Anda di halaman 1dari 7

Laporan Hasil Diskusi Bahasa Indonesia

mengidentifikasi Cerpen
“Lilin yang Tak Pernah Padam”

1. Tahapan Alur
Alur merupakan jalan cerita atau rangkaian peristiwa. Adapun rangkaian
peristiwa Cerpen ini memiliki tahapan sbb :
1. Pengenalan situasi cerita (eksposition)
: Memperkenalkan tokoh aku didalam cerpen ini. Ia masih menyisakan beberapa
gerat-gerat perasaan yang masih jelas dirasakannya.
Pengenalan tersebut ialah berada pada paragraf 1 dan 2 :
Ada Sebuah lilin di hidupku
Jauh di dasar hati, di antara reruntuhan puing-puing bangunan peristiwa masa
lalu, masih tersisa beberapa gerat-gerat perasaan yang masih jelas kurasakan.
Aku tak berani menyisir kembali reruntuhan kenangan itu, karena gerat-gerat itu
mampu menimbulkan getaran yang dahsyat di dasar hati.
Kehidupan adalah sebuah lilin besar. Sumbunya adalah waktu yang
menghubungkan masa lalu dengan hari ini. Parafin yang membungkus sumbu itu
adalah hidup kita. Semakin banyak waktu yang berlalu, maka semakin tipis api
waktu akan memakan hidup kita.

2. Pengungkapan peristiwa (complication)


: Munculnya berbagai masalah pertentangan atau kesukaran-kesukaran bagi
para tokohnya.
Awal pengungkapan peristiwa tersebut ialah berada pada paragraf 3 – 5 :
A. Ada sebuah lilin di hatiku
Lilin itu dinyalakan oleh seseorang laki-laki. Laki-laki yang telah jauh sekali
kukenal. Waktu telah menghantarkan diriku untuk tidak lagi melihat laki-laki itu.
Nyala api yang pernah disulutnya kini tak pernah padam. Sekalipun, badai hatiku
tak mampu meniup nyala itu, hujan batinku tak mampu memadamkan
cahayanya. Hingga detik ini lilin itu tetap berdiri di hatiku dengan nyala kecil di
atas sumbunya.
“Simpanlah lilin ini di hatimu,” begitulah kata laki-laki yang memberikan lilin waktu
itu sambil mengegnggamkan sebuah lilin di tanganku.
Aku tahu maksud laki-laki yang memberikan lilin adalah agar aku menerima
cintanya, namun ia pasti sudah mempertimbangkan kemungkinan lain yang akan
terjadi. Kemungkinan lain itulah yang telah menjadi kenyataan baginya. Aku tak
bisa menerimanya karena kala itu aku masih terlalu muda untuk mebagi
perasaan dengan seorang laki-laki. Akupun patuh dengan kata-kata ayahku yang
melarang keras diriku untuk pacaran karena masih duduk di bangku SMP.
3. Menuju Konflik ( rising action)
: Terjadi peningkatan kehebohan dan keterlibatan berbagai situasi yang
menyebabkan kesulitan atau kesukaran tokoh. Adapun konflik tersebut berada
pada paragraf 6 – 18 :

Ketika aku hendak mengembalikan lilin yang diberikannya waktu itu, ia


menolaknya.
“Jika kau tak bisa menyimpan lilin itu di hatimu, biarkanlah lacimu yang
menyimpannya,” kata laki-laki yang memberiku lilin.
Anehnya aku tak bisa menolak menyimpan lilin itu. Apalah arti sebuah lilin,
begitu pikirku kala itu. Mungkin juga karena alasan lain, aku tak ingin
menyinggung perasaannya yang kedua kali, maka aku simpan saja lilin itu di laci
kamar.
Penolakan waktu itu ternyata tak pernah membuat jarak kami makin jauh.
Justru kami makin dekat. Kami makin sering bertemu. Saling bercanda, layaknya
kami adalah sepasang kekasih yang sedang dilanda sabuah badai asmara.
Dahsyat.
Suatu ketika lonceng berbunyi tiga kali, menandakan sekolah telah usai.
Pulang adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh semua teman-temanku,
termasuk diriku. Bersama tiga sahabat dekatku, kami keluar kelas bersama-
sama. Sungguh terkejut diriku ketika berada di tempat parkir. Aku melihat
sepedaku dihias dengan penuh bunga. Teman-temanku saling memandangiku.
Semua anak-anak yang berada di parkiran memerhatikanku juga. Dengan marah
aku membuang bunga-bunga itu.
Hingga sampai di rumah, aku masih penasaran tentang orang yang melakukan
itu pada sepedaku. Aku masih marah, tapi aku tak sendiri tak tahu siapa yang
harus kumarahi.
Esok harinya aku bertemu dengan laki-laki yang memberiku lilin. Ia datang
padaku sambil membawa sebuah lilin yang sama dengan sebelumnya.
“Bisakah kamu menaruh lilin ini di lacimu?” kata laki-laki yang memberiku lilin.
Anehnya lagi, aku bisa menerima lilin itu dengan tulus tanpa syarat. Laki-laki
itupun pergi begitu saja setelah memberikan aku lilin yang sama dengan
sebelumnya.
Dan hari ini aku marah lagi seperti hari kemarin karena berbagai macam bunga
membungkus sepedaku lagi.
“Kalau berani keluar pengecut!”, kataku waktu itu. Semua mata mengarah
kepadaku. Aku tak peduli. Kedua temanku membantuku membersihkan
sepedaku dan cepat-cepat pergi dari tempat parkir.
Ada dua buah lilin di laciku
Siapapun yang menaruh bunga di sepedaku, dan jika aku mendapatinya, maka
aku akan mematahkan kedua tangannya dan meremukkan jari-jarinya. Maka
setengah jam sebelum pulang aku minta izin guruku untuk ke belakang. Aku
berlari menuju tempat parkir dan mataku menuju tak lihat siapapun disana.
Pandangan kedua mataku kepada sepedaku yang terletak paling ujung dengan
hiasan bunga beraneka warna. Aku membuang lagi bung-bunga itu.
Keesokan harinya aku tak sengaja tak membawa sepeda. Hatiku tenang juga
karena tidak perlu memikirkan lagi siapa yang memiliki tangan usik menaruh
bunga-bunga di sepedaku. Ketika bel istirahat berdering aku menemui laki-laki
yang memberiku lilin dan aku menceritakan kajadian itu kepadanya. Laki-laki
yang memberikan lilin itu tak banyak bicara. Ceritaku sepertinya diremehkan. Ia
memberiku lagi sebuah lilin.
“lilin-lilin di lacimu membutuhkan teman seorang lagi,” kata laki-laki yang
memberi lilin.

B. Ada tiga buah lilin di hatiku


Malam ini sungguh tenang. Aku bebas dari belajar, mengerjakan tugas,
dan merangkum fisika. Kubuka laciku, disana aku melihat tiga buah lilin yang
pernah diberikan oleh laki-laki yang gemar lilin. Lilin-lilin itu diam. Semakin aku
mendekatkan jariku, semakin dekat bayangan laki-laki yang memberi lilin. Entah
kenapa aku merindukan sedikit bicaranya, sedikit senyumnya. Karena ia laki-laki
yang tak suka bicara, tidak suka tertawa, karena ia laki-laki yang memberi lilin.
Malam semakin kelam. Lilin-lilin itu tidur bersamaku di genggaman tangan. Aku
bermimpi tentang sesuatu bersama lilin-lilin itu.
Hari minggu adalah hatri yang aku tunggu. Seperti malanya, hari ini aku terlepas
dari tugas, terbebas dari suasana kelas. Di hari minggu aku selalu membantu ibu
di pasar menunggu kios. Aku tak tahu kemana perginya ibu. Tidak seperti
biasanya, ibu pergi lama seperti ini. Biasanya ia hanya duduk-duduk di kios
sebelah atau pergi ke tempat Bu Toah di seberang sana. Sudah dua jam aku
disini menanti sendiri. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang memberiku lilin.
“Bolehkah aku memberikan sebuah lilin lagi untuk teman-teman lilin di laci?”
Aku mengiyakan saja. Aku terima lagi sebuah lilin yang sama dengan lilin
sebelumnya. Sepulang dari pasar aku menaruh lagi lilin itu di laci.
Sudah cukup tenang bagiku untuk membawa lagi sepeda. Di saat itulah muncul
seorang laki-laki yang suka dengan bunga. Ia memberiku seikat bunga sambil
mengatakan cintanya padaku. Ia mengaku yang melilitkan bunga-bunga di
sepedaku. Aku hanya marah!

4. Puncak konflik (turning point)


: Sering disebut Klimaks yaitu bagian yang paling mendebarkan, dan pada
puncak inilah yang menentukan perubahan nasib beberapa tokohnya, apakah
tokoh berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal. Adapun konflik pada
cerpen ini berada pada paragraf berikut ini :

“Kenapa kau tolak laki-laki yam=ng memberimu bunga?”


