Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Praktek Kolaborasi Sejarah Indonesia – Sejarah
Peminatan – PPKN – Bahasa Inggris

Disusun oleh :

Fial Faida Assyifa

XII MIPA 4

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

DINAS PENDIDIKAN

SMA N 1 KALIWUNGU

2020/2021
PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Fial Faida Assyifa


SMA N 1 Kaliwungu

ABSTRAK

Perjuangan dalam memperjuangan kemerdekaan Indonesia diawali pada


tanggal 1 Maret 1945, panglima tentara Letnan Jenderal Kumakici Herada
mengumumkan pembentukan Dokuritzu Junbi Coosakai, Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tujuannya adalah untuk
mempelajari hal-hal penting yang berkaitan dengan tata pemerintahan Indonesia
merdeka. Kemudian setelah tugas BPUPKI selesai dibentuklah PPKI yang memiliki
peranan yang sangat penting, terutama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia yaitu
dalam Sidang PPKI I pada tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperoleh pengakuan
kedaulatan, Indonesia memakai dua jalan, yaitu perang fisik dan politik diplomasi.
Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Republik
Indonesia, selain negara-negara yang tergabung dalam Liga Negara-negara Arab yang
mengakui Indonesia pada tahun 1947 juga (Suryadinata, 1998). Usaha ini merupakan
kemenangan Indonesia di dunia internasional. Penerbitan buku-buku sastra yang
memakai berbagai corak bahasa Melayu, mulai dari yang disebut klassik sampai
pasaran dan kemudian sastra Indonesia modern langsung ataupun tidak ikut
mempengaruhi proses tumbuhnya rasa-hayat persatuan bangsa.

Kata Kunci : BPUPKI, PPKI, proklamasi

ii
DAFTAR ISI

ABSTRAK........................................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

KATA PENGANTAR....................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3

1. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia......................................................................3


2. Respon Dunia Internasional Terhadap Kemerdekaan Indonesia...........................8
3. Faktor Pendorong Dan Penghambat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.........12

BAB III PENUTUP.......................................................................................................17

1. Kesimpulan..........................................................................................................17
2. Saran....................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................19

LAMPIRAN...................................................................................................................20

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayahnya sehingga makalah yang berjudul “Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” sehingga
dapat terselesaikan dengan baik.

Saya mencoba berusaha Menyusun makalah ini sedemikian rupa dengan harapan
dapat membantu pembaca dalam memahami perjuangan bangsa Indonesia dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Disamping itu, saya berharap makalah ini dapat
dijadikan bekal pngetahuan untuk melangkah ke jenjang Pendidikan yang lebih tinggi. Saya
menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan sehingga saya
berharap saran dan kritik dari pembaca sekalian khususnya dari Bapak/Ibu guru agar dapat
meningkatkan mutu dalam penyajian makalah berikutnya.

Kendal, 14 Februari 2021

Penulis

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang telah merdeka. Namun dalam mencapai
kemerdekaannya, Indonesia tidak serta-merta mendapatkannya dengan mudah.
Indonesia telah mengalami berbagai macam penjajahan untuk mendapatkan
kesempatan menjadi negara yang mandiri sehingga Indonesia bisa terbebas dari
ancaman negara lain.
Penjajahan yang dilakukan negara lain kepada Indonesia telah terjadi berulang
kali. Penjajahan itu dilakukan oleh negara yang berbeda, ancaman yang berbeda serta
sistem penjajahan yang berbeda. Untuk dapat bertahan merdeka seperti yang
Indonesia lakukan selama ini maka Indonesia harus melawan segala macam
penjajahan yang ada walau sampai detik inipun Indonesia juga harus tetap melakukan
pertahanan terhadap negara Indonesia.
Melawan penjajah yang berulang kali mencoba menaklukkan Indonesia
bukanlah hal yang mudah. Setiap negara yang silih berganti menundukkan kaki
bangsa Indonesia melakukan segala hal yang berbeda dengan sistem penjajahan yang
mereka lakukan. Sejarah mengatakan bahwa para pencetus kemerdekaan Indonesia
juga berusaha memenangkan penjajahan dengan strategi tertentu sesuai dengan apa
yang telah dilancarkan oleh penjajah asing itu tersendiri. Sistem penjajahan yang
dilakukan oleh bangsa asing kepada negara Indonesia dapat ditelaah sejak berabad
yang lalu bahkan sampai pada detik ini.
Sistem penjajahan yang pertama kali diceritakan oleh ilmuwan sejarah tentang
usaha kemerdekaan Indonesia merupakan era kolonialisme dari bangsa Eropa seperti
Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang. Sedangkan sampai saat inipun
Indonesia juga terus berusaha mencapai kemerdekaan dalam hal mempertahankan
kemerdekaannya dari berbagai sistem penjajahan yang berunsur ekonomi maupun
politik.
Untuk bisa tetap memenangkan segala ancaman maka hal yang paling utama
adalah kita mengetahui strategi yang dilancarkan oleh pihak lawan. Begitupun yang
dilakukan oleh negara Indonesia dalam menjaga kesinambungan eksistensinya maka
diharuskan bagi seluruh bangsa Indonesia mengetahui ancaman yang pada zaman
dahulu pernah terjadi dan ancaman yang sedang juga akan terjadi menimpa bangsa

1
Indonesia. Dari latar belakang diatas, maka dalam makalah ini penulis akan
membahas mengenai “Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia?
2. Bagaimana respon dunia Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia?
3. Bagaimana faktor pendorong dan penghambat proklamasi kemerdekaan
Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perjuangan kemerdekaan Indonesia.
2. Untuk mengetahui respon dunia Internasional terhadap kemerdekaan Indonesia.
3. Untuk mengetahui factor pendorong dan penghambat proklamasi kemerdekaan
Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia


Sebagai realisasi dari janji kemerdekaan yang telah diumumkan oleh Perdana
Menteri Koiso maka pada tanggal 1 Maret 1945, panglima tentara Letnan Jenderal
Kumakici Herada mengumumkan pembentukan Dokuritzu Junbi Coosakai, Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tujuannya
adalah untuk mempelajari hal-hal penting yang berkaitan dengan tata pemerintahan
Indonesia merdeka. Anggota BPUPKI sebanyak 67 orang, terdiri dari 60 orang
Indonesia dan 7 orang Jepang. BPUPKI diketuai oleh KRT. Radjiman Widyodiningrat
yang dibantu oleh dua orang wakil ketua yaitu R.P. Soeroso dan Ichibhangase.
BPUPKI mempersiapkan pemerintahan di Indonesia melalui sidang. Sidang dilakukan
dua kali, yang manghasilkan keputusan sebagai berikut.

1. Sidang BPUPKI I (29 Mei - Juni 1945)

Sidang BPUPKI membahas dasar negara yang akan digunakan apabila


Indonesia Merdeka. Dalam sidang ini, tiga tokoh berikut mengusulkan dasar
negara.

a. Mr. Muh. Yamin (29 Mei 1945) mengusulkan rumusan dasar negara secara
lisan, usulannya berupa :

1) peri kebangsaan
2) peri kemanusiaan
3) peri ketuhanan
4) peri kerakyatan,
5) kesejahteraan rakyat.
Usulan Mr. Muh. Yamin tersebut akhirnya disampaikan secara tertulis dengan
rumusan berikut ini.
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia
3) Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

3
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan

5) Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia


b. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945) mengusulkan rumusan dasar negara,
usulannya berupa :

1) persatuan,
2) kekeluargaan,
3) keseimbangan lahir dan batin,
4) musyawarah, keadilan rakyat
c. Ir. Soekarno (1 Juni 1945) mengusulkan lima dasar negara Indonesia
merdeka berupa :

1) kebangsaan Indonesia
2) internasionlisme atau peri kemanusiaan
3) mufakat atau demokrasi
4) kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan Yang Maha Esa

Atas usulan ahli bahasa, dasar negara Indonesia yang diusulkan Ir. Soekarno
diberi nama “Pancasila”. Nama Pancasila akhirnya disepakati menjadi nama yang
digunakan untuk menyebut Dasar Negara Indonesia, sehingga setiap tanggal 1 Juni
diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Rumusan Pancasila yang dihasilkan dalam
sidang BPUPKI I dibahas oleh tim kecil yang dibentuk 22 Juni 1945. Tim tersebut
beranggotakan Sembilan orang sehingga diberi nama Panitia Sembilan. Anggotanya
terdiri dari Ir. Soekarno (ketua), Drs. Moh. Hatta (wakil ketua), Mr. Muh. Yamin,
Achmad Soebardjo, Mr. A.A. Marimis, Abdul Kahar Muzakar, Wachid Hasyim,
H. Agus Salim, dan Abikoesno Tjokrosuroso. Panitia Sembilan dalam sidangnya
tanggal 22 Juni 1945 menghasilkan Piagam Jakarta yang berisi rumusan dasar negara
ini.

4
Gambar 1. Sidang BPUPKI pertama
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang Adil da beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Sidang BPUPKI II (10 Juli – 16 Juli 1945)

Sidang BPUPKI II berhasil membentuk panitia yang bertugas untuk melanjutkan


persiapan pembentukan pemerintah Indonesia, panitia yang dibentuk yaitu:

a) panitia perancang Undang-Undang Dasar, diketuai oleh Ir. Soekarno,


b) panitia pembela tanah air, diketuai oleh Abikoesno,
c) panitia keuangan dan perekonomian, diketuai oleh Drs. Moh. Hatta.
Panitia Perancang UUD, dalam menyusun UUD, membentuk panitia kecil
yang dipimpin oleh Prof. Dr. Soepomo. Tim kecil ini mengusulkan konsep UUD
yang diambil dari Piagam Jakarta. Pada tanggal 13 Juli 1945 panitia perancang
UUD mengadakan sidang untuk mendengarkan laporan dari tim kecil penyusun
UUD. Selanjutnya, dalam rapat pleno BPUPKI pada 14 Juli 1945 Panitia
Perancang UUD diwakili oleh Ir. Soekarno selaku ketua, menyampaikan
laporan tentang pernyataan Indonesia Merdeka, pembukaan UUD, dan batang
tubuh dalam UUD. Rumusan UUD diicarakan kembali dalam sidang paripurna,
lalu sidang menerima menjadi UUD di Indonesia dengan nama UUD 1945. Saat
perumusan Piagam Jakarta menjadi pembukaan UUD diadakan perubahan
mengenai sila pertama, menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pemerintah Jepang pada tanggl 7 Agustus 1945 membubarkan BPUPKI


dengan alasan badan ini terlalu cepat dalam mempersiapkan kemerdekaan

5
Indonesia. Sebagai pengganti BPUPKI, maka dibentuklah Dokuritzu Junbi Inkai
atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI terdiri dari 21
orang yang merupakan wakil dari seluruh Indonesia. Ir. Soekarno (ketua), dan
Drs. Moh. Hatta (wakil ketua). Selanjutnya, tanpa ijin dari pemerintah Jepang
keanggotaan PPKI ditambah 7 sehingga menjadi 28 orang. Dengan demikian ,
PPKI secara tidak langsung telah diambil alih oleh pimpinan bangsa Indonesia
dari badan bentukan Jepang menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia.

PPKI memiliki peranan yang sangat penting, terutama setelah proklamasi


kemerdekaan Indonesia yaitu dalam Sidang PPKI I pada tanggal 18 Agustus
1945. Sidang tersebut menetapkan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar yang
digunakan di Indonesia, mengangkat Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai
presiden dan wakil presiden, dan membentuk KNIP sebagai pembantu presiden
dalam menetapkan GBHN sebelum lembaga- lembaga negara yang lain resmi
dibentuk. Dengan demikian, PPKI memiliki fungsi sebagai wakil rakyat.

3. Perumusan Naskah Proklamasi

Menyerahnya Jepang kepada Sekutu tidak disampaikan pada bangsa


Indonesia, sehingga penyerahaan ini tidak banyak diketahui oleh rakyat Inonesia.
Berita kekalahan Jepang yang terdengar oleh pemuda Bandung melalui siaran
berita BBC London disebarkan kepada satuan pemuda dan anggota PETA di
Jakarta. Setelah mendengar berita tersebut, para pemuda di Jakarta mengadakan
rapat di Laboraturium Mikrobiologi yang dipimpin oleh Khaerul Saleh.

Rapat tersebut memutuskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak


rakyat Indonesia sendiri, tidak dapat digantungkan pada bangsa lain atau kerajaan
lain, terutama Jepang. Oleh sebab itu, mereka mendesak agar Soekarno-Hatta
memutuskan hubungan dengan Jepang dan secepatnya memproklamasikan
kemerdekaan. Para pemuda mengutus Darwis dan Wikana untuk menyampaikan
usulannya pada Soekarno-Hatta. Usulan para pemuda mengenai kemerdekaan
Indonesia adalah hak dan urusan bangsa Indonesia sendiri disampaikan pada
Soekarno-Hatta, sebagai wakil golongan tua. Golongan pemuda mendesak agar
proklamasi kemerdekaan segera dilaksanakan diluar PPKI, tetapi usula ini ditolak
oleh Soekarno-Hatta. Menurut Soekarno, apa yang diusulkan oleh para pemuda
tidak bisa dipertnggungjawabkan. Golongan tua berpendapat bahwa kemerdekaan

6
Golongan tua berpendapat bahwa kemerdekaan harus dibicarakan memalui
sidang PPKI, bahkan Moh. Hatta dalam dialognya dengan Ahmad Soebarjo
mengatakan “Masalah kemerdekaan Indonesia datangnya dari pemerintah Jepang
atau atas perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidak menjadi masalah karena
Jepang sudah kalah”. Karena tidak terjadi kesepakatan antara golongan tua dan
golongan muda, golongan muda membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok,
peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.

Gambar 2. Peristiwa Rengasdengklok

Dalam peristiwa Rengasdengklok, Soekarno-Hatta dibawa oleh golongan


muda yang terdiri dari Soekarni, Jusuf Koento, dan Cudanco Singgih pada dini
hari tanggal 16 Agustus 1945 dengan alasan mengamankan Soekarno-Hatta dari
pengaruh Jepang. Di Rengasdengklok terjadi perdebatan cukup sengit mengenai
kemerdekaan, Namun, sikap Soekarno- Hatta berubah setelah Acmad Seobarjo
datang dan menyakinkan bahwa Jepang memang sudah menyerah kalah kepada
sekutu. Soekarno-Hatta akhirnya berjanji bahwa secepatnya akan
memerdekakan Indonesia tanpa menunggu izin dari pemerintah Jepang. Setelah
itu, dengan Achmad Soebarjo sebagai jaminannya, Soekarno-Hatta pada 16
Agustus 1945 menjelang malam hari dibawa pulang ke Jakarta untuk
mempersiapkan proklamasi kemerdekaan. Setibanya di Jakarta, Soekarno-Hatta
dibawa ke rumah Laksmana Muda Tadashi Maeda, seorang perwakilan
Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Di rumah Laksmana Maeda sudah berkumpul
anggota PPKI dan pemimpin Gerakan Pemuda yang sudah siap membahas
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Persiapan proklamasi kemerdekaan
diadakan di rumah Laksmana Maeda karena untuk menghindari kecurigaan
tentara Jepang.
Setelah kembali dari Rengasdengklok, Soekarno segera menemui Laksmana
Maeda yang bersimpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Laksmana Maeda
mengizinkan rumahnya untuk dijadikan tempat penyusunan naskah proklamasi.
Sebelum pertemuan diadakan, Soekarno-Hatta menemui Mayjen Nisyimura untuk

7
mengetahui sikap pemerintah Jepang mengenai proklamasi kemerdekaan. Setelah
menyerah kepada Sekutu, ternyata Jepang bertugas menjaga kekosongan (status
quo) di Indonesia yang akan diserahkan kepada Sekutu. Sikap itulah yang
mengakibatkan Soekarno-Hatta sepakat akan memproklamasikan kemerdekaan,
terlepas dari pengaruh Jepang. Penyusunan naskah proklamasi selesai pada 17
Agutus 1945 pukul 04.00 WIB naskah tersebut ditulis tangan oleh Ir. Soekarno
setelah itu dibacakan dihadapan pemimpin bangsa Indonesia yang hadir waktu
itu. Setelah selesai pembacaan, seluruh peserta yang hadir disarankan ikut
menanda-tanganinya, tetapi Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi hanya
ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Akhirnya, usul tersebut diterima oleh semua pihak.

Gambar 3. Rumah laksamana Maeda perumusan naskah proklamasi

2. Respon Dunia Internasional terhadap Kemerdekaan Indonesia


Pada masa awal kemerdekaan, pengakuan kedaulatan adalah hal yang sangat
sulit untuk didapatkan (Budiardjo, 2003). Untuk memperoleh pengakuan kedaulatan,
Indonesia memakai dua jalan, yaitu perang fisik dan politik diplomasi. Salah satu
pendiri negeri yang banyak berkontribusi dalam mendapatkan pengakuan kedaulatan
lewat politik diplomasi adalah Haji Agus Salim.
Satu hal yang menarik dari Haji Agus Salim, ia bukanlah orang yang tumbuh
dalam didikan pesantren, tetapi dalam alur perjuangannya di masa mendatang, ia
menjadi salah satu tokoh penting dalam organisasi Islam. Hal ini terjadi ketika Haji
Agus Salim bekerja di Jeddah sebagai penerjemah pada tahun 1906. Disini ia bertemu
dengan Syekh Ahmad Khatib, salah seorang pelopor ulama pembaharu di
Minangkabau. Haji Agus Salim sering mengadakan diskusi dengan Syekh Ahmad

8
Khatib mengenai berbagai masalah agama Islam Sekembalinya dari Saudi Arabia
(1911), Haji Agus Salim banyak mengalami perubahan. Dalam sejarah hidupnya, Haji
Agus Salim tidak saja dikenal sebagai pemimpin yang hidup sederhana, politikus,
wartawan dan pengarang, tetapi seorang ulama dan diplomat yang ulung.
Kemahirannya dalam bidang diplomasi, membuatnya memulai karir politiknya dalam
bidang politik diplomasi sebagai Menteri Muda Luar Negeri (Suhatno et al, 1995).
Pada awal kemerdekaan Indonesia, politik diplomasi diperlukan karena
banyak negara di dunia yang tidak mengetahui jika Indonesia telah merdeka. Hal ini
dikarenakan berita-berita Indonesia, masih kalah bersaing dengan beritaberita yang
disiarkan Belanda di forum-forum internasional. Pada kurun waktu 1947, telah
dilaksanakan begitu banyak usaha politik diplomasi. Berkaitan dengan hal tersebut,
Haji Agus Salim menempati kedudukan yang penting.
Haji Agus Salim sebagai pimpinan delegasi diplomat Republik Indonesia,
menghadiri Konferensi Antar Asia di Delhi pada bulan Maret tahun 1947. Misi
diplomatik yang dibawanya yaitu berusaha untuk memperoleh pengakuan kedaulatan
dan dukungan dari negara-negara di Asia. Haji Agus Salim menggunakan dua cara
dalam misi diplomatiknya ini. Pertama, cara penghimbauan, permohonan untuk
pengertian dan simpati negara-negara di Asia, dan kedua, dengan cara
membentangkan keuntungan yang didapat jika negara-negara di Asia mau mengakui
kedaulatan Indonesia.
Setelah menghadiri Konferensi Antara Asia di Delhi, misi diplomatik RI
dilanjutkan dengan kunjungan diplomatik menuju negeri-negeri Arab, seperti ke
Mesir, Siria, Yaman, Irak, Arab Saudi, Lebanon dan juga ke Afganistan. Kunjungan
diplomatik Haji Agus Salim ini adalah merupakan strategi dalam mencari dukungan
ke negara-negara Islam, karena Indonesia dan negara-negara Arab ini mempunyai
kesamaan, yaitu penduduknya mayoritas beragama Islam. Sebagai duta keliling RI,
Haji Agus Salim berbicara tentang perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaannya (Kutojo dan Safwan, 1974).
Pengakuan Mesir secara de facto dan de jure terhadap kemerdekaan dan
kedaulatan Indonesia pada tahun 1947 adalah salah satu bukti kemahiran Haji Agus
Salim dalam berdiplomasi. Hingga saat ini, Mesir tercatat sebagai negara pertama di
dunia yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, selain negara-negara yang
tergabung dalam Liga Negara-negara Arab yang mengakui Indonesia pada tahun 1947

9
juga (Suryadinata, 1998). Usaha ini merupakan kemenangan Indonesia di dunia
internasional.
Sebelum 17 Agustus 1945, warga Australia mengenal wilayah kepulauan di
sebelah utara benua itu dengan nama Hindia Belanda atau Netherland East Indies.
Setelah proklamasi dibacakan, maka barulah Australia mengenal tetangganya dengan
nama Indonesia. Segera setelah negara baru ini diproklamirkan, Australia langsung
menyusun langkah-langkah untuk mengakui kedaulatan negara tetangga
terdekatnya.Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno-
Hatta langsung menarik perhatian dunia.Peristiwa tersebut menjadi bentuk
perlawanan pertama kali dari sebuah negara jajahan yang ingin merdeka.Australia,
yang saat itu bersekutu dengan Belanda, terpaksa membuat kebijakan baru soal
hubungannya dengan Indonesia.
Terlebih sebelumnya Australia hanya mengutamakan hubungan politik dan
ekonomi dengan Inggris.Sejarah mencatat Belanda telah berulang kali mencoba
melakukan agresi militer untuk merebut kembali kekuasaannya di Indonesia.Beberapa
tokoh nasionalis Indonesia, termasuk yang sedang berada di Australia, mencoba
melobi pemerintah Australia. Sementara di pihak Australia, untuk menunjukkan
solidaritasnya, sekitar 4.000 pekerja kelautan bekerjasama dengan pelaut Indonesia
melancarkan aksi pemogokan dengan menolak bongkar muat kapal-kapal yang
membawa persenjataan milik Belanda. Pada 1945, Sutan Sjahrir pernah memberikan
pidato untuk warga Australia.Sjahrir menyatakan Australia sebagai 'teman', dengan
merujuk pada pengalaman kedua negara dalam perang Pasifik melawan
Jepang.Sjahrir juga mengakui kesuksesan Australia yang berhasil memukul mundur
pasukan Jepang dari sejumlah kawasan di Pasifik.
Dalam pidatonya, Sjahrir juga berjanji Indonesia yang merdeka akan selalu
membantu membela kedaulatan Australia. Inilah, yang menurut saksi sejarah Joe
Isaac sebagai tonggak awal hubungan antara Indonesia dan Australia.Professor Joe
Isaac pernah menjadi asisten pribadi William Macmahon Ball, seorang dosen senior
ilmu politik di Universitas of Melbourne.Pasca-proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia, Macmahon Ball dipercaya memimpin delegasi Australia ke Indonesia.Joe
yang saat itu menjadi asisten dosen di jurusan ekonomi Universitas of Melbourne
terpilih mendampingi Macmahon Bell karena bisa berbahasa Belanda dan
Indonesia.Joe juga pernah menulis hubungan perdagangan Australia dan Hindia
Belanda untuk tesisnya."Delegasi Australia bertemu Soekarno dan kabinetnya,

