Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“PENERAPAN TEORI VON THUNEN, CHRISTALLER DAN HOTTELING”

DOSEN PENGAMPU :
Elvi Zuriyani, M.Si

DISUSUN OLEH :
Alwiyah Nur Auliya (20030038)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

UNIVERSITAS PGRI SUMATERA BARAT

2022
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas Rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “PENERAPAN TEORI VON THUNEN,
CHRISTALLER DAN HOTTELING” .Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas
yang diberikan dalam Analisi Lokasi dan Keruangan di UNIVERSITAS PGRI SUMBAR.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada dosen yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas ini.

Dalam Penulisan makalah ini, penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu,
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Padang, 24 mei 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………... i
DAFTAR ISI………………………………………………………………...... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………...... 1
B. Rumusan Penulisan…………………………………………………….. 2
C. Tujuan Pembahasan……………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Von Thunen……………………………………............................ 3
B. Teori Weber………………..................................................................... 4
C. Teori Christaller……………………………........................................ 5
D. Teori Hotteling...................................................................................... 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 8
B. Saran………………………………………………………………….... 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perencanaan wilayah merupakan instrument yang dapat memberikan arah dalam


pembangunan wilayah secara menyeluruh dan terpadu. Pembangunan tersebut terbagi
dalam berbagai kegiatan baik kegiatan pertanian maupun non pertanian yang dominan
dalam kontribusi pertumbuhan wilayah suatu wilayah. Kegiatan-kegiatan tersebut
membutuhkan pengaturan lokasi yang mampu memberikan keuntungan maksimum,
efisiensi dalam aksesbilitas serta penggunaan ruang yang optimal sehingga kegiatan-
kegiatan tersebut dapat berlangsung (Budiyono, 2003). Penentuan lokasi kegiatan harus
mempertimbangkan berbagai faktor antara lain aksesibilitas, bahan baku mentah, tenaga
kerja, pemasaran, dsb. Berbagai pertimbangan yang deskriptif kuantitatif dan kualitatif
tersebut dikenal dengan sebutan “Teori Lokasi”.

Landasan dari teori lokasi adalah ruang. Tanpa ruang maka tidak mungkin ada lokasi.
Dalam studi tentang wilayah, yang dimaksud dengan ruang adalah permukaan bumi baik
yang ada diatasnya maupun yang ada dibawahnya sepanjang manusia awam masih bisa
menjangkaunya. Lokasi menggambarkan posisi pada ruang tersebut (dapat ditentukan
bujur dan lintangnya). Studi tentang lokasi adalah melihat kedekatan atau jauhnya satu
kegiatan dengan kegiatan lain dan apa dampaknya atas kegiatan masing-masing karena
lokasi yang berdekatan (berjauhan) tersebut.

Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegitan ekonomi,
atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang langka, serta
hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau
kegiatan lain baik ekonomi maupun social. Dalam mempelajari lokasi berbagai kegitan,
ahli ekonomi regional atau geografi terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang
dianalisis adalah datar dan kondisinya disemua arah adalah sama. Salah satu unsur ruang
adalah jarak. Jarak menciptakan ‘gangguan’ ketika manusia berhubungan atau berpegian
dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu hal yang banyak dibahas dalam teori lokasi
adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi kelokasi
lainnya.

Walaupun teori yang menyangkut pola lokasi ini tidak berkembang tetapi telah ada sejak
awal abad ke-19. Secara empiris dapat diamati bahwa pusat-pusat pengadaan dan
pelayanan barang dan jasa yang umumnya adalah perkotaan (central places), terdapat
tingkat penyelidikan pelayanan yang berbeda-beda. Pelayanan masing-masing kota untuk
tingkat yang berbeda bersifat tumpang tindih, sedangkan untuk yang setingkat walaupun
tumpang tindih tetapi tidak begitu besar. Keadaan ini bersifat universal dan dicoba
dijelaskan oleh beberapa ahli ekonomi atau geografi yang dirintis oleh Walter Christaller.
Ahli ekonomi Von Thunen melihat perbedaan penggunaan lahan dari sudut perbedaan
jarak ke pasar yang tercermin dalam sewa tanah. Weber secara khusus menganalisis

