Anda di halaman 1dari 15

KETAHANAN BIOKIMIA TANAMAN TERHADAP VIRUS KUNING

KERITING (Pepper Yellow Leaf Curl Virus) PADA TANAMAN CABAI :


ASAM SALISILAT DAN ENZIM PEROKSIDASE

Karya Ilmiah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Ketahanan Tanaman”

Oleh:

Nama : Sinta Fitria


NIM : P2D222009
Dosen Pengampu : Dr. Ir. Asniwita, M. Si

PROGRAM MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpah rahmat dan hidayah-Nya

sehingga dapat menyelesaikan review jurnal dengan judul ”Ketahanan Biokimia Tanaman

Terhadap Virus Kuning Keriting (Pepper Yellow Leaf Curl Virus) Pada Tanaman Cabai :

Asam Salisilat Dan Enzim Peroksidase”

Adapun tujuan pembuatan karya tulis ilmiah ini yaitu untuk memenuhi tugas matakuliah

ketahanan tanaman. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ilmiah ini masih

terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga ini

dapat menjadi sumber informasi bagi yang pembaca.

Jambi, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG..............................................................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH.........................................................................................................2
1.3. TUJUAN..................................................................................................................................3
1.4. MANFAAT..............................................................................................................................3
BAB II ISI............................................................................................................................................4
2.1. Gejala dan Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning............................................................4
2.2. Pengukuran Aktifitas Enzim Peroksidase dan Akmulasi Asam Salisilat.................................6
2.3. Aktivitas Fenol dan Peroksidase pada Virus Kuning Keriting pada Genotipe Cabai Tahan
dan Rentan................................................................................................................................7
2.4. Perkembangan Vektor Kutukebul (Bemisia tabaci) pada Beberapa Genotipe Cabai..............8
2.5. Sumber Ketahanan Baru PYLCV (Begomovirus)....................................................................9
BAB III PENUTUP..........................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................10
3.2 Saran........................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman hortikultura yang
penting di Indonesia karena banyak dikonsumsi dan memiliki kandungan gizi yang
relatif tinggi. Buah cabai dapat dijadikan sebagai bahan konsumsi untuk sayuran,
penyedap makanan, bahan untuk industri makanan dan bahan campuran obat-obatan.
Buah cabai memiliki banyak kandungan gizi, yaitu dalam 100 g buah cabai terdiri dari 1
g protein, 0,3 g lemak, 7,3 g karbohidrat, 29 mg kalsium, 24 mg foffor, 0,5 mg zat besi,
470 mg vitamin A, 0,05 mg vitamin B1, 460 mg vitamin C, air 90,9 g serta 31 kalori
(Setiadi, 2001).
Kebutuhan akan buah cabai terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai.
Peningkatan kebutuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas cabai.
Rendahnya produktivitas cabai merah ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya
penyakit virus kompleks yang disebabkan serangan dari beberapa jenis virus kompleks.
Tanaman cabai yang terinfeksi virus kompleks menunjukkan beberapa gejala serangan
seperti daun belang-belang (mosaik), menggulung, keriting, klorosis, nekrotik dan kerdil.
Serangan virus ini dapat menurunkan produksi tanaman cabai mencapai 75 % (Sulyo,
1984). Sari et al., (1997) menyatakan pula bahwa serangan virus dapat menurunkan
jumlah dan bobot buah per tanaman berturut-turut sebesar 81,4 dan 82,3%.
Beberapa virus yang menyebabkan penyakit dan kehilangan hasil pada tanaman
cabai di antaranya yaitu CVMV (Chili Veinal Mottle Potyvirus), CMV (Cucumber
Mosaic Cucumovirus), PMMoV (Peppers Mild Mottle Potyvirus) dan PYLCV (Peppers
Yellow Leaf Curl Virus) (Vivaldy et al., 2017). Penyakit oleh virus ditularkan oleh
serangga vektor antara lain kutu kebul, kutu daun, dan thrips. Kutu kebul (Bemisia
tabaci) menjadi serangga vektor penyakit virus kuning (Basri, 2011). Thrips parvispinus
berperan sebagai vektor virus TSV (Tobacco streak ilarvirus) (Sartiami et al., 2011) dan
Pepper yellow leaf curl Begomovirus (PYLCV) (Faizah et al., 2012).
Penyakit yang disebabkan oleh virus menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman cabai terganggu. Gejala yang umumnya timbul pada tanaman
cabai yang terinfeksi virus yaitu tanaman menjadi kerdil, daun kerdil, daun menguning

1
(yellowing), pertumbuhan lamina daun terhambat, mosaik hijau tua dan hijau muda pada
daun (Sutrawati, 2010). Gejala yang ditimbulkan oleh virus menyebabkan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berimbas terhadap penurunan hasil
produksi dan gagal panen. Keberadaan penyakit yang disebabkan oleh virus sangat
merugikan petani tanaman cabai di Indonesia.
Upaya pengendalian yang banyak dilakukan petani yaitu pengendalian terhadap
vektor virus dengan menggunakan insektisida. Cara ini mahal, tidak efektif, dan
mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, manusia dan sumber daya hayati.
Mengaktifkan gen pertahanan dari tanaman merupakan salah satu cara pengendalian
virus secara hayati dan mempunyai kelebihan dibandingkan pengendalian dengan
menggunkan pestisida. Dalam evolusi tanaman terbentuk mekanisme pertahanan secara
alami yang membantu tanaman melindungi dirinya sendiri dari serangan penyakit.
Mekanisme untuk pertahaman sendiri ini dikenal dengan nama Systemic Activated
Resistance atau SAR. SAR atau resistensi sistemik terinduksi disebut sebagai imunisasi
tanaman yang paling sering dipelajari karena bentuk perlindungan jangka panjang.
Salah satu cara untuk meningkatkan resistensi tanaman terhadap patogen dapat
dilakukan dengan menginduksi ketahanan tanaman. Induksi ketahanan pada tanaman
dapat terjadi melalui 2 cara yaitu produksi secara langsung phatogenesis related protein
(PR-protein) dan senyawa fitoaleksin sebagai akibat serangan mikroorganisme patogen
(Heil dan Bostok, 2022). Taufik et al., (2010) menyatakan bahwa induksi ketahanan
sistemik dicirikan dengan adanya produksi senyawa phatogenesis related-protein (PR-
protein) misalnya peroksidase dan akumulasi asam salisilat (SA) pada tanaman yang
terinduksi.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Bagaimana gejala dan penyebab penyakit daun kuning keriting pada tanaman
cabai?
1.2.2 Bagaimana aktivitas enzim peroksidase dan akumulasi asam salisilat ?
1.2.3 Bagaimana aktivitas fenol dan peroksidase pada virus kuning keriting pada
genotype cabai tahan dan rentan ?
1.2.4 Bagaimana perkembangan vektor kutukebul (Bemisia tabaci) pada beberapa
genotipe cabai ?
1.2.5 Bagaimana sumber ketahanan baru PYLCV (Begomovirus) ?

2
1.3. TUJUAN
1.3.1 Mengetahui gejala dan penyebab penyakit daun kuning keriting pada tanaman
cabai
1.3.2 Mengetahui aktivitas enzim peroksidase dan akumulasi asam salisilat
1.3.3 Mengetahui aktivitas fenol dan peroksidase pada virus kuning keriting pada
genotipe cabai tahan dan rentan
1.3.4 Mengetahui perkembangan vektor kutukebul (Bemisia tabaci) pada beberapa
genotipe cabai
1.3.5 Bagaimana sumber ketahanan baru PYLCV (Begomovirus)

1.4. MANFAAT
Karya Tulis ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi mengenai ketahanan
biokimia tanaman terhadap virus kuning keriting (Pepper Yellow Leaf Curl Virus) pada
tanaman cabai melalui aktivitas Asam Salisilat dan Enzim Peroksidase .

