun,
pemeriksaan terhadap pergerakan gagasan dalam ilmu-ilmu tertentu lainnya, terutama biologi
dan fisika, akan menunjukkan bahwa sudut pandang yang serupa dan pendekatan yang serupa
terhadap pokok bahasan ilmu-ilmu ini mulai menampakkan diri.

2.3.1 Asal-Usul Psikologi Proyektif


Sebagai psikologi protes, ia secara khusus merupakan anak dari adegan psikologis
18

kontemporer. Dari sudut pandang metodologis dan konseptual, psikologi proyektif dapat
dianggap mewakili pemberontakan yang kuat terhadap banyak arus utama psikologi
akademik, yang sebenarnya sangat berhutang budi. Sudut pandang proyektif dalam
psikologi sangat berlawanan dengan tradisi behaviorisme Amerika, yang masih memenuhi
begitu banyak psikologi akademis kontemporer. Memang benar bahwa kita hidup dan
bekerja di masa banyak behaviorisme yang canggih dan dimodifikasi-molar dan
molekuler, logis dan operasional-sehingga menjadi sulit untuk menyatakan secara tepat
apa yang kita maksud dengan tradisi behaviorisme dalam psikologi akademis Amerika.
Mengatakan bahwa psikologi proyektif menekankan pada analisis kepribadian yang
dinamis dan fungsional berarti menyarankan bahwa hal itu tidak berkaitan dengan bagian-
bagian kecil dari perilaku tetapi lebih pada teknik-teknik yang penting dan lebih kompleks
dengan cara yang mana individu berusaha untuk mengatur pengalamannya dengan fisik
dan lingkungan sosial dan mengaturnya sesuai dengan kebutuhan uniknya sendiri.
Psikologi proyektif tertarik pada penyelidikan sehubungan dengan peran semua fungsi dan
proses psikologis yang beroperasi dalam konteks kepribadian total. Oleh karena itu, sudut
pandang proyektif menggunakan pandangan holistik di mana matriks seluruh kepribadian
dan harus dipahami dalam hubungannya dengan semua ekspresi perilaku individu lainnya.
Produksi proyektif jika individu-individu sebelumnya dianggap hanya sebagai bagian dari
keseluruhan. Pendekatan terhadap studi dan diagnosis kepribadian ini, bahkan lebih
daripada batasan spesifik dari beberapa tes proyektif, yang harus bertanggung jawab atas
kebutuhan kita untuk menggunakan berbagai metode proyektif, serta teknik non-proyektif,
dalam penilaian. dan diagnisus jika berkepribadian tunggal. Dan bahkan ketika banyak
data perilaku telah dihasilkan dari upaya keras kami untuk memahami keseluruhan proses
kepribadian, psikologi proyektif menyatakan bahwa, paling banyak, kami hanya mencapai
penampang waktu-Gestalt yang merupakan proses kepribadian.
Unsur-unsur dinamis, fungsional, dan holistik dalam psikologi proyektif dapat
ditelusuri dengan mudah ke perkembangan sejarah tertentu dalam ilmu perilaku. Pertama,
dan yang paling penting, adalah pengembangan dan elaborasi proposisi psikoanalisis
dengan desakan mereka pada karakter motivasi dari semua perilaku dan dedikasi mereka
pada pandangan kepribadian historis (genetik) dan longitudinal. Di pasar ide dan konsepsi
psikologis saat ini, pemikiran psikoanalitik, tentu saja, menikmati mata uang yang luas;
19

dan telah diketahui dengan baik bahwa banyak dari konsep dan proposisinya telah
menyerang bahkan retret psikologi akademis yang secara tradisional kuat. Perkembangan
historis kedua yang sangat penting bagi psikologi proyektif, yang sebagian besar telah
diilhami oleh temuan eksperimental dan oleh karena itu, bagi sebagian besar psikolog
Amerika, bersandar pada fondasi yang lebih aman dan terhormat yang disediakan oleh
kekayaan data klinis saja, adalah psikologi Gestalt.
Dalam sejumlah cara yang signifikan, seperti yang telah ditunjukkan Brown,
pandangan psikoanalisis dan psikologi Gestalt mewakili banyak poin kesepakatan penting,
sehingga penggabungan mereka ke dalam ilmu psikologi proyektif yang berkembang telah
dicapai dengan kebingungan konseptual yang minimal. Dalam dua teori psikologi kita
dapat melihat bidang-bidang penting berikut dari kesepakatan yang agak mendasar yang
menjadi signifikan bagi psikologi proyektif:
1. Ada kesepakatan yang erat secara umum antara kedua teori sehubungan dengan
struktur dan perkembangan kepribadian. Diri multi-struktur Freud pada dasarnya
tidak berbeda secara konseptual dari pembagian manusia menurut Lewin ke
dalam wilayah-wilayah. Pertukaran dinamis dan ekonomi yang dipostulasikan
terjadi sehubungan dengan id, ego, dan superego dalam psikoanalisis menemukan
ekspresi paralel dalam sistem Lewin jika hambatan dan kelas gerakan
melintasinya.
2. Psikologi Gestalt dirayakan karena desakannya pada keutuhan atau totalitas
organisme, dan karena gagasannya bahwa keutuhan menikmati prioritas di atas
bagian. Secara organisme, psikologi Gestalt menganggap individu sebagai sistem
yang mengatur diri sendiri. Menurut sudut pandang Gestalt, perubahan dan
modifikasi organisme dicapai sesuai dengan hukum ekonomi. Pendekatan
psikoanalisis terhadap masalah dan proposisi serupa pada dasarnya sama dan kita
dapat melihat sedikit konflik.
3. Psikoanalisis mendalilkan hubungan kerja yang esensial dan intim antara
mekanisme psikologis dan dinamisme yang berfungsi dalam individu dan budaya
dan lingkungan sosioantropologis di mana ia selalu menjadi bagiannya.
Penerapan prinsip-prinsip topologi J. F. Brown pada psikologi sosial, dan
kontribusi mengesankan dari Lewin dan rekan kerjanya dalam tindakan penelitian
20

dan bidang terkait selama dekade terakhir, menunjukkan kesamaan pandangan.


4. Baik psikologi Gestalt maupun psikoanalisis menggunakan sejumlah besar
konstruksi yang diturunkan secara independen yang dapat digunakan oleh para
pendukungnya sebagai alat interpretatif yang kuat dalam deskripsi kepribadian.
Studi terbaru dalam metodologi ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa metode
hipotetis-deduktif kemungkinan menjadi prosedur yang paling bermanfaat untuk
kemajuan ilmiah. Metode ini, dalam semua variasinya, mendorong
pengembangan dan penggunaan konstruksi yang diturunkan secara operasional
yang mirip dengan konsep orang, vektor, valensi, dimensi realitas, dan sejenisnya
dalam psikologi Gestalt, dan dengan konsep ego, libido, dan konstruksi serupa
yang digunakan dalam pemikiran psikoanalitik.
5. Keyakinan pada determinisme psikis dan keseragaman dan kontinuitas sifat
psikologis umum untuk psikologi Gestalt dan psikoanalisis. Setiap posisi teoretis
menyatakan bahwa semua fenomena psikis memiliki penyebab dan makna serta
fungsi ekonomi sehubungan dengan psikobiologi seluruh organisme.
6. Analisis isi dari catatan tes proyektif, di sisi lain, sebagian besar diilhami oleh
asumsi psikoanalitik bahwa data tes proyektif cocok untuk jenis interpretasi
simbolis yang pada dasarnya berbeda dari, dan seringkali lebih berguna daripada,
pertimbangan protokol dilihat dari sifat strukturalnya.
7.
2.3.2. Tren Konseptual Saat Ini dalam Psikologi Proyektif
Jika kita melihat tubuh hipotesis dan proposisi yang menjadi ciri sudut pandang
proyektif pada saat ini, adalah mungkin bagi kita untuk melihat sejumlah tren dalam
konseptualisasi yang dapat dianggap sebagai rambu-rambu penting di sepanjang jalan
menuju kebenaran sejati. ilmu psikologi proyektif. Beberapa rambu-rambu ini dapat
dikatakan membentuk iklim gagasan yang eksplisit di mana tes proyektif dan prinsip-
prinsip psikologis proyektif menemukan ekspresi dalam pekerjaan sehari-hari dokter. Saat
kita meninjau jumlah yang relatif kecil dari tren konseptual yang sebenarnya eksplisit
daripada implisit pada saat ini, kita dapat dengan mudah menghargai bahwa lebih banyak
upaya telah dicurahkan untuk pengembangan dan penerapan tes proyektif daripada upaya
yang hati-hati dan menyeluruh. untuk membentuk teori psikologi proyektif, yang sangat
21