1
lokasi industri. Dan terori Hotteling. Keempat tokoh diatas dianggap pelopor atau
pencipta landaan dalam hal teori lokasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan teori von thunen pada studi kasus dalam jurnal
2. Bagaimana penerapan teori weber pada studi kasus dalam jurnal
3. Bagaimana penerapan teori christaller pada studi kasus dalam jurnal
4. Bagaimana penerapan teori hotteling pada studi kasus dalam jurnal

C. Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memahami penerapan teori
von thunen,teori weber,teori christaller dan teori hottelling pada studi kasus dalam
beberapa jurnal

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Von thunen


Studi kasus :
 Judul : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN DI
KAWASAN BANJARSARI KELURAHAN TEMBALANG, SEMARANG

TEORI VON THUNEN

Von Thunen (1826) dalam Ardhityatama (2011) adalah orang yang pertama kali
mengemukakan tentang teori nilai lahan yang berpendapat tentang keuntungan penggunaan lahan
didapat dari keseragaman fungsi lahan yang mengelilingi daerah pusat produksi. Faktor utama
yang mempengaruhi dan menentukan pola penggunaan lahan , adalah biaya transportasi. Biaya
transportasi tersebut dihubungkan dengan jarak dan sifat dari barang dagangan, Von Thunen
berasumsi terhadap barang hasil pertanian. Penjelasannya yaitu, semakin jauh jarak dari lokasi
tempat dimana barang tersebut diproduksi, maka semakin besar biaya transportasi yang
dikeluarkan. Berdasar pada keempat asumsi yang dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa daerah yang terisolir tersebut menghasilkan adanya persebaran penggunaan lahan.
Penggunaan lahan menyebabkan adanya istilah sewa lahan. Sewa lahan menunjukkan adanya
kegiatan ekonomi dari suatu tempat menuju pusat atau tempat produksi. Sewa lahan yang
dimaksud adalah penghasilan total petani pada bidang tertentu yang dikurangi oleh biaya produksi
dan biaya transportasi.

Kota Semarang sebagai pusat pemerintahan Jawa Tengah sangat diminati dan dijadikan
tujuan untuk mencari penghasilan yang lebih tinggi dari kota-kota atau kabupaten disekitarnya.
Hal tersebut menyebabkan tingginya permintaan terhadap tempat tinggal dan permukiman di Kota
Semarang. Harga lahan yang cukup tinggi pada pada pusat kota, tidak dapat dijangkau oleh
masyarakat berpenghasilan rendah, hingga membuat masyarakat tersebut bergeser ke wilayah
pinggiran kota. Berkembangnya Kota Semarang kearah selatan juga dipicu oleh pergeseran
masyarakat yang tidak dapat mengakses lahan di pusat kota.Salah satu contoh kawasan suburban
Semarang yang terus berkembang adalah kawasan Tembalang. Pergeseran pembangunan dari
urban ke wilayah suburban, umumnya berawal dari pembangunan suatu fungsi kawasan baru,
seperti kampus, industri, kantor pemerintahan, dan lain-lain. (Wunas, 2011:30). Kawasan
Tembalang berkembang dari fungsi kawasan kampus yang berskala regional maupun nasional,
dan juga adanya wacana dari pemerintah tentang pengembangan kota mandiri di kawasan
Tembalang. Lama kelamaan wilayah pinggiran atau suburban yang sepi berubah padat ramai.
Hingga terjadi anomali harga lahan di wilayah di Tembalang, yang secara khusus pada Kawasan
Banjarsari.