3
BAB II
ISI

2.1. Gejala dan Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning


Di lapangan, gejala penyakit daun keriting kuning yang ditimbulkan sangat
bervariasi tergantung pada kultivar, strain virus dan lingkungan fisiknya. Namun demikian
serangan Begomovirus pada cabai mempunyai gejala yang sangat khas yaitu terjadinya
penebalan tulang daun, tepi daun menggulung ke atas dan helai daun berwarna kuning
cerah. Walaupun patogen tidak sampai mematikan tanaman, akan tetapi pada gejala lanjut
menyebabkan daun baru yang tumbuh menjadi kecil-kecil, bunga rontok dan tidak
menghasilkan buah. Di Indonesia, penyakit daun keriting kuning merupakan penyakit baru
dan menimbulkan banyak kerugian pada pertanaman cabai akhir-akhir ini.
Begomovirus yang menyerang cabai di luar negeri sudah banyak dilaporkan, antara
lain Texas pepper geminivirus (TPV) di Texas (Stenger, 1990) dan di Costa Rica (Lotracul
et al., 2000), Serrano golden mosaic virus (SGMV) di Meksiko dan Amerika Serikat
(Brown & Poulus, 1990), Pepper hausteco virus (PHV) dan Chino del tomato virus
(CdTV) di Meksiko, Pepper jalapeno virus (PJV) di Texas (Torres-Pacheco et al., 1996),
TYLCV di Thailand dan Kuba (Quinones et al., 2002).
Keparahan penyakit dihitung dengan melakukan skoring terhadap gejala penyakit
tertentu (Tabel 1.). pengelompokkan respons ketahanan genotipe cabai menggunakan
kriteria ketahanan Ganefianti et al., (2008) (Tabel 2.)

Gambar 1. Skor gejala virus kuning keriting (Gunaeni et al., 2015)

Tabel 1. Kriteria gejala infeksi untuk menentukan skor keparahan penyakit


Skor Gejala
0 Tidak bergejala
1 Tulang daun memucat, terlihat bercak kuning pada daun
2 Seluruh tulang daun menguning, sebagian besar lamina daun menguning, daun keriting
3 Sebagian besar lamina daun menguning, daun keriting dan kecil
4 Seluruh atau sebagian besar daun pada tanaman menguning, daun keriting kecil dan
tanaman kerdil

4
Tabel 2. Kriteria ketahanan tanaman terhadap infeksi Begomovirus
Respons Gejala Keparahan Penyakit (KP)
Tahan Ringan 1% < KP ≤10%
Agak rentan Sedang 10% < KP ≤ 20%
Rentan Berat 20% < KP ≤ 40%
Sangat rentan Sangat berat KP > 40%

Insidensi penyakit dihitung pada minggu terakhir pengamatan menggunakan rumus


sebagai berikut :
n
IP = x 100%
N
Keterangan :
IP = Insidensi Penyakit
N = jumlah tanaman yang sakit
N = jumlah seluruh tanaman.

Hasil penelitian Mugi Lestari et al., (2016) pada varietas cabai ‘Biola’ dan ‘Luwes’
menunjukkan respon sangat rentan dan rentan terhadap infeksi PYLCV. Sebagian besar
tanaman yang terinfeksi PYLCV menunjukkan gejala yang jelas berupa mosaik kuning,
daun keriting dan kerdil (Gambar 1). Secara umum gejala penyakit pada var. ‘Biola’ lebih
parah daripada yang ada di var. ‘Luwes’ . Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan
gejala dipengaruhi oleh varietas tanaman.

Gambar 2. Gejala Infeksi PYLCV pada var. Luwes (A) dan Biola (B)

5
2.2. Pengukuran Aktifitas Enzim Peroksidase dan Akumulasi Asam Salisilat
Infeksi PYLCV hanya terjadi melalui serangga vector kutukebul B. tabaci. Oelh
karena itu, salah satu mekanisme pertahanan secara structural terhadap infeksi PYLCV
ialah menghalangi penetrasi virus melalui stilet kutukebul. Kerapatan trikoma yang tinggi,
susunan dan panjang sel palisade merupakan penghalang struktural terhadap vector B.
Tabaci dan Begomovirus (Faizah et al., 2011). Respon pertahanan bikomia terjadi saat
virus mencapai jaringan floem, dan menyebabkan gen resisten mengaktifkan jalur sinyal
transduksi asam salisilat.
Mekanisme ketahanan tanaman secara biokimia terhadap infeksi patogen dapat
dievaluasi melalui pengukuran aktifitas enzim peroksidase dan akumulasi asam salisilat.
Asam salisilat merupakan komponen jalur sinyal transduksi yang menyebabkan ketahanan
tanaman terhadap beberapa patogen. Aktivitas asam salisilat pada tanaman cabai
meningkat setelah terjadi infeksi Cucumber mosaic virus (CMV). Faizah et al., (2012)
dalam penelitiannya menunjukkan bagaimana mekanisme ketahanan tanaman cabai secara
biokimia ketika terinfeksi Pepper yellow leaf curl Begomovirus (PYLCV) penyebab
penyakit daun kuning keriting. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan
akumulasi asam salisilat yang merupakan bentuk reaksi cepat dari tanaman untuk melawan
infeksi virus yaitu dengan memobilisasi metabolit sekunder. Peningkatan akumulasi asam
salisilat yang cukup tinggi pada genotipe rentan 35C2 mengindikasikan bahwa tanaman
cabai mulai responsif mengaktifkan mekanisme ketahanan biokimia terhadap infeksi
PYLCV.
Asam salisilat (SA) berperan sebagai molecule system signal yang menginduksi
pembentukan phatogenesis relate (PR) protein dan meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap infeksi patogen (Chen et al., 2010). Dalam kondisi yang demikian serta tidak
aktifnya gen pertahanan apabila tidak ada rangsangan patogen (infeksi) maka manipulasi
buatan terhadap sistem pertahanan tersebut diharapkan akan menginduksi timbulnya
pertahanan tanaman. Gen pertahanan mengatur sintesis senyawa-senyawa metabolit
sekunder, yang hanya efektif jika hanya ada serangan patogen. Gen-gen pertahanan sering
terlambat berfungsi atau produk yang disintesisnya tidak mencapai jumlah yang cukup
untuk mengekspresikan diri. Gen pertahanan untuk menjadi aktif perlu adanya faktor
penginduksi. Bahan ekstrak tanaman mampu menginduksi respon pertahanan tanaman
yang sistemik terhadap virus seperti ekstrak tanaman Phytollaca Americana,
Clerodendrum aculeatum, Mirabilis jalapa, Catharanthus roseus (Govindasamy &
Srinivasan, 2012). Menurut Duriat (2008), bunga pukul empat (M.jalapa) dapat
6
menghambat penyakit virus Gemini sebesar 66,20% dengan masa retensi ketahanan
sistemik pada tanaman cabai yang paling baik adalah 24 jam setelah induksi ekstrak.
Gunaeni et al., (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa beberapa spesies
tanaman mempunyai kemampuan sebagai penginduksi ketahanan sistemik tanaman cabai
merah terhdapa penyakit virus kuning keriting, terjadi peningkatan kandungan asam
salisilat dalam tanaman cabai yang diinduksi ekstrak tanaman dan terdapat pola pita
protein yang berbeda antara cabai merah yang diinduksi dengan ekstrak tanaman dengan
cabai merah yang tidak diinduksi terhadap penyakit virus kuning keriting. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut diperoleh dua jenis tanaman yaitu pagoda (C.japonicum) dan
tapak dara (C.roseus) yang dapat digunakan sebagai penginduksi ketahanan sistemik
dalam menekan virus kuning keriting pada cabai merah yang mudah diaplikasikan dan
ramah lingkungan. Kandungan asam salisilat pada tanamn cabai merah yang diberi
inducer ekstrak tanaman pagoda dan tapak dara lebih tinggi (53,99 – 134,38%)
dibandingkan tanaman yang terinfeksi virus kuning keriting dan hasil analisis protein
menunjukkan bahwa ekspresi pola pita protein tanaman yang diberi inducer lebih tebal 1,5
kali dibandingkan dengan tanaman yang terinfeksi virus kuning keriting.
Aktifitas enzim peroksidase merupakan indicator respons pertahanan tanaman
terhadap infeksi virus selain akumulasi asam salisilat. Berdasarkan penelitian Faizah et al.,
2012) menunjukkan adanya peningkatan aktifitas peroksidase yang berperan sangat
penting dalam melindungi dinding sel terhadap penyebaran virus. Seperti halnya dengan
akumulasi asam salisilat, genotipe rentan memiliki aktivitas enzim peroksidase yang lebih
tinggi dibandingkan dengan genotipe tahan.