dibutuhkan. Kita dapat melihat tren signifikan berikut dalam konseptualisasi perilaku dan
kepribadian dalam psikologi proyektif:
1. Kepribadian semakin dipandang sebagai suatu proses daripada sebagai kumpulan
atau agregasi dari sifat-sifat yang relatif statis yang digunakan oleh individu
dalam menanggapi rangsangan.
2. Kepribadian yang dipelajari melalui prosedur proyektif dianggap sebagai proses
yang terus-menerus dipengaruhi oleh interaksi individu dengan lingkungan fisik
dan sosialnya, di satu sisi, dan oleh keadaan dan intensitas kebutuhannya, di sisi
lain.
3. Ada kecenderungan yang meningkat dalam psikologi proyektif untuk
mengandalkan teori medan sebagai kerangka acuan yang memadai untuk
menyusun data perilaku proyektif.
4. Di bawah pengaruh pemikiran psikoanalitik, ada 8 "Teori medan" dalam
psikologi yang pada dasarnya mengacu pada konteks saat ini pada konsep sistem
variabel yang saling bergantung. Perilaku organisme dianggap setiap saat dalam
sejarah hidupnya sebagai resultan dari totalitas semua variabel yang relevan yang
beroperasi baik di dalam lapangan maupun di dalam organisme.
5. Ada peningkatan minat dalam perumusan gambaran tentang "kepribadian secara
keseluruhan."
6. Ada kecenderungan yang nyata ke arah membangun skema konseptual dalam hal
formulasi yang memadai dari kepribadian yang berbeda dapat dibuat untuk tujuan
klinis.

2.3.3. Sifat dan Peran Persepsi


Karena semua metode proyektif, dalam satu atau lain cara, bergantung pada
pengoperasian mekanisme persepsi individu, penting bagi psikologi proyektif untuk
mencapai semacam kesepakatan tentatif mengenai sifat dan fungsi persepsi. Saya telah
menyarankan bahwa sudut pandang pelindung sangat berhutang budi tidak hanya untuk
psikologi Gestalt, upaya eksperimental utama yang telah diarahkan untuk mempelajari
proses persepsi dan peran mereka dalam mengatur perilaku organisme, tetapi juga untuk
tubuh utama. psikologi eksperimental umum, dan yang penting bagi banyak karya
22

eksperimental baru-baru ini dan signifikan dalam psikologi sosial. Beberapa serangan
konvergen terhadap masalah persepsi ini memungkinkan tahap awal pengembangan teori
dasar persepsi yang seharusnya terbukti sangat berguna dalam psikologi pro aktif.
Dalam hal kumpulan bukti yang mengesankan, yang tidak perlu dikutip di sini, kita
dapat berasumsi bahwa selektivitas umum yang ditemukan dalam semua tindakan persepsi
individu disebabkan oleh, atau lebih tepatnya adalah fungsi dari, faktor persepsi internal
dan eksternal tertentu. yang beroperasi dengan cara yang halal. Hampir sejak awal,
psikologi Gestalt telah mengarahkan perhatian eksperimental utamanya pada penyelidikan
dan penemuan hukum yang mengatur faktor eksternal dalam persepsi.
Dari bertahun-tahun bekerja di bidang ini, banyak eksperimen data dan sejumlah
kesimpulan yang didukung dan stabil dari generalisasi yang luas telah dihasilkan. Baru-
baru ini, karena kebutuhan yang semakin mendesak untuk memahami cara individu
memandang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan dunia nyata, Rogers dan orang lain
yang mengasosiasikan diri dengan sudut pandang nondirektifnya telah memulai
penyelidikan tentang apa yang mereka sebut sebagai "kerangka referensi internal"
individu. Untuk sejumlah rekan kerja Rogers kerangka acuan internal dapat dianggap
dalam istilah konsep diri, yang saat ini menikmati perhatian teoretis dan eksperimental.
Bukti eksperimental untuk keunggulan faktor internal atas eksternal dalam persepsi,
di bawah kondisi di laboratorium di mana bidang stimulus telah dibuat kabur dan ambigu,
dapat ditemukan dalam karya eksperimental berkelanjutan Bruner dan rekan-rekannya di
Harvard. Bruner dan Goodman, misalnya, telah mempelajari peran kebutuhan dan nilai
sebagai faktor dalam distorsi persepsi, mengembangkan tiga hipotesis empiris untuk diuji:
1. Semakin besar nilai sosial suatu objek, semakin dapat dicurigai organisasi oleh
determinan perilaku. Ia akan dipilih secara perseptual dari antara objek-objek
perseptual alternatif, akan menjadi terfiksasi sebagai kecenderungan respons
perseptual, dan akan menjadi aksentuasi perseptual.
2. Semakin besar kebutuhan individu akan suatu objek yang dihargai secara sosial,
semakin jelas akan bekerjanya determinan-determinan perilaku.
3. Ketidakjelasan persepsi 'akan memfasilitasi operasi determinan perilaku hanya
sejauh samar-samar mengurangi operasi determinan asli 'tanpa mengurangi
efektivitas determinan perilaku.
23

