FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
DAFTAR KOMPETENSI LAYANAN PRIMER
Abstrak
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya hemoglobin dalam tubuh. Hemoglobin adalah suatu metaloprotein
yaitu protein yang mengandung zat besi di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh tubuh. Anemia defisiensi besi adalah anemia akibat berkurangnya zat besi dalam darah sebagai bahan utama sintesis
hemoglobin. Kadar normal hemoglobin pada dewasa wanita adalah 12 mg/dL – 15 mg/dl dan pada dewasa pria adalah 14 gr/dL –
18 gr/dL. Gejala dari anemia secara umum adalah lemah, tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat dan cepat, jantung
berdebar, dan roaring in the ears). Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi yaitu kebutuhan
yang meningkat, asupan zat besi yang kurang, infeksi, dan perdarahan saluran cerna dan juga terdapat faktor-faktor lainnya.
Anemia defisiensi besi dapat di diagnosis dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan pemberian zat besi secara oral, secara intramuskular dan transfusi
darah
Korespondensi :Ajeng Amalia Insani, alamat Jl. Nunyai dalam No 70 Rajabasa, HP 082177223728, email
insaniajeng@gmail.com
5
Pendahuluan 35% dari anak sekolah menderita anemia. Gejala
Anemia secara umum didefinisikan sebagai yang samar pada anemia ringan hingga sedang
berkurangnya konsentrasi hemoglobin didalam menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat
1
tubuh. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan
3
melainkan dapat disebabkan oleh bermacam- meningkatnya risiko kematian pada anak.
macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia Anemia defisiensi besi( A D B ) adalah
ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat
gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis
anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, hemoglobin.6 Menurut Dallman, anemia
takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, defisiensi adalah anemia akibat kekurangan zat
dilatasi jantung, dan gagal jantung.2,3 besi sehingga konsentrasi hemoglobin menurun
Anemia merupakan masalah kesehatan di bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata
masyarakat diseluruh dunia, prevalensi anemia dari umur dan jenis kelamin yang sama.7
pada anak usia kurang dari 4 tahun diperkirakan Hemoglobin adalah metaloprotein (protein
4
terdapat 43%. Survei Nasional di Indonesia (1992) yang mengandung zat besi) di dalam sel darah
mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5 merah yang berfungsi sebagai pengangkut
tahun menderita anemia, pada survey tahun 1995 oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, pada
ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24- mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga
pengusung karbon dioksida kembali menuju transport zat besi (non heme iron) ada sekitar
paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.7 90% berasal dari makanan, yaitu dalam bentuk
senyawa besi inoerganik feri (Fe3+), agar diserap
Isi dalam usus besinya harus diubah dulu menjadi
Faktor utama penyebab anemia adalah bentuk fero (Fe2+), contoh non heme iron adalah
asupan zat besi yang kurang. Sebesar dua per hemosiderin dan ferritin.
tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel Penyerapan besi oleh tubuh terutama
darah merah hemoglobin.8 dimukosa usus duodenum sampai pertengahan
Faktor lain yang berpengaruh terhadap jejunum. Penyerapan besi akan meningkat pada
kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti keadaan asam, defisiensi besi dan kehamilan
merokok, minum minuman keras, kebaisaan sedangkan penyerapan akan menurun pada
sarapan pagi, keadaan ekonomi dan demografi, keadaan basa, infeksi, adanya bahan makanan
pendidikan, umur, jenis kelamin, dan wilayah.9 yang mengandung phytat dan kelebihan
Anemia selalu merupakan keadaan tidak zatbesi.6,13 Proses terjadinya anemia defisiensi
normal dan harus dicari penyebabnya. besi melalui 3 tahap yaitu:6,14,15 (1). Stadium I:
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan, pemeriksaan deplesi cadangan besi yang ditandai dengan
laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penurunan serum ferritin (<10-12µg/L)
penderita anemia.10 sedangkan pemeriksaan Hb dan zat besi masih
Gejala utama adalah fatigue, nadi teras normal. (2). Stadium II: defisiensi besi tanpa
cepat, gejala dan tanda keadaanhiperdinamik anemia terjadi bila cadangan besi sudah habis
(denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring maka kadar besi didalam serum akan menurun
in the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat dan kadar hemoglobin masih normal.
timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang Pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan
mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia serum iron(SI) dan saturasi transferrin,
10,11
dan/ atau infark miokard). sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
Menentukan adanya anemia dengan meningkat. (3). Stadium III: anemia defisiensi
memeriksa kadar hemoglobin (Hb) dan atau besi ditandai dengan penurunan kadar Hb, MCH,
Packed Cell Volume (PCV) merupakan hal MCV, MCHC pada keadaan berat, Ht dan
pertama yang penting untuk memutuskan peningkatan kadar free erythrocyte
pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan protoporphyrin (FEP). Gambaran darah tepi
diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit didapatkan mikrositosis dan hipokromik.
MCV, MCH menurun, sedangkan MCHC akan
menurun pada keadaan berat. Gambaran Faktor-faktor yang berperan pada terjadinya
morfologi darah tepi ditemukan keadaan defisiensi besi : (1).Kebutuhan yang meningkat.
hipokrom, mikrositik, anisositosis dan Pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun
6 pertama dan masa remaja, pada saat itu berat
poikilositosis. badan bayi bertambah dengan cepat, dapat
Zat besi bersama dengan protein (globin) mencapai 6 kali lipat dari berat badan lahir. Pada
dan protoporpirin mempunyai peranan yang remaja terjadi perubahan hormonal yang
penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain menyebabkan terjadinya menstruasi.11
itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang .
(2).Kurangnya besi yang diserap Makanan bayi
berperan dalam metabolisme oksidatif, sitesis banyak yang tidak mengandung daging oleh
6
DNA, neurotransmitter, dan proses katabolisme. karena itu sebagian besar zat besi dalam
Berdasarkan bentuk ikatan dan fungsinya makanannya berbentuk non-heme sehingga
zat besi di dalam tubuh terbagi atas 2 macam, absorpsinya sangat Dipengaruhi factor dalam
yaitu:6,12 (1). Zat besi yang membentuk ikatan makanan. 6,11,13 Pada anak kurang gizi didapatkan
heme dengan protein (heme-protein) adalah mukosa usus yang mengalami perubahan secara
sekitar 10% berasal dari makanan. Zat besi ini histologis dan fungsional sehingga terjadi
dapat langsung diserap tanpa memperhatikan sindrom malabsorpsi, enteritis dan atrofi vili
cadangan besi dalam tubuh, asam lambung usus, hal ini dapat mengganggu penyerapan
ataupun zat yang dikonsumsi. (2). Cadangan dan
1,6
µg/dl eritrosit (4).Kadar ferritin serum <12µg/dl.
besi. (3).Infeksi. Infeksi mudah dan sering
Diagnosis ADB minimal 2 dari 3 kriteria (ST,
terjadi pada bayi dan anak, terutama di Negara
ferritin,serum dan FEP) harus dipenuhi.
sedang berkembang, misalnya infeksi kronis
Pengobatan anemia defisiensi besi terdiri
akibat tuberculosis, infeksi parasit, infeksi
atas:11,15 (1). Terapi zat besi oral: pada bayi dan
saluran nafas, diare dan lain sebagainya. Pada
anak terapi besi elemental diberikan dibagi
infeksi zat besi banyak digunakan oleh sistem
dengan dosis 3-6 mg/kgBB/hari diberikan dalam
kekebalan tubuh yaitu pada aktivitas fagositik
dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan
netrofil dan proliferasi sel limfosit.6,12
makan malam. Terapi zat besi diberikan selama
(4).Pendarahan saluran cerna. Perdarahan saluran
1 sampai 3 bulan dengan lama maksimal 5
cerna pada anak paling sering disebabkan oleh
bulan. Enam bulan setelah pengobatan selesai
infestasi cacing tambang atau parasit lain. Pada
harus dilakukan kembali pemeriksaan kadar Hb
bayi pendarahan saluran cerna dapat disebabkan
untuk memantau keberhasilan terapi. (2). Terapi
oleh alergi protein susu sapi, Diverticulum
zat besi intramuscular atau intravena dapat
Meckel, duplikasi usus, teleangiektasi
dipertimbangkan bila respon pengobatan oral
hemoragika dan polip usus.6
tidak berjalan baik, efek samping dapat berupa
Faktor lain yang berperan pada terjadinya ADB demam, mual, urtikaria, hipotensi, nyeri kepala,
adalah transfuse fero maternal, hemoglobinuria, lemas, artragia, bronkospasme sampai relaksi
dan iatrogenic bloodloss akibat pengambilan anafilaktik. (3). Transfusi darah diberikan
darah vena berulang-ulang.6 apabila gejala anemia disertai risiko terjadinya
Diagnosis anemia defisiensi ditegakkan gagal jantung yaitu pada kadar Hb 5-8g/dL.
berdasarkan:6,11,14 (1). Anamnesis untuk mencari Komponen darah yang diberikan berupa
faktor predisposisi dan etiologi, antara lain: bayi suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara serial
berat lahir rendah (BBLR), bayi kurang bulan, dengan tetesan lambat.
bayi yang baru lahir dari ibu anemia, bayi yang
mendapat susu sapi sebelum usia 1 tahun,
Ringkasan
danlainlain sebagainya. (2). Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukanadanya gejalapucat Anemia adalah berkurangnya volume
menahun tanpa disertai adanya organomegali, hemoglobin. Anemia defisiensi besi adalah
seperti hepatomegaly dan splenomegaly. (3). keadaan berkurangnya zat besi dalam tubuh untuk
Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan sintesis hemogloin.
darah rutin seperti Hb, PCV (PackedCell Mekanisme metabolisme zat besi didalam
Volume), leukosit, trombosit ditambah tubuh adalah zat besi bersama dengan protein
pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, saturasi (globin) dan protoporpirin mempunyai peranan
morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi yang penting dalam pembentukan hemoglobin.
(Fe serum, TIBC, transferrin, Free Erythrocyte Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa
Protoporphyrin(FEP), ferritin). Pada ADB nilai enzim yang berperan dalam metabolism oksidatif,
indeks eritrosit MCV, MCH akan menurun, sitesis DNA, neurotransmitter, dan proses
MCHC akan menurun pada keadan berat, dan katabolisme. Berdasarkan bentuk ikatan dan
RDW akan meningkat. Gambaran morfologi fungsinya zat besi didalam tubuhterbagi atas 2
darah tepi ditemukan keadaan hipokrom, macam, yaitu : (1). Zat besi yang membentuk
mikrositik, anisositik hipokrom biasanya terjadi ikatan heme dengan protein (heme-protein), (2).
pada ADB, infeksi kronis dan thalassemia. Cadangan dan transport zat besi (non hemeiron)
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO.1 Gejala anemia adalah fatigue, gejala dan
(1). Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia. tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung
(2). Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata<31% berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia yang
(N32-35) (3).Kadar Fe serum <5µg/dl (N:80- lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan
180µg/dl). (4). Saturasi transferrin <15% (N: 20- komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung,
50%). Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan angina, aritmia dan atau infark miokard). Terdapat 3
Monsen: (1).Anemia hipokrom mikrositik tahap terjadinya anemia defisiensi besi, yaitu: (1).
(2).Saturasi transferrin <16% (3).Nilai FEP 100 Penurunan serum ferritin (<10-12µg/L)
Abstrak
Batasan asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA) adalah penyakit heterogen berupa inflamasi kronik saluran
nafas. Gejala penyakit ini berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi serta keterbatasan aliran
udara yang bervariasi.Wheezing berulang dan / atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis seperti uji fungsi paru. Penyakit ini dapat diklasifikasikan
menjadi asma episodik jarang, episodik sering serta persisten. Sedangkan saat serangan dibagi menjadi asma serangn
ringan, sedang, berat dan ancaman henti napas. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal.
Korespondensi : dr. Roro Rukmi W,Sp.A. Jl. Soemantri Brodjonegoro No.1.Fakultas Kedokteran Unila. Bandar Lampung
saluran napas bersifat difus dan bervariasi besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru
derajatnya, dapat membaik spontan atau sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang
dengan pengobatan. Penyempitan saluran sederhana dengan peak flow meter, atau yang
napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi
berat di dada, mengi, dan hiperesponsivitas bronkus dengan histamin, metakolin, latihan
bronkus terhadap berbagai stimuli. (exercise), udara kering dan dingin atau dengan
Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah NaCl hipertonis, sangat menunjang
7,8,9
kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk
oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.3,4 mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara
Etiologi remodelling saluran pernapasan yaitu didapatkannya yaitu :
berhubungan dengan perubahan struktural 1. Variabilitas pada PFR atau FEVI > 15 %
matiks saluran pernafasan yang menyertainya Variabilitas harian adalah perbedaan nilai
dalam jangka waktu yang lama dan inflamasi (peningkatan / penurunan) hasil PFR dalam
saluran pernapasan yang semakin berat. Akibat
satu hari. Penilaian yang baik dapat
dari perubahan tersebut menyebabkan
obstruksi saluran pernapasan semakin dilakukan dengan variabilitas mingguan
persisten dan mungkin tidak dapat ditangani yang pemeriksaan berlangsung > 2 minggu.
kembali.5,6 2. Reversibilitas pada PFR atau FEVI > 15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai
3. Hipersekresi mukosa (peningkatan) PFR atau FEVI setelah
Hipersekresi mukosa dikarenakan pemberian inhalasi bronkodilator.
terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel
3. Penurunan > 20 % pada FEVI (PD20 atau
goblet pada saluran napas penderita asma
yang disebabkan oleh aktivasi mediator PC20) setelah provokasi bronkus dengan
inflamasi. Penyumbatan saluran napas oleh metakolin atau histamin.
mukus hampir selalu didapatkan pada asma
yang berat. Hipersekresi mukus akan Pada pasien dengan batuk produktif,
mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama infeksi respiratorik berulang, gejala respiratorik
inflamasi, dan menyebabkan kerusakan sejak masa neonatus, muntah dan tersedak,
struktur/ fungsi epitel.2,7 gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru,
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Wheezing berulang dan / atau batuk Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto
kronik berulang merupakan titik awal untuk Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji
menegakkan diagnosis. Hal yang termasuk provokasi. Selain itu mungkin juga perlu
perlu dipertimbangkan kemungkinan asma diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji
adalah anak-anak yang hanya menunjukkan keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun,
batuk sebagai satu-satunya tanda dan pada pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan
saat diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain- tindakan bronkoskopi.10,11
lain sedang tidak timbul. Sehubungan dengan Klasifikasi asma menurut Global
kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., Initiative for Asthma (GINA) 2009 dibagi
khususnya anak di bawah 3 tahun, respons menjadi 3 derajat penyakit, yaitu asma
yang baik terhadap obat bronkodilator dan episodik jarang, asma episodik sering, dan
steroid sistemik (5 hari) dan dengan asma persisten.
penyingkiran penyakit lain diagnosis asma
menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah
4 Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5 Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Serangan ringan
Pada serangan ringan pemberian 2-agonis saja sudah cukup. Pemberian 2-agonis sebaiknya
diberikan secara inhalasi (baik dengan MDI= Metered Dose Inhaler atau DPI=Dry Powder
Inhaler atau nebulisasi).
Pada pasien yang menunjukkan respons baik (complete response) setelah pemberian nebulisasi
, .P 1 2 ,
respons tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat
bronkodilator (hirupan atau oral) y 4 6 . P
ringan tidak memerlukan kortikosteroid oral kecuali jika pencetus serangannya adalah infeksi
, . K (3 5
hari), dengan 1 2 / BB/ . K
prednison dan prednisolon. Pemberian maksimum 12 kali (episode) pertahun tidak mengganggu
. P K J 24 48
untuk re-evaluasi tatalaksananya. Apabila dalam kurun waktu observasi gejala timbul kembali,
maka pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.
Serangan sedang
Pasien diberikan oksigen, kemudian pasien diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari
1980
(RRS). Di RRS, nebulisasi dilanjutkan dengan -agonis + antikolinergik tiap 2 jam. Bila
responsnya baik, frekuensi nebulisasi dikurangi tiap 4 jam, kemudian tiap 6 jam. Jika dalam 12-24
jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan.
Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap,
dan mendapat tatalaksana sebagai serangan berat.
Serangan berat
Pemberian oksigen dilakukan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan
lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup
diberikan sekali langsung dengan -agonis dan antikolinergik (ipratropium bromide), tidak perlu
melakukan tahapan seperti di atas(melalui serangan ringan lalu serangan sedang).
Pada pasien dengan gejala dan tanda Ancaman Henti Napas, pasien harus langsung dirawat
di Ruang Rawat Intensif. Apabila fasilitas nebulisasi tidak tersedia, maka penggunaan obat
adrenalin sebagai alternatif dapat digunakan. Adrenalin 1/1000 diberikan secara intra muskuler,
dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali, dengan dosis maksimalnya 0,5 ml/kali. Sesuai dengan panduan
tatalaksana di IGD, adrenalin dapat diberikan 3 kali berturut dengan selang 20 menit.
1981
HIGEIA 3 (1) (2019)
Aprillya Wibowo Putri1 , Ayu Pratitis1, Lulu Luthfiya1, Sri Wahyuni1, Auly Tarmali 11
Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo, Indonesia
1
Alamat korespondensi:
p ISSN 1475-362846
Jalan Diponegoro no. 186, Gedanganak
Ungaran Timur, Kab. Semarang 50519 e ISSN 1475-222656
E-mail: aprillya.putri@gmail.com
55
Aprillya, W, P., dkk. / Faktor Ibu terhadap / HIGEIA 3 (1) (2019)
56
Volume 8 Nomor 2 November 2018
Abstrak
Kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama ibu
hamil. BBLR masih terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan secara global
karena mempunyai efek jangka pendek maupun panjangnya terhadap kesehatan. Kasus BBLR
mempunyai risiko meningkatkan mortalitas dan morbiditas. BBLR di Kabupaten Kulon Progo
pada tahun 2015 sebanyak 362 kasus dari 5.232 kelahiran hidup. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui deskripsi karakteristik ibu yang melahirkan bayi BBLR di Kabupaten Kulonprogo,
Yogyakarta. Objek penelitian ini ibu yang melahirkan bayi tahun 2017 di RSUD Wates Kulon
Progo Yogyakarta. Desain penelitian retrospektif. Data yang digunakan adalah data sekunder
yang berupa data Rekam Medis di RSUD Wates. Teknik pengambilan sampel dengan fixed disease
sampling dengan jumlah sampel 533 sampel dan memenuhi kriteria inklusi dan eklusi. Analisis
data dengan menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian diperoleh ibu yang melahirkan
bayi BBLR mayoritas di usia berisiko (<19 tahun & >35 tahun) 39,9%, jarak hamil yang berisiko
2 tahun) sebesar 42,9%, status LLA dari 39% yang KEK, kadar Hb anemia yang melahirkan
BBLR sebesar 7,3%, status IMT kurus 6,8% bahkan yang BB lebih 7,5% melahirkan BBLR 39%,
Paritas mayoritas grandemultipara (54,5%) yang melahirkan BBLR, dan status penyakit ada
52,6% yang mempunyai riwayat penyakit melahirkan BBLRdan jenis penyakit paling banyak
adalah Pre eklamsi/Pre eklamsi Berat. Berat badan lahir merupakan indikator tumbuh kembang
mulai dari janin hingga dewasa. Beragamnya karakteristik ibu yang melahirkan BBLR, sangat
perlu meningkatkan skreening BBLR saat ibu masih dalam kondisi hamil, sehingga jika diketahui
ibu hamil dengan risiko BBLR dapat ditangani dengan segera dan harapannya bayi yang
dilahirkan kelak mempunyai berat badan cukup.
akan diberikan. Saluran cerna merupakan organ saluran cerna pada janin dapat dilihat pada Tabel-1 di
pertama yang berhubungan dengan proses digesti dan berikut ini.4
absorpsi makanan. Ketersediaan enzim pencernaan
baik untuk karbohidrat, protein, maupun lemak sangat
berkaitan dengan masa gestasi. Umumnya pada Kebutuhan Nutrisi
neonatus cukup bulan (NCB) enzim pencernaan sudah
mencukupi kecuali laktase dan diperkirakan sekitar Pada masa neonatus, nutrisi BBLR merupakan
25% NCB sampai usia 1 minggu menunjukkan kebutuhan paling besar dibandingkan kebutuhan
intoleransi laktosa.2 Aktivitas enzim sukrase dan Iaktase pada masa manapun dalam kehidupan; untuk
Iebih rendah pada BBLR dan sukrase Iebih cepat mencapai tumbuh kembang optimal.5 Pertumbuhan
meningkat daripada laktase. BBLR yang direfleksikan per kilogram berat badan
Di samping masalah enzim, kemampuan pe- hampir dua kali lipat bayi cukup bulan, sehingga
ngosongan lambung (gastric emptying time) Iebih BBLR membutuhkan dukungan nutrisi khusus dan
lambat pada bayi BBLR dari pada bayi cukup bulan.3 optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada
Demikian pula fungsi mengisap dan menelan (suck and umumnya BBLR dengan berat lahir kurang dari 1500
swallow) masih belum sempurna, terlebih bila bayi g, memerlukan nutrisi parenteral segera sesudah lahir.
dengan masa gestasi kurang dari 34 minggu. Toleransi Belum ada standar kebutuhan nutrien yang disusun
terhadap osmolaritas formula yang diberikan masih secara tepat untuk BBLR, sebanding dengan air susu
rendah, sehingga kemungkinan terjadinya komplikasi ibu (ASI). Rekomendasi yang ada ditujukan untuk
seperti NEC (neoritising enterocolitis) ataupun diare memenuhi kebutuhan nutrien yang mendekati
Iebih besar. Perkembangan anatomis dan fisiologis kecepatan tumbuh dan komposisi tubuh janin normal
166
DEPARTMENT Case Study—Primary Care
Abstract: Vitamin K is essential for the synthesis of few coagulation factors. Infants can easily
develop vitamin K deficiency owing to poor placental transfer, low vitamin K content in breast milk,
and poor intestinal absorption due to immature gut flora and malabsorption. Vitamin K deficiency
bleeding (VKDB) in infancy is classified according to the time of presentation: early (within 24 h),
classic (within 1 week after birth), and late (between 2 week and 6 months of age). VKDB in infancy,
particularly late-onset VKDB, can be life-threatening. Therefore, all infants, including newborn
infants, should receive vitamin K prophylaxis. Exclusive breastfeeding and cholestasis are closely
associated with this deficiency and result in late-onset VKDB. Intramuscular prophylactic injections
reduce the incidence of early-onset, classic, and late-onset VKDB. However, the prophylaxis strategy
has recently been inclined toward oral administration because it is easier, safer, and cheaper to
administer than intramuscular injection. Several epidemiological studies have shown that vitamin K
oral administration is e↵ective in the prevention of VKDB in infancy; however, the success of oral
prophylaxis depends on the protocol regimen and parent compliance. Further national surveillance
and studies are warranted to reveal the optimal prophylaxis regimen in term and preterm infants.
