Kelompok : 03
M. HAMIM (231012100552)
Kelas : 02MPIP005
UNIVERSITAS PAMULANG
TAHUN 2023-2024
KATA PENGANTAR
Kami telah berusaha dalam penulisan karya ini dengan sebaik mungkin
sehingga mampu menjelaskan makna dari judul karya ini. Namun, tidak dapat
dipungkiri penulisan ini terdapat kekurangan dalam segi bahasa, penyusunan
kalimat maupun isi makalah. Oleh karena itu, harapan kami semoga para
pembaca memberikan kritik dan saran, agar kedepannya kami bisa
memperbaikinya, dalam kesempatan yang lain.
ii
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................………1
A. Latar belakang...........................................................................………1
B. Rumusan masalah......................................................................………2
C. Tujuan penulisan........................................................................……...2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................………3
A. Kesimpuran..........................................................................................11
B. Saran dan kritik.........................................................................……...11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................…...12
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu tombak pembentuk peradaban manusia.
Adanya proses pendidikan Islam yang diawali dari pengajaran Rasulullah
shollahu alaihi wasallam terhadap para Shohabat Nabi ini menghasilkan suatu
generasi yang mampu merealisasikan tujuan penciptaan manusia oleh Allah
subhanahu wata’ala. Yakni menjadikan manusia sebagai khalifatullah di
bumi-Nya. Maka, apa yang digariskan Nabi dan generasi awal muslim ini lah
yang menjadi hasil dan indikator masa keemasan umat Islam yang terbentuk
dari pendidikan Islam.
Kemudian pada sekitar abad 9 H umat Islam mulai mengalami
kemunduran. Salah satu penyebab kemunduran umat Islam ini karena adanya
kelemahan dalam bidang pendidikan Islam. Memasuki abad 10, 11, dan 12 H,
umat Islam belum juga memperbaiki diri. Maka pada abad 13 dan 14 H,
kemerosotan tersebut makin terasa saat pengaruh hegemoni peradaban Barat
itu meningkat dan maju dalam pendidikan dan teknologi yang dihasilkannya.
Besarnya pengaruh Barat ini tidak dapat ditolak. Pengaruhnya membawa
arus globalisasi yang kebanyakan telah mengubah tatanan kehidupan manusia.
Pada tataran pendidikan Islam pun mengalami perubahan yang menimbulkan
paradigma di dalamnya. Salah satu yang terjadi ialah adanya pengaburan akan
makna hakikat dan tujuan pendidikan Islam. Pengaburan akan makna tersebut
membawa pemahaman sempit, sehingga umat Islam sendiri tidak menyadari
bahwa ia tengah mengalami kemunduran yang menghantarkan pada kerusakan.
Maka tidak mengherankan, apabila hasil dari pendidikan Islam yang terjadi-
khususnya di negeri kita-ini ada seorang muslim tapi ia korupsi atau melakukan
tindakan zalim lainnya. Itu menandakan bahwa ada kekurangan dalam
pendidikan ini, yang kurang membentuk kaum muslimin yang hakiki. Seperti
apa yang dituntut dalam Alquran dan Sunnah Nabi.
Dengan demikian, kita memerlukan pemahaman yang benar akan hakikat
dan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Hal tersebut akan menentukan cara
1
pandang kaum muslimin terhadap pendidikan Islam dewasa ini. Dan kemudian
akan mempengaruhi juga jalan kehidupannya dalam mencapai kesuksesan
dunia dan akhirat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat dari pendidikan Islam itu?
2. Bagaimana penjelasan dalam Islam mengenai tujuan pendidikan yang
sebenarnya?
C. Tujuan masalah
1. Mengetahui bagaimana hakikat dari pendidikan Islam itu
2. Mengetahui bagaimana penjelasan dalam Islam mengenai tujuan
pendidikan yang sebenarnya
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan Islam
Konsep Pendidikan dalam Perspektif Islam
Pendidikan adalah suatu upaya untuk membentuk jasmani dan ruhani
menuju pada tingkat kesempurnaan dan melengkapi sifat-sifat kemanusiaan
dalam arti yang sesungguhnya. Sedangkan dalam dunia Islam, istilah yang
sering digunakan untuk merujuk makna pendidikan Islam secara keseluruhan,
yakni tarbiyah, dan ta’dib.1
Istilah tarbiyah dalam bahasa Arab, atau “education” dalam bahasa
Inggris yang berasal dari bahasa latin “educare” yang diperuntukkan bagi
istilah pendidikan menurut Prof. al-Attas tidaklah tepat. Karena terma tarbiyah
pada dasarnya berarti mengasuh, menanggung, memberi makan,
mengembangkan dan memproduksi hasil-hasil yang sudah matang.
Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia saja, akan
tetapi medan-medan semantiknya meluas kepada semua jenis hewan atau
spesies-spesies lain seperti mineral, tanaman dan lain sebagainya. Dengan
demikian, menurut Prof. al-Attas, kata tarbiyah tidak tepat digunakan untuk
menunjukkan pendidikan dalam arti Islam, karena pendidikan dalam Islam
diperuntukan hanya untuk manusia saja.2
Salah satu penekanan yang diinginkan oleh Prof. al-Attas untuk
mengganti tarbiyah menjadi ta’dib bagi pendidikan Islam merupakan salah
satu upaya merekontruksi kembali arah dan tujuan pendidikan. Alasan yang
menjadi dasar argumentasi yang diajukan oleh Prof. al-Attas terhadap
penekanan kata adab sebagai asal kata dari ta’dib untuk istilah pendidikan
Islam adalah bahwa kata adab telah mencakup amal dalam pendidikan,
1 Ghoni, Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas dalam Pendidikan Islam Kontemporer, JURNAL LENTERA:
Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi Volume 3, Nomor 1, Maret 2017, Bangkalan: STIT Miftahul
Ulumm hlm, 199.
2 Ibid.
3
sedangkan proses pendidikan itu sendiri adalah untuk menjamin bahwasanya
ilmu (‘ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat.3
Ilmu itu membawa suatu pengetahuan yang sangat mendasar untuk
membangun kehidupan manusia. Dalam Islam, ilmu memiliki perhatian yang
sangat besar. Dalam Alquran, memuat banyak sekali ayat yang mendorong
kaum muslimin untuk senantiasa meningkatkan keilmuannya. Keilmuan ini
didapat melalui proses membaca dan belajar yang tidak boleh dipisahkan dari
dasar keimanan.
Semua harus dilakukan dengan nama Allah (QS. Al-Alaq : 1). Karena
itulah, tradisi ilmu dalam islam sejak awal sudah bersifat ”tauhidiy”, tidak
sekuler, tidak mendikotomikan antara unsur dunia dan unsur akhirat; antara
ilmu-ilmu dunia dan ilmu akhirat. Semua ilmu itu bersumber dari wahyu Ilahi.
Dalam Islam ini, mengajarkan bahwa Allah merupakan sumber segala sesuatu.
Ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun yang
ghaib dan tidak ada segala sesuatu pun yang luput dari pengawasan-Nya.
Sehingga hakikat dalam pendidikan Islam harus membawa suatu
pengetahuan yang bersifat kully, yakni meliputi semua segi kehidupan dan
penciptaan. Artinya, hakikat pendidikan Islam ini mengarahkan target
pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang
kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam
dirinya sendiri. Model pendidikan, tidak saja dimodifikasi untuk mengikuti
perkembangan zaman, akan tetapi lebih penting lagi, adab dan esensi konsep
Islam harus menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan Islam.4
4
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di
dalam tatanan wujud dan kepribadian.5
Intinya, pendidikan dalam Islam ini sebagai proses penanaman adab
terhadap seseorang sehingga individu itu memiliki kemauan dan kemampuan
untuk memahami dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, sesuai harkat
dan martabat yang ditentukan Allah. (Lihat, al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, (2001)).
Menurut Adian Husaini, apabila kita melihat UU Pendidikan Nasional
No 20/2003 dan UU Pendidikan Tinggi No 12/2012, telah memberikan
landasan yang memadai untuk membangun sistem pendidikan nasional yang
beradab di Indonesia. Maka dalam aplikasinya, komponen sistem pendidikan-
-tujuan, kurikulum, proses, dan evaluasi--dirumuskan berdasar konsep
Pendidikan Beradab (ta'dib).
Tujuan pendidikan nasional untuk membentuk manusia beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, mandiri, dan sebagainya. Perkata
tersebut perlu dijabarkan ke dalam standar kompetensi, sesuai potensi dan
kondisi siswa, "tuntutan pasar", dan kewajiban ilmu fardhu ain (kewajiban tiap
personal).
