Anda di halaman 1dari 13

Vol. 1 No.

2, Desember 2016 ISSN 2548-4494

JRumput urnal
Laut Indonesia

Pusat Unggulan Ipteks


Pengembangan dan Pemanfaatan Rumput Laut (PUI-P2RL)
PUI-P2RL-UNHAS Universitas Hasanuddin PUSAT UNGGULAN IPTEK
PERGURUAN TINGGI INDONESIA
SINOPSIS
Jurnal Rumput Laut Indonesia merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Unggulan Ipteks
Pengembangan dan Pemanfaatan Rumput Laut (PUI-P2RL) yang terdapat di Universitas
Hasanuddin. Jurnal Rumput Laut Indonesia memuat tulisan hasil penelitian dan
pengembangan yang terkait dengan aspek ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial yang
berhubungan dengan rumput laut.

PENANGGUNG JAWAB
Ketua PUI-P2RL Universitas Hasanuddin

DEWAN REDAKSI
Dr. Inayah Yasir, M.Sc. (Ketua)
Andi Arjuna, S.Si., M.Na. Sc.T. Apt. (Sekretaris)
Prof. Dr. Ir. Joeharnani Tresnati, DEA. (Anggota)
Moh. Tauhid Umar, S.Pi., M.P (Anggota)
Raiz Karman, S.Pd. (Anggota)

DEWAN PENYUNTING
Prof. Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. (Ekonomi Sumberdaya)
Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA. (Ekologi)
Prof. Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc. (Bioteknologi dan Pasca Panen)
Prof. Dr. Jana Tjahna Anggadiredja, M.S. (Teknologi Pangan dan Farmasi)
Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc. (Budidaya Rumput Laut)
Prof. Dr. Ir. Metusalach, M.Sc (Pasca Panen)
Agung Sudariono, Ph.D. (Pakan Akuakultur)
Dr. Ir. Andi Parenrengi, M.Si. (Bioteknologi)
Asmi Citra Malina, S.Pi., M.Agr., Ph.D (Biotek)
Dr. Ir. Gunarto Latama, M.Sc (Penyakit Rumput Laut)
Dr. Ir. St. Hidayah Triana, M.Si. (Rekayasa Genetika)
Dr. Lideman, S.Pi., M.Sc (Reproduksi Biologi)

ALAMAT REDAKSI:
Jurnal Rumput Laut Indonesia, Pusat Unggulan Ipteks Pengembangan dan Pemanfaatan
Rumput Laut (PUI-P2RL) Universitas Hasanuddin.
Gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Lantai V Kampus Unhas Tamalanrea Km. 10.
Makassar 90245
Telepon : 085212108106
Email : jrli-p2rl@unhas.ac.id
Website : http://journal.indoseaweedconsortium.or.id/

SAMPUL DEPAN:
Panen Bibit Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Unit Bisnis Pembibitan
Rumput Laut PUI-P2RL-UNHAS (Foto: Inayah Yasir)
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131 ISSN 2548-4494

Analisis Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii
di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo
Waters Suitability Analysis for Eucheuma cottonii Cultivation on District of Sajoanging, Wajo
Regency
1
Uswaton Khasanah , Muhammad Farid Samawi1,2, Khairul Amri1
Diterima: 19 Oktober 2016 Disetujui: 08 November 2016

ABSTRACT
Seaweed is the biological resources that have been utilized by people of Indonesia as a livelihood. In some regions, make it as
a primary means of livelihood. Eucheuma cottonii or Kappaphycus alvarezii is one type of seaweed that is widely used for
farming activities in various Asia-Pacific countries, including Indonesia. Wajo, one area in South Sulawesi that is directly
adjacent to the Gulf of Bone. It is strongly supports the maritime field management, one of the potential of seaweed
cultivation, especially in Sajoanging District, a newly developed area for seaweed cultivation. The aim of the study is to
determine the level of suitability of the waters by physico-chemical conditions for the location of seaweed farming in the
waters of the district Sajoanging, Wajo Regency. This research is expected to provide information, which can be used as a
reference for the community or regional governments in developing seaweed farming activities in these locations. Physico-
chemical parameters were measured including tidal, wave, current speed, total suspended solid (TSS), salinity, temperature,
nitrate, phosphate, acidity (ph), and depth. The results showed that the district waters of Sajoanging, Wajo Regency was in
the category of ‘Not Suitable’ (389.76ha), ‘Quite Suitable’ (1578.43 ha) and ‘Suitable’ (24.32ha) for E. cottoni cultivation.
Keywords: Suitable waters, Eucheuma cottonii, Sajoanging, Kappaphycus alvarezii.

PENDAHULUAN Tumbuhan laut termasuk makroalga atau rumput


laut berinteraksi dengan lingkungan fisika kimia-
Rumput laut adalah sumberdaya hayati yang telah nya. Di antara faktor lingkungan tersebut adalah
dimanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai mata ketersediaan cahaya, suhu, salinitas, arus dan keter-
pencarian, bahkan beberapa wilayah menjadikan- sediaan nutrien (Lobban & Harrison, 1997). Oleh
nya sebagai mata pencarian utama. Rumput laut
karena itu faktor fisika kimia perairan menjadi
merupakan salah satu komoditas sumberdaya laut
salah satu penentu keberhasilan budidaya rumput
yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, mudah
laut.
dibudidayakan serta biaya produksinya rendah. Hal
ini memicu banyak masyarakat Indonesia yang Parameter lingkungan yang menjadi penentu lokasi
melakukan budidaya rumput laut ini. Negara-negara yang tepat untuk budidaya rumput laut adalah
maju memanfaatkan rumput laut sebagai bahan kondisi lingkungan fisik yang meliputi kedalaman,
baku produksinya, salah satunya sebagai bahan kecerahan, kecepatan arus, Muatan Padatan Tersus-
baku untuk kosmetik. pensi (MPT) atau Total Suspended Solid (TSS), dan
lingkungan kimia yang meliputi salinitas, pH, oksi-
Eucheuma cottonii atau Kappaphycus alvarezii
gen terlarut, nitrat dan fosfat.
adalah jenis rumput laut yang banyak dibudidaya-
kan di negara Asia Pasifik termasuk Indonesia. Kabupaten Wajo salah satu daerah di Sulawesi
Indonesia telah meningkatkan produksi jenis ini Selatan yang secara administratif memiliki daerah
dari 25.000 ton pada tahun 2001 menjadi 55.000 yang berbatasan langsung dengan Teluk Bone. Hal
ton pada tahun 2004 (McHugh, 2006). tersebut sangat mendukung pengelolaan potensi di
bidang kelautan, salah satu potensinya yaitu budi-
Kappaphycus menghasilkan karaginan jenis kappa
daya rumput laut, khususnya di Kecamatan Sajoa-
yang dapat dimanfaatkan untuk industri makanan,
nging yang baru beberapa tahun ini mengembang-
kosmetik, obat-obatan, tekstil, dan sebagai materi
kan budidaya rumput laut.
dasar aromatic diffuser (Chapman dalam Aslan,
1991). Faktor utama keberhasilan kegiatan budi- Untuk meningkatkan produksi budidaya rumput
daya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang laut di Kabupaten Wajo secara maksimal, dan untuk
tepat. Penentuan lokasi dan kondisi perairan harus menunjang kegiatan ini secara optimal, perlu diada-
disesuaikan dengan metode budidaya yang akan kan kajian kesesuaian perairan untuk lokasi budi-
digunakan. daya ditinjau dari parameter fisika dan kimia per-
1
airan.
Departemen Ilmu Kelautan, FIKP Univ. Hasanuddin
2
PUI-P2RL Universitas Hasanuddin METODE PENELITIAN
Muhammad Farid Samawi ( ) Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei
Email: farids.unhas@gmail.com
2013 yang meliputi studi literatur, survei awal
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131

