Anda di halaman 1dari 25

5

Penyusun daripada tungau-tungau pada debu rumah ini yang memiliki


aktivitas protease ini dapat memasuki daerah epitel dan mempenetrasi daerah
yang lebih dalam di saluran pernafasan.3

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi


juga merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif.
Kira-kira 25% sampai 30% dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini
menyimpulkan bahwa merokok ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan
morbiditas dan keparahan penyakit dari penderita asma. Terpapar asap rokok
yang lama pada pasien asma akan berkontribusi terhadap kerusakan dari fungsi
paru, yaitu 3 penurunan kira-kira 18% dari FEV 1 selama 10 tahun. Pasien asma
yang memiliki kebiasaan merokok akan mempercepat terjadinya emfisema.
Mekanisme yang mendasari daripada efek rokok pada pasien asma dijelaskan
pada tabel 1.1
6

2.6 Etiologi Bronkopneumonia


Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia
rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di
Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri
gram negative.12

Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan


nosokomial: Yang didapat di masyarakat: Streptococcus pneumonia,
Mycoplasma pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila,
chlamydia pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.16

Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus,
anaerob oral.16

2.7 Patofisiologi Asma Bronkial


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan
proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu
hiperresponsif dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan.4,5

2.7.1 Penyempitan Saluran Napas


Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya
gejala dan perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
timbulnya penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas,
edema pada saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi
mukus.3
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap
berbagai mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme
dominan terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan
dengan bronkodilator. Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya
proses inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas
disebabkan karena perubahan struktural atau disebut juga ”remodelling”.3
7

Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan


yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak
dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan
jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan
yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada
asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek
yang dikenal dengan airway remodelling.2
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan
jaringan yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-
ulang. Proses remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada
onset awal terjadinya proses ini kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi
eosinofilik, dikatakan proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara
simultan. Proses dari remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi
protein ekstraselular matrik di dalam dan sekitar otot halus bronkial, dan
peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau
hiperplasia.5
8

2.7.2 Hiperreaktivitas saluran napas


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan
patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme
yang 5 bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau
hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan
dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi
secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi
dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat
penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.6,7
2.8 Patofisiologi Bronkopneumonia
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain.4 Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit. 8
9

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi


langsung,2) Penyebaran melalui darah,3) Inhalasi bahan aerosol,4)
Kolonosiasi di permukaan mukosa.12

2.9 Faktor Resiko Asma Bronkial


Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu
(host factor) dan faktor lingkungan.2
a. Faktor host
 Genetik
 Obesitas
 Jenis kelamin

b. Faktor lingkungan
 Rangsangan alergen.
 Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
 Infeksi.
 Merokok
 Obat.
 Penyebab lain atau faktor lainnya

2.10 Faktor Resiko Bronkopneumonia


Pneumonia dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu factor lingkungan meliputi:
Pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah, kepadatan hunian. Faktor resiko
anak meliputi: umur, BBLR, status gizi, pemberian vitamin A,status imunisasi.
Dan faktor perilaku meliputi: perilaku pencegahan dan penanggulangan penyakit
pneumonia .
Faktor resiko meningkatnya angka kejadian dan keparahan penyakit antara
lain: prematuritas, alnutrisi, status social ekonomi rendah, terkena asap secara
pasif, dan tinggal dirumah dengan hunian padat.

2.11 Manifestasi Klinis Asma Bronkial


10

Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi.
Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan
toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan
pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala
tersebut timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi
diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus
seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan,
atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada
pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat
bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4

2.12 Manifestasi Klinis Bronkopneumonia


Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen,
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi
paru yang pekak,ronki nyaring, suara pernafasan bronkial).4

2.13 Klasifikasi Asma Bronkial2,3


Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
11

2.14 Klasifikasi Bronkopneumonia


Pneumonia dapat diklasifikasikan secara anatomis dibagi menjadi 3 yaitu
pneumonia lobaris, pneumonia intertitialis, dan pneumonia lobularis
(bronkopneumonia).Tetapi pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
faktor inang dan lingkungan seperti pada tabel 2.1 dibawah ini. 4

