Anda di halaman 1dari 25

LKK 1 BLOK 20: KEWASPADAAN UNIVERSAL

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Memakai topi bedah
2. Memakai masker
3. Melakukan tindakan Surgical Scrubbing sebelum melakukan tindakan bedah.
4. Melakukan pemakaian baju operasi steril.
5. Melakukan pemakaian sarung tangan bedah steril
6. Melakukan tindakan aseptik pada daerah operasi

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Ketika seorang dokter, terutama yang tergabung dalam tim operasi, hendak melakukan suatu tindakan, sangatlah sulit
membedakan pasien mana yang darahnya sedang tercemar bakteri atau virus, pasien mana yang tidak. Oleh karena itu,
keputusan untuk melindungi diri dokter dan tim medis lainnya agar tidak tertular penyakit dari pasien memunculkan suatu
kewaspadaan, yang lama-kelamaan dijadikan acuan di seluruh dunia. Selain melindungi tim medis, kewaspadaan ini juga akan
melindungi pasien karena dapat mencegah timbulnya infeksi pada daerah operasi (surgical site infection) karena tim operasi
bekerja di area steril.
PPE (personal protective equipment) adalah peralatan yang dapat menjadi penghalang (barrier) bagi kuman agar
tidak masuk ke membran mukosa saluran napas, kulit, dan pakaian tim medis, yaitu jas operasi, sarung tangan, kacamata
(google), masker, pelindung wajah (face shield). Pemilihan PPE yang akan digunakan tergantung dari keadaan pasien.
Pemakaian jas operasi (gowning) dan sarung tangan (gloving) merupakan kebiasaan rutin yang dilakukan di ruang
operasi. Berdasarkan kewaspadaan universal, jas operasi steril dan sarung tangan steril harus digunakan untuk mencegah
perpindahan kuman dari kulit. Sebagai fungsi tambahan, penggunaan jas operasi ini akan mencegah darah dan cairan tubuh
mengkontaminasi anggota tim operasi. Wadah yang sudah didesain khusus untuk tempat menampung semua PPE bekas pakai
yang sudah terkontaminasi harus diletakkan di tempat yang mudah dijangkau.
Selain pemakaian jas operasi dan sarung tangan, anggota tim juga harus melakukan prosedur cuci tangan khusus
operasi sebelum melakukan tindakan pada pasien. Mencuci tangan disarankan menggunakan air bersih yang mengalir dengan
sabun sampai batas siku, perlu disikat juga, dan dikeringkan dengan handuk steril sekali pakai.

2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 1 Blok XX FK UMP
2. Ruang operasi
3. Manikin
4. Kran air
5. Sabun cuci tangan (Cutisoft/Hibiscrub)
6. Handuk kecil steril
7. Scrubber
8. Baju operasi
9. Topi operasi
10. Kacamata operasi
11. Sepatu boot
12. Masker operasi (disposible)
13. Sarung tangan steril (Gammex)
14. Kasa steril
15. Cairan antiseptik (Betadine)
16. Mangkuk Stainless
17. Pencher klemp 1 buah
18. Doek klemp 4 buah
19. Doek steril kecil 4 buah
20. Doek bolong ukuran besar
21. Doek bolong ukuran kecil

3. Langkah Kerja
1. Memakai topi bedah
1. Topi dipasang bersamaan pada waktu mengganti pakaian dengan baju khusus kamar bedah.
2. Topi harus menutupi seluruh rambut kepala.
3. Topi diikatkan cukup erat.
2. Memakai masker
1. Pasang dulu masker sebelum memakai gaun dan sarung tangan, juga sebelum melakukan cuci tangan bedah.
2. Masker hanya dipakai sekali saja untuk jangka waktu (misalnya tiap menangani satu pasien). Kemudian
dibuang dalam tempat pembuangan yang disediakan untuk itu.
3. Cuci tangan dan ambil masker dari container, tekuk bagian logam yang akan mengenai hidung sesuai dengan
bentuk hidung untuk mencegah pengembungan kaca mata.
4. Hindarkan memegang masker sebelum dipasang di wajah.
5. Pasang masker hingga menutupi sebagian wajah dan hidung.
6. Ikatkan tali pada bagian atas dibelakang kepala dan pastikan bahwa tali lewat di atas telinga.
7. Ikat tali di belakang kepala sejajar dengan bagian atas leher/dagu.
8. Begitu masker lembab harus segera diganti.
9. Jangan membuka masker dari hidung dan mulut atau membiarkannya bergelantungan di leher.

3. Teknik Cuci Tangan Bedah


Langkah 1
- Lepaskan semua perhiasan, termasuk cincin dan jam tangan.
- Basahi tangan dengan air.
- Gunakan cairan antiseptik sesuai dengan petunjuk, cuci tangan dan lengan bawah secara menyeluruh dan
bilas.
Langkah 2
- Gunakan sekali lagi cairan antiseptik, sebarkan ke seluruh permukaan kedua tangan dan lengan bawah.
Langkah 3
- Mulai dengan tangan, gunakan pembersih kuku untuk membersihkan daerah bawah kuku kedua tangan (bila
perlu).
Langkah 4
- Bersihkan kuku secara menyeluruh, kemudian jari-jari, sela-sela jari, telapak tangan dan punggung tangan.
Cuci tiap jari seakan-akan mempunyai empat sisi.
Langkah 5
- Berikutnya gosok (scrubbing) daerah pergelangan tangan pada tiap tangan.
Langkah 6
- Setelah seluruh pergelangan tangan digosok, bagian lengan bawah juga digosok, pastikan gerakan dari bawah
lengan menuju siku.
- Ulangi pada lengan satunya, dari lengan bawah menuju siku.
Langkah 7
- Bilas tangan dan lengan bawah mulai dari ujung jari dengan air mengalir.
Langkah 8
- Biarkan sisa air menetes melalui siku keringkan dengan handuk steril.

Tindakan pencegahan:
1. Sekali memulai prosedur cuci tangan, setiap kontaminasi atau gangguan mengharuskan kita untuk mengulang
kembali semua urutan cuci tangan dari awal.
2. Tidak seorangpun boleh mencuci tangan sementara memakai cat kuku atau perhiasan
3. Tidak seorangpun boleh mencuci tangan bila tangannya memakai perban.
4. Air yang mengalir dari siku ke jari-jari tangan bertindak sebagai kotaminnan. Air seharusnya mengalir ke siku
yang dilipat.
5. Prosedur cuci tangan ini bersifat rutin, lamanya minimal 5 ½ menit dan aturannya sama saja setiap kali anda
mencuci tangan untuk suatu tindakan bedah. Faktor waktu itu tidak mengurangi untuk setiap kasus bedah.
6. Tangan perlu disikat sebersih mungkin tetapi kulit tidak pernah steril.
4. Mengeringkan tangan
Setelah mencuci tangan, keringkan dengan handuk steril sebelum mengenakan jas operasi steril. Untuk
mengeringkan tangan dan lengan, pegang handuk yang terlipat dengan jari-jari kedua tangan dan jauhi meja atau
orang lain sehingga anda tidak mungkin menyentuh sesuatu. Buka handuk itu dan letakkan satu ujung handuk
pada satu tangan, lalu keringkan tangan dan pergelangan tangan yang bebas, lakukan dengan keyakinan bahwa
handuk tersebut tidak menyentuh sesuatu yang steril. Handuk yang sudah dipakai (bahan handuk yang steril)
tidak dipertemukan lagi dengan daerah yang kering. Pegang bagian handuk yang masih steril dengan tangan dan
lengan yang bebas dan mulai keringkan tangan dan lengan satunya lagi. Buang handuk pada tempat yang
disediakan untuk itu.

5. Melakukan pemakaian baju operasi


a. Memakai jas operasi tanpa bantuan perawat (scrub nurse)
Bila memakai jas steril tanpa bantuan perawat, semua petugas kamar bedah sebaiknya memperhatikan petunjuk-
petunjuk berikut:
1. Sebelum memakai jas operasi, gunakan handuk untuk yang diletakkan diatas jas operasi untuk mengeringkan
tangan (lihat metode di atas).
2. Angkat jas yang terlipat dari kemasan steril tanpa menyentuh bungkus sarung tangan atau pembungkus steril.
Ingat, tangan memang bersih tapi tidak steril.
3. Pegang tepi leher yang ada, buka jas didepan anda tetapi hanya menyentuh bagian dalam jas. Pastikan
bahwa anda berada dalam ruangan yang cukup luas untuk membuka jas tanpa menyentuh peralatan. Berdiri
jauh dari pintu.
4. Temukan lubang lengan pada jas dan masukkan kedua lengan ke dalamnya, jangan biarkan tangan anda
melewati manset jas ketika melakukan teknik sarung tangan tertutup.
5. Perawat keliling (circulating nurse) yang ada di dalam ruang operasi akan memegang bagian dalam jas dan
menarik lengan jas ke atas kemudian mengikat tali leher dan tali pinggang di belakang. Hanya boleh
menyentuh bagian dalam jas yang terkontaminasi.
6. Lakukan teknik memakai sarung tangan tertutup.
7. Setelah anda memakai sarung tangan berikan pelindung yang membungkus tali pengikat dari panel belakang
perawat sirkulasi.
8. Selama perawat sirkulasi memegang kertas pelindung, berputarlah 360˚ kemudian ambil tali dari bungkus
pelindung dan ikat tali pinggang di depan.
9. Bila dengan jas linen steril, berikan tali pinggang pada perawat keliling yang akan mengambil dan
memegangnya dengan forceps steril.

b. Memakai jas operasi dengan bantuan perawat.


