Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENDIDIKAN ANAK DALAM PERSPEKTIF AL QURAN


Di susun untuk memenuhi tugas :
Tafsir Tarbawi
Dosen : Bapak Thoriq Al Anshori, M.Pd

COVER

Oleh:

Achmad Zaini Chilmi I ( 22001011006 )


Ahmad Winahyu Sucahyo (22001011016)
Asrori Shofiyyulloh (22001011018)
Burhanuddin (22001011035)
Muhammad Anis Rif'i Irsyadillah (22001011251)

KELAS D
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun Makalah Pendidikan
Anak dalam Perspektif Al Quran ini dengan baik.
Semoga makalah yang kami susun ini bisa menolong menaikkan pengetahuan
kita menjadi lebih luas lagi. Kami menyadari jika masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan guna penyempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Dosen Mata Kuliah Tafsir Tarbawi dan kepada pihak yang sudah menolong
dan turut membantu dalam penyelesaian makalah ini. Atas perhatian serta waktunya,
kami sampaikan banyak terima kasih.

Malang, 19 April 2022

Kelompok 2

ii
Daftar Isi
COVER i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 3

C. Tujuan Makalah 3

BAB II PEMBAHASAN 4

A. Pendidikan Anak dalam Perspektif Al Quran 4

B. Keutamaan Pendidikan Moral pada Anak 8

C. Kisah Lukmanul Hakim 11

D. Tafsir Tematik Surah Luqman Ayat 13-15 Dan Surah Ibrahim Ayat 40 13

E. Teladan Pendidikan Nabi SAW Terhadap Anak - Anaknya 17

F. Teladan pendidikan Sahabat Nabi SAW terhadap Anak-anaknya 19

BAB III PENUTUP 20

A. Kesimpulan 20

DAFTAR PUSTAKA 21

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin sangat memperhatikan


pemeliharaan hidup dan kehidupan manusia sejak dini. Perhatian itu melebihi
perhatian apa pun yang ada pada undang- undang yang dibuat oleh manusia itu
sendiri. Islam sangat memperhatikan anak- anak pada setiap fase kehidupan mereka.
Bahkan Islam memperbolehkan seorang ibu yang hamil membatalkan puasanya, jika
itu dikhawatirkan dapat membahayakan janin atau anaknya yang sedang dikandung
atau disusuinya. Semua itu membuktikan bahwa Islam sangat menghargai keberadaan
hidup dan kehidupan manusia semenjak manusia berupa janin sampai manusia
menjadi besar dan dewasa. Oleh karena itu, pendidikan harus diberikan manusia
semenjak usia dini. Karena pendidikan yang dimulai sejak usia dini mempunyai daya
keberhasilan yang tinggi dalam menentukan tumbuh-kembang kehidupan anak
selanjutnya.
Pendidikan adalah masalah yang esensial dan penting dalam kehidupan
manusia, karena dengan pendidikan dapat membentuk manusia dewasa dan
berpengetahuan, berkepribadian serta terampil. Melalui pendidikan kita dapat
mengenali ilmu pendidikan sebanyak- banyaknya sehingga mampu berperan aktif di
tengah-tengah kehidupan masyarakat yang konflik (UU RI, 2003: IV). Menurut Piet
A. Siagian pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja direncanakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya pendidikan (Piet A Siagian, 2000: 1).
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan
manusia, karena tujuan yang dicapai oleh pendidikan tersebut adalah untuk
terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai manusia individual dan sosial
serta hamba Tuhan yang mengabdikan diri kepada-Nya (Muzayyim Arifin, 1999:11).
Obyek pembahasan dalam tulisan ini adalah penafsiran ayat-ayat tentang
kualitas pendidikan yang tergelar dalam beberapa surah dan terfokus pada sebuah

1
tema, pendekatan yang digunakan adalah maudhu’i. Ada 2 macam cara kerja Tafsir
Maudhu’i yakni: Pertama, penafsiran yang berdasarkan surat Alquran. Mufassir
membahas mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan
maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai
masalah yang dikandungnya, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk sempurna
saling melengkapi (Abdul Muin Salim, 2005:47). Kedua, menghimpun seluruh ayat
Alquran yang berbicara tentang tema yang sama. Kesemuanya diletakkan di bawah
satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.
Al-Farmawi mengemukakan tujuh langkah yang mesti dilakukan apabila
seseorang ingin menggunakan metode Maudhu’i. Langkah-langkah dimaksud dapat
disebutkan disini secara ringkas. Pertama, memilih atau menetapkan masalah Alquran
yang akan dikaji secara Maudhu’i.Kedua, melacak dan menghimpun ayat-ayat yang
berkaitan dengan masalah yang ditetapkan, ayat Makkiyah dan Madaniyah.Ketiga,
menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis masa turunnya,
disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sabab al-nuzul.Keempat,
mengetahui hubungan (munasabah) ayat- ayat tersebut dalam masing-masing
surahnya. Kelima, menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh,
sempurna, dan sistematis.Keenam, melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadis
bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas.Ketujuh,
mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, tanpa perbedaan dan
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang
kurang tepat (Abdul Muin Salim, 2005: 47- 48).

2
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pendidikan anak dalam prespektif al Quran?


2. Bagaimana Keutamaan pendidikan moral pada anak?
3. Bagaimana Kisah Lukmanul Hakim?
4. Bagaimana Tafsir tematik surah Luqman 13-15, Ibrahim ayat 40?
5. Bagaimana Teladan pendidikan Nabi SAW terhadap anak anaknya?
6. Bagaimana Teladan pendidikan Sahabat Nabi SAW terhadap anak-anaknya?

