Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Dermatitis Atopik dengan Infeksi Sekunder

Disusun Oleh :

Fritta Aulia Sari

Pembimbing :

dr. Inu Haryo Harimurti

PUSKESMAS KECAMATAN CEMPAKA PUTIH

PROGRAM DOKTER INTERNSIP PERIODE II

PERIODE 10 SEPTEMBER – 5 JANUARI 2019


BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik, inflamasi, yang


ditandai dengan lesi eksematosa gatal dengan episode eksaserbasi dan remisi. 1
Terdapat berbagai macam sinonim dari dermatitis atopik, seperti ekzema atopik,
ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata dan prurigo Beisner.2
Dermatitis atopik merupakan penyakit yang sering menyerang anak,
namun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada orang dewasa.
Prevalensi dermatitis atopik mencakup 10-20% pada anak dan 1-3% pada dewasa
dengan insidens yang cenderung meningkat di berbagai negara. Onset dari
dermatitis atopik sering pada masa anak mulai dari bayi yang baru lahir hingga
anak usia 5 tahun dengan 60-70% kasus sembuh sebelum usia dewasa. 2 Data
lainnya di negara berkembang menunjukkan bahwa 10-20% anak menderita
dermatitis atopik namun berbeda dengan data sebelumnya bahwa 60% diantara
pasien DA anak tersebut menetap hingga dewasa. Dermatitis atopik lebih sering
dijumpai pada perempuan daripada laki-laki pada semua kelompok umur dengan
perbandingan 1,3 : 1,0. 1,2
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi dari
berbagai macam faktor internal maupun eksternal. Patogenesis dari dermatitis
atopik diduga sebagai hasil interaksi dari faktor genetik, disfungsi imun, disfungsi
sawar epidermis, peranan lingkungan serta agen infeksius. Faktor psikologis dapat
merupakan penyebab maupun dampak dari dermatitis atopik. 1,2,3
Kelainan yang terjadi pada dermatitis atopik bergantung pada fase yang
sedang dialami, yaitu fase infantil, fase anak maupun fase remaja dan dewasa. 1,2,3
Pada fase infantile, gambaran klinis mirip dengan dermatitis akut, eksudatif, erosi
dan ekskoriasi. Pada fase anak, kulit pasien serta kulit pada lesi cenderung kering
disertai hyperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta dan skuama.
Sedangkan pada fase remaja dan dewasa, manifestasi klinis bersifat kronis berupa
hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi dan skuama. Rasa gatal
dan garukan yang terus menerus memicu kerusakan barrier kulit lebih lanjut
sehingga memudahkan masuknya allergen dan iritan yang menyebabkan
dermatitis atopik sering berulang (kronik-residif).3 Rasa gatal serta perjalanan
penyakit yang sedemikian kompleks berdampak pada gangguan fisik dan emosi
sehingga berpengaruh kepada kualitas hidup penderita.
Tata laksana dermatitis atopik yang efektif meliputi kombinasi
penghindaran pencetus, pengurangan gatal menjadi seminimal mungkin,
perbaikan sawar kulit serta obat anti inflamasi. Pentingnya edukasi pada pasien
dan keluarga pasien mengenai faktor pencetus serta perjalanan penyakit dapat
mengoptimalkan penatalaksanaan pada dermatitis atopik. Komunikasi yang
efektif berguna untuk membangun rasa percaya diri pasien bahwa walaupun sulit
disembuhkan, dermatitis atopik dapat dikendalikan.3
Pentingnya ketepatan menganalisa gejala klinis, mendiagnosis dan
memberikan penatalakasaan pada kasus dermatitis atopik serta memahami
diagnosis bandingnya membuat penulis tertarik untuk menyajikan laporan kasus
ini.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. D
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cempaka I 6/9
Tanggal Pemeriksaan : 17 September 2019
Nomor Rekam Medis : 0020871

B. Anamnesis
Keluhan utama : timbul bercak merah di kedua lengan, kedua tungkai,
badan dan punggung atas.
Keluhan tambahan : keluhan utama disertai dengan gatal pada seluruh
tubuh selama kurang lebih 1 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan adanya luka
basah berwarna kehitaman yang nyeri dan terlihat sedikit berdarah pada
bagian lututnya.
Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluhkan bahwa pada bagian
lengan, kaki dan punggung terdapat banyak bercak berwarna merah yang
gatal. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak sekitar 1 bulan yang lalu.
Awalnya, yaitu 1 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan adanya bercak merah
yang gatal pada lututnya. Bercak merah kemudian melebar ke kedua tungkai.
Rasa gatal tersebut dirasakan pasien pada waktu yang tak menentu dan
membuat pasien selalu ingin menggaruknya. Rasa gatal akan bertambah jika
pasien berkeringat dan cukup menganggu aktivitas serta waktu tidur pasien.
Untuk mengurangi rasa gatalnya, pasien menggunakan bedak “herocin” yang
dibelinya di apotek, namun tidak memberikan pengaruh. Pasien juga berusaha
mengobati gatalnya dengan mengkonsumsi air rebusan pinang muda yang
dibuatkan oleh ibunya, namun sama saja tidak ada perbaikan. 2 minggu
kemudian, pasien mengeluhkan bahwa bercak merah yang gatal tersebut
menjalar ke kedua lengan, siku dan punggung. Pasien mengatakan bahwa
bagian yang paling gatal adalah pada bagian lengan, siku serta punggung.
Akhirnya pasien memeriksakan diri ke puskesmas dan diberikan obat minum.
Setelah berobat ke puskesmas, pasien merasakan adanya sedikit perubahan
yaitu bercak yang berada di lipatan siku sekarang sudah tidak ada dan hanya
menyisakan sedikit bintil di lengan bawahnya yang namun masih terasa gatal,
tetapi bercak di kaki dan punggung atasnya tidak menghilang. Obat yang
diberikan oleh puskesmas tidak berpengaruh pada gatalnya hingga 1 minggu
yang lalu pasien merasakan semakin gatal pada bagian lutut yang terus
menerus, lalu digaruk dan menyebabkan kulitnya semakin menebal, berwarna
kehitaman serta terlihat luka yang berdarah dan nyeri.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien mengatakan tidak pernah mengalami
keluhan serupa sebelumnya. Riwayat alergi obat disangkal. Pasien
mengatakan bahwa memiliki alergi terhadap seafood dan juga pada perhiasan
berbahan logam. Riwayat asma atau bersin-bersin saat pagi hari disangkal.
Riwayat penyakit keluarga : Pasien menyangkal ada yang menderita
keluhan yang sama dikeluarganya. Tidak ada penyakit kulit dikeluarganya
serta tidak ada riwayat asma atau bersin-bersin saat pagi hari di keluarganya.
Riwayat status sosial ekonomi : Pasien adalah seorang mahasiswi yang
baru lulus namun belum memiliki perkerjaan. Pasien tinggal bersama kedua
orangtuanya.
Riwayat hygiene : Pasien mengatakan rajin mandi 2 hari sekali dan tidak
terlalu beraktivitas yang menyebabkan keringat berlebih. Pasien mengatakan
bahwa rutin mengganti sprei satu kali seminggu.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
 Kesadaran : Compos Mentis
 Keadaan Umum : Baik
 Tanda Vital : Dalam batas normal
 Kepala : Tidak ada kelainan
 Leher : Tidak ada kelainan
 Toraks : Cor dan Pulmo tidak ada kelainan
 Abdomen : Tidak ada kelainan
 Ekstremitas : Lihat status dermatologikus

