Disusun Oleh :
Pembimbing :
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. D
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cempaka I 6/9
Tanggal Pemeriksaan : 17 September 2019
Nomor Rekam Medis : 0020871
B. Anamnesis
Keluhan utama : timbul bercak merah di kedua lengan, kedua tungkai,
badan dan punggung atas.
Keluhan tambahan : keluhan utama disertai dengan gatal pada seluruh
tubuh selama kurang lebih 1 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan adanya luka
basah berwarna kehitaman yang nyeri dan terlihat sedikit berdarah pada
bagian lututnya.
Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluhkan bahwa pada bagian
lengan, kaki dan punggung terdapat banyak bercak berwarna merah yang
gatal. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak sekitar 1 bulan yang lalu.
Awalnya, yaitu 1 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan adanya bercak merah
yang gatal pada lututnya. Bercak merah kemudian melebar ke kedua tungkai.
Rasa gatal tersebut dirasakan pasien pada waktu yang tak menentu dan
membuat pasien selalu ingin menggaruknya. Rasa gatal akan bertambah jika
pasien berkeringat dan cukup menganggu aktivitas serta waktu tidur pasien.
Untuk mengurangi rasa gatalnya, pasien menggunakan bedak “herocin” yang
dibelinya di apotek, namun tidak memberikan pengaruh. Pasien juga berusaha
mengobati gatalnya dengan mengkonsumsi air rebusan pinang muda yang
dibuatkan oleh ibunya, namun sama saja tidak ada perbaikan. 2 minggu
kemudian, pasien mengeluhkan bahwa bercak merah yang gatal tersebut
menjalar ke kedua lengan, siku dan punggung. Pasien mengatakan bahwa
bagian yang paling gatal adalah pada bagian lengan, siku serta punggung.
Akhirnya pasien memeriksakan diri ke puskesmas dan diberikan obat minum.
Setelah berobat ke puskesmas, pasien merasakan adanya sedikit perubahan
yaitu bercak yang berada di lipatan siku sekarang sudah tidak ada dan hanya
menyisakan sedikit bintil di lengan bawahnya yang namun masih terasa gatal,
tetapi bercak di kaki dan punggung atasnya tidak menghilang. Obat yang
diberikan oleh puskesmas tidak berpengaruh pada gatalnya hingga 1 minggu
yang lalu pasien merasakan semakin gatal pada bagian lutut yang terus
menerus, lalu digaruk dan menyebabkan kulitnya semakin menebal, berwarna
kehitaman serta terlihat luka yang berdarah dan nyeri.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien mengatakan tidak pernah mengalami
keluhan serupa sebelumnya. Riwayat alergi obat disangkal. Pasien
mengatakan bahwa memiliki alergi terhadap seafood dan juga pada perhiasan
berbahan logam. Riwayat asma atau bersin-bersin saat pagi hari disangkal.
Riwayat penyakit keluarga : Pasien menyangkal ada yang menderita
keluhan yang sama dikeluarganya. Tidak ada penyakit kulit dikeluarganya
serta tidak ada riwayat asma atau bersin-bersin saat pagi hari di keluarganya.
Riwayat status sosial ekonomi : Pasien adalah seorang mahasiswi yang
baru lulus namun belum memiliki perkerjaan. Pasien tinggal bersama kedua
orangtuanya.
Riwayat hygiene : Pasien mengatakan rajin mandi 2 hari sekali dan tidak
terlalu beraktivitas yang menyebabkan keringat berlebih. Pasien mengatakan
bahwa rutin mengganti sprei satu kali seminggu.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Baik
Tanda Vital : Dalam batas normal
Kepala : Tidak ada kelainan
Leher : Tidak ada kelainan
Toraks : Cor dan Pulmo tidak ada kelainan
Abdomen : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Lihat status dermatologikus
D. STATUS DERMATOLOGIKUS
Gambar 3. Regio ekstremitas superior sinistra. Papul multiple berukuran ± 0,1 x 0,1 x 0,1 cm
berbatas tegas, diskret
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk melemahkan diagnosis
banding dan menegakkan diagnosis kerja.