C. Tujuan Makalah

1. Mengetahui Pendidikan anak dalam prespektif al Quran


2. Mengetahui Keutamaan pendidikan moral pada anak
3. Mengetahui Kisah Lukmanul Hakim
4. Mengetahui Tafsir tematik surah Luqman 13-15, Ibrahim ayat 40
5. Mengetahui Teladan pendidikan Nabi SAW terhadap anak anaknya
6. Mengetahui Teladan pendidikan Sahabat Nabi SAW terhadap anak-anaknya

3
BAB II PEMBAHASAN

A. Pendidikan Anak dalam Perspektif Al Quran

Anak atau keturunan adalah penerima warisan nilai dan budaya dari generasi
sebelumnya. Dalam Islam anak adalah pewaris ajaran Islam yang akan melanjutkan
misi menyampaikan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Bangsa Arab sebelum
datangnya Islam memandang anak sebagai beban keluarga, memperlakukan anak
semaunya terutama anak perempuan. Bahkan jika mereka merasa anaknya sebagai
beban yang memberatkan, tidak segan-segan membunuhnya, memandang sangat
rendah anak-anak perempuan bahkan mau menguburkannya hidup-hidup.
Kondisi seperti inilah harus diubah dengan pendidikan Islam. Materi
pendidikan anak dalam Islam yang dicontohkan oleh Nabi saw. sebagaimana
diisyaratkan dalam Q.S. Lukman/31: 13-19, adalah sebagai berikut:
1) Pendidikan tauhid, yaitu menanamkan keimanan kepada Allah sebagai Tuhan
yang Maha Esa.
2) Pendidikan salat. Rasulullah saw. memerintahkan agar anak yang berumur 7
tahun sudah mulai dididik, dilatih, dan dibiasakan melaksanakan salat.
3) Pendidikan adab sopan santun dalam keluarga
4) Pendidikan adab sopan santun dalam bermasyarakat (kehidupan sosial)
5) Pendidikan kepribadian.
Sebelum sampai pada pengertian pendidikan anak, maka perlu di awali apa
yang dimaksud dengan pendidikan itu sendiri. Terdapat beragam pandangan
mengenai pengertian pendidikan. Ahmad D Marimba misalnya, mengatakan bahwa
pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan terdapat lima unsur
utama pendidikan, yaitu: pertama, usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan,
pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar. Kedua, terdapat pendidik,
pembimbing atau penolong. Ketiga, ada yang di didik atau si terdidik. Keempat,

4
adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut. Kelima, dalam usaha itu ada alat-
alat yang dipergunakan.
1. Karakteristik Pendidikan Anak
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah di antara metode yang paling
tepat dalam mendidik anak usia dini adalah melalui pembiasaan dan suri teladan.
Orang tua dapat melatih dan membiasakan anak-anak untuk dapat bangun akhir
malam, dan melakukan shalat malam. Karena dengan pembiasaan tersebut akan
bermanfaat bagi si anak kemudian hari, paling tidak, anak-anak akan menghargai
bahwa waktu yang baik untuk urusan spiritualnya.
Di antara pandangannya tentang pendidikan anak, Ibn Qayyim al-Jawziyyah
dalam kitabnya yang khusus mengenai anak, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-
Maulûd, mengatakan :
Anak kecil di masa kanak-kanaknya sangat membutuhkan seseorang yang
membina dan membentuk akhlaknya, karena ia akan tumbuh dan berkembang sesuai
dengan apa yang menjadi kebiasaan (yang ditanamkan oleh para pendidik). Jika
seorang anak selalu dibiasakan dengan sifat pemarah dan keras kepala, tidak sabar
dan selalu tergesa-gesa, menurut hawa nafsu, gegabah dan rakus, maka semua sifat
itu akan sulit diubah di masa dewasanya. Maka jika seorang anak dibentengi, dijaga
dan dilarang melakukan semua bentuk keburukan tersebut, niscaya ia akan benar-
benar terhindar dari sifat-sifat buruk itu. Oleh karena itu, jika ditemukan seorang
dewasa yang berakhlak buruk dan melakukan penyimpangan, maka dipastikan akibat
kesalahan pendidikan di masa kecilnya dahulu (Qayyim, Ibnu Al-Jauziyah, 1391:200)
Anak-anak akan berkembang dan tumbuh paling baik dalam ketertiban dan
keteraturan serta jauh dari hal-hal yang tidak baik. Mereka akan lebih bahagia kalau
mereka mengetahui apa yang diharapkan, berupa yang baik dan indah, walaupun
dalam kenyataannya anak-anak tanpa kompromi akan menelan semua yang dilihat
dan didengarnya sekalipun buruk. Di sinilah peran orang tua dan pendidik untuk
merencanakan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk tumbuh kembang anak-
anak ke arah yang baik.

5
Selanjutnya Ibn Qayyim menegaskan bahwa seorang anak hendaknya
dijauhkan dari sifat malas, santai dan tidak mempunyai aktivitas positif, tetapi justru
harus dibiasakan bekerja keras, sportif dan melakukan berbagai kesibukan. Karena
pada dasarnya orang yang paling bahagia adalah mereka yang dapat bekerja dan
melakukan aktifitas-aktifitas positif dan kontributif, sehingga membiasakan anak
dengan keseriusan dan kesungguhan belajar dan beraktifitas akan berdampak positif
pada pola hidupnya di kemudian hari.

2. Tujuan Pendidikan Anak Menurut Islam


Pendidikan dalam pandangan Islam dimaksudkan untuk peningkatan potensi
spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia
mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan Islam tidak hanya membentuk anak yang beriman, berakhlak
mulia, beramal shaleh tetapi juga menjadikan anak tersebut berilmu pengetahuan dan
berteknologi, juga berketerampilan dan berpengalaman sehingga ia menjadi orang
yang mandiri berguna bagi dirinya, agama, orang tua serta negaranya (Abuddin Nata,
2012 : 140).
Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan
penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut
dalamkehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi
spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang
dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan.