lokasi, pengambilan data lapangan, analisis data di an Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Peri-
laboratorium, pengolahan data dan penyusunan la- kanan Universitas Hasanuddin.
poran akhir. Untuk kegiatan pengambilan data lapa-
Penentuan stasiun dilakukan secara acak yang me-
ngan dilakukan pada bulan April yang bertepatan
wakili lokasi yang meliputi tujuh stasiun dengan
pada musim peralihan dari musim hujan ke musim
melakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Pada
kemarau.
stasiun 1 tidak terdapat kegiatan budidaya rumput
Pengukuran dan pengambilan data lapangan dilak- laut, Stasiun 2 dan 4 dekat muara Sungai Akko-
sanakan di Perairan Kecamatan Sajoanging yang tengeng, Stasiun 3 berada di muara sungai, stasiun
berada di Desa Barangmamase, Alewadeng, Akko- 5 terdapat kegiatan budidaya rumput laut namun
tengeng, Minangae dan Akkajeng Kabupaten Wajo masih di pengaruhi muara sungai, Stasiun 6 dan 7
Sulawesi Selatan. Analisis sampel air laut dilak- terdapat kegiatan budidaya rumput laut dan jauh
sanakan di Laboratorium Oseanografi Kimia Jurus- dari muara sungai (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian budidaya rumput laut Eucheuma cottonii di Kecamatan
Sajoanging, Kabupaten Wajo.

Kriteria kesesuaian perairan untuk budidaya rumput 1). Kriteria ini kemudian dijadikan patokan dalam
laut berdasarkan kondisi lingkungan dibutuhkan menilai secara kuantitatif tingkat kelayakan per-
sebagai acuan penentuan kelayakan perairan (Tabel airan dengan metode skoring dan pembobotan.

Tabel 1. Kriteria parameter fisika-kimia oseanografi untuk kesesuaian perairan bagi usaha budidaya rumput laut
No Kriteria Tingkat kesesuaian Lahan Pustaka
Sesuai Cukup Sesuai Tidak Sesuai
1 Tinggi Gelombang (m) 0,2-0,3 0,1-0,19 atau 0,31-0,40 <0,1 atau >0,41 Aslan (1991)
2 Kecepatan arus (m/det) 0,2-0,3 0,1-0,19 atau 0,31-0,40 < 0,1 atau >0,41 Aslan (1991); Sulistijo (1996)
3 TSS (mg/l) < 25 25-50 > 50 Aslan (1991)
4 o 28-32 25-27 atau 33-35 < 25 atau >35 Aslan (1991)
Salinitas ( /oo)
5 Suhu (°C) 28-30 26-27 atau 30-33 < 26 atau >33 Sadhori (1995)
6 Nitrat (ppm) 0,9-3,5 0,1-0,8 atau 3,6-4,4 < 0,1 atau >4,5 Sulistijo (1996)
7 Fosfat (ppm) 0,51 -1 0,21-0,5 < 0,21 atau >1 Indriani & Sumiarsih (1997)
8 pH 7-8,5 6,5–6,9 atau 8,5-9,5 < 6,5 atau >8,5 Aslan (1991); Utojo et al.
(2004)
9 Kedalaman (m) 0,6-2,1 0,3-0,5 atau 2,2-10 < 0,3 atau <10
Aslan (1991); Utojo, et al.
(2004)

124 Khasanah, dkk.


Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131

Pasang Surut
Data-data penunjang diperoleh dengan mengukur
parameter oseanografi fisika dan kimia (Tabel 2). Hasil pengamatan pasang surut didapatkan nilai
Pengukuran parameter fisika dilakukan pada setiap Duduk Tengah Sementara yaitu 150,67 cm. Semen-
stasiun, sedangkan untuk pengukuran parameter tara itu dari grafik pasang surut, dapat diketahui
kimia dilakukan di laboratorium dengan mengambil tipe pasang surut di perairan Kecamatan Sajoanging
sampel air di lapangan. Kabupaten Wajo yaitu pasang surut campuran
condong ke harian ganda (mixed semi diurnal tide)
Metode skoring dengan menggunakan pembobotan
yaitu pada tipe ini dalam satu hari terjadi dua kali
untuk setiap parameter dikarenakan setiap parame-
air pasang dan dua kali air surut (Gambar 2). Dalam
ter memiliki andil yang berbeda dalam menunjang
menentukan lokasi budidaya rumput laut, lokasi
kehidupan komoditas. Bobot yang besar diberikan
yang dipilih sebaiknya pada waktu surut masih
kepada parameter dengan pengaruh dominan terha-
digenangi air sedalam 30-60 cm. Keuntungan dari
dap penentuan wilayah tersebut. Sebaliknya para-
genangan air tersebut adalah penyerapan makanan
meter yang kurang dominan atau tidak berpengaruh
dapat berlangsung terus menerus dan tanaman
besar terhadap budidaya diberi bobot yang kecil. terhindar dari kerusakan akibat kekeringan dan
Berdasarkan nilai skor setiap parameter maka dila- sengatan sinar Matahari langsung (Winarno, 1990).
kukan penilaian untuk menentukan apakah lokasi
tersebut sesuai untuk lahan budidaya rumput laut
dengan menggunakan formulasi yang dikemukakan
oleh Utojo et al. (2004).