Tabel 2.1 Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan


Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan
Pneumonia komuniti Sporadis atau endemik ; muda atau orangtua
Pneumonia nosokomial Terjadi setelah di rumah sakit selama >48 jam di
ruang rawat umum ataupun ICU (tidak
menggunakan ventilator)
Pneumonia rekurens Terjadi berulangkali, berdasarkan penyakit paru
kronik
Pneumonia aspirasi Riwayat konsumsi alkohol, usia tua
Pneumonia pada Pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan
gangguan imun HIV

2.15 Diagnosis Asma Bronkial2,3


Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan
nafas yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat
penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan,
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak,
- gejala timbul/memburuk di malam hari,
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat
keluarga (atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan,
12

perkembangan penyakit dan pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang
dapat meningkatkan kecurigaan terhadap asma adalah :
1. Di dengarkan suara mengi (wheezing)  sering pada anak-anak
Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi
diagnosis sama, apabila terdapat memiliki riwayat dari:
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang
2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam
3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu
4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma
atau penyakit atopi
5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :
a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat
6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran
nafas dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada
sebagian penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi
walaupun pada pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.2,3
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,
reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak
13

langsung hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah
pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi).
Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus
dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini
tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.2,3
Pemeriksaan Penunjang Asma Bronkial
Pemeriksaan Diagnostik pada penderita Asma Bronkhial menurut wahid
& Suprapto (2013) yaitu :

a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Sputum Pemeriksaan untuk melihat adanya :
2) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinopil
3) Spiral curshman, yakni merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus
4) Creola yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
5) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug 10

b. Pemeriksaan darah
1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia atau sianosis.
2) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH
3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang di atas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi
4) Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan Ig.E pada waktu serangan dan
menurun pada saat bebas serangan asma.
14

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma
yang menurun. Pada penderita dengan komplikasi terdapat gambaran sebagai
berikut :
a) Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah
b) Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin bertambah
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltraste paru
d) Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru
e) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru

2) Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor allergen yang dapat
bereaksi positif pada asma

3) Elektrokardiografi
a) Terjadi right axis deviation
b) Adanya hipertropo otot jantung right bundle branch bock.
c) Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES atau terjadi depresi
segmen ST negative

4) Scanning paru Melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara


selama serangan asma bronkhial tidak menyeluruh pada paru-paru.

5) Spirometri Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat


diagnosis asma bronkhial adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum atau sesudah pemberian
aerosol bronkodilaor (inhaler dan nebuliser), peningkatan FEV1 atau FCV
sebanyak lebih dari 20 % menunjukkan diagnosis asma bronkhial. Tidak adanya
respon aerosol bronkodilator lebih dari 20 %. Pemeriksaan ini berfungsi untuk
15

menegakkan Diagnosis Keperawatan, menilai berat obstruksi dan efek


pengobatan banyak penderita tanpa keluhan pada pemeriksaan ini menunjukkan
adanya obstruksi.

2.16 Diagnosis Bronkopneumonia


Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap,
pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
pneumonia ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
a. Batuk, Perubahan karakteristik dahak/purulen
b. Leukosit > 10.000 atau < 4500. 6
c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi seperti suara paru
pekak , suara napas bronkial dan adanya suara tambahan ronki

Pemeriksaan Penunjang Bronkopneumonia


Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan air bronchogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kavitas. 1
Konsolidasi lobus, kavitas dan efusi pleura menunjukkan
penyebabnya adalah bakteri. Keterlibatan parenkim yang difus sering
berhubungan dengan Legionella atau pneumonia oleh karena virus. Distribusi
infiltrat pada segmen atipikal lobus bawah atau inferior lobus atas biasanya
kuman aspirasi.4

Pada Gambar. 2, area lingkaran merah merupakan pulmonary yang


mengalami inflamasi akibat virus, sehingga menyebabkan terjadinya pneumonia.
Area tersebut berwarna putih kelabu, karena pulmonary dipenuhi cairan. Kondisi
ini berbeda dengan paru-paru normal yang ditunjukkan pada Gbr. 3. Kondisi
paru-paru yang ditampilkan pada Gambar. 3 terlihat bersih dengan kondisi
16

pulmonary yang terlihat dengan jelas dan tidak ada area yang berwarna putih
kelabu seperti pada Gambar. 2 .9

