Anda di halaman 1dari 32

BIOTEKNOLOGI TANAMAN

“REKAYASA GENETIKA TANAMAN 1. KETAHANAN THD


STRESS BIOTIK (HERBUSIDA, SERANGGA, PENYAKIT,
VIRUS) : HIBRIDISASI, PCR, IMUNOLOGI”
Dosen Pengampu: Dr. Dasumiati, M.Si.
(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Bioteknologi
Tanaman)

Disusun oleh:
Kelompok 7
Alfifachri Bilfi Arzan (11190950000048)
Alyka Zahara (111909500000042)
Fakhrana Meida (111909050000041)
Kelas 6B Biologi

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2021/1442 H
KATA PENGANTAR

Puji-puji dan syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Hanya kepada-Nya lah kami
memuji dan hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak lupa shalawat serta
salam kami haturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad SAW. Risalah beliau
lah yang bermanfaat bagi kita semua sebagai petunjuk menjalani kehidupan.
Dalam penulisan makalah yang berjudul “Rekayasa genetika tanaman 1. Ketahanan
thd stress biotik (herbusida, serangga, penyakit, virus) : hibridisasi, pcr, imunologi” kami
telah menerima bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Dasumiati, M.Si. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Bioteknologi
Tanaman.
2. Kedua orang tua serta teman-teman kelas 6B Program Studi Biologi, dan pihak-
pihak yang sudah mendukung dan memfasilitasi dalam berjalannya penyusunan
makalah ini.
Makalah “Rekayasa genetika tanaman 1. Ketahanan thd stress biotik (herbusida,
serangga, penyakit, virus) : hibridisasi, pcr, imunologi” ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Bioteknologi Tanaman. Kami menantikan kritik dan saran yang membangun
dari setiap pembaca agar perbaikan dapat dilakukan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Jakarta, 19 April 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3

1.1. Latar Belakang.............................................................................................................3

1.2.Rumusan Masalah.........................................................................................................3

1.3.Tujuan...........................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4

2.1. Pengantar Bioteknologi.................................................................................................4

2.2. Sejarah Bioteknologi secara umum..............................................................................4

2.3. Pengantar Bioteknologi tanaman..................................................................................6

2.4. Sejarah Bioteknologi tanaman......................................................................................6

2.5. Teknik Bioteknologi tanaman.......................................................................................9

2.5.1. Kultur Jaringan....................................................................................................9

2.5.1.1. Kultur Haploid Androgenik....................................................................9

2.5.1.2. Variasi Somoklonal Dengan Seleksi In Vitro.......................................10

2.5.2. Rekayasa genetik...............................................................................................12

2.5.2.1. Transfer Gen ke dalam Protoplas dengan PEG (polyethylene glycol) .12

2.5.2.2. Transfer Gen ke dalam Tanaman dengan Teknik Biolistik.................13

BAB III PENUTUP................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

2
BAB I
PENDAHULUA
N

1.1. Latar Belakang


Cekaman (Stress) pada tumbuhan didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak
menguntungkan yang berpengaruh buruk terhadap tanaman (Fallah, 2006). Campbell (2003)
menambahkan bahwa cekaman dapat diartikan sebagai kondisi lingkungan yang dapat
memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan, reproduksi dan kelangsungan hidup tumbuhan.
Salisburry dan Ross (1992) juga menyatakan bahwa cekaman fisiologi pada tumbuhan
merupakan segala perubahan kondisi lingkungan yang mungkin akan menurunkan atau
merugikan pertumbuhan atau perkembangan tumbuhan atau fungsi normalnya. Cekaman
terjadi karena adanya perubahan yang menyimpang dari proses fisiologi yang dihasilkan
dari satu atau kombinasi faktor-faktor biologi dan lingkungan. Cekaman dapat terjadi
melalui beberapa sumber yang ada di lingkungan.  Menurut Hidayat (2002) pada umumnya
cekaman lingkungan pada tumbuhan dikelompokkan menjadi dua yaitu Cekaman Biotik
yang terdiri dari kompetisi inter dan antar spesies dan adanya infeksi oleh herbivora, hama,
dan penyakit serta adapula Cekaman Abiotik yang terdiri dari suhu, air (kelebihan dan
kekurangannya), cahaya, unsur hara, salinitas, dan lainnya.
Organisme pengganggu tanaman (OPT) adalah hewan atau tumbuhan baik
berukuran mikro ataupun makro yang mengganggu, menghambat, bahkan mematikan
tanaman yang dibudidayakan. Berdasarkan jenis seranganya OPT dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu hama, vektor penyakit, dan gulma.
Hama merupakan salah satu jenis organisme pengganggu tanaman yang
keberadaannya sangat tidak diinginkan karena besarnya kerugian yang ditimbulkan akibat
aktivitas hidup dari organisme ini pada pertanaman. Apabila dilihat dalam arti luas, Hama
adalah semua bentuk gangguan baik kepada manusia, tanaman, maupun ternak. Namun, dari
arti sempit hama adalah semua hewan yang merusak tanaman yang dapat menimbulkan
kerugian. Jadi, apabila ada seekor hewan pada tanaman namun tidak menimbulkan kerugian
maka hewan tersebut tidak termasuk hama. Hama yang merusak tanaman dapat dilihat
secara jelas dari bekasnya (gerekan atau gigitan). Secara garis besar hewan yang dapat
menjadi hama dapat dari jenis serangga, moluska, tungau, tikus, burung, atau mamalia
besar. Mungkin di suatu daerah hewan tersebut menjadi hama, namun di daerah lain belum
tentu menjadi hama (Dadang : 2006). Pada intinya hama merupakan gangguan yang
3
meresahkan manusia, gangguan tersebut dapat berasal dari binatang penganggu (kutu, tikus,
wereng, dll), dan juga dapat berasal dari tumbuhan penganggu (bakteri, jamur, virus).
Vektor penyakit atau biasa disebut sebagai faktor pembawa penyakit adalah
organisme yang memberikan gejala sakit, menurunkan imunitas, atau mengganggu
metabolisme tanaman sehingga terjadi gejala abnormal pada sistem metabolisme tanaman
tersebut. Beberapa penyakit masih dapat ditanggulangi dan tidak memberikan efek serius
apabila imunitas tanaman dapat ditingkatkan atau varietas tersebut toleran terhadap penyakit
yang menyerangnya. Namun terdapat pula penyakit yang memberikan efek serius pada
tanaman dan bahkan menyebabkan kematian. Beberapa vektor penyakit tanaman adalah
virus, bakteri, dan cendawan. Umumnya gejala penyakit memiliki efek menular yang sangat
cepat dan sulit dibendung.
Gulma adalah tumbuhan liar yang tidak dikehendaki tumbuhnya dan bersifat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan. Gulma
memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada pertumbuhan tanaman, meskipun
biasanya tidak menimbulkan kematian. Gulma bisa disebut juga sebagai kompetitor
penyerap nutrisi daerah perakaran tanaman. Apabila pertumbuhan gulma lebih cepat
dibandingkan tanaman, maka sudah dapat dipastikan tanaman yang dibudidayakan akan
mengalami pertumbuhan yang tidak optimal. Beberapa jenis gulma bahkan ada yang
memberikan efek racun pada perakaran tanaman, seperti kandungan metabolit sekunder
(cairan) pada akar alang-alang.
Sehubungan dengan konsep pertanian organik, maka tata cara pencegahan ataupun
penganggulangan OPT harus menggunakan bahan-bahan organik dan teknis yang ramah
lingkungan. Zat-zat yang digunakan untuk mencegah dan menanggulangi OPT yaitu dengan
cara rekayasa genetic tanpa menggunakan pestisida. Adapun alasan mengapa rekayasa
genetic lebih menguntungkan dari pada pemakaian pestisida karena pestisida sendiri dapat
memengaruhi organisme yang menguntungkan serta bisa kebal fitopatogen. Karena, jika
dianalisis lebih mendalam, persentase dari kerugian yang dihasil akibat serangan patogen,
serangga hama, dan gulma pada tahun 1994 telah mencapai 42% di seluruh dunia (500
milyar dollar US). Menurut FAO, 1993, di Amerika kerugian hasil akibat serangan patogen
mencapai 9,1 milyar dollar US, sementara di seluruh dunia, produktivitas tanaman
berkurang sebanyak 12% akibat serangan patogen. Di seluruh dunia, aplikasi pestisida telah
menghabiskan dana sebesar 26 milyar dolar per tahunnya untuk mengendalikan hama dan
penyakit tumbuhan. Maka dari itu, rekayasa genetika merupakan solusi yang tepat.
Pengertian dari rekayasa genetika sendiri merupakan salah satu teknik bioteknologi