Hasil analisis kesesuaian perairan kemudian diana-


lisis lagi dengan melakukan pendekatan analisis
keruangan dengan Sistem Informasi Geografis
(SIG) menggunakan software Arc View Version
3.3. Dalam peta dengan skala 1:75.000 ditampilkan Gambar 2. Grafik Pasang Surut Perairan Kecamatan
lokasi dan tingkat kesesuaian perairan untuk Sajoanging
kegiatan budidaya rumput laut.
Pada penelitian ini parameter pasang surut
HASIL DAN PEMBAHASAN merupakan parameter antara untuk digunakan
sebagai nilai koreksi pada pengukuran kedalaman
Parameter Fisika–Kimia Oseanografi perairan dengan menggunakan nilai Duduk Tengah
Sementara (DTS) untuk mendapatkan nilai
Dari sembilan parameter fisika kimia yang diukur kedalaman perairan sebenarnya.
dan digunakan untuk menganalisis kesesuaian
lahan, hanya Stasiun 6 dan 7 yang padanya terdapat
titik sampling yang sesuai dengan kebutuhan lahan
budidaya rumput laut (Tabel 2).
Table 2. Nilai rata-rata hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan di masing-masing stasiun penelitian
Parameter Stasiun
1 2 3 4 5 6 7
Kecepatan Arus (m/det) 0,07 0,07 0,14 0,12 0,12 0,11 0,13
TSS (mg/l) 58,3 61,5 62,3 51,9 50,9 53,0 57,4
0
Salinitas ( /00) 24 23 15,33 20 20,67 26,67 30,33
o
Suhu ( C) 29,97 29,73 30,3 30,67 31 32,07 31,97
Nitrat (mg/l) 0,5 0,6 0,5 0,6 0,6 0,5 0,4
Fosfat (mg/l) 0,59 0,61 0,99 0,79 0,7 0,57 0,50
pH 6,91 6,96 6,89 6,96 7,00 7,08 7,12
Kedalaman (m) 1,7 1,6 0,8 1,3 1,9 2,0 1,4
Oksigen Terlarut (mg/l) 6,7 5,87 6,33 5,9 6,13 5,5 6,7

Gelombang
Karakteristik gelombang atau ombak dipengaruhi
Dari tujuh stasiun pengamatan, rata-rata tinggi oleh kecepatan angin, semakin tinggi kecepatan
gelombang antara 0,1-0,6 m, dengan Stasiun 1 angin maka ombak yang ditimbulkan akan tinggi
memiliki tinggi gelombang 0,6 m dan Stasiun 3 serta ombak dipengaruhi oleh adanya perbedaan
memiliki tinggi gelombang terendah yaitu 0,1 m. kedalaman, semakin dangkal suatu perairan maka
ombak yang timbul akan berkurang ini dikarenakan

Analisis kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya ..... 125


Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131

ombak akan pecah ketika menuju daerah yang Salinitas


dangkal. Spesies E. cottonii atau K. alvarezii merupakan
Diketahui bahwa pada Stasiun 1 perairan Keca- jenis rumput laut yang bersifat stenohaline. Tum-
matan Sajoanging Kabupaten Wajo memiliki tinggi buhan ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas
gelombang yang masuk dalam kriteria tidak sesuai yang tinggi. Salinitas dapat berpengaruh terhadap
untuk lokasi budidaya rumput laut, menurut Aslan proses osmoregulasi rumput laut. Menurut Aslan
(1991) untuk kegiatan budidaya rumput laut tinggi (1991) salinitas yang cocok untuk budidaya rumput
gelombang berkisar antara 0,2 m-0,3 m atau <0,4 laut jenis ini berkisar antara 30–37 ppt.
m. Salinitas perairan di tujuh lokasi pengukuran me-
Tingginya gelombang pada Stasiun 1 disebabkan nunjukkan nilai antara 15,33‰–30‰ (Tabel 2).
tidak adanya hambatan angin yang bertiup kencang Konsentrasi salinitas yang tinggi pada umumnya
di Stasiun 1. Stasiun 3 yang memiliki tinggi gelom- berada pada Stasiun 7 dan konsentrasi terendah ter-
bang yang rendah dibandingkan stasiun lain ini dapat di Stasiun 3. Rendahnya salinitas di Stasiun 3
diduga Stasiun 3 yang memiliki kedalaman yang dikarenakan lokasi tersebut merupakan muara dari
cukup dangkal yang menyebabkan gelombang Sungai Akkotengeng. Adanya perbedaan salinitas
pecah ketika mendekati stasiun 3. di setiap stasiun diduga disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti adanya perbedaan waktu saat pe-
Kecepatan Arus ngambilan sampel yang berpengaruh pada proses
Dari hasil pengukuran diperoleh nilai kecepatan penguapan, atau lokasi pengambilan sampel berada
arus dengan variasi yang sempit (Tabel 2). Kecepat- di daerah muara (Stasiun 3) yang menyebabkannya
an arus berperan penting dalam pencampuran massa memiliki salinitas rendah.
air, pengangkutan unsur hara, dan transportasi oksi- Dari hasil pengamatan dan pengolahan data untuk
gen. Arus merupakan faktor yang harus diutama- salinitas (Tabel 3) menunjukkan Stasiun 1, 2, 3, 4,
kan dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut dan 5 masuk dalam kriteria tidak sesuai untuk
karena arus akan mempengaruhi sedimentasi di lokasi budidaya rumput laut E. cottonii.
perairan. Selain itu, arus berperan dalam keterse-
diaan oksigen. Ketika oksigen cukup dalam perair- Suhu
an, maka rumput laut dapat melakukan respirasi
Suhu sangat berpengaruh terhadap kemampuan
dengan baik secara optimal pada malam hari.
rumput laut untuk melakukan fotosintesis dan
Total Suspended Solid (TSS) secara tidak langsung berpengaruh terhadap daya
larut oksigen yang digunakan untuk respirasi
TSS organik dan anorganik yang berasal dari pengi- organisme laut. Meskipun suhu tidak mematikan
kisan tebing dan dasar sungai, buangan industri, namun dapat menghambat pertumbuhan rumput
bangunan rumah tangga dan tanah pertanian yang laut. Kenaikan suhu dapat menyebabkan tallus
semuanya dapat terakumulasi dalam perairan. rumput laut menjadi pucat kekuningan.
Kandungan TSS perairan di tujuh stasiun pengukur- Dari hasil pengamatan (Tabel 2), diperoleh suhu
an yang diperoleh, berkisar antara 50,9–62,3 mg/l. permukaan air laut untuk masing–masing stasiun
Hasil pengamatan dan perhitungan TSS di tujuh berada pada kriteria cukup sesuai hingga sesuai
stasiun menunjukkan semua lahan tidak sesuai untuk budidaya rumput laut jenis E. cottonii karena
untuk lokasi budidaya rumput laut (Tabel 2), karena
nilai TSS di atas 50 mg/l (KLH, 1988). Tingginya berkisar antara 27oC–30oC (Aslan, 1991).
TSS pada lokasi penelitian diperkirakan karena Nitrat
banyaknya limbah pertanian dan tambak anorganik
Kandungan nitrat di perairan Kecamatan Sajo-
dan organik yang berasal dari limbah pertanian dan
anging Kabupaten Wajo yang diperoleh berkisar
pertambakan.
antara 0,4–0,6mg/l (Tabel 2). Kandungan nitrat
Masyarakat yang berada di Kecamatan Sajoanging tertinggi berada di Stasiun 4 dan 5, terendah berada
khususnya desa-desa yang berada di daerah pesisir di Stasiun 7.
memanfaatkan air yang berasal dari Teluk Bone
Kadar nitrat menjadi salah satu kriteria kesesuaian
untuk mengairi sawah dan tambak mereka dan
perairan untuk lokasi budidaya rumput laut jenis E.
kemudian membuang hasil limbah pertanian dan
pertambakan mereka langsung ke laut. Hal ini cottonii , dikarenakan nitrat merupakan salah satu
menyebabkan Perairan Kecamatan Sajoanging me- nutrien yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh dan
miliki konsentrasi TSS yang tinggi. Padatan tersus- berkembang. Kurangnya kandungan nitrat di per-
pensi yang tinggi dapat mengganggu proses foto- airan tidak hanya akan menyebabkan terhambatnya
sintesis rumput laut karena dapat menutupi tallus pertumbuhan, tetapi juga akan menghambat meta-
sehingga menghalangi cahaya Matahari yang ber- bolisme dan reproduksi.
peran membantu fotosintesis untuk sampai pada
permukaan tallus.