1. Setelah anda selesai mencuci tangan, terimalah handuk yang terbuka dengan satu tangan, keringkan tangan
anda dengan cara yang sama seperti yang dijelaskan sebelumnya.
2. Perawat membantu membuka jas dan menunjukkan lubang lengan pada anda sehingga anda tinggal
memasukkan lengan ke dalam jas operasi sementara perawat masing memegangnya. Perawat memakai
sarung tangan untuk perlindungan selama membantu mengenakan jas operasi kepada dokter bedah.
3. Tali pinggang dipakai dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya setelah anda
memakai sarung tangan.

6. Melakukan pemakaian sarung tangan bedah


a. Teknik sarung tangan tertutup
1. Kapan saja anda mengenakan sarung tangan steril, dengan teknik apapun, perlu diingat bahwa kulit tidak boleh
menyentuh bagian luar sarung tangan untuk menjaga sterilitasnya.
2. Dengan tangan tertutup jas, ambil sarung tangan pertama dari kemasannya, jangan biarkan tangan keluar dari
manset jas.
3. Letakkan sarung tangan pada lengan jas dan ibu jari sarung tangan pada ibu jari tangan dengan jari-jari
menunjuk ke arah siku.
4. Pegang bagian bawah manset dengan jari-jari tangan yang terlindung dari tangan yang akan dipakaikan sarung
tangan.
5. Pegang bagian atas manset dengan tangan lainnya yang juga terbungkus jas.
6. Naikkan manset bagian atas di atas manset jas dari tangan yang akan dipakaikan sarung tangan.
7. Pegang manset sarung tangan dan manset jas bersamaan dan masukkan jari-jari ke dalam sarung tangan dan atur
letaknya.
8. Untuk memakai sarung tangan kedua ulangi cara ke-2 sampai ke-7.
9. Teknik sarung tangan tertutup adalah cara yang paling disukai jika harus memakai sarung tangan sendiri.
10. Bersihkan bubuk pelicin dari sarung tangan sebelum memulai pembedahan dengan aquabidest.

b. Teknik sarung tangan terbuka


1. Tangan perawat pembantu diulurkan sampai keluar dari manset jas operasi.
2. Bungkus kertas dibuka dengan menggunakan kedua tangan, pembungkus ini harus dibuka sehingga kertas tidak
tertutup rapat dan bila kurang hati-hati akan mengkontaminasi.
3. Dengan tangan, angkat sarung tangan dengan memegang tepi manset yang terlipat. Daerah ini merupakan
bagian dalam sarung, pertahankan manset yang terlipat 3 inchi itu jauh dari kemasan.
4. Sisipkan tangan kita ke dalam sarung tangan dan dengan hati-hati masukkan jari-jari lalu tarik manset yang 3
inchi itu tetap dipertahankan. Usahakan untuk menarik manset sarung tangan sampai menutupi manset jas
operasi.
5. Angkat sarung tangan kedua dari kemasannya dengan cara memegang tepi manset oleh tangan kedua, letakkan
jari-jari tangan pertama (yang telah memakai sarung tangan) di bawah lipatan manset yang berukuran 3 inchi itu
dan masukkan tangan kedua seperti cara ke-4.
6. Bila manset sarung tangan di atas manset jas operasi sehingga hanya tampak bagian sarung tangan yang steril.
7. Seperti pada pemakaian sarung tangan ke-2, letakkan jari-jari yang telah memakai sarung tangan di bawah
manset sarung tangan dan balik lipatan manset di atas manset jas operasi sehingga tampak sisi sarung tangan
steril.
8. Bersihkan bubuk pelicin dari sarung tangan sebelum dimulai pembedahan.

7. Cara melakukan antiseptik daerah pembedahan


a. Bukalah peralatan steril untuk antiseptik kulit diatas meja steril yang terdiri dari:
- 2 mangkok (kom kecil) tempat cairan antiseptik
- 1 piala ginjal (bengkok/nierbekken)
- Pencher klemp
- Kassa steril untuk antiseptik kulit
b. Cairan antiseptik dituangkan ke dalam kom/mangkok.
c. Pencucian daerah pembedahan dimulai dari tengah menuju ke perifer dengan cara memutar.
d. Kain kassa yang sudah dipakai sampai perifer harus dibuang ke tempat sampah.

Tata cara desinfeksi


1. Setelah pasien dalam keadaan teranastesi, daerah operasi diperlihatkan.
2. Beberapa dokter bedah memilih untuk menggosok daerah operasi dengan sikat penggosok sebelum mengoleskan
antiseptik.
3. Umbilicus dibersihkan dengan tangkai lidi kapas yang sudah dibasahi dengan antiseptik, bila ia juga termasuk
bagian dari daerah operasi.
4. Selanjutnya asisten bedah mengolesi daerah operasi dengan kain kassa yang dibasahi dengan antiseptik. Daerah
insisi diolesi terlebih dahulu, kemudian daerah persiapan prabedah diperluas secara melingkar keluar sampai batas
keamanan yang cukup lebar.
5. Biasanya dilakukan 3 kali pengolesan dengan antiseptik pada daerah operasi.
6. Supaya efektif, antiseptik harus dibiarkan kering di udara.
7. Jika ekstremitas yang didesinfeksi, maka ekstremitas tersebut dipegang oleh seorang asisten bedah dan seluruh
kelilingnya diolesi dengan cairan antiseptik.
8. Jika jari-jari yang akan dibersihkan, gunakan kassa kecil di antara jari-jari tanpa memakai pemegang
kassa/forceps.
9. Setelah daerah yang didesinfeksi kering, mulai lakukan penutupan dengan kain.

Gambar 1. Persiapan abdomen: wilayahnya meliputi garis buah dada sampai 1/3 bagian atas paha, dari batas
area yang menyentuh meja ke batas area yang menyentuh meja dengan posisi pasien melintang. Area bayangan
menunjukkan area anatan dari pencukuran. Tanda panah dalam area itu menunjukkan arah gerakan persiapan
kulit pada meja operasi

Gambar 2.
Persiapan Torakoabdomen Lateral
Wilayah meliputi aksila, dada dan abdomen dari leher ke pundak iliaka, dan
diteruskan sampai melewati garis tengah pada bagian anterior dan posterior

Gambar 3. Persiapan dada dan payudara


Wilayahnya meliputi bahu, lengan atas, kebawah siku ketiak dan dinding dada
sampai batas area yang menyentuh meja dan Melewati sternum sampai di bahu
yang lainnya. Bila pasien dalam posisi lateral, punggung juga dipersiapkan

Gambar 4.
Persiapan Rektoperineum & Vagina
Wilayahnya meliputi pubis, vulva, labia, perineum, anus dan area di dekatnya
termasuk bagian-bagian dalam 1/3 bagian atas paha

Gambar 5.
Persiapan pinggul
Wilayahnya meliputi bagian abdomen dari pinggul yang akan dilakukan tindakan, paha
sampai ke lutut, bokong, sampai batas area yang menyentuh meja, selangkangan dan pubis

Gambar 6
Persiapan lututt dan tungkai bawah
Wilayahnya meliputi seluruh lingkaran kaki yang terkena dan diteruskan dari kaki
sampai bagian atas paha

Gambar 7. Cara melakukan antiseptik di daerah operasi


LKK 2 BLOK 20: PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan tindakan penatalaksanaan jalan napas dengan benar.
a. Mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk penatalaksanaan jalan napas.
b. Melakukan intubasi orotrakheal.

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Gangguan jalan napas sering terjadi pada kasus henti jantung dan henti napas sehingga memerlukan penanganan yang
tepat dan akurat. Berikut ini beberapa penyebab terjadinya gangguan jalan napas (Gabbot dan Baskett, 1997), yaitu:
a. Letak lidah yang menutupi faring pada pasien yang tidak sadar, trauma, atau henti jantung.
b. Edema lidah, spasme laring, atau obstruksi orofaring biasanya timbul pada pasien yang mengalami reaksi anafilaksis,
termakan benda asing, atau iritasi zat kimia.
c. Obstruksi laring, trachea, atau bronchi akibat masuknya benda asing.
d. Kerusakan laring pada pasien trauma, atau edema laring pada pasien infeksi dan reaksi anafilaksis.
e. Bronchospasme yang mungkin terjadi pada pasien asma, reaksi anafilaksis, masuknya benda asing zat iritan.
f. Edema paru yang mungkin terjadi akibat terpapar zat iritan dan benda asing, infeksi, gagal jantung, tenggelam, atau
syok neurogenik.
Langkah-langkah yang harus dilakukan pada pasien dengan gangguan jalan napas merupakan urut-urutan dari
Resusitasi Jantung Paru yaitu A (airway). Yang penting dalam penatalaksanaan jalan napas adalah bagaimana agar jalan
napas tidak terhalang sehingga udara dapat mengalir bebas dan lancar karena bila terjadi kekurangan oksigen selama 2-5
menit, maka akan timbul kerusakan organ yang membahayakan kelangsungan hidup pasien.
Pada dewasa, penyebab tersering dari aspirasi (masuknya benda asing ke saluran napas) adalah darah akibat trauma
atau isi lambung. Pada anak-anak dan orang dengan gangguan mental penyebab aspirasi selain yang dua tersebut adalah
masuknya benda-benda asing seperti mainan-mainan kecil, kertas, batu kerikil, tanah. Hal-hal tersebut menyebabkan
tersedak (choking), obstruksi jalan napas, aliran udara berkurang, lalu timbul sianosis dan berujung pada kematian bila
tidak segera ditangani. Beberapa cara untuk menghilangkan obstruksi pada tersedak adalah dengan back blow, abdominal
thrust (Heimlich manoeuvre), chest thrust, pasien diposisikan miring, mengambil benda yang mengobstruksi dengan jari-
jari, atau dengan bantuan laringoskop dan alat penghisap (suction), atau bahkan dengan operasi.
Prinsip dasar ventilasi pada resusitasi jalan napas adalah memberikan udara melalui mulut ke mulut, mulut ke lobang
hidung, mulut ke lobang hidung dan mulut (pada neonatus), dan mulut ke masker. Metode mulut ke masker lebih disukai
karena mengurangi kemungkinan pertukaran infeksi antara pasien dengan penolong.
Langkah selanjutnya setelah membebaskan jalan napas adalah dengan menggunakan alat bantu ventilasi yang banyak
macamnya. Berikut ini beberapa cara yang sering dilakukan untuk mempertahankan ventilasi:
a. Menekan tulang cricoidea (cricoid pressure)
b. Intubasi trachea
c. Laryngeal Mask Airway (LMA)
d. Oesophageal tracheal Combitube
e. Operasi untuk membuka jalan napas
- Cricothyroidotomy: melakukan insisi pada membran cricothyroid lalu memasukkan tracheal tube.
- Blind stab : menusukkan suatu benda (sekali tusuk) sehingga menembus kulit, jaringan subkutan, dan membran
cricothyroid. Saat ini banyak tersedia produk-produk medis untuk tujuan ini, misalnya trokar.