Eksperimen mereka berguna untuk menunjukkan dengan jelas bahwa kebutuhan dan
nilai sebenarnya mengatur faktor-faktor dalam persepsi; dan Bruner dan Goodman
menawarkan bukti yang menunjukkan bahwa ketiga hipotesis mereka dapat dipertahankan
secara eksperimental. Levine, Chein, dan Murphy, yang sebelumnya telah mempelajari
hubungan antara intensitas kebutuhan, dalam hal ini rasa lapar, dan jumlah distorsi persepsi
yang dihasilkan darinya, telah menawarkan data yang sebagian besar sesuai dengan temuan
Bruner dan Orang baik. Selain dua penelitian ini, yang telah menyerang peran faktor
subjektif dalam persepsi dari sudut pandang yang agak berbeda, ada sejumlah penelitian
lain, di mana penelitian Dembo dan Sliosberg mewakili, menyajikan bukti sehubungan
dengan kondisi dan proses dinamis individu yang memengaruhi sifat tindakan persepsinya.
Sebagai hasil dari kumpulan bukti yang telah ditetapkan, dan implikasi teoretisnya,
kita dapat melihat persepsi sebagai proses aktif dan bertujuan yang melibatkan seluruh
organisme dalam kaitannya dengan bidangnya. Menurut sifatnya, aktivitas persepsi
memiliki akar yang meluas ke dalam keseluruhan matriks pengalaman masa lalu individu,
dan aktivitas persepsi individu menjangkau untuk membentuk orientasinya ke masa depan.
Tidak hanya semua proses persepsi, oleh karena itu, terkait erat dengan pengalaman masa
lalu individu yang terpisah dan terpisah yang telah menjadi terorganisir secara perilaku
untuk memberikan makna dan kesatuan tertentu baginya di masa sekarang, tetapi mereka
juga sangat terikat dengan antisipasinya terhadap masa depan, terutama masa depan yang
dekat, yang mungkin dianggap semacam refleksi. Ada bukti yang menunjukkan bahwa
sebagai hasil dari aktivitas persepsi masa lalunya, individu cenderung membangun atau
memperoleh rasa kepastian sehubungan dengan konsekuensi dari pengalaman persepsinya
saat ini. Persepsi yang di masa lalu telah divalidasi oleh pengalaman-pengalaman
selanjutnya ternyata cenderung menjadi terfiksasi sebagai kecenderungan respons
perseptual dan cenderung mengarah pada perasaan nyaman atau aman. Persepsi yang
belum menikmati validasi perilaku selanjutnya cenderung mengarah pada keadaan tegang
dan dialami sebagai kegelisahan atau kecemasan.