B. Teori Weber
 Judul : KAJIAN TEORI LOKASI WEBER TERHADAP KEBERADAAN INDUSTRI
KERUPUK BONA DI LUBUK SEMUT KECAMATAN KARIMUN KABUPATEN
KARIMUN

3
TEORI LOKASI WEBER

Industri Kerupuk Bona menjadi objek penelitian ini untuk dikaji berdasarkan Teori lokasi
Weber dikarenakan Industri Kerupuk Bona adalah salah satu UMKM yang maju. Sehingga,
menjadikan Industri Kerupuk Bona sebagai penelitian dalam menentukan lokasi apakah
mempunyai keuntungan aglomerasi terhadap Industri Kerupuk Bona tersebut. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui apakah teori lokasi Weber masih relevan dengan penentuan
lokasi industri di era modern ini. Manfaat dari penelitian ini akan memberikan kontribusi
perkembangan ilmu penentuan lokasi industri lokal khususnya terhadap Teori lokasi Weber.

Menurut Teori Lokasi Weber, dalam pemilihan lokasi berdasarkan prinsip minimasi biaya.
Dengan begitu pemilihan lokasi industri didasarkan pada lokasi paling minimum yang dibutuhkan
dari bahan mentah, kebutuhan bahan baku minimal, Pekerja dan pasar yang dalam hal ini
bertindak sebagai konsumen. Secara keseluruhan harus dibandingkan dengan biaya transportasi.
Teori Weber menunjukkan setiap lokasi industri sesuai dengan jumlah secara keseluruhan yaitu
biaya total, transportasi dan tenaga kerja yang keduanya harus diminimalisir. Total biayanya yaitu
biaya transportasi dan usaha minimal sama dengan tingkat keuntungan maksimum. Pada
umumnya, pemilihan kawasan modern tidak dapat dipisahkan dari kawasan siklus penciptaan dan
pasar objektif yang tidak dibatasi oleh faktor interaksi spesifik yang terkait dengan kawasan
tersebut, sehingga industri lebih fleksibel untuk ditempatkan di lokasi manapun. Proses
manufaktur terdiri dari pemilihan bahan baku, jumlah bahan baku, dan faktor produksi lainnya.
Lokasi industri ini didasarkan pada biaya pengiriman, yaitu asal bahan baku dan biaya pasar
maksimum. Setiap industri cenderung mencari tempat yang paling menguntungkan dengan
mencari hal-hal berikut: (Fatmawati, 2013)

a. Area modern

Di dekat komponen yang tidak dimurnikan Dengan asumsi area modern dekat dengan
komponen yang tidak dimurnikan yang mudah hancur dengan ukuran yang lebih besar maka
lokasi industri harus mempertimbangkan sifat maupun bentuk bahan baku. Seperti halnya pada
industri Kerupuk Bona, industri kerupuk bona berlokasi tidak jauh dengan bahan baku yaitu
dipasar puan maimun. Sehingga, bahan baku yang digunakan bisa langsung dibeli oleh pembuat
ke industri kerupuk bona. bahan baku yang dibutuhkan yaitu bahan baku yang mudah basi seperti
ikan, udang. pengolahan bahan baku langsung dipasar puan maimun dengan digiling halus.
b. Lokasi industri berdasarkan pasar
Untuk menentukan lokasi industri, pasar juga menjadi salah satu faktor penting. Pasar yang
dimaksud adalah konsumen. Hasil dari industri Kerupuk Bona dipasarkan keseluruh masyarakat
yang ada di Tanjung Balai Karimun, masyarakat lokal membelinya secara langsung di Industri
Kerupuk Bona tersebut. sehingga, pembuat kerupuk mempunyai keuntungan aglomerasi terhadap
konsumen yang membeli. Produsen Kerupuk Bona juga menyediakan pelayanan via online,
sehingga produsen mengantarnya langsung ke konsumen. Produsen kerupuk bona juga
menaruhkan kerupuknya di berbagai warung-warung kecil maupun warung besar seperti
minimarket maupun swalayan yang ada di Tanjung Balai Karimun. Bahkan sebelum pandemic
Industri Kerupuk Bona juga memasarkannya ke luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.
c. Daerah modern yang terletak pada pembatasan biaya transportasi
Pemanfaatan transportasi menjadi penting dalam penentuan wilayah usaha mengingat jarak
wilayah yang jauh dari daerah lalu lintas tinggi akan memperbesar biaya produksi. Proses
pengiriman yang lancar juga akan sangat membantu dalam mendapatkan bahan baku maupun
pada proses pengiriman hasil produksi kepasar secara cepat dan tepat waktu.Pengiriman hasil

4
produksi Kerupuk Bona dilakukan dengan menggunakan sepeda motor,dengan begitu biaya yang
keluarkan juga tidak terlalu banyak yaitu biaya untuk bahan bakar motor.Hasil produksi Kerupuk
Bona dikirim melalui lalu lintas yang kepadatannya rendah. sehingga didalam pengirimannya
tidak terjadi kendala kemacetan dan proses pengirimannya cepat langsung sampai kekonsumen.
sedangkan jalur laut menggunakan kapal laut. lokasi industri kepelabuhan tidak jauh, proses
pengiriman yang dilakukan tidak banyak memakan biaya. dari pelabuhan ke malaysia dan
singapura.

Model Industri Kerupuk Bona yang digunakan dengan memperoleh bahan baku dari pasar
tradisional. Pekerja industri Kerupuk Bona adalah pekerja yang berasal dari luar lokasi Industri.
Sistem pemasaran yang digunakan yaitu dengan sistem pemasaran secara langsung. Menurut
Teori Lokasi Weber, biaya transportasi dan pekerjaan yang rendah secara umum tidak dapat
dipisahkan dari manfaat yang tinggi. Industri Kerupuk Bona memiliki tingkat keuntungan yang
signifikan dimana biaya transportasi umum dan pekerjaan cukup rendah. Biaya transportasi dari
bahan alami ke daerah modern umumnya rendah karena jarak yang pendek dan beratnya
komponen mentah yang disampaikan langsung oleh visioner bisnis Industri Kerupuk Bona.
Ongkos angkut dari kawasan modern ke pasar juga terbilang cukup murah mengingat jaraknya
yang tidak terlalu jauh dan beratnya produk yang dihasilkan secara lugas disampaikan oleh
visioner bisnis Industri Kerupuk Bona. Biaya kerja ditentukan dengan mempertimbangkan jarak
pekerja ke lokasi modern. Akibatnya, Industri Kerupuk Bona dapat disesuaikan dengan Teori
Lokasi Weber dalam waktu yang mutakhir ini.

C. Teori Christaller
 Judul : Studi Efektivitas Pemanfaatan Sarana Lingkungan Pada Pusat-Pusat Pelayanan
Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) III Kabupaten Semarang

TEORI CHRISTALLER

Walter Christaller (1933) dengan model tempat sentral (central lace model) mengemukakan
bahwa tanah yang positif adalah tanah yang mendukung pusat kota. Pusat kota tersebut ada
karena untuk berbagai jasa penting harus disediakan tanah/lingkungan sekitar. Secara ideal maka
kota merupakan pusat daerah yang produktif. Dengan demikian apa yang disebut tempat sentral
adalah pusat kota. Berdasarkan prinsip aglomerasi (scale economics atau ekonomi skala menuju
efisiensi atau kedekatan menuju sesuatu), ekonomi kota besar menjadi pusat daerahnya sendiri
dan pusat kegiatan kota yang lebih kecil. Artinya, kota kecil bergantung pada tersedianya dan
adanya kegiatan yang ada pada kota besar.

Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) III dengan pusat pelayanan di Kecamatan Tengaran
dan Kecamatan Suruh berada di wilayah selatan Kabupaten Semarang. Jauhnya jarak untuk
menjangkau ibukota Kabupaten Semarang di sebelah utara secara geografis kurang
menguntungkan bagi wilayah selatan. Sehingga muncul dugaan bahwa SWP III lebih banyak
dilayani oleh pusat pelayanan wilayah administrasi yang lain. Berdasarkan fakta tersebut di atas,
maka penting untuk mengkaji efektivitas pemanfaatan sarana lingkungan pada SWP III
Kabupaten Semarang.