2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 2 Blok XX FK UMP
2. Ruang Instalasi Gawat Darurat
3. Manikin resusitasi jalan napas
4. Stetoskop dewasa
5. Laringoskop dewasa

www.en.wikipedia.org
6. Endotracheal Tube (Pipa Endotrakheal)
a. Orotracheal Tube (Pipa Orotrakhea)
b. Nasotracheal Tube (Pipa Nasotrakhea)

www.alatrumahsakit.blogspot.com

7. Pharyngeal Tube (Pipa Faringeal)


b. Oropharyngeal Tube
c. Nasopharyngeal Tube

www.members.shaw.ca

8. Ambu bag

www.tracheostomy.com
9. Introducer (Stylet/Mandrin) yang dimasukkan ke dalam pipa endotrakheal

www.healthsystem.virginia.edu
10. Connector

www.spectrummedicalgroup.com
11. Plester
12. Alat suction (alat pengisap)

3. Langkah Kerja
1. Bersiaplah untuk memasang airway surgical bila mengalami kegagalan dalam menguasai jalan nafas.
2. Oksigenasi penderita dengan oksigen 100%
3. Lakukan penekanan di atas kartilago krikoidea (bila diperlukan).
4. Masukkan laringoskop ke dalam rongga mulut.
5. Setelah terlihat pita suara dan epiglotis, masukkan pipa endotrakheal.
Gambar Cara melakukan intubasi
Sumber: www.aic.cuhk.edu.hk

6. Lalu masukkan pipa orofaringeal di sebelah kiri dari pipa endotrakheal.


7. Pastikan letak pipa endotrakheal 2-3 cm di atas karina kemudian kembangkan balonnya (cuff).
8. Auskultasi dada penderita dengan stetoskop secara simetris dan bergantian untuk mendengarkan suara udara yang
masuk melalui pipa endotrakheal.
9. Lepaskan tekanan pada kartilago krikoid.
10. Pasang ambu bag pada pipa endotrakheal dengan bantuan connector, lalu ventilasi penderita dengan ambu bag
dengan menggunakan hitungan satu-seribu, dua-seribu, dan seterusnya .
11. Fiksasi pipa endotrakheal berikut pipa orofaringeal dengan menggunakan plester yang direkatkan ke kulit di sekitar
mulut.
12. Bila penderita muntah lakukan pengisapan di daerah mulut dengan alat suction.
LKK 3 BLOK 20: RESUSITASI JANTUNG PARU, STABILISASI DAN TRANSPORT PASIEN.
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengindentifikasi penderita henti nafas dan/atau henti jantung.
a. Mengetahui indikasi dilakukannya resusitasi jantung paru.
2. Melakukan resusitasi jantung paru (RJP) di rumah sakit dan di luar rumah sakit secara berurutan dan benar.
3. Melakukan stabilisasi pada pasien dengan trauma
4. Mengidentifikasi jenis evakuasi medis
5. Dapat menerapkan prinsip dalam mentransfer pasien.
6. Dapat mengambil keputusan dalam mentrasnfer pasien.

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
RESUSITASI JANTUNG PARU
Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah suatu seri tindakan untuk menyelamatkan nyawa yang meningkatkan
kemungkinan hidup pada kasus henti jantung (cardiac arrest). RJP pada dasarnya menggabungkan kompresi dada dan
bantuan napas dengan tujuan mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan korban tentunya
berpengaruh pada aplikasi dari komponen-komponen RJP.
Setiap orang, baik terlatih maupun tidak, dapat menjadi penolong pada kasus henti jantung. Karena sangat
pentingnya kompresi dada pada henti jantung, maka langkah ini menjadi langkah pertama dalam urutan RJP berdasarkan
2020 American Heart Association Guidelines for CPR and Emergency Cardiovascular Care.
Algoritma Basic Life Support (BLS) adalah suatu konsep kerja untuk semua tingkatan penolong pada semua seting
yang mungkin. Setelah itu, penolong memulai kompresi dada, dengan atau tanpa ketersediaan defibrillator. Algoritmanya
adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan tanda henti jantung dan aktivasi sistem respon cepat emergensi
Ketika menemukan seseorang dengan henti jantung mendadak, seorang penolong pertama sekali harus mengenali
tanda bahwa korban/pasien tersebut mengalami henti jantung. Korban/pasien dengan henti jantung tidak responsif bila
dibangunkan. Pernapasannya tidak ada atau tidak normal. Look, listen and feel tidak lagi dianjurkan. Pencarian
denyut nadi pun sulit dilakukan, selain itu membutuhkan tambahan waktu. Setelah mengenali, penolong sebaiknya
segera mengaktifkan sistem respon cepat emergensi atau meminta orang-orang di sekitar untuk membantunya.

2. Kompresi dada
Penolong harus melakukan kompresi dada pada semua korban/pasien henti jantung, tanpa memedulikan karakteristik
korban/pasien, tingkat kemampuan si penolong, maupun ketersediaan bantuan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada
kompresi dada pada henti jantung:
a. Frekuensi kompresi dada yang adekuat ( kira-kira 100 kali/menit)
b. Kedalaman kompresi cukup:
- Dewasa: 5 cm (2 inci)
- Balita dan anak: kurang lebih 1/3 diameter antero-posterior dada ATAU 4 cm pada balita dan 5 cm pada
anak.
c. Memberi kesempatan pada dinding dada untuk kembali ke posisi semula setelah kompresi dada.
d. Mengurangi kemungkinan terhentinya kompresi karena ada interupsi dari lingkungan sekitar.
e. Menghindari ventilasi berlebihan.
Jika ada dua atau lebih penolong, maka mereka harus bergantian melakukan kompresi dada setiap 2 menit.

3. Jalan napas dan ventilasi


Pembukaan jalan napas dengan metode head tilt-chin lift atau jaw thrust yang diikuti pemberian napas buatan dapat
meningkatkan oksigenasi dan ventilasi. Namun pemberian napas buatan ini dapat menginterupsi kompresi dada pada
kondisi satu orang penolong, sehingga pada satu orang penolong sebaiknya cukup melakukan kompresi dada tanpa
bantuan napas (Hands-only) atau memberikan napas buatan sambil tetap melakukan kompresi dada (bila mampu).
Ventilasi harus diberikan pada korban/pasien yang tampaknya mengalami henti jantung akibat asfiksia (biasa terjadi
pada balita, anak-anak, korban tenggelam). Bila sudah ada bantuan medis yang datang untuk menangani jalan napas,
dapat diberikan ventilasi 8-10 napas/menit tanpa menghentikan kompresi dada.

4. Defibrilasi
Defibrilasi merupakan terapi utama pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut (pulseless).
Salah satu kunci penting suksesnya sebuah tindakan defibrilasi adalah kompresi dada yang dilakukan dengan baik dan
benar.

TRANSFER PASIEN
Evakuasi Medis (medivac) merupakan gerakan tepat waktu dan evisien dan perawatan dijalan yang diberikan oleh tenaga
medis untuk pasien yang dievakuasi.

Jenis evakuasi medis:


- Evakuasi pasien dari medan bebahaya ( perang, lokasi bencana)/ tempat kejadian untuk menerima fasilitas medis.
- Evakuasi pasien di tempat pelayanan kesehatan sederhana ke RS Rujukan yang lebih baik.
Prinsip mentransfer pasien:
1. Kenali kapabilitas kita dan kapabilitas sumber rujukan.
2. Tentukan apa yg dibutuhkan pasien
3. Do no further harm
4. Tentukan pasien mana saja yang membutuhkan rujukan lanjut
5. Lakukan prosedur seperlunya (pemeriksaan tambahan bisa ditunda)
6. Berkomunikasi dengan tempat rujukan
7. Transfer ke tempat yang tepat dan terdekat
8. Gunakan moda transportasi yang layak.

Pasien yang harus ditrasnfer dengan kondisi:


- Pasien Trauma Multipel
- Pasien yang memerlukan penanganan yang definitif (Trauma abdomen, cidera kepala, Pnemumotoraks, luka bakar)
- Pasien dengan Penyulit (Orang tua atau anak anak, pasien dengan penyakit penyerta).

Tempat menstranfer :
- RS dengan fasilitas yang lengkap (trauma center)
- RS yang memiliki dokter yang berkualitas:
o Mampu menentukan diagnosis
o Mampu menangani secara defenitif
o Bersedia/ Berkomitmen

Beberapa penyulit dalam menstransfer pasien:


- Tidak semua RS siap dirujuk
- Tidak Semua pasien bersedia untuk dirujuk
- Hambatan Administrasi
- Fasilitas Ambulan = Mobil Pengantar Jenazah

2. Media Pembelajaran
1) Penuntun LKK Blok XX FK UMP
2) Manikin Resusitasi Jantung Paru dengan lampu sensor
3) Stetoskoop dewasaLaringoskop dewasa
4) Oro-Pharingeal airway/ naso-pharingeal airway
- Pharyngeal Tube (Pipa Faringeal)
- Oropharyngeal Tube
- Nasopharyngeal Tube
5) Endotracheal Tube (Pipa Endotrakheal)
6) Introducer (Stylet/Mandrin) yang dimasukkan ke dalam pipa endotrakheal
7) Orotracheal Tube (Pipa Orotrakhea)
8) Nasotracheal Tube (Pipa Nasotrakhea)
9) Jarum besar (kateter vena no.14)
1) Mouth to mask
2) Suction manual (Spuit 20 cc)
3) Bag-Valve- mask lebih baik disertai portable O2
4) Masker oksigen
5) Kain kasa
6) Lampu senter
7) Transfusi set
8) Saturasi portable
9) Ambu bag
10) Connector
11) Plester

3. Langkah Kerja
BANTUAN HIDUP DASAR
1. Sebelum menolong posisi penolong dan penderita dalam posisi yang aman
2. Mengkaji respon penderita (panggil, goyangkan bahu) dengan segera untuk menilai kesadaran penderita.
3. Bila penderita tidak sadar segera memanggil bantuan.
a. Bila diluar RS segera menelpon tanggap darurat
b. Bila didalam RS segera siapkan tim dan peralatan RJP
4. Circulation
- Melakukan perabaan nadi (selama 5-10 detik)
Dewasa: hanya di arteri karotis kanan atau kiri, atau arteri femoralis kanan atau kiri.
Jika nadi tidak teraba dilakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru)
- Mengambil posisi menolong, dengan memposisikan bahu penderita di antara kedua paha penolong.supaya
posisi penolong tidak berubah sedikit pun selama melakukan pertolongan.
- Menentukan titik kompresi dengan benar
Dewasa: pertengahan antara manubrium sterni dan prosessus xiphoideus
- Melakukan kompresi dada dengan kedalaman
Dewasa: 5 cm (1/3 garis aksila)
- Melakukan kompresi dengan irama teratur, dilanjutkan ventilasi (5 siklus dalam 2 menit) dengan perbandingan
antara ventilasi dengan kompresi jantung adalah 30:2
Dewasa: 30:2 (1 atau 2 penolong sama)
- Melakukan pemeriksaan/evaluasi napas dan denyut jantung kembali.
- Memposisikan pasien pada posisi stabil.

Airway
- Mengatur posisi klien (terlentang dengan alas datar dan keras). Hati-hati pada pasien dengan curiga fraktur
cervical.
- Melakukan teknik-teknik mempertahankan jalan napas dengan head tilt-chin lift manuver, jika ada trauma
servikal dengan jaw thrust manuever serta memastikan jalan nafas bersih dari corpus alienum (muntah, gigi
palsu, kawat gigi), tidak diperbolekan menggunakan manuver head tilt-chin lift.

Breathing
- Tindakan pemberian napas bantuan dilakukan kepada penderita henti jantung setelah satu siklus kompresi
selesai dilakukan (30 kali kompresi). Bila tidak ada napas, berikan ventilasi 2 kali dengan teknik mouth to
mouth/mouth to mask/bag-valve-mask. Untuk kewaspadaan universal, apabila melakukan ventilasi mouth to
mouth menggunakan pelindung berupa tisu atau sarung tangan, yang diletakkan di mulut penderita.

Indikasi menghentikan resusitasi:


 Pasien sadar
 Pasien meninggal
 Penolong lelah setelah dilakukan tindakan resusitasi selama 30-60 menit
 Bantuan petugas yang berkompeten datang

Algoritma Basic Life Support

STABILISASI SEBELUM MERUJUK


1. Airway
- Pasang Airway atau endotracheal tube jika perlu
- Suction jika perlu
- Pasang NGT pada semua pasien yg diintubasi dan tidak diintubasi yang mengalami distensi pada lambung.
2. Breathing
- Tentukan Respiration rate dan pemberian oksigen
- Pemberian ventilasi mekanik jika diperlukan
- Chest tube jika diperlukan
3. Circulation
- Kontrol Perdarahan di luar (catat waktu dari penggunaan tourniquet)
- Pasang 2 jalur infus (IV line), mulai pemberian kristaloid
- Perbaiki kehilangan darah dengan kristaloid atau transfuse darah dan teruskan pemberian selama transportasi.
- Pasang catheter uretra untuk monitoring urine output
- Monitor kecepatan dan irama jantung
- Memposisikan miring ke kiri pada pasien dengan usia akhir kehamilan untuk meningkatkan venouse return.
4. Susunan Saraf Pusat
- Bantuan pernafasan untuk pasien yang tidak sadar
- Pemberian mannitol atau hypertonic saline, jika diperlukan
- Membatasi gerakan pada daerah spinal pada pasien dengan spine injuries
5. Pemeriksaan Diagnostik
- X-ray thorax, pelvis dan ekstremitas
- Pemeriksaan darah lengkap
- Pengaruh denyut jantung dan saturasi hemoglobin (ECG dan Pulse oximetry)
6. Luka
- Setelah control perdarahan, bersihkan luka dan perban
- Berikan profilaksis tetanus
- Pemberian Antibiotik jika diperlukan
7. Fraktur
- Bidai dan traksi

TRANSFER PASIEN
1. Informed consent
2. Identifikasi dan Intervensi yang bisa dilakukan pada Airway, Breathing, Circulation Pasien
3. Yakinkan RS tujuan siap menerima dengan cara berkomunikasi atau menghubungi RS yang telah dipilih dengan
mengambarkan
S situasi pasien.
- Nama pasien,
- Usia
- Fasilitas yg merujuk
- Nama dokter yang merujuk
- Nama suster yang merujuk
- Menjelaskan indikasi dilakukan rujukan
- Menjelaskan status pemberian akses intra vena
- Menjelaskan jumlah pemberian cairan intra vena
- Menjelaskan penanganan lain yang telah diberikan
B Menyampaikan Latar belakang (Background)
- Menceritakan kejadian
- AMPLE Assesment
- Jumlah perdarahan
- Obat obatan yng telah diberikan sertakan tanggal dan waktunya
- Pemeriksaan X-ray/ CT-Scan/ MRI yang telah dilakukan
- Splinting (pembidaian)
A Assesment
- Melaporkan Vital sign
- Melaporkan temuan pemeriksaan fisik
- Melaporkan respon pengobatan
R Recommendation
- Transportasi yang adekuat
- Level dari tranportasi yang digunakan
- Pemberian pengobatan saat dalam perjalanan
- Apakah butuh penangan dan intevensi selama perjalanan

4. Saat Melakukan transport lakukan:


- Monitoring tanda vital dan Pulse oximetry
- Bantuan Kardio respirasi dimana diperlukan
- Transfusi jika dibutuhkan
- Pemberian obat sesuai dengan instruksi atau prosedur tetap
- Tetap menjaga komunikasi dengan dokter penerima rujukan selama transport
- Melakukan dokumentasi selama transport

LKK 4 BLOK 20: PENANGANAN KASUS SYOK

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengenali dan menangani kasus syok hipovolemik.
2. Memberikan terapi cairan melalui intravena dan intraosseus.
3. Memperkenalkan jenis-jenis cairan resusitasi.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Syok merupakan kelanjutan dari suatu keadaan kritis pada pasien yang biasanya ditandai dengan hipotensi,
takikardia, denyut nadi lemah, serta kulit dingin dan lembab. Perbedaan etiologi penyebab syok akan
menyebabkan variasi tanda dan gejala syok. Syok yang timbul akibat adanya vasodilatasi patologis atau
disfungsi organ berlebihan biasanya akan timbul sepsis yang memperparah tanda dan gejala, sementara pada
syok karena perdarahan tidak.
Syok dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu:
a. Syok hipovolemik
Syok ini terjadi akibat menurunnya volume intravascular yang akan menyebabkan menurunnya
preload dan cardiac output sehingga akan menurunkan pengantaran oksigen ke jaringan. Etiologi syok ini
adalah dehidrasi, perdarahan hebat, muntah dalam jumlah banyak, luka bakar ukuran besar, serta iatrogenic
(diuretic, vasodilator). Syok ini dapat dikenali dengan adanya takikardia, takipnea, hipotensi, tekanan nadi
yang sempit, gangguan status mental, penurunan JVP, penurunan jumlah urine yang dikeluarkan, serta
penurunan capillary refill. Tanda dan gejala ini biasanya baru dapat dikenali apabila jumlah cairan
intravaskular sudah berkurang 10-20%.
Tanda dan gejala ini timbul akibat aktivasi baroreseptor yang berkurang, menyebakan peningkatan
denyut dan kontraktilitas jantung, ditambah dengan berkurangnya aktivasi reseptor di atrium, yang akan
menyebabkan penurunan pelepasan atrial natriuretic peptide. Penggantian cairan dan transfuse darah
merupakan terapi utama pada syok hipovolemik ini.
b. Syok kardiogenik
Syok ini timbul akibat kegagalan jantung memompa darah, akibat kelainan katup, kelainan otot jantung,
atau kelainan perikardial. Menurunnya cardiac output yang efektif menyebabkan penurunan pengantaran
oksigen ke jaringan. Manifestasi klinisnya hampir sama dengan syok hipovolemik. Terapi awal syok
kardiogenik biasanya adalah kombinasi dari vasopresor dan agen inotropik.
c. Syok distributif
Syok ini biasanya disebabkan oleh vasodilatasi akibat menurunnya preload. Menurunnya resistensi arterial
menyebabkan hipotensi. Syok ini dapat terjadi pada sepsis, anafilaksis, insufisiensi adrenal, dan syok
neurogenik.
d. Syok obstruktif
Syok ini merupakan syok akibat obstruksi ekstrakardia menyebabkan penurunan pengisian diastolik atau
penurunan fraksi ejeksi.
Ada juga yang dinamakan syok campuran, merupakan campuran dari berbagai syok yang bisa saling tumpang
tindih.