10
khususnya (Sutan) Sjahrir, perdana menteri saat itu, menjadi awal penting dalam
hubungan diplomatik kedua negara," kata Profesor Joe. Salah satu permintaan yang
diajukan PM Sjahrir adalah meminta masukan soal apa yang bisa dilakukan Australia
untuk bisa menyelesaikan masalah dengan pemerintah Belanda. "Australia memiliki
peranan penting untuk memfasilitasi konsiliasi, bahkan ada permintaan untuk
membantu dan mengatur perdamaian disana," jelas Profesor Joe.
Bangsa India dan bangsa Indonesia sama-sama pernah dijajah oleh bangsa
asing.India dijajah oleh Inggris dan Indonesia dijajah oleh Belanda Inggris dan
Jepang. Sebagai bangsa yang sama-sama menentang penjajahan, terjalin rasa yang
sama, senasib, dan sependeritaan. Oleh karena itu ketika pemerintah dan rakyat India
mengalami bahaya kelaparan pemerintah Indonesia menawarkan bantuan berupa padi
500.000 ton. Peristiwa tersebut terkenal dengan india rice. India rice selain untuk
memberikan bantuan kepada India yang sedang dilanda kelaparan, juga merupakan
cara dari pemerintah untuk mendapatkan dukungan dari negara lain.
Perjanjian bantuan Indonesia kepada India ditandatangani oleh Perdana
Menteri Sjahrir dan K.L. Punjabi, wakil pemerintah India (18 Mei 1946) Kesepakatan
ini sebenarnya ialah barter antara Indonesia dengan India. Hal ini terbukti dari
dikirimkannya obat-obatan ke Indonesia oleh India untuk membalas bantuan
Indonesia.Hal ini juga dimaksudkan untuk menembus blokade yang dilakukan
Belanda terhadap Indonesia.
Penyerahan padi ini dilakukan pada tanggal 20 Agustus 1946 d Probolinggo
Jawa Timur, yang kemudian diangkut ke India dengan kapal laut yang disediakan
oleh pemerintah India sendiri. Diplomasi beras in sebenarnya ditentang oleh Belanda,
karena gaung yang ditimbulkan menyebabkan Indonesia semakin mendapat simpati
dari negara lain.
Ketika Jenderal Spoor melakukan Agresi Belanda ke-II tanggal 19 Desember
1948, India merupakan salah satu negara yang mengkutuk tindakan Belanda tersebut.
Reaksi keras itu diwujudkan dalam penyelenggaraan Konferensi Asia di New Delhi
atas prakarsa Perdana Menteri India, Pandit Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri
Birma U Aung San. Konferensi ini dihadiri oleh negara-negara asia, seperti: Pakistan,
Afganistan, Sri Lanka,Nepal, Libanon, Siria, dan Irak. Delegasi Afrika berasal dari
Mesir dan Ethiopia.Konferensi ini juga dihadiri utusan dari Australia, sedang
Indonesia dalam ini diwakili oleh Dr. Sudarsono.

11
Konferensi Asia di New Delhi ini dilaksanakan selama empat hari, mulai dari
tanggal 20 sampai dengan tanggal 25 Januari 1949. Resolusi yang dihasilkan
mengenai masalah Indonesia adalah sebagai berikut: pengembalian pemerintah
Republik Indonesia ke Yogyakartapembentukan Pemerintah ad interim yang
mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret
1949penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesiapenyerahan kedaulatan kepada
pemerintah Indonesia Serikat paling lambat 1 Januari 1950.

3. Faktor Pendorong Dan Penghambat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Sejak awal September Bandung, Semarang dan Surabaya telah harus
menghadapi kenyataan bahwa hasrat akan kemerdekaan bangsa adalah pula undangan
untuk terlibat dalam konflik yang keras. Hasrat kemerdekaan ternyata tidak bisa
berhenti hanya dengan coretan revolusioner di dinding-dinding gedung tetapi harus
pula menghadapi konflik berdarah, “demi kemerdekaan bangsa”.  Mula-mula bisa-
jadi dengan bala tentara Jepang, yang memang diharuskan oleh kekuatan yang
menang perang untuk bertanggung-jawab atas keamanan dan menjaga
persenjataan (seperti halnya pertempuran besar di Semarang).
Kemudian dengan tentara Sekutu, sang pemenang, yang ternyata telah
membawa goncengan, para pejabat dan tentara NICA. Maka mestikah diherankan
kalau sampai kinipun insiden-insiden kecil di Surabaya, yang mencapai klimaks yang
teramat dahsyat pada tanggal “10 November” masih  tercekam  di lubuk hati bangsa.
Di tengah –tengah pekikan “Allahu Akbar “ dan seruan “Berontak” dari Bung Tomo
ribuan anak bangsa tampil ke medan pertempuran. Entah berapa ribu jumlah mereka
yang tewas dan entah ratus pula yang harus merintih karena luka yang parah. Maka
ketika akhirnya   Belanda menanggalkan kedok NICA –nya seluruh wilayah tanah
air telah berada dalam suasana konflik yang keras. Ketika hal itu telah terjadi seluruh
wilayah tanah air telah menjadi tebaran   dari “Surabaya-Surabaya” kecil.    Mestikah
kini diherankan kalau hampir  semua kota  mempunyai  “makam pahlawan”?
Jauh atau dekat   jarak dari Jakarta hanyalah masalah waktu yang tidak
selamanya  menjadi faktor penentu dari corak reaksi masyarakat  terhadap berita
Proklamasi. Tetapi memang seketika   berita itu telah sampai keragaman pengalaman
dalam pergerakan kebangsaan dan corak kepemimpinan ikut menentukan bentuk
reaksi terhadap berita tentang “kemerdekaan bangsa” yang mengejutkan tetapi yang
juga dinanti-nanti itu.

12
Ketika semua konflik bersenjata sudah dianggap berakhir dan di saat
kemerdekaan  bangsa telah pula  menjadi realitas yang tidak  terpungkiri, maka di
waktu  itulah pula  pengalaman yang telah dilalui   bisa direnungkan. Ketika
perenungan ini telah dilakukan, terasalah  betapa kesejajaran pengalaman sejarah dari
beberapa daerah bisa  terjadi dalam suasana yang serba tak menentu. Tampaklah
bahwa daerah yang pernah mengalami kegairahan dalam pergerakan kebangsaan di
masa kolonialisme Belanda adalah pula daerah yang paling cepat bergerak dalam
menyambut kemerdekaan dan tidak kurang pentingnya daerah yang paling mudah
pula tergelincir pada konflik internal.
Pengalaman yang keras  kadang-kadang bisa juga  memancing perdebatan
yang keras  di saat   pola pertahanan bangsa hendak dirumuskan. Tingkat keterlibatan
masyarakat dan corak pengalaman dalam pergerakan kebangsaan yang semakin
menaik sejak awal 1920-an dan mengalami tekanan politik rust en orde  yang teramat
konservatif sejak pertengahan tahun 1930-an, boleh dikatakan  sebagai faktor yang
ikut menentukan corak situasi perlawanan ketika tantangan kemerdekaan tekah
datang.  Keragaman ideologi yang sempat dialami tidak pula jarang tampil sebagai
pendorong corak dan intensitas aktivitas perjuangan dan tingakt keberhasilan dalam
penggalangan  semangat revolusi. Begitu halnya di tingkat daerah dan demikian pula
di pusat pemerintahan Republik Indonesia.
Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangan, yang bersemboyan berunding
berdasarkan pengakuan “100 per sen kemerdekaan” mungkin tidak berhasil
menjatuhkan Perdana Menteri Sjahrir, yang didukung Sukarno-Hatta, tetapi
pengaruhnya menyebabkan penggantian gubernur harus dilakukan di Sumatra Barat.
Tidaklah terlalu mengherankan kalau suasana politik internal bangsa di daerah
keresidenan Sumatra Barat adalah pula refleksi dari suasana ibukota Republik
Indonesia, yang sejak awal Januari, 1946 telah pindah ke Yogyakarta.
Corak dari suasana revolusioner dan bahkan tingkat perbenturan politik
internal ketika musuh akan atau  bahkan sedang dihadapi ternyata  dipengaruhi  oleh
tingkat keterlibatan  pemuda dalam berbagai organisasi mula-mula bersifat pertahanan
sipil  demi “Asia Timur Raya”, kemudian semakin bercorak kemiliteran murni.
Hampir tanpa kecuali pemuda adalah golongan masyarakat yang paling awal
memberikan reaksi pada berita politik yang diterima. Begitulah halnya ketika berita
kekalahan Jepang diterima dan terlebih lagi ketika kabar Proklamasi Kemerdekaan
telah pula diketahui. Tetapi tanpa kecuali para pemuda lebih suka mempercayakan

13
kepemimpinan adminsitratif pada para tokoh daerah yang telah punya nama.  Ada
kalanya, memang, semangat perjuangan harus mengalah pada kearifan. Seketika
semangat yang menggebu-gebu didampingi oleh kesabaran yang telah mengendur
maka tidak jarang  konflik sosial  yang  berdarah  seakan-akan tampail sebagai suatu
keharusan revolusi. Maka mestikah diherankan kalau kata “pemuda” dalam tradisi
kebahasaan Indonesia dengan begitu saja telah pula dirasakan sebagai sinonim dengan
kata ”revolusioner”? Tidaklah pula terlalu sukar untuk memahami mengapa pemuda
adalah pula golongan sosial yang pertama menjadi korban revolusi, meskipun tidak di
medan pertempuran dan bukan pula ketika tentara kolonial telah melakukan agresi.
Faktor ketiga yang ikut menentukan irama revolusi nasional—di samping
pengalaman dalam pergerakan politik kebangsaan dan keterlibatan  pemuda dalam
berbagai corak organisasi–  ialah pengalaman serta keluasan dari penyebaran
kebudayaan-cetak ( print-culture),baik surat kabar ataupun majalah, di kalangan
masyarakat.  Keterlibatan yang relatif lebih awal dan intens dari masyarakat Sumatra
Barat dalam gejolak dinamika revolusi dibandingkan dengan wilayah lain di
Sumatra atau bahkan Indonesia umumnya antara lain dipengaruhi oleh kedua hal ini.
Sejak akhir abad 19 dan semakin menaik pada awal abad 20 dan apalagi setelah
Sumatra Barat berada dalam suasana perdebatan intelektual dan agama yang intens
sejak tahun 1910-an, surat kabar dan organisasi sukarela memainkan peran sosial
yang semakin penting. Kebudayaan cetak bukan saja merelatifkan jarak geografis dan
waktu tetapi juga memungkinkan terjadinya penyampaian berita dan pemikiran tanpa
hambatan yang berarti.  Karena itu bisa jugalah dimaklumi kalau kemudian – sebelum
Sumatra dibagi atas tiga propinsi Gubernur Sumatra menjadikan kota Bukittinggi
sebagai pusat kegiatan.
Di samping ketiga hal ini faktor tingkat penyebaran pendidikan modern dan
keluasan daya jangkau pemakaian bahasa Indonesia di kota-kota tentu tidak pula bisa
dilupakan.  Penerbitan buku-buku sastra yang memakai berbagai corak bahasa
Melayu, mulai dari yang disebut klassik sampai pasaran dan kemudian sastra
Indonesia modern langsung ataupun tidak ikut mempengaruhi proses tumbuhnya rasa-
hayat persatuan bangsa.  Demikian pula halnya dengan pendidikan modern. Bukankah
semua pemimpin pergerakan kebangsaan, baik lokal dan, apalagi, nasional, adalah
hasil pendidikan modern, apapun mungkin kecenderungan ideologi politik
dan orientasi kultural mereka? Rasa hayat nasionalisme mereka tumbuh di saat
mereka mulai merasakan  ketidak-pantasan kultural dalam konteks “Hindia Belanda” .