D. STATUS DERMATOLOGIKUS

Gambar 1. Regio genu dan ekstermitas inferior sinistra.


(a) Patch eritema multiple berukuran ± 1 x 1 cm, bentuk tidak teratur dan berbatas tegas dengan
skuama minimal halus berwarna putih.
(b) Plak hiperpigmentasi soliter berukuran ± 4 x 4 x 0,3 cm, bentuk tidak teratur berbatas tegas
dengan erosi, ekskoriasi multipel berukuran 0,5 cm dan likenifikasi.
Gambar 2. Regio trunkus anterior. Patch eritema multiple berukuran paling besar ± 2 x 2 cm dan
ukuran paling kecil ± 0,2 x 0,2 cm bentuk tidak teratur, berbatas tegas disertai skuama halus
berwarna putih

Gambar 3. Regio ekstremitas superior sinistra. Papul multiple berukuran ± 0,1 x 0,1 x 0,1 cm
berbatas tegas, diskret

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk melemahkan diagnosis
banding dan menegakkan diagnosis kerja.
1. Pewarnaan Gram
Preparat diambil dari kerokan kulit pada patch di regio genu,
diletakkan pada kaca preparat dan diberikan pewarnaan dengan gentian
violet, lugol dan safranin secara berurutan sesuai prosedur, kemudian
dilihat menggunakan mikroskop. Ditemukan :
Bentuk : kokus
Susunan : berkelompok
Warna : ungu
Sifat : Gram (+)
Metode : pewarnaan Gram
Bakteri : Staphyloccocus sp.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap memperlihatkan peningkatan pada
eosinofil dan IgE.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Preparat berasal dari jaringan trunkus yang diambil dengan biopsi.
Gambaran histopatologi berupa hiperkeratotik dengan inflamasi
perivaskular.

F. Diagnosis Banding

 Dermatitis atopik + infeksi sekunder


 Dermatitis seboroik + infeksi sekunder
 Dermatitis kontak alergi

G. Diagnosis Kerja
Dermatitis atopik + infeksi sekunder

H. Penatalaksanaan
 Umum
o Edukasi pasien tentang penyakit yang diderita bahwa dermatitis
atopik merupakan penyakit kronik yang berulang jika terdapat
faktor pencetus seperti keringat berlebih, allergen seperti debu
atau makanan yang dikonsumsi
o Edukasi pasien untuk mengingat faktor pencetus sehingga
dapat meminimalisasi faktor yang memperburuk keluhan dan
pencegahan kekambuhan
o Edukasi pasien untuk tidak banyak menggaruk pada daerah
gatal
o Edukasi pasien untuk tidak menggaruk dengan tangan atau
benda yang kotor
o Edukasi pasien untuk memotong kuku supaya ketika
menggaruk tidak menyebabkan perlukaan pada kulit
 Khusus
o Topikal :
 Kompres terbuka dengan Na Cl 0,9% pada bagian luka
di lutut sebanyak 2 kali sehari pagi dan sore selama 1
minggu.
 Salep Hydrocortisone 2,5% dioleskan untuk area
eritema, digunakan 1-2x sehari (pagi dan malam hari
sebelum tidur) selama 1 minggu.
 Salep Gentamycin 3x sehari dioleskan pada luka di
lulutnya untuk mengobati infeksi sekunder.
o Sistemik :
 Cetirizine : 1 kali 10 mg/hari/oral jika gatal.