2. Media Pembelajaran
5. Penuntun LKK 4 Blok XX FK UMP
6. Manikin lengan untuk pemasangan cairan intravena
7. Cairan intravena koloid dan kristaloid
8. Selang infus
9. Kateter (Abocath) No. 18G atau 20G
10. Plester
11. Kasa steril
12. Cairan antiseptik
13. Bengkok
14. Tiang penyangga infuse
15. Sarung tangan steril
16. Anestesi lokal
17. Torniquet
18. Kasa steril
19. Kapas alkohol
20. Salep antibiotic
21. Kaki ayam

3. Langkah Kerja
AKSES VENA PERIFER
1. Siapkan infus set dan cairan yang diperlukan serta kateter intravena dengan ukuran yang sesuai bagi
pasien.
2. Cuci tangan dan pasang sarung tangan.
3. Pilih tempat yang baik di salah satu anggota badan, misalnya pembuluh di sebelah depan dari siku, lengan
depan, pembuluh kaki (v. safena magna).
4. Bersihkan tempat itu dengan larutan antiseptis.
5. Pasang torniket pada proximal lengan atau tungkai.
6. Tusuklah pembuluh tersebut dengan kateter (abocath) kaliber besar dengan plastik di atas jarum, dan
amatilah kembalinya darah ke dalam kateter.
7. Masukkan abocath ke dalam pembuluh di atas jarum kemudian keluarkan jarum dan buka torniketnya.
8. Pada saat ini boleh sekalian mengambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium.
9. Sambunglah abocath dengan pipa infus intravena dan mulailah infus larutan kristaloid yang telah
dihangatkan.
10. Amatilah infiltrasi yang mungkin terjadi dari cairan ke jaringan.
11. Tambatkan abocath dan selang dengan plester ke kulit anggota badan.

PEMASANGAN INFUS INTRAOSSEOUS


1. Tempatkan penderita dengan posisi terlentang. Pilih extremitas inferior yang tidak cedera, taruh lapisan
(padding) secukupnya di bawah lutut untuk mendapatkan bengkokan lutus sekitar 30˚ dan biarkan tumit
penderita terletak dengan santai di atas usungan.
2. Cuci tangan dan pasang sarung tangan.
3. Tentukan tempat pungsi (permukaan anteromedial dan proksimal tulang betis), sekitar 1-3 cm di bawah
tuberositas tibia.
4. Bersihkan kulit di sekeliling daerah pungsi dengan baik dan pasang kain steril di sekelilingnya.
5. Bila penderitanya sadar, gunakan anestesi lokal di tempat punksi.
6. Pada permulaan dengan posisi jarum 90˚, masukkan jarum aspirasi sumsum tulang kaliber besar ke dalam
kulit dan periosteum dengan sudut jarum diarahkan ke kaki dan menjauh lapisan epiphysis.
7. Setelah memperoleh tempat masuk di tulang, arahkan jarum 45˚ sampai 60˚ menjauh dari lapisan
epiphysis.
8. Keluarkan stilet dan sambungkan dengan spuit 10 ml yang berisi cairan saline 5-6 ml. Aspirasi sumsum
tulang ke dalam semprit berarti telah masuk ke dalam rongga medulla.
9. Suntikkan cairan saline ke dalam jarum untuk mengeluarkan bekuan yang mungkin menyumbat jarum.
Bila cairan saline disuntikkan dengan mudah dan tidak ada bukti pembengkakan, berarti jarumnya berada
di tempat yang benar. Bila sumsum tulang tidak diaspirasi seperti diuraikan pada poin 7, tetapi cairan
saline yang diinjeksi mengalir dengan mudah tanpa bukti pembengkakan, jarumnya berada di tempat yang
benar. Sebagai tambahan, penempatan jarum yang benar tertanda bila jarum tetap tegak lurus tanpa
bantuan dan larutan intravena mengalir bebas tanpa bukti inftiltrasi di bawah kulit.
10. Hubungkan jarum dengan selang infus dan mulailah infus cairan. Jarumnya kemudian diputar masuk
lebih jauh ke dalam cavum medulla sampai pusat jarum berada di kulit penderita. Bila digunakan jarum
licin, jarum itu harus distabilkan dengan sudut 45˚ sampai 60˚ dengan permukaan anteromedial dari kaki
anak.
11. Berikanlah salep antibiotik dan perban steril ukuran 3x3. Fiksasi IV kateter dan selang infus dengan
plester.
12. Secara rutin lakukan evaluasi ulang mengenai tempat jarum intraosseous, dengan memastikan bahwa
jarumnya tetap di dalam korteks tulang dan di saluran medulla. Ingat, infus intraosseous harus dibatasi
pada resusitasi darurat anak dan dihentikan segera begitu terdapat akses vena lain.
LKK 5 BLOK 20: MANAJEMEN LUKA

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan manajemen luka
a. Melakukan pencucian luka (wound toilet)
b. Melakukan penjahitan luka (wound stitching)
c. Melakukan pembungkusan luka (wound dressing)
d. Melakukan pencabutan jahitan (wound removal of sutures)
2. Melakukan balut tekan terhadap luka

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Kulit manusia terdiri dari tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutan. Lapisan
epidermis kulit terdiri dari 5 lapisan, yaitu:
a. Stratum corneum
b. Stratum lucidum
c. Stratum granulosum
d. Stratum spinosum
e. Stratum basale
Lapisan dermis terdiri atas fibrosit yang membentuk jaringan kolagen dan elastin, saraf tepi dan sirkulasi darah perifer.
Lapisan subkutan terdiri atas lapisan adipose/lemak dan pembuluh darah arteri dan vena. Kulit memiliki fungsi sebagai
pelindung dari gangguan mekanis, zat kimiawi,
Prinsip utama dalam manajemen luka adalah mempertahankan situasi steril dan teknik aseptik selama melakukan
tindakan untuk mencegah infeksi. Manajemen luka yang akan dilakukan seorang dokter haruslah sesuai dengan klasifikasi luka
pasien. Klasifikasi luka yang ada saat ini adalah sebagai berikut:
a. Luka bersih (clean wound)
Contohnya adalah luka sayatan pada saat operasi dalam keadaan steril.
b. Luka bersih terkontaminasi (clean-contaminated wound)
Contohnya adalah apendektomi dan operasi daerah vagina.
c. Luka terkontaminasi (contaminated wound)
Contohnya laserasi, tertusuk benda tajam, patah tulang terbuka. Dalam waktu enam jam, luka ini dapat terinfeksi.
d. Luka kotor dan terinfeksi (dirty and infected wound)
Contohnya adalah perforasi organ dalaman, abses, atau luka yang sudah lama dengan banyak jaringan mati di dalamnya.
Tahap-tahap penyembuhan luka primer adalah:
a. Fase I: Respons inflamasi. Terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-5.
Pada fase ini leukosit bermigrasi ke area luka dan menimbulkan respons inflamasi.
b. Fase II: proliferasi/migrasi. Terjadi pada hari ke-5 sampai hari ke-14.
Pada fase ini terjadi migrasi fibroblast ke daerah luka untuk membentuk kolagen dan jaringan ikat (fibrin, fibronectin).
c. Fase III: Maturasi/remodeling. Terjadi pada hari ke-14 sampai selesai.
Hampir sama dengan fase II, merupakan tahap akhir dari penyembuhan luka.
Selain penyembuhan primer, terdapat juga penyembuhan sekunder dan tersier. Penyembuhan luka sekunder adalah
penyembuhan yang tertunda akibat timbulnya infeksi atau trauma berlebihan pada luka. Pada kasus ini, luka dibiarkan terbuka
sampai timbul jaringan granulasi dari dasar luka. Penyembuhan luka tersier adalah penyembuhan luka dengan cara
menyatukan dua jaringan granulasi.
Jenis-jenis dressing untuk luka post operasi:
- Gauze (kassa)
- Transparent Adhesive Film
- Kombinasi
Rekomendasi CDC: penyembuhan luka post operasi tertutup (primary intention)
- Gunakan dressing steril untuk menutup luka selama 24-48 jam post operasi.
- Gunakan teknik steril dalam penggantian dressing.
- Tidak ada rekomendasi diteruskan dressing setelah 24-48 jam, dan tidak ada rekomendasi batasan waktu kapan luka
boleh terkena air (mandi) pada luka yang tidak tertutup.
Dressing yang dianjurkan
- Dressing dengan daya serap/absorpsi minimal.
- Mencegah luka terkontaminasi dari luar.
- Mencegah terjadinya trauma saat dressing dibuka/diganti.
Gauze dressing (kain kassa)
Bahan:
- Katun atau sintetis
- Berupa anyaman atau bukan anyaman
- Berupa bantalan, lembaran atau gulungan
Sifat
- Berbagai bentuk
- Menyerap
Yang harus diperhatikan dalam perawatan luka dengan dressing adalah mencuci tangan dengan antiseptik sebelum dan sesudah
mengganti dressing. Pilihlah antiseptik dengan bahan aktif chlorhexidine 2%, dengan bahan dasar alkohol, serta mengandung
pelembab (rekomendasi AORN).
Prinsip perawatan luka post operasi:
- Kaji keadaan luka.
- Seleksi jenis dressing yang diperlukan.
- Seleksi jenis perekat & cara penggunaan perekat.
- Beri edukasi/pendidikan bagi pasien mengenai perawatan luka post operasi.
Beberapa dokter membiarkan luka insisi operasi yang bersih terbuka tanpa kasa dan ternyata dari sudut penyembuhan,
hasilnya baik. Beberapa penelitian memang telah membuktikan bahwa luka insisi operasi yang bersih dapat pulih dengan baik
walaupun tanpa kasa. Walau demikian, sebagian besar dokter tetap menutup luka operasi dengan kasa steril/dressing sesuai
dengan prosedur pembedahan. Tujuan penutupan luka operasi:
- Melindungi luka terhadap mikroorganisme yang datang dari tangan.
- Menyerap cairan yang meleleh keluar agar luka cepat kering.
- Memberikan tekanan pada luka supaya dapat menahan perdarahan superficial.
- Melindungi ujung luka dari trauma lainnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
- Menjaga sterilitas alat dan luka operasi.
- Hindari penutup luka longgar atau terlalu besar.
- Hindari penutup jangan terlalu kencang.
- Ganti segera bila penutup luka tampak perdarahan (rembes).