Kebijakan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) merupakan salah satu konsep dalam
perencanaan wilayah yang digunakan untuk menyebarkan kemakmuran dari pusat wilayah ke

5
pinggirannya, sehingga wilayah di sekitarnya terpacu untuk berkembang dan mengurangi beban
pelayanan yang diemban pusat kota. Kabupaten Semarang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) SWP
guna mencapai pertumbuhan yang lebih baik. Ketiga SWP ini memiliki tingkat pertumbuhan yang
tidak merata, hal ini disebabkan oleh kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang berbeda. Selain itu
ketiga SWP juga memiliki pusat pelayanan dengan hirarki yang berbeda, SWP I dengan pusat
pelayanan Ungaran berhirarki 1 (PKL sebagai PKN), SWP II dengan pusat pelayanan Ambarawa
berhirarki 2 (PKL), dan SWP III dengan pusat pelayanan Tengaran dan Suruh berhirarki 3
(PKLp)

Pusat pelayanan merupakan suatu lokasi dengan banyak sarana serta kemudahan yang
menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi sehingga masyarakat tertarik
memanfaatkan sarana yang ada di wilayah tersebut. Pusat pelayanan idealnya terletak pada lokasi
dengan aksesibilitas yang baik, jumlah penduduk minimal dan memiliki jangkauan pelayanan
optimal sehingga mampu melayani seluruh wilayah Christaller (1933).

Efektivitas didefinisikan sebagai keberhasilan dari suatu usaha maupun tindakan yang telah
dilakukan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Sedangkan menurut Chapin & Kaiser (1979)
yang membahas mengenai pedoman penggunaan lahan, efektivitas suatu pedoman dapat dilihat
dari kemampuannya memecahkan masalah jika pedoman tesebut dilaksanakan. Dari dua definisi
diatas dapat dikatakan bahwa efektivitas adalah keberhasilan dari suatu tindakan dilihat dari
kemampuannya memecahkan masalah.

Kemampuan memecahkan masalah untuk pusat pelayanan meliputi ketersediaan sarana. Hal
seperti yang diungkapkan oleh Yeates (1980) bahwa kemampuan suatu tempat pusat untuk
memuaskan kebutuhan konsumen bergantung pada jumlah barang dan jasa yang disediakan.
Hirarki kota juga mempengaruhi ketersediaan sarana, merujuk pada Christaller (Daldjoeni,1998)
bahwa Kota besar memiliki hampir semua macam kegiatan pelayanan, sedangkan kota kecil
memiliki jenis dan jumlah pelayanan yang terbatas.

Selain ketersediaan sarana kemampuan pusat pelayanan juga dipengaruhi oleh aksesibilitas,
hal ini diungkapkan oleh Christaller (Joyodipuro, 1992) bahwa semua konsumen dalam usaha
mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan, menuju ke tempat pusat yang paling dekat
letaknya. Tingkat aksesibilitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti kondisi jalan, moda
transportasi, intensitas tr Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas
pemanfaatan sarana lingkungan merupakan sebuah upaya untuk menilai tingkat keberhasilan
penyediaan sarana lingkungan pada pusat-pusat pelayanan SWP III Kabupaten Semarang dilihat
dari kemampuan yang dimiliki oleh sarana lingkungan yaitu ketersediaan sarana, aksesibilitas
sarana, dan pemanfaatan sarana. ansportasi dan jarak (Tarigan, 2004).

D. Teori Hotteling
Judul jurnal : DISTRIBUSI DAN POLA PUSAT PERBELANJAAN SKALA
BESAR SECARA SPASIAL DI KOTA BEKASI

Teori Hotteling adalah "strategi dua industri yang bersaing, baik dari segi lokasi
maupun harga produknya yang bertujuan memaksimalisasi laba pasar." Tujuan analisis

6
wilayah pasar model hotteling adalah menganalisis strategi lokasi dua industri yang bersaing
merebutkan suatu wilayah pasar.

Berdirinya beberapa pusat perbelanjaan skala besar, yakni mal/plaza, yang baru di
Kota Bekasi memberi dampak tersendiri dalam segala aspek. Pusat perbelanjaan ini sendiri
memiliki jenis yang beragam sebagai hasil dari pengaruh modernisasi yang kuat. Hal tersebut
dapat memicu terjadinya pembangunan wilayh yang kurang selaras dengan aturan
perencanaan kota yang telah ditetapkan. Salah satu wilayah yang terindikasi sebagai tempat
berkumpulnya lokasi mal/plaza di Kota Bekasi adalah di Jl. KH Noer Ali dan Jl. A. Yani.

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan geografi, yaitu pendekatan keruangan


dan pendekatan kompleks wilayah (Yunus, 2008). Hal ini didasari sesuai tujuan 1 dan 2 yang
membahas mengenai pola distribusi pusat perbelanjaan (mal/plaza) secara keruangan. Hal
tersebut mendasar pada adanya perbedaan struktur, pola, dan proses keruangan yang berbeda
dari setiap lokasi pusat perbelanjaan skala besar di Kota Bekasi, utamanya pada lokasi pusat
perbelanjaan yang terkluster. Pola keruangan berkaitan dengan lokasi distribusi objek
penelitian dengan elemen berupa titik, garis, atau area sehingga akan menggambarkan pola
distribusi yang memanjang, radial, dan atau sebagainya. Sementara pendekatan kompleks
wilayah digunakan agar hasil analisis jawaban mengenai faktor pemilihan lokasi mal/plaza
dapat dikaitkan antara aspek fisik wilayah dengan manusia sebagai pelaku kegiatan atau
konsumen dari pusat perbelanjaan tersebut.

Sementara pada teori Ekonomi Aglomerasi Ritel (Benjamin dan Eppli, 1993) juga
menggambarkan kegiatan ritel yang mengelompok dalam rangka memaksimalkan utilitas
konsumen. Teori ini merupakan pengembangan dari teori Hotelling, yakni dua perusahaan
atau lebih yang menjual barang homogen akan beraglomerasi di pusat pasar. Teori Ekonomi
Aglomerasi Ritel juga menyebutkan bahwa teori Hotelling akan terjadi jika konsumen berada
dalam kondisi ketidakpastian. Singkatnya, seorang konsumen yang masih ragu dalam
mendapatkan barang yang ia cari, maka ia akan mendatangi lebih dari 1 ritel yang
teraglomerasi.

7
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegitan ekonomi,
atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang langka, serta
hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau
kegiatan lain baik ekonomi maupun social. Dalam mempelajari lokasi berbagai kegitan,
ahli ekonomi regional atau geografi terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang
dianalisis adalah datar dan kondisinya disemua arah adalah sama.

B. SARAN
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya
dengan judul makalah ini. saya banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada saya demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan
makalah di kesempatan kesempatan berikutnya

8
DAFTAR PUSTAKA
Emahlia. 2017. DISTRIBUSI DAN POLA PUSAT PERBELANJAAN SKALA BESAR
SECARA SPASIAL DI KOTA BEKASI.
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/116100

Abduh Sayid Albana1. Dkk. 2020. MODEL LOKASI SPATIAL (HOTELLING) DENGAN
FUNGSI UTILITAS YANG BERGANTUNG PADA REBATE.
https://www.jurnal.teknologiindustriumi.ac.id/index.php/JIEM/article/view/286/PDF

Pramudita ,Yustinus, Bima. 2017. Studi Efektivitas Pemanfaatan Sarana Lingkungan Pada Pusat-
Pusat Pelayanan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) III Kabupaten Semarang.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/17481

Tiuridah Silitonga, Dkk. 2022. KAJIAN TEORI LOKASI WEBER TERHADAP KEBERADAAN
INDUSTRI KERUPUK BONA DI LUBUK SEMUT KECAMATAN KARIMUN KABUPATEN
KARIMUN. http://www.ejurnal.universitaskarimun.ac.id/index.php/pelita/article/view/471

Prasetya, Nararya, Adi, dan PM, Broto Sunaryo. 2013. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI HARGA LAHAN DI KAWASAN BANJARSARI KELURAHAN
TEMBALANG, SEMARANG. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/2300

Anda mungkin juga menyukai