2.3.4. Beberapa Postulat Tentang Kepribadian


Dengan latar belakang sterilitas relatif dari banyak psikologi akademis saat ini, kita
dapat melihat kecenderungan yang meningkat bagi psikolog Amerika untuk mencari jalan
24

keluar melalui studi kepribadian yang lebih intensif dan serius. Adalah penting bahwa
dalam dua dekade terakhir literatur psikologi kepribadian telah berkembang ke dimensi
yang sangat besar. Ini sebagian dari ketidakpuasan yang tumbuh dengan kemajuan ilmu
laboratorium dan sebagian dari keprihatinan realistis untuk kontribusi potensial yang dapat
dibuat oleh ilmu psikologi di zaman krisis. Seperti yang disarankan Rosenzweig, dalam
beberapa tahun terakhir telah terjadi konvergensi bertahap pandangan teoretis mengenai
sifat kepribadian.
Kita dapat melihat formulasi tentatif ini sebagai contoh dari beberapa demoninator
yang paling tidak umum yang tampaknya melayani, sekarang dalam satu cara dan sekarang
dengan cara lain, sebagai asumsi kerja dari sejumlah besar dokter yang bersekutu dengan
sudut pandang proyektif. Konsepsi kepribadian yang saya rumuskan secara tentatif di sini
harus dilihat hanya sebagai hipotesis, yang fungsinya adalah untuk memandu dan
menginspirasi pertanyaan tentang kepribadian dalam psikologi proyektif. Satu-satunya
sanksi yang mungkin dimiliki beberapa hipotesis ini pada saat ini adalah bahwa hipotesis
tersebut membantu psikolog proyektif untuk mengurutkan data yang diperoleh dari
penerapan tes proyektif ke dalam pola yang bermakna yang mungkin terbukti berguna
baginya dalam menafsirkan perilaku proyektif.
Beberapa postulat tentang sifat kepribadian yang tampak berguna dalam psikologi
proyektif dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Kepribadian adalah suatu sistem yang berfungsi dalam diri individu sebagai
organisasi antara stimulus dan respon yang berusaha direlatifkan. Postulat ini
menekankan sifat kondisional dan relatif dari suatu stimulus dan menyarankan
bahwa stimulus apa pun efektif dalam membangkitkan respons hanya sejauh hal
itu terkait dengan organisme yang berfungsi. Stimulus memperoleh kapasitas
untuk menjadi terkait dengan organisme yang berfungsi melalui pembelajaran
organisme itu.
2. Kepribadian sebagai organisasi bersifat dinamis dan motivasional. Kapasitasnya
untuk memilih dan menginterpretasikan rangsangan, di satu sisi, dan untuk
mengontrol dan memfiksasi respons, di sisi lain, adalah ukuran integritas dan
kesatuannya sebagai sistem yang berfungsi. Postulat ini dapat dianggap sebagai
landasan pandangan Allport tentang kepribadian, dan penerimaannya oleh
25

psikolog proyektif melibatkan penurunan tahta virtual dari stimulus dan


'pengenalan yang kuat tentang kepribadian sebagai satu set "variabel intervensi"
dan relativisasi sistem ke dalam formula foeavioristik lama, S R. "Keabsahan"
dari perilaku masa lalu hilang, dan orang tersebut harus tunduk Pada rumusan
Sullivan, "kelambanan selektif" adalah teknik yang digunakan oleh sistem diri
untuk mengontrol jumlah kecemasan yang dialami. Sullivan menganggap proses
ini terjadi di luar kesadaran, tetapi akan membawa kita terlalu jauh untuk
menunjukkan dengan cara apa konsepsinya tentang distorsi parataksis, yang
penting dalam konteks ini, terkait dengan proses kurangnya perhatian selektif.
3. Kepribadian adalah konfigurasi. Kepribadian terdiri dari berbagai macam fungsi
dan proses psikologis, dan kami berasumsi bahwa pembentukan kepribadian
mengikuti hukum psikologi Gestalt yang berlaku untuk pengembangan
konfigurasi lainnya.
4. Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian bertumpu pada diferensiasi dan
integrasi. Postulat ini menegaskan bahwa pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian bergantung pada dua proses mendasar, pembelajaran dan pematangan.
Pembelajaran dan pematangan secara bersama-sama bertanggung jawab untuk
diferensiasi dan integrasi, yang mencirikan proses kepribadian dalam berbagai
cara pada tahap yang berbeda dalam perjalanan temporalnya.
5. Kepribadian dalam pertumbuhan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Dari faktor lingkungan, faktor budaya adalah yang paling
penting. Postulat ini tidak menyangkal peran dan signifikansi faktor keturunan
sebagai penentu kepribadian, tetapi menekankan proposisi bahwa faktor penentu
lingkungan kepribadian sangat berpengaruh dalam memungkinkan individu untuk
mengatur pengalamannya yang terpisah dan untuk mengatur perilakunya ke arah
yang lebih memadai. kepuasan kebutuhan uniknya.
Lima postulat tentang sifat kepribadian ini, saya percaya, berguna dalam psikologi
proyektif karena dapat digunakan sebagai kerangka acuan untuk berpikir tentang
kepribadian. Mereka bahkan mungkin berguna dalam membantu dokter untuk memesan
produksi proaktif dari subyeknya sedemikian rupa sehingga data proyektif mungkin
memiliki lebih banyak makna. Jelas bahwa penerimaan bahkan beberapa hipotesis tentang
26