2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 5 Blok XX FK UMP
2. Manikin
3. Spons cuci piring yang dilapisi Hipafix
4. Minor Surgery set
5. Kasa steril
6. Plester (plester biasa, hypavix, opsite)
7. Cairan antiseptik (Betadine)
8. Jarum jahit cutting (ujung tajam) dan rounded (ujung bulat)
9. Benang silk, catgut (plain, chromic)
10. Benang atraumatik (vicryl, proline)
11. Sarung tangan
12. Doek bolong steril

3. Langkah Kerja
A. MENCUCI LUKA
1. Luka diirigasi dengan cairan saline (NaCl 0,9%).
2. Bersihkan jaringan nekrotik dan benda asing yang terdapat pada luka.

B. MENJAHIT LUKA
1. Luka yang telah dicuci diolesi dengan cairan antiseptic (betadine) dari bagian tengah memutar ke perifer.
2. Siapkan alat-alat menjahit:
3. Tentukan apakah yang akan dijahit adalah otot atau kulit. Otot dijahit dengan jarum berujung bulat (rounded)
dan kulit dijahit dengan jarum berujung runcing (cutting).
4. Jepit jarum jahit dengan needle holder pada 1/3 ujung (dekat lubang jarum).
5. Pasangkan benang pada jarum.
6. Jepit tepi luka yang akan dijahit dengan pinset chirurgis lalu tusukkan jarum kulit tepi luka sampai
menembus ke bagian dalam luka.
7. Lalu tusukkan jarum dari bagian dalam luka sampai menembus kulit tepi luka di bagian satunya.
8. Tarik jarum sampai benang tersisa sedikit di kulit bagian awal tusukan.
Gambar 1. Cara menjahit luka
Sumber: www.bumc.bu.edu

Gambar 2. Contoh simple interrupted stitching


Sumber: www.wikisurgery.com

9. Ikat benang dengan metode simpul sebanyak 2 kali.


10. Gunting benang, sisakan 1 cm dari bagian simpul.
11. Lakukan langkah 6-10 sampai jumlah jahitan mencukupi.
12. Bersihkan luka dan alat-alat setelah selesai menjahit.

C. MEMBUNGKUS LUKA
1. Luka yang telah dijahit diolesi antiseptik kembali.
2. Bungkus luka dengan kasa steril dengan agak kencang.
3. Kasa bisa diikat dengan simpul atau direkatkan dengan plester.

D. MENCABUT JAHITAN
1. Bersihkan area yang akan dilakukan tindakan dengan antiseptik.
2. Angkat salah satu ujung jahitan dengan forsep/pinset lalu gunting sedekat mungkin dengan kulit di
bagian benang yang masuk ke kulit.
3. Tarik benang dengan perlahan pada ujung jahitan yang bersimpul, sehingga benang yang terletak
di luar tidak masuk ke dalam kulit.
4. Lakukan pencabutan jahitan sampai semua jahitan tercabut.
LKK 6 BLOK 20: IMOBILISASI SPINAL

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mempersiapkan peralatan yang diperlukan untuk penatalaksanaan trauma spinal.
2. Melakukan tindakan immobilisasi spinal.

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Pada fase pra RS biasanya dilakukan tindakan imbolisasi sebelum transfer penderita ke UGD.
Setiap pederita yang dicurigai mengalami cedar tulang belakang harus dilakukan imobilisasi di bagian atas dan
bawah bagian yang dicurigai menderita cedera, sampai fraktur dapat disingkirkan dengan pemeriksaan ronsen.
Harap diingat, proteksi vertebra dapat disingkirkan. Imobilisasi yang tepat dilakukan pada penderita dengan
posisi netral, seperti berbaring, terlentang tanpa rotasi atau membengkokkan tulang belakang. Apabila
ditemukan deformitas yang jelas, jangan lakukan reduksi. Anak-anak mungkin menderita tortikolis dan pada
orang tua menderita penyakit tulang belakang degeneratif berat yang menyebabkan mereka mengalami
kyphosis nontraumatik atau angulasi pada tulang belakangnya. Penderita seperti ini harus di imobilisasi dalam
spine board dengan posisi yang nyaman, perlu digunakan bantalan yang tepat untuk mencegah terbentuknya
decubitus. Usaha untuk meluruskan tulang belakang dalam rangka imobilisasi pada spine board tidak
direkomendasikan bila menyebabkan nyeri.
Imobilisasi leher dengan kolar servikal semirigid tidak menjamin stabilisasi tulang leher yang
lengkap. Imobilisasi dengan menggunakan spine board dengan memakai tambahan alat penyangga kepala,
jauh lebih efektif dalam mengurangi gerakan leher. Penggunaan long spine board direkomendasikan.
Penderita cedera tulang cervical membutuhkan imobilisasi seluruh tubuh penderita dengan cervical collar.
Semirigid, imoblisasi kepala, backboard, plester dan tali pengikat sebelum dan sewaktu transfer ke fasilitas
yang definitif. Ekstensi atau fleksi leher harus dihindarkan. Hal yang sangat penting adalah airway pada
penderita cedera medulla spinalis karena intubasi harus segera dilakukan bila terdapat itu bukti gangguan
respirasi. Sewaktu melakukan tindakan intubasi, leher dipertahankan dalam posisi netral.
Perlu perhatian khusus dalam melakukan imobilisasi bagi penderita yang gelisah dan agitasi.
Keadaan ini disebabkan karena nyeri, bingung yang berhubungan dengan hipoksia atau hipotensi, alkohol atau
obat-obatan, atau kelainan kepribadian. Dapat diberikan sedatif bila diperlukan, bahkan obat pelumpuh otot,
dengan catatan perlu proteksi dan control jalan napas serta ventilasi. Penggunaan sedatif atau pelumpuh otot
memerlukan pertimbangan klinis yang tepat, dianjurkan untuk menggunakan obat dengan masa kerja pendek
serta reversibel.
Sewaktu penderita datang ke UGD, yang pertama dilakukan adalah secepatnya melepas long spine
board setelah dilakukan pemeriksaan, untuk mengurangi terjadinya ulkus decubitus. Melepaskan long spine
board biasanya dilakukan sebagai bagian dari survey sekunder yaitu sewaktu dilakukan tindakan log roll pada
penderita untuk memeriksa bagian belakang tubuh. Jangan sampai ditunda.
Gerakan yang aman, atau melakukan logroll pada penderita cedera tulang belakang yang tidak
stabil atau akan menjadi tidak stabil, memerlukan perencanaan dan bantuan dari 4 atau lebih penolong
tergantung ukuran tubuh penderita. Kesegarisan (alignment) anatomi dari seluruh kolumna vertebralis harus
dipertahankan sewaktu memutar atau mengangkat penderita. Satu orang bertugas mempertahankan
imobilisasi kepala dan leher dalam posisi segaris (in line). Posisi orang ke dua dan ketiga adalah pada sisi
yang sama dengan torso penderita, mencegah secara manual terjadinya rotasi, fleksi, ekstensi, bengkok ke
lateral pada daerah dada dan perut sewaktu transfer penderita. Orang keempat bertanggung jawab untuk
menggerakkan kaki dan melepas spine board dan memeriksa bagian belakang penderita.