2.3. Aktivitas Fenol dan Peroksidase pada Virus Kuning Keriting pada Genotipe Cabai
Tahan dan Rentan
Mekanisme pertahanan pertama pada tanaman terhadap serangan penyakit maupun
virus meliputi kutikula, lilin, stomata dan bulu-bulu halus tanaman, sedangkan mekanisme
pertahanan yang diinduksi berkaitan dengan fenolat, peroksidase, polifenol oksidase dan
katalase. Senyawa fenolik merupakan metabolit sekunder tanaman yang merupakan salah
satu kelompok zat yang paling umum dan tersebar luas pada tanaman. Istilah fenolik dapat
didefinisikan secara kimia sebagai zat yang memiliki cincin aromatic yang mengandung
satu (fenol) atau lebih (polifenol). Fenolik tanaman dapat dibagi dalam dua kelas 1)
fenolat yang terbentuk sebelumnya yang disintesis dalam perkembangan normal jaringan
tanaman dan 2) fenolat terinduksi yang disintesis oleh tanaman sebagai respon terhadap

7
cekaman. Selain itu, aktivitas peroksidase (POD) dikaitkan dengan resistensi hama
serangga.
Berdasarkan hasil penelitian Kingkampang et al.,( 2020) menunjukkan kandungan
total fenolik tanaman yang tidak diinokulasi pada genotipe rentan menunjukkan nilai yang
lebih tinggi dari pada genotipe tahan pada kedua tahap yaitu daun muda dan daun tua.
Aktivitas POD pada genotipe cabai dari berbagai stadia daun meningkat setiap minggu
setelah inokulasi dan meningkat dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi.
Perubahan aktivitas enzim menunjukkan bahwa kandungan total fenolik berkorelasi kuat
dengan ketahanan atau resistensi penyakit PYLCD pada tanaman cabai. Peningkatan
kandungan total fenolik juga ditemukan terhadap penyakit lain seperti penyakit antraknosa
(Anand et al., 2009), penyakit virus kuning keriting cabai (Rai et al., 2010). Kandungan
total fenol dalam tanaman digunakan sebagai substrat untuk memproduksi lignin di
dinding sel. Selain itu, aktivitas POD pada yanaman yang terinfeksi menghasilkan
kandungan yang lebih tinggi dari pada yang idak diinokulasi pada kedua genotipe cabai.
Pada genotipe yang tahan peningkatan aktivitas POD lebih cepat dari pada genotipe rentan
sehingga tanaman tahan dapat mengatasi infeksi penyakit. Selain itu, penelitian
Kingkampang et al.,( 2020) juga menunjukkan bahwa daun muda memiliki kandungan
POD yang lebih tinggi daripada daun dewasa.

2.4. Perkembangan Vektor Kutukebul (Bemisia tabaci) pada Beberapa Genotipe Cabai
Terdapat 2 jenis mekanisme ketahanan yang dimiliki oleh tumbuhan terhadap
penyebab penyakit yaitu ketahan struktural dan ketahanan biokimia. Ketahanan struktural
merupakan sifat-sifat struktural tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan
penghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam tumbuhan, sedangkan
ketahanan biokimia merupakan reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan
jaringan tanaman yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi
yang menghambat pertumbuhan patogen pada tumbuhan tersebut. Hasil penelitian Adilah
et al., 2014 menunjukkan mekanisme ketahanan pada genotipe IPBC12 yang dapat
berkaitan dengan struktur morfologi daun dan kemampuan tanaman menghasilkan
senyawa inhibitor. Struktur morfologi daun dapat berperan pada kasus infeksi PYLCV
melalui serangga vektor. Jumlah, panjang dan tipe trikoma pada daun dapat
mempengaruhi kepadatan populasi kutukebul pada tanaman dan juga berpengaruh
terhadap peletakan telur oleh kutu kebul pada tanaman. Jumlah telur yang diletakkan pada
daun dengan trikoma yang padat dan rapat cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan

8
jumlah telur pada daun dengan jumlah trikoma sedikit dan tidak rapat. Ganefianti (2010)
melakukan pengamatan terhadap trikoma tanaman cabai genotipe IPBC12 dan 35C2 yang
hasilnya menunjukkan bahwa trikoma genotipe IPBC12 lebih banyak dan rapat
dibandingkan dengan trikoma pada genotipe 35C2.
Jumlah serangga vektor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tinginya
insidensi penyakit dan periode inkubasi virus. Jumlah serangga vektor yang tinggi
menyebabkan insidensi penyakit semakin tinggi dan periode inkubasi virus semakin
singkat, begitupula sebaliknya. Aktivitas dan perilaku makan serangga vektor sangat
menentukan kemampuannya untuk menularkan virus (Aidawati et al ., 2002).

2.5. Sumber Ketahanan Baru PYLCV (Begomovirus)


Pengelolaan Begomovirus sebagian besar menggunakan insektisida terhadap vektor
kutu kebul. Namun, penggunaan insektisida ternyata hanya efektif sebagian, mahal dan
menimbulkan bahaya bagi petani, konsumen dan lingkungan karena menimbulkan residu
pestisida. Di beberapa titik rawan penyakit, kerugian 95% dilaporkan dan petani terpaksa
menanam tanaman alternative. Strategi pengendalian PYLCV yang efektif adalah dengan
pengembangan kultivar tahan. Namun, rekombinasi genetik dan interaksi sinergis diantara
Begomovirus yang berbeda telah mengakibatkan munculnya virus baru dengan cepat yang
dapat menginfeksi inang baru, menyebabkan gejala penyakit baru dan mengatasi resistensi
atau ketahanan inang. Berdasarkan penelitian Shihwen Lin et al (2019) yang melakukan
pengujian multilokasi untuk resistensi atau ketahanan penyakit, menunjukkan adanya
mutasi gen Begomovirus di beberapa lokasi. Pertanian yang intensif dan pemuliaan
kultivar yang tahan merupakan pemicu utama kemampuan adaptasi Begomovirus
melakukan percepatan mutasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan Pengelolaan
Hama Terpadu (PHT) yang menggunakan kultivar tahan dengan langkah-langkah
pengendalian kutukebul dan virus yang berbeda.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Peningkatan kandungan total fenol dan peroksidase (POD) berhubungan dengan
mekanisme resistensi atau ketahanan terhadap penyakit PYLCD pada tanaman
cabai.
2. Diperoleh jenis tanaman yang berpotensi sebagai bahan penginduksi resistensi
tanaman cabai merah terhadap penyakit virus kuning keriting yaitu tanaman
pagoda (C. japonicum) dan tapak dara (C. roseus)
3. Terjadi peningkatan akumulasi asam salisilat yang cukup tinggi pada genotype
rentan 35C2 mengindikasikan bahwa tanaman cabai mulai responsive
mengaktifkan mekanisme ketahanan biokimia terhadap infeksi PYLCV.

