Anda di halaman 1dari 5

Moral yang Tak Pudar Bersama Keimanan

Penulis: Ainun Ma’la

“Aruya Azzahra, apa yang kamu benci dari ayah nak?”

“Kok ngomongnya gitu!? Ayah tuh cintanya aku, tidak ada setitik hitam yang aku benci dari
ayah. Ayah bimbing aku terus ya agar aku Tidak menyakiti ayah, agar aku tidak
menjerumuskan ayah ke nerakanya Allah. Aku, ibu, dan ayah harus sama-sama di jannahnya
Allah.”

Kala itu hanya senyuman yang dia berikan. Matanya yang mulai berkerut hanya
menandakan bahwa dia baik-baik saja. Rupanya semesta hanya berpura-pura baik, padahal
buminya berguncang tanpa sadar. Ayah yang aku banggakan mematahkan hati, jika pertanyaan
seminggu lalu dia tanyakan hari ini akan ku jawab aku benci perpisahan. Usai sudah kata
sepasang antara ibu dan ayah, aku hanya seorang anak yang kehilangan arah. Ternyata aku
tidak bisa menjadi alasan untuk mereka agar terus menetap. Seketika dunia tidak melihat
seberapa menjaganya aku terhadap ayah, sedikitpun tidak rela api panas menyentuhnya karena
sehelai rambutku menjalar. Tapi semesta memberikan takdir lewat luka, jika aku
mempertahankan semua yang diperintahnya untuk siapa lagi karena yang ku jaga telah pergi.
Besok hari keberangkatanku ke New York, salah satu rangkaian cita-cita yang disusun bersama
ayah. Yah, itu dulu Sekarang yang dikhawatirkan keadaan ibu yang masih rapuh, rautnya tidak
bisa menutupi serpihan luka Yang membekas dalam kalbu.

***

Langit Manhattan sore ini sangat indah. Warna jingga yang tampak sangat pekat menawan,
termasuk taman kampus yang menjadi tempat favorit menahanku untuk menghabiskan warna
jingga yang mulai lebur. Bulan ini adalah bulan ke lima aku menjadi mahasiswa BMC1, selama
menjadi mahasiswa hanya kampus dan asrama yang kulalui. Rupanya langit sudah mulai redup
waktunya untuk pulang dan menyapa kasur yang menunggu.

Sesampai di asrama benda pipih itu bergetar. rasanya malas sekali mengangkat telepon. Hanya
sebatas kabar yang mereka tanyakan. Tidak terlalu penting dan tidak merubah keadaan.

1
BMC, ‘’Borough of Manhattan Community Collage’’
“assalamualaikum Aya sedang apa nak? Gimana hari ini kuliahnya lancar? Jangan lupa sholat
ya, jangan lupa makan, jangan bandel,” beberapa detik telepon ibu terdiam.

“...... jangan tinggalkan ibu ya nak” sontak ibu mengatakan itu membuat hatiku tak karuan.

“Iya.” jawabku masih singkat. Hati ini masih keras untuk berucap tapi lemah untuk merasa,
menahan air mata yang sudah menetes di sudut-sudut mata.

“Kecewanya jangan lama-lama, ibu tuh sakit kalo kamu begini.” keluh ibu dengan suara sedih.

Begitulah suara telepon yang terdengar. Andai semua tahu aku tidak baik-baik saja.
semuanya hilang, pergi, dan menyakiti. Katanya perpisahan dilarang, katanya perpisahan
hanya terjadi saat ada maut yang menjemput. kata manis itu semuanya tidak berarti. Takdir
mengecewakan aku yang lemah, pun aku tidak bisa menolong diri ku yang terus menyalahkan
sesuatu yang sudah terjadi. Rasanya bumi ini sepi, maha penolong pun pergi menjauhi. Malam-
malam hanya di isi oleh paksaan memejamkan mata dan overthinking2 . Besok pagi adalah
pembukaan summer school 3 di kampusku, biasanya para peserta menikmati musim panas
diawali dengan festival musik dan deretan kuliner makanan setiap negara.

Cuaca New York Hari ini sedang panas, sejenak aku berhenti di stand minuman kaleng.
Kuambil minuman yang sedikit mengandung alkohol, tidak heran dengan minuman disini
terkadang teman-temanku saja membawanya waktu perkuliahan berlangsung. Sesampai di
depan panggung festival, alih-alih aku hanya duduk di koridor melihat canda tawa mahasiswa.