Prinsip Melakukan Imobilisasi Tulang Belakang dan Log Roll


I. Penderita Dewasa
Empat orang dibutuhkan untuk melakukan prosedur modifikasi log roll dan imobilisasi penderita, seperti
pada long spine board: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan leher penderita; (2)
satu untuk badan (termasuk pelvis dan panggul): (3) satu untuk pelvis dan tungkai; dan (4) satu mengatur
prosedur ini dan mencabut spine board. Prosedur ini mempertahankan seluruh tubuh penderita dalam
kesegarisan, tetapi masih terdapat gerakan minimal pada tulang belakang. Saat melakukan prosedur ini,
imobilisasi sudah dilakukan pada ekstremitas yang diduga mengalami fraktur.
II. Penderita Anak-anak
1. Untuk imobilisasi anak diperlukan long spine board pediatric. Bila tidak ada, maka dapat
menggunakan long spine board untuk dewasa dengan gulungan selimut diletakkan di seluruh sisi
tubuh untuk mencegah pergerakan ke arah lateral.
2. Proporsi kepala anak jauh lebih besar dengan orang dewasa, oleh karena itu harus dipasang bantalan
di bawah bahu untuk menaikkan badan, sehingga kepala yang besar pada anak tidak menyebabkan
fleksi tulang leher, sehingga dapat mempertahankan kesegarisan tulang belakang anak. Bantalan
dipasang dari tulang lumbal sampai ujung bahu dan kearah lateral sampai di ujung board.
III. Komplikasi
Bila penderita dalam waktu lama (kurang lebih 2 jam atau lebih lama lagi) diimobilisasi dalam long spine
board, penderita dapat mengalami decubitus pada oksiput, scapula, sacrum, dan tumit. Oleh karena itu,
secepatnya bantalan harus dipasang dibawah daerah ini, dan apabila keadaan penderita mengizinkan
secepatnya long spine board dilepas.
IV. Melepas Long Spine Board
Pergerakan pendrita yang mengalami cedera tulang belakang yang tidak stabil akan menyebabkan atau
memperberat cedera medulla spinalisnya. Untuk mengurangi risiko kerusakan medulla spinalis, maka
diperlukan pencegahan secara mekanis untuk seluruh penderita yang mempunyai risiko. Proteksi harus
dipetahankan sampai adanya cedera tulang belakang yang tidak stabil disingkirkan.
1. Sebelum dipindahkan dari spine board, pada penderita dilakukan pemeriksaan foto servikal, toraks,
pelvis sesuai dengan indikasinya, karena penderita akan mudah diangkat beserta dengan spine
boardnya. Sewaktu penderita di imobilisasi dengan spine board, sangat penting untuk
mempertahankan imobilisasi kepala dan leher dan badan secara berkesinambungan sebagai satu
unit. Tali pengikat yang dipergunakan untuk imobilisasi penderita ke spine board janganlah dilepas
dari badan penderita sewaktu kepala masih terfiksir ke bagian atas spine board.
2. Spine board harus dilepaskan secepatnya, waktu yang tepat untuk melepas long spine board adalah
sewaktu dilakukan tindakan log roll untuk memeriksa bagian belakang penderita.
3. Pergerakan yang aman bagi penderita dengan cedera yang tidak stabil atau potensial tidak stabil
membutuhkan kesegarisan anatomic kolumna vertebralis yang dipertahankan secara kontinyu.
Rotasi, fleksi, ekstensi, bending lateral, pergerakan tipe shearing ke berbagai arah harus
dihindarkan. Yang terbaik untuk mengontrol kepala dan leher adalah dengan imobilisasi in line
manual. Tidak ada bagian tubuh penderita yang boleh melekuk sewaktu penderita dilepaskan dari
spine board.
4. Modifikasi teknik log roll, dipergunakan untuk melepas long spine board. Diperlukan empat
asisten:
- Untuk mempertahankan imobilisasi in line kepala dan leher.
- Untuk badan penderita (termasuk pelvis dan panggul).
- Untuk pelvis dan tungkai bawah.
- Untuk menentukan arah prosedur ini dan melepas long spine board.
5. Tandu sekop (scoop stretcher). Alternatif melakukan modifikasi teknik log roll adalah dengan
menggunakan scoop stretcher untuk transfer penderita. Alat ini akan mempercepat transfer secara
aman dari long spine board ke tempat tidur. Sebagai contoh alat ini dapat digunakan untuk transfer
penderita dari satu alat transport ke alat lain atau ke tempat khusus misalnya meja ronsen. Harap
diingat, penderita harus tetap dalam imobilisasi sampai cedera tulang belakang disingkirkan.
Setelah penderita ditransfer dari backboard ke tempat tidur dan scoop stretcher dilepas, penderita
harus direimobilisasi secara baik ke ranjang/tandu. Scoop stretcher bukanlah alat untuk mobilisasi
penderita. Scoop stretcher bukanlah alat transportasi, dan jangan mengangkat scoop stretcher
hanya pada ujung-ujungnya saja, karena akan melekuk di bagian tengah dengan akibat kehilangan
kesegarisan dari tulang belakang.
V. Imobilisasi untuk penderita dengan kemungkinan cedera tulang belakang
Penderita umumnya datang ke bagian gawat darurat dengan alat perlindungan tulang belakang.
Alat ini menyebabkan pemeriksa harus memikirkan adanya cedera tulang vertebra servikal atau
torakolumbal, berdasarkan dari mekanisme cedera. Pada penderita dengan cedera multiple dengan
penurunan tingkat kesadaran, alat perlindungan harus dipertahankan sampai cedera pada tulang
belakang disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Bila penderita diimobilisasi dengan spine board dan paraplegia, harus diduga adanya
ketidakstabilan tulang belakang dan perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk mengetahui letak dari
cedera tulang belakang. Bila penderita sadar, neurologis normal, tidak mengeluh adanya nyeri leher
atau nyeri pada tulang belakang, dan tidak terdapat nyeri tekan pada saat palpasi tulang belakang,
pemeriksaan radiologi tulang belakang dan imobilisasi tidak diperlukan.
Penderita yang menderita cedera multiple dan dalam keadaan koma harus tetap diimobilisasi pada
usungan dan dilakukan tindakan log roll untuk mengetahui fot yang diperlukan untuk menyingkirkan
adanya fraktur. Kemudian penderita dapat ditransfer secara hati-hati dengan menggunakan prosedur
tersebut di atas ke tempat tidur untuk bantuan ventilasi yang lebih baik.

Tindakan imobilisasi spinal dapat dilakukan pada dua kondisi, yaitu di lapangan (luar rumah sakit) atau
di rumah sakit. Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan imobilisasi spinal.
a. Di lapangan (pre hospital)
- Perlindungan tulang belakang secara manual harus segera dilakukan. Namun perlu diingat bahwa usaha
menyelamatkan nyawa harus tetap didahulukan daripada imobilisasi spinal.
- Jika leher tidak dalam posisi netral, maka harus diluruskan. Bila korban/pasien dalam keadaan sadar
maka ia diminta untuk meluruskan lehernya. Bila pasien tidak sadar, mengalami defisit neurologis,
merasa nyeri, atau ada tahanan pada saat digerakkan maka leher dibiarkan pada posisi seperti pada saat
ditemukan, tidak perlu diluruskan.
- Long spine board menjadi alat transportasi untuk memindahkan korban/pasien. Selain long spine
board, dapat juga digunakan vacuum mattres atau scoop stretcher.

b. Di rumah sakit
- Long spine board harus segera dilepas bila korban/pasien sudah berada di atas brankar yang keras.
Penggunaan long spine board jangka lama dapat menimbulkan trauma akibat tekanan.
- Imobilisasi penuh harus tetap dilakukan. Perlindungan manual harus kembali dilakukan bila imobilisasi
harus dilepas untuk melakukan pemeriksaan atau tindakan procedural seperti intubasi.
- Untuk memeriksa bagian punggung, digunakan metode log-roll di atas alas yang keras. Dibutuhkan
minimal empat orang untuk melakukan hal ini. Satu orang memegang kepala korban dan
mengkoordinasikan gerakan log-roll, sementara tiga orang lainnya menggulingkan dada, panggul, dan
tungkai bawah.
- Korban/pasien dengan kemungkinan agitasi atau syok, hipoksia, trauma kepala, atau intoksikasi
biasanya agak sulit untuk diimobilisasi dengan benar. Fiksasi yang kuat pada bagian kepala malah akan
menambah parah cedera tulang belakang pada pasien-pasien tersebut. Dalam hal ini, alat-alat
imobilisasi dapat dilepaskan dan pasien dibiarkan bergerak-gerak.
- Anestesi mungkin diperlukan untuk memudahkan proses mendiagnosa dan melakukan penatalaksanaan
medis.

2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 6 Blok XX FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Collar neck
4. Long spine board
5. Vacum mattres
6. Extrication device
7. Scoop Stretcher
8. Helm full face
3. Langkah Kerja
Prinsip Imobilisasi Spinal
1. Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak sehubungan dengan keadaan yang dialami.
2. Menjaga korban agar pernafasannya tetap stabil.
3. Menjaga agar posisi patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah.
4. Menjaga agar perdarahan tidak bertambah.
5. Menjaga agar tingkat kesadaran korban tidak jatuh pada keadaan yang lebih buruk lagi.