3.2 Saran
Diperlukan penelitian lanjutan mengenai proses fisiologi tanaman yang terserang
penyakit yang disebabkan oleh virus dalam rangka untuk meningkatkan daya tahan tubuh
tanaman terhadap virus maupun usaha untuk mengurangi infeksi virus dengan modifikasi
kegiatan budidaya yang lain.

10
DAFTAR PUSTAKA

Adilah, N.F. & Hidayat, S.H., 2014. Keparahan Penyakit Daun Keriting Kuning dan
Pertumbuhan Populasi Kutukebul pada Beberapa Genotipe Cabai. Jurnal Fitopatologi
Indonesia, 10(6): 195–201.
Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an Indonesian
isolate Tobacco leaf curl virus (Geminivirus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera:
Aleyrodidae). Plant Pathol J. 18 (5): 231 -236.
Anand, T., Bhaskaran, R., Raguchader, T., Samiyappan, R., Prakasam, V. and
Gopalakrishnan, C. 2009. Defence respons of chilli fruits to Colletotrichum capsici
and Alternaria alternate. Biologi Plantarum, 53: 553-559.
Basri, AB. 2011. Pengendalian Penyakit Keriting Daun Cabai Merah. Serambi Pertanian
BPTP NAD. 5 (6) : 1-2.
Brown, J.K., & B.T. Poulus. 1990. Serrano golden mosaic virus: A new whitefly transmitted
geminivirus of pepper and tomato in U.S. Plant Dis. 74: 720.
Chen, H, Zhang, Z, Teng, K, Lai, J, Zhang, Y, Huang, Y, Li Y, Liang, L, Wang, Y & Chu.
2010. Up-regulation of LSBI/GDU3, Effect Gemini virus infection by activating the
salicylic acid pathway. Plant Jornal, vol 62.
Duriat, AS. 2008. Pengaruh Ekstrak Bahan Nabati dalam Menginduksi Ketahanan Tanaman
Cabai terhadap Vektor dan Penyakit Kuning Keriting. J.Hort., vol 18, No. 4 Hlm. 46-
56.
Faizah, R., Sujiprihati, S., Syukur, M. & Hidayat, S.H., 2011. Mekanisme ketahanan strktural
terhadap Begomovirus penyebab penyakit keriting kuning (Pepper yellow leaf curl
virus). Prosiding Seminar Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Peripi Komda
Sumatera dan Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Hlm 223-230.
2012. Ketahanan Biokimia Tanaman
Cabai terhadap Begomovirus Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning. Jurnal
Fitopatologi Indonesia, 8(5): 138–144.
Ganefianti, DW, Sujiprihatis, Hidayat, SH & Syukur, M. 2008. Metode Penularan dan Uji
Ketahanan Genotipe Cabai terhadap Begomovirus. Jurnal Agrosia. Vol. 11, No.2
Govindasamy C & Srinivasan, R. 2012. In vitro antibacterial activity and phytochemical
analysis of Catharanthus roseueus (Linn). G. Don. Asian Pacific Journal of Tropical
Biomedicine.
Heil, M and R.M. Bostock. 2002. Induced systemic resistance (ISR) against pathogens in the
context of induced plant defenses. Journal Annual of Botani, 89:503-512.
Kingkampang, H., Teerarak, M., Kramchote, S., Techawongstien, S. and Suwor, P. 2020.
Phenols and peroxidase activity in Pepper yellow leaf curl Thailand Virus
(PepYLCThV) resistant and susceptible chili (Capsicum annuum L.) genotypes.
International Journal of Agricultural Technology 16(4): 845-854.

11
Lotracul, P., R.A. Valverde, R.de La Torre, J. Sim, & A. Gomez. 2000. Occurrence of a
starin of Texas pepper virus in Tabasco and Habanero pepper in Costa Rica. Plant
Dis. 84: 168-172.
Mugi Lestari, Susanti, Sri Hendrastuti Hidayat and Widodo. 2018. Determination of
Endophytic fungi as induce resistance agent of chili pepper against Pepper Yellow
Leaf Curl Disease. Agrivita Journal of Agricultural Science. 40(2): 249-256.
Quinones, M., D. Fonseca, &Y. Martinez. 2001. First report ogf Tomato yellow leaf curl
virus infecting pepper plants in Cuba. Abstract of Plant Dis. 86:73.
Rai, V. P., Jaiswal, N., Kumar, S., Singh S. P., Kumar, R, and Rai, A. B. 2010. Respons of
total phenols and peroxidase activity in chili exposed to pepper leaf curl virus disease.
International Journal of Vegetable Science. 37: 78-80.
Sari, C. I. N., R. Suseno, Sudarsono dan M. Sinaga. 1997. Reaksi sepuluh galur cabai
terhadap infeksi isolate Cucumber mosaic virus (CMV) dan Potato virus Y (PVY)
asal Indonesia. Prosiding Kongres Nasionla XIV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan
Fitopatologi Indonesia. 27-29 Oktober 1997. Palembang.
Sartiami, D., Magdalena, M., & Nurmansyah, A. 2011. Thrips parvispinus Karny
(Thysanoptera: Thripidae) pada tanaman cabai: perbedaan karakter morfologi pada
tiga ketinggian tempat. Jurnal Entomologi Indonesia. 8(2), 85-95.
Setiadi. 2001. Bertanam Cabe. Penebar Swadaya. Jakarta.
Shih-wen Lin, Yen-wei Wang, Tsung-han Lin, Yuan-li Chan, and Lawrence Kenyon. 2019.
A novel source of resistance to Pepper yellow leaf curl Thailand virus (PepYLCThV)
(Begomovirus) in chili pepper. J. HortScience 54 (12): 2146-2149. World Vegetable
Center East and Southeast Asia Research and Training Station, Kamphaeng Saen,
Nakhon Pathom, Thailand.
Stenger, D.C., J.E. Duffus, B. Vilalon. 1990. Biological and genomic properties of
geminivirus isolated from pepper. Phytophatol. 80:704-709.
Sulyo, Y. 1984. Penurunan hasil beberapa varietas Lombok akibat infeksi Cucumber mosaic
virus (CMV) di rumah kaca. Balai Penelitian Hortikultura. Lembang. Bandung
Sutrawati, M. 2010. Deteksi Serologi Virus Penyebab Penyakit Mosaik Pada Tanaman Cabai
Dengan DAS-ELISA. Jurnal Agriculture, 17(1): 626–630.
Taufik, M, Rahman, A, Wahab, A & Hidayat, SH, 2010. Mekanisme ketahanan terinduksi
oleh plant growth promoting rhizobakteria (PGPR) pada tanaman cabai terinfeksi
cucumber mosaic virus (CMV). J.Hort., vol. 20, No. 3
Torres-Pacheco, I., J. G.A. Tiznado, J.K. Brown, A. Becerra-Flora, & R. F. R. Bustamante.
1996. Detection and distribution of geminiviruses in Mexico and the Southern United
States. Phytopathol. 86:1186 -1192.
Vivaldy, L. A. Ratulangi, M.M., & Manengkey, G.S J.2017. Insidensi penyakit virus pada
tanaman cabai (Capsicum anuum) di Desa Kakaskasen II Kecamatan Tomohon Utara
Kota Tomohon. In Cocos. 1 (6):1-9.

12

Anda mungkin juga menyukai