Meskipun kondisi peradangan paru-paru dapat dilihat dengan mudah


melalui foto rontgen, tetapi kualitas citra yang dihasilkan tidaklah selalu bagus,
bahkan cenderung samar dan memiliki kemiripan yang sama antar jenis penyakit
pulmonary, seperti pneumonia, tuberkulosis, pneumothorax, infiltrasi, nodule,
kanker paru-paru, dan lainnya. Hal ini merupakan tantangan bagi dokter
radiologi untuk menentukan jenis penyakit yang menyebabkan peradangan pada
area pulmonary. 9

Gambar. 2 Paru-paru pneumonia Gambar. 3 Paru-paru normal

Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan Bakteriologis diantaranya biakan sputum dan kultur darah


untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi antigen
polisakarida pneumokokkus.6

Dan pada pemeriksaan bakteriologis, bahan yang digunakan berasal dari


sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi jarum, transtorakal,
torakosintesis, bronkoskopi atau biopsi. Kultur darah tidak direkomendasikan
pada pasien yang dirawat kecuali pada CAP yang berat. Untuk melaksanakan
terapi empiris perlu dilakukan pemeriksaan hapus gram, burri gin, tes quellung,
dan ziehl neelsen. Kultur sputum merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan
bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya.4,17
17

Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri . Leukosit
normal/rendah dapat disebabkan infeksi virus/mikoplasma atau pada infeksi
yang berat sehingga tidak terjadi leukosit, orang tua/lemah. Leukopenia
menunjukan depresi imunitas,misalnya neutropenia pada imfeksi kuman gram
negatif atau S. aureus pada pasien dengan keganasan atau gangguan kekebalan.
Faal hati mungkin terganggu. 4

Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit


polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula
ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED
meningkat. 6

2.17 Penatalaksanaan Asma Bronkial


Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang
dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7
komponen program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai
komponen pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen
yaitu pola hidup sehat.2

EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu
sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol
faktor pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga
penanganan serangan asma di rumah.

PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA


Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
A. Pemantauan tanda gejala asma.
B. Pemeriksaan faal paru
18

IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS


Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.

MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA


PANJANG
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai atau mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga
faktor yang perlu dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma) Medikasi asma ditujukan untuk
mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas, terdiri atas pengontrol
dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan
komponen yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan
asma. Pada tingkat vascular, glukokortikosteroid inhalasi bertujuan
menghambat terjadinya hipoperfusi, mikrovaskular, hiperpermeabilitas,
pembentukan mukasa udem, dan pembentukan pembuluh darah baru
(angiogenesis).4
Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang yang paling
efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif
jalan nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
19

memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti
kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan
sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya
terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid
oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu.
Efek samping jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes,
supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas,
penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot. c. Kromolin (sodium kromoglikat
dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel
mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan
seleksi serta supresi pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit),
selain juga kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target.
Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa
tidak enak obat saat melakukan inhalasi.
c. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat
mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk
mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau
lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek
20

samping yang paling dulu dan 11 sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti
takikardi, aritmia dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin
dapat menyebabkan kejang bahkan kematian.
d. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol
yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel
mast dan basofil. Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi,
walau kecil dan mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan
efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena
pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak mengubah
inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2 kerja lama
inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki
faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan
menurunkan frekuensi serangan asma. Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat
memberikan efek samping sistemik (rangsangan kardiovaskuler, tremor otot
rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian
oral. f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-
reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas,
zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator
minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan
exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
21

Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol


mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara
inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan
efek 12 samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2
yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek sampingnya rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara
inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping.

b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih
lemah dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak
menambah efek bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi
mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot
pernafasan dan mempertahankan respon terhadap agonis β2 kerja singkat
diantara pemberian satu dengan berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu
juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek
samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila
tidak tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.

C. Tahapan penanganan asma


22

Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat


tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal
mungkin. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown
therapy.

D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma


23
24
25

KONTROL SECARA TERATUR


Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma
jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli
paru pada keadaan-keadaan tertentu.
26

Jika asma tidak terkontrol pada pengobatan yang dijalani, maka


pengobatan harus di naikkan. Secara umum, perbaikan harus dilihat selama 1
bulan. Tetapi sebelumnya harus dinilai tehnik medikasi pasien, kepatuhan dan
usaha menghindari faktor resiko. Jika asma sebagian terkontrol, dipertimbangkan
menaikkan pengobatan yang tergantung pada keefektifan terhadap pengobatan
yang ada, keamanan, dan harga serta kepuasan pasien terhadap pengobataan yang
27

dijalani pasien. Dan jika, asma berhasil dikontrol selama minimal 3 bulan,
pengobatan dapat diturunkan secara gradual. Tujuan nya adalah mengurangi
pengobatan. Monitoring tetap penting dilakukan setelah asma terkontrol, karena
asma dapat tetap dapat terjadi eksaserbasi apabila kehilangan kontrol.3

D. Bronkial thermoplasty (BT)


Bronkial thermoplasty adalah suatu intervensi yang dilakukan bagi pasien
asma untuk mengkontrol energi termal ke dinding saluran pernafasan selama
prosedur bronkoskopy, yang menyebabkan penurunan daripada massa otot halus
pada saluran pernafasan. Peningkatan massa dan kontraktilitas dari otot halus
merupakan mekanisme yang dapat memperparah keadaan asma yaitu dengan
meningkatkan bronkokonstriktor dan obstruksi saluran pernafasan, penurunan
jumlah dan/atau kontraktilitas dari otot halus pada saluran pernafasan akan
menyebabkan perbaikan dari gejala asma itu sendiri.10

2.18 Penatalaksanaan Bronkopneumonia


Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan
antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab
infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik dan terapi
suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.4

Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa


(SaO2 > 95%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan
napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis
mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri pleuritik dapat
diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik atau ekspektoran
untuk mengurangi dahak.
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi
etiologik.Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :
28

1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring.


Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin
diperlukanterutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang
diberikanmengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata
laksanarutin yang harus diberikan.

2.19 Komplikasi Asma Bronkial


Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita asma
diantaranya (Kurniawan Adi Utomo, 2015) :
1. Pneumonia Adalah peradangan pada jaringan yang ada pada salah satu atau
kedua paru – paru yang biasanya disebabkan oleh infeksi.
2. Atelektasis Adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru – paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus).
3. Gagal nafas Terjadi bila pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam
paru – paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan terjadi
pembentukan karbondioksida dalam sel – sel tubuh.
4. Bronkhitis Adalah kondisi dimana lapisan bagian dalam dari saluran
pernafasan di paru – paru yang kecil (bronkiolus) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan lendir (dahak). Akibatnya penderita 18 merasa
perlu batuk berulang – ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan.
5. Fraktur iga Adalah patah tulang yang terjadi akibat penderita terlalu sering
bernafas secara berlebihan pada obstruksi jalan nafas maupun gangguan
ventilasi oksigen.

2.20 Komplikasi Bronkopneumonia


Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien khususnya kelompok pasien risiko
29

tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bacteremia (sepsis),


abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas. Bakteremia dapat terjadi pada
pasien jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah dan
menyebarkan infeksi ke organ lain, yang berpotensi menyebabkan kegagalan
organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai
terdapat komplikasi ektrapulmoner berupa meningitis, arthritis, endokarditis,
perikarditis, peritonitis, dan empyema). 4

2.21 Prognosis Asma Bronkial


Menurut (Digilulio, 2014) prognosis asma bronkhial dikatakan baik bila
asma bronkhial terkontrol dengan baik secara khas mempunyai gejala serangan
yang bisa dibalik, yang dapat dikendalikan dengan pengobatan, sering pada pasien
rawat jalan. Dikatakan prognosisnya buruk bila pasien yang tidak beraksi
terhadap pengobatan atau yang menggunakan pengobatan yang tidak sesuai bisa
terjadi kematian selama serangan asma.

2.22 Prognosis Bronkopneumonia


Pada era sebelum ada antibiotic, angka mortalitas berkisar dari 20%
sampai 50% dan pada anak yang lebih tuadari 3% sampai 5%. Dengan
pemberian antibiotic yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai
kurang dari 1% anak dalam keadaan malnutrisi energy protein dan yang
pengobatan terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai