Anda di halaman 1dari 22

1

PENDAHULUAN

Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit kulit bersifat kronik yang


ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan episode eksaserbasi
dan remisi. Penyakit ini sering berhubungan dengan riwayat keluarga hay fever,
asma, rinitis alergi, dan dermatitits atopik.1 Hal tersebut disebabkan oleh interaksi
yang kompleks antara abnormalitas fungsi sawar kulit, sensitisasi oleh alergen,
defek pada sistem imun bawaan, dan infeksi kulit yang berulang.2 Morfologi lesi
pada DA dapat bervariasi dari eritema, vesikel hingga likenifikasi dan umumnya
berdistribusi pada fleksor. Penderita DA cenderung mengalami kulit kering
sehingga semakin rentan terhadap kekeringan akibat busa sabun.3
Sejak tahun 1960, angka kejadian dermatitis atopik meningkat hingga tiga
kali lipat dengan prevalensi 10-20% anak negara industri di dunia menderita
penyakit ini. Diperkirakan 67-82% anak menderita Dermatitis Atopik ringan, 12-
26% derajat sedang, dan 4-7% memiliki derajat yang berat. Prevalensi Dermatitis
Atopik di Indonesia adalah 10% , dengan angka kejadian bervariasi pada berbagai
daerah. Laporan kejadian dermatitis atopik anak di RSUDZA paling tinggi pada
tahun 2013, yaitu terdapat 26 kasus baru. Berdasarkan data terbaru dari
International Study of Asthma and Allergies in Chilhood (ISAAC), Dermatitis
Atopik merupakan suatu penyakit dengan prevalensi tinggi baik di negara maju
maupun negara berkembang dan insidensi cenderung meningkat di berbagai
belahan dunia. Onset DA sering pada anak-anak mulai dari lahir sampai usia 5
tahun. Meskipun DA penyakit kronis, 60-70% penderitanya sembuh sebelum usia
dewasa.1,3,4
Patogenesis dermatitis atopik masih belum jelas. Beberapa hal dapat
berkontribusi pada patogenesis dermatitis atopik, di antaranya adalah genetik,
faktor imunologi, dan faktor lingkungan. Secara genetik, risiko DA pada anak
akan meningkat jika ibu mengalami hal serupa. Pada pasien DA, adanya
gangguan respon imun baik respon imun bawaan maupun adaptif berhubungan
dengan peningkatan level IgE serum dan lesi eksimatous yang timbul.6
2

Diagnosis Dermatitis Atopik ditegakkan berdasarkan kumpulan gejala


klinis, Hanifin dan Rajka menegakkan kriteria diagnostik Dermatitis Atopik
sesuai kriteria mayor dan minor. Kriteria tersebut mampu menyeragamkan
diagnosis untuk studi yang berbasis rumah sakit dan studi eksperimental, namun
perlu dipertimbangkan pada studi yang berbasiskan populasi. Adapun kriteria
mayor yang harus dimiliki adalah pruritus, distribusi ruam yang tipikal, bersifat
kronik atau relaps, dan riwayat atopi keluarga. Diagnosis Dermatitis Atopik dapat
ditegakkan jika memenuhi paling sedikit 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.1
Adapun tata laksana dermatitis atopik yang efektif meliputi kombinasi
penghindaran pencetus, pengurangan rasa gatal seminimal mungkin, perbaikan
sawar kulit, dan obat antiinflamasi. Pencetus dapat berupa aero-alergen, alergi
makanan, infeksi, suhu, kelembapan, bahan iritan , dan stres emosional. Dalam
memperbaiki fungsi sawar kulit, dapat dilakukan dengan hidrasi yang baik dan
pemakaian pelembab. Untuk antiinflamasi, steroid topikal masih menjadi pilihan
utama untuk mengatasi DA. Antihistamin reseptor H1 oral dapat digunakan untuk
mengontrol keluhan gatal. Namun, tidak jarang ditemukan juga infeksi sekunder
pada pasien DA sehingga keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian antibiotik
topikal sesuai dengan luas lesi.7
Dermatitis atopik memiliki dampak yang sangat besar terhadap kualitas
hidup diri maupun keluarga penderita. Pada anak dengan DA, permasalahan
terbesar adalah pada rasa gatal, kesulitaan saat mandi, dan gangguan tidur. Pada
DA berat juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan anak. Hal tersebut
tentu akan berefek kepada kualitas hidup keluarga pasien. Oleh karena itu, terapi
dermatitis atopik yang berfokus pada peningkatan kualitas hidup pasien
menunjukkan hasil yang memuaskan.
3

LAPORAN KASUS POLIKLINIK

IDENTITAS PASIEN
Nama :FHK
Tanggal Lah ir/Umur : 1 Februari 2012 / 5 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Berat Badan : 20 kg
Suku : Aceh
Alamat : Lamteuba, Aceh Besar
Tanggal Pemeriksaan : 24 Mei 2017
Jaminan : JKN
Nomor RM : 1-13-03-14

ALLOANAMNESIS
Keluhan Utama
Rasa gatal di tangan dan kaki
Keluhan Tambahan
Bintik-bintik merah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ibunya dengan keluhan timbul bintik-bintik merah yang terasa
gatal di tangan dan kaki sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya timbul bintik-bintik
kemerahan dan karena gatal pasien terus menggaruk hingga bintik melebar,
mengelupas, dan menimbulkan bekas yang berwarna hitam. Gatal dirasakan terus
menerus, terutama saat pasien berkeringat. Menurut ibu, pasien pertama kali
menderita keluhan tersebut saat pertama kali minum susu formula usia 2 tahun.
Pasien sudah pernah berobat ke dokter, namun keluhan yang sama kembali
muncul saat obat sudah habis.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengalami keluhan yang sama sejak umur dua tahun, riwayat sering bersin
di pagi hari tidak ada, asma tidak ada
4

Riwayat Penggunaan Obat


Pasien mendapatkan obat sirup dari dokter tapi lupa nama obatnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama, riwayat sering bersin di
pagi hari tidak ada, asma tidak ada
Riwayat Kebiasaan Sosial yang Relevan
Pasien merupakan anak tunggal yang tumbuh dengan sehat, saat ini duduk di
bangku taman kanak-kanak

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan tanggal 23 Mei 2017

Gambar 1. Regio fasialis


Regio : Fasial
Deskripsi lesi :
Tampak patch hipogigmentasi, batas tidak tegas, tepi ireguler, ukuran gutata
sampai numular, jumlah multipel, distribusi regional
5

Gambar 1. Regio Antebrachii dan Cruris


Regio : Antebrachii dextra et sinistra, cruris dextra et sinistra
Deskripsi lesi:
Tampak makula hiperpigmentasi, berbatas tegas dengan tipe reguler, ukuran
lentikuler sampai gutata, jumlah multipel, distribusi bilateral, serta permukaan lesi
dilapisi skuama halus
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan white dermographysme
Kesan : garis putih tidak segera disusul garis merah
2. Pemeriksaan wood lamp

Kesan : tidak terdapat perubahan warna


3. Pemeriksaan laboratorium kerokan kulit KOH 10%
Kesan : tidak ditemukan adanya hifa
6

RESUME
Seorang anak laki-laki usia 5 tahun dibawa ibunya ke poliklinik Kulit &
Kelamin dengan keluhan timbul bintik-bintik kecil yang gatal di tangan dan kaki
sejak satu bulan yang lalu. Awalnya timbul bintik-bintik kemerahan dan karena
gatal pasien terus menggaruk hingga bintik melebar, mengelupas, dan
menimbulkan bekas. Keluhan gatal memberat saat pasien berkeringat. Menurut
sang ibu, keluhan pertama kali muncul saat pasien pertama kali minum susu
formula usia 2 tahun. Pasien sudah pernah berobat ke dokter, namun keluhan yang
sama kembali muncul saat obat sudah habis. Pada pemeriksaan fisik regio
antebrachii kruris dextra et sinistra tampak makula hiperpigmentasi, berbatas
tegas dengan tipe reguler, ukuran lentikuler sampai gutata, jumlah multipel,
distribusi bilateral, serta permukaan lesi dilapisi skuama halus. Pada regio fasial
juga tampak patch hipogigmentasi, batas tidak tegas tegas, tepi ireguler, ukuran
gutata sampai numular, jumlah multipel, distribusi regional. Hasil pemeriksaan
Dermografisme White tampak garis putih tidak segera disusul garis kemerahan.
Pemeriksaan lampu Wood negatif, dan pemeriksaan KOH negatif.
DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Atopik Anak
2. Dermatitis Kontak Iritan
3. Dermatitis Seboroik
4. Skabies
5. Tinea Korporis
DIAGNOSIS KLINIS
Dermatitis Atopik Anak
TATALAKSANA
Sistemik:
- Cetirizine sirup 2 x 1 cth
Topikal:
- Tyamisin 2% + Momethason furoat 0,1% + Vaselin album
(dioles di tangan/kaki : pagi/siang)
- Asam salisilat 2% + diflucortolone valerate 0,1%
(di oles tangan/kaki : malam)
7

EDUKASI
- Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit dan
kemungkinan berulangnya penyakit
- Menjelaskan kepada orang tua pasien untuk menghindari pasien dari
faktor pencetus, seperti aero-alergen, alergi makanan, suhu, kelembapan,
bahan-bahan iritan yang dapat menimbulkan kekambuhan penyakit
- Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai pengobatan dan cara
pemakaian obat.

PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam
8

ANALISA KASUS

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang anak laki-laki usia 5 tahun


dibawa ibunya ke poliklinik Kulit & Kelamin dengan keluhan timbul bintik-bintik
kecil yang gatal di tangan dan kaki sejak satu bulan yang lalu. Awalnya timbul
bintik-bintik kemerahan dan karena gatal pasien terus menggaruk hingga bintik
melebar, mengelupas, dan menimbulkan bekas. Keluhan gatal memberat saat
pasien berkeringat. Menurut sang ibu, keluhan pertama kali muncul saat pasien
pertama kali minum susu formula usia 2 tahun. Pasien sudah pernah berobat ke
dokter, namun keluhan yang sama kembali muncul saat obat sudah habis.
Dermatitis atopik (DA) atau juga dikenal eksim atopik merupakan suatu
penyakit kulit kronik berulang yang umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak.
DA ditandai dengan kondisi ruam papul yang gatal, ekskoriasi, likenifikasi, dan
umumnya berdistribusi pada bagian fleksor. Penyakit ini sering berkaitan dengan
kondisi alergi lainnya seperti asma, rhinokonjungtivitis. Umumnya, kelainan ini
disebabkan oleh adanya defek genetik dan dikenal dengan istilah atopi. Salah
satu kesulitan dalam menentukan dermatitis atopik adalah ketidaktepatan
hubungan antara atopi dan dasar dari atopi sendiri.
Dermatitis Atopik merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik
dengan ibu memberikan pengaruh terbesar. Penyakit ini diakibatkan oleh interaksi
komplek gen yang menghasilkan defek pada sawar kulit, defek pada sistem
imunulogi bawaan, dan peningkatan respon imun pada zat alergen dan antigen
mikroba. Defek sawar kulit pada DA diakibatkan oleh down-regulasi dari gen
pembentuk stratum korneum, yaitu fillagrin dan loricrin, penurunan jumlah
seramid, penigkatan enzim proteolitik, dan peningkatan kehilangan air melalui
jaringan epidermis. Paparan sabun dan deterjen pada kulit juga dapat
meningkatkan aktivitas zat preoteolitik yang menyebabkan peningkatan pH
sehingga merusak fungsi sawar epidermis. Sawar epidermis juga dapat rusak
akibat terpapar protease eksogen yang berasal dari debu rumah, tungau, dan
Staphylococcus aureus. Hal ini diperburuk oleh kurangnya protease endogen
inhibitor pada kulit penderita atopik. Perubahan sawar epidermis ini
mengakibatkan peningkatan penyerapan alergen ke dalam kulit dan kolonisasi
9

bakteri. Penurunan fungsi sawar kulit dapat bertindak sebagai tempat sensitisasi
alergen dan berperan sebagai faktor predisposisi untuk berkembang menjadi alergi
makanan dan saluran pernapasan pada anak.1,2
Dermatitis Atopik merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat yang
memiliki tiga fase yang dapat menimbulkan respons imun berupa produksi IgE.
Fase pertama adalah sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai terjadinya ikatan silang dengan reseptor spesifik (FceRI) pada
permukaan sel mast/basofil. Fase kedua adalah aktivasi, yaitu waktu yang
diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast
melepaskan granul yang disebabkan oleh reaksi silang antara antigen dan IgE.
Fase ketiga adalah efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks sebagai
efek mediator yang dilepaskan oleh sel mast/basofil.6
Inflamasi pada kulit DA yang diakibatkan oleh ekspresi sitokin dan
kemokin. Sitokin seperti TNF- dan interleukin 1 (IL-1) berikatan dengan
reseptor pada endotelium sehingga mengaktifkan jalur seluler yang menginduksi
adhesi molekul pada sel endotelium. Proses ini akan merangsang ekstravasasi sel
inflamasi ke dala jaringan kulit. Jika sel inflamasi sudah melakukan infiltrasi
maka sel tersebut akan bertanggung jawab untuk meningkatkan gradien
kemotaktik yang diakibatkan oleh zat kemokin yang dikeluarkan pada daerah lesi.
Pada DA akut menyebabkan produksi sitokin Th 2, terutama IL-4 dan IL-13 yang
mengakibatkan peningkatan sintesis IgE dan meningkatkan adhesi molekul pada
sel endotelium. Pada DA kronik, terjadi peningkatan IL-5 yang meliputi
peningkatan eusinofil. Peningkatan produksi faktor yang menstimulasi koloni
granulosit makrofag menghambat apoptosis sel monosit pada DA sehingga
mengakibatkan DA menjadi persisten.
10

Kriteria diagnostik Dermatitis Atopik berdasarkan penemuan klinis oleh


Hanifin dan Rajka yang menetapkan kriteria mayor dan kriteria minor pada DA.
DA ditegakkan jika terdapat minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.

Tabel 1. karakteristik Dermatitits Atopik


Kriteria Mayor Kriteria Minor
1. Pruritus 1. Xerosis
2. Distribusi ruam yang tipikal 2. Gatal saat berkeringat
Fasial dan fleksor pada bayi 3. Lipatan Dennie-Morgan
Likenifikasi fleksor pada 4. Allergic shiner (hitam di sekitar
dewasa mata)
3. Kronik atau berulang 5. Muka pucat
4. Riwayat atopi keluarga (asma, 6. Ptiriasis alba
rhinitis alergika, dermatitis atopik) 7. Keratoris pilaris
8. Ichthyosis vulgaris
9. Hiperliniearis pada palmar dan
plantar
10. White demografime positif
11. Konjungtivitis
12. Keratokonus
13. Katarak subskapular anterior
14. Peningkatan serum
imunoglobulin E
15. Uji kulit langsung positif

Pada kasus di atas, pasien laki-laki berusia 5 tahun dan keluhan pertama
kali sejak umur dua tahun. Sesuai teori, dermatitis atopik dapat terjadi pada
perempuan maupun laki-laki dengan rasio 1,3:1,0.1 Penelitian oleh Zutaven et al.
juga menyatakan prevalensi AD lebih banyak pada perempuan (17%)
dibandingkan laki-laki (16,9%). Manifestasi Dermatitis Atopik memiliki tiga
fase, yaitu fase bayi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun; fase anak-anak pada usia 2
sampai 10 tahun; dan dewasa. Kasus diatas sesuai pada penelitian Movita yang
menyatakan onset DA paling sering pada usia anak-anak mulai dari lahir sampai
usia 5 tahun.
11

Dari hasil alloanamnesis, didapatkan keluhan utama pasien adalah bintik-


bintik merah yang gatal pada kedua tangan dan kaki. Karakteristik predileksi DA
pada anak meliputi area fleksor baik siku maupun lutut, pergelangan tangan, dan
mata kaki. Berdasarkan teori, gatal merupakan keluhan utama pada dermatitis
atopik yang bermanifestasi akibat hiperaktivitas lapisan kutan dan garukan setiap
kali terpapar alergen, kelembaban, keringat yang berlebihan, dan zat iritan
meskipun hanya dengan konsentrasi rendah.1 Mediator dan mekanisme yang
bertanggung jawab pada gejala ini masih belum jelas. Beberapa petunjuk mediator
yang berperan dengan melihat efek dari agen terapeutik yang sudah dipahami
dengan baik. Oleh karena itu, meskipun asumsi bahwa degranulasi sel mast
melalui mekanisme spesifik IgE-mediated allergen berperan penting pada
dermatitis atopik, namun antihistamin hanya memberikan sedikit efek pada
dermatitis atopik. Penggunaan siklosporin pada DA dapat menghentikan gatal
dengan cepat, hal ini menunjukkan bahwa adanya keterlibatan produk yang
berasal dari limfosit T seperti sitokin. Namun, siklopsorin juga berpengaruh pada
sel lain selain limfoit, seperti menghambat pembentukan prostaglandin.

Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pasien mengalami keluhan yang


sama sejak umur dua tahun, riwayat sering bersin di pagi hari (-), asma (-). Sesuai
teori, salah satu kriteria mayor DA adalah dermatitis bersifat kronik dan relaps.
Dermatitis atopik merupakan faktor risiko, yaitu sekitar 30-50% untuk
berkembang menjadi rhinitis alergi dan asma.

Berdasarkan riwayat keluarga, tidak ada keluarga pasien yang mengalami


hal yang sama. Berdasarkan teori, riwayat keluarga yang menderita dermatitis
atopik, hayfever, asma, rhinitis alergik berperan penting dalam pewarisan DA
kepada anak. Hasil observasi menunjukkan pengaruh ibu lebih besar dalam
mewariskan DA kepada anak.

Berdasarkan riwayat kebiasaan sosial, pasien merupakan anak tunggal


yang tumbuh dengan sehat. Menurut teori, risiko DA dapat berkurang pada anak
yang terpapar dengan mikroba lebih dini. Hal ini disebabkan oleh proses
pematangan sistem imun yang lebih awal sehingga mencegah hangguan
pembentukan IgE, teori ini dikenal dengan hygene hypothesis.(rook) Namun,
12

menurut penelitian yang dilakukan oleh Zutaven et al, tidak terdapat hubungan
antara hygene hypothesis dengan penurunan risiko dermatitis atopik. Hygene
hypothesis adalah suatu teori yang menyatakan bahwa

Pada pemeriksaan fisik regio kruris dextra et sinistra didapatkan tampak


makula hiperpigmentasi, berbatas tegas dengan tipe reguler, ukuran lentikuler
sampai gutata, jumlah multipel, distribusi bilateral, serta permukaan lesi dilapisi
skuama halus. Hal ini sesuai dengan teori, lesi DA pada anak dapat berawal
dengan papul, vesikel sampai likenifikasi. Distribusi lesi pada DA anak, sebagai
berikut:

Gambar 3. Distribusi area lesi pada usia diatas 2 tahun

Pada regio fasial juga tampak patch hipogigmentasi, batas tidak tegas, tepi
ireguler, ukuran gutata sampai numular, jumlah multipel, distribusi regional.
Berdasarkan deskripsi lesi , pasien juga menderita ptyariasis alba. Ptyariasis alba
merupakan salah satu kriteria yang terdapat dalam kriteria minor pada dermatitis
atopik anak. Sehingga penderita DA juga sering diikuti dengan ptyariasis alba.
Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan sawar kulit pada penderita DA.

Pada pemeriksaan penunjang, dilakukan uji dermografisme white dan


memberikan hasil garis putih tidak segera diikuti dengan garis merah. Sesuai
teori, pada kasus DA, uji dermografisme white dapat menunjukkan hasil yang
positif. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan KOH dan lampu wood, keduanya
memberikan hasil yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa lesi bukan
disebabkan oleh infeksi jamur.
13

Berdasarkan teori, Dermatitis atopik memiliki diagnosis banding berupa 1)


dermatitis kontak iritan, 2) dermatitis seboroik 3) skabies, 4) Tinea Korporis .

Tabel 2. Diagnosis banding dermatitis atopik


No Diagnosis Definisi Deskripsi Lesi Foto
1 Dermatitis Inflamasi kulit akut, Tampak papul
Atopik kronik, dan residif, eritematous, batas
disertai gatal. tidak tegas, tepi
Umumnya terjadi pada ireguler. Permukaan
bayi dan anak, sering tertutupi skuama halus.
berhubungan dengan
riwayat atopi keluarga.

2 Dermatitis Inflamasi akut dan Tampak makula


Kontak kronik akibat reaksi eritematous, berbatas
Iritan kontak antara tegas, tepi ireguler,
substansi dengan kulit. jumlah multipel,
Dermatitis kontak konfigurasi konfluens,
iritan disebabkan oleh distribusi bilateral.
zat kimia. Sedangkan Ekskoriasi pada tangan
dermatitis kontak kanan
alergi disebabkan oleh
alergen.
3 Dermatitis Inflamasi kronik yang Tampak papul
Seboroik terdapat area rambut eritematous tertupi
yang memiliki banyak skuama berminyak,
folikel sebasea, seperti berbatas tegas, tepi
kulit kepala, wajah, ireguler ,jumlah
telinga, dan fleksor multipel, ukuran milier
sampai gutata.

4 Skabies Penyakit kulit yang Tampak terowongan


disebabkan oleh papul, vesikel yang
infestasi S.scabei, berbatas tegas, tepi
ditandai dengan gejala reguler,jumlah
pruritus nokturnal multipel, ukuran
lentikuler sampai
gutata. Permukaan
tertutupi skuama halus.

5 Tinea Infeksi fungal Tampak patchl


korporis superfisial pada kulit eritematous, batas
berkelenjar kecuali tegas, tepi ireguler,
telapak tangan dan jumlah soliter, ukuran
kaki dan area plakat, konfigurasi
selangkangan konfluens, distribusi
regional.
14

Berdasarkan keluhannya, pasien ini mendapatkan terapi berupa cetirizine


2x1 cth, tyamisin 2% + momethason furoat 0,1%, dan asam salisilat + nerilon.
Cetirizine merupakan obat golongan antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).
AH1 berperan dalam menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus,
dan bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat dalam mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin
endogen berlebihan. Hal ini sesuai dengan teori, antihistamin seperti cetirizine dan
fexonadine efektif dalam menaggulangi pruritus baik pada DA anak maupun
dewasa. Pasien juga mendapatkan tyamisin 2% + momethason furoat, Asam
salisilat 2% + nerilon 0.1% (diflucortolone valerate). Diflucortolone valerate
merupakan obat topikal golongan kortikosteroid yang berperan sebagai
antiinflamasi pada eksim dan dermatitis. Sesuai teori, pasien DA yang
mendapatkan terapi steroid topikal menghasilkan perbaikan yang nyata. Steroid
topikal dapat mengurangi gejala klinis dan memperbaiki proliferasi epidermis.
Momethason furoat merupakan glukokortikosteroid sintetik yang juga berperan
sebagai antiinflamasi dan antipruritic. Tyamisin merupakan antibiotik tiamfenikol,
pasien dengan DA cenderung memiliki infeksi sekunder oleh S. aureus, sehingga
perlu diberikan kombinasi antibiotik topikal sesuai luas lesi dan antiinflamasi
untuk jangka pendek. Beberapa studi menemukan kedua pendekatan ini efektif
dan aman.

Program edukasi mengenai DA dapat memberikan hasil yang sangat baik.


Orang tua pasien perlu mendapatkan edukasi mengenai penyakit, jenis faktor
pencetus, dan manfaat dan risiko dari terapi yang diberikan. Salah satu cara untuk
mengurangi eksaserbasi DA adalah dengan mengurangi faktor pencetus. Beberapa
faktor pencetus yang berperan dalam DA adalah sebagai berikut:
15

Gambar 4. Faktor pencetus Dermatitis Atopik

Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tata laksana yang tepat.
Meskipun demikian orang tua pasien dan pasien harus mengetahui bahwa
penyakit ini tidak dapat sembuh sama sekali. Eksaserbasi diminimalkan dengan
strategi pencegahan yang baik. Sekitar 90% pasien DA akan sembuh pada usia
pubertas, sepertiganya menjadi rinitis alergika dan sepertiga yang lain
berkembang menjadi asma. Prognosis buruk jika anggota keluarga memiliki
penyakit serupa, onset lebih awal dan luas, dan bersamaan dengan rhinitis
alergika dan asma.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Aronson I, Fishman P, Worobec S. Panniculitis. In Goldsmith L, Katz S,


Gilchrest B, Paller A, Leffel D, Wolff K, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine eight edition. Mc Graw Hill; 2012. p.
2253-2262.

2. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Polano MK, Suurmond D. Color


Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology : Common and Serious
Disease. McGraw-Hill; 1997

3. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook's Textbook of


Dermatology 8th ed. London: Wiley-Blackwell; 2010.

4. James WD, Berger T, Elston DM. Andrews Diseases of the. Skin clinical
Dermatology. 10th edition. Elsivier; 2011

5. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran UI. Edisi ke-10. Jakarta; 2012

6. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi


keenam. FK kedokteran UI; 2011

7. Zutaven A, Hirsch T, Leopold W, et al. Atopic dermatitis, extrinsic atopic


dermatitis and the hygiene hypothesis: a cross-sectional study.

8. Siregar SP. Faktor Atopi dan Asma Bronkial pada Anak. Sari Pediatri,
Vol.2 : 2000
9. Williams H. Evidence-based Dermatology. BMJ Publishing Group: 2003

10. Movita T. Tata Laksana Dermatitis Atopik. CDK-22. Vol: 41; 11 : 2014

11. Karagiannidou A, Botskariova S, Farmaki E. Atopic Dermatitis: insight on


pathogenesis on evaluation. Allergy&Therapy/ J Allergy Ther: 2014
17

Sebuah kajian sistematis mengenai putus obat kortikosteroid topikal


('' ketergantungan steroid '') pada pasien dengan dermatitis atopik
dan dermatosis lainnya
Tamar Hajar, Yael A. Leshem, Jon M. Hanifin, Susan T. Nedorost, Peter A. Lio,
Amy S. Paller, Julie Block, and Eric L. Simpson

Abstrak

Latar Belakang: Asosiasi Eksim Nasional telah menerima semakin banyak


pertanyaan pasien tentang '' Sindrom ketergantungan steroid '' bersamaan dengan
meningkatnya kehadiran media sosial yang didedikasikan untuk topik ini.
Meskipun banyak efek samping dari kortikosteroid topikal (TCS) dibahas dalam
guideline, namun ketergantungan TCS tidak dibahas. Tujuan: Kajian ini berusaha
untuk menilai bukti terkini mengenai ketergantungan / putus obat steorid.
Metode: Penelitian ini melakukan tinjauan sistematis terhadap literatur terkini.
Hasil: Pencarian awal kami menghasilkan 294 hasil dengan 34 studi yang
memenuhi kriteria inklusi. Ketergantungan TCS dilaporkan sebagian besar terjadi
pada wanita (81,0%) dan di daerah wajah dan genital (99,3%) akibat penggunaan
TCS poten jangka panjang yang tidak tepat. Rasa terbakar dan menyengat gejala
yang paling sering dilaporkan (65,5%) dengan eritema merupakan tanda yang
paling umum (92,3%). Sindrom penarikan TCS dibagi menjadi 2 subtipe, yaitu
papulopustular dan eritematoedematous. Keterbatasan: Kualitas bukti rendah,
variabilitas dalam tingkat data, dan kurangnya metodologi penelitian ketat
kecanduan steroid. Kesimpulan: Ketergantungan TCS kemungkinan merupakan
efek samping klinis yang berbeda dari penyalahgunaan TCS. Pasien dan penyedia
layanan harus menyadari manifestasi klinis dan faktor risikonya.
18

Sebuah kajian sistematis mengenai putus obat kortikosteroid topikal


('' ketergantungan steroid '') pada pasien dengan dermatitis atopik
dan dermatosis lainnya

Kortikosteroid topikal (TCS) adalah terapi lini pertama untuk dermatitis


atopik yang memberikan dampak positif pada kualitas hidup pasien. TCS aman
digunakan untuk terapi jangka pendek maupun intermitten jangka panjang.
Beberapa media sosial yang membahas efek samping penggunaan TCS,
khususnya saat pemberhentian TCS. kecanduan steroid ini merupakan salah
satu pertimbangan yang berperan dalam kepatuhan dan kegagalan terapeutik.
Beberapa situs merekomendasikan agar TCS tidak digunakan pada pasien
dermatutis atopik untuk menghindari kecanduan steroid. Namun hal ini
bertentangan dengan guidelines terapi dermatitis atopik yang berbasis bukti
bahwa TCS adalah terapi yang sesuai pada kebanyakan pasien DA

Tujuan dari kajian sistematis ini adalah untuk menentukan sindrom putus
obat/kecanduan steroid lebih baik, dalam hal ini adalah sign and symptoms, faktor
risiko potensial, dan kajian ulang terhadap terapi yang ada berdasarkan literatur
ilmiah. Kajian ini telah terdaftar di PROSPERO kajian sistematis internasional
(CRD42013005370). Pencarian berasal dari Ovid MEDLINE, Pubmed, the
Cochrane Library, grey literature dari Januari 1946 sampai april 2014 dengan
menggunakan istilah pencarian berupa TCS withdrawal, addiction, abuse,
tolerance, rebound, dependence, rosacea, red skin, red face, red scrotum,
tachyphylaxis and status cosmeticus, perioral dermatitis, acneiform, and rosacea-
like eruptions.

Adapun kriteria inklusi pada studi ini adalah: 1) berbahasa Inggris, 2)


relevansi: artikel harus menjelaskan paling sedikit satu kasus putus obat steroid
dengan kriteria sebagai berikut: (A) erupsi kutan diikuti penggunaan TCS yang
muncul: (i) setelah penghentian TCS atau (ii) diperlukan dosis yang lebih tinggi,
(B) erupsi pada area lokal aplikasi, (C) resolusi erupsi di beberapa area setelah
pemberhentian TCS juga berkontribusi pada diagnosis. 3) Desain studi: semua
19

studi yang relevan tanpa mempedulikan desain studi. Data penelitian ini
dievaluasi dengan metode deskriptif.

Hasil primer yang didapat berupa gambaran klinis putus obat TCS, faktor
pasien: usia, jenis kelamin, indikasi untuk TCS, faktor TCS: potensi, durasi
penggunaan, tanda termasuk morfologi dan lokasinya, dan gejala. Hasil sekunder
gambaran histologis penarikan TCS, pengobatan: (i) modalitas perawatan (ii)
respon terhadap pengobatan (iii) durasi perawatan, evaluasi untuk
mengesampingkan diagnosis banding (misalnya, patch testing, phototesting),
nomenklatur.
20

Hasil review ini menunjukkan bahwa ketergantungan TCS diakibatkan


oleh penggunaan lama, penggunaan yang tidak sesuai , dan penggunaan yang
sering TCS baik potensi sedang sampai tinggi terutama pada wajah dan genital.
Wanita adalah kelompok yang paling berisiko dengan tanda dan gejala yang
paling sering adalah eritema seperti rasa terbakar menyengat. Tanda dan gejala
tersebut umumnya muncul dalam beberapa hari sampai minggu setelah
penghentian TCS. Namun kasus ketergantungan TCS pada anak belum pernah
dilaporkan.

Secara umum ketergantungan TCS dapat dibagi menjadi 2 sindrom


morfologis yang berbeda yaitu papulopustular dan eritematoedematous. Tipe
eritematoedematous lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki kondisi eksim
kronis yang mendasarinya seperti dermatitis atopik dan dermatitis seboroik;
ditandai dengan eritema, bersisik, dan edema dan disertai dengan sensasi terbakar.
Tipe papulopustular lebih sering terjadi pada pasien yang menggunakan TCS
untuk gangguan pigmentasi atau kondisi jerawat. Tipe papulopustular dapat
dibedakan dengan eritematoedematous, yaitu pustul dan papul lebih menonjol,
tetapi jarang terdapat edema dan rasa terbakar.
21

Namun klinis ini dapat tumpang tindih dengan gejala klinis lainnya
seperti dermatitis kontak alergik. Uji patch dapat digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis. Selain dermatitis kontak alergik, kondisi peradangan atau infeksi kulit
juga bisa dipertimbangkan. Tanda dan gejala ketergantungan steroid pada
dermatitis atopik dapat mempertimbangkan pemakaian antiinflamasi yang tidak
perlu. Penggunaan TCS pada dermatitis atopik harus dihentikan jika terdapat (1)
rasa terbakar adalah gejala yang menonjol,(2) eritema konfluen yang timbul
beberapa hari sampai minggu putus obat TCS, dan (3) riwayat penggunaan TCS
yang sering dan berkepanjangan di wajah atau daerah genital.

Kesimpulan berdasarkan hasil review, ketergantungan TCS adalah efek


samping yang umumnya diakibatkan oleh penggunaan sering, dan berkepanjangan
TCS potensi tinggi. Dokter dan pasien harus sadar akan kondisi dan faktor
predisposisi tersebut. Pasien harus diberi konseling mengenai risikonya, termasuk
ketergantungan TCS pada penggunaan harian yang berkepanjangan.
Ketergantungan steroid merupakan salah satu penyebab gagal terapi, terutama
untuk atopik Dermatitis. Guideline klinis dematitis atopik terbaru menemukan
TCS tetap menjadi pilihan utama untuk pengobatan jangka pendek dan jangka
panjang bila digunakan dengan tepat.
22

KRITISI JURNAL
Sebuah kajian sistematis mengenai putus obat kortikosteroid topikal
('' ketergantungan steroid '') pada pasien dengan dermatitis atopik
dan dermatosis lainnya
Tamar Hajar, Yael A. Leshem, Jon M. Hanifin, Susan T. Nedorost, Peter A. Lio,
Amy S. Paller, Julie Block, and Eric L. Simpson
No PETUNJUK KOMENTAR

1. Apakah pertanyaan penelitian Pertanyaan penelitian mengungkapkan secara


didefinisikan dengan jelas dan spesifik? jelas mengenai populasi, intervensi, kelompok
Ya pembanding, dan hasil akhir (outcome) yang
dinilai.
2. Apakah studi-studi yang dilibatkan Desain studi yang dilibatkan dalam review ini
dalam review dan meta analisis adalah desain case series, cross sectional, dan
menggunakan desain yang sesuai untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan? case report

Ya
3. Apakah strategi pencarian artikel yang Pencarian artikel menggunakan beberapa
relevan dinyatakan dengan jelas? database yang dijelaskan secara rinci dari
Ya Januari 1946-April 2014
4. Apakah dilakukan penilaian terhadap Review ini melibatkan reviewer dan dilakukan
kualitas studi-studi yang dilibatkan penialian kualitas studi , sehingga risiko bias
dalam review dan meta analisis?
penelitian dapat dievaluasi
Ya
5. Apakah hasil yang diinginkan konsisten Penilaian konsistensi studi-studi yang dilibatkan
antar studi-studi yang dilibatkan? hanya dilakukan secara umum sedangan
Tidak jelas penilaian secara statistik berupa Eyeball test,
Cochran Q, maupun I square tidak dilakukan
6. Apakah semua subjek penelitian Penelitian ini tidak memperhitungkan semua
diperhitungkan dalam kesimpulan ? hasil yang didapat kan dari beberapa studi yang
Tidak terkait

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kritisi jurnal didapatkan 4 jawaban ya, 1 jawaban tidak dan
1 jawaban tidak jelas, sehingga dapat disimpulkan bahwa jurnal dengan judul A
systematic review of topical corticosteroid withdrawal ( steroid addiction) in
patiens with atopic dermatitis and aother dermatoses ini layak dibaca.

Anda mungkin juga menyukai