1. Pewarnaan Gram
Preparat diambil dari kerokan kulit pada patch di regio genu,
diletakkan pada kaca preparat dan diberikan pewarnaan dengan gentian
violet, lugol dan safranin secara berurutan sesuai prosedur, kemudian
dilihat menggunakan mikroskop. Ditemukan :
Bentuk : kokus
Susunan : berkelompok
Warna : ungu
Sifat : Gram (+)
Metode : pewarnaan Gram
Bakteri : Staphyloccocus sp.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap memperlihatkan peningkatan pada
eosinofil dan IgE.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Preparat berasal dari jaringan trunkus yang diambil dengan biopsi.
Gambaran histopatologi berupa hiperkeratotik dengan inflamasi
perivaskular.
F. Diagnosis Banding
G. Diagnosis Kerja
Dermatitis atopik + infeksi sekunder
H. Penatalaksanaan
Umum
o Edukasi pasien tentang penyakit yang diderita bahwa dermatitis
atopik merupakan penyakit kronik yang berulang jika terdapat
faktor pencetus seperti keringat berlebih, allergen seperti debu
atau makanan yang dikonsumsi
o Edukasi pasien untuk mengingat faktor pencetus sehingga
dapat meminimalisasi faktor yang memperburuk keluhan dan
pencegahan kekambuhan
o Edukasi pasien untuk tidak banyak menggaruk pada daerah
gatal
o Edukasi pasien untuk tidak menggaruk dengan tangan atau
benda yang kotor
o Edukasi pasien untuk memotong kuku supaya ketika
menggaruk tidak menyebabkan perlukaan pada kulit
Khusus
o Topikal :
Kompres terbuka dengan Na Cl 0,9% pada bagian luka
di lutut sebanyak 2 kali sehari pagi dan sore selama 1
minggu.
Salep Hydrocortisone 2,5% dioleskan untuk area
eritema, digunakan 1-2x sehari (pagi dan malam hari
sebelum tidur) selama 1 minggu.
Salep Gentamycin 3x sehari dioleskan pada luka di
lulutnya untuk mengobati infeksi sekunder.
o Sistemik :
Cetirizine : 1 kali 10 mg/hari/oral jika gatal.
I. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia
Quo ad cosmeticum : dubai ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Sinonim
Dermatitis atopik disebut juga sebagai ekzema atopik, ekzema
fleksural, neurodermatitis diseminata dan prurigo Beisner.2
II. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik, inflamasi,
yang ditandai dengan lesi eksematosa gatal dengan episode eksaserbasi
dan remisi.1
III. Epidemiologi
Dermatitis atopik merupakan penyakit yang sering menyerang anak,
namun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada orang dewasa.
Prevalensi dermatitis atopik mencakup 10-20% pada anak dan 1-3% pada
dewasa dengan insidens yang cenderung meningkat di berbagai negara. 1
Di Indonesia sendiri menunjukan bahwa dermatitis atopik pada anak
mencakup 23,67% pada 611 kasus baru penyakit kulit sehingga
menjadikannya sebagai peringkat 1 dari 10 penyakit kulit anak terbanyak
pada 7 rumah sakit di 5 kota di Indonesia pada tahun 2000.2 Onset dari
dermatitis atopik sering pada masa anak mulai dari bayi yang baru lahir
hingga anak usia 5 tahun dengan 60-70% kasus sembuh sebelum usia
dewasa. Data lainnya di negara berkembang menunjukkan bahwa 10-20%
anak menderita dermatitis atopik dan 60% diantaranya menetap hingga
dewasa. Dermatitis atopik lebih sering dijumpai pada perempuan daripada
laki-laki pada semua kelompok umur dengan perbandingan 1,3 : 1,0.2
IV. Etiologi
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi dari
berbagai macam faktor internal maupun eksternal. Patogenesis dari
dermatitis atopik diduga sebagai hasil interaksi dari faktor genetic,
disfungsi imun, disfungsi sawar epidermis, peranan lingkungan serta agen
infeksius.
Etiologi dan patogenesis masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain:
1. Disfungsi sawar kulit. Disfungsi sawar kulit pada dermatitis atopik
diakibatkan oleh menurunnya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin
(filagrin dan lorikrin) yang menyebabkan peningkatan absorbs dan
hipersensitivas terhadap allergen. Berkurangnya volume seramid serta
meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epidermal-water loss (TEWL)
menyebabkan kulit pasien DA lebih kering dan sensitivitas gatal terhadap
berbagai rangsangan bertambah. Garukan akibat gatal akhirnya
menimbulkan erosi yang mungkin dapat meningkatkan penetrasi dan
kolonisasi mikroba di kulit.3
2. Perubahan sistem imun (imunopatologi). Penelitian yang dilakukan
Izhizaka pada tahun 1996 menyebutkan bahwa pada DA terdapat
peningkatan kadar IgE yang menyebabkan reaksi eritema di kulit.
Terdapat juga stimulasi interleukin-4 (IL-4) terhadap sel T (CD4+) dan IL-
13 terhadap sel B untuk memproduksi IgE. Diketahui bahwa pada pasien
DA jumlah IgE lebih banyak dan menunjukkan daya afinitas yang tinggi
pada reseptor di keratinosit dan sel Langerhans, sehingga pathogenesis DA
lebih diperankan oleh reaksi tipe I.
3. Alergen dan superantigen.
a. Allergen
Faktor eksogen terutama allergen hirup (debu rumah, tungau)
berperan penting pada terjadinya DA. Hasil penelitian alergi
terhadap makanan bervariasi dalam jenis dan frekuensi. Data dari
suatu penelitian memperlihatkan urutan allergen yang allergen
yang paling sering ditemukan dan uji kulit bereaksi positif adalah
telur, susu sapi, kacang-kacangan, soya, gandum, ikan dana yam.
b. Superantigen
Terdapat peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus (SA) pada
lesi DA. Superantigen dikatakan dapat meningkatkan penglepasan
histamine dan leukotriene, sintesis IgE, menyebabkan inflamasi
pada kulit DA dan memicu kekambuhan lesi DA.
4. Genetik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa penurunan DA cenderung
bersifat maternal, dimana jika ibu menderita DA maka anak kandungnya
akan berisiko 2,66 kali lebih besar menderita DA.3
5. Teori higiene. Disebutkan bahwa pajanan dini terhadap infeksi
menyebabkan sistem imun pada anak berkembang secara normal,
sehingga tubuh membentuk pertahanan imun selular. Hal tersebut akan
meningkatkan kerentanan terhadap alergi sehingga menurunakn risiko
DA.3
V. Patogenesis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa DA salah satunya
disebabkan oleh karena disfungsi sawar kulit. Fungsi sawar epidermis terletak
pada stratum korneum sebagai lapisan kulit terluar. Stratum korneum
berfungsi mengatur kelembaban dan pemeabilitas kulit, melindungi kulit dari
mikroorganisme serta sinar ultraviolet dan sebagai penghantar rangsang
mekanik maupun sensorik. Lapisan ini terbentuk dari korneosit yang
dikelilingi lipid yang terdiri dari seramid, kolesterol serta asam lemak bebas.
Seramid berikatan kovalen dengan selubung korneosit membentuk sawar yang
menghalangi air keluar dari lapisan kulit. Hidrasi korneosit juga dipengaruhi
oleh natural moisturizing factor (NMF) yang berasal dari pemecahan filagrin
di korneosit menjadi asam amino.1
VI. Klasifikasi
DA umumnya diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan organ
tubuh, yaitu:
a. DA murni. Hanya terdapat pada kulit.
b. DA dengan kelainan pada organ lain, misalnya asma bronkial,
rhinitis alergika serta hipersensitivitas terhadap berbagai allergen
polivalen (hirup dan makanan).
Bentuk DA murni terdiri atas 2 tipe, yaitu:
1) DA intrinsik, yaitu DA tanpa bukti hipersensitivitas
terhadap allergen polivalen dan tanpa peningkatan kadar
IgE total di dalam serum.