sifat kepribadian mengharuskan psikolog proyektif menggunakan berbagai macam


prosedur, baik proyektif maupun nonproyektif, dalam mengeksplorasi kekayaan
kepribadian.
Memang benar bahwa sejumlah rumusan teoretis tentang kepribadian, yang mungkin
paling komprehensif dari Murray, telah ditawarkan. Semua teori kepribadian ini memiliki
kesamaan, bagaimanapun, fakta bahwa mereka tidak diterima secara luas di antara mereka
yang bekerja dalam kerangka proyektif. Sebuah teori kepribadian sangat dibutuhkan oleh
dokter yang bekerja dengan tes proyektif, dan pengalaman mereka sehari-hari harus
menawarkan kesempatan untuk menguji nilainya saat mereka memesan data proyektif
mereka untuk itu. Teori semacam itu dibenarkan bukan hanya karena kita memerlukan
keteraturan, tetapi lebih karena teori itu dapat merangsang dan memandu serangkaian
eksperimen penting yang mungkin memiliki fungsi utama yaitu mengembangkan
perspektif dan konsepsi yang sama sekali baru tentang kepribadian.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Alat intelektual dan konsep ilmu psikologi terdiri dari banyak definisi, perbedaan, dan
konstruksi yang data psikologis dapat dipesan. Alat dan konsep intelektual ini, apa pun jenis
dan tingkat generalitasnya, mewakili kebiasaan berpikir para psikolog dengan cara yang
mereka anggap berguna dan bermanfaat untuk berpikir dan berbicara tentang fenomena
psikologis, klasifikasi yang mereka anggap membantu, konsep yang telah menunjukkan
keberhasilan mereka dalam konstruksi hipotesis dan model, dan bagian-bagian dari bahasa
matematika dan metode statistik yang telah menunjukkan nilai dalam pertanyaan psikologis.
Konsep proyeksi telah diperiksa kembali. Investigasi eksperimental saya sebelumnya
telah menunjukkan bahwa definisi proyeksi sebagai mekanisme pertahanan tidak memadai.
Sebaliknya, proyeksi ditunjukkan sebagai salah satu dari sejumlah proses "distorsi persepsi".
Distorsi aperseptif ini paling baik dilihat sebagai akibat pengaruh penataan ingatan apersepsi
masa lalu pada apersepsi sekarang. Dengan demikian, teori dinamis psikologi psikoanalitik
kepribadian dapat dilihat dari segi sejarah persepsi masa lalu (misalnya, tentang orang tua,
dll.) dan pengaruhnya terhadap penampilan individu di dunia kontemporer. Psikoanalisis
dapat dilihat sebagai teori pembelajaran yang diterapkan pada asal-usul ingatan persepsi dan
interaksi yang sah antara ingatan tersebut.
Psikologi proyektif adalah nama yang mungkin diberikan untuk sudut pandang yang
semakin sistematis berkembang dalam psikologi kontemporer. Istilah ini mengacu pada
asumsi, hipotesis, dan proposisi yang kurang lebih umum, yang meskipun belum menikmati
formalisasi, menemukan ekspresi khusus mereka di tangan dokter yang menggunakan
metode proyektif dari satu jenis atau lainnya dalam penelitian dan diagnosis kepribadian.
(Leopold, 1950)

27
DAFTAR PUSTAKA

Abt E. Lawrence & Bellak Leopold. (1950). Projective Psychology.

28

Anda mungkin juga menyukai