Mengacu pada kompetensi yang beradab itulah dirumuskan kurikulum
yang beradab pula. Yakni, kurikulum yang bersifat kulliy yang mengacu pada
perpaduan proporsional antara ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu
kifayah. Kemudian dalam pendidikan tersebut membutuhkan proses dalam
pelaksanaannya diantaranya harus ada keteladanan, pembiasaan, pemotivasian
dan penegakkan hukum/aturan dalam lingkungan pendidikannya. Suatu
perkara yang tidak beradab, apabila masih mengajarkan kurikulum yang
mengarahkan siswa untuk menjadi penglanjut "peradaban kera", cinta materi
secara berlebihan, sehingga kebutuhan primer ibadah (QS 51:56) diletakkan di
bawah kebutuhan makan dan minum.
5
Maka, inilah hakikat dari Pendidikan Islam. Begitu pentingnya
pendidikan beradab, sampai Imam Syafii menegaskan, "Aku akan mencarinya,
laksana seorang ibu mencari anak satu-satunya yang hilang."
Kita berharap, pendidikan kita di Indonesia tidak melahirkan manusia tak
beradab (biadab). Yakni manusia yang membangkang pada Allah, utusan-
Nya, serakah harta dan tahta, serta gila hormat dan popularitas.6 Dengan
berpijak kepada konsep adab dalam Islam, kita berharap pendidikan tersebut
membentuk manusia yang mengenal dan bertakwa kepada Allah; mengenal,
mencintai Rasulullah dan menjadikannya uswah hasanah; menghormati para
ulama, guru dan orangtua; mampu memahami dan meletakkan ilmu sesuai
dengan tempatnya; serta ia mampu menjalankan tugasnnya sebagai
khilafatullah fil-ardh dengan baik.7
B. Tujuan Pendidikan Islam
Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam itu Saling Berkaitan Erat
Keberhasilan program pendidikan ditentukan oleh rumusan tujuan
pendidikan. Tujuan akan mengarahkan tindakan dan perumusan tujuan
pendidikan yang benar merupakan inti dari seluruh pemikiran pedagogis dan
perenungan filosofis. Karena jika tanpa tujuan dan niat, proses yang ditempuh
akan berujung pada kegagalan.
Telah kita bahas bahwa hakikat dari pendidikan Islam itu pendidikan
beradab. Konsep "pendidikan beradab" (proses pembentukan manusia
beradab), sebenarnya bukanlah konsep yang baru dibahas dalam Islam. Konesp
tersebut dikonseptualkan secara komprehensif pada konteks sekarang oleh Prof
Naquib al-Attas (l.1931M), seorang filsuf muslim. Pemikiran tersebut
dikenalkan pada tahun 1977 dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam
pertama di Makkah, saat itu beliau bertindak sebagai keynote speaker dan
membawa suatu konsep pemikiran bahwa akar krisis yang dihadapi oleh umat
Islam saat ini adalah loss of adab. Menurut al-Attas dalam mengembalikan
6
kejayaan umat Islam ini dengan proses pendidikan beradab (ta’dib), yakni
menanamkan nilai-nilai adab ke dalam diri seseorang. Beliau pun
mengingatkan, bahwa masalah umat ini bukan hanya dari luar. Namun
masalah utama umat ini datang dari dalam diri, dalam hati dan pemikiran kita.
Kehilangan adab di tengah kaum muslimin ini dihadapkan masalah
mendasar, yakni karena masalah adab dan ilmu. Ilmu sudah mulai dijauhkan,
bahkan dihilangkan dari nilai-nilai adab dalam arti luas. Efek buruk dari
fenomena ini adalah terjadinya kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai
ilmu pengetahuan, yang selanjutnya menciptakan ketiadaan adab dari
masyarakat. Hasil akhirnya adalah ditandai dengan lahirnya para pemimpin
yang bukan saja tidak layak memimpin umat, melainkan juga tidak memiliki
akhlak yang luhur dan kapasitas intelektual dan spiritual di pelbagai sektor
kehidupan, baik kerusakan individu, masyarakat, bangsa dan negara.8
Merujuk kembali pada konsep adab yang dibawa al-Attas. Beliau
menegaskan bahwa di dalam Islam, konsep adab memang sangat terkait dengan
pemahaman tentang wahyu ilahi, yakni yang bersumber pada Alquran dan As-
sunnah. Maka dalam konsep pemahaman terhadap wahyu ini menuntun pada
konsep dan tujuan pendidikan Islam. Yakni konsep pendidikan Islam itu
hakikatnya berbasis adab (ta’dib) yang bertujuan untuk membentuk manusia
yang beradab (insan adaby), sehingga menghasilkan manusia yang baik (to
produce a good man), dan akhirnya manusia itu dapat mencapai kebahagian
ukhrawi.
Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan Islam ini tidak lepas dari
tujuan hidup seorang muslim. Pencapaian tersebut dilakukan dengan integrasi
antara ilmu dan amal. Jika seseorang mengalami pendidikan dan telah
mendapatkan ilmu namun ia tidak mengalami perubahan, maka ia telah sia-sia
ketika menempuh pendidikannya. Dan juga sangat percuma jika seseorang
7
yang ‘faqih’ namun ia tidak mampu mengubah akhlaknya, maka ia pun akan
sulit mencapai kebahagaian ukhrawi.9
9YouTube. (2020, Januari 31). Pemikiran Pendidikan Imam al-Ghazali & Ibn Taymiyyah - Asep Sobari, Lc
[Berkas video]. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=iXHgLgmL81I&t=3s
10 Ibid.
11 Adian Husaini, Op.Cit. hlm. 33-34.
8
Yang pertama menunjukkan ilmu pengetahuan (sains) yang setiap Muslim
yang
waras harus (wajib) mengetahui terkait dengan agamanya yang bersumber dari
Alquran dan Sunnah di atas pemahaman para ulama yang ihsan. Dan yang
kedua berkaitan dengan ilmu pengetahuan (sains) yang penguasaannya wajib
hukumnya bagi suatu masyarakat Muslim secara keseluruhan dan tidak
mengikat bagi tiap individu Muslim karena dapat dilaksanakan oleh sebagian
saja dari mereka. Ilmu fardu kifayah atau ghayr syar’iyyah ini diperoleh
melalui nalar, pengalaman/percobaan dan konsesus, serta ilmu tersebut dibagi
juga menjadi ilmu yang terpuji, tercela dan yang diperbolehkan. 12 Aspek ilmu
fardu kifayah (profesionalitas) ini juga penting, karena terkait dengan tegaknya
masyarakat, untuk menjalankan misinya sebagai khalifatullah, maka manusia
diwajibkan memiliki ilmu yang menopang kehidupannya di dunia, sebagai
sarana untuk ibadah.
Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu dalam Islam,
menurut Al-Attas, itu sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dan karenanya
tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan pebedaan khusus yang bisa didefinisikan.
Bilamana diketahui medan ilmu sangat luas, maka pengetahuan dari setiap
individu terhadapnya itu akan terbatas.13
Kemudian dalam Islam pun menjelaskan bahwa tujuan utama dari ilmu
yang terdapat dalam proses pendidikan (ta’dib) adalah untuk mengenal Allah
(ma’rifatullah), beribadah kepada-Nya dan meraih kebahagiaan (sa’adah)
hakiki di dunia dan akhirat. Setiap Muslim dalam menempuh pendidikan itu
diarahkan untuk kembali kepada aktivitas yang berlandaskan tauhid.
Mengutip dari pendapat Dr. Adian Husaini, bahwa setiap lembaga
pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu
mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang
hakiki dan abadi. Setiap peserta didik harus besungguh-sungguh untuk
memahami ilmu yang benar dan bermujahadah untuk meraih kebahagiaan yang
9
hakiki; kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat.
Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu
program pendidikan (ta’dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan
dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa
banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi,
apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab
yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia
dalam keimanan dan keyakinan; yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh
setiap keadaan. Dalam kondisi apa pun, hidupnya bahagia, karena dia sudah
mengenal Allah, ridha dengan keputusan Allah, dan berusaha menyelaraskan
hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui
utusan-Nya.14
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adian Husaini. 2013. Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema
Insani
Jurnal PDF:
Ghoni, Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas dalam Pendidikan Islam
Kontemporer.
Situs:
www.mujahiddakwah.com
www.republika.co.id
www.youtube.com
12