2) DA ekstrinsik, yaitu bila terbukti pada uji kulit terdapat
hipersensitivitas terhadap allergen hirup dan makanan.
IX. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan klinis dengan:
a. Gejala utama gatal, penyebaran simetris di tempat predileksi
(sesuai usia).
b. Terdapat dermatitis yang kronik-residif.
c. Riwayat atopi pada pasien atau keluarganya.
Kriteria tersebut disebut sebagai kriteria Hanifin-Rajka, untuk
memastikan diagnosis dibutuhkan 3 tanda minor lainnya seperti pada
tabel dibawah ini.
1. Harus ada:
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
2. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut:
1. Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa
poplitea, bagian anterior dorsum pedis, atau seputar
leher (termasuk kedua pipi pada anak <10 tahun)
2. Riwayat asama atau hay fever pada anak (riwayat
atopi pada anak <4 tahun pada generasi pertama
dalam keluarga)
3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
4. Dermatitis fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian
lateral pada anak <4 tahun)
5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak ditanyakan
pada anak <4 tahun)
X. Diagnosis Banding
Diagnosis banding DA bergantung pada fase dan usia, manifestasi
klinis serta lokasi DA.
a. Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik, psoriasis dan
dermatitis popok
b. Pada fase anak dapat mirip dermatitis numularis, dermatitis
intertriginosa dan DKA
c. Pada fase dewasa lebih mirip dengan neurodermatitis atau likhen
simpleks kronik.
Pengobatan Sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik untuk mengurangi rasa gatal,
reaksi alergi dan inflamasi. Bila terjadi kerusakan pada kulit, maka
distribusi terapi topikal tidak merata sehingga penggunaan terapi sistemik
lebih aman dan mudah dikontrol.
a. Anti Histamin
Antihistamin sistemik mampu mengurangi rasa gatal sehingga
mengurangi frekuensi garukan. Pemilihan antihistamin dapat
dipertimbangkan berdasarkan efek sedatifnya. Antihistamin
golongan I atau sedative (contohnya klorfeniramin maleat,
hidroksisin) lebih efektif dibandingkan non sedatif. Namun
antihistamin golongan II atau non sedatif (contohnya ceterizin,
loratadin, terfenadin, feksofenadin) memiliki keunggulan dalam
mencegah migrasi sel inflamasi.
b. Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik dibatasi penggunaannya pada
kasus akut dan berat, serta diberikan untuk jangka pendek dengan
memperhatikan efek samping jangka panjang.3 Pemberian jangka
pendek berguna untuk mengatasi eksaserbasi akut dan diberikan
secara tapering off, disebut jangka pendek apabila penggunaannya
kurang dari 3 minggu. Pilihan obat yang diberikan pada pemakaian
jangka pendek misalnya deksametason. Pemberian kortikosteroid
sistemik jangka panjang (melebihi waktu 4 minggu) atau sebagai
terapi maintenance tidak dianjurkan oleh karena efek sampingnya
terutama pada anak berupa osteoporosis, katarak, supresi
pertumbuhan, dan hambatan penyembuhan luka. Namun apabila
dibutuhkan terapi jangka panjang, maka prednisone dan
metilprednisolon merupakan obat pilihan terapi.6 Pada penelitian
yang dilakukan oleh Yamanaka (2012) didapatkan hasil bahwa
pemberian kortikosteroid pada pasien DA fase infantil dapat
meningkatkan insiden infeksi Staphylococcus sp di kemudian
hari.11
XII. Komplikasi
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi kulit
(striae atroficans) dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka
panjang.
XIII. Prognosis
Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tata laksana yang
tepat. Penderita dewasa sebaiknya diberikan informasi tentang kronisitas
penyakit dan pengertian mengenai cara kerja terapi dengan lebih
mengendalikan penyakit daripada menyembuhkannya. Prognosis akan
menjadi buruk apabila riwayat keluarga memiliki penyakit serupa, onset
lebih awal dan luas, jenis kelamin perempuan dan disertai rhinitis alergika
dan asma.
BAB IV
PEMBAHASAN