“Hello guys 10 minutes again we will open summer school with drinks. Please take Harry
cranes4 and let’s get together. Have a good time”

Rugi rasanya tidak memanfaatkan momen bersulang bersama, semuanya hanya untuk
kesenangan melepas penat. Kuambil satu kaleng minuman itu dan bergabung bersama
kerumunan orang yang mencari kebebasan. Dalam hitungan tiga semua orang membuka
kaleng, tapi ada sesuatu yang membuatku diam seribu bahasa.

“three, two, one cheers.”

Setelah hitungan itu diucapkan tiba-tiba ada seseorang yang berbicara di sampingku.

2
Overthinking, ‘’ pemikiran berlebihan’’
3
Summer school, ‘’kelas musim panas’’
4
Harry Cranes, ‘’ minuman beralkohol’’
“are you a muslim?”

“i don’t know” aku bingung dengan keadaanku yang sedang buruk. Tidak bisa aku menjawab
pertanyaan itu.

“what!? Take off your hood now.” perintah orang itu.

“Shit....” apa maksudnya, aku merasa aneh dan marah. Apa haknya mengatur pakaianku.

“you take care of your aurat but you also pollute it. Life is always full of burdens, problems,
and challenges. How long ambarced Islam? The process is not easy, but your dirtying the Faith
in this freedom. Stupid human.”

Siapa laki-laki itu sepertinya lanyard5 yang dia pakai sama denganku, artinya kita satu
negara. Hatiku sesak saat dia mengatakan agamaku di kotori oleh diriku sendiri. Segampang
itu dia mengatakan kalimat itu tanpa tau sedang bagaimana duniaku. Aku hanya sedang kecewa
dan sama-sama bingung harus bagaimana untuk kembali ke pelukanku sendiri. bisa tidak
sedetik mengerti tanpa harus berucap yang menyakiti hati. Aku pun sedang marah ke diriku
kenapa harus begini.

“Aku juga ingin kembali.” tangisku pecah waktu itu.

Di balik kalimat ‘dirtying the Faith in this freedom’ aku merasakan itu sekarang. Budaya bebas
orang luar negeri seharusnya tidak dijadikan pelampiasan kemarahanku terhadap masalah.
Seharusnya yang dilakukan yakni kembali kepada yang maha kekal. Dan untuk sekarang
apakah tuhan menerima kotoran sepertiku. Menghadapnya saja tak sanggup apalagi bersujud
menyembahnya. Sekotor ini aku sekarang.

***

Langit malam tenang, bintang pun berseri menyebar dengan radius yang dekat. Jendela asrama
terbuka, sedang aku hanya melamun dan memikirkan kejadian sewaktu di kampus. Dari
pembukaan summer school dua hari lalu kepalaku dipenuhi pertanyaan tidak jelas tentang
perkataan laki-laki itu, tentang diriku, ibu, dan masalah mental yang sedang aku hadapi.
Kemana aku harus pergi apa ada yang masih menerima dengan senang hati. Lihatlah diriku
kotor tidak layak untuk dikasihi.

5
Lanyard, ‘’ ID card’’
Jam menunjukan pukul 06.30pm rasanya aku ingin keluar mencari ketenangan. Awal
bulan Juli hampir semua merayakann summer di kota ini, membuat jalanan ramai dan kafe-
kafe dipenuhi orang-orang yang menyambut musim panas dengan ditemani kopi panas
malamnya. Sejenak aku berhenti di salah satu kedai coklat panas yang dekat dengan Manhattan
mosque. Menikmati coklat terenak sambil melihat lampu-lampu jalanan yang penuh ramai.
Melihat masjid yang ada di samping kedai membuatku penasaran.

“Do you want to worship?” suara itu terdengar dari belakangku.

“Mbbbb, no i just want to see this mosque.” langsung aku menjawab dan membalik arah untuk
melihat lawan bicara.

“ kamu.” laki-laki itu yang menegurku saat akan minum cranes.

“Masih belum berdamai dengan keadaan?” tanya laki-laki itu.

“Oh sorry waktu itu, saya Zaid.” tangannya sambil menyapa ke lawan jenis.

“iya” jawabku.

“ Dunia ini fana, apapun keadaannya hanya satu yang kita butuhkan yaitu berdamai. Saat
duniamu pudar apakah Allah marah padamu? Kita sebagai manusia ingin di mengerti tapi
apakah kita mengerti bagaimana perasaan Allah. Keadaannya saja yang kacau tugas kita
merayunya agar segera reda, bukan menjauh dan mencari jawaban dunia yang menjerumuskan.
Allah tidak marah buktinya anda masih bernafas.” begitulah jelasnya. Aku hanya menunduk
kaku. Benar katanya dibalik keadaanku yang seperti ini Allah tidak menarik sedikitpun sehat,
rezeki, bahkan kedua orang tuaku masih diberi perlindungan. Walaupun keadaan tidak bisa
memastikan mereka akan bersatu.

“Terima kasih.” ucapku setelah mendengarkannya.

“Baca buku ini. Jangan lupa sholat dan kuatkan iman. Assalamu’alaikum.” dia pergi dan
memberiku buku.

“wa’alaikumslaam”

Setelah pertemuan malam itu aku berusaha memahami lima bulan terakhir dari
perjalananku di negeri ini, rasanya setiap hari menunjukan hari yang buruk. Segala jenis untuk
menghilangkan memori dan kekecewaan sudah banyak aku lakukan tapi hasilnya nihil. Ya
benar, mencari jawaban dan ketenangan ke tempat yang salah hanya membuat lelah dan
semakin tidak mendapatkan hasil. The secret for muslim buku itu yang diberikan Zaid
mengajarkanku untuk kembali kepada yang maha mengatur keadaan. Dunia ini selalu diiringi
dengan taklif6 tapi beruntung orang-orang yang bisa melewatinya. Yang bisa melewati hanya
orang-orang yang dekat dengan Allah, karena semua keadaan yang diberikan itu datangnya
dari Allah dan manusia harus kembali ke penciptanya juga. Aku sadar dibalik kekecewaan dan
kemarahanku kepada Allah Dia tidak pernah sekalipun mengurangi nikmatnya setiap hari
untukku. Dan ayah, mungkin dia gagal jadi suami yang baik untuk ibu tapi dia tidak pernah
gagal jadi ayah terbaik untuk aku, buktinya selama disini dengan keadaan apapun aku masih
tidak rela melepas kerudung karena masih menjaga ayah dengan cara ini. Jika seorang anak
sering mengatakan belajar jadi anak yang baik, tidak ada salahnya orang tua juga sama-sama
belajar untuk jadi yang terbaik.

Perihal disatukan menjadi sepasang itu adalah sebuah takdir, sedangkan menetap atau
meninggalkan merupakan sebuah komitmen yang menjadi pilihan. Tidak ada perpisahan yang
membuat keadaan seolah baik-baik saja. Kecewa itu wajar, tetapi sebaik baiknya penyembuh
yang bisa mengobati yaitu dengan cara kembali kepada sang memelihara. Jika kecewa mencari
jawaban ke dunia jawabannya akan buntu, sementara manusia masih punya yang maha kekal
sebagai petunjuk untuk melaju. freedom country Sebenarnya tidak ada kesalahan dari sebuah
kebebasan, karena yang bisa ngontrol kebaikan atau keburukan hanya diri kita. Sama dengan
kota ini tidak ada yang salah dengan budayanya pun orang-orangnya, hanya kita saja yang
terkadang menyalahgunakan.

Islam itu mengajarkan keindahan kepadaku. Bukan sekadar tempat meminta


pertolongan tetapi juga tempat pulang, tempat mengadu, dan tempat menerima apapun keadaan
hambanya. Sekarang aku tahu tidak ada yang abadi di dunia ini begitupun sifat manusia. Hari
ini baik belum tentu besok, hari ini taat belum tentu bisa bertahan. Apapun keadaannya,
dimanapun keberadaannya, sejauh apapun perjalanannya yang kita butuhkan yaitu dekat
dengan iman yang kuat. Kepada semesta terima kasih sudah mengkalibrasi aku agar tetap
mengikuti petunjuk jalanmu yang tepat.

6
Taklif, ‘’beban’’

Anda mungkin juga menyukai