4
yang dilakukan dengan cara pemindahan gen dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup
lainnya (yang biasa dikenal juga dengan istilah transgenetik). Tujuan utama dari rekayasa
genetic adalah untuk menghasilkan tanaman, hewan, ataupun jasad renik yang memiliki
sifat-sifat tertentu sehingga mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi manusia.
Melalui rekayasa genetika manusia menciptakan tanaman, hewan, dan mikroorganisme
yang baru.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi permasalahan sebagai berikut:


1. Bagaimana proses rekayasa genetika tanaman
2. Apa saja cekaman biotik pada tanaman?
3. Bagaimana proses rekayasa genetika menjadi tanaman yang tahan herbisida,
serangga, virus dan penyakit?
4. Bagaimana mekanisme ketahanan tanaman dengan teknik hibridisasi, pcr, dan
imunologi?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui proses rekayasa genetika pada tanaman
2. Mengetahui cekaman biotik pada tanaman
3. Mengetahui lroses rekayasa genetika menjadi tanaman yang tahan herbisida,
serangga, virus dan penyakit
4. Mengetahui bagaimana mekanisme ketahanan tanaman dengan hibridisasi, pcr, dan
iimunologi

5
BAB II
PEMBAHASA
N

2.1 Rekayasa Genetika Tanaman

Rekayasa genetik (RG) merupakan kumpulan teknik-teknik eksperimental yang


memungkinkan peneliti untuk mengisolasi, mengidentifikasi, dan melipatgandakan suatu
fragmen dari materi genetika (DNA) dalam bentuk murninya. Pemanfaatan teknik genetika di
dalam bidang pertanian maupun peternakan diharapkan dapat memberikan sumbangan, baik
dalam membantu memahami mekanisme-mekanisme dasar proses metabolisme maupun
dalam penerapan praktisnya seperti misalnya untuk pengembangan tanaman-tanaman
pertanian maupun hewan-hewan ternak dengan sifat unggul. Salah satu produk RG yang
dikenal saat ini adalah tanaman transgenik. Tanaman Ini dihasilkan dengan cara
mengintroduksi gen tertentu ke dalam tubuh tanaman sehingga Diperoleh sifat yang
diinginkan. Jenis-jenis tanaman transgenik yang telah dikenal diantaranya tanaman tahan
hama, toleran herbisida, tahan antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik,serta
dengan produktifitas lebih tinggi (Sugianto, 2017).

Untuk membuat suatu tanaman transgenik, pertama-tama dilakukan identifikasi atau


pencarian gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan). Gen yang
diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan, virus dan bakteri. Setelah gen yang
diinginkan didapat maka dilakukan perbanyakan gen yang disebut dengan istilah kloning gen.
Pada tahapan kloning gen, DNA asing akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen
pembawa DNA), contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen). Kemudian,
vektor kloning akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga DNA dapat diperbanyak seiring
dengan perkembang biakan bakteri tersebut. Apabila gen yang diinginkan telah diperbanyak
dalam jumlah yang cukup maka akan dilakukan transfer gen asing tersebut ke dalam sel
tumbuhan yang berasal dari bagian tertentu, salah satunya adalah bagian daun. Transfer gen
ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode senjata gen, metode transformasi
DNA yang diperantarai bakteri Agrobacterium tumefaciens, dan elektroporasi (Sugianto,
2017).

Secara ontologi tanaman transgenik adalah suatu produk rekayasa genetika Melalui
transformasi gen dari makhluk hidup lain ke dalam tanaman yang tujuannya Untuk
6
menghasilkan tanaman baru yang memiliki sifat unggul yang lebih baik dari tanaman
sebelumnya. Pembuatan tanaman transgenik adalah dengan cara gen yang telah diidentikfikasi
diisolasi dan kemudian dimasukkan ke dalam sel tanaman. Melalui Suatu sistem tertentu, sel
tanaman yang membawa gen tersebut dapat dipisahkan dari sel tanaman yang tidak membawa
gen. Tanaman pembawa gen ini kemudian ditumbuhkan secara normal. Tanaman inilah yang
disebut sebagai tanaman transgenik karena ada gen asing yang telah dipindahkan dari makhluk
hidup lain ke tanaman tersebut (Muladno, 2002).

2.2 Ketahanan Tanaman Terhadap Stres Biotik

Cekaman (Stress) pada tumbuhan didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak
menguntungkan yang berpengaruh buruk terhadap tanaman (Fallah, 2006). Campbell (2003)
menambahkan bahwa cekaman dapat diartikan sebagai kondisi lingkungan yang dapat
memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan, reproduksi dan kelangsungan hidup tumbuhan.
Salisburry dan Ross (1992) juga menyatakan bahwa cekaman fisiologi pada tumbuhan
merupakan segala perubahan kondisi lingkungan yang mungkin akan menurunkan atau
merugikan pertumbuhan atau perkembangan tumbuhan atau fungsi normalnya. Cekaman
terjadi karena adanya perubahan yang menyimpang dari proses fisiologi yang dihasilkan dari
satu atau kombinasi faktor-faktor biologi dan lingkungan. Cekaman dapat terjadi melalui
beberapa sumber yang ada di lingkungan.  Menurut Hidayat (2002) pada umumnya cekaman
biotik pada tumbuhan terdiri dari:

a. Kompetisi Inter dan Antar Spesies


b. Infeksi oleh Herbivora, hama dan Penyakit

Cekaman biotik adalah cekaman yang terjadi sebagai akibat kerusakan organisme
oleh organisme hidup lain, seperti bakteri, virus, jamur, parasit, serangga menguntungkan dan
merugikan, gulma, dan tanaman budidaya atau asli (Flynn, 2003).

Ketahanan tanaman merupakan kemampuan tanaman untuk tetap tumbuh normal


meski kondisi tidak mendukung. Ketahanan tanaman dapat terjadi karena genetik dapat juga
karena buatan manusia. Ketahanan tanaman buatan merupakan ketahanan yang diciptakan
manusia Salah satunya yaitu dengan mengintroduksi gen tertentu kedalam tubuh tanaman
sehingga Didapatkan tanaman dengan sifat yang diinginkan yang disebut dengan tanaman
transgenik. Keuntungan penggunaan tanaman transgenik meningkatkan produksi, mengurangi
penggunaan Pestisida, menjadi media penetralisasi polusi lingkungan, meningkatkan kualitas
7
bahan pangan, Dan mencegah penyakit yang menyebar malalui bahan pangan (Karmana,
2009).

Ketahanan atau resistensi tanaman dapat diwariskan. Ketahanan tanaman berfungsi


dalam menekan gangguan yang dapat disebabkan oleh organisme pathogen. Ketahanan
Tanaman terhadap pathogen dapat dikategorikan berdasarkan tingkatannya: tinggi,
intermediat, dan rendah. Dalam pembahasan ketahanan tanaman terdapat istilah imunitas yang
ditunjukan kepada tanaman yang tahan terhadap serangan pathogen secara sempurna. Imunitas
bersifat absolut dan pathogen sama sekali tidak dapat menimbulkan gangguan pada tanaman
bagaimana pun kondisi lingkungannya. Namun, peristiwa tersebut merupakan hal yang sangat
langka di alam. Selain itu, tanaman juga sering kali bersifat toleran terhadap serangan
pathogen. Tanaman yang toleran merupakan tanaman yang walaupun diserang oleh
pengganggu, namun tidak menunjukan kehilangan hasil yang signifikan (Endrizal, 2004).

Suatu varietas disebut tahan apabila : (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan
tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan
mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan, (2) memiliki sifat-sifat genetik
yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama, (3) memiliki
sekumpulan sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan hama untuk
menggunakan tanaman tersebut sebagai inang, atau (4) mampu menghasilkan produk yang
lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama
yang sama (Sumarno, 1992).

Menurut Painter (1951), terdapat tiga mekanisme yang ditunjukkan tanaman dalam
menghambat serangan hama, yaitu:

1. Antibiosis, yaitu mekanisme yang mempengaruhi atau menghancurkan siklus hidup


hama.

2. Nonpreference (sekarang disebut antixenosis), menghindarkan tanaman dari serangan


hama dalam pencarian makan, peletakan telur, atau tempat tinggal serangga. Namun,
bila hama tak menemukan alternatif tanaman lain, kerusakan parah pada tanaman tetap
dapat terjadi.

3. Toleran, menunjukkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama, misalnya dengan
tetap memberikan hasil tanaman yang baik. Tidak seperti halnya pada antibiosis dan

8
antixenosis yang berpengaruh terhadap populasi hama, toleran tidak berpengaruh
terhadap populasi hama.

2.2.1 Tanaman Tahan Herbisida

Tanaman transgenik yang paling banyak ditanam adalah tanaman tahan terhadap
herbisida. Hal ini karena gen toleran herbisida dapat ditransplantasi bersamaan dengan gen
lain sehingga dalam satu transformasi mendapatkan 2 sifat unggul, penanaman tanaman
transgenik tahan terhadap herbisida dinilai lebih baik karena petani tidak perlu khawatir
tanamannya akan teracuni saat dilakukan pengendalian gulma. Tanaman transgenik tahan
terhadap herbisida memungkinkan untuk penggunaan herbisida yang mudah terdegradasi
dan memungkinkan budidaya tanaman tanpa olah tanah (Haryono, 2006).

Tanaman tahan terhadap herbisida glifosat merupakan tanaman hasil rekayasa


genetika dengan menyisipkan gen EPSPS dari mutan A. tumefaciens strain CP4 kemudian
di transfer kedalam genom tanaman sehingga tanaman menjadi tahan terhadap herbisida
glifosat. Tanaman tahan herbisida glifosat tidak akan mati ketika disemprot herbisida
glifosat karena transgene EPSPS dari bakteri A. tumefaciens yang telah disisipkan tidak
dapat diikat oleh glifosat sehingga EPSPS tetap memproduksi asam amino aromatik dan
tanaman tetap tumbuh (Duke dan Powles, 2008).

Menurut Henuhili (2005), tahap perakitan tanaman transgenik tahan terhadap


herbisida adalah sebagai berikut:
1) Dilakukan isolasi gen EPSPS dari Strain CP4 A. tumefaciens.
2) Dilakukan ligasi (pemasukan) DNA target kedalam vektor (Plasmid Ti) sehingga
terbentuk DNA rekombinan.
3) Dilakukan Transformasi DNA rekombinan kedalam bakteri A.
4) tumefaciens untuk memperbanyak kopi DNA rekombinan.
5) Dilakukan penyisipan DNA rekombinan ke dalam sel tanaman jagung.

Menurut Heap (2015), terjadinya ketahanan tumbuhan terhadap herbisida


disebabkan beberapa faktor:

1. Terjadinya perubahan enzim target.

2. Tumbuhan memproduksi enzim target lebih banyak.

9
3. Peningkatan kemampuan tumbuhan untuk mendegradasi herbisida.

4. Herbisida tidak sampai tempat kerjanya (Site of action).

Beberapa tanaman tahan terhadap herbisida glifosat yang telah diperbanyak di


dunia diantaranya yaitu jagung PRG X, jagung PRG Y, jagung PRG C7, jagung PRG
MON 89034 X NK603, jagung PRG GA21, kedelai GTS 40-3-2, kedelai MON89788,
kedelai MON89788, kanola, tomat, kentang, kspsd MON531/757/1076 dan kapas
MON1445/1698 (Bahagiawati (2014).

Menurut Dogde (2004), tanaman tahan herbisida glifosat mampu mengubah


struktur EPSPS, membuat glifosat tidak aktif dalam tanaman, atau memproduksi glifosat
lebih banyak sehingga tanaman tahan glifosat tidak akan mati saat terpapar herbisida
glifosat dan EPSPS tetap dapat memproduksi asam amino aromatik. Sementara itu, pada
tanaman biasa aplikasi glifosat akan mengikat EPSPS sehingga proses pembentukan asam
amino aromatik akan terganggu dan tanaman akan mati. Jagung PRG NK603 merupakan
tanaman jagung yang mengandung gen EPSPS yang diisolasi dari bakteri tanah A.
tumefaciens strain CP4 sehingga tanaman mampu membuat glifosat tidak aktif dalam
tanaman sehingga glifosat tidak mampu mengikat EPSPS.

Ada dua jenis toleransi herbisida dalam tanaman transgenik berdasarkan bahan
aktif dari herbisida, yaitu glyphosate (umumnya dikenal dengan Round up Ready) atau
phosphinothricin. Glyphosate menghambat sintesis asam amino esensial di tanaman,
khususnya asam amino aromatik phenyla-lanin, tirosin, dan triptophan secara meniru
analognya yang menghambat enzim 5-enolpyruvylshikimate-3- phosphate synthase
(EPSPS). Tanaman transgenik untuk toleran herbisida mengandung enzim EPSPS yang
telah dimodifikasi sehingga toleran glyphosate, yang diisolasi dari bakteri Agrobacterium
tumefaciens. Gen ini juga digunakan bersama-sama dengan gen yang mengkode enzim
glyphosate oxidoreductase (GOX) yang menidakaktifkan glyphosate tersebut. Tipe lainnya
adalah toleran herbisida yang mencakup herbisida phosphinotricin. Bahan aktif dalam
phosphinothricin adalah glufosinate ammonium yang dapat menghambat enzim glutamine
synthase yang akan mengakumulasikan amonium sehingga membunuh tanaman. Gen ini
diisolasi dari bakteri tanah Streptomyces viridochromogenes yang mengkode PAT (enzim
phosphinothricin-N-acetyltransferase) yang menidakaktifkan glufosinate. Gen ini
digunakan untuk pengendalian gulma. Beberapa metode PCR bagi beberapa tanaman
transgenik jagung yang umumnya beredar telah dipublikasi, misalnya metode deteksi
10
tanaman transgenik atau produknya seperti jagung transgenik Bt11, MON810, event186,
T25, dan GA-21 (Bahagiawati, 2018)

2.2.2 Tanaman Tahan Serangga

Bacillus thuringiensis menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau


saat bakteri membentuk spora. B. thuringiensis membentuk suatu protein kristalin
(parasporal body/parasporin) yang terletak di sebelah endospora. Kristal parasporal ini
dikenal sebagai δ- endotoksin (Cry dan Cyt) yang memiliki sifat pathogen terhadap larva
dari berbagai serangga, seperti Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera (Palma et al, 2014).
Pada saat kekurangan nutrisi, bakteri akan membentuk spora agar tetap hidup. Dalam
bentuk spora, berat toksin mencapai 20% dari berat spora. Apabila larva serangga
memakan spora, maka di dalam alat pencemaan larva serangga tersebut, spora bakteri
pecah dan mengeluarkan toksin. Toksin yang masuk ke dalam membran sel alat
pencernaan larva mengakibatkan sistem pencernaan tidak berfungsi dengan baik dan
pakan tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis
kemudian diekstrak dan dimurnikan, maka akan diperoleh insektisida biologis
(biopestisida) dalam bentuk kristal. Pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus
thuringiensis dengan kode gen Bt toksin (Winarno dan Agustina (2007)

Tanaman tembakau untuk pertama kali merupakan tanaman transgenik pertama


yang menggunakan gen BT toksin. Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen
Bt toksin, tetapi diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi yang
menghasilkan gen yang menonaktifkan ampisilin. Pada jagung juga direkayasa adanya
resistensi herbisida dan resistensi insektisida sehingga tanaman transgenik jagung
memiliki berbagai jenis resistensi hama tanaman. Gen Bt toksin juga direkayasa ke
tanaman kapas, bahkan multiplegene dapat direkayasa genetika pada tanaman transgenik.
Toksin yang diproduksi dengan tanaman transgenik menjadi nonaktif apabila terkena sinar
matahahari, khususnya sinar ultraviolet.

2.2.3 Tanaman Tahan Virus dan Penyakit

Perkembangan yang signifikan juga terjadi pada usaha Untuk memproduksi


tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Dengan memasukkan gen penyandi

11
tanaman terselubung (coat protein) Johnson grass mosaic poty virus (JGMV) ke dalam
suatu tanaman, diharapkan tanaman tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus
yang bersangkutan. Potongan DNA dari JGMV, misalnya dari protein terselubung dan
protein nuclear inclusion body (NIB) mampu diintegrasikan pada tanaman jagung dan
diharapkan akan menghasilkan tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Virus
JGMV menyerang beberapa tanaman yang tergolong dalam famili Graminae seperti
jagung dan sorgum yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Gejala yang
ditimbulkan dapat diamati pada daun berupa mosaik, nekrosa atau kombinasi keduanya.
Akibat serangan virus ini, kerugian para petani menjadi sangat tinggi atau gagal panen
(Rangkuti, 2011).