“Aku tak suka dengannya.”
“Kenapa?”
“Aku tak suka”
“Apa yang kurang dengan lakilaki yang memberi bunga?”
“Tidak ada”
“Apa alasanmu menolaknya? Bukankah dia ganteng? Cute? Gaul? Roman?
Apanya yang kurang?”
“Cinta tak butuh hal-hal semacam itu”
“Apa yang dibutuhkan cintamu? Pengorbanan? Kedewasaan? Atau keterikatan?”
“Tidak ketiga-tiganya”
“Kau punya laki-laki lain?”
Aku mengangguk.
“Siapa?”
“Laki-laki yang aku sendiri belum tahu.”
“Maksudmu?”
“Aku tak tahu siapa yang aku cinta, tapi aku jatuh cinta dengannya. Aku jatuh
untuk yang pertama kalinya. Aku menanggung rindu dendan dengan laki-laki
yang aku belum tahu siapa dirinya. Setiap malam aku memikirkannya. Aku selalu
menyebut laki-laki yang aku sendiri tak tahu siapa namanya. Aku berharap angin
memberitakan ini kepada laki-laki yang aku cintai sedangkan aku sendiri tak
pernah tahu siapa diri laki-laki itu”
Waktu adalah sumbu. Waktu adalah berlalu.
Entah kenapa tiba-tiba pada suatu malam aku ingin sekali membuka laciku yang
berisi lilin-lilin. Aku ingin sekali memandang dan menyentuhnya. Ememluknya.
Meletakkan di depan bibirku. Pipiku. Mataku. Dadaku. Dan (hatiku).
Keesokan harinya aku bertemu dengan seorang laki-laki yang memberiku lilin ia
hanya menyapaku dan tersenyum beku padaku. Aku balas senyuman beku itu,
namun aku sendiri enggan mengartikan senyumanku padanya. Selama pelajaran
berlangsung, otakku balnk. Aku tak tahu apa yang harus aku perbuat. Hingga bel
berbunyi tiga kali, aku masih belum sadar apa yang mesti aku lakukan.
Ketika aku menuju tempat parkir aku merasa terkehut, akrena banyak bunga
yang membungkus sepedaku. Aku hanya ingin marah, tapi aku tak punya daya
untuk marah, karena seorang laki-laki yang memberiku lilin ada di depam=nku. Ia
membantuku membuang bunga-bunga itu ke tempat sampah. Berkali-kali ia
minta maaf, sedang aku tak mengerti apa yang ia perbuat hingga ia minta maaf.
“Akulah yang menaruh bunga di sepedamu selama ini”. Katanya halus dan
sopan. Aku mulai bingung. Siapa yang sebenarnya menaruh bunga di sepedaku.
Laki-laki yang memberi bunga atau diakah laki-laki yam=ng memberiku lilin? Aku
pusing!
Laki-laki yang memberiku lilin akhirnya memberiku lilin yang terakhir.
“Bisakah lilin yang satu ini kau taruh di hatimu?” katanya tanpa membawa lilin
seperti sebelumnya.
Aku seperti tersihir. Aku terpelincir. Tenggelam di telaga yang dalam. Aku tak
bisa muncul di permukaan. Aku tak bisa mengelak. Tak bisa menolak. Nafasku
sesak. Aku jatuh di dasar telaga laki-laki yang memberiku lilin sepanjang nyala
sumbu hidupku hingga ke dasar tumpu.
Ada sebuah lilin di laciku
Keempat lilin yang pernah diberikan laki-laki yang memberi lilin sudah habis
kunyalakan semua. Setiap malam menjelang tidur aku selalu menyalakan lilin itu
satu demi satu. Malam ke malam. Hingga tiba suatu malam tinggallah sebuah
lilin yang terakhir dan berharap besok pagi ketika bangun aku mendapatinya.
Semua adalah sia-sia. Aku tak punya lilin lagi untuk dinyalakan setiap malam.
Malamku sudah berlalu gelap tanpa lilin-lilin itu. Namun, masih ada sebuah lilin
yang masih menyala dan yak akan pernah padam, yaitu sebuah lilin yang
ditaruhnya di hatiku. Suatu malam angin mengabarkan bahwa laki-laki yang
men=mberiku lilin ternyata tidak hanya menaruh lilin di hatiku saja, melainkan di
hati perempuan-perempuan lain. Lilin di hatiku hampir padam ketika aku
mencoba menguburnya dalam-dalam.
Alur : Maju-mundur

5. Penyelesaian (ending)
: Penyelasaian tentang nasib-nasib tokohnya mulai ditata. Adapun penyelasaian
ceritanya berada pada paragraf berikut :
“Ibu..”
Dialah anak pertamaku, Andris Setyawan. Sudah tiga tahun yang lalu aku
menikah dengan seorang laki-laki yang aku kenal di kampusku. Aku
mencintainya. Ia juga mencintaiku. Hingga cinta kami telah membuahkan Andris.
Suamiku sangat sayang kepada anakku. Mereka baru saja jalan-jalan di taman.
Berlari-lari mengejar Eno, nama kucing kami... tiba-tiba hp di meja berdering.
Sebuah nomor baru muncul.
“Masihkah lilin itu menyala di hatimu? (Andris Setyawan)”
Aku tertegun menatap layar hpku. Laki-laki yang pernah memberiku lilin mencoba
menyulut kembali lilin yang baginya sudah mati. Dengan segera aku menghapus
sms tersebut. Aku menghampiri suamiku dan anakku. Kami bercanda bersama-
sama di atas sofa.
Masih ada sebuah lilin yang menyala di hatiku.

2. Tokoh dan cara penokohannya


Tokoh adalah para pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita karya fiksi,
sedangkan penokohan atau perwatakan adalah cara pengarang menampilkan
tokoh atau watak para tokoh.
Watak adalah sifat dasar, akhlak atau budi pekerti yang dimiliki oleh tokoh.
a. Tokoh
Berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan menjadi :
1. Tokoh utama : tokoh yang memegang peran utama yang kemunculannya paling
sering diantara tokoh-tokoh lainnya dan menjadi pusat peceritaan.
2. Tokoh bawahan : tokoh yang menjadi pendukung dari tokoh utama, agar cerita
menjadi lebih menarik.
3. Tokoh sampingan : tokoh yang melengkapi cerita.
Tokoh-tokoh pada cerpen “Lilin yang Tak Pernah Padam” yaitu :
1. Tokoh utama : Aku Pemalu, emosional, setia
2. Tokoh Bawahan : - Pemberi lilin tidak setia, romantis, playboy
- Pemberi bunga misterius,
3. Tokoh Sampingan : - Teman-teman
- Suamiku
- Anakku
- Ibu Toah
- Ibuku
- Eno
b. Watak
Pada umumnya, pengarang menyampaikan watak tokoh menggunakan 2 teknik
yaitu :
. Teknik analitik : Watak tokoh yang diceritakan langsung oleh pengarang
Berdasarkan
data :  “Akulah yang menaruh bunga disepedamu selama ini”. katanya halus dan
sopan.

2. Teknik dramatik : Watak tokoh yang dikemukakan melalui :


- Penggambaran fisik dan perilaku tokoh. Berdasarkan data:
§ Bajuku tetap rapi walaupun sudah kemana-mana.
- Penggambaran lingkungan kehidupan tokoh. Berdasarkan data:
§ Akupun patuh dengan kata-kata ayahku yang melarang keras diriku untuk
pacaran karena masih duduk dibangku SMP.
- Penggambaran tata kebahasaan tokoh. Berdasarkan data:
§ “Kalau berani keluar pengecut!” (Paragraf 16)
- Penggambaran jalan cerita tokoh. Berdasarkan data:
§ “Siapapun yang menaruh bunga disepedaku dan jika aku mendapatinya, maka
aku akan mematahkan kedua tangannya dan meremukkan jari-jarinya.”
- Penggambaran oleh tokoh lain. Berdasarkan data:

3. Tema, latar dan Amanat


a. Tema
Tema merupakan ide dasar atau inti cerita yang mendasari jalannya suatu cerita.
pada cerpen ini adalah : Penantian seorang gadis terhadap seorang laki-laki
yang tak jelas keberadaannya.
b. Latar
Peristiwa dalam cerita dilatari oleh tempat, waktu dan situasi tertentu. Latar juga
tidak hanya waktu, tempat dan situasi yang bersifat fisik, tetapi juga terdapat
latar yang bersifat psikologis.
1. Latar fisik : Bersifat nyata dan logis.
Berdasarkan data :
o Waktu :
o Tempat : Simpanlah lilin itu di lacimu.
o Suasana :
2. Latar psikologis : Yang bersifat kejiwaan
Berdasarkan data :
o Waktu :
o Tempat : Simpanlah lilin itu di hatimu.
o Suasana :
c. Amanat
Merupakan pesan yang sifatnya mendidik yang disampaikan pengarang dalam
sebuah cerita.
Dapat kita ambil amanat dari cerpen tersebut, diantaranya :
§ Janganlah terlalu banyak berharap kepada seseorang yang tidak jelas
keberadaannya.
§ Hargailah pemberian orang lain kepada kita walaupun kita tidak menyukainya.
§ Sesuatu yang kita inginkan belum tentu dapat kita raih bila tidak sungguh-
sungguh.

Anda mungkin juga menyukai