Anda di halaman 1dari 7

1.

Permasalahan makro yang dihadapi pada kawasan perdesaan pada Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009
Sebagian penduduk Indonesia masih bertempat tinggal dikawasan pemukiman perdesaan.
Selama ini kawasan perdesaan dicirikan antara lain oleh rendahnya tingkat produktivitas
tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan
permukiman perdesaan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004 – 2009
Bab 25 diuraikan tentang permasalahan makro yang dihadapi pada kawasan perdesaan.
Kawasan perdesaan menghadapi permasalahan-permasalahan internal dan eksternal yang
menghambat perrwujudan kawasan pemukiman perdesaan yang produktif, berdaya saing
dan nyama, adapun permasalahan tersebut sebagai berikut :
a. Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas.
Kegiatan ekonomi di sektor pertanian, baik industri kecil yang mengolah hasil
pertanian maupun industri jasa penunjang lainnya sangat terbatas. Sebagian besar
kegiatan ekonomi di pedesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer
sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil. Disisi lain, pada kurun waktu 2001-2003
terjadi penciutan lapangan kerja formal, baik diperkotaan maupun diperdesaan.
b. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektor maupun spasial.
Kondisi ini tercermin dari kurangnya keterkaitan antara sektor pertanian (primer)
dengan sektor-sektor industri (pengolahan) dan jasa penunjang, serta keterkaitan
pembangunan antara kawasan pedesaan dan kawasan perkotaan. Kota-kota kecil dan
menengah yang berfungsi melayani kawasan perdesaan disekitarnya belum
berkembang sebagai pusat pasar komoditas pertanian; pusat produksi; koleksi dan
distribusi barang dan jasa; pusat pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah
nonpertanian; dan penyedia lapangan kerja alternatif.
c. Timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antar daerah.
Dalam era otonomi daerah timbul kecenderungan untuk meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dalam bentuk pengenaan pajak dan retribusi (punguntan) yang
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi diantara pungutan yang dikenakan dalam aliran
perdagangan komoditas pertanian antara daerah yang akan menurunkan daya saing
komoditas pertanian.
d. Tingginya resiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan.
Petani dan pelaku usaha dikawasan perdesaan sebagian besar sangat bergantung pada
alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat akan meningkatkan risiko kerugian usaha
seperti gagal panen karena banjir, kekeringan, maupun serangan hama penyakit. Pada
kondisi demikian, pelaku industri kecil yang bergerak dibidang pengolahan produk-
produk pertanian otomatis akan terkena dampak sulitnya memperoleh bahan baku
produksi. Risiko ini masih ditambah lagi dengan fluktasi harga dan struktur pasar
yang merugikan.
e. Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan.
Hal ini terlihat dari bersarnya jumlah rumah tangga petani gurem (petani dengan lahan
pemilikan lahan kurang dari 0,5 Ha yang mencapai 13,7 juta rumah tangga (RT) atau
56,2 persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan pada tahun 2003. Hal ini
ditambah lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat masyarakat perdesaan
dengan sumber daya ekonomi seperti lahan/tanah, permodalan, input produksi,
keterampilan dan teknologi, informasi serta jaringan kerja sama. Khusus untuk
permodalan, salah satu penyebab rendahnya akses masyarakat perdesaan ke pasar
kredit asalah minimnya potensikolateral yang tercermin dari rendahnya persentase
rumah tangga perdesaan yang memiliki sertifikat tanah yang diterbitkan BPN, yaitu
hanya mencapai 21,63 persen (tahun 2001). Akses masyarakat perdesaan juga masih
minim dalam pemanfataan sumber daya alam. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan, pertambangan dan pesisir masih tergolong rendah, bahkan
sebagian besar tergolong miskin.
f. Rendahnya tingkat pelayanan sarana dan prasarana perdesaan.
Hal ini tercermin dari total area kerusakan jaringan irigasi yang mencapai 78 persen
(tahun 2003), jumlah desa yang tersambung prasarana telematika baru mencapai 36
persen (tahun 2003), persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses
terhadap pelayanan air minum perpipaan baru mencapai 6,2 persen (tahun 2002),
persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses ke prasarana air limbah baru
52, 2 persen (tahun 2002), meningkatnya fasilitas pendidikan yang rusak, terbatasnya
pelayanan kesehatan, dan fasilitas pasar yang masih di perdesaan khususnya di
Kawasan Timur Indonesia.
g. Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketerampilan rendah
(low skilled).
Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun keatas
baru mencapai 5,84 persen pertahun atau belum lulus SD/MI; sementara itu rata-rata
lama sekolah penduduk perkotaan sudah mencapai 8,73 persen per tahun. Proporsi
penduduk usia 10 tahun keatas yang telah menyelsaikan pendidikan SMP/MTs ke atas
hanya 23,8 persen, jauh lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang jumlahnya
mencapai 52,9 persen. Kemampuan keaksaraan penduduk perdesaan juga masih
rendah yang ditunjukan oleh tingginya angka buta aksara yang masih besar 13,8
persen atau lebih dari dua kali lipat penduduk perkotaan yang angkanya sudah
mencapai 5,49 persen (Susenas 2003)
h. Meningkatkan konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan
lain.
Disamping terjadinya peningkatan luas lahan kritis akibat erosi dan pencemaran tanah
dan air, isu paling kritis terkait dengan produktivitas sektor pertanian adalah
penyusutan lahan sawah. Pada kurun waktu 1992-2000, luas lahan sawah telah
berkurang dari 8,2 juta hektar menjadi 7,8 juta hektar. Kondisi ini selain didorong
oleh timpangnya nilai land rent pertanian dibandingkan untuk pemukiman dan
industri, juga diakibatkan lemahnya penegakan peraturan yang terkait dengan RT/RW
di tingkat local.
i. Meningkatkan degrasi sumber daya alam dan lingkungan hidup
Sumber daya alam dan lingkungan hidup sebenarnya merupakan aset yang sangat
berharga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal, terutama bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya.
Namun demikian, potensi ini akan berkurang apabila praktik-praktik pengelolaan
yang dijalankan kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Contoh dari hal ini dapat dilihat pada data Statistik Kehutanan tahun 2002, dimana
perkiraan luas lahan kritis sampai dengan Desember 2000 adalah 23,24 juta hektar,
dengan 35 persen berada didalam kawasan hutan dan 65 persen diluar kawasan hutan.
Untuk hutan sendiri telah terjadi peningkatan laju degrasi dari 1,6 hektar/ tahun pada
kurun 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar/tahun pada kurun waktu 1997-2001.
j. Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat
Hal ini tercermin dari kemampuan lembaga dan oranisasi dalam menyalurkan
asprirasi masyarakat untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta dalam
memperkuat posisi tawar masyarakat dalam aktivitas ekonomi. Disamping itu, juga
terdapat permasalahan masih terbatas akses, kontrol dan partisipasi perempuan dalam
kegiatan pembangunan diperdesaan yang antara lain disebabkan masih kuatnya
pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriaki, yang menempatkan perempuan dan
laki-laki pada kedudukan dan peran berbeda, tidak adil dan tidak setara.
k. Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan.
Pembangunan perdesaan secara terpadu akan melibatkan banyak aktor meliputi
elemen pemerintah sendiri, koordinasi semakin diperlukan tidak hanya untuk
menjamin keterpaduan antar sektor, tetapi juga karena telah disentralisasikannya
sebagian besar kewenangan kepada pemerintah daerah, Lemahnya koordinasi
mengakibatkan efisiennya pemanfaatan sumber daya pembangunan yang terbatas
jumlahnya, baik karena tumpang tindihnya kegiatan maupun karena tidak terjalinnya
sinergi antar kegiatan.