14
Jika saja Indonesia Menggugat/ Indonesia klaagt aan (1930) pidato pledoi Bung
Karno di pengadilan Bandung dan Indonesia Merdeka/Indonesia Vrij (1928) pidato
pembelaan Bung Hatta di pengadilan Den Haag   sempat dibaca maka tampaklah
betapa pelajaran sejarah yang bersifat Neerlando-sentris yaitu uraian kesejarahan
yang menyepelekan kehadiran anak bangsa adalah kecenderungan akademis yang
dengan keras menggugah kesadaran mereka.  Tetapi jika sekiranya pengalaman yang
dilalui daerah-daerah di masa awal revolusi diperhatikan maka tampaklah pula betapa
corak dan bahkan intensitas pergerakan kebangsaan dan gelora revolusi yang  mereka
alami dipengaruhi oleh pengetahuan akan kesamaan nasib sebangsa  dan ingatan
kolektif tentang hubungan dengan daerah dan suku-bangsa lain.
Kalau di Jawa pada suasana tingkat nasional, tetapi di daerah luar Jawa
pengaruh dari “faktor yang lain” ini tidak bisa dianggap enteng.  Di samping bahasa
Indonesia dan tingkat keterlibatan dalam berbagai corak organisasi-massa dan
sebagainya ternyatalah “faktor yang lain” ini, yaitu kehadiran dan aktivitas para
perantau mereka yang berasal dari daerah lain mempunyai dampak yang cukup
penting juga. Bukan saja ide ke-Indonesia-an dengan serta merta bisa saja meniadakan
atau setidaknya memperkecil rasa keterasingan, kehadiran mereka bisa juga dirasakan
sebagai rantai penghubung dengan daerah lain. Karena itulah nyaris tanpa kecuali
setiap daerah menjadikan intelektual perantau sebagai bagian dalam sistem
kepemimpinan. Bahkan di beberapa daerah  ada juga di antara para perantau yang
telah  merasakan diri dan dirasakan masyarakat  sebagai “putra daerah” tampil sebagai
pemimpin utama. Konflik kepemimpinan internal sedaerah yang tidak terselesaikan
tidak jarang memberi kesempatan bagi perantau ini untuk ditampilkan sebagai
pemimpin dan sekali gus sebagai faktor penengah.
Maka ternyatalah revolusi nasional adalah pula masa ketika segala faktor
pendukung yang telah disebut di atas saling menemukan. Intensitas pertemuan ini
semakin menaik sejalan dengan tingkat dan corak ancaman, baik dari luar, bahkan
maupun dari dalam,  telah harus dihadapi. Dalam sistem kenangan  bangsa  revolusi
nasional adalah  masa ketika cita-cita luhur  yang telah sekian lama dipupuk ingin
diwujudkan tanpa kompromi dalam realitas kesekarangan.Kesemuanya terangkul
dalam kesatuan ingatan kesejarahan yang bersifat romantis dan membanggakan.Jadi
bisa jugalah dipahami kalau Presiden Sukarno lebih dulu memperkenalkan sistem
wacana , discourse, yang memantulklan suasana serba-revolusioner sebelum
akhirnya   memperkenalkan sistem pemerintahan yang disebutnya “ Demokrasi

15
Terpimpin” . Hanya saja jika rentetan peristiwa yang telah menciptakan suatu
gambaran dari realitas sejarah hendak dikaji lagi maka tampaklah betapa di masa
revolusi nasional itu Indonesia hanya dipersatukan oleh hasrat nasionalisme—suattu
hasrat   yang ternyata  tidak pula selamanya dibimbing oleh impian yang sama dan
harapan yang sejalan. Nasib yang dialami Sumatra dan Jawa (dan Madura) di masa
revolusi  ternyata berbeda  dengan daerah-daerah  lain di persada tanah air ini.
Belum sempat penduduk di daerah-daerah di belahan Timur kepulauan
Indonesia menyadari terjadinya peristiwa historis yang telah sekian lama dinyanyikan
para nasionalis, bala tentara Sekutu dan kemudian Belanda telah menduduki wilayah
mereka.  Dr. Ratulangi yang baru saja sampai di Makasar untuk memulai tugas
kenegaraan sebagai Gubernur dari propinsi Sulawesi, seperti dengan begitu saja
ditangkap Belanda. Putra kebanggaan Minahasa inipun diasingkan ke Papua.  Ia
adalah gubernur Republik pertama yang ditawan dan dibuang – bukan di masa
penjajahan , tetapi di saat ia telah menjadi gubernur dari sebuah propinsi di Republik
Indonesia.  Maka sebuah perbedaan dalam pengalaman historis seperti telah
terbentang begitu saja. Jika tokoh-tokoh perjuangan di Jawa dan Sumatra bisa berkata
bahwa mereka berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan , maka para pemimpin
bangsa di belahan Timur hanya bisa berkata bahwa mereka memimpin perjuangan
untuk  merebut    kemerdekaan. Di mata pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian
berhasil mendirikan Negara Indonesia Timur, para pemimpin ini tidak lebih daripada
pemberontak. Karena itulah pembersihan besar-besaran biasa pula dilakukan.  Sampai
kinipun kehadiran dan aktivitas kapten Westerling tak bisa terhapus dalam ingatan
kolektif bangsa. Bukankah ia yang diperintahkan untuk memimpin operasi militer
dengan melakukan pembunuhan ribuan anak bangsa andaikan benar ungkapan “
40.000 nyawa korban Westerling” lebih bersifat simbolik  daripada historis.  Dalam
suasana pemberontakan, demi kemerdekaan inilah pula sekian banyak para pejuang
Bugis-Makassar yang menyeberang ke pulau Jawa. Mereka ingin berjuang sebagai
bagian dari kekuatan revolusioner bangsa demi kemerdekaan bangsa.