126 Khasanah, dkk.


Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131

Kandungan nitrat di tujuh stasiun pengamatan terendah berada di stasiun 3 yang merupakan
secara umum dapat dikatakan sebagai perairan yang stasiun yang berada di muara Sungai Akkotengeng
memiliki kandungan zat hara rendah (oligotrofik) dan kedalaman yang tertinggi berada di Stasiun 6.
yakni berada di bawah 1,0 ppm (Effendi, 2003).
Dari hasil pengamatan dan pengambilan data dari
Dari hasil pengamatan dan pengukuran yang
seluruh stasiun di perairan Kecamatan Sajoanging
diperoleh dapat disimpulkan bahwa ketujuh stasiun
Kabupaten Wajo masuk dalam kriteria kesesuaian
pengamatan di perairan Kecamatan Sajoanging
yaitu sesuai untuk lokasi budidaya rumput laut E.
Kabupaten Wajo masuk dalam kriteria cukup
sesuai. cottonii.
Kecerahan
Fosfat
Kandungan fosfat perairan pada 7 stasiun penga- Banyak sedikitnya sinar Matahari yang menembus
matan berkisar antara 0,50–0,99 mg/l (Tabel 2). ke dalam perairan sangat bergantung dari kecerahan
Stasiun yang memiliki kandungan fosfat rendah air. Semakin cerah perairan tersebut akan semakin
berada di Stasiun 7, sedangkan kandungan fosfat dalam cahaya yang menembus ke dalam perairan.
yang tinggi berada di Stasiun 3 ini dikarenakan Penetrasi cahaya menjadi rendah ketika tingginya
pada Stasiun 3 yang merupakan muara Sungai kandungan partikel tersuspensi di perairan dekat
Akkotengeng. Aliran Sungai Akkotengeng pantai, akibat aktivitas pasang surut dan juga
membawa fosfat yang melimpah dari daratan yang tingkat kedalaman (Hutabarat dan Evans, 2008).
berasal dari limbah limbah pertanian ataupun Kecerahan merupakan parameter yang berhubungan
limbah pertambakan. Menurut Hutagalung dan erat dengan besarnya penetrasi cahaya ke dalam
Rozak (1997), sumber antropogenik fosfor berasal perairan. Energi sinar Matahari dibutuhkan oleh
dari limbah industri, domestik, dan limbah tallus rumput laut dalam mekanisme fotosintesis.
pertanian. Pada lokasi pengambilan data kecerahan yang
Fosfat dapat menjadi faktor pembatas baik secara memiliki tingkat persentase yang mendekati 100%
temporal maupun spasial karena sumber fosfat yang yaitu 96% berada pada Stasiun 7 dengan kedalaman
sedikit di perairan. Fosfat merupakan unsur hara 136,67 cm, sedangkan stasiun yang persentase
kunci dalam produktivitas primer perairan. Senya- kecerahanya kurang, berada pada Stasiun 1 yaitu
wa ini dapat menggambarkan subur tidaknya suatu 54% yang memiliki kedalaman 113,80 cm.
perairan (Wardoyo, 1975). Oksigen Terlarut (DO)
Dari hasil pengamatan dan pengukuran diperoleh
Oksigen terlarut adalah kandungan oksigen yang
bahwa ketujuh stasiun pengamatan di perairan terlarut dalam perairan dan merupakan komponen
Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo masuk utama bagi metabolisme organisme perairan yang
dalam kriteria sesuai. Indriani dan Sumiarsih (1991) digunakan untuk pertumbuhan, reproduksi, dan
mengatakan kisaran fosfat yang optimal untuk kesuburan alga (Lobban & Harrison, 1997). Oksi-
pertumbuhan rumput laut adalah 0,051–1,00 ppm. gen terlarut di perairan dianggap sebagai parameter
tersier karena keberadaan parameter ini tidak berhu-
Derajat Keasaman (pH) bungan langsung dengan rumput laut, karena hanya
dibutuhkan pada kondisi tanpa cahaya.
Konsentrasi pH (derajat keasaman) perairan di
Dari tujuh stasiun pengamatan diperoleh konsen-
lokasi pengamatan berkisar antara 6,89–7,12 (Tabel
trasi DO rata-rata setiap stasiun, berkisar antara
2). Derajat keasaman (pH) tertinggi berada di
Stasiun 7, sedangkan terendah di Stasiun 3. Menu- 5,5–6,7 mg/l (Tabel 2). Stasiun 1 dan 7 memiliki
rut Aslan (1991), kisaran pH yang sesuai untuk konsentrasi DO tertinggi (6,7 mg/l) sedangkan
budidaya rumput laut adalah yang cenderung basa Stasiun 6 memiliki konsentrasi terendah (5,5 mg/l).
(pH di atas 7,0). Berdasarkan derajat keasaman Analisis Kesesuaian Perairan Budidaya
(pH) ketujuh stasiun pengamatan di perairan
Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo masuk Rumput Laut E. cottonii
dalam kriteria cukup sesuai hingga sesuai. Analisis kesesuaian perairan untuk pengembangan
budidaya rumput laut jenis E. cottonii didasarkan
Kedalaman pada beberapa persyaratan menyangkut parameter
Kedalaman merupakan aspek yang cukup penting fisika kimia di perairan Kecamatan Sajoanging,
untuk diperhitungkan dalam penentuan lokasi karena dapat menjadi faktor pembatas terhadap
budidaya rumput laut E. cottonii, hal ini berhubu- pertumbuhannya. Berdasarkan hasil pengukuran
ngan erat dengan produktivitas, suhu vertikal, pene- parameter fisika kimia yang berhubungan dengan
trasi cahaya, densitas, kandungan oksigen, serta kriteria kelayakan untuk kesesuaian perairan
unsur hara. Kedalaman pada lokasi penelitian budidaya rumput laut E. cottonii, hanya dua titik
berkisar antara 0,8–2,0 m (Tabel 2). Kedalaman sampling yang dianggap sesuai untuk itu (Tabel 3).

Analisis kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya ..... 127


Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131

Tabel 3. Nilai skor hasil evaluasi kesesuaian perairan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii.
Titik Kec . Skor
Stasiun Gelomban g TSS S alinitas Suhu Nitrat F osfat pH K edalaman Hasil Ket.
Samplin g Aru s E valuasi

1 1 0,3 0,3 0,15 0,15 0,45 0,05 0,075 0,05 0,075 53,33 Tidak Sesuai
2 0,3 0,15 0,15 0,15 0,45 0,05 0,075 0,05 0,075 48,33 Tidak Sesuai
3 0,3 0,15 0,3 0,3 0,45 0,05 0,075 0,05 0,075 58,33 Tidak Sesuai
2 1 0,6 0,15 0,15 0,15 0,45 0,05 0,075 0,05 0,075 58,33 Tidak Sesuai
2 0,6 0,15 0,15 0,15 0,45 0,05 0,075 0,05 0,075 58,33 Tidak Sesuai
3 0,6 0,15 0,15 0,3 0,3 0,05 0,075 0,05 0,075 58,33 Tidak Sesuai
3 1 0,6 0,15 0,15 0,15 0,45 0,05 0,025 0,05 0,075 56,67 Tidak Sesuai
2 0,6 0,3 0,15 0,15 0,3 0,05 0,025 0,05 0,075 56,67 Tidak Sesuai
3 0,6 0,3 0,15 0,15 0,3 0,05 0,075 0,05 0,075 58,33 Tidak Sesuai
4 1 0,6 0,15 0,15 0,15 0,3 0,05 0,075 0,075 0,075 54,17 Tidak Sesuai
2 0,6 0,3 0,3 0,15 0,3 0,05 0,075 0,05 0,075 63,33 Cukup Sesuai
3 0,6 0,3 0,3 0,3 0,3 0,05 0,075 0,05 0,075 68,33 Cukup Sesuai
5 1 0,9 0,3 0,3 0,15 0,3 0,05 0,075 0,05 0,075 73,33 Cukup Sesuai
2 0,9 0,15 0,3 0,15 0,3 0,05 0,075 0,075 0,075 69,17 Cukup Sesuai
3 0,9 0,45 0,15 0,15 0,3 0,05 0,075 0,075 0,05 73,33 Cukup Sesuai
6 1 0,9 0,15 0,15 0,3 0,3 0,05 0,075 0,075 0,075 69,17 Cukup Sesuai
2 0,9 0,15 0,15 0,3 0,3 0,05 0,075 0,075 0,075 69,17 Cukup Sesuai
3 0,9 0,45 0,3 0,45 0,3 0,05 0,075 0,075 0,05 88,33 Sesuai
7 1 0,9 0,15 0,15 0,45 0,3 0,05 0,075 0,075 0,075 74,17 Cukup Sesuai
2 0,9 0,15 0,15 0,45 0,3 0,05 0,075 0,075 0,075 74,17 Cukup Sesuai
3 0,9 0,45 0,3 0,45 0,3 0,05 0,075 0,075 0,075 89,17 Sesuai

Stasiun 3
Stasiun 1
Nilai skor hasil evaluasi parameter fisika kimia
Nilai skor hasil evaluasi parameter fisika kimia
untuk stasiun ini menunjukkan kriteria tidak sesuai
untuk Stasiun 1 di setiap pengulangan menunjukkan
untuk lokasi budidaya rumput laut E. cottonii
kriteria tidak sesuai untuk lokasi budidaya rumput
(Tabel 3). Terdapat beberapa parameter yang men-
laut E. cottonii (Tabel 3). Hal ini dikarenakan
jadi faktor pembatas untuk lokasi budidaya.
terdapat beberapa parameter yang menjadi faktor
Parameter yang menjadi faktor pembatas adalah
pembatas untuk lokasi budidaya jenis ini di stasiun
kecepatan arus, TSS, salinitas dan fosfat.
1.
TSS dan salinitas menyebabkan stasiun ini masuk
Diketahui setiap pengulangan pada Stasiun 1
kategori “Tidak Sesuai”. Stasiun 3 berada pada
memiliki gelombang yang masuk dalam kriteria
daerah muara sungai Akkotengeng yang diketahui
tidak sesuai, karena merupakan perairan terbuka,
sangat dekat dengan pemasok TSS terbesar (sungai)
sehingga tidak ada penghambat pergerakan angin
yang membawa limbah pertanian dan tambak
yang bertiup kencang yang menyebabkan gelom-
anorganik dan organik dari daratan. Rendahnya
bang cukup tinggi.
salinitas pada stasiun ini dikarenakan adanya
Stasiun 2 pengaruh air tawar yang berasal dari sungai. Selain
itu, letaknya yang berada di muara sungai menye-
Nilai skor hasil evaluasi parameter fisika kimia babkan tingginya pasokan fosfat yang diterima dari
untuk Stasiun 2 di setiap pengulangan menunjukkan sungai yang membawa fosfat yang berasal dari
kriteria tidak sesuai untuk lokasi budidaya jenis ini limbah persawahan dan pertambakan.
(Tabel 3). Terdapat beberapa parameter yang
menjadi faktor pembatas di stasiun ini. Stasiun 4
Kecepatan arus pada stasiun ini berada dalam Nilai skor hasil evaluasi parameter fisika kimia
keadaan lambat, hal ini dikarenakan kondisi per- untuk stasiun 4 disetiap pengulangan berada pada
airan yang mengalami peralihan dari kondisi pasang kisaran kriteria tidak sesuai sampai cukup sesuai
menuju ke surut pada saat pengambilan data. untuk lokasi budidaya (Tabel 3). Terdapat beberapa
faktor pembatas yaitu kecepatan arus, TSS dan
Kondisi TSS perairan pada stasiun ini sangat tinggi
salinitas. Kecepatan arus pada stasiun ini dalam
dan kondisi salinitas terlalu rendah, kedua hal ini
keadaan lambat, hal ini dikarenakan kondisi perair-
dikarenakan lokasi ini mendapatkan pengaruh paso-
an yang mengalami peralihan dari kondisi pasang
kan air tawar yang membawa limbah pertanian dan
menuju ke surut pada saat pengambilan data.
tambak dari saluran pembuangan limbah tambak
masyarakat yang langsung mengalir menuju ke sta- Untuk kondisi TSS perairan pada stasiun ini sangat
siun ini. tinggi dan kondisi salinitas terlalu rendah, kedua hal
ini dikarenakan kondisi lokasi yang mendapatkan

128 Khasanah, dkk.


Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131

pengaruh pasokan air tawar yang membawa limbah Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo
pertanian dan tambak. berada pada kriteria tidak sesuai. Dimana terdapat
11 lokasi yang tidak sesuai, 8 lokasi yang cukup
Stasiun 5 sesuai, dan 2 lokasi yang sesuai untuk lokasi budi-
Nilai skor hasil evaluasi parameter fisika kimia daya rumput laut E. cottonii.
untuk Stasiun 5 menunjukkan kriteria cukup sesuai Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan 8
untuk lokasi budidaya rumput laut E. cottonii stasiun masuk dalam kriteria cukup sesuai yaitu
(Tabel 3). Stasiun 5 masuk dalam kriteria cukup faktor TSS yang tinggi, salinitas yang rendah dan
sesuai karena masih ada beberapa parameter yang kondisi kecepatan arus yang begitu lambat. Kondisi
menjadi faktor pembatas sehingga Stasiun 5 tidak TSS dibeberapa stasiun ini tergolong tinggi dan
sampai pada kriteria sesuai. Parameter yang men- salinitas tergolong rendah diakibatkan oleh kondisi
jadi faktor pembatas adalah salinitas dan kecepatan perairan yang masih mendapatkan pengaruh dari
arus. Pada Stasiun 5 TSS termasuk dalam kriteria saluran pembuangan limbah tambak dan pertanian
tidak sesuai dikarenakan nilai TSS yang tinggi. masyarakat setempat. Selain itu kondisi ini juga
dipengaruhi oleh muara sungai Akkotengeng yang
Stasiun 6 membawa begitu banyak partikel-partikel sedimen
Nilai skor hasil evaluasi parameter fisika kimia dari daratan yang mengalami erosi. Kecepatan arus
untuk Stasiun 6 di setiap pengulangan berada pada terbilang lambat pada saat pengambilan data ini
kisaran kriteria “Cukup sesuai sampai Sesuai” karena kondisi perairan pada saat itu sedang
untuk lokasi budidaya rumput laut E. cottonii mengalami peralihan dari kondisi air pasang
(Tabel 3). tertinggi menuju ke kondisi surut.
Terdapat beberapa faktor pembatas yaitu kecepatan Untuk membuat delapan lokasi yang cukup sesuai
arus dan TSS yang berada dalam kategori tidak ini bisa menjadi lebih sesuai untuk lokasi budidaya
sesuai untuk kedua stasiun ini. Kecepatan arus pada rumput laut jenis E. cottonii, sebaiknya masyarakat
stasiun ini berada dalam keadaan lambat, hal ini mengalihkan saluran pembuangan air limbah
dikarenakan kondisi perairan yang mengalami tambak dan pertanian ke lokasi yang lebih jauh dari
peralihan dari kondisi pasang menuju ke surut pada lokasi budidaya rumput laut agar tidak membawa
saat pengambilan data seperti yang terlihat pada partikel-partikel sedimen yang dapat meningkatkan
data pasang surut. kekeruhan di delapan stasiun ini. Dapat juga dengan
membuat tambak modern dengan mengolah
Kondisi TSS perairan pada stasiun ini sangat tinggi, kembali air tambak yang akan dibuang dengan cara
hal ini dikarenakan lokasi ini mendapatkan menyaring sedimen yang ada di dalamnya.
pengaruh pasokan air tawar yang membawa limbah
pertanian dan tambak dari saluran pembuangan Selain itu masyarakat juga mengurangi penebangan
limbah tambak masyarakat yang langsung mengalir pohon mangrove yang berlebih sehingga tidak terja-
menuju ke stasiun ini. Selain itu, lokasi ini juga di erosi atau dengan kata lain masyarakat harus
sering dijadikan jalur transportasi masyarakat senantiasa menjaga kondisi ekosistem mangrove
setempat untuk menuju ke daerah tambak mereka. dengan melakukan rehabilitasi mangrove. Dengan
adanya ekosistem mangrove yang subur maka dapat
Stasiun 7 menghambat dan menyaring partikel-partikel sedi-
men yang berasal dari daratan sehingga tidak mem-
Nilai skor hasil evaluasi parameter fisika kimia bawa dampak yang besar terhadap kondisi perairan
untuk Stasiun 7 di setiap pengulangan berada pada (Nybakken, 1992).
kisaran kriteria cukup sesuai sampai sesuai untuk
lokasi budidaya (Tabel 3). Salah satu penyebab rendahnya salinitas adalah
adanya pengaruh muara sungai Akkotengeng.
Terdapat beberapa faktor pembatas yaitu kecepatan Selain itu, pengambilan sampel dilakukan pada
arus dan TSS yang berada dalam kategori tidak kondisi surut yang mengakibatkan air tawar dari
sesuai untuk kedua stasiun ini. Kecepatan arus pada daratan memasuki muara dan mempengaruhi salini-
stasiun ini berada dalam keadaan lambat. Kondisi tasnya. Sungai Akkotengeng juga memiliki muara
TSS perairan pada stasiun ini sangat tinggi, karena yang cukup lebar, sehingga pengaruh muara sungai
lokasi ini mendapatkan pengaruh pasokan air tawar mencakupi areal yang cukup luas. Berdasarkan
yang membawa limbah pertanian dan tambak dari kondisi ini, dianjurkan sebaiknya masyarakat tidak
saluran pembuangan limbah tambak masyarakat melakukan budidayakan rumput laut di sekitar
yang langsung mengalir menuju ke stasiun ini. muara sungai Akkotengeng atau membudidayakan
Lokasi ini juga sering dijadikan jalur transportasi rumput laut dengan metode rakit apung atau
masyarakat setempat untuk menuju ke daerah membudidayakan rumput laut pada kolom air yang
tambak mereka. tidak terlalu mendapatkan pengaruh air laut dengan
Berdasarkan penjelasan untuk nilai skor hasil evalu- cara mengisi pelampung-pelampung yang diguna-
asi skoring dari parameter fisika-kimia, maka

Analisis kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya ..... 129


Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131

kan untuk budidaya dengan pemberat agar rumput Lanjutan dari hasil analisis kesesuaian perairan
laut berada pada kolom air. yaitu melakukan pendekatan analisis keruangan
Tabel 4. Luas lahan kesesuaian budidaya rumput laut E.
dengan Sistem Informasi Geografis menggunakan
cottonii
software Arc View Version 3.3. Dari hasil pengo-
lahan data yang dilakukan di lapangan maupun di
Kriteria Kesesuaian Perairan Luas (hektar) laboratorium disajikan dalam bentuk peta kesesu-
Tidak Sesuai 184,49 aian perairan (Gambar 3).
Cukup Sesuai 905,70 Diperoleh luasan lahan yang tidak sesuai, cukup
Sesuai 22,64 sesuai, dan sesuai untuk lokasi budidaya rumput
Masyarakat sebaiknya mempertimbangkan kondisi laut Eucheuma cottonii yang dapat di lihat pada
alam saat ingin melakukan budidaya jenis ini, Tabel 4.
dalam artian kondisi musim pada waktu ingin
melakukan budidaya rumput laut.

Gambar 3. Peta Keseuaian Perairan Untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii
di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo

KESIMPULAN DAN SARAN Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengo-
lahan Sumberdaya Hayati Lingkungan Perair-
Kesesuaian perairan Sajoanging Kabupaten Wajo an. Kanisius, Yogyakarta
sebagai perairan dengan peruntukan budidaya
rumput laut Eucheuma cottonii untuk parameter Hutabarat, S & S.M. Evans. 2008. Pengantar
fisika–kimia pada bulan April dan Mei berada pada Oseanografi. Universitas Indonesia Press,
kisaran “Tidak sesuai” sampai “Sesuai”. Luas area Jakarta.
yang masuk dalam kriteria “Tidak sesuai” seluas
184,49 ha, pada kriteria “Cukup sesuai” seluas Hutagalung, H.P. & A. Rozak. 1997. Penentuan
905,70 ha dan kriteria “Sesuai” sebesar 22,64 ha. Kadar Nitrat. Metode Analisis Air Laut, Sedi-
men, dan Biota. Pusat Penelitian dan Pengem-
UCAPAN TERIMA KASIH bangan Oseanologi. LIPI, Jakarta.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Indriani, H. & E. Sumiarsih. 1991. Budidaya,
Dr. Ambo Tuwo dan Dr. Inayah Yasir atas saran Pengelolaan dan Pemasaran Rumput Laut.
dan tanggapannya terhadap naskah ini. Penebar Swadaya, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA Indriani, H. & E. Sumarsih, 1997. Budidaya,


Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut.
Aslan, L.M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Kanisius, Yogyakarta.
KLH. 1988. Surat Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup. Pedoman Penetapan Baku

130 Khasanah, dkk.


Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 123-131

Mutu Lingkungan. Menteri Negara Kependu- Sulistijo. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput
dukan & Lingkungan Hidup, Jakarta. Laut di Indonesia. In: Pengenalan Jenis-Jenis
Rumput Laut Indonesia. Pusat Penelitian &
Lobban, C.S. & P.J. Harrison. 1997. Seaweed Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu
Ecology and Physiology. Cambridge Univer- Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
sity Press, Cambridge.
Wardoyo, S.T. 1975. Kriteria Air untuk Keperluan
McHugh, D.J. 2006. The Seaweed Industry in the Pertanian dan Perikanan. Dapertemen Tata
Pacific Islands. ACIAR Working Paper No. Produksi Perikanan. Fakultas Pertanian. IPB,
61. Australian Center for International Agri- Bogor
cultural Reseach, Canberra.
Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rum-
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Sesuatu Pen- put Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
dekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Pus-
taka Utama, Jakarta. Utojo, A. Mansyur, A.M. Pirzan, Tarunamulia & B.
Pantjara. 2004. Identifikasi Kelayakan Lokasi
Sadhori, N.S. 1995. Budidaya Rumput Laut. Balai Lahan Budidaya Laut di Perairan Teluk Saleh,
Pustaka, Jakarta. Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.

Analisis kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya ..... 131


Format Penulisan Jurnal Rumput Laut Indonesia
Naskah merupakan hasil penelitian yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan huruf Time
New Roman font 11. Panjang naskah tidak lebih dari 10 halaman yang diketik satu spasi pada kertas ukuran A4,
dengan jarak 2,5cm dari semua sisi, tanpa headnote dan footnote.
Bagian awal tulisan terdiri atas judul dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; nama penulis dengan footnote
berisi nama institusi penulis dan alamat email penulis korespondensi; serta abstrak dan keywords yang ditulis
dalam bahasa Inggris. Abstrak tidak lebih dari 250 kata yang berisi tentang inti permasalahan atau latar belakang
penelitian, cara penelitian atau pemecahan masalah, dan hasil yang diperoleh. Keywords merupakan kata yang
menjadi inti dari uraian abstrak. Keywords maksimal lima kata, istilah yang lebih dari satu kata dihitung sebagai
satu kata. Bagian utama tulisan terdiri atas, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, dan
kesimpulan dan saran. Bagian akhir tulisan terdiri atas ucapan terima kasih (jika ada), dan daftar pustaka.
Dalam penulisan naskah, semua kata asing ditulis dengan huruf miring. Semua bilangan ditulis dengan angka,
kecuali pada awal kalimat dan bilangan bulat yang kurang dari sepuluh harus dieja. Rumus matematika ditulis
secara jelas dengan Microsoft Equation atau aplikasi lain yang sejenis dan diberi nomor.
Tabel harus diberi judul yang jelas dan diberi nomor sesuai urutan penyajian. Judul tabel diletakkan sebelum
tabel. Batas tabel berupa garis hanya menjadi pembatas bagian kepala tabel dan penutup tabel, tanpa garis
pembatas vertikal. Tabel tidak dalam bentuk file gambar (jpg). Keterangan diletakkan di bawah tabel.
Gambar diberi nomor sesuai urutan penyajian. Judul gambar diletakkan di bawah gambar dengan posisi tengah
(center justified). Gambar diletakkan di tengah, kualitas gambar harus jelas dan tidak pecah bila dibesarkan
(minimal 1000 px). Gambar dilengkapi dengan keterangan yang jelas. Bilamana gambar dalam bentuk grafik
yang dibuat di excel, maka gambar dikirimkan dalam bentuk excel, kecuali bila menggunakan Word 2010 atau
yang lebih mutakhir, sehingga gambar dapat diedit bilamana diperlukan.
Penulisan daftar pustaka menggunakan sistem Harvard Referencing Standard. Semua pustaka yang tertera dalam
daftar pustaka harus dirujuk di dalam naskah. Kemutakhiran referensi sangat diutamakan. Bila penulis pertama
memiliki lebih dari satu referensi dengan tahun yang sama, maka penandaan tahun ditambahkan dengan a, b, c,
d, dst berdasarkan urutan kemunculan di dalam tulisan. Penulisan disesuaikan dengan tipe referensi, yaitu buku,
artikel jurnal, prosiding seminar atau konferensi, skripsi, tesis atau disertasi, dan sumber rujukan dari website.
A. Buku dan Tulisan Dalam Buku:
Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul Buku dicetak miring.
Edisi, Penerbit. Tempat Publikasi. Contoh:
O’Brien, J.A. & J.M. Marakas. 2011. Management Information Systems. Edisi 10. McGraw-Hill. New York-
USA.
B. Tulisan dalam Buku:
Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat) . Judul Tulisan. In (Nama belakang, nama
depan disingkat dari editor) (Ed.) Judul Buku dicetak miring. Vol. Nomor. Penerbit. Tempat Publikasi, Rentang
Halaman. Contoh:
Zhang, J. & B. Xia. 1992. Studies on two new Gracilariafrom South China and a summary of Gracilariaspecies
inChina. In Abbott, I. A. (Ed.) Taxonomy of Economic Seaweeds with Reference to Some Pacific and
WesternAtlantic Species, Vol. III. Report no. T-CSGCP-023, California Sea Grant College Program, La Jolla,
CA, pp. 195–206.
C. Artikel Jurnal:
Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama Jurnal
dicetak miring, Vol, Nomor, rentang halaman. Contoh:
Cartlidge, J. 2012. Crossing boundaries: Using fact and fiction in adult learning. The Journal of Artistic and
Creative Education, 6 (1): 94 -111.
D. Prosiding Seminar atau Konferensi:
Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat) . Tahun publikasi. Judul artikel. Nama
Konferensi dicetak miring. Tanggal, Bulan dan Tahun, Kota, Negara, Halaman. Contoh:
Michael, R. 2011. Integrating innovation into enterprise architecture management. Proceeding on Tenth
International Conference on Wirt-schafts Informatik. 16-18 February 2011, Zurich, Swis, pp. 776-786.
E. Skripsi, Tesis atau Disertasi:
Penulis (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul. Skripsi, Tesis, atau Disertasi dicetak
miring. Universitas, Kota. Contoh:
Soegandhi. 2009. Aplikasi model kebangkrutan pada perusahaan daerah di Jawa Timur. Tesis. Fakultas
Ekonomi Universitas Joyonegoro, Surabaya.
F. Sumber Rujukan dari Website:
Penulis. Tahun. Judul. Alamat Uniform Resources Locator dicetak miring (URL). Tanggal Diakses.
Contoh:
Ahmed, S. dan A. Zlate. Capital flows to emerging market economies: A brave new world?.
http://www.federalreserve.gov/pubs/ifdp/2013/1081/ifdp1081.pdf. Diakses tanggal 18 Juni 2013.
Vol. 1 No. 2, Desember 2016 ISSN 2548-4494

JRumput urnal
Laut Indonesia
JRLI Vol. 1 No. 2 Hal. 71 - 142 Makassar, Desember 2016 ISSN 2548-4494
Huyyirnah 71-76
Metode Maserasi Kinetik untuk Analisis Antibakteri dari Rumput Laut Hijau Ulva reticulata
Terhadap Bakteri Patogen Tanaman Kentang

Hartono, Khusnul Yaqin, Farida G. Sitepu 77-81


Keanekaragaman Jenis Rumput Laut di Perairan Littoral Dusun Tamalabba Desa Punaga Kecamatan
Magarabombang Kabupaten Takalar

Irawati, Badraeni, Abustang, Ambo Tuwo 82-87


Pengaruh Perbedaan Bobot Tallus Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
Strain Coklat yang Dikayakan

Ruth Angka Palayukan, Badraeni, Hasni Yulianti Azis, Ambo Tuwo 88-93
Efektifitas Rumput Laut Gracilaria sp. sebagai Bioremediator dalam Perubahan N dