Anda di halaman 1dari 101

PORTOFOLIO

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FK UMI 2020

Nama : Yenni Maulani Jufri


Stambuk : 11120192040
Tempat Stase :-
Pembimbing : Prof. Dr. dr. Syarifuddin Rauf, Sp. A(K)
Penguji :-
Judul referat : Infeksi Saluran Kemih

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
DAFTAR KOMPETENSI LAYANAN PRIMER

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

1. Malnutri Energi Protein


2. Defisiensi Vitamin dan Mineral
3. Anemia Defisiensi Fe pada Anak
4. Diare akut
5. Pneumonia
6. Asma Bronchiale
7. Tuberkulosis
8. DHF
9. Demam Tifoid
10. Sindrom Nefrotik/Nefritik
11. BBLR
12. Ikterus Neunatorum
13. Anemia
14. Kejang Demam
15. Tonsilofaringitis
Ajeng Amalia dan agustyas | Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi

Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi


Ajeng Amalia1, Agustyas Tjiptaningrum2
1
Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
2
Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas LampungLampung

Abstrak
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya hemoglobin dalam tubuh. Hemoglobin adalah suatu metaloprotein
yaitu protein yang mengandung zat besi di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh tubuh. Anemia defisiensi besi adalah anemia akibat berkurangnya zat besi dalam darah sebagai bahan utama sintesis
hemoglobin. Kadar normal hemoglobin pada dewasa wanita adalah 12 mg/dL – 15 mg/dl dan pada dewasa pria adalah 14 gr/dL –
18 gr/dL. Gejala dari anemia secara umum adalah lemah, tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat dan cepat, jantung
berdebar, dan roaring in the ears). Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi yaitu kebutuhan
yang meningkat, asupan zat besi yang kurang, infeksi, dan perdarahan saluran cerna dan juga terdapat faktor-faktor lainnya.
Anemia defisiensi besi dapat di diagnosis dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan pemberian zat besi secara oral, secara intramuskular dan transfusi
darah

Kata Kunci : anemia, anemia defisinesi besi, hemoglobin

Diagnosis and Management of Iron Deficiency Anemia


Anemia is a condition where the level of hemoglobin in the body are reduced. Hemoglobin is a metalloprotein, a protein which
contain iron in the red blood cell and in charge to carry oxygen from the lungs throughout the body. Iron deficiency anemia is
anemia which is caused by reduced of iron in the blood as the main ingredient of hemoglobin synthesis. Normal levels of
hemoglobin in adult women is 12 g/dL - 15 g/dL and the adult male is 14 g/dL - 18 g/dL. General symptoms of anemia are
fatigue, signs of hyperdinamic (quick and strong pulse, pounding heart, and roaring in the ears. Factors which can lead iron
deficiency anemia are increasing need, lack of iron intake, infections, and gastrointestinal bleeding and others factors. Iron
deficiency anemia is diagnosed by anamnesis, physical examination and investigation. Iron deficiency anemia can managed by
orally iron, intramuscularly iron and blood transfusions.

Keyword: anemia, iron deficiency anemia, hemoglobin

Korespondensi :Ajeng Amalia Insani, alamat Jl. Nunyai dalam No 70 Rajabasa, HP 082177223728, email
insaniajeng@gmail.com

5
Pendahuluan 35% dari anak sekolah menderita anemia. Gejala
Anemia secara umum didefinisikan sebagai yang samar pada anemia ringan hingga sedang
berkurangnya konsentrasi hemoglobin didalam menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat
1
tubuh. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan
3
melainkan dapat disebabkan oleh bermacam- meningkatnya risiko kematian pada anak.
macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia Anemia defisiensi besi( A D B ) adalah
ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat
gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis
anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, hemoglobin.6 Menurut Dallman, anemia
takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, defisiensi adalah anemia akibat kekurangan zat
dilatasi jantung, dan gagal jantung.2,3 besi sehingga konsentrasi hemoglobin menurun
Anemia merupakan masalah kesehatan di bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata
masyarakat diseluruh dunia, prevalensi anemia dari umur dan jenis kelamin yang sama.7
pada anak usia kurang dari 4 tahun diperkirakan Hemoglobin adalah metaloprotein (protein
4
terdapat 43%. Survei Nasional di Indonesia (1992) yang mengandung zat besi) di dalam sel darah
mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5 merah yang berfungsi sebagai pengangkut
tahun menderita anemia, pada survey tahun 1995 oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, pada
ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24- mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga

MAJORITY I Volume 5 I Nomor 5 I Desember 2016 I 166


Ajeng Amalia dan agustyas | Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi

pengusung karbon dioksida kembali menuju transport zat besi (non heme iron) ada sekitar
paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.7 90% berasal dari makanan, yaitu dalam bentuk
senyawa besi inoerganik feri (Fe3+), agar diserap
Isi dalam usus besinya harus diubah dulu menjadi
Faktor utama penyebab anemia adalah bentuk fero (Fe2+), contoh non heme iron adalah
asupan zat besi yang kurang. Sebesar dua per hemosiderin dan ferritin.
tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel Penyerapan besi oleh tubuh terutama
darah merah hemoglobin.8 dimukosa usus duodenum sampai pertengahan
Faktor lain yang berpengaruh terhadap jejunum. Penyerapan besi akan meningkat pada
kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti keadaan asam, defisiensi besi dan kehamilan
merokok, minum minuman keras, kebaisaan sedangkan penyerapan akan menurun pada
sarapan pagi, keadaan ekonomi dan demografi, keadaan basa, infeksi, adanya bahan makanan
pendidikan, umur, jenis kelamin, dan wilayah.9 yang mengandung phytat dan kelebihan
Anemia selalu merupakan keadaan tidak zatbesi.6,13 Proses terjadinya anemia defisiensi
normal dan harus dicari penyebabnya. besi melalui 3 tahap yaitu:6,14,15 (1). Stadium I:
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan, pemeriksaan deplesi cadangan besi yang ditandai dengan
laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penurunan serum ferritin (<10-12µg/L)
penderita anemia.10 sedangkan pemeriksaan Hb dan zat besi masih
Gejala utama adalah fatigue, nadi teras normal. (2). Stadium II: defisiensi besi tanpa
cepat, gejala dan tanda keadaanhiperdinamik anemia terjadi bila cadangan besi sudah habis
(denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring maka kadar besi didalam serum akan menurun
in the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat dan kadar hemoglobin masih normal.
timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang Pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan
mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia serum iron(SI) dan saturasi transferrin,
10,11
dan/ atau infark miokard). sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
Menentukan adanya anemia dengan meningkat. (3). Stadium III: anemia defisiensi
memeriksa kadar hemoglobin (Hb) dan atau besi ditandai dengan penurunan kadar Hb, MCH,
Packed Cell Volume (PCV) merupakan hal MCV, MCHC pada keadaan berat, Ht dan
pertama yang penting untuk memutuskan peningkatan kadar free erythrocyte
pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan protoporphyrin (FEP). Gambaran darah tepi
diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit didapatkan mikrositosis dan hipokromik.
MCV, MCH menurun, sedangkan MCHC akan
menurun pada keadaan berat. Gambaran Faktor-faktor yang berperan pada terjadinya
morfologi darah tepi ditemukan keadaan defisiensi besi : (1).Kebutuhan yang meningkat.
hipokrom, mikrositik, anisositosis dan Pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun
6 pertama dan masa remaja, pada saat itu berat
poikilositosis. badan bayi bertambah dengan cepat, dapat
Zat besi bersama dengan protein (globin) mencapai 6 kali lipat dari berat badan lahir. Pada
dan protoporpirin mempunyai peranan yang remaja terjadi perubahan hormonal yang
penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain menyebabkan terjadinya menstruasi.11
itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang .
(2).Kurangnya besi yang diserap Makanan bayi
berperan dalam metabolisme oksidatif, sitesis banyak yang tidak mengandung daging oleh
6
DNA, neurotransmitter, dan proses katabolisme. karena itu sebagian besar zat besi dalam
Berdasarkan bentuk ikatan dan fungsinya makanannya berbentuk non-heme sehingga
zat besi di dalam tubuh terbagi atas 2 macam, absorpsinya sangat Dipengaruhi factor dalam
yaitu:6,12 (1). Zat besi yang membentuk ikatan makanan. 6,11,13 Pada anak kurang gizi didapatkan
heme dengan protein (heme-protein) adalah mukosa usus yang mengalami perubahan secara
sekitar 10% berasal dari makanan. Zat besi ini histologis dan fungsional sehingga terjadi
dapat langsung diserap tanpa memperhatikan sindrom malabsorpsi, enteritis dan atrofi vili
cadangan besi dalam tubuh, asam lambung usus, hal ini dapat mengganggu penyerapan
ataupun zat yang dikonsumsi. (2). Cadangan dan

MAJORITY I Volume 5 I Nomor 5 I Desember 2016 I 167


Ajeng Amalia dan agustyas | Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi

1,6
µg/dl eritrosit (4).Kadar ferritin serum <12µg/dl.
besi. (3).Infeksi. Infeksi mudah dan sering
Diagnosis ADB minimal 2 dari 3 kriteria (ST,
terjadi pada bayi dan anak, terutama di Negara
ferritin,serum dan FEP) harus dipenuhi.
sedang berkembang, misalnya infeksi kronis
Pengobatan anemia defisiensi besi terdiri
akibat tuberculosis, infeksi parasit, infeksi
atas:11,15 (1). Terapi zat besi oral: pada bayi dan
saluran nafas, diare dan lain sebagainya. Pada
anak terapi besi elemental diberikan dibagi
infeksi zat besi banyak digunakan oleh sistem
dengan dosis 3-6 mg/kgBB/hari diberikan dalam
kekebalan tubuh yaitu pada aktivitas fagositik
dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan
netrofil dan proliferasi sel limfosit.6,12
makan malam. Terapi zat besi diberikan selama
(4).Pendarahan saluran cerna. Perdarahan saluran
1 sampai 3 bulan dengan lama maksimal 5
cerna pada anak paling sering disebabkan oleh
bulan. Enam bulan setelah pengobatan selesai
infestasi cacing tambang atau parasit lain. Pada
harus dilakukan kembali pemeriksaan kadar Hb
bayi pendarahan saluran cerna dapat disebabkan
untuk memantau keberhasilan terapi. (2). Terapi
oleh alergi protein susu sapi, Diverticulum
zat besi intramuscular atau intravena dapat
Meckel, duplikasi usus, teleangiektasi
dipertimbangkan bila respon pengobatan oral
hemoragika dan polip usus.6
tidak berjalan baik, efek samping dapat berupa
Faktor lain yang berperan pada terjadinya ADB demam, mual, urtikaria, hipotensi, nyeri kepala,
adalah transfuse fero maternal, hemoglobinuria, lemas, artragia, bronkospasme sampai relaksi
dan iatrogenic bloodloss akibat pengambilan anafilaktik. (3). Transfusi darah diberikan
darah vena berulang-ulang.6 apabila gejala anemia disertai risiko terjadinya
Diagnosis anemia defisiensi ditegakkan gagal jantung yaitu pada kadar Hb 5-8g/dL.
berdasarkan:6,11,14 (1). Anamnesis untuk mencari Komponen darah yang diberikan berupa
faktor predisposisi dan etiologi, antara lain: bayi suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara serial
berat lahir rendah (BBLR), bayi kurang bulan, dengan tetesan lambat.
bayi yang baru lahir dari ibu anemia, bayi yang
mendapat susu sapi sebelum usia 1 tahun,
Ringkasan
danlainlain sebagainya. (2). Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukanadanya gejalapucat Anemia adalah berkurangnya volume
menahun tanpa disertai adanya organomegali, hemoglobin. Anemia defisiensi besi adalah
seperti hepatomegaly dan splenomegaly. (3). keadaan berkurangnya zat besi dalam tubuh untuk
Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan sintesis hemogloin.
darah rutin seperti Hb, PCV (PackedCell Mekanisme metabolisme zat besi didalam
Volume), leukosit, trombosit ditambah tubuh adalah zat besi bersama dengan protein
pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, saturasi (globin) dan protoporpirin mempunyai peranan
morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi yang penting dalam pembentukan hemoglobin.
(Fe serum, TIBC, transferrin, Free Erythrocyte Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa
Protoporphyrin(FEP), ferritin). Pada ADB nilai enzim yang berperan dalam metabolism oksidatif,
indeks eritrosit MCV, MCH akan menurun, sitesis DNA, neurotransmitter, dan proses
MCHC akan menurun pada keadan berat, dan katabolisme. Berdasarkan bentuk ikatan dan
RDW akan meningkat. Gambaran morfologi fungsinya zat besi didalam tubuhterbagi atas 2
darah tepi ditemukan keadaan hipokrom, macam, yaitu : (1). Zat besi yang membentuk
mikrositik, anisositik hipokrom biasanya terjadi ikatan heme dengan protein (heme-protein), (2).
pada ADB, infeksi kronis dan thalassemia. Cadangan dan transport zat besi (non hemeiron)
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO.1 Gejala anemia adalah fatigue, gejala dan
(1). Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia. tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung
(2). Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata<31% berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia yang
(N32-35) (3).Kadar Fe serum <5µg/dl (N:80- lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan
180µg/dl). (4). Saturasi transferrin <15% (N: 20- komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung,
50%). Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan angina, aritmia dan atau infark miokard). Terdapat 3
Monsen: (1).Anemia hipokrom mikrositik tahap terjadinya anemia defisiensi besi, yaitu: (1).
(2).Saturasi transferrin <16% (3).Nilai FEP 100 Penurunan serum ferritin (<10-12µg/L)

MAJORITY I Volume 5 I Nomor 5 I Desember 2016 I 168


Roro Rukmi W P l Asma Bronkial pada Anak

Asma Bronkial pada Anak


Roro Rukmi Windi Perdani1
1
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak
Batasan asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA) adalah penyakit heterogen berupa inflamasi kronik saluran
nafas. Gejala penyakit ini berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi serta keterbatasan aliran
udara yang bervariasi.Wheezing berulang dan / atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis seperti uji fungsi paru. Penyakit ini dapat diklasifikasikan
menjadi asma episodik jarang, episodik sering serta persisten. Sedangkan saat serangan dibagi menjadi asma serangn
ringan, sedang, berat dan ancaman henti napas. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal.

Kata kunci : asma, GINA, wheezing

Bronchial Asthma in Children


Abstract
Global Initiative for Asthma (GINA) defines asthma as a heterogeneous disease in the form of chronic airway inflammation.
The symptoms of this disease are wheezing, shortness of breathing, heavy chest, and a variety of coughs and limited air
flow in the respiratory tract. Repeated wheezing and / or recurrent chronic cough is the starting point for making asthma
diagnosis. Further investigation can be done to establish asthma diagnosis such as pulmonary function test. This disease can
be classified as a rare episodic, often episodic and persistent asthma. Whereas the severity of asthma attack is divided into
mild, moderate, severe asthma and the threat of respiratory arrest. The purpose of managing childhood asthma is to
achieve potential child development.

Keyword : asthma, GINA, wheezing

Korespondensi : dr. Roro Rukmi W,Sp.A. Jl. Soemantri Brodjonegoro No.1.Fakultas Kedokteran Unila. Bandar Lampung

Pendahuluan 1. Hiperresponsivitas saluran napas


Asma dapat menyerang semua orang, Ciri penting asma adalah tingginya
baik anak maupun dewasa. Batasan asma yang respons bronkokonstriktor terhadap berbagai
lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative macam stimulan. Hiperresponsivitas saluran
for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai napas merupakan penyebab utama timbulnya
penyakit heterogen berupa gangguan inflamasi gejala klinis seperti terjadinya mengi dan
kronik saluran nafas. Penyakit ini didefinisikan dispnea setelah terpapar oleh alergen, iritan
dengan gejala berupa mengi, sesak napas, dada lingkungan, infeksi virus, udara dingin, dan
terasa berat, dan batuk yang bervariasi serta latihan fisik. Saluran pernapasan mengalami
keterbatasan aliran udara yang bervariasi.1 inflamasi berhubungan dengan bronkus yang
hiperresponsivitas dan terapi asma. Beberapa
Isi penelitian menunjukkan terapi anti inflamasi
Ketika terjadi serangan asma, paru mampu mereduksi hiperresponsivitas saluran
mengembang berlebihan dan menunjukkan pernapasan. Oleh karena itu, dapat
bercak atelektasis, dengan oklusi saluran disimpulkan bahwa inflamasi dapat
pernapasan oleh sumbatan mukus. Secara mengkontribusi terjadinya saluran pernapasan
mikoskopik, paru menunjukkan sembab, yang hiperresponsif.2
sebukan sel radang pada dinding bronkus
dengan banyak eosinofil, hipertrofi otot 2. Obstruksi Saluran Pernafasan
bronkus dan kelenjar submukosa, sumbatan Terbatasnya aliran udara ekspirasi secara
mukus (spiral Curschmann), debris kristaloid berulang dapat menyebabkan berbagai macam
membran eosinofil (kristal Charcot Leyden) perubahan pada saluran pernapasan, seperti
dalam saluran pernapasan.2 bronkokonstriksi akut, edema saluran napas,
Berikut ini merupakan patofisiologi mukus kronis yang menyumbat, dan
asma bronkial sebagai berikut: remodelling saluran pernafasan. Obstruksi

JK Unila | Volume 3| Nomor 1 | Maret 2019 | 154


Roro Rukmi W P l Asma Bronkial pada Anak

saluran napas bersifat difus dan bervariasi besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru
derajatnya, dapat membaik spontan atau sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang
dengan pengobatan. Penyempitan saluran sederhana dengan peak flow meter, atau yang
napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi
berat di dada, mengi, dan hiperesponsivitas bronkus dengan histamin, metakolin, latihan
bronkus terhadap berbagai stimuli. (exercise), udara kering dan dingin atau dengan
Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah NaCl hipertonis, sangat menunjang
7,8,9
kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk
oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.3,4 mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara
Etiologi remodelling saluran pernapasan yaitu didapatkannya yaitu :
berhubungan dengan perubahan struktural 1. Variabilitas pada PFR atau FEVI > 15 %
matiks saluran pernafasan yang menyertainya Variabilitas harian adalah perbedaan nilai
dalam jangka waktu yang lama dan inflamasi (peningkatan / penurunan) hasil PFR dalam
saluran pernapasan yang semakin berat. Akibat
satu hari. Penilaian yang baik dapat
dari perubahan tersebut menyebabkan
obstruksi saluran pernapasan semakin dilakukan dengan variabilitas mingguan
persisten dan mungkin tidak dapat ditangani yang pemeriksaan berlangsung > 2 minggu.
kembali.5,6 2. Reversibilitas pada PFR atau FEVI > 15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai
3. Hipersekresi mukosa (peningkatan) PFR atau FEVI setelah
Hipersekresi mukosa dikarenakan pemberian inhalasi bronkodilator.
terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel
3. Penurunan > 20 % pada FEVI (PD20 atau
goblet pada saluran napas penderita asma
yang disebabkan oleh aktivasi mediator PC20) setelah provokasi bronkus dengan
inflamasi. Penyumbatan saluran napas oleh metakolin atau histamin.
mukus hampir selalu didapatkan pada asma
yang berat. Hipersekresi mukus akan Pada pasien dengan batuk produktif,
mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama infeksi respiratorik berulang, gejala respiratorik
inflamasi, dan menyebabkan kerusakan sejak masa neonatus, muntah dan tersedak,
struktur/ fungsi epitel.2,7 gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru,
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Wheezing berulang dan / atau batuk Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto
kronik berulang merupakan titik awal untuk Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji
menegakkan diagnosis. Hal yang termasuk provokasi. Selain itu mungkin juga perlu
perlu dipertimbangkan kemungkinan asma diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji
adalah anak-anak yang hanya menunjukkan keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun,
batuk sebagai satu-satunya tanda dan pada pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan
saat diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain- tindakan bronkoskopi.10,11
lain sedang tidak timbul. Sehubungan dengan Klasifikasi asma menurut Global
kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., Initiative for Asthma (GINA) 2009 dibagi
khususnya anak di bawah 3 tahun, respons menjadi 3 derajat penyakit, yaitu asma
yang baik terhadap obat bronkodilator dan episodik jarang, asma episodik sering, dan
steroid sistemik (5 hari) dan dengan asma persisten.
penyingkiran penyakit lain diagnosis asma
menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah

JK Unila | Volume 3| Nomor 1 | Maret 2019 | 155


Roro Rukmi W P l Asma Bronkial pada Anak

Tabel 1. Klasifikasi derajat penyakit asma anak7,11


No Parameter Episodik Jarang Episodik Sering Persisten
1 Frekuesnsi serangn < 1x/bulan >1x.bulan Sering
2 Lama serangan < 1x minggu >1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi

3 Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat

4 Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5 Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu

6 Pemeriksaan fisik di luar Normal Mungkin Tidak pernah


serangan ditemukan normal
kelainan
7 Obat pengendali (anti inflamasi) Tidak perlu Perlu Perlu
Uji faal paru (di luar serangan)
8 Variabilitas faal paru (bila ada PEF/FEV1>80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1<60%
serangan)
Variabilitas>15% Variabilitas>30% Variabilitas>50%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Pengendalian Asma.12


Karakteristik Terkontrol TerkontrolSebagian TidakTerkontrol
Frekuensi serangan <2x / minggu 2 x / minggu 3 karakteristik dari
Aktivitas Tidakterganggu Terganggu terkontrol sebagian
Serangan saat malam/ Tidakada Ada Tiapmalam
terbangun saat tidur
Menggunakan obat pereda <2x / minggu 2 x / minggu Sering terganggu
PEF/PEV1 Normal <80 % <60%

Penilaian derajat serangan asma menurut


GINA 2006 adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Klasifikasi Derajat Serangan Asma 7,11


Parameter Ringan Sedang Berat AncamanHentiNafas
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat

Bayi: menangis Bayi: Bayi:


keras -tangis pendek dan -tidak mau makan
lemah dan minum
-kesulitan
menetek/makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk dengan
bertopang tangan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin irritable Biasanya irritable Biasanya irritable Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidakada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, sepanjang Sangat nyaring, Sulit/tidakterdengar
hanya pada akhit ekspirasi dan terdengar tanpa
ekspirasi inspirasi stetoskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
Bantu respiratorik paradoktorako-
abdominal

JK Unila | Volume 3| Nomor 1 | Maret 2019 | 156


Penanganan di rumah
Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan terapi awal berupa inhalasi -agonis kerja pendek
hingga 3x dalam satu jam. Kemudian pasien atau keluarganya diminta melakukan penilaian
respons untuk penentuan derajat serangan yang kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya.
Pada awal serangan dapat diberikan bronkodilator saja. Apabila belum membantu, dapat
ditambahkan steroid oral. Bila hal ini juga tidak berhasil, bawa segera ke klinik atau rumah sakit.
Bila serangannya sedang, langsung berikan bronkodilator dan steroid. Sedangkan jika serangannya
berat, langsung bawa ke rumah sakit.

Penanganan di Klinik atau IGD


Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan, langsung dinilai derajat serangannya menurut
klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia.
Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian -agonis secara nebulisasi. Garam
fisiologis (NaCl 0,9%) dan/atau mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi.
Penggunaan mukolitik masih dipertanyakan karena dengan pemberian garam fisiologis saja sudah
memadai. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali lagi dengan selang 20 menit dan pada
pemberian kedua dapat ditambahkan prednison oral 1 mg/kg/kali dan O2. Pemberian O2 dan
prednison ini juga dapat diberikan segera bila penderita datang dalam serangan berat. Pemberian
prednison sistemik awal dapat mencegah penderita untuk dirawat di rumah sakit. Dan pada
pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik.
Jika menurut penilaian awal pasien jelas dalam serangan berat, maka langsung berikan nebulisasi
2-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai
dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap
nebulisasi 2-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat
untuk mendapat obat intravena (steroid dan aminofilin) selain diatasi masalah dehidrasi dan
asidosisnya.

Serangan ringan
Pada serangan ringan pemberian 2-agonis saja sudah cukup. Pemberian 2-agonis sebaiknya
diberikan secara inhalasi (baik dengan MDI= Metered Dose Inhaler atau DPI=Dry Powder
Inhaler atau nebulisasi).

Pada pasien yang menunjukkan respons baik (complete response) setelah pemberian nebulisasi
, .P 1 2 ,
respons tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat
bronkodilator (hirupan atau oral) y 4 6 . P
ringan tidak memerlukan kortikosteroid oral kecuali jika pencetus serangannya adalah infeksi
, . K (3 5
hari), dengan 1 2 / BB/ . K
prednison dan prednisolon. Pemberian maksimum 12 kali (episode) pertahun tidak mengganggu
. P K J 24 48
untuk re-evaluasi tatalaksananya. Apabila dalam kurun waktu observasi gejala timbul kembali,
maka pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.

Serangan sedang
Pasien diberikan oksigen, kemudian pasien diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari

1980
(RRS). Di RRS, nebulisasi dilanjutkan dengan -agonis + antikolinergik tiap 2 jam. Bila
responsnya baik, frekuensi nebulisasi dikurangi tiap 4 jam, kemudian tiap 6 jam. Jika dalam 12-24
jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan.
Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap,
dan mendapat tatalaksana sebagai serangan berat.

Serangan berat
Pemberian oksigen dilakukan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan
lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup
diberikan sekali langsung dengan -agonis dan antikolinergik (ipratropium bromide), tidak perlu
melakukan tahapan seperti di atas(melalui serangan ringan lalu serangan sedang).
Pada pasien dengan gejala dan tanda Ancaman Henti Napas, pasien harus langsung dirawat
di Ruang Rawat Intensif. Apabila fasilitas nebulisasi tidak tersedia, maka penggunaan obat
adrenalin sebagai alternatif dapat digunakan. Adrenalin 1/1000 diberikan secara intra muskuler,
dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali, dengan dosis maksimalnya 0,5 ml/kali. Sesuai dengan panduan
tatalaksana di IGD, adrenalin dapat diberikan 3 kali berturut dengan selang 20 menit.

Penanganan di Ruang Rawat Inap


Pemberian oksigen diteruskan.
Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi
asidosisnya.
Steroid diberikan tiap 6-8 jam, secara bolus IV / IM / oral.
Nebulisasi -agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6
kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6
jam.
Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal (inisial)
sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml,
diberikan dalam 20-30 menit.
Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 6-8 jam), dosis awal aminofilin
diberikan 1/2nya.
Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid
serta aminofilin diganti pemberian peroral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat - agonis
(hirupan atau oral) atau kombinasi dengan teofilin, yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48
jam. Selain itu steroid dilanjutkan secara oral hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan
dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana. Jika pasien sebelumnya sudah mendapat obat
pencegahan atau rumatan, obat tersebut juga diteruskan.
Jika dengan tatalaksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda ancaman
henti napas, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Intensif.

Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif


Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di IGD dan/atau perburukan asma

1981
HIGEIA 3 (1) (2019)

HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH


RESEARCH AND DEVELOPMENT
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia

Faktor Ibu terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah

Aprillya Wibowo Putri1 , Ayu Pratitis1, Lulu Luthfiya1, Sri Wahyuni1, Auly Tarmali 11

Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo, Indonesia
1

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) berkonstribusi sebanyak 60 hingga 80% dari seluruh kematian
Diterima 29 November neonatus dan memiliki risiko kematian 20 kali lebih besar dari bayi dengan berat normal.
2018 Persentase bayi berat lahir rendah (BBLR) di Jawa Tengah pada tahun 2017 sebesar 5,1 persen,
Disetujui 24 Januari 2019 lebih tinggi dibandingkan persentase BBLR tahun 2016 yaitu 3,9 persen. Tujuan penelitian ini
Dipublikasikan 31 adalah untuk mengetahui gambaran gambaran persentase karakteristik ibu yang menjadi penyebab
Januari 2019 BBLR. Ditinjau dari faktor ibu ada beberapa faktor yang mempengaruhi BBLR, diantaranya umur
________________ dan paritas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan
Keywords: desain deskriptif yaitu dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan
Mother, Parity, LBW umumnya ibu yang melahirkan mempunyai umur yang tidak berisiko untuk melahirkan yaitu
____________________ sebanyak 144 orang (82,29%), 19 ibu (10,86%) dengan grandemultipara, dan 12 bayi BBLR
DOI: (6,86%) yang lahir di Klinik Bersalin Harmoni Ambarawa. Simpulan dari penelitian ini yaitu
https://doi.org/10.15294 sebagian besar ibu yang menjadi responden memiliki umur yang tidak berisiko untuk melahirkan
/higeia/v3i1/28692 dan ibu dengan multipara sehingga banyak bayi yang dilahirkan ibu memiliki berat badan normal.
____________________
Abstract
___________________________________________________________________
Low birth weight (LBW) contribute as much as 60 to 80% of all neonatal deaths and had a risk of death 20
times greater than normal weight babies. The percentage of low birth weight (LBW) in Central Java in 2017
was 5.1 percent, higher than the percentage of LBW in 2016 which was 3.9 percent. The purpose of this study
was to determine the description of the percentage of maternal characteristics that were the cause of LBW.
Judging from maternal factors there were several factors that influenced LBW, including age and parity. This
study used quantitative research methods with a descriptive design that is by using secondary data. The results
showed that the majority of mothers who gave birth were not at risk for childbirth as many as 144 people
(82.29%), 19 mothers (10.86%) with grandemultipara, and 12 LBW babies (6.86%) born at the Clinic
Maternity Harmony Ambarawa. This study concluded that most mothers who were respondents had an age
that was not at risk of giving birth and mothers with multipara so that many babies born to mothers had
normal weight.

© 2019 Universitas Negeri Semarang

Alamat korespondensi:
p ISSN 1475-362846
Jalan Diponegoro no. 186, Gedanganak
Ungaran Timur, Kab. Semarang 50519 e ISSN 1475-222656
E-mail: aprillya.putri@gmail.com

55
Aprillya, W, P., dkk. / Faktor Ibu terhadap / HIGEIA 3 (1) (2019)

PENDAHULUAN Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan


bahwa prevalensi BBLR di Indonesia sebesar
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah 10,2 %, walaupun lebih rendah dibandingkan
bayi yang baru lahir dengan berat badan < 2500 tahun 2010 yaitu sebesar 11.1% namun
gram. BBLR merupakan salah satu indikator penurunan tidak begitu signifikan. Presentase
untuk melihat bagaimana derajat atau status BBLR tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi
kesehatan anak, sehingga berperan penting Tengah (16,8%) dan terendah di Sumatera
untuk memantau bagaimana status kesehatan Utara (7,2%) (Sistriani, 2008).
anak sejak dilahirkan, apakah anak tersebut Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
status kesehatannya baik atau tidak. BBLR Provinsi Jawa Tengah Persentase bayi berat
menjadi masalah kesehatan masyarakat karena lahir rendah (BBLR) di Jawa Tengah pada
merupakan salah satu penyebab tingginya angka tahun 2017 sebesar 5,1 persen, lebih tinggi
kematian bayi (AKB) (Sistriani, 2008). Angka dibandingkan persentase BBLR tahun 2016
kematian bayi menjadi indikator pertama dalam yaitu 3,9 persen. Persentase BBLR cenderung
menentukan derajat kesehatan anak karena meningkat sejak tahun 2011 sampai tahun 2017
AKB merupakan cerminan dari status kesehatan meskipun tidak terlalu signifikan. Pada tahun
anak saat ini. Secara statistik, angka kesakitan 2017 terjadi peningkatan yang cukup tinggi
dan kematian pada nenonatus di negara dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Dinas
berkembang adalah tinggi, dengan penyebab Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
utama adalah berkaitan dengan BBLR (Utama, Angka Kematian Neonatal di Kabupaten
2008). Semarang tahun 2017 sebesar 113 kasus. Kasus
BBLR menurut indikator data statistik kematian neonatal mendominasi kasus
WHO adalah bayi yang berat < 2500 g, terlepas kematian bayi di Kabupaten Semarang. Dari
dari usia kehamilan. BBLR termasuk faktor 142 kasus kematian bayi, 113 kasus adalah
utama dalam peningkatan mortalitas, kasus kematian neonatal. Penyebab terbesar
morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan kasus kematian neonatal adalah karena BBLR
anak yang lahir dengan BBLR memberikan (57 kasus), asfiksia (31 kasus), kelainan
dampak jangka panjang terhadap kehidupannya kongenital (7 kasus), aspirasi (7 kasus), infeksi (4
di masa depan (Dewey, 2011). kasus), tetanus neonatorum (1 kasus) dan lain-
WHO melaporkan, bayi dengan berat lain (6 kasus). Angka Kematian Bayi di
lahir rendah berkonstribusi sebanyak 60 hingga Kabupaten Semarang tahun 2016 mengalami
80% dari seluruh kematian neonatus dan penurunan dibanding tahun 2015 yaitu (169
memiliki risiko kematian 20 kali lebih besar dari kasus) menjadi (142 kasus) di tahun 2016.
bayi dengan berat normal. Berdasarkan data Penyebab terbesar AKB adalah BBLR (40,14
WHO dan UNICEF, pada tahun 2013 sekitar %), Asfiksia (20,83 %) (Dinas Kesehatan
22 juta bayi dilahirkan di dunia, dimana 16% Provinsi Jawa Tengah, 2018).
diantaranya 2 lahir dengan Bayi Berat Lahir Berdasarkan data rekam medik RSUD
Rendah. Adapun persentase BBLR di negara Ambarawa tahun 2016 dari 295 persalinan, 187
berkembang adalah 16,5 % dua kali lebih besar orang (63,4%) melahirkan bayi normal
dari pada negara maju (7%). Indonesia adalah sedangkan yang melahirkan bayi dengan BBLR
salah satu negara berkembang yang menempati sebanyak 108 orang (36,6%) (Dinas Kesehatan
urutan ketiga sebagai negara dengan prevalensi Provinsi Jawa Tengah, 2018).
BBLR tertinggi (11,1%), setelah India (27,6%) Berat badan lahir merupakan indikator
dan Afrika Selatan (13,2%). Selain itu, penting kesehatan bayi, faktor utama bagi
Indonesia turut menjadi negara ke dua dengan kelangsungan hidup dan faktor untuk tumbuh
prevalensi BBLR tertinggi diantara negara kembang dan mental bayi di masa yang akan
ASEAN lainnya, setelah Filipina (21,2%). datang. Ditinjau dari faktor ibu ada beberapa
(Supiati, 2016) faktor yang mempengaruhi BBLR, diantaranya

56
Volume 8 Nomor 2 November 2018

DETERMINAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)

Silvia Ari Agustina,* Liberty Barokah

Program Studi Kebidanan, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta


Email korespondensi: erina.afni80@gmail.com

Abstrak
Kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama ibu
hamil. BBLR masih terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan secara global
karena mempunyai efek jangka pendek maupun panjangnya terhadap kesehatan. Kasus BBLR
mempunyai risiko meningkatkan mortalitas dan morbiditas. BBLR di Kabupaten Kulon Progo
pada tahun 2015 sebanyak 362 kasus dari 5.232 kelahiran hidup. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui deskripsi karakteristik ibu yang melahirkan bayi BBLR di Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta. Objek penelitian ini ibu yang melahirkan bayi tahun 2017 di RSUD Wates Kulon
Progo Yogyakarta. Desain penelitian retrospektif. Data yang digunakan adalah data sekunder
yang berupa data Rekam Medis di RSUD Wates. Teknik pengambilan sampel dengan fixed disease
sampling dengan jumlah sampel 533 sampel dan memenuhi kriteria inklusi dan eklusi. Analisis
data dengan menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian diperoleh ibu yang melahirkan
bayi BBLR mayoritas di usia berisiko (<19 tahun & >35 tahun) 39,9%, jarak hamil yang berisiko
2 tahun) sebesar 42,9%, status LLA dari 39% yang KEK, kadar Hb anemia yang melahirkan
BBLR sebesar 7,3%, status IMT kurus 6,8% bahkan yang BB lebih 7,5% melahirkan BBLR 39%,
Paritas mayoritas grandemultipara (54,5%) yang melahirkan BBLR, dan status penyakit ada
52,6% yang mempunyai riwayat penyakit melahirkan BBLRdan jenis penyakit paling banyak
adalah Pre eklamsi/Pre eklamsi Berat. Berat badan lahir merupakan indikator tumbuh kembang
mulai dari janin hingga dewasa. Beragamnya karakteristik ibu yang melahirkan BBLR, sangat
perlu meningkatkan skreening BBLR saat ibu masih dalam kondisi hamil, sehingga jika diketahui
ibu hamil dengan risiko BBLR dapat ditangani dengan segera dan harapannya bayi yang
dilahirkan kelak mempunyai berat badan cukup.

Kata Kunci : Berat Badan Lahir Rendah, Usia, Jarak Hamil

Pendahuluan menular seperti diabetes dan kardiovaskuler


Pada umumnya bayi dilahirkan setelah dikemudian hari. Begitu seriusnya perhatian
kurang lebih 40 minggu dalam rahim ibu. dunia terhadappermasalahan ini hingga
Pada waktu lahir bayi mempunyai berat World Health Assembly pada tahun 2012
badan sekitar 3000 gram dan panjang badan mengesahkan Comprehensive
50 cm, untuk mengidentifikasi faktor risiko Implementation Plan on Maternal, Infant,
terhadap berat badan bayi lahir kurang yaitu and Young ChildNutrition dengan
dengan membandingkan bayi yang BBLR (< menargetkan 30% penurunan BBLR pada
2500 gram) dengan bayi yang tidak BBLR tahun 2025 (WHO, 2014).
BB ba i lahi al g a Faktor yang memengaruhi kejadian
(Aritonang, 2010). BBLR antara lain adalah usia ibu, penyakit
BBLR dewasa ini masih menjadi ibu saat kehamilan, BMI ibu, keteraturan
masalah kesehatan masyarakat yang kunjungan ANC, kadar Hb, KEK, paritas dan
signifikan secaraglobal karena efek jangka jarak hamil. Selain itu penggunaan kayu
pendek maupun panjang terhadap bakar untuk memasak, cuci tangan dengan
kesehatan. Kasus BBLR sebagian besar air saja, tidak memiliki dapur yang terpisah.
ditemui dinegara berkembang termasuk Faktor janin, faktor penyakit, dan faktor
Indonesia, khususnya di daerah yang plasenta (Demelash et al., 2015;
populasinyarentan. BBLR bukan hanya Wiknjosastro, 2005).
penyebab utama kematian prenatal BBLR di Kabupaten Kulon Progo pada
danpenyebab kesakitan, akan tetapi BBLR tahun 2015 sebanyak 362 kasus dari 5.232
juga meningkatkanrisiko penyakit yang tidak

Jurnal Kebidanan, pISSN 2252-8121, eISSN 2620-4894 143


Sari Pediatri, Vol. 5, No. 4, Maret 2004

akan diberikan. Saluran cerna merupakan organ saluran cerna pada janin dapat dilihat pada Tabel-1 di
pertama yang berhubungan dengan proses digesti dan berikut ini.4
absorpsi makanan. Ketersediaan enzim pencernaan
baik untuk karbohidrat, protein, maupun lemak sangat
berkaitan dengan masa gestasi. Umumnya pada Kebutuhan Nutrisi
neonatus cukup bulan (NCB) enzim pencernaan sudah
mencukupi kecuali laktase dan diperkirakan sekitar Pada masa neonatus, nutrisi BBLR merupakan
25% NCB sampai usia 1 minggu menunjukkan kebutuhan paling besar dibandingkan kebutuhan
intoleransi laktosa.2 Aktivitas enzim sukrase dan Iaktase pada masa manapun dalam kehidupan; untuk
Iebih rendah pada BBLR dan sukrase Iebih cepat mencapai tumbuh kembang optimal.5 Pertumbuhan
meningkat daripada laktase. BBLR yang direfleksikan per kilogram berat badan
Di samping masalah enzim, kemampuan pe- hampir dua kali lipat bayi cukup bulan, sehingga
ngosongan lambung (gastric emptying time) Iebih BBLR membutuhkan dukungan nutrisi khusus dan
lambat pada bayi BBLR dari pada bayi cukup bulan.3 optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada
Demikian pula fungsi mengisap dan menelan (suck and umumnya BBLR dengan berat lahir kurang dari 1500
swallow) masih belum sempurna, terlebih bila bayi g, memerlukan nutrisi parenteral segera sesudah lahir.
dengan masa gestasi kurang dari 34 minggu. Toleransi Belum ada standar kebutuhan nutrien yang disusun
terhadap osmolaritas formula yang diberikan masih secara tepat untuk BBLR, sebanding dengan air susu
rendah, sehingga kemungkinan terjadinya komplikasi ibu (ASI). Rekomendasi yang ada ditujukan untuk
seperti NEC (neoritising enterocolitis) ataupun diare memenuhi kebutuhan nutrien yang mendekati
Iebih besar. Perkembangan anatomis dan fisiologis kecepatan tumbuh dan komposisi tubuh janin normal

Tabel 1. Petanda awal perkembangan traktus gastrointestinal janin


Organ Petanda awal Usia gestasi (minggu)
Esofagus Kelenjar superfisial berkembang 20
Mulai terlihat sd skwamosa
Lambung Terbentuk kelenjar pada gaster, pilorus, dan fundus 28
secara lengkap 14
Pankreas Diferensiasi jaringan endokrin dan eksokrin 14
Hepar Lobus terbentuk 11
Usus halus Awal perkembangan vilus dan kripta kelenjar limfe 14
14
Kolon Diameter bertambah 20
Vilus menghilang 20
FUNGSI
Menghisap Hanya mulut/bibir (mouthing) 28
Menelan Hisap-telan masih imatur 33-36
Lambung Motilitas dan sekresi gaster 20
Pankreas Granul zimogen 20
Hepar Metabolisme empedu 11
Sekresi empedu 22
Usus halus Transpor aktif asam amino 14
Transpor glukosa 18
Absorpsi asam lemak 24
Enzim a-glukosidase 10
Dipeptidase 10
Laktase 10
Enterokinase 26
Dikutip dari Lebenthal F.,Leung Y-K. Pediatr Ann 1987; 16:215.

166
DEPARTMENT Case Study—Primary Care

Low Birth Weight and


Subsequent Poor Weight
Gain
Jeannie Rodriguez, MSN, RN, C-PNP/PC, & Marti Rice, PhD, RN

KEY WORDS CASE PRESENTATION


Low birth weight, poor weight gain, preterm infant A 9-month-old African American male born to a 17-
year-old G1P0 mother at 30 weeks’ gestational age
presented to the office for an initial well-child visit.
His mother reported that her only concern was that
he appears very small and has had continued prob-
lems with poor weight gain. Per the mother, the in-
Section Editors fant’s previous provider had expressed concerns
Jo Ann Serota, DNP, RN, CPNP, FAANP about the infant’s lack of weight gain, but had not
Corresponding Editor made any additional dietary, medical, or referral rec-
Ambler Pediatrics ommendations. The mother stated that at his last
Ambler, Pennsylvania clinic visit at 6 months of age, the infant was below
Beverly Giordano, MS, RN, CPNP, PMHS the 3rd percentile for weight.
University of Florida, Gainesville
Gainesville, Florida
Donna Hallas, PhD, PNP-BC, CPNP PAST MEDICAL HISTORY
New York University College of Nursing Neonatal History
New York, New York The infant was delivered via Caesarian section at
30-weeks’ gestation to a mother who had prenatal
Jeannie Rodriguez, Doctoral Student, University of Alabama at
Birmingham, Birmingham, AL and Instructor, Emory University
care beginning in the second trimester. The mother
Nell Hodgson Woodruff School of Nursing, Atlanta, GA. reported no major health problems before, during,
or after her pregnancy and denied smoking, drug
Marti Rice, Professor, School of Nursing, University of Alabama at
Birmingham, Birmingham, AL. or alcohol use, or sexually transmitted infections dur-
ing her pregnancy. The infant weighed 1250 grams
Conflicts of interest: Jeannie Rodriguez reports receiving funding
from a grant from the Maternal Child Health Bureau to fund her
(appropriate for gestational age) at birth. His mother
PhD studies. Marti Rice reports no financial interests or potential was unable to recall his birth length and head cir-
conflicts of interest. cumference. The infant spent approximately 4 weeks
Correspondence: Jeannie Rodriguez, MSN, RN, C-PNP/PC, 105 in the neonatal intensive care unit (NICU) and re-
Putmans Head, Peachtree City, GA 30269; e-mail: djrodri@uab. quired mechanical ventilation with oxygen supple-
edu. mentation for 6 days beginning on his second day
J Pediatr Health Care. (2014) 28, 350-356. of life. His mother stated that he received medica-
tions through an intravenous line, but was unsure
0891-5245/$36.00
which medications he received or why they were or-
Copyright Q 2014 by the National Association of Pediatric dered. His hearing screen and newborn screen in the
Nurse Practitioners. Published by Elsevier Inc. All rights
reserved.
NICU was normal. He was fed premature infant for-
mula throughout his NICU stay and was discharged
Published online November 12, 2013.
on preterm formula to his home at 34 weeks’ gesta-
http://dx.doi.org/10.1016/j.pedhc.2013.09.004 tion, weighing 4 lbs 6 oz (!2.1 kg).