16
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
- Sebagai realisasi dari janji kemerdekaan yang telah diumumkan oleh Perdana
Menteri Koiso maka pada tanggal 1 Maret 1945, panglima tentara Letnan
Jenderal Kumakici Herada mengumumkan pembentukan Dokuritzu Junbi
Coosakai, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), tujuannya adalah untuk mempelajari hal-hal penting yang
berkaitan dengan tata pemerintahan Indonesia merdeka.

- PPKI terdiri dari 21 orang yang merupakan wakil dari seluruh Indonesia. Ir.
Soekarno (ketua), dan Drs. Moh. Hatta (wakil ketua). Selanjutnya, tanpa ijin
dari pemerintah Jepang keanggotaan PPKI ditambah 7 sehingga menjadi 28
orang. Dengan demikian , PPKI secara tidak langsung telah diambil alih oleh
pimpinan bangsa Indonesia dari badan bentukan Jepang menjadi alat
perjuangan bangsa Indonesia.
- Pengakuan Mesir secara de facto dan de jure terhadap kemerdekaan dan
kedaulatan Indonesia pada tahun 1947 adalah salah satu bukti kemahiran Haji
Agus Salim dalam berdiplomasi. Hingga saat ini, Mesir tercatat sebagai negara
pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, selain
negara-negara yang tergabung dalam Liga Negara-negara Arab yang
mengakui Indonesia pada tahun 1947 juga (Suryadinata, 1998). Usaha ini
merupakan kemenangan Indonesia di dunia internasional.
- Di samping ketiga hal ini faktor tingkat penyebaran pendidikan modern dan
keluasan daya jangkau pemakaian bahasa Indonesia di kota-kota tentu tidak
pula bisa dilupakan.  Penerbitan buku-buku sastra yang memakai berbagai
corak bahasa Melayu, mulai dari yang disebut klassik sampai pasaran dan
kemudian sastra Indonesia modern langsung ataupun tidak ikut mempengaruhi
proses tumbuhnya rasa-hayat persatuan bangsa.  

17
2. Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan
makalah diatas.

18
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, M. (2003). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.


Kutojo, S., dan Mardanas Safwan. (1974). Riwayat Hidup dan Perjuangan H. Agus Salim.
Bandung : PT Angkasa.
Soepriyanto dan Moh. Yatim. 2018. Perjuangan Meraih Kemerdekaan. Direktorat
Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan-Ditjen Pendidikan Anak Usia
Dini dan Pendidikan Masyarakat-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Suhatno et al. (1995). Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan. Jakarta : DEPDIKBUD.
Suryadinata, L. (1998). Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta : LP3ES.

19
LAMPIRAN

IR. SOEKARNO

Sukarno, also spelled Soekarno, (born June 6,


1901, Surabaja, Java, Dutch East Indies died June 21,
1970, Jakarta, Indonesia), leader of the Indonesian
independence movement and Indonesia’s first president
(1949–66), who suppressed the country’s original
parliamentary system in favour of an authoritarian
“Guided Democracy” and who attempted to balance the
Communists against the army leaders. He was deposed
in 1966 by the army under Suharto. Sukarno was the
only son of a poor Javanese schoolteacher, Raden
Sukemi Sosrodihardjo, and his Balinese wife, Ida
Njoman Rai. Originally named Kusnasosro, he was given a new and, it was hoped, more
auspicious name, Sukarno, after a series of illnesses. Known to his childhood playmates as
Djago (Cock, Champion) for his looks, spirits, and prowess, he was as an adult best known as
Bung Karno (bung, “brother” or “comrade”), the revolutionary hero and architect of merdeka
(“independence”). Sukarno spent long periods of his childhood with his grandparents in the
village of Tulungagung, where he was exposed to the animism and mysticism of serene rural
Java. There he became a lifelong devotee of wayang, the puppet shadow plays based on the
Hindu epics, as animated and narrated by a master puppeteer, who could hold an audience
spellbound through an entire night. As a youth of 15, Sukarno was sent to secondary school
in Surabaya and to lodgings in the home of Omar Said Tjokroaminoto, a prominent civic and
religious figure. Tjokroaminoto treated him as a cherished foster son and protégé, financed
his further education, and eventually married him off at age 20 to his own 16-year-old
daughter, Siti Utari. As a student, Sukarno chose to excel mainly in languages. He mastered
Javanese, Sundanese, Balinese, and modern Indonesian, which, in fact, he did much to create.
He also acquired Arabic, which, as a Muslim, he learned by study of the Qurʾān; Dutch, the
language of his education; German; French; English; and, later, Japanese. In Tjokroaminoto’s
home he came to meet emerging leaders who spanned the rapidly widening national political

20
spectrum, from feudal princelings to fugitive communist conspirators. The eclectic
syncretism of the Tjokroaminoto ménage, like the romance and mysticism of wayang,
imprinted itself indelibly upon Sukarno’s mind and personality. He was later to treat nation-
making as a heroic theatrical, in which the clash of irreconcilable men and ideas could be
harmonized through sheer poetic magic his own. Endowed with commanding presence,
radiant personality, mellifluous voice, vivid style, a photographic memory, and supreme self-
confidence, Sukarno was obviously destined for greatness. In 1927 in Bandung, where he had
just acquired a degree in civil engineering, he found his true calling in oratory and politics.
He soon revealed himself as a man of charisma and destiny. Sukarno’s amours were almost
as renowned as his oratory. He divorced Siti in 1923 and married Inggit Garnisih, divorcing
her in 1943 and marrying Fatmawati, with whom he had five children, including his eldest
son, Guntur Sukarnaputra (b. 1944). As a Muslim, Sukarno was entitled to four wives, so he
took several more wives in the following decades.

21

Anda mungkin juga menyukai