3. Ruang Lingkup Pendidikan Anak Menurut Islam


Adapun Ruang lingkup pendidikan anak menurut secara garis besar dibagi
menjadi 5, yaitu :
a. Pendidikan Keimanan

6
Tujuan pendidikan dalam Islam yang paling hakiki adalah mengenalkan
peserta didik kepada Allah SWT. Mengenalkan dalam arti memberikan pembelajaran
tentang keesaan Allah SWT, kewajiban manusia terhadap Allah dan aspek-aspek
aqidah lainnya. Dalam hal ini dapat dikaji dari nasehat Luqman kepada anaknya yang
digambarkan Allah dalam firmannya :
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia
memberikan pelajaran kepadanya: ”hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang
nyata.” (Q.S Luqman:13)
b. Pendidikan Akhlak
Allah mengutus Nabi Muhammad kepada umat manusia adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia. Dalam proses pendidikan terdapat hadits dari Ibnu
Abas bahwa Rasulullah pernah bersabda: “… Akrabilah anak-anakmu dan didiklah
akhlak mereka.”, begitu juga Rasulullah saw. bersabda: ”Suruhlah anak-anak kamu
melakukan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan pukullah mereka
kalau meninggalkan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur
mereka.” (HR. Abu Daud).
c. Pendidikan Intelektual
Menurut kamus Psikologi istilah intelektual berasal dari kata intelek yaitu
proses kognitif/berpikir, atau kemampuan menilai dan mempertimbangkan.
Pendidikan intelektual ini disesuaikan dengan kemampuan berpikir anak. Menurut
Piaget seorang Psikolog yang membahas tentang teori perkembangan yang terkenal
juga dengan Teori Perkembangan Kognitif mengatakan ada 4 periode dalam
perkembangan kognitif manusia, yaitu :
a) Periode 1, yaitu 0 – 2 tahun (sensori motorik)
b) Periode 2, yaitu 2 tahun – 7 tahun (berpikir Pra Operasional)
c) Periode 3, yaitu 7 tahun- 11 tahun (Berpikir Kongkrit Operasional)
d) Periode 4, yaitu 11 tahun- Dewasa (Formal Operasional) (Desmita, 2009:
101).

7
d. Pendidikan Fisik
Dengan memenuhi kebutuhan makanan yang seimbang, memberi waktu tidur
dan aktivitas yang cukup agar pertumbuhan fisiknya baik dan mampu melakukan
aktivitas seperti yang disunahkan Rasulullah: “ Ajarilah anak- anakmu memanah,
berenang dan menunggang kuda ” (HR. Thabrani).
e. Pendidikan Psikis
Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan janganlah kamu bersifat lemah dan
jangan pula berduka cita, padahal kamulah orang- orang yang paling tinggi
derajatnya, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. 3:139)
Upaya dalam melaksanakan pendidikan psikis terhadap anak antara lain :
a) Memberikan kebutuhan emosi, dengan cara memberikan kasih sayang,
pengertian, berperilaku santun dan bijak.
b) Menumbuhkan rasa percaya diri
c) Memberikan semangat tidak melemahkan.

B. Keutamaan Pendidikan Moral pada Anak

Keutamaan pendidikan pada anak diterangkan di dalam kitab Lubbabul Hadis


bab ketiga puluh satu oleh Imam As-Suyuthi (w. 911). Beliau menuliskan sepuluh
hadis tentang fadhilah atau keutamaan mendidik anak-anak, yaitu :
1. Hadis Pertama:
َ}‫س ٍن‬ ٍ ‫ض َل ِمنْ َأ َد‬
َ ‫ب َح‬ َ ‫ { َما نَ َح َل َوالِ ٌد َولَ َدهُ َأ ْف‬:‫ساَل ُم‬ َّ ‫ا َل النَّبِ ُّي َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬

Nabi saw. bersabda, “Tidak ada pemberian seorang ayah untuk anaknya yang
lebih utama dari pada (pendidikan) tata krama yang baik.” Hadis ini diriwayatkan
oleh imam At-Tirmidzi dan imam Al-Hakim dari sahabat Amr bin Sa’id bin Ash r.a.

2. Hadis Kedua:

}‫اع‬
ٍ ‫ص‬َ ِ‫ق ب‬ َ َ‫ِّب ال َّر ُج ُل َولَ َدهُ َخ ْي ٌر لَهُ ِمنْ أنْ يَت‬
َ ‫ص َّد‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬
َ ‫ {أِل نْ يَُؤ د‬:‫ساَل ُم‬ َ

8
Nabi saw. bersabda, “Seseorang mendidik anaknya itu lebih baik baginya dari
pada ia menshadaqahkan (setiap hari) satu sha’.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam
At-Tirmidzi dari sahabat Jabir bin Samurah r.a.
3. Hadis Ketiga:

ِ ‫ {َأ ْك ِر ُموا َأ ْواَل َد ُك ْم َوَأ ْح‬:‫ساَل ُم‬


}‫سنُوا آدَابَ ُه ْم‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬ َ

Nabi saw. bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian dan ajarilah mereka tata
krama.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dari sahabat Anas bin Malik
r.a.

4. Hadis Keempat:

}ُ‫ِّب َولَ َده‬ ِ ‫ { َمنْ َأ َرا َد أنْ يُ ْر ِغ َم َحا‬:‫ساَل ُم‬


ْ ‫س َدهُ فَ ْليَُؤ د‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬ َ

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang ingin menghina orang yang hasud
kepadanya, maka hendaklah ia mengajari tatakrama anaknya.” Berdasarkan
penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan
imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan
periwayatnya.

5. Hadis Kelima:

ُ ِ‫ {النَّظَ ُر ِإلَى َو ْج ِه اَأْل ْواَل ِد ب‬:‫ساَل ُم‬


}‫ش ْك ٍر َكالنَّظَ ِر ِإلَى َو ْج ِه نَبِيِّ ِه‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬ َ

Nabi saw. bersabda, “Memandang wajah anak-anak dengan syukur seperti


memandang wajah nabinya.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum
menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani
ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

9
6. Hadis Keenam:

ِ ‫ {أ ْك ِر ُم ْوا َأ ْواَل َد ُك ْم فَِإنَّ َك َرا َمةَ اَأْل ْواَل ِد‬:‫ساَل ُم‬


}‫س ْت ٌر ِمنَ النَّار‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬ َ

Nabi saw. bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian karena sungguh


memuliakan anak-anak itu dapat menjadi penghalang dari api neraka.” Berdasarkan
penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan
imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan
periwayatnya.

7. Hadis Ketujuh:

ِّ ‫ {اَأْل ْواَل ُد ِح ْر ٌز ِمنَ النَّا ِر َواَأْل ْك ُل َم َع ُه ْم بَ َرا َءةٌ ِمنَ النَّا ِر َو َك َرا َمتُ ُه ْم َج َوا ٌز َعلَى ال‬:‫ساَل ُم‬
‫صرا ِط‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬ َ

Nabi saw. bersabda, “Anak-anak itu pelindung dari api neraka, makan
bersama mereka itu pembebas dari api neraka, dan memuliakan mereka itu
diperbolehkan melewati di atas shirat (jembatan).” Berdasarkan penelusuran kami,
kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi
Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

8. Hadis Kedelapan:

}‫أواَل َد ُك ْم فَِإنَّ َمنْ َأ ْك َر َم َأ ْوالَ َدهُ َأ ْك َر َمهُ هللاُ فِى ا ْل َجنَّ ِة‬
ْ ‫ {َأ ْك ِر ُموا‬:‫ساَل ُم‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬ َ

Nabi saw. bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian, karena sungguh siapa


yang memuliakan anak-anaknya maka Allah akan memuliakannya di surga.”
Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu
pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak
menjelaskan periwayatnya.

10
9. Hadis Kesembilan:

ِّ ‫ح اَل يَد ُْخلُ َها ِإالَّ َمنْ فَ َّر َح ال‬


} َ‫ص ْبيَان‬ ِ ‫ {ِإنَّ فِى ا ْل َجنَّ ِة دَا ًرا يُقَا ُل لَ َها دَا ُر ا ْلفَ َر‬:‫ساَل ُم‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬ َ

Nabi saw. bersabda, “Sungguh di dalam surga itu ada rumah yang disebut
rumah kebahagiaan yang tidak dimasuki kecuali orang yang membahagiakan anak-
anak kecil.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Abu Ya’la dari sayyidah Aisyah r.a.

10. Hadis Kesepuluh:

} َ‫ح اَل يَد ُْخلُ َها ِإالّ َمنْ فَ َّر َح َيتَا َمى ا ْل ُمؤ ِمنِيْن‬
ِ ‫ {ِإنَّ فِى ا ْل َجنَّ ِة دَا ًرا يُقَا ُل لَ َها دَا ُر ا ْلفَ َر‬:‫ساَل ُم‬ َّ ‫وقَا َل َعلَ ْي ِه ال‬.
َّ ‫صاَل ةُ َوال‬ َ

Nabi saw. bersabda, “Sungguh di dalam surga ada rumah yang disebut rumah
kebahagiaan yang tidak dimasuki kecuali orang yang membahagiakan anak-anak
yatim yang mukmin.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Hamzah bin Yusuf dan Ibnu
Najjar dari Uqbah bin Amir Al-Juhani.

C. Kisah Lukmanul Hakim

Para ulama salaf (ulama generasi terdahulu) mengalami perbedaan pendapat


mengenai asal-usul Luqmanul Hakim: apakah ia seorang nabi ataukah sebatas
seorang hamba Allah yang saleh saja. Luqman adalah seorang budak Habsyi dan
tukang kayu. Terhadap kedua pendapat tersebut kebanyakan para ulama salaf setuju
kepada pendapat kedua. (Ibnu Katsir: 1990 : III : 427).
Jamaal ‘Abdul Rahman mengutip pemaparan Imam Jalalain (Musthafa
Jalalain dan Jalaluddin as-Suyuti) mengenai Lukman yang diberi gelar al-Hakim
sebagai berikut. Luqmanul Hakim adalah seorang lelaki yang dikaruniai hikmah oleh
Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya, (QS Luqman [31]:12)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman….” (Alquran
dan terjemahnya Depag RI: 2005 : 412).

11
Hikmah yang Allah SWT berikan kepadanya antara lain berupa ilmu, agama,
benar dalam ucapan, dan kata-kata yang bijaknya cukup banyak lagi telah di-ma’tsur.
Sebuah kisah Luqmanul Hakim beserta anaknya yaitu ketika Lukman
mengajak anaknya untuk menunggangi seekor keledai mengelilingi suatu kota. Pada
suatu hari Luqman bermaksud memberi nasihat kepada anaknya. Ia pun membawa
anaknya menuju suatu kota dengan menggiring seekor keledai ikut berjalan
bersamanya. Ketika Lukman dan anaknya lewat di hadapan seorang lelaki, ia berkata
kepada keduanya, “Aku sungguh heran kepada kalian, mengapa keledai yang kalian
bawa tidak kalian tunggangi?”
Setelah mendengar perkataan lelaki tersebut Luqman lantas menunggangi
keledainya dan anaknya mengikutinya sambil berjalan.
Belum berselang lama, dua perempuan menatap heran kepada Luqman seraya
berkata, “Wahai orang tua yang sombong! Engkau seenaknya menunggangi keledai,
sementara engkau biarkan anakmu berlari di belakangmu bagai seorang hamba
sahaya yang hina!”
Maka, Luqman pun membonceng anaknya menunggangi keledai. Kemudian
Luqman beserta anaknya yang ia bonceng melewati sekelompok orang yang sedang
berkumpul di pinggir jalan. Ketika mereka melihat Luqman dan anaknya seorang dari
mereka berkata, “Lihatlah! Lihatlah! Dua orang yang kuat ini sungguh tega
menunggangi seekor keledai yang begitu lemah, seolah keduanya menginginkan
keledainya mati dengan perlahan.”
Mendengar ucapan itu Luqman pun turun dari keledainya dan membiarkan
anaknya tetap di atas keledai. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan hingga
bertemu dengan seorang lelaki tua. Lelaki tua itu kemudian berkata kepada anak
Luqman, "Engkau sungguh lancang! Engkau tidak malu menunggangi keledai itu,
sementara orangtuamu engkau biarkan merangkak di belakangmu seolah ia adalah
pelayanmu!”
Ucapan lelaki tua itu begitu membekas dalam benak anak Luqman. Ia pun
bertanya pada ayahnya, "Apakah yang seharusnya kita perbuat hingga semua orang
dapat ridha dengan apa yang kita lakukan dan kita bisa selamat dari cacian mereka?”

12
Luqman menjawab, "Wahai anakku, sesungguhnya aku mengajakmu
melakukan perjalanan ini adalah bermaksud untuk menasihatimu. Ketahuilah bahwa
kita tidak mungkin menjadikan seluruh manusia ridha kepada perbuatan kita, juga
kita tidak akan selamat sepenuhnya dari cacian karena manusia memiliki akal yang
berbeda-beda dan sudut pandang yang tidak sama, maka orang yang berakal, ia akan
berbuat untuk menyempurnakan kewajibannya dengan tanpa menghiraukan perkataan
orang lain.” (Lafif min’l-Asatidzah : tt : 135-136).
Kemudian, anaknya bertanya, "Apakah yang mesti dilakukan oleh orang yang
berakal?"
Luqman kemudian menjawab, "Benar dalam berbicara dan diam terhadap hal-
hal yang bukan urusanku.”
Bagaimana agar orang berakal bisa melakukan hal yang demikian ayahanda,
karena orang berakal memiliki ilmu dan pengetahuan? Anaknya kemudian
melanjutkan bertanya,"Bagaimana untuk bisa mendapatkan pengetahuan?"
Luqman menjawab,"Dengan mengetahui apa yang kamu tahu dan ketahui apa
yang tidak engkau tahu. Orang-orang yang kita lewati tadi adalah orang-orang yang
tidak memiliki pengetahuan dan tidak punya semangat untuk mendapatkan
pengetahuan, sehingga mereka berbicara berdasarkan apa yang mereka lihat tanpa
melakukan tabayun terhadap kita. Orang yang berakal dan berilmu pastilah menjaga
dirinya dari keburukan.
"Anaknya kemudian bertanya, "Apakah yang dapat merusak diri manusia
pada awalnya?"
Luqman kemudian menjawab, "Lidah dan hati manusia dan keduanya juga
yang menjerumuskan manusia kepada kehinaan."

D. Tafsir Tematik Surah Luqman Ayat 13-15 Dan Surah Ibrahim Ayat 40

1. Tafsir Surah Luqman Ayat 13-15


Di dalam Al Qur’an Surah Luqman ayat 13-15, Allah ‫ ُس ْب َحانَهُ َو تَ َعالَى‬berfirman :

ْ ُ‫َوِإ ْذ قَا َل لُ ْق َمانُ ال ْبنِ ِه َوه َُو يَ ِعظُهُ يَا بُنَ َّي اَل ت‬
‫ش ِركْ بِاهَّلل ِ ِإنَّ الش ِّْركَ لَظُ ْل ٌم ع َِظي ٌم‬

13
(13)
‫ش ُك ْر لِي َولِ َوالِ َد ْي َك ِإلَ َّي‬ َ ِ‫سانَ بِ َوالِ َد ْي ِه َح َملَ ْتهُ ُأ ُّمهُ َو ْهنًا َعلَى َو ْه ٍن َوف‬
ْ ‫صالُهُ فِي عَا َم ْي ِن َأ ِن ا‬ َ ‫ص ْينَا اإل ْن‬
َّ ‫َو َو‬
‫صي ُر‬ ِ ‫ا ْل َم‬
(14)
‫اح ْب ُه َما ِفي ال ُّد ْنيَا َم ْع ُروفًا َواتَّبِ ْع‬
ِ ‫ص‬َ ‫س لَ َك بِ ِه ِع ْل ٌم فَال تُ ِط ْع ُه َما َو‬ َ ‫ش ِركَ ِبي َما لَ ْي‬ ْ ُ‫َوِإنْ َجا َهدَا َك عَلى َأنْ ت‬
َ‫اب ِإلَ َّي ثُ َّم ِإلَ َّي َم ْر ِج ُع ُك ْم فَُأنَبُِّئ ُك ْم بِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َملُون‬
َ َ‫سبِي َل َمنْ َأن‬
َ
(15 )
artinya :
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi
pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
((13)) Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang
tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua
orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. ((14)) Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu
tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian
hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan. ((15))
Rangkaian beberapa ayat di atas berbicara tentang nasihat Luqman kepada
putranya yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik (ayat 13). Imamash
Shobuni menafsirkan lâ tusyrik billâh dengan menyatakan:
“Jadilah orang yang berakal; jangan mempersekutukan Allah dengan apa pun,
apakah itu manusia, patung, ataupun anak.” Beliau menafsirkan inna asy-syirka
lazhulm[un] ‘azhîm dengan menyatakan, “Perbuatan syirik merupakan sesuatu yang
buruk dan tindak kezaliman yang nyata. Karena itu, siapa saja yang menyerupakan
antara khalik dengan makhluk, tanpa ragu- ragu, orang tersebut bisa dipastikan masuk
ke dalam golongan manusia yang paling bodoh.Sebab, perbuatan syirik menjauhkan

14
seseorang dari akal sehat dan hikmah sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat
zalim; bahkan pantas disetarakan dengan binatang.”
Sementara itu, Ibn Abbas menafsirkan lazhulm (un) ‘azhîm sebagai dosa besar
yang kelak akan mendapatkan sanksi dari Allah. Dua ayat berikutnya (ayat 14 dan
15) menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik kepada kedua
orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pemeliharaan keduanya, terutama ibu.
Dia telah mengandungnya sejak janin di dalam kandungan; setiap bertambah usia dan
besar janin, semakin bertambah lemahlah dia dan semakin bertambah sulit pula
(untuk bergerak). Demikian pula ketika melahirkan, seorang ibu dengan susah-payah
mengeluarkan bayinya dari rahimnya.Setelah itu, ibu menyusui bayinya selama dua
tahun. Ibn Jaza menafsirkan ungkapan hamalathu ummuhu wahn (an) ‘alâ wahnin wa
fishâluhu fî ‘âmayni adalah untuk menjelaskan bahwa hak ibu lebih besar daripada
bapak. Akan tetapi, rasa syukur kepada Allah harus di atas segalanya. Sebab,
kepadaNya lah tempat kembali seseorang, termasuk kedua orangtuanya (juga kembali
kepada Allah). Allah lah yang memberi balasan yang baik kepada orang yang berbuat
baik dan balasan yang buruk kepada orang yang berbuat buruk. Karena itu, sekalipun
keduanya telah bersusah-payah memeliharamu, kalau mereka mengajakmu pada
kekufuran dan perbuatan syirik, janganlah kamu mengikutinya, karena tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Hanya saja, sekalipun
demikian, engkau tetap menggauli mereka dengan baik serta senantiasa berlaku sopan
dan hormat kepada mereka.
Setelah pelaksanaan kewajiban, pengajaran Luqman yang berikutnya berupa
larangan berakhlak buruk, yakni larangan berpaling dari manusia karena sombong
dan menganggap rendah yang lain, serta larangan berjalan di muka bumi dengan
angkuh.Sebab, Allah tidak menyukai orang- orang yang sombong dan
membanggakan diri. Tentang sifat sombong yang tercela tersebut, Allah berfirman
dalam surat al- Isra’ ayat 37:
"Janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan tidak akan dapat
sampai setinggi gunung."(Q.S. Al-Isra’: 37). Pengajaran selanjutnya adalah perintah

15
berakhlak baik, yakni sederhana dalam berjalan; tidak terlampau cepat dan terburu-
buru; tidak juga terlampau lambat dan bermalas-malasan; kemudian melunakkan
suara (bila berbicara), tidak berteriak-teriak tanpa ada perlu, karena seburuk-buruk
suara adalah suara kedelai. Al-Hasan berkata, “Dulu orang-orang musyrik
membanggakan dirinya dengan bersuara tinggi.”
2. Tafsir Surah Ibrahim Ayat 40
Di dalam Al Qur’an Surah Ibrahim Ayat 40, Allah ‫ ُس ْب َحانَهُ َو تَ َعالَى‬berfirman :
‫ص ٰلو ِة َو ِمنْ ُذ ِّريَّتِ ۖ ْي َربَّنَا َوتَقَبَّ ْل ُدع َۤا ِء‬
َّ ‫اج َع ْلنِ ْي ُمقِ ْي َم ال‬
ْ ‫َر ِّب‬
Artinya :
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan
shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.
Pada ayat ini dilukiskan lagi pernyataan syukur Ibrahim pada Allah atas
segala rahmat-Nya. Ia bertambah tunduk dan patuh kepada Allah, dan berdoa agar
Allah menjadikan keturunannya selalu mengerjakan salat, tidak pernah lalai
mengerjakannya sedikit pun, sempurna rukun-rukun dan syarat-syaratnya, dan
sempurna pula hendaknya mengerjakan sunah-sunahnya dengan penuh ketundukan
dan kekhusyukan.
Ibrahim a.s. berdoa agar keturunannya selalu mengerjakan salat, karena salat
itu adalah pembeda antara mukmin dan kafir dan merupakan pokok ibadah yang
diperintahkan Allah.
Orang yang selalu mengerjakan salat, akan mudah baginya mengerjakan
ibadah-ibadah lain dan amal-amal saleh. Salat dapat mensucikan jiwa dan raga karena
salat dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman
Allah swt:
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
َ‫َصنَ ُع ْون‬ َّ ‫ص ٰلو ۗةَ اِنَّ ال‬
ْ ‫ص ٰلوةَ تَ ْن ٰهى َع ِن ا ْلفَ ْحش َۤا ِء َوا ْل ُم ْن َك ِر ۗ َولَ ِذ ْك ُر ِ اَ ْكبَ ُر ۗ َو ُ يَ ْعلَ ُم َما ت‬ َّ ‫َواَقِ ِم ال‬
Artinya : …dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih
besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (al-‘Ankabut/29: 45)

16
Ibrahim a.s. memohon kepada Allah swt agar menerima ibadah-ibadahnya.
Keinginan beribadah kepada Tuhan ini lebih diutamakannya dari keinginan mengikuti
kehendak bapaknya, sebagaimana firman Allah swt:
ٓ ٰ ‫َواَ ْعتَ ِزلُ ُك ْم َو َما تَ ْدع ُْونَ ِمنْ د ُْو ِن هّٰللا ِ َواَ ْدع ُْوا َربِّ ۖ ْي ع‬
َ ‫َسى آَاَّل اَ ُك ْونَ بِ ُدع َۤا ِء َربِّ ْي‬
‫شقِيًّا‬
Artinya : Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau
sembah selain Allah, dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku
tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku.” (Maryam/19: 48).

Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah ibadah. Rasulullah saw
menyatakan bahwa doa itu adalah ibadah. Kemudian beliau membaca firman Allah
swt:
ْ َ‫سبِّ ُح ْونَ ٗه َولَ ٗه ي‬
َ‫س ُجد ُْون‬ ْ َ‫اِنَّ الَّ ِذيْنَ ِع ْن َد َربِّ َك اَل ي‬
َ ُ‫ستَ ْكبِ ُر ْونَ عَنْ ِعبَا َدتِ ٖه َوي‬
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang ada di sisi Tuhanmu tidak merasa
enggan untuk menyembah Allah dan mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nya
mereka bersujud. (al-A’raf/7: 206).

E. Teladan Pendidikan Nabi SAW Terhadap Anak - Anaknya

Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang memberikan teladan dengan sangat


baik. Bukan hanya dalam masalah agama dan aturan syariat, tetapi juga dalam
masalah sosial dan urusan rumah tangga. Rasulullah memberikan contoh-contoh
terbaik untuk membuat umatnya menjadi umat terbaik di muka bumi. Tidak sekalipun
beliau memberi contoh yang buruk, yang bertentangan dengan watak baik manusia.
Salah satu teladan yang dilakukan nabi dalam kehidupan adalah mendidik
anak. Ini sangat penting diperhatikan orang tua dan atau guru, agar tidak salah dalam
mendidik buah hatinya.
Imam Ad-Dzahabi dalam kitab Mu'assisah Ar-Risalah, halaman 199,
menyebutkan sebuah hadits terkait cara beliau memberi teladan mendidik anak,
sebagai berikut;

17
‫ يا رسول الل لم يبق رجل‬:‫ فقالت‬،‫ فانطلقت بي إليه‬،‫ فأخذت أمي بيدي‬،‫ وأنا ابن ثمان سنين‬ƒ‫قدم رسول هللا المدينة‬
‫ فليخدمك ما بدا‬،‫ فخذه‬،‫ وإني ال أقدر على ما أتحفك به إال ابني هذا‬،‫وال امرأة من األنصار إال وقد أتحفك بتحفة‬
‫ وال عبس في وجهي‬،‫ وال سبني‬،‫ فما ضربني‬،‫ فخدمته عشر سنين‬:‫ قال‬,‫لك‬
Artinya: “Rasulullah datang ke Madinah saat aku berusia delapan tahun,
kemudian ibuku menggandeng tanganku dan membawaku pada Rasulullah, ia
berkata: “Wahai Rasulullah, tidak seorang laki-laki dan perempuan pun dari kaum
Anshar yang datang kepadamu kecuali memberi hadiah untukmu, sedang aku tidak
mampu memberimu hadiah kecuali anakku ini. Ambillah, agar ia bisa melayanimu.”
Anas berkata: “Aku mengabdi pada Rasulullah sepuluh tahun lamanya, tidak pernah
sekalipun beliau memukul, mencaci atau berwajam masam kepadaku.”
Dari keterangan di atas, teladan yang dilakukan nabi dalam mendidik anak
adalah: jangan pernah memukul anak, tidak boleh mencacinya, serta tidak boleh
bermuka masam kepadanya. Dengan didikan ini, Rasulullah berhasil mewujudkan
generasi sahabat yang juara; yaitu sahabat yang tidak saja cerdas secara pengetahuan,
tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual, laiknya Ibn 'Abbas, yang pernah
dididik sejak belia oleh beliau.
Disebutkan di dalam hadits yang lain, terkait cara dan teladan Nabi
Muhammad dalam mendidik anak, sebagai berikut;
ٍّ‫صا ِحبِي َأ ْن يَ ُكونَ َما قَا َل لِي فِيهَا ُأف‬
َ ُّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع ْش َر ِسنِينَ َو َما ُكلُّ َأ ْم ِري َك َما يُ ِحب‬
َ ِ ‫ت َرسُو َل هَّللا‬ُ ‫خ َد ْم‬
‫ال لِي لِ َم فَ َع ْلتَ هَ َذا َوَأاَّل فَ َع ْلتَ هَ َذا‬
َ َ‫َواَل ق‬
Artinya: “Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama
sepuluh tahun. Tidak semua pekerjaanku sesuai dengan perintah beliau, (tapi) beliau
tidak pernah berkata kepadaku (karena ketidak-becusanku) “ah/dasar”, dan tidak
pernah (juga) berkata padaku, “kenapa kau lakukan ini?” dan “kenapa tidak kau
lakukan (seperti) ini?”
Dari keterangan di atas, teladan yang dilakukan nabi dalam mendidik anak
(yang berikutnya) adalah tidak memaksa anak untuk selalu bisa melakukan suatu hal.
Kemudian, tidak boleh membentak dan memarahi anak. Sebab demikian hanya akan
membuat anak hilang kepedulian sosial. Ia hanya akan melakukan kebaikan hanya
jika ditakut-takuti.

18
Begitulah cara nabi memberi teladan dalam mendidik anak. Nabi tidak pernah
berbuat kasar, baik secara verbal maupun tindakan. Beliau tidak pernah memaksakan
anak-anak untuk selalu bis melakukan apa yang beliau mau. Beliau memberikan
teladan melalui perbuatan, sehingga anak-anak yang bersamanya selalu
mencontohnya langsung.

F. Teladan pendidikan Sahabat Nabi SAW terhadap Anak-anaknya

Pendidikan ala sahabat, Ali bin Abi Tholib


Terdapat quotes terkenal yang Ali bin Abi Thalib katakan yaitu didiklah anak sesuai
dengan zamannya. Karena tentunya anak tidak hidup dijaman yang sama dengan
orang tua. Dalam prinsip Ali bin Abi Thalib dalam mendidik anak terdapat 3 pilar
yang kuat.
3 pilar tersebut adalah usia 0-7 tahun, perlakukan anak sebagai seorang raja. Usia 8-
14 tahun, perlakukan anak sebagai tawanan dan usia 15-21 tahun perlakukan anak
sebagai seorang sahabat. Dari 3 pilar tersebut sudah dapat dipahami bahwa factor usia
memiliki pola asuh yang berbeda juga.
Untuk usia 0-7 tahun adalah usia dimana anak selalu melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang anak lihat. Sebagai contoh ketika Anda sedang sibuk dan anak Anda
memanggil, maka datanglah segera layaknya seperti titah raja. Karena dengan
perlakuan demikian, maka nanti anak Anda akan melakukan hal yang sama.
Dalam usia ini, berikanlah contoh sikap yang baik terhadap anak sebanyak mungkin.
Seperti adab makan hingga minum dan cara bersabar dalam mendapatkan sesuatu
juga penting.
Sedangkan untuk usia 8-14 tahun sedikit memiliki perlakuan yang berbeda untuk
anak yaitu sebagai tawanan. Dalam Islam tawanan bukanlah hal yang negatif, namun
lebih kepada proporsionalnya terdapat aturan dan larangan. Tidak semua bebas untuk
dilakukan oleh anak pada usia ini.

19
Maka ajarkan terkait mengerjakan sholat 5 waktu, hingga bagaimana pergaulan
terhadap lawan jenis. Jaman sekarang cukup rawan untuk anak usia remaja untuk
membatasi pergaulan, maka bekalilah anak Anda untuk memiliki batasan sesuai
syariat.
Usia 15-21 tahun terdapat banyak perbedaan dari usia-usia sebelumnya. Dalam usia
ini, Anda perlu melakukan komunikasi intens namun tidak berlebihan kepada anak.
Layaknya seperti sahabat anak Anda, karena pada usia ini anak sudah memasuki fase
akil baligh.

Dalam usia ini anak akan mulai banyak dihadapi masalah, yang mana kebanyakan
dari anak akan lari ke sahabat untuk bercerita. Maka baik adanya, Anda mulai
memposisikan sebagai sahabat yang dapat dipercaya untuk semua cerita anak Anda.
Mulailah untuk mendengarkan segala keluh kesah anak Anda dengan baik.
Hal ini dibuktikan Ali bin Abi Thalib RA dalam mendidik kedua putranya yaitu
Hasan RA dan Husein RA. Cucu kesayangan nabi ini memiliki akhlak mulia dan
meneruskan perjuangan Islam pada zamannya.
Selain usia, mendidik anak laki-laki dengan perempuan terdapat perbedaan dan
batasan. Kemudian, 3 pilar Ali bin Abi Thalib tentunya berdasarkan dengan cara
mendidik anak dalam Islam dan Alquran. Penjelasan diatas merupakan kisah para
sahabat sukses dalam mendidik anak yaitu Ali bin Abi Thalib RA.

20
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan anak merupakan suatu kegiatan yang dilakukan Secara sadar,


seksama, terencana dan bertujuan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak
secara bertahap. Pendidikan anak dalam Islam telah dijelaskan dalam beberapa
ayat al Qur’an dan hadis Nabi. Hal ini dikarenakan Islam sangat memandang
penting terhadap pendidikan, selain itu juga diketahui bahwa usia pada anak
adalah usia yang sangat berpengaruh bagi kehidupan diusia selanjutnya. Banyak
juga kisah-kisah teladan dalam mendidik anak yang dikisahkan dalam agama
Islam, seperti contohnya yang ada didalam alQur’an yaitu kisah keluarga
Lukmanul Hakim.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. https://paramadina.ac.id/content/media/artikel/hikmah-dari-luqmanul-
hakim

2. https://media.neliti.com/media/publications/222481-pendidikan-anak-
dalam-perspektif-alquran.pdf

3. https://akurat.co/sungguh-lembut-begini-teladan-nabi-mendidik-anak-kecil-
agar-jadi-juara

4. https://tafsiralquran.id/tafsir-surah-ibrahim-ayat-40-42/#:~:text=Tafsir
%20Surah%20Ibrahim%20Ayat%2040%2D42%20diawali%20dengan
%20penjelasan%20doa,jawabkan%20kelak%20di%20yaumul%20hisab.

5. https://bincangsyariah.com/kalam/hadis-hadis-keutamaan-mendidik-anak/

6. B., Chaeruddin. 2013. PENDIDIKAN ISLAM MASA RASULULLAH


SAW. Jurnal Diskursus Islam
Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hal 421

7. Hafiz, Abdul & Hasni, Noor. 2016. Pendidikan Anak dalam Perspektif
Alquran. VOL.1, NO.2, APRIL 2016, hal 112–127

22

Anda mungkin juga menyukai