1. Introduction
Vitamin K is a fat-soluble vitamin and a necessary cofactor for the synthesis and activation of
coagulation factors II (prothrombin), VII, IX, and X (vitamin K-dependent coagulation factors) and
proteins C and S in the liver [1]. Vitamin K plays a critical role as a cofactor of gamma-glutamyl carboxylase
in the conversion of glutamic acid to gamma-carboxyglutamic acid residues in the N-terminus of vitamin
K-dependent procoagulant factors and proteins C and S [2]. Three forms of vitamin K are known:
vitamin K1 (phylloquinone), vitamin K2 (menaquinones), and vitamin K3 (menadione) [3]. Vitamin K1
(phylloquinone) is the major circulating form and is primarily provided by dietary sources, such as green
leafy vegetables [3]. Vitamin K2 (menaquinones) is found in the diet, particularly in egg yolks, chicken,
beef, vegetables, and fermented products, such as natto [3]. In addition, vitamin K2 is synthesized from
the gut flora (intestinal bacteria) and scavenger receptor class B type I [4], and Niemann–Pick C1–Like
1 [5] has recently been reported as a key regulator of intestinal vitamin K absorption. Vitamin K3 , a
synthetic form, is not being used currently for intramuscular (IM) vitamin K prophylaxis in humans
because of hemolytic anemia that can occur in glucose-6-phosphate dehydrogenase-deficient infants [6].
Because vitamin K is available from various sources, vitamin K deficiency is a rare condition in adult
humans. However, the situation differs in newborn infants because the vitamin K levels transferred
from the mother to the child across the placenta are quite low. The vitamin K levels in the cord blood are
often below the detection limit of 0.02 ng/mL in healthy newborns [7]. We have previously reported that
vitamin K levels in umbilical blood were extremely low and that newborn infants have few vitamin K
Table 2. Physiological fecal levels of vitamin K (phylloquinone (K1) and menaquinones (MK-4–10)) in
normal adults and neonates (ng/g dry weight).
between 2007 and 2016. There were 20 reported cases (2 sets of twins), including 18 fetal cases. Among
the 18 mothers with early-onset and fetal VKDB infants, 11 mothers were malnourished, and the
remaining had Crohn’s disease (n = 3) or were undergoing warfarin therapy (n = 4). Intracranial
hemorrhage was the most common clinical feature (n = 12) and resulted in severe neurological sequelae
(n = 9) and intrauterine fetal death (n = 2). No cases involved prophylactic vitamin K administration to
the mother (unpublished data).
Conversely, classic VKDB, which is associated with low vitamin K content in breast milk, poor
feeding of milk, and/or inadequate vitamin K prophylaxis, has a good prognosis because its bleeding
sites are typically located in the intestinal tract. In addition, a natural decrease in the activity of
prothrombin during this period has previously been reported [30,31]. Without vitamin K prophylaxis,
classic VKDB is reported to occur in 0.25% to 1.7% of neonates without underlying diseases [32].
The late-onset VKDB occurs between 2 weeks and 6 months after birth, with an increased
occurrence reported between 3 and 8 weeks after birth [33]. It has an incidence of 4.4 to 72.0 per 100,000
live births in Asia and Europe (Table 5).
The late-onset VKDB is classified as idiopathic without the risk factors of vitamin K deficiency
except for breastfeeding or as secondary VKDB with risk factors of vitamin K deficiency, such as
malabsorption or cholestasis, because vitamin K absorption closely depends on the intestinal availability
of bile [3]. In the first [22] and second [34] Japanese nationwide surveys, 427 idiopathic cases and
57 secondary cases were reported, indicating that idiopathic cases are 7.5 times more common than
secondary cases in Japan. Of the cases reported, 476 (87.7%) involved exclusive breastfeeding. This
ratio is remarkably high compared with the mean rate of breastfeeding in Japan.
The hemorrhagic manifestations of late-onset VKDB mainly involve the gastrointestinal tract,
skin, and central nervous system and present as intracranial hemorrhage. Most reported cases of
late-onset VKDB have presented with intracranial hemorrhage. According to the abovementioned
Japanese survey [22,34] for hemorrhagic sites, intracranial hemorrhage was reported in 82.7% of infants
with idiopathic VKDB. Furthermore, intracranial hemorrhage was also significant in infants with
secondary VKDB. Late-onset VKDB might a↵ect morbidity and mortality, with the mortality being
as high as 20%–50% [33]. In a Japanese survey [23,35] including 427 patients with idiopathic VKDB,
62 patients (14.5%) died and 171 (40.0%) survived with severe neurological sequelae. Interestingly, a
high number of reports of late-onset VKDB, particularly idiopathic VKDB, was from South East Asia
and Australia [35]. Late-onset VKDB is more frequent in the Asian population than the Caucasian
population [35]. This finding may be partially explained by dietary habits or the 6-fold higher incidence
of biliary atresia in Asia than in Western Europe [36]. Recent studies have confirmed that genetic
variants of 10q24 are closely associated with the epidemiology of biliary atresia [37,38].
vitamin K absence or antagonists (PIVKAs) and a rapid normalization of coagulation parameters, such
as APTT and PT, after vitamin K administration, or both.
PIVKAs are undercarboxylated precursor proteins of vitamin K-dependent coagulation factors
induced by vitamin K deficiency [39,40]. PIVKAs are released from the liver into the blood but lack
calcium-binding activity and are thus inactive. PIVKAs are often measured to determine the presence of
subclinical vitamin K deficiency and can be detected before the development of complications, including
coagulopathies, owing to vitamin K deficiency [41,42]. PIVKA levels are correlated with the severity of
deficiency, and an increase in their levels is considerably more common in breastfed infants. Vitamin K
levels in the cord blood of both term and preterm infants are undetectable; however, PIVKA-II is only
elevated in 10% to 50% of cord blood samples [41,43]. A previous study including term and preterm
infants revealed that there was no significant relationship between gestational age and PIVKA-II levels
in the cord blood [44].
Although the serum vitamin K (phylloquinone and menaquinone) level is a useful status
indicator [45], its use is not practical because of the technical difficulty involved. Reference values in
healthy adults range from 0.2 to 1.0 µg/L (median, ~0.5 µg/L).
Previously, we have successfully performed a screening test program to detect vitamin K deficiency
in a breastfed infant population using Normotest, which can determine the activity of factors II, VII,
and X using 10-µL heel puncture blood specimens collected in microtubes. This screening test program
has been applied in only Japan. However, the screening test program was substituted for prophylactic
vitamin K administration because heel punctures are more invasive, difficult, and expensive than
vitamin K administration [46].
Several reports have revealed that genetic factors can influence the vitamin K-dependent
coagulation system and intraventricular hemorrhage [14,15]. Further studies regarding the usefulness
of testing for genetic variants to prevent and diagnose VKDB are warranted.
NCBI Bookshelf. A service of the National Library of Medicine, National Institutes of Health.
Vitamin K Deficiency
Authors
Affiliations
1 Brooke Army Medical Center
2 SAMMC
Introduction
Vitamin K refers to a group of fat-soluble compounds. There are several vitamin K-dependent proteins involved in
coagulation, bone development, and cardiovascular health. Vitamin K deficiency can contribute to significant bleeding,
poor bone development, osteoporosis, and increased cardiovascular disease. According to the National Academy of
Science Food and Nutrition Board, the dietary requirements are based on the intake of healthy adults, and the adequate
intake is 120 and 90 ug/day for men and women, respectively.
Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB) in newborns can separate into three categories based on the timing of the
presentation. Early VKDB presents within 24 hours after birth, classic VKDB presents within the first week, and late
VKDB presents between one to twelve weeks of life.[1]
Etiology
Vitamin K deficiency occurs in the neonatal period, in Hereditary Combined Vitamin K-dependent Clotting Factors
Deficiency (VKCFD), inadequate uptake from diet or because of a chronic disorder, or it can be drug-related.