I. Prognosis
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad fungsionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia
 Quo ad cosmeticum : dubai ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Sinonim
Dermatitis atopik disebut juga sebagai ekzema atopik, ekzema
fleksural, neurodermatitis diseminata dan prurigo Beisner.2

II. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik, inflamasi,
yang ditandai dengan lesi eksematosa gatal dengan episode eksaserbasi
dan remisi.1

III. Epidemiologi
Dermatitis atopik merupakan penyakit yang sering menyerang anak,
namun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada orang dewasa.
Prevalensi dermatitis atopik mencakup 10-20% pada anak dan 1-3% pada
dewasa dengan insidens yang cenderung meningkat di berbagai negara. 1
Di Indonesia sendiri menunjukan bahwa dermatitis atopik pada anak
mencakup 23,67% pada 611 kasus baru penyakit kulit sehingga
menjadikannya sebagai peringkat 1 dari 10 penyakit kulit anak terbanyak
pada 7 rumah sakit di 5 kota di Indonesia pada tahun 2000.2 Onset dari
dermatitis atopik sering pada masa anak mulai dari bayi yang baru lahir
hingga anak usia 5 tahun dengan 60-70% kasus sembuh sebelum usia
dewasa. Data lainnya di negara berkembang menunjukkan bahwa 10-20%
anak menderita dermatitis atopik dan 60% diantaranya menetap hingga
dewasa. Dermatitis atopik lebih sering dijumpai pada perempuan daripada
laki-laki pada semua kelompok umur dengan perbandingan 1,3 : 1,0.2

IV. Etiologi
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi dari
berbagai macam faktor internal maupun eksternal. Patogenesis dari
dermatitis atopik diduga sebagai hasil interaksi dari faktor genetic,
disfungsi imun, disfungsi sawar epidermis, peranan lingkungan serta agen
infeksius.
Etiologi dan patogenesis masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain:
1. Disfungsi sawar kulit. Disfungsi sawar kulit pada dermatitis atopik
diakibatkan oleh menurunnya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin
(filagrin dan lorikrin) yang menyebabkan peningkatan absorbs dan
hipersensitivas terhadap allergen. Berkurangnya volume seramid serta
meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epidermal-water loss (TEWL)
menyebabkan kulit pasien DA lebih kering dan sensitivitas gatal terhadap
berbagai rangsangan bertambah. Garukan akibat gatal akhirnya
menimbulkan erosi yang mungkin dapat meningkatkan penetrasi dan
kolonisasi mikroba di kulit.3
2. Perubahan sistem imun (imunopatologi). Penelitian yang dilakukan
Izhizaka pada tahun 1996 menyebutkan bahwa pada DA terdapat
peningkatan kadar IgE yang menyebabkan reaksi eritema di kulit.
Terdapat juga stimulasi interleukin-4 (IL-4) terhadap sel T (CD4+) dan IL-
13 terhadap sel B untuk memproduksi IgE. Diketahui bahwa pada pasien
DA jumlah IgE lebih banyak dan menunjukkan daya afinitas yang tinggi
pada reseptor di keratinosit dan sel Langerhans, sehingga pathogenesis DA
lebih diperankan oleh reaksi tipe I.
3. Alergen dan superantigen.
a. Allergen
Faktor eksogen terutama allergen hirup (debu rumah, tungau)
berperan penting pada terjadinya DA. Hasil penelitian alergi
terhadap makanan bervariasi dalam jenis dan frekuensi. Data dari
suatu penelitian memperlihatkan urutan allergen yang allergen
yang paling sering ditemukan dan uji kulit bereaksi positif adalah
telur, susu sapi, kacang-kacangan, soya, gandum, ikan dana yam.
b. Superantigen
Terdapat peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus (SA) pada
lesi DA. Superantigen dikatakan dapat meningkatkan penglepasan
histamine dan leukotriene, sintesis IgE, menyebabkan inflamasi
pada kulit DA dan memicu kekambuhan lesi DA.
4. Genetik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa penurunan DA cenderung
bersifat maternal, dimana jika ibu menderita DA maka anak kandungnya
akan berisiko 2,66 kali lebih besar menderita DA.3
5. Teori higiene. Disebutkan bahwa pajanan dini terhadap infeksi
menyebabkan sistem imun pada anak berkembang secara normal,
sehingga tubuh membentuk pertahanan imun selular. Hal tersebut akan
meningkatkan kerentanan terhadap alergi sehingga menurunakn risiko
DA.3

V. Patogenesis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa DA salah satunya
disebabkan oleh karena disfungsi sawar kulit. Fungsi sawar epidermis terletak
pada stratum korneum sebagai lapisan kulit terluar. Stratum korneum
berfungsi mengatur kelembaban dan pemeabilitas kulit, melindungi kulit dari
mikroorganisme serta sinar ultraviolet dan sebagai penghantar rangsang
mekanik maupun sensorik. Lapisan ini terbentuk dari korneosit yang
dikelilingi lipid yang terdiri dari seramid, kolesterol serta asam lemak bebas.
Seramid berikatan kovalen dengan selubung korneosit membentuk sawar yang
menghalangi air keluar dari lapisan kulit. Hidrasi korneosit juga dipengaruhi
oleh natural moisturizing factor (NMF) yang berasal dari pemecahan filagrin
di korneosit menjadi asam amino.1

Disfungsi sawar kulit pada dermatitis atopik diakibatkan oleh menurunnya


fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lorikrin) yang
menyebabkan kurangnya hidrasi pada korneosit sehingga kulit menjadi
hipersensitivas terhadap allergen. Berkurangnya volume seramid serta
meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epidermal-water loss (TEWL)
menyebabkan kulit pasien DA lebih kering dan sensitivitas gatal terhadap
berbagai rangsangan bertambah dibandingkan dengan kulit orang normal.
Gambar 4. Kulit individu dengan DA berbeda dibandingkan dengan
kulit sehat1

Kulit yang kering pada DA menyebabkan ambang rasa gatal lebih


rendah. Stimulus ringan dapat menyebabkan pruritus melalui jalur
reflex akson terminal yang mengeluarkan substansi P sehingga terjadi
vasodilatasi atau rangsangan pada sel mast. Kulit yang kering pada
pasien DA menyebabkan diskontinuitas sel keratinosit sehingga bahan
pruritogenik dapat merangsang reseptor dan meningkatkan reaksi
hipersensitivitas kulit.
Tabel 1. Pencetus gatal pada pasien DA1

VI. Klasifikasi
DA umumnya diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan organ
tubuh, yaitu:
a. DA murni. Hanya terdapat pada kulit.
b. DA dengan kelainan pada organ lain, misalnya asma bronkial,
rhinitis alergika serta hipersensitivitas terhadap berbagai allergen
polivalen (hirup dan makanan).
Bentuk DA murni terdiri atas 2 tipe, yaitu:
1) DA intrinsik, yaitu DA tanpa bukti hipersensitivitas
terhadap allergen polivalen dan tanpa peningkatan kadar
IgE total di dalam serum.
2) DA ekstrinsik, yaitu bila terbukti pada uji kulit terdapat
hipersensitivitas terhadap allergen hirup dan makanan.

VII. Gejala Klinis


Gejala klinis pada DA diklasifikasikan berdasarkan atas usia
terjadinya DA, yaitu DA fase infantile, anak dan dewasa. Manifestasi serta
tempat predileksi masing-masing fase dapat berbeda satu sama lain.
Dibandingkan dengan dermatitis lainnya, DA secara subjektif lebih gatal.
Rasa gatal dan garukan yang terus menerus dapat memudahkan
masukanya allergen dan iritan yang menyebabkan penyakit ini terus
berulang (kronik-residif).
DA Fase Infantil
DA lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan – 2 tahun),
umumnya onset terjadi pada usia 2 bulan. Tempat predileksi utama adalah
wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi,
kulit kepala, telinga, leher, pergelangan tangan dan tungkai terutama di
bagian volar atau fleksor. Seiring meningkatnya usia lesi pada terjadi di
bagian ekstensor, misalnya lutut atau siku.
Gambaran klinis pada fase ini menyerupai dermatitis akut,
eksudatif, erosi dan ekskoriasi. Lesi yang digaruk mudah mengalami
infeksi sekunder. Fase infantile dapat sembuh, namun pada sebagian
pasien berkembang menjadi fase anak atau dewasa.
Gambar 5. Lesi dermatitis atopik fase infantile di kedua pipi simetris9
DA Fase Anak
DA fase anak (usia 2 – 10 tahun) dapat merupakan kelanjutan dari
fase infantile atau muncul tanpa didahului fase infantile. Tempat predileksi
utamanya adalah fosa kubiti dan poplitea, fleksor pergelangan tangan,
kelopak mata dan leher dan tersebar simetris.
Kulit pasien DA dan kulit pada lesi cenderung kering. Lesi
cenderung menjadi kronik disertai hyperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi,
ekskoriasi, krusta dan skuama.

Gambar 6. Lesi dermatitis atopik fase anak di pergelangan tangan9

DA Fase Remaja dan Dewasa


DA fase remaja dan dewasa (usia >13 tahun) dapat merupakan
kelanjutan fase infantile atau fase anak. Tempat predileksi mirip dengan
fase anak, dapat meluas mengenai kedua telapak tangan, jari-jari,
pergelangan tangan, bibir, leher bagian anterior, scalp dan puting susu.
Gejala klinis bersifat kronis berupa plak hiperpigmentasi,
hiperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi dan skuama. Rasa gatal lebih hebat
saat beristirahat, udara panas dan berkeringat. Fase ini berlangsung kronik-
residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih.
Gambar 7. Lesi dermatitis atopik fase dewasa di fosa antecubiti,
tangan dan pergelangan tangan9
VIII. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium maupun gambaran histologis
yang spesifik untuk menegakkan diagnosis DA. Pemeriksaan penunjang
hanya dilakukan bila ada keraguan klinis.
a. Peningkatan kadar IgE ditemukan pada 80% pasien DA, namun hal
tersebut juga terjadi pada 15% orang sehat. Demikian juga dengan
kadar eosinophil, sehingga tidak patognomonik.1,2
b. Uji tusuk kulit (skin prick test/ SPT) atau IgE spesifik dilakukan
bila ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan
tertentu. Hasil yang positif hanya menunjukkan bahwa terdapat
sensitisasi pada allergen tersebut, namun belum tentu menjadi
penyebab, sehingga hanya menjadi panduan dokter untuk
memperkirakan faktor pencetus.1
c. Pemeriksaan biopsi kulit juga tidak spesifik, hanya
memperlihatkan hiperkeratotik dengan inflamasi perivaskular.1
Pada keadaan akut dapat memperlihatkan spongiosis, vesikel
intraepidermal dan eksositosis limfosit.9

Gambar 8. Gambaran histopatologis pada DA akut9

IX. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan klinis dengan:
a. Gejala utama gatal, penyebaran simetris di tempat predileksi
(sesuai usia).
b. Terdapat dermatitis yang kronik-residif.
c. Riwayat atopi pada pasien atau keluarganya.
Kriteria tersebut disebut sebagai kriteria Hanifin-Rajka, untuk
memastikan diagnosis dibutuhkan 3 tanda minor lainnya seperti pada
tabel dibawah ini.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Hanifin-Rajka2


Sedangkan dalam praktik sehari-hari dapat digunakan kriteria
William yang lebih sederhana, prakis dan cepat, yaitu:

1. Harus ada:
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
2. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut:
1. Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa
poplitea, bagian anterior dorsum pedis, atau seputar
leher (termasuk kedua pipi pada anak <10 tahun)
2. Riwayat asama atau hay fever pada anak (riwayat
atopi pada anak <4 tahun pada generasi pertama
dalam keluarga)
3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
4. Dermatitis fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian
lateral pada anak <4 tahun)
5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak ditanyakan
pada anak <4 tahun)

X. Diagnosis Banding
Diagnosis banding DA bergantung pada fase dan usia, manifestasi
klinis serta lokasi DA.
a. Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik, psoriasis dan
dermatitis popok
b. Pada fase anak dapat mirip dermatitis numularis, dermatitis
intertriginosa dan DKA
c. Pada fase dewasa lebih mirip dengan neurodermatitis atau likhen
simpleks kronik.

XI. Tata Laksana


Kongres Konsensus Internasional Dermatitis Atopik ke II
(International Consensus Conference on Atopik Dermatitis II/ ICCAD
II) di New Orleans tahun 2002 telah menyepakati pedoman terbaru
terapi DA dengan memperhatikan:
1. Efektivitas obat sistemik yang aman, bertujuan untuk mengurangi
rasa gatal, reaksi alergi dan inflamasi. Terapi sistemik dapat
diberikan:
a. Anti histamine (generasi sedative atau tidak sesuai
kebutuhan)
b. Kortikosteroid. Bukan merupakan hal rutin dan hanya
digunakan terutama pada kasus yang parah dengan
memperhatikan efek samping
2. Terapi topikal, berupa:
a. Kortikosteroid sebagai anti inflamasi, anti pruritus dan
imunosupresif
b. Pelembab digunakan untuk mengatasi gangguan sawar kulit
c. Obat penghambat kalsineurin
3. Kualitas kehidupan dan tumbuh kembang anak

Edukasi dan Konseling


Edukasi perlu diberikan kepada pasien maupun keluarga pasien
tentang DA, perjalanan penyakitnya, faktor pencetus dan yang
mempengaruhi DA. Perlu ditekankan bahwa DA merupakan penyakit
kronik dan berulang apabila terdapat faktor pencetus. Maka dari itu, ada
baiknya jika pasien maupun keluarga pasien mengenali faktor-faktor apa
saja yang dapat memicu terjadinya penyakit sehingga dapat
meminimalisasi kekambuhan. Komunikasi yang efektif perlu dilakukan
untuk memberikan pengertian pada pasien bahwa walaupun tidak dapat
disembuhkan, namun DA dapat dikendalikan sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.

Pemilihan Obat Topikal


Obat topikal yang diberikan kepada pasien DA meliputi pelembab,
kortikosteroid dan penghambat kalsineurin.
a. Pelembab
Pelembab digunakan untuk memulihkan disfungsi sawar kulit.
Pemakaian dilakukan teratur 2 kali sehari dioleskan segera setelah
mandi dan dipakai walaupun sedang tidak terdapat gejala DA.
Beberapa jenis pelembab antara lain:
1) Humektan (contohnya gliserin dan propilen glikol);
2) Natural moisturising factor (contohnya urea 10% dalam
euserin hidrosa);
3) Emolien (contohnya lanolin 10%, petrolatum, minyak
tumbuhan dan sintesis);
4) Protein rejuvenators (misalnya asam amino);
5) Bahan lipofilik (contohnya asam lemak esensial,
fosfolipid dan seramid).
b. Kortikosteroid topikal
Untuk mengurangi efek samping sistemik pada pemberian
kortikosteroid oral, maka pemberian kortikosteroid topikal lebih
dianjurkan. Terdapat 7 golongan besar kortikosteroid topikal,
pemilihannya dipertimbangkan berdasarkan jenis penyakit kulit,
jenis vehikulum, kondisi penyakit, stadium penyakit, luas atau
tidaknya lesi, dalam atau dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi.
Umumnya dianjurkan pemakaian 1-2 kali sehari dengan lama
pemakaian sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk potensi
lenah dan 2 minggu untuk kortikosteroid potensi kuat.10

Tabel 2. Pemilihan KS Topikal Berdasarkan Stadium DA3


Stadium Morfologi Klinis Kortikosteroid Bahan
DA Vehikulum
Akut : Eritema, vesikel, Potensi ringan Krim o/w
Fase Infantil erosim ekskoriasi (VII-VI)
(eksudatif)
Subakut: Eritema ringan, Potensi sedang Krim o/w atau
Fase Anak erois, skuama, (V-IV) w/o
krusta
Kronik: Hiperpigmentasi, Potensi kuat atau Salep, salep
Fase Dewasa hiperkeratosis dan sangat kuat berlemak, gel,
likenifikasi (III, II, I) propilen
glikol, asam
salisilat >3%
c. Penghambat kalsineurin
Obat penghambat kalsineurin diantaranya adalah takrolimus dan
pimekrolimus.
1) Takrolimus
Merupakan golongan penghambat kalsineurin yang
bekerja pada sel T, sel Langerhans, sel mast dan sel
keratinosit. Kerjanya menghambat degranulasi sel mast
dan mensupresi pengeluaran TNF-α. Krim yang
digunakan adalah 0,03% dan 0,1%, aman untuk usia 2-15
tahun.
2) Pimekrolimus
Merupakan golongan askomisin makrolaktam yang
bekerja secara selektif terutama pada sel T yang berperan
pada lesi DA. Kerjanya menghambat sitokin inflamasi
dari sel mast yang teraktivasi (misalnya IL-2, IL-3, IL-4,
TNF-α) dan juga mencegah pelepasan mediator inflamasi
(histamine, triptase) dari sel mast yang teraktivasi.

Pengobatan Sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik untuk mengurangi rasa gatal,
reaksi alergi dan inflamasi. Bila terjadi kerusakan pada kulit, maka
distribusi terapi topikal tidak merata sehingga penggunaan terapi sistemik
lebih aman dan mudah dikontrol.
a. Anti Histamin
Antihistamin sistemik mampu mengurangi rasa gatal sehingga
mengurangi frekuensi garukan. Pemilihan antihistamin dapat
dipertimbangkan berdasarkan efek sedatifnya. Antihistamin
golongan I atau sedative (contohnya klorfeniramin maleat,
hidroksisin) lebih efektif dibandingkan non sedatif. Namun
antihistamin golongan II atau non sedatif (contohnya ceterizin,
loratadin, terfenadin, feksofenadin) memiliki keunggulan dalam
mencegah migrasi sel inflamasi.

b. Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik dibatasi penggunaannya pada
kasus akut dan berat, serta diberikan untuk jangka pendek dengan
memperhatikan efek samping jangka panjang.3 Pemberian jangka
pendek berguna untuk mengatasi eksaserbasi akut dan diberikan
secara tapering off, disebut jangka pendek apabila penggunaannya
kurang dari 3 minggu. Pilihan obat yang diberikan pada pemakaian
jangka pendek misalnya deksametason. Pemberian kortikosteroid
sistemik jangka panjang (melebihi waktu 4 minggu) atau sebagai
terapi maintenance tidak dianjurkan oleh karena efek sampingnya
terutama pada anak berupa osteoporosis, katarak, supresi
pertumbuhan, dan hambatan penyembuhan luka. Namun apabila
dibutuhkan terapi jangka panjang, maka prednisone dan
metilprednisolon merupakan obat pilihan terapi.6 Pada penelitian
yang dilakukan oleh Yamanaka (2012) didapatkan hasil bahwa
pemberian kortikosteroid pada pasien DA fase infantil dapat
meningkatkan insiden infeksi Staphylococcus sp di kemudian
hari.11

XII. Komplikasi
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi kulit
(striae atroficans) dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka
panjang.

XIII. Prognosis
Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tata laksana yang
tepat. Penderita dewasa sebaiknya diberikan informasi tentang kronisitas
penyakit dan pengertian mengenai cara kerja terapi dengan lebih
mengendalikan penyakit daripada menyembuhkannya. Prognosis akan
menjadi buruk apabila riwayat keluarga memiliki penyakit serupa, onset
lebih awal dan luas, jenis kelamin perempuan dan disertai rhinitis alergika
dan asma.
BAB IV
PEMBAHASAN

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik, inflamasi, yang


ditandai dengan lesi eksematosa gatal dengan episode eksaserbasi dan remisi.
Prevalensi dermatitis atopik mencakup 10-20% pada anak dan 1-3% pada dewasa
dengan insidens yang cenderung meningkat di berbagai negara.1,2
Pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis berupa dermatitis atopik
dengan infeksi sekunder berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga
pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada tanggal 22 September 2106 sebagai
berikut :
Dari anamnesa terhadap seorang pasien perempuan yang baru lulus kuliah
dengan usia 23 tahun yang datang ke RS Dr. AK GANI dengan keluhan utama
timbul bercak merah di kedua lengan, kedua tungkai, badan dan punggung atas
yang gatal di seluruh badan selama kurang lebih 1 bulan yang lalu. Menurut
literatur, semua golongan umur, dari bayi sampai orang dewasa, dapat menderita
dermatitis atopik.1-9 Dermatitis atopik merupakan penyakit yang sering menyerang
anak, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada orang dewasa.
Prevalensi dermatitis atopik mencakup 10-20% pada anak dan 1-3% pada dewasa
dengan insidens yang cenderung meningkat di berbagai negara. Dermatitis atopik
lebih sering dijumpai pada perempuan daripada laki-laki pada semua kelompok
umur dengan perbandingan 1,3 : 1,0.2 Sebanyak 10% kasus dermatitis pada
dewasa terjadi tanpa didahului onset pada masa kecil.8
Kasus ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa perempuan lebih
sering terkena dermatitis atopik dibandingkan dengan laki-laki.2 Seperti yang
terjadi pada Nn.D, gatal yang dikeluhkan oleh pasien membentuk papul dan patch
eritema di regio eksteremitas superior, inferior. Pada regio genu pasien bahkan
sudah membentuk plak hiperpigmentasi disertai dengan ekskoriasi yang
menandakan bahwa terjadi garukan berulang yang mengakibatkan luka sehingga
memudahkan terjadinya infeksi sekunder. Hal ini sesuai dengan literatur yang
mengatakan bahwa predileksi dermatitis atopik adalah di bagian fleksor dan
ekstensor, pada kasus ini adalah region genu.3,7,9 Berdasarkan literatur juga
ditemukan bahwa pasien dermatitis atopik akan lebih mudah untuk terjadinya
infeksi sekunder, biasanya karena koloni Staphylococcus sp akibat trauma
garukan.3 Seluruh badan pasien sering terasa gatal hingga menyebabkan Ny.M
menggaruknya. Berdasarkan literatur, pruritus pada pasien DA disebabkan oleh
kulit yang kering sehingga menyebabkan ambang rasa gatal lebih rendah.
Stimulus ringan dapat menyebabkan pruritus melalui jalur reflex akson terminal
yang mengeluarkan substansi P sehingga terjadi vasodilatasi atau rangsangan pada
sel mast. Kulit yang kering pada pasien DA menyebabkan diskontinuitas sel
keratinosit sehingga bahan pruritogenik dapat merangsang reseptor dan
meningkatkan reaksi hipersensitivitas kulit.1,3 Maka dari itu, perlu ditelusuri lebih
jauh oleh pasien itu sendiri apa pencetus dari rasa gatal yang dirasakan oleh
pasien.
Pada riwayat penyakit dahulu, pasien mengatakan tidak pernah mengalami
keluhan serupa. Menurut literatur, dermatitis atopik merupakan penyakit radang
kulit kronis yang mengalami remisi dan eksaserbasi (kronik residif). Sesuai
dengan literatur, walaupun pada umumnya DA dimulai pada onset bayi maupun
anak, tetapi pada 10% kasus dermatitis pada dewasa terjadi tanpa didahului onset
pada masa kecil.8 Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi
dari berbagai macam faktor internal maupun eksternal. Patogenesis dari dermatitis
atopik diduga sebagai hasil interaksi dari faktor genetik, disfungsi imun, disfungsi
sawar epidermis, peranan lingkungan serta agen infeksius. 1 Faktor lain seperti
stres atau psikologis juga turut sebagai pemicu dermatitis atopik kemungkinan
karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal seperti yang terjadi pada
Nn.D.
Nn. D tinggal bersama kedua orangtuanya. Pasien mengatakan rajin mandi
2 hari sekali dan tidak terlalu beraktivitas yang menyebabkan keringat berlebih.
Pasien mengatakan bahwa rutin mengganti sprei satu kali seminggu. Menurut
literatur, terdapat teori higiene yang diduga dapat memicu terjadinya dermatitis
atopik. Disebutkan bahwa pajanan dini terhadap infeksi menyebabkan sistem
imun pada anak berkembang secara normal, sehingga tubuh membentuk
pertahanan imun selular. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan terhadap
alergi sehingga menurunkan risiko DA.3 Riwayat higiene Nn. D yang tinggal
bersama orangtua dan kebersihan yang terlalu dijaga mungkin turut serta dapat
patogenesis penyakit pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada regio genu terdapat plak
hiperpigmentasi soliter berukuran ± 4 x 4 x 0,3 cm, bentuk tidak teratur berbatas
tegas dengan erosi, ekskoriasi multiple berukuran 0,5 cm dan likenifikasi. Pada
regio ekstremitas inferior sinistra ditemukan patch eritema multipel berukuran ± 1
x 1 cm bentuk tidak teratur, berbatas tegas dengan skuama minimal halus
berwarna putih. Pada regio trunkus anterior terdapat patch eritema multiple
berukuran paling besar ± 2 x 2 cm dan ukuran paling kecil ± 0,2 x 0,2 cm, bentuk
tidak teratur, berbatas tegas disertai skuama halus berwarna putih. Pada regio
ekstremitas superior sinistra terdapat papul multiple berukuran ± 0,1 x 0,1 x 0,1
cm berbatas tegas, diskret. Sesuai dengan literatur, bentuk lesi pada dermatitis
atopik fase dewasa adalah plak hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi,
ekskoriasi dan skuama. Hasil efloresensi ini dapat mendukung diagnosis
dermatitis atopik fase remaja atau dewasa dimana lesinya bersifat kronik yang
cenderung memperlihatkan adanya likenifikasi dengan skuama dan ekskoriasi
akibat trauma garukan.
Diagnosis banding yang diambil pada kasus ini antara lain dermatitis
atopik dengan infeksi sekunder, dermatitis seboroik dengan infeksi sekunder dan
dermatitis kontak alergi. Dermatitis atopik merupakan peradangan kulit kronis dan
residif yang disertai rasa gatal. Lesi dermatitis atopik pada dewasa dapat berupa
plak papular-eritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal.
Dermatitis atopik yang terjadi pada orang dewasa distribusi lesi kurang
karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula
ditemukan setempat misalnya di bibir, vulva, puting susu atau kulit kepala. 9 Lesi
yang timbul kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung
menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama yang lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.9 Lesi yang ditemukan pada Nn. D merupakan plak likenifikasi
yang sudah mengalami hiperpigmentasi, sesuai dengan ciri khas gambaran
dermatitis kronik pada orang dewasa. Diagnosis dermatitis atopik berdasarkan
kriteria Hanifin-Rajka yang harus memenuhi 3 kriteria mayor dan 3 kriteria
minor. Pada Nn. D tidak didapatkan riwayat dalam bentuk apapun termasuk
dikeluarganya.
Diagnosis banding selanjutnya adalah dermatitis seboroik. Dermatitis
seboroik merupakan penyakit radang kulit yang bersifat kronik residif dimana
bagian tubuh yang terkena adalah yang mengandung banyak kelenjar sebasea.
Lesi pada dermatitis seboroik berupa eritema dengan batas relatif tegas yang
tertutup skuama berminyak yang sering disertai dengan rasa gatal dan terjadi pada
bagian tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala,
wajah dan punggung bagian atas. Dermatitis seboroik pada dewasa biasanya
ditemukan di skalp, dan pada bentuk yang ringan di wajah (dahi, glabela,
nasolabialis, preaurikular, daerah kumis dan jenggot) dan daerah sternal,
interskapula dan ketiak. Pada pemeriksaan fisik Nn. D tidak ditemukan efloresensi
yang sesuai pada dermatitis seboroik, yaitu lesi eritema yang tetutup skuama
berminyak yang seharusnya berada pada bagian tubuh yang mengandung banyak
kelenjar sebasea. Maka dari itu diagnosa banding dengan dermatitis seboroik
dapat disingkirkan.
Diagnosis banding selanjutnya adalah dermatitis kontak alergi. Dermatitis
kontak alergi merupakan dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi
yang menempel pada kulit dan terjadi pada seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terhadap suatu bahan penyebab atau allergen. Diagnosa banding
dengan dermatitis kontak alergika dapat disingkirkan karena pada dermatitis
kontak alergika lesinya berdasarkan tempat kontaktan. Walaupun Nn. D
mengatakan bahwa memiliki riwayat alergi terhadap seafood dan perhiasan
berbahan logam, namun predileksi yang sekarang dikeluhkan pasien tidak sesuai
dengan lokasi dimana perhiasan tersebut dikenakan.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk melemahkan diagnosis
banding dan memastikan diagnosis kerja. Pemeriksaan kerokan kulit diambil dari
lesi basah beupa plak hiperpigmentasi yang telah mengalami ekskoriasi di regio
genu. Setelah itu dilakukan pewarnaan Gram dan ditemukan bakteri
Staphylococcus sp. Hal ini menunjukkan adanya infeksi sekunder. Infeksi
sekunder yang dialami oleh Nn. D merupakan hal yang wajar dialami oleh pasien
DA. Menurut literatur, Staplylococcus aureus dan Streptococcus β-hemoliticus
merupakan spesies yang paling sering berkoloni di kulit pasien DA, diikuti oleh
infeksi jamur Pytirosporum ovale dan virus herpes simpleks. Pemeriksaan darah
lengkap memperlihatkan peningkatan pada eosinofil dan IgE. Pemeriksaan
histopatologi berasal dari jaringan genu yang diambil dengan biopsi. Gambaran
histopatologi yang terlihat berupa hiperkeratosis dan inflamasi perivaskular.
Diagnosis pada Nn. D adalah dermatitis atopik dengan infeksi sekunder.
Dermatitis atopik dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, kriteria menurut William maupun Hanifin-Rajka dan pemeriksaan
penunjang. Hal tersebut mendukung diagnosis dermatitis atopik pada Nn. D.
Pasien mendapatkan tatalaksana secara umum dan khusus. Tatalaksana
secara umum yaitu pasien diedukasi tentang penyakit yang dideritanya yaitu
penyakit ini termasuk penyakit yang sering kambuh apabila tidak dikendalikan
secara baik. Edukasi juga diberikan mengenai meminimalisasi faktor yang
memperburuk keluhan seperti keringat berlebih, faktor allergen seperti debu
maupun makanan yang dikonsumsi. Sesuai dengan literatur bahwa dermatitis
atopik merupakan penyakit kronis residif yang dapat memburuk dengan faktor
pencetusnya. Edukasi pasien untuk tidak banyak menggaruk pada daerah gatal
apalagi dengan tangan atau benda yang kotor karena dapat menyebabkan infeksi
sekunder seperti yang terjadi pada Nn. D. Salep gentamycin 3x sehari dioleskan
pada plak di genu untuk mengobati infeksi sekunder. Cetirizine sebanyak 1 kali
10 mg/hari/oral untuk mengurangi rasa gatal karena menggaruk berisiko
menyebabkan infeksi sekunder.
Prognosis pada Nn. D quo ad vitam dan ad fungsionam baik. Quo ad
sanationam yaitu dubia karena memang penyakit dermatitis atopik bersifat kronik
residif ditambah beberapa faktor pemicu dapat memperburuk keluhan seperti stres
dan alergen lainnya. Quo ad cosmeticum adalah dubia ad bonam, jika pasien
merawat kulitnya dengan baik dari segi penggunaan terapi farmakologis yang
rutin dan mencegah garukan yang berlebihan.
BAB V
KESIMPULAN