Prosedur Immobilisasi Spinal


12. Pasang Collar Neck pada leher korban/penderita.
13. Pasang Extrication device pada kepala dan tubuh korban/pasien yang terjepit di dalam mobil atau
reruntuhan.
14. Prinsip melakukan imobilisasi tulang & log roll
a. Dibutuhkan minimal empat orang untuk melakukan hal ini. Satu orang memegang kepala korban dan
mengkoordinasikan gerakan log-roll, sementara tiga orang lainnya menggulingkan dada, panggul,
dan tungkai bawah.
b. Perhatikan posisi tangan para penolong,tangan saling menyilang
c. Siapkan Long Spine Board dengan tali pengikat atau vacuum mattress pada situasi yang tidak
memungkinkan untuk membawa korban dengan long spine board atau scoop stretcher.
d. Posisikan kepala dan leher selalu dalam garis lurus (in line).
e. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan di samping badan.
f. Tungkai bawah diluruskan dalam posisi lurus,kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan
plester.
g. Melakukan gerakan Log Roll.
5. Pindahkan pasien/korban dengan Long Spine Board atau Scoop Stretcher.
6. Apabila pasien/korban mengalami trauma kepala/leher dalam keadaan menggunakan helm, maka helm
perlu dilepaskan dengan cara:
a. Cari tenaga bantuan, jangan sendirian menolong korban.
b. Melakukan gerakan log roll.
c. Posisikan korban dalam keadaan terlentang, penolong di posisi kepala tetap melakukan upaya
meluruskan kepala dan leher korban (in line).
d. Penolong di kepala mulai melepas helm, posisi menjaga kelurusan kepala dan leher digantikan oleh
penolong kedua.
e. Memasang collar neck pada leher korban/pasien.

Gambar 1. Cara memasang extrication device Gambar 2. Cara memasang collar neck
Sumber: www.spservices.co.uk Sumber:www.spineuniverse.com

Gambar 3. Long Spine Board Gambar 4. Scoop Stretcher


Sumber: www.hkfsd.gov.hk Sumber: www.medicalindustry.net

Gambar 5. Cara menggunakan vacuum mattress Gambar 6. Cara melakukan log roll
Sumber: www.mdimicrotek.com Sumber: www.ispub.com
LKK 7 BLOK 20: IMOBILISASI FRAKTUR DAN SENDI

A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan imobilisasi pada tulang yang fraktur.
a. Memasang bidai
2. Melakukan imobilisasi pada kondisi trauma sendi/otot.
a. Memasang bidai

B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Prinsip Imobilisasi
Membidai trauma ekstremitas bila tidak disertai masalah ancaman nyawa, bisa ditunda sampai secondary
survey. Setelah pemasangan bidai dan meluruskan fraktur harus dilakukan pemeriksaan status neurovaskular.
Fraktur tertentu dapat dipasang bidai khusus. PASG tidak dianjurkan sebagai bidai tungkai bawah, walaupun dapat
berguna sebagai bidai sementara pada perdarahan dengan ancaman nyawa pada fraktur pelvis atau pada trauma
ekstremitas bawah yang berat dengan kerusakan jaringan lunak. Pemasangan lama (lebih dari 2 jam) pada tungkai
penderita dengan hipotensi dapat menimbulkan sindroma kompartemen.
Long spine board digunakan untuk penderita trauma multipel dengan dugaan trauma spinal yang tidak
stabil, namun karena dasar yang keras apalagi bila dipakai tanpa bantalan dapat menimbulkan ulcus decubitus pada
oksiput, scapula, sacrum, dan tumit. Karena itu sesegera mungkin penderita dipindahkan secara hati-hati ke tempat
yang lebih lembut, dengan memakai scoop stretcher atau cara log rolling. Bila akan dirujuk, penderita harus
dilakukan imobilisasi penuh dengan cukup tenaga pendamping untuk membantu pemindahan penderita.
a. Fraktur Femur
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction splint ini menarik bagian
distal tungkai di atas kulit pergelangan kaki. Di proximal, traction splint didorong ke pangkal paha melalui
ring yang menekan bokong, perineum, dan pangkal paha. Tarikan yang berlebihan akan merusak kulit pada
kaki, ankle, pangkal paha, dan perineum. Gangguan neurovaskular terjadi karena tarikan saraf perifer.
Fraktur collum femoris dapat dilakukan imobilisasi dengan traction splint, tetapi lebih nyaman dengan traksi
kulit atau traksi sepatu busa dengan posisi lutut sedikit fleksi. Cara paling sederhana adalah membidai tungkai
yang trauma dengan tungkai sebelahnya.

Gambar 1. Traction splint


Sumber: www.roselandfirstaidsquad.org
d. Cedera lutut
Pemakaian bidai lutut atau long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai
tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh, melainkan dalam fleksi kurang lebih 10 derajat untuk
menghindari tekanan pada struktur neurovaskular.

Gambar 2. Long leg splint


Sumber: www.medicalgeek.com

e. Fraktur Tibia
Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. Jika
tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi tungkai bawah, lutut dan ankle.
f. Fraktur Ankle (pergelangan kaki)
Fraktur ankle diimobilisasi dengan bidai bantal atau karbon dengan bantalan, dengan demikian menghindari
tekanan pada daerah tulang yang menonjol.
g. Cedera lengan dan tangan
Tangan dapat dibidai sementara dalam posisi anatomis fungsional, dengan pergelangan tangan sedikit
dorsofleksi dan jari-jari fleksi 45˚ pada sendi metakarofalangeal. Posisi ini diperoleh dengan imobilisasi
dengan rol kasa dan bidai pendek.

Gambar 3. Macam-macam pembidaian dengan spalk


Sumber: www.kesehatandanpertolongan.blogspot.com

2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 7 Blok XX FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Spalk panjang
4. Spalk pendek
5. Elastic bandage ukuran 6 inchi
6. Elastic bandage ukuran 4 inchi
7. Kapas sebagai bantalan, yang diletakkan di sepanjang spalk
8. Soft band
9. Kassa gulung
10. Gips
11. Mitela
12. Arm sling
3. Langkah Kerja
Prinsip Imobilisasi Ekstremitas
1. Periksa ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, environment). Dahulukan penatalaksanaan
keadaan yang mengancam nyawa.
2. Buka semua pakaian, termasuk keempat ekstremitas harus terbuka. Lepaskan jam, cincin, kalung, dan
semua yang dapat menjepit. Namun jangan lupa untuk mencegah terjadinya hipotermia pada penderita.
3. Periksa keadaan neurovaskular ekstremitas sebelum memasang bidai. Periksa pulsasi perdarahan
eksternal yang harus dihentikan, dan periksa fungsi sensorik dan motorik dari ekstremitas. Pada
ekstremitas superior pemeriksaan pulsaso dilakukan di arteri radialis, sedangkan di ekstremitas inferior
di arteri dorsalis pedis.
4. Bila ada luka, tutup luka dengan balutan steril.
5. Pilih jenis dan ukuran bidai yang sesuai dengan ekstremitas yang trauma. Bidai harus mencakup sendi
di atas dan di bawah bagian ektremitas yang mengalami trauma.
6. Pasang bantalan di atas tonjolan tulang. Pada LKK ini, bantalan kapas telah dipasang di sepanjang spalk
dan dililit dengan kasa gulung.
7. Jika pulsasi distal ekstremitas dapat diraba, ekstremitas dibidai sesuai dengan posisi ekstremitas pada
saat ditemukan.
8. Jika pulsasi distal ekstremitas tidak dapat diraba, coba luruskan ekstremitas. Traksi secara hati-hati dan
pertahankan posisi ekstremitas sampai bidai terpasang. Bidai dipasang pada ekstremitas yang telah
lurus. Jika belum lurus, coba luruskan.
9. Jangan meluruskan secara paksa, jika mengalami kesulitan, pasang bidai pada posisi yang ditemukan.
10. Setelah selesai melakukan pembidaian, konsultasikan ke ahli orthopedi.
11. Catat status neurovascular sebelum dan setelah pemasangan bidai atau manipulasi
12. Berikan profilaksis tetanus pada kasus luka terbuka.

Meluruskan Deformitas

Pemeriksaan fisik dapat membedakan deformitas yang terjadi akibat dislokasi atau akibat fraktur. Prinsip
meluruskan ekstremitas yang patah adalah mengembalikan panjang ekstremitas secara hati-hati dengan
tarikan lurus, mengoreksi angulasi dan rotasi. Dengan mempertahankan ekstremitas secara manual, pasang
bidai dengan bantuan asisten.
1. Ekstremitas atas
a. Humerus
Pegang siku dan tarik ke bawah. setelah lengan lurus lalu bidai dipasang. Lengan dipertahankan
dengan elastic bandage ke dinding dada.
b. Lengan bawah
Tarik pergelangan tangan ke bawah dengan siku ditahan sebagai counter traksi. Bidai dipasang
dengan sling dan swath ke leher.

a) b)
Gambar a) Cara memasang sling dan swath manual, b) sling dan swath
langsung pakai
Sumber: www.adam.about.net, www.amazon.com

2. Ekstremitas Bawah
a. Femur
Luruskan femur dengan melakukan traksi di daerah ankle jika tibia dan fibula tidak fraktur.
Setelah spasme otot diatasi, tungkai diluruskan dan rotasi dikoreksi. Tindakan ini memerlukan
waktu beberapa menit tergantung dari besarnya tubuh penderita.
b. Tibia
Lakukan traksi di daerah ankle dan kontra traksi di atas lutut, dikerjakan bila femur utuh.

3. Gangguan Vaskular dan Neurologis


Fraktur disertai trauma neurovaskular perlu diluruskan dengan hati-hati. Konsultasi bedah segera
dikerjakan. Jika trauma neurovaskular bertambah setelah diluruskan dan dibidai, bidai dilepas dan
tungkai dikembalikan ke posisi semula dimana aliran darah dan status neurologi maksimal.
Ekstermitas diimobilisasi dalam posisi ini.

Anda mungkin juga menyukai