350 Volume 28 " Number 4 Journal of Pediatric Health Care


Downloaded for FK UMI Makassar (mahasiswafkumi01@gmail.com) at University of Muslim Indonesia from ClinicalKey.com by Elsevier on November 13, 2020.
For personal use only. No other uses without permission. Copyright ©2020. Elsevier Inc. All rights reserved.
Hack et al., 2003). In general, the smaller the infant at whose weight gain is below the expected growth
birth, the slower the rate of growth will be, with the pattern?
likelihood of complete
Poor weight gain in LBWPT infants is likely to be
catch-up growth di-
minishing with de-
In general, the a complex problem and often due to more than just
smaller the infant at one diagnosis. Occasionally a diagnosis may be elusive.
creasing birth weight.
Below is a differential that focuses on diagnoses that
In order to deter- birth, the slower the may contribute to inadequate growth in the LBWPT
mine growth patterns
and track progress,
rate of growth will infant.
post-NICU discharge be, with the
Gastroesophageal Reflux
growth measurements likelihood of Gastroesophageal reflux (GER) is defined as regurgita-
should be plotted on
growth charts at regu-
complete catch-up tion of gastric contents into the esophagus with or
growth diminishing without full regurgitation, while gastroesophageal re-
lar intervals. A variety
flux disease (GERD) is defined as GER with trouble-
of growth charts are with decreasing some symptoms or complications and may include
available that include
curves for infants that
birth weight. vomiting, poor weight gain, dysphagia, abdominal
pain, irritability, esophagitis, and respiratory complica-
extend just beyond 40
tions (Vandenplas et al., 2009). GER is quite common in
weeks’ gestation, adjusted age (Bhatia, 2013). Most of
term and LBWPT infants with some experiencing
these growth charts begin at 22 weeks’ gestation and
GERD, for which prematurity is a risk factor. If GERD
continue until about 10 weeks’ post-term. After reach-
is severe, infants may not be able to take in sufficient
ing 50 to 52 weeks’ gestation, growth can be charted
calories to keep up with growth demands or may expe-
on the Centers for Disease Control and Prevention
rience anorexia related to pain.
(CDC) or the World Health Organization (WHO) charts.
There is also some evidence that GERD may persist
The CDC (2010) recommends using the WHO growth
past 12 months in LBWPT infants. Kase and colleagues
charts for children under the age of two years since
(2009) noted a prevalence of 26.7% of GERD in a group
the reference population for the WHO charts included
of LBWPT infants at age two years, with an inverse rela-
a more exclusively breast-fed cohort. However, in de-
tionship between the presence of GERD and gestational
veloping the CDC and WHO growth charts, neither in-
age. GER can be diagnosed based on history and phys-
cluded infants weighing < 1500 grams (CDC, 2010). The
ical exam; however, esophageal monitoring with a pH
Infant Health and Development Program (IHDP)
probe to note acid reflux and an upper GI series to
growth charts were specifically designed for the very
rule out anatomical abnormalities may be ordered
low birth weight (VLBW; < 1500 grams) infant popula-
(Vandenplas et al., 2009). Management options include
tion. Unfortunately, these charts are not always readily
a change to a hypoallergenic formula for a two-week
available. In addition, the data for these charts were col-
trial, thickening of feeds that may decrease the number
lected in the 1980s and nutritional and medical manage-
of vomiting episodes, and the use of medications such
ment of LBWPT infants has changed considerably since
as histamine2 receptor antagonists and proton pump
that time. Sherry and colleagues (2003) compared three
inhibitors (Vandenplas et al., 2009).
growth charts designed for VLBW infants to the CDC
growth chart and recommended using the IHDP
Insufficient Caloric Intake
growth chart when comparing a VLBW infant to other
In LBWPT infants, insufficient caloric intake can be due
VLBW infants and the CDC charts when comparing
to neurodevelopmental challenges, intake of formula
VLBW infants to normal birth weight infants. No matter
with inadequate calories, and excessive energy de-
the growth chart choice, it is important to remember to
mands due to illness. Neurodevelopmental immaturity
correct for gestational age when plotting growth by
as well as neurological injury may result in mechanical
subtracting the number of weeks the infant was prema-
problems with sucking and swallowing. An adequate
ture from the chronological age in weeks (Figure).
assessment of neurological reflexes along with the
There are differing opinions as to how long one
swallowing process may be beneficial. Speech thera-
should use corrected age when plotting growth.
pists and/or occupational therapists that specialize in
Casey (2008) recommended correcting until 18 months
feeding problems in LBWPT infants can provide great
corrected age for head circumference and 30 to 36
expertise in assessing and treating mechanical prob-
months corrected age for weight and length based on
lems that may exist.
growth patterns noted in the IHDP growth study.
Inadequate calorie intake can be problematic with
2. What diagnoses contribute to poor weight gain in LBWPT infants. Breast milk is optimal for all infants,
a LBWPT infant, and what management strate- including LBWPT infants (National Association of
gies may be most effective in a LBWPT infant Pediatric Nurse Practitioners, 2013). It is likely that

352 Volume 28 " Number 4 Journal of Pediatric Health Care


Downloaded for FK UMI Makassar (mahasiswafkumi01@gmail.com) at University of Muslim Indonesia from ClinicalKey.com by Elsevier on November 13, 2020.
For personal use only. No other uses without permission. Copyright ©2020. Elsevier Inc. All rights reserved.
nutrients
Review
Vitamin K Deficiency Bleeding in Infancy
Shunsuke Araki 1, * and Akira Shirahata 2
1 Department of Pediatrics, School of Medicine, University of Occupational and Environmental Health,
Kitakyushu 807-8555, Japan
2 Kitakyushu Yahata Higashi Hospital, Kitakyushu 805-0061, Japan; a-shirahata@kitakyu-hp.or.jp
* Correspondence: arashun@med.uoeh-u.ac.jp; Tel.: +81-(93)-691-7254
!"#!$%&'(!
Received: 27 February 2020; Accepted: 13 March 2020; Published: 16 March 2020 !"#$%&'

Abstract: Vitamin K is essential for the synthesis of few coagulation factors. Infants can easily
develop vitamin K deficiency owing to poor placental transfer, low vitamin K content in breast milk,
and poor intestinal absorption due to immature gut flora and malabsorption. Vitamin K deficiency
bleeding (VKDB) in infancy is classified according to the time of presentation: early (within 24 h),
classic (within 1 week after birth), and late (between 2 week and 6 months of age). VKDB in infancy,
particularly late-onset VKDB, can be life-threatening. Therefore, all infants, including newborn
infants, should receive vitamin K prophylaxis. Exclusive breastfeeding and cholestasis are closely
associated with this deficiency and result in late-onset VKDB. Intramuscular prophylactic injections
reduce the incidence of early-onset, classic, and late-onset VKDB. However, the prophylaxis strategy
has recently been inclined toward oral administration because it is easier, safer, and cheaper to
administer than intramuscular injection. Several epidemiological studies have shown that vitamin K
oral administration is e↵ective in the prevention of VKDB in infancy; however, the success of oral
prophylaxis depends on the protocol regimen and parent compliance. Further national surveillance
and studies are warranted to reveal the optimal prophylaxis regimen in term and preterm infants.

Keywords: intracranial hemorrhage; PIVKA; intramuscular injection; prophylaxis

1. Introduction
Vitamin K is a fat-soluble vitamin and a necessary cofactor for the synthesis and activation of
coagulation factors II (prothrombin), VII, IX, and X (vitamin K-dependent coagulation factors) and
proteins C and S in the liver [1]. Vitamin K plays a critical role as a cofactor of gamma-glutamyl carboxylase
in the conversion of glutamic acid to gamma-carboxyglutamic acid residues in the N-terminus of vitamin
K-dependent procoagulant factors and proteins C and S [2]. Three forms of vitamin K are known:
vitamin K1 (phylloquinone), vitamin K2 (menaquinones), and vitamin K3 (menadione) [3]. Vitamin K1
(phylloquinone) is the major circulating form and is primarily provided by dietary sources, such as green
leafy vegetables [3]. Vitamin K2 (menaquinones) is found in the diet, particularly in egg yolks, chicken,
beef, vegetables, and fermented products, such as natto [3]. In addition, vitamin K2 is synthesized from
the gut flora (intestinal bacteria) and scavenger receptor class B type I [4], and Niemann–Pick C1–Like
1 [5] has recently been reported as a key regulator of intestinal vitamin K absorption. Vitamin K3 , a
synthetic form, is not being used currently for intramuscular (IM) vitamin K prophylaxis in humans
because of hemolytic anemia that can occur in glucose-6-phosphate dehydrogenase-deficient infants [6].
Because vitamin K is available from various sources, vitamin K deficiency is a rare condition in adult
humans. However, the situation differs in newborn infants because the vitamin K levels transferred
from the mother to the child across the placenta are quite low. The vitamin K levels in the cord blood are
often below the detection limit of 0.02 ng/mL in healthy newborns [7]. We have previously reported that
vitamin K levels in umbilical blood were extremely low and that newborn infants have few vitamin K

Nutrients 2020, 12, 780; doi:10.3390/nu12030780 www.mdpi.com/journal/nutrients


Nutrients 2020, 12, 780 3 of 13

Table 2. Physiological fecal levels of vitamin K (phylloquinone (K1) and menaquinones (MK-4–10)) in
normal adults and neonates (ng/g dry weight).

K1 MK-4 MK-5 MK-6 MK-7 MK-8 MK-9 MK-10


Adult A 648 116 109 422 387 910 2054 11,854
B 1898 289 281 2140 1988 511 3080 15,662
C 5345 - - 507 1826 2476 2702 7085
D 1634 - 273 407 1071 525 - 5167
E 2477 73 1570 189 753 389 1411 5745
F 2220 537 1138 2071 2562 1273 2548 9585
Newborn A 4 - - - - - - -
B 18 - - - 1 - - -
C 3 - - - - - - -
D 10 - - - - - - -
E 3 - - - - - - -
F 2 - - - 1 - - -

The reduced form of vitamin K (vitamin K hydroquinone) is oxidized to vitamin K 2, 3-epoxide,


which is further reduced by vitamin K 2, 3-epoxide reductase to vitamin K. Vitamin K is then reduced
by vitamin K reductase to vitamin K hydroquinone and reused. A reduction in the activity of vitamin
K 2, 3-epoxide reductase results in the accumulation of vitamin K 2, 3-epoxide in liver tissues after
vitamin K loading. Nishimura et al. reported a strongly significant correlation between vitamin K 2,
3-epoxide levels in the blood and liver tissue (Nishimura N, Usui Y, Kobayashi N; Menaquinone-4,
vitamin K1 and epoxide levels in blood after intravenous administration of menaquinone-4 and vitamin
K1. Proceedings of 5th seminar of vitamin K function. Eisai, Tokyo, pp155-162,1989). Therefore, we
estimated the vitamin K 2, 3-epoxide reductase activity by measuring the ratio of menaquinone-4 2,
3-epoxide to menaquinone-4 serum levels 30 min after intravenous (IV) vitamin K administration.
The menaquinone-4 2, 3-epoxide/menaquinone-4 ratio was higher in young infants than in adults [8]
(Figure 1B), indicating that the activity level of vitamin K 2, 3-epoxide reductase in infants was lower
than that in adults, and the reuse of vitamin K in the liver was decreased.
Carriers of the vitamin K epoxide reductase complex 1 (VKORC1) and/or cytochrome P450 2C9
(CYP2C9) variant alleles are at risk of developing vitamin K deficiency [12,13]. A frequent single
nucleotide polymorphism (SNP)—G-1639A—within the VKORC1 promoter has been identified as a
major determinant of coumarin sensitivity, reducing the activity of vitamin K epoxide reductase enzyme
to 50% of that of the wild GG type. Polymorphisms in VKORC1 (G-1639A) and coagulation factor 7
(F7-323 Ins10) were reportedly associated with intraventricular hemorrhage or low factor VII levels [14].
Recently, the presence of variant alleles in VKORC1 (SNP: rs9923231) was reportedly associated with
vitamin K deficiency bleeding (VKDB) [15]. Although reports that suggest a relationship between
VKORC1 genetic variants and VKDB in Japan are lacking, the low enzyme activity of vitamin K epoxide
reductase might be associated with VKDB in infancy because of the ethnic di↵erences in the incidence
of VKDB in infancy.
We summarized the possible factors inducing vitamin K deficiency in neonates (Table 3). Poor
vitamin K content in breast milk does not appear to cause VKDB because we have observed that MK-4
levels in the breast milk from mothers whose children experienced idiopathic VKDB increased in a
dose-dependent manner following oral MK-4 administration [8].

Table 3. Possible factors inducing vitamin K deficiency in newborns.

1. Poor placental transfer of vitamin K


2. Immature gut flora
3. Low vitamin K content in breast milk and substantial di↵erences among individuals
4. Poor intestinal absorption of vitamin K
5. Low activity level of vitamin K epoxide reductase
Nutrients 2020, 12, 780 5 of 13

between 2007 and 2016. There were 20 reported cases (2 sets of twins), including 18 fetal cases. Among
the 18 mothers with early-onset and fetal VKDB infants, 11 mothers were malnourished, and the
remaining had Crohn’s disease (n = 3) or were undergoing warfarin therapy (n = 4). Intracranial
hemorrhage was the most common clinical feature (n = 12) and resulted in severe neurological sequelae
(n = 9) and intrauterine fetal death (n = 2). No cases involved prophylactic vitamin K administration to
the mother (unpublished data).
Conversely, classic VKDB, which is associated with low vitamin K content in breast milk, poor
feeding of milk, and/or inadequate vitamin K prophylaxis, has a good prognosis because its bleeding
sites are typically located in the intestinal tract. In addition, a natural decrease in the activity of
prothrombin during this period has previously been reported [30,31]. Without vitamin K prophylaxis,
classic VKDB is reported to occur in 0.25% to 1.7% of neonates without underlying diseases [32].
The late-onset VKDB occurs between 2 weeks and 6 months after birth, with an increased
occurrence reported between 3 and 8 weeks after birth [33]. It has an incidence of 4.4 to 72.0 per 100,000
live births in Asia and Europe (Table 5).

Table 5. Incidence of late-onset VKDB in di↵erent countries.

Incidence Per 100,000


Country Reference Observation Period
Infants (95% CI)
United Kingdom 34 1988–1990 4.4 (2.0–8.4)
Germany 35 1988–1998 7.2 (3.5–13.3)
Japan 36 1981–1983 10.5 (7.0–15.0)
Thailand 21 1981–1984 72.0

The late-onset VKDB is classified as idiopathic without the risk factors of vitamin K deficiency
except for breastfeeding or as secondary VKDB with risk factors of vitamin K deficiency, such as
malabsorption or cholestasis, because vitamin K absorption closely depends on the intestinal availability
of bile [3]. In the first [22] and second [34] Japanese nationwide surveys, 427 idiopathic cases and
57 secondary cases were reported, indicating that idiopathic cases are 7.5 times more common than
secondary cases in Japan. Of the cases reported, 476 (87.7%) involved exclusive breastfeeding. This
ratio is remarkably high compared with the mean rate of breastfeeding in Japan.
The hemorrhagic manifestations of late-onset VKDB mainly involve the gastrointestinal tract,
skin, and central nervous system and present as intracranial hemorrhage. Most reported cases of
late-onset VKDB have presented with intracranial hemorrhage. According to the abovementioned
Japanese survey [22,34] for hemorrhagic sites, intracranial hemorrhage was reported in 82.7% of infants
with idiopathic VKDB. Furthermore, intracranial hemorrhage was also significant in infants with
secondary VKDB. Late-onset VKDB might a↵ect morbidity and mortality, with the mortality being
as high as 20%–50% [33]. In a Japanese survey [23,35] including 427 patients with idiopathic VKDB,
62 patients (14.5%) died and 171 (40.0%) survived with severe neurological sequelae. Interestingly, a
high number of reports of late-onset VKDB, particularly idiopathic VKDB, was from South East Asia
and Australia [35]. Late-onset VKDB is more frequent in the Asian population than the Caucasian
population [35]. This finding may be partially explained by dietary habits or the 6-fold higher incidence
of biliary atresia in Asia than in Western Europe [36]. Recent studies have confirmed that genetic
variants of 10q24 are closely associated with the epidemiology of biliary atresia [37,38].

3. Diagnosis of VKDB in Infancy


The diagnosis of VKDB is commonly indicated by a prolonged activated partial thromboplastin
time (APTT) and prothrombin time (PT). VKDB is characterized by a PT international normalized
ratio (INR) 4 or a value > 4 times the normal values in the presence of normal platelet count and
fibrinogen level. The diagnosis is confirmed based on the increased levels of proteins induced by
Nutrients 2020, 12, 780 6 of 13

vitamin K absence or antagonists (PIVKAs) and a rapid normalization of coagulation parameters, such
as APTT and PT, after vitamin K administration, or both.
PIVKAs are undercarboxylated precursor proteins of vitamin K-dependent coagulation factors
induced by vitamin K deficiency [39,40]. PIVKAs are released from the liver into the blood but lack
calcium-binding activity and are thus inactive. PIVKAs are often measured to determine the presence of
subclinical vitamin K deficiency and can be detected before the development of complications, including
coagulopathies, owing to vitamin K deficiency [41,42]. PIVKA levels are correlated with the severity of
deficiency, and an increase in their levels is considerably more common in breastfed infants. Vitamin K
levels in the cord blood of both term and preterm infants are undetectable; however, PIVKA-II is only
elevated in 10% to 50% of cord blood samples [41,43]. A previous study including term and preterm
infants revealed that there was no significant relationship between gestational age and PIVKA-II levels
in the cord blood [44].
Although the serum vitamin K (phylloquinone and menaquinone) level is a useful status
indicator [45], its use is not practical because of the technical difficulty involved. Reference values in
healthy adults range from 0.2 to 1.0 µg/L (median, ~0.5 µg/L).
Previously, we have successfully performed a screening test program to detect vitamin K deficiency
in a breastfed infant population using Normotest, which can determine the activity of factors II, VII,
and X using 10-µL heel puncture blood specimens collected in microtubes. This screening test program
has been applied in only Japan. However, the screening test program was substituted for prophylactic
vitamin K administration because heel punctures are more invasive, difficult, and expensive than
vitamin K administration [46].
Several reports have revealed that genetic factors can influence the vitamin K-dependent
coagulation system and intraventricular hemorrhage [14,15]. Further studies regarding the usefulness
of testing for genetic variants to prevent and diagnose VKDB are warranted.

4. Treatment of VKDB in Infancy


There is little evidence regarding treatment for infants with VKDB. Infants with non-life-threatening
bleeding should be treated with phylloquinone (vitamin K1 ; phytomenadione; phytonadione) via
slow IV injection. A single IV dose of 250–300 µg/kg body weight is commonly recommended, and
a dose of 1–2 mg is assumed to be sufficient to completely manage vitamin K deficiency in infants
aged up to 6 months [47]. The guidelines on vitamin K administration for vitamin K deficiency in
infancy, which were proposed by the Japan Pediatric Society in 2011 [48], recommend IV vitamin K2
(menaquinone-4, MK-4) administration, with a dose ranging from 0.3 to 1.0 mg according to birth
weight. In cases of severe coagulation defects caused by vitamin K antagonists, such as warfarin,
higher doses of vitamin K supplements might be e↵ective [47]. Sutor [49] reported the time required
for recovery from coagulopathy by vitamin K administration in 4 infants with severe VKDB. In all
infants, the PT was restored to 30%–50% of the normal value within 1 h of administering IV vitamin
K (1–3 mg phylloquinone), with evident reduction in bleeding observed as early as 20 min [49,50].
A significant increase in the levels of all four vitamin K-dependent factors can be observed as early as
30 min after IV vitamin K administration, and within 2 h, the levels are typically within or near the
lower limit of the normal range for neonates [11,49,50].
For severe bleeding episodes, it may be necessary to administer blood products, such as fresh frozen
plasma (FFP) or prothrombin complex concentrate (PCC); vitamin K should not be administered [51,52].
PCC, which contains all four vitamin K-dependent factors, can rapidly reverse a vitamin K-dependent
coagulopathy with a considerably lower volumetric load. Although there are no data on the dosage for
the use of PCC in VKDB, a study conducted in adults has suggested a dose of 50 units/kg [51]. As per
the abovementioned Japanese guidelines, an infusion of FFP (10–15 mL/kg) or PCC (50–100 units/kg)
should be considered in severe cases and for very-low-birth-weight infants who cannot sufficiently
utilize vitamin K due to immature liver function. Additionally, the use of recombinant factor VIIa
Vitamin K Deficiency - StatPearls - NCBI Bookshelf 11/12/20 17.25

NCBI Bookshelf. A service of the National Library of Medicine, National Institutes of Health.

StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.

Vitamin K Deficiency
Authors

Rina E. Eden1; Jean M. Coviello2.

Affiliations
1 Brooke Army Medical Center
2 SAMMC

Last Update: November 21, 2020.

Introduction
Vitamin K refers to a group of fat-soluble compounds. There are several vitamin K-dependent proteins involved in
coagulation, bone development, and cardiovascular health. Vitamin K deficiency can contribute to significant bleeding,
poor bone development, osteoporosis, and increased cardiovascular disease. According to the National Academy of
Science Food and Nutrition Board, the dietary requirements are based on the intake of healthy adults, and the adequate
intake is 120 and 90 ug/day for men and women, respectively.

Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) in newborns can separate into three categories based on the timing of the
presentation. Early VKDB presents within 24 hours after birth, classic VKDB presents within the first week, and late
VKDB presents between one to twelve weeks of life.[1]

Etiology
Vitamin K deficiency occurs in the neonatal period, in Hereditary Combined Vitamin K-dependent Clotting Factors
Deficiency (VKCFD), inadequate uptake from diet or because of a chronic disorder, or it can be drug-related.

Epidemiology
All neonates have reduced Vitamin K at birth. The first reported classic VKDB was in 1894 as a bleeding disorder that
occurred on day 2 or 3 of life. In combination with sepsis-induced bleeding, the incidence was 600/100,000 infants
with a 62% fatality rate. Late VKDB occurs in 4.4 to 72 infants per 100,000 births with an increased risk in exclusively
breastfed infants and the highest incidence occurring in Asian populations. Early VKDB has been associated with
mothers on anticonvulsants or other vitamin K interfering substances, and incidence without vitamin K
supplementation has been reported as high as 12%. The mortality rate for late VKDB is 20-50%. Late VKDB also has
a significant neurologic morbidity rate. Without Vitamin K supplementation, the current day incidence of classic
VKDB is estimated to be 0.25-1.7%.[1][2]

VKCFD is extremely rare with less than 30 cases worldwide and affects males and females equally.[3]

In normal healthy adults, 8-31% have vitamin K deficiency. However, it is very rare to result in clinically significant
bleeding. Cases are limited to individuals with malabsorption syndromes and those treated with drugs that interfere
with vitamin K metabolism.[4][5][6]

Pathophysiology
Vitamin K is a group of fat-soluble 2-methyl-1,4-naphthoquinone. There is a variable alkyl substituent at the third
position and exists in two principal forms: K1 (phylloquinone) and K2 (menaquinone). There is a third, synthetic form
K3 (menadione), the use of which has been replaced by a synthetic form of vitamin K1 due to the potential for toxicity

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536983/?report=printable Page 1 of 6
Vitamin K Deficiency - StatPearls - NCBI Bookshelf 11/12/20 17.25

in infants with glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency.[1] The primary vitamin K1 is predominantly from leafy
greens and vegetables, while the main source of Vitamin K2 is intestinal flora and fermented foods. Vitamins K1 and
K2 have different bodily distributions and may have different impacts on enzyme activity.[4] Vitamin K1 is the major
source in the human diet and is absorbed in the jejunum and ileum, transported by chylomicrons in circulation, and is
dependent on bile, pancreatic enzymes, and dietary fat content. [7]

These substances are necessary for adequate blood clotting because they are cofactors for gamma-glutamyl carboxylase
and vitamin K2,3-epoxide reductase complex in modifying gamma-carboxyglutamic acid on clotting factors II, VII,
IX, and X. This modification is required for cofactors to bind to phospholipids in the platelet membrane. Under-
carboxylated clotting factors will lead to decreased protein activity and can lead to bleeding.[4]

Vitamin K is also a requirement for various other proteins including anti-coagulant proteins (C, S, and Z), osteocalcin,
and matrix GLA protein.[8] Under-carboxylated osteocalcin has shown to increase in individuals with decreased bone
mineral density and with increased fracture rates in the elderly. [8,9] Decreased levels of some vitamin K subtypes
results in increased arterial calcification.[4]

Vitamin K is not transported across the placenta efficiently, and infants are born with low to undetectable
concentrations of Vitamin K and elevation of Protein Induced by Vitamin K Absence or Antagonism (PIVKA). PIVKA
is a pre-carboxylated (incompletely carboxylated) form of prothrombin.[9]

VKCFD is an autosomal recessive disorder with mutations in gamma-glutamyl carboxylase (type 1) or vitamin K2,3-
epoxide reductase complex (type 2) which results in under-carboxylation and decreased activity of K-dependent
proteins.

History and Physical


Vitamin K deficiency can present with a history of bleeding at venipuncture sites or with minor trauma. The patient
may also have a history of antibiotic, anticonvulsant, or other prescription drug use. Additionally, during a physical
exam, ecchymosis or petechiae may be found.

In VKDB, the neonate will present with bleeding. Early VKDB often presents with intracranial, intrathoracic, intra-
abdominal and other severe bleeding conditions. Early VKDB is also often associated with maternal drugs that inhibit
vitamin K metabolism. Classis VKDB typically occurs with less severe bleeding such as that of the umbilicus,
gastrointestinal tract, and post-circumcision. Late VKDB often presents with severe intracranial bleed. All forms of
VKDB have a high incidence of the refusal of vitamin K prophylaxis. Late VKDB has a higher association with
exclusively breastfed infants due to the lower dietary intake of vitamin K found in human milk versus formula.
[10] Warning bleeds or bruising should always prompt further investigation by laboratory testing.

VKCFD presents in the newborn period in severe cases similar to VKDB but can present later in life in milder cases.
Common presentation occurs with severe spontaneous or surgical bleeding events. History of easy bruising and
mucosal bleeding is frequent, and there can be developmental and skeletal abnormalities.[3]

Evaluation
Classic vitamin K deficiency is a vitamin-k responsive elongation of prothrombin time or bleeding. Prothrombin time
has served as an indicator of vitamin K status because of the effect on plasma prothrombin; however, there must be
approximately a 50% decrease in prothrombin before the prothrombin time becomes abnormal and is nonspecific.[11]
In the absence of vitamin K, there is a production of PIVKA-II and is a sensitive marker for vitamin K deficiency
status. PIVKA-II has minimal variability based on other factors such as age that influence vitamin K plasma and serum
concentration.[12] Increased PIVKA-II levels start to become apparent in individuals consuming less than 60 mcg of
vitamin K per day.[13] At birth, elevated PIVKA-II levels exist in 10-50% of newborns and 70% of non-supplemented
healthy infants on day of life 4 or 5.[1] Direct measurement of vitamin K plasma levels show highly variable data

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536983/?report=printable Page 2 of 6

Anda mungkin juga menyukai