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, inflamasi, yang ditandai


dengan lesi eksematosa gatal dengan episode eksaserbasi dan remisi. Prevalensi
dermatitis atopik mencakup 10-20% pada anak dan 1-3% pada dewasa dengan
insidens yang cenderung meningkat di berbagai negara.1,2
Kelainan yang terjadi pada dermatitis atopik bergantung pada fase yang
sedang dialami, yaitu fase infantil, fase anak maupun fase remaja dan dewasa. 1,2,3
Pada fase infantile, gambaran klinis mirip dengan dermatitis akut, eksudatif, erosi
dan ekskoriasi. Pada fase anak, kulit pasien serta kulit pada lesi cenderung kering
disertai hyperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta dan skuama.
Sedangkan pada fase remaja dan dewasa, manifestasi klinis bersifat kronis berupa
hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi dan skuama. Rasa gatal
dan garukan yang terus menerus memicu kerusakan barrier kulit lebih lanjut
sehingga memudahkan masuknya allergen dan iritan yang menyebabkan
dermatitis atopik sering berulang (kronik-residif).3
Diagnosis dermatitis atopik dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis
dan gambaran klinis yang khas pada dermatitis berupa lesi eksematosa yang gatal
serta kronik dan berulang oleh karena faktor pencetus. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan menggunakan Kriteria William maupun kriteria Hanifin-Rajka.
Tata laksana dermatitis atopik yang efektif meliputi kombinasi
penghindaran pencetus, pengurangan gatal menjadi seminimal mungkin,
perbaikan sawar kulit serta obat anti inflamasi. Prognosis pada dermatitis atopik
baik infantil namun pada dewasa bersifat kronik residif sehingga perlu edukasi
yang baik kepada pasien agar tidak terjadi kekambuhan atau kekambuhan
minimal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Movita, Theresia. Tatalaksana Dermatitis Atopik. CDK-222 vol.4,


no.11, tahun 2014 hal. 828-31.
2. Evina, Belda. Clinical Manifestations and Diagnostic Criteria of
Atopic Dermatitis. J Majority, vol.4 no.4 Feb 2015 hal.23-30.
3. Boediardjo, SA. Dermatitis Atopik. Dalam: Menaldi, SLSW, editor.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ketujuh. Jakarta: FKUI;
2016.h.167-183.
4. Watson, W & Kapur, S. Atopic Dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology 2011, p.1-7.
5. Eliska, N, Thaha, MA & Anwar, C. Faktor Risiko pada Dermatitis
Atopik. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, vol.2, no.1. Januari 2015:
143-49.
6. Thohiroh, A & Zulkarnain, I. Pengobatan Oral pada Pasien Dermatitis
Anak. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, vol.27, no.3.
Desember 2015: 191-96.
7. Leung DYM, Eichenfield LF, Bogunewwicz M. Atopic Dermatitis.
Dalam: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Lefrel DA, ed. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
seventh edition. New York: Mc Graw Hill: 2008 h. 147-158.
8. Williams, AC. Atopic Dermatitis. N Eng J Med 2005; 352: 2314-24.
9. Bieber, T & Bussman, C. Atopic Dermatitis. Dalam: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV, ed. Dermatology third edition. Elsevier
Saunders: 2012 p. 203-16.
10. Johan, Reyshiani. Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat.
CDK-227 vol.42, no.4, tahun 2015 hal. 308-12.
11. Yamanaka, Akiyoshi. Mechanism of asthma and allergic disesase –
1068. Why we should not use steroids against infections in infants with
atopic dermatitis. World Allergy Organization Journal 2013 6 (Suppl
1):P65.

Anda mungkin juga menyukai