Gambar 1. Pemberian selubung virus pada sel tanaman (vaksin) untuk melingdungi
tanaman Pepaya dari penyakit virus Ringspot.

2.3 Hibridisasi

2.3.1 Pengertian

Penyakit pada tanaman merupakan salah satu ancaman yang serius bagi pembangunan
pertanian dan ketahanan pangan yang ada di dunia. Lebih dari 20-50% hasil pertanian hilang
akibat berbagai macam penyakit yang ada pada tanaman. Oleh karena itu, banyaknya para
petani menggunakan pestisida kima yang tentunya mengganggu organisme lain yang ada pada
sekitar tanaman tersebut. Selain itu, fitopatogen juga dapat meningkatkan resistensi terhadap
berbagaimacam pestisida dan bahan kimia yang lain akiban penggunaannya yang tidak benar
(Ahmad et al., 2018). Untuk meminimalisir dampak negatif dari pestisida terhadap
lingkungan, dilakukan pengembangan varietas tanaman yang tahan akan penyakit melalui
rekayasa genetika salah satunya dengan menggunakan hibridisasi. Hibridisasi merupakan
salah satu upaya untuk perbaikan tanaman untuk dapat bertoleransi terhadap naungan
(Sopandie, 2013). Hibridisasi merupakan upaya melakukan manipulasi dengan
menggabungkan 2 sifat atau lebih tanaman untuk menghasilkan tanaman baru yang
diharapkan dapat menggabungkan karakter baik kedalam satu genotif tertentu, memperluas
keragaman genetic, memanfaatkan vigor hibrida dan menguji ketahanan tetua (Widyasmara et
al., 2018). Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi hibridisasi meliputi
ketepatan waktu berbunga, waktu emaskulasi, dan waktu penyerbukan (Yunianti, 2010). Pada
hibridisasi buatan, serbuk sari dipertemukan dengan kepala putik. Hibridisasi tanaman ini
memiliki beberapa jenis, diantaranya yaitu:

12
a. Hibridisasi intravarietas yaitu persilangan yang dilakukan pada tanaman yang memiliki
varietas yang sama

b. Hibridisasi intervarietas atau hibridisasi intraspesifik yaitu persilangan yang dilakukan


pada tanaman yang memiliki varietas yang berbeda namun memiliki spesies yang sama

c. Hibridisasi interspesifik yaitu persilangan yang dilakukan pada 2 spesies yang berbeda
namun masih tergolong kedalam genus yang sama.

d. Hibridisasi intergenetik yaitu persilangan yang dilakukan dengan tanaman yang memiliki
genus yang berbeda. Persilangan ini umumnya digunakan untuk memindahkan sifat
ketahanan penyakit, hama dan kekeringan dari tanaman liar kedalam tanaman budidaya.
Contoh dari tanaman hasil hibridisasi intergenetik ini yaitu tanaman Raphanobrassica
yang merupakan hasil persilangan dari radish (Raphanus) yang memiliki kromosom
pasang kromosom dengan kubis (Brassica) yang juga sama memiliki kromosom sebanyak
9 pasang. Persilangan ini dilakukan oleh ahli genetika Rusia Karpechenko pada tahun
1972. Hasil dari persilangan ini menghasilkan tanaman Raphanobrassica yang steril,
sehingga diberikanlah kolkisin yang akan mengembalikan fertilitas tanaman melalui
penggandaan kromosom (Zayid et al., 2021). Tanaman Raphanobrassica yang dihasilkan
merupakan jenis tanaman amfidiploid (Bahadur et al., 2015). Amfidiploid merupakan
poliploid yang dibentuk tetua diploid berhibrid dengan melipatduakan perangkat
kromosomnya. Penyebab utama pembentukkan kromosom ini disebabkan pemberian
kolkisin yang mengakibatkan restitusi inti meiosis selama mikrosporogenesis dan
megasporogenesis yang menghasilkan gamet 2n tidak tereduksi. Non-reduksi dapat
disebabkan oleh nondisjungsi meiosis (kegagalan pemisahan kromosom dan pengurangan
jumlah kromosom), kegagalan pembentukan dinding sel atau pembentukan gamet melalui
mitosis dan bukan meiosis. (Ermayanti et al., 2014)

Gambar 2. Jumlah kromosom dari persilangan antara lobak dan kubis

13
2.3.2 Tahapan hibridisasi

Dalam melakukan hibridisasi memiliki beberapa tahapan seperti pemilihan induk,


emaskulasi, bagging dan tangging kemudian dilanjutkan dengan polinasi atau penyerbukan
dan terakhir yaitu pembudidayakan F1. Pada tahapan pemilihan induk biasanya sumber
nuftah yang digunakan yaitu tanaman yang memiliki nilai komersial yang tinggi, galur elit
pemuliaan, galur yang memiliki satu atau sifat superior atau tahan terhadap kondisi
lingkungan yang cukup ekstrim. Dalam menentukkan induk ini dapat menggunakan
berdasarkan pemilihan induk berdasarkan fenotip serta dengan pemilihan induk
berdasarkan kombinasi data morfologi dan analisis molekuler. Pada teknik yang
menggunakan pemilihan induk berdasarkan fenotif individu dapat menggunakan data yang
berasal dari penampilan genotif induk, adaptabilitas dan stabilitas, persilangan dialel dsb.
Tahapan selanjutnya yaitu emaskulasi dimana pada tahapan ini dilakukan
pengebirian tanaman untuk menghindari penyerbukan sendiri pada tanaman hermafrodit
atau tanaman yang memiliki benang sari dan putik dalam 1 bunga serta pada tanaman yang
mengalami benang sari dan putik yang matang secara bersamaan. Proses emaskulasi ini
mempunyai beberapa metode, yaitu:
a. Emaskulasi tangan

Pada metode ini dilakukan sebelum kepala sari matang, bunga yang akan dipilih untuk
emaskulasi bagian mahkotanya dibuka secara perlahan lalu dengan bantuan tang,
kepala sari dipotong.
b. Emaskulasi hisap (Suction method)

Pada metode ini menggunakan aspirator atau pompa yang memiliki daya hisap kecil
namun tetap harus dapat menyedot benang sari. Kelemahan dari metode ini yaitu pada
metode ini tidak efisien karena 15% dari emaskulasi pada metode ini masih dapat
melakukan penyerbukan sendiri karena masih terdapat kemungkinan ketertinggalan
benang sari atau serbuk sari dari bunga tersebut. Metode ini memiliki kelebihan yaitu
pada metode ini lebih mudah digunakan pada bunga yang kecil.
c. Emaskulasi dengan air panas

Pada metode ini dilakukan dengan memberikan air panas dengan suhu 42-48°C selama
10 menit. Hal ini disebabkan serbuk sari lebih sensitive terhadap air panas
dibandingkan dengan organ reproduksi wanita.
d. Emaskulasi dengan alcohol
14
Pada metode ini dilakukan dengan pemberian alcohol dengan konsentrasi tertentu
untuk membunuh butiran serbuk sari. Pemberian alcohol ini juga harus dilakukan
dengan cepat karena apabila dilakukan terlalu lama dapat membunuh organ reproduksi
wanita pada bunga tersebut
e. Emaskulasi dengan suhu dingin

Pada metode ini dilakukan dengan menambahkan perlakuan suhu dengan rentang 0-
6°C untuk merusak serbuk sari.
f. Emaskulasi genetik

Emaskulasi genetic dapat dilakukan dengan manipulasi gen dalam genom sitoplasma
atau nukleus

Gambar 3. Proses emaskulasi pada ubi kayu

Tahapan selanjutnya setelah emaskulasi yaitu bagging dan tagging dimana pada
tahapan ini Bungan ditutup dengan koantong untuk menghindari penyerbukan silang acak.
Bunga juga diberikan tag yang berisi informasi bunga seperti tanggal emaskulasi, tanggal
penyerbukan dan induk yang digunakan. Setelah dilakukannya bagging dan tagging,
dilanjutkan dengan tahapan penyerbukan dimana pada prosedur ini serbuk sari yang telah
dikumpulkan dari induk bunga jantan yang akan disilangkan ditaburkan kedalam bunga
yang berisi putik saja atau bunga yang telah melakuakn emaskulasi. Setelah dilakukan
penyerbukan yang diikuti pembuahan dan menghasilkan biji, benih dewasa yang
dihasilkan dipanen kering dan benihnya disimpan untuk menghasilkan hibrida 1 atau
sampai menghasilkan tanaman dengan sifat yang diinginkan (Kabesch, 2013).

15
Gambar 4. Tahapan hibrdisasi

2.3.3 Kelebihan dan kekurangan hibridisasi

Kelebihan yang didapatkan dalam hibridisasi yaitu dapat menghasilkan varietas


tanaman dengan keanekaragaman genetic serta dapat menghasilkan varietas yang unggul.
Sedangkan kelemahan dari hibridisasi yaitu dapat mengancam varietas asli yang berasal
dari alam sehingga dapat meningkatkan resiko kepunahan, selain itu tingkat sterilitas
tanaman yang dihasilkan oleh hibridisasi ini juga tinggi serta untuk menghasilkan tanaman
yang diinginkan membutuhkan waktu yang sangat lama

Gambar 5. Perbandingan waktu pemuliaan tanaman menggunakan beberapa metode

2.3.4 Polymerase Chain Reaction (PCR)

2.3.4.1 Pengertian

Selama beberapa deade terakhir, dapat diketahui perkembangan rekayasa genetika


16
pada tanaman terus berkembang pesat, dalam rekayasa hibridisasi ini melibatkan
karakterisasi atau identifikasi gen yang akan atau sudah diintroduksi kedalam tanaman
induk. PCR seringkali digunakan untuk identifikasi galur tetua yang tepat untuk perbaikan
karakter khusus sehingga dapat mengurangi jumlah persilangan, menguji pewarisan alel
yang sesuai pada tiap generasi hasil persilangan serta identifikasi individu sasaran diantara
turunan yang bersegregasi sesuai karakter yang diinginkan sehingga seleksi menjadi lebih
terarah.
Sejak Kary Mullis mengembangkan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR)
pada tahun 1985, pemgembangan teknologi PCR dalam kegiatan molekuler terus
berkembang pesat termasuk dalam pemuliaan tanaman. Para peneliti terus
mengembangkan teknologi ini yang dari mesin thermocycler yang dapat diatur suhu
sehingga dapat melakukan denaturasi, annealing dan ekstensi (Nugroho et al., 2021).
a. Droplet Digital PCR (ddPCR)

Droplet Digital PCR (ddPCR) merupakan hasil perkembangan dari Real-time PCR
(RT-PCR) yang tidak hanya menghasilkan amplifikasi DNA namun juga dapat
melakukan perhitungan jumlah copy DNA yang dihasilkan deri setiap siklusnya secara
cepat dan akurat melalui senyawa flouresens yang pendarannya ditangkap oleh kamera
kemudian di visualisasi di computer. Namun pada metode ini memiliki error rate yang
tinggi padda saat pembacaan nilai ambang siklus yang dipegaruhi oleh template yang
digunakan, inhibitor serta tidak adanya control endogen yang benar. Oleh karena itu,
RT-PCR ini dikembangkan sehingga dapat menghasilkan digital PCR yang bernama
ddPCR (Manoj, 2016). Analisis ddPCR ini dapat digunakan untuk menentukan variasi
jumlah Salinan, mendeteksi alel langka dan kuantifikasi absolut DNA
Tahapan yang digunakan dalam menggunakan ddPCR yaitu sampel, droplet dan oil
dimasukkan ke dalam droplet generator cartridge. Minyak yang digunakan ini
mengandung surfaktan penstabil. Generator cartridge yang terdapat pada ddPCR yaitu
sebanyak 8 kanal yaitu template, reagen ddPCR mastermix dan Taqman. vakum
kemudian menarik sampel dan minyak untuk mengalir melewati sebuah lubang
(nozzle) untuk menggabungkan sampel dan minyak. Sampel dan minyak ini ditarik
ditarik melalui flow-focusing junction yang akan membuat sampel dan minyak ini
menjadi tetesan monodisperse sehingga sampel berubah dari 8 droplet menjadi 20.000
droplet. Penstabil surfaktan mengalir menuju sumur pengumpul yang dimana mereka
akan lebih cepat berkonsentrasi karena perbedaan fasa air dan minyak. Droplet
kemudian dipindahkan ke 96 well plate menggunakan pipet lalu sampel diamplifikasi
17
dengan thermal cycler sebanyak 35-45 siklus. Setelah siklus termal berakhir, PCR
plate dipindahkan menuju droplet reader dimana pada tahapan ini droplet akan
dialirkan menuju detector, droplet melewati pendaran flouresens dicek fraksinya oleh
amplitude. Tqman yang digunakan ini akan mendeteksi dupleks spesifik dari gen target
dan gen referensi. Pada droplet yang mengandung template, pembelahan spesifik probe
TaqMan menghasilkan sinyal fluoresensi yang kuat (Hindson et al., 2018).
Teknik pada ddPCR ini dapat mengkuantifikasi asam nukleat dengan membagi
sampel menjadi molekul kecil yang dinamakan partitions atau reaction chamber yang
mengandung 1 atau lebih copy DNA target. reaction chamber kemudian dipisahkan
oleh pengemulsi baik menggunakan emulsi minyak, air dan senyawa penstabil
sehingga menghasilkan droplets. Masing-masing droplet mengandung fluorescence
labeled probe sebagai pendeteksi yang membedakan antara droplet positif yang
mengandung sekuens DNA target dengan droplet negatif. Reaksi amplifikasi berjalan
secara terpisah pada setiap reaction chamber melalui thermal cycling sehingga tidak
ada kompetisi yang terjadi antara molekul DNA target dengan DNA background. Hasil
PCR ini kemudian akan dibaa oleh mesin yang fungsinya flow cytometry yang akan
menganalisis setiap droplets dan mengecek kemungkinan reaksi dengan menghitung
droplet positif dan negative. Reaksi tanpa molekul target dihitung 0, sedangkan reaksi
dengan 1 molekul target dihitung 1. Jumlah awal copy dan density DNA dihitung
dengan statistik Poisson dan jumlah reaksi positif PCR. D (Nyaruaba et al., 2019)

Gambar 6. Prinsip kerja ddPCR

Kelebihan dari analisis menggunakan ddPCR yaitu tidak memerlukan kalibrator


eksternal maupun kurva kalibrasi, waktu pengamatan cenderung singkat, tidak sensitif
18
terhadap inhibitor serta memiliki nilai akurasi yang tinggi dibandingkan teknologi
terdahulu sperti RT-PCR. Sedangkan kekurangan dari analisis ddPCR yaitu lensitif
terhadap beberapa reagen seperti senyawa EDTA, perlu dilakukan beberapa optimasi
konsentrasi primer dan probe yang berpotensi meningkatkan kinerja pengujian secara
keseluruhan serta mahal.

2.3.4.2 Studi Kasus

2.3.4.2.1 Judul

Topik yang diteliti yaitu “Persilangan Interspesifik Ipomoea batatas (l.) Lam. dengan
I. trifida (H.B.K.) G. Don. Berumbi Asal Citatah, Jawa Barat
2.3.4.2.2 Penulis

Penulis dalam penelitian ini yaitu Tia Setiawati, Titin Supriatun dan Karyono
2.2.4.2.3 Identitas Artikel Ilmiah

Artikel ilmiah ini diterbitkan oleh Buletin Kebun Raya Volume 19 No. 1 pada tahun
2016
2.2.4.2.4 Latar belakang

Persilangan tanaman merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan


keanekaragaman tanaman dalam upaya meningkatkan keanekaragaman genetik.
Persilangan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu persilangan interspesifik yang
dilakukan oleh 2 spesies yang berbeda namun masih dalam genus yang sama yaitu
Ipomoea. Ubi jalar atau Ipomoea batatas merupakan tanaman hermaprodit yang
seringkali melakukan self incompatible dan terkadang cross incompatible dengan klon
yang tidak sesuai sehingga memengaruhi pembentukkan buah dan biji. Persilangan
sendiri (selfing) pada I. batatas pada klon L0-240 tidak dapat membentuk buah
sedangkan pada persilangan L1-80 mampu menghasilkan buah namun dengan
persentase yang rendah yaitu 27,11% (Hartana, 1994; Setiawati et al., 2016).
Ipomoea trifida merupakan salah satu jenis kerabat ubi bakar yang memiliki
kemampuan untuk bersilang dengan Ipomoea batatas yang memiliki kekerabatan
dekat dengan tumbuhan jenis tersebut dan mampu untuk dimanfaatkan sebagai
pemuliaan tanaman yang dapat menghasilkan perbaikan gen yang tahan akam hama
dan penyakit tertentu seperti nematoda, penyakit busuk akar, kudis dan sebagai
peningkat kualitas pati.

19
Persilangan interspesifik merupakan persilangan yang direkomendasikan sebagai
alternative dalam pemindahan gen-gen potensial yang dapat menghasilkan gen kultivar
baru. Permasalahan utama yang dihadapi oleh petani ubi jalar kultivar Cilembu adalah
rentan mengalami serangan penyakit kudis (Elsimoe batatas), busuk umbi
(Ceratocystis fimbriata) serta penulunan kualitas umbi

2.2.4.2.5 Metode

Penelitian ini dilakukan pada Juni-Desember 2011 di kebun percobaan Universitas


Padjajaran di Ciparanje-Jatinangor serta di laboratorium Genetika dan Fisiologi
Tumbuhan Kelompok Studi Biologi FMIFA UNPAD. Bahan utama yang digunakan
adalah dua aksesi ubi jalar budidaya (I. batatas) cv. Cilembu (aksesi 206) dan eks
Jepang (aksesi 217) sebagai tetua betina dengan satu aksesi I. trifida berumbi (aksesi
9) adal Citatah, Jawa Barat. Berikut adalah tahapan dalam pengujian intterspesifik
pada tanaman tersebut
a. Persilangan interspesifik Ipomoea batatas dan I. trifida.

Aksesi induk dari jantan dan betina diperbanyak dengan stek batang.
Tanaman ini ditanam pada blok persilangan yang terdiri dari 16 baris gulud di
sepanjang 5 m dengan jarak antar gulud sebesar 1 m. Masing-masing tanaman
ditanam sebanyak 8 gulud dengan jarak antar gulud sebesar 25 cm sehingga
menghasilkan 20 tanaman. Persilangan dilakukan pada saat tanaman
membentuk kuncup yaitu sekitar 30-45 hari tanam serta dilakukan pada 06.00-
09.00 WIB setelah dilakukan emaskulasi pada kuncup bunga induk betina yang
mekar di pagi hari
b. Uji viabilitas dan perkecambahan polen

Pada uji viabilitas, anter dari I. trifida dihancurkan hingga polen keluar lalu
diletakkan di atas kaca objek kemudian sebelum ditutupi oleh kaca penutup,
polen ditetesi oleh aseto-karmin 1%. Preparat yang akan diamati kemudian
diinkubasi selama 12 jam pada suhu ruang. Preparat diamati menggunakan
mikroskop. Biji yang mengalami perubahan warna menjadi merah artinya pada
biji tersebut viable, sedangkan biji yang tidak mengalami perubahan warna
artinya biji tersebut tidak viable
Pada uji ploidy, polen tetua jantan diletakkan diatas kaca objek serta
ditambahkan media Brewbaker and Kwack’s (Ca(NO3)2.4H2O,

20
MgSO4.7H2O, H3BO3, KNO3, dan sukrosa). Preparat kemudian diinkubasi
pada suhu ruang di dalam cawan petri yang dialasi tisu basah selama 9 jam
dengan suhu ruang. Preparat kemudian diamati menggunakan mikroskop
cahaya
c. Uji viabilitas biji

Biji yang dihasilkan oleh F1 ditanam pada pot yang berisi media campuran
tanah dan sekam dengan perbandiang 1:1. Media yang digunakan tidak
diberlakukan secara mekanik ataupun kimia. Biji yang te;ah berkecambah
kemudian dipisahkan dan ditumbuhkan untuj analisis tingkat ploidy tanaman F1
hasil persilangan
d. Analisis tingkat ploidy tanaman F1

Akar yang dihasilkan dari hasil penanaman dipotong sepanjang 1 cm lalu


dimasukkan kedalam botol vial yang telah diisi air. potongan akar krmudian
direndam dalam larutan 0,002 M 8-hydroksiquinolin selama 3-5 jam pada suhu
18-20°C. akar selanjutnya difiksasi dengan larutan fiksatif campuran etanol:
asam asetat glasial (3 : 1) selama 48 jam. Akar kemudian dihidrolisis dengan
larutan HCl 4 N selama 10 menit lalu dilanjutkan dengan perendaman
menggunakan larutan asam asetat 45%. Akar kemudian ditambahkan aseto-
orsein 2% dan di diamkan selama 10 menit diatas kertas objek senelum ditutup,
dipanaskan dan ditekan. Preparat akan diamati menggunakan mikroskop
e. Analisis data

Parameter yang digunakan pada ppenelitian ini yaitu:


polen yang terwarnai
1. Viabilitas polen= x 100 %
jumlah total polen

polen yang berkecambah


Daya kecambah polen= x 100 %
jumlah total polen
jumlah buah masak
2. Persentase daya silang= x 100 %
jumlah bunga yang disilangkan

3.
jumlah buah yang gugur
persentase kegugura buah sebelum masak= x 100 %
jumlah bunga yang disilangkan

4. jumlah biji yang dihasilkan dari buahmasak untuk setiap aksestetua

5. Persentase viabilitas biji ¿


21
6. Tingkat poliploidi tanaman hasil persilangan(F 1)

Hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif

2.2.4.2.6 Hasil dan pembahasan

Keberhasilkan persilangan pada ubi jalar tetraploid aksesi 206 (lokal Cilembu) dan
aksesi 217 (eks Jepang) sebagai tetua betina dengan kerabat liar ubi jalar I. trifida
diploid berumbi aksesi 99 sebagai tetua jantan. ditandai dengan terbentuknya kapsul
dari persilangan yang dilakukan. Biasanya keberhasilan penyerbukan ini diketahu
setelah 2 hari kemudian dan didukung dengan tangkau bunga yang berwarna hijau,
sedangkan tangkai yang mengalami kegegalan penyerbukan akan berubah menjadi
kuning dan akan rontok 3-4 hari kemudian. Berdasarkan hasil pengamatan, dapat
diketahui hasil persilangan memiliki persentase sebagai berikut:
Tabel 1. Daya silang dan tingkat gugur buah hasil persilangan interspesifik Ipomoea batatas

Jumlah Jumlah buah Persentase Persentase


Persilangan
persilangan Gugur Masak daya silang buah gugur
206 x 99 165 154 11 6.67 93.33
217 x 99 297 268 29 9.76 90.24
Total 462 422 40
Berdasarkan tabel hasil pengamatan diatas, dapat diketahui bahwa persentase
persilangan ubi jalar dengan I. trifida menunjukkan persentase yang sangat rendah
meskipun keduanya masih dalam genus yang sama. Daya silang yang dihasilkan oleh
aksesi 206 x 99 hanya menghasilkan daya silang sebesar 6.67% dengan tingkat
keguguran yang sangat tinggi yaitu 93.33%. Hal ini serupa dengan yang dialami oleh
aksesi 217 x 99. Namun walaupun begitu, hasil persilangan pada galur ini memiliki
persentase yang lebih tinggi, yaitu tingkat daya silang sebesar 9.76% sedangkan
tingkat keguguran sebesar 90.24%. Perbedaan hasil yang dihasilkan ini disebabkan
oleh efek rekombinasi dari tetua betina yang berbeda. rendahnya tingkat daya silang
serta tingginya tingkat keguguran ini disebabkan oleh rendahnya keserasian seksual di
antara tetua persilangan. Selain itu, kompabilitas seksual ini juga terkait dengan system
inkompabilitas sporofit multialel (multiallelic sporophytic incompatibility) yang terjadi
karena papilla stigma dimana system inkompabilitas ini merupakan factor pembatas
kemampuan bersilang antar tanaman yang memiliki perbedaan taksonomi seperti yang
hibridisasi yang dilakukan pada pegamatan ini. Jumlah biji dan daya kecambah yang
22
dihasilkan pada persilangan ini juga cukup rendah, yaitu sebagai berikut

Tabel 2. Jumlah biji dan daya kecambah biji hasil persilangan interspesifik Ipomoea batatas
tetraploid x I. trifida berumbi

Jumlah Jumlah buah Jumlah Daya


Persilangan Jumlah biji
persilangan Gugur Masak kecambah kecambah
206 x 99 165 154 11 12 3 25.00%
217 x 99 297 268 29 35 6 17.14%
Total 462 422 40 47 9

Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah bji yang dihasilkan pada persilanan aksesi
206 x 99 sebanyak 12 biji dari 165 persilangan, sedangkan pada aksesi 2017 x 99
menghasilkan biji yang lebih banyak yaitu 35 biji dari 297 persilangan. Perbedaan nilai
pada kedua kombinasi persilangan ini disebabkan oleh perbedaan fertilitas betina,
fekunditas telur, inkompabilitas, ovul yang steril serta embrio yang tidak stabil. Jumlah
biji yang dihasilkan pada persilangan interspesifik ini menghasilkan 1-2 biji peerbuah,
sedangkan apabila dalam kondisi optimal, ubi jalar akan menghasilkan 4 biji. Hal ini
dapat disebabkan oleh tidak semua ovul yang ada di ovarium terbuahi sehingga biji
yang dihasilkan kurang dari 4 biji atau terjadinya reduksi jumlah ovul. Berdasarkan
hasil pengamatan dapat diketahui bahwa persilangan interspesifik antara ubi jalar
dengan kerabat liarnya ini semakin menghasilkan biji yang sedikit apabila taraf plodi
kerabat liarnya rendah.
Hasil pengamatan viabilitas polen I. trifida sebagai tetuan jantan dengan
pewarnaan aseto-karmin 1% dapat diketahui mencapai 87.50% sedangakan pada
teknik germinasi polen in vitro hanya menghasilkan 69.32% yang dimana keduanya
menghasilkan viabilitas polen yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
viabilitas polen bukan penyebab rendahnya pembentukkan biji pada persilangan
karena polen yang viable akan berkecambah dan membentuk tabung polen serta
menunjukkan kemampuannya menghantar sperma menuju ovul.
Hasil viabilits polen dengan pewarnaan lebih tinggi dibandingkan dengan teknik
germinasi polen, hal ini kurang akuratnya metode ini karena oleh tidak semua polen
yang viable menurut teknik pewarnaan mampu berkecambah serta polen yang tidak
viable juga terkadang tidak terwarnai. Selain itu, rendahnya nilai viabeilitas pada
teknik germinasi disebabkan tidak cocoknya komposisi medium. Perkecambahan
23
polen dalam suatu spesies dapat bervariasi tergantung medium yang digunakan,
contohnya dalam perkembangan tabung polen ini yang bergantung pada media
pertumbuhan in vitro, suhu dan kelembapan udara. Polen yang viable akan tumbuh
atau dapat berkecambah baik pada kondisi in vitro maupun in vivo

Gambar 1. Viabilitas polen pewarnaan (A) dan germinasi polen (B)

Biji yang dihasilkan pada persilangan berkecambah pada 30-60 hari seterkah
tanam. Daya perkecambahan pada aksesi 206 x 99 sebesar 25% yaitu hanya
menghasilkan 3 tanaman tetapi 2 tanaman mati jadi hanya menghasilkan 1 tanaman
yang bertahan hidup, sedangkan pada aksesi 217 x 99 menghasilkan persentase
17.24% yaitu sebesar 6 tanaman tetapi 5 tanaman berhasil bertahan. Biji yang
dihasilkan tidak seluruhnya berkecambah, bahkan ada yang berkecambah namun tidak
dapat hidup atau hidup namun dengan ukuran kerdil serta keriput. Kondisi biji yang
tidak optimal disebabkan oleh kondisi biji pada persilangan bervariasi speerti biji yang
normal, biji kisut bahkan biji yang sangat kisut. Biji yang kisut ini dapat disebabkan
oleh embrio yang rusak bahkan biji yang tidak memiliki embrio
Level ploidy dalam suatu tanaman dapat dianalisis dengan analisis kromosom.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kedua jenis tanaman hasil
persilangan ini menghasilkan kromosom yang triploid (2n3x-45). Kromosom triploid
ini dihasilkan dari penggabungan kromosom kedua induk betina yang mempunyai 30
kromosom dari ubi jalar budidaya tetraploid sedangkan pada jantan hanya berjumlah
15 kromosom dari ubi jalar liar diploid. Tanaman yang triploid umumnya bersifat steril
sehingga tidak bisa memperoleh tanaman F2 atau keturunannya, hal ini disebabkan
24
perbedaan genom pada kedua spesies induk sehingga mengalami kegagalan pada saat
meiosis kaarena genom yang berbeda ini tidak dapat berpasangangan. Tanaman
triploid biasanya mengalami gangguan, seperti segregasi kromosom yang tidak sama
dari barrier reproduktifnya sehingga kromosom gagal berpisah. Apabila gamet
tersebut bertemu, dapat mengakibatkan biji yang dihasilkan tidak viable bahkan tidak
berbiji.

Gambar 2. Jumlah kromosom tetua persilangan

2.2.4.2.7 Kesimpulan

Hasil persilangan yang dilakukan oleh I. batatas pada aksesi 206 dan 217 yang
disilangkan dengan I. trifida memiliki tingkat persentase yang sangat rendah, yaitu
pada aksesi 206 x 99 menghasilkan persentase daya silang 6.67% sedangkan pada
aksesi 217 menghasilkan daya silang sebesar 9.76%. Tingkat keguguran pada
hibridisasi ini sangat tinggi yaitu berkisar antara 90-93% dengan jumlah biji 12 dan 35
butir. Daya kecambah dari biji yang dihasilkan oleh aksesi 206 x 9 sebesar 25%
sedangkan pada aksesi 217 sebesar 17.14%. seluruh keturunan yang dihasilkan
merupakan tanaman triploid dengan 45 kromosom

25
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari hasil diskusi kami pada makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Proses rekayasa genetika tanaman secara garis besar dilakukan dengan cara
menyisipkan gen yang diinginkan kedalam jaringan tumbuhan. Untuk mendapatkan
26
tanaman yang tahan terhadap herbisida dapat menyisipkan gen EPSPS dari mutan A.
tumefaciens strain CP4 kemudian di transfer kedalam genom tanaman sehingga tanaman
menjadi tahan terhadap herbisida glifosat. Untuk mendapatkan tanaman yang tahan
terhadap serangga dapat dilakukan dengan menyisipkan gen dari Bt toksin yaitu gen
CRY dan CYT yang dapat membunuh beberapa serangga. Sedangkan untuk
mendapatkan tanaman yang tahan terhadap virus dan penyakit dapat juga dilakukan
dengan menyisipkan gen penyandi tanaman terselubung (coat protein) Johnson grass
mosaic poty virus (JGMV) ke dalam suatu tanaman, yang menjadi resisten apabila
diserang oleh virus yang bersangkutan.
2.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S., Wei, X., Sheng, Z., Hu, P., & Tang, S. (2018). CRISPR/Cas9 for development
of disease resistance in plants: Recent progress, limitations and future prospects.
Briefings in Functional Genomics, 19(1), 26–39.
https://doi.org/10.1093/bfgp/elz041
Arus, P., and Moreno,_Gonzalez. (1993). Marker-assisted selection In Plant Breeding,
Priciples and prospects. Ed. M.D. Hayward, N.O. Bosemark, and I. Ramagosa.
Chapman & Hall, London-Glasgow-New York-ToyoMelbourne-Madres.
Bahadur, B., Rajam, M. V., Sahijram, L., & Krishnamurthy, K. V. (2015). Plant biology and
biotechnology: Plant diversity, organization, function and improvement. Plant
Biology and Biotechnology: Plant Diversity, Organization, Function and
Improvement, 1(April), 1–827. https://doi.org/10.1007/978-81-322-2286-6
Bahagiawati dan Sutrisno. (2018). Pemanfaatan Tanaman Hasil Rekayasa Genetik: Status,
Regulasi, dan Metode Deteksi di Indonesia. Jurnal AgroBiogen 3(1):40-48.
Bahagiawati. (2014). Pemuliaan Tanaman Dengan Teknologi Rekayasa Genetik dan Potensi
Pemanfaatannya di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumber daya Genetik Pertanian. Bogor. Prosiding Seminar Nasional
Perhimpunan Pemuliaan Indonesia (PERIPI). Hal 139 – 145.
Dadang,. (2006, Desember). Pengenalan Pestisida dan Teknik Aplikasi. Workshop Hama
dan Tanaman Jarak : Potensi Kerusakan dan Teknik Pengendaliannya, Bogor.
Duke, S. O. Dan S. B. Powles. (2008). Mini – Riview Glyphosate: a Once in aCentury
Herbicide. Society of Chemical Industry. University MS USA. Pest Management
Science 64 : 319 – 325.
Endrizal, Julistia. B. (2004). Efisiensi Penggunaan Pupuk Nitrogen Dengan Penggunaan
Pupuk Organik Pada Tanaman Padi Sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian 7 (2) : 118-124.
Ermayanti, T. M., Lestari, I., & Salamah, A. (2014). Chromosome number variation of in
vitro Taraxacum officinale Weber ex F. H. Wigg. plantlets regenerated from root,
leaf blade and petiole explants. Jurnal Biologi Indonesia, 10(2), 179–189.
Falah, MAF. 2006. Produksi Tanaman dan Makanan Dengan Menggunakan Hidroponik Sederhana
Hingga Otomatis. Jurnal Inovasi 8(18): 1-6.
Florack, D.E.A., W.G. Dirkse, B. Visser, F. Heidekamp, W.J. Stikema. (1994). Expession of
biologically active hordothionin in tobacco. Effects of pre-and pro-sequences at the

28
amino and carboxyl termini of the hordothiomin precursor on nature protein and
sorting. Plant Mol Bio. 24: 83-96.
Flynn, P. (2003). Biotik vs. Abiotik, Membedakan Masalah Penyakit dari Tekanan
Lingkungan. Entomologi ISU.
Harjadi, S.S dan Yahya, S. (1988). Fisiologi Stres Lingkungan. PAU Bioteknologi. IPB.
Hartana, A. (1994). Ipomoea trifida, Sumber Keragaman Genetik dalam Pemuliaan
Ubijalar (Ipomoea batatas). Laporan Akhir. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat
Institut Pertanian Bogor.
Haryono, G. (2006). Rekayasa Genetik di Bidang Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas
Tidar. Magelang. Jurnal 22 (1) : 17 – 22.
Heap, I. (2015). Herbicide Resistant Weeds A Global Perspective Crop Pest Management
Short Course. Director of the Internasional Survey of Herbicide-Resistant Weeds
Corvallis. USA. Proceeding of the 2015 Crop Pest Management Shortcourse &
Minnesota Crop Production Retailers Association Trade Show.
Hindson, B. J., Ness, K. D., Masquelier, D. A., Beograd, P., Heredia, N. J., Makarewicz, A.
J., Bright, I. J., Lucero, M. Y., Hiddessen, A. L., Legler, T. C., Kitano, T. K.,
Hodel, M. R., Petersen, J. F., Wyatt, P. W., Steenblock, E. R., Shah, P. H., Bousse,
L. J., Rombongan, C. B., Mellen, J. C., … Colston, B. W. (2018). Sistem PCR
Digital Tetesan Throughput Tinggi untuk. November 2011.
https://doi.org/10.1021/ac202028g
Kabesch, M. (2013). Genetik. Pädiatrische Pneumologie, 91–102.
https://doi.org/10.1007/978-3-642-34827-3_7
Kush, G.S. (1997). Genetic of and breeding for resistance to the brown planthopper. Plant
Breeding Departement. Philippines : IRRI. Los-Banos.
Liu, J., Liu, W. Tao., Li, S. Wang., P. Chen., and D, Gao. (2000). Molecular marker-
facilitated pyramiding of different genes for powdery mildew resistance in wheat.
Plant Breeding. 119 : 21-24.
Manoj, P. (2016). Droplet digital PCR technology promises new applications and research
areas. Mitochondrial DNA, 27(1), 742–746.
https://doi.org/10.3109/19401736.2014.913168
Nugroho, K., Widyajayantie, D., Ishthifaiyyah, S. A., & Apriliani, E. (2021). Pemanfaatan
Teknologi Droplet Digital PCR (ddPCR) dalam Kegiatan Analisis Molekuler
Tanaman. Jurnal Bios Logos, 11(1), 28.
https://doi.org/10.35799/jbl.11.1.2021.31101
Nyaruaba, R., Mwaliko, C., Kering, K. K., & Wei, H. (2019). Droplet digital PCR
29
applications in the tuberculosis world. Tuberculosis, 117, 85–92.
https://doi.org/10.1016/j.tube.2019.07.001
Oka, I.N. (1986). Plant resistance in rice pest management in farming system in Indonesia.
IARD Journal. 8(1) : 20 – 25.
Palma L, Muñoz D, Berry C, Murillo J, Caballero P. (2014). Bacillus thuringiensis toxins:
An Overview of their biocidal activity. Toxins 6:3296-3325.
Pracaya. 1992. Jeruk Manis Varietas, Budidaya, dan Pascapanen. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Rangkuti, Rahmayani. (2011). Rekayasa Genetika. Program Studi Pendidikan Biologi Pasca
Sarjana UNIMED Press
Setiawati, T., Karuniawan, A., Supriatun, T., & Karyono. (2016). Persilangan Interspesifik
Ipomoea batatas (L.) Lam. Dengan I. trifida (H.B.K.) G. Don. Berumbi Asal
Citatah, Jawa Barat. Buletin Kebun Raya, 19(1), 11–20.
Sodiq, Moch. (2009). Ketahahan Tanaman Terhadap Hama. Jawa Timur : UPN Veteran
Press.
Sopandie, D. (2013). Fisiologi Adaptasi Tanaman (terhadap Cekaman Abiotik pada
Agroekosistem Tropika).
Sugianto. (2017). Kajian Bioetika Tanaman Transgenik. Jurnal Biologi and Pendidikan
Biologi, Vol 1 No. 2.
Sulistyo, A., dan Inayati, A. (2016). Mechanisms of antixenosis, antibiosis, and tolerance of
fourteen soybean genotypes in response to whiteflies (Bemisia tabaci).
Biodiversitas 17(2):447-453.
Sulistyo, Apri. (2016). Kriteria Seleksi Penentuan Ketahanan Kedelai terhadap Kutu Kebul.
Iptek Tanaman Pangan, Vol. 11 No. 1.
Sumarno. (1992). Pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama. Prosiding symposium
Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat
Daerah Jawa Timur.
Sutopo, L., dan Saleh, N. (1992). Perbaikan ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit.
Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman
Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur.
Valle, G.E., A.L. Lourencao, and J.S. Pinheiro. (2012). Adult attractiviness and oviposition
preference of Bemisia tabaci biotype B in soybean genotypes with different
trichomes density. J. Pest Sci, 85(4):431-442.

30
Vieira, S.S., A.F. Bueno., M.I.C. Boff, E.C.O.F. Bueno, and C.B. Hoffman-Campo. (2011).
Resistance of soybean genotypes to Bemisia tabaci (Genn.) biotype B (Hemiptera:
Aleyrodidae). Neotrop. Entomol. 40:117- 122.
War, A.R., M.G. Paulraj, T. Ahmad, A.A. Buhroo, B. Hussain, S. Ignacimuthu, and H.C.
Sharma. (2012). Mechanisms of plant defense against insect herbivores. Plant
Signal. Behav. 7(10):1306-1320.
Widyasmara, N. I., Kusmiyati, F., & Karno, K. (2018). Efek xenia dan metaxenia pada
persilangan tomat ranti dan tomat cherry. Journal of Agro Complex, 2(2), 128.
https://doi.org/10.14710/joac.2.2.128-136
Witcombe, J.R., and C.T. Hash. (2000). Resistance gen deployment strategies in cereal
hybrids using marker-assisted selection: Gene pyramiding, three-way hybrids, and
synthetic parent population. Euphytica. 112 : 175-186.
Yunianti, R. et al. (2010). Teknik Persilangan Buatan. IPB Press.
Zayid, S., Mulya, A. S., & Taryana, Y. (2021). Pengaruh Konsentrasi Dan Lama Inkubasi
Kolkisin Terhadap Duplikasi Kromosom Planlet Terung (Solanum melongena L.)
Haploid Galur Aksesi Hasil Kultur Antera. OrchidAgro, 1(1), 36.
https://doi.org/10.35138/orchidagro.v1i1.259

31

Anda mungkin juga menyukai