2. Kedudukan pemerintahan Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI, yang diatur dalam undang-undang (UU).
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pemerintah desa merupakan subsitem pemerintahan
nasional hal ini dapat dilihat dari definisi desa yang dijelaskan bahwa desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada dikabupaten kota, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Adapun kedudukan pemerintahan desa berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No.
32 Tahun 2004 dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, berbunyi : Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara
kesatuan RI, yang diatur dalam undang-undang (UU). Lebih lanjut dalam penjelasan
UUD 1945 disebut bahwa : dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih
250 Zelfbesturende Landschappen dan Volksemenschappen, seperti disa di Jawa dan
Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara RI menghormati kedudukan daerah-
daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah
itu dan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.
b. Pasal 1 huruf o UU No. 22 tahun 1999, menyebutkan bahwa : Desa atau yang disebut
dangan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada didaerah kabupaten.
c. Pasal 1 nomor 12 UU No. 32 Tahun 2004, menjelaskan bahwa : desa atau yang
disebut nama lain selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyakata hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah
keanekaragaman, pertisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Dari ketiga pasal diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan pemerintah desa
hingga saat ini merupakan subsistem dari sistem penyelenggaran pemerintahan di
Indonesia sehingga desa memiliki kewenangan, tugas dan kewajiban untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakatnya. Artinya desa tidak dapat berdiri sendiri, dan harus
senantiasa melihat dinamika diatasnya.

3. Kedudukan pemerintahan Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan Presiden Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Januari 2014. UU Desa diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7 dan Penjelasan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495 hari itu juga oleh
Menkumham Amir Syamsudin pada tanggal 15 Januari 2014 di Jakarta.
UU 6 tahun 2014 tentang Desa mencabut Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).
Undang-Undang ini mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis
Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan
Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa,
Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa,
Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta
Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan
ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab
XIII.
Yang melatarbelakangi pertimbangan pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa adalah:
a. bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita
kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah
berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan
agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan
landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera;
c. bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Desa;
Adapun kedudukan pemerintahan Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 adalah sebagai berikut :
1) Pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa : Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Pasal 1 ayat 2, menyebutkan bahwa : Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3) Pasal 5, menyebutkan bawah : Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.
4) Pasal 6 ayat 1, menyebutkan bahwa : Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat
5) Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa : Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah
setempat.
6) Pasal 78 ayat 1, menyebutkan bahwa : Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan
prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
7) Pasal 97, menyebutkan bahwa syarat penetapan desa adat adalah :
a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih
hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai
dengan perkembangan masyarakat; dan
c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari uraian kedudukan Desa dapat dijelaskan bahwa UU No 6 tahun 2014 tentang desa ini
mendefinisikan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Selain mengatur tentang Desa
undang-undang ini juga secara khusus mengatur tentang Desa Adat.
Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk
seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai
karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat
terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial
budaya masyarakat Desa.
Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal
yang dipelihara secara turuntemurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan
masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas
sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal
usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat.
Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai
batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar,
yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan genealogis dengan teritorial. Yang diatur
dalam UndangUndang ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan
gabungan antara genealogis dan teritorial. Dalam kaitan itu, negara mengakui dan
menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dan tidak luput dari perhatian bahwa pembangunan Desa bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan
melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan
secara berkelanjutan.

Referensi :
- Buku Materi Pokok IPEM4208, Sistem Pemerintahan Desa
- https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2014/6TAHUN2014UUPenjel.pdf
- https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_6.pdf
- https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-6-2014-desa

Anda mungkin juga menyukai