Epidemiology
All neonates have reduced Vitamin K at birth. The first reported classic VKDB was in 1894 as a bleeding disorder that
occurred on day 2 or 3 of life. In combination with sepsis-induced bleeding, the incidence was 600/100,000 infants
with a 62% fatality rate. Late VKDB occurs in 4.4 to 72 infants per 100,000 births with an increased risk in exclusively
breastfed infants and the highest incidence occurring in Asian populations. Early VKDB has been associated with
mothers on anticonvulsants or other vitamin K interfering substances, and incidence without vitamin K
supplementation has been reported as high as 12%. The mortality rate for late VKDB is 20-50%. Late VKDB also has
a significant neurologic morbidity rate. Without Vitamin K supplementation, the current day incidence of classic
VKDB is estimated to be 0.25-1.7%.[1][2]
VKCFD is extremely rare with less than 30 cases worldwide and affects males and females equally.[3]
In normal healthy adults, 8-31% have vitamin K deficiency. However, it is very rare to result in clinically significant
bleeding. Cases are limited to individuals with malabsorption syndromes and those treated with drugs that interfere
with vitamin K metabolism.[4][5][6]
Pathophysiology
Vitamin K is a group of fat-soluble 2-methyl-1,4-naphthoquinone. There is a variable alkyl substituent at the third
position and exists in two principal forms: K1 (phylloquinone) and K2 (menaquinone). There is a third, synthetic form
K3 (menadione), the use of which has been replaced by a synthetic form of vitamin K1 due to the potential for toxicity
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536983/?report=printable Page 1 of 6
Vitamin K Deficiency - StatPearls - NCBI Bookshelf 11/12/20 17.25
in infants with glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency.[1] The primary vitamin K1 is predominantly from leafy
greens and vegetables, while the main source of Vitamin K2 is intestinal flora and fermented foods. Vitamins K1 and
K2 have different bodily distributions and may have different impacts on enzyme activity.[4] Vitamin K1 is the major
source in the human diet and is absorbed in the jejunum and ileum, transported by chylomicrons in circulation, and is
dependent on bile, pancreatic enzymes, and dietary fat content. [7]
These substances are necessary for adequate blood clotting because they are cofactors for gamma-glutamyl carboxylase
and vitamin K2,3-epoxide reductase complex in modifying gamma-carboxyglutamic acid on clotting factors II, VII,
IX, and X. This modification is required for cofactors to bind to phospholipids in the platelet membrane. Under-
carboxylated clotting factors will lead to decreased protein activity and can lead to bleeding.[4]
Vitamin K is also a requirement for various other proteins including anti-coagulant proteins (C, S, and Z), osteocalcin,
and matrix GLA protein.[8] Under-carboxylated osteocalcin has shown to increase in individuals with decreased bone
mineral density and with increased fracture rates in the elderly. [8,9] Decreased levels of some vitamin K subtypes
results in increased arterial calcification.[4]
Vitamin K is not transported across the placenta efficiently, and infants are born with low to undetectable
concentrations of Vitamin K and elevation of Protein Induced by Vitamin K Absence or Antagonism (PIVKA). PIVKA
is a pre-carboxylated (incompletely carboxylated) form of prothrombin.[9]
VKCFD is an autosomal recessive disorder with mutations in gamma-glutamyl carboxylase (type 1) or vitamin K2,3-
epoxide reductase complex (type 2) which results in under-carboxylation and decreased activity of K-dependent
proteins.
In VKDB, the neonate will present with bleeding. Early VKDB often presents with intracranial, intrathoracic, intra-
abdominal and other severe bleeding conditions. Early VKDB is also often associated with maternal drugs that inhibit
vitamin K metabolism. Classis VKDB typically occurs with less severe bleeding such as that of the umbilicus,
gastrointestinal tract, and post-circumcision. Late VKDB often presents with severe intracranial bleed. All forms of
VKDB have a high incidence of the refusal of vitamin K prophylaxis. Late VKDB has a higher association with
exclusively breastfed infants due to the lower dietary intake of vitamin K found in human milk versus formula.
[10] Warning bleeds or bruising should always prompt further investigation by laboratory testing.
VKCFD presents in the newborn period in severe cases similar to VKDB but can present later in life in milder cases.
Common presentation occurs with severe spontaneous or surgical bleeding events. History of easy bruising and
mucosal bleeding is frequent, and there can be developmental and skeletal abnormalities.[3]
Evaluation
Classic vitamin K deficiency is a vitamin-k responsive elongation of prothrombin time or bleeding. Prothrombin time
has served as an indicator of vitamin K status because of the effect on plasma prothrombin; however, there must be
approximately a 50% decrease in prothrombin before the prothrombin time becomes abnormal and is nonspecific.[11]
In the absence of vitamin K, there is a production of PIVKA-II and is a sensitive marker for vitamin K deficiency
status. PIVKA-II has minimal variability based on other factors such as age that influence vitamin K plasma and serum
concentration.[12] Increased PIVKA-II levels start to become apparent in individuals consuming less than 60 mcg of
vitamin K per day.[13] At birth, elevated PIVKA-II levels exist in 10-50% of newborns and 70% of non-supplemented
healthy infants on day of life 4 or 5.[1] Direct measurement of vitamin K plasma levels show highly variable data
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536983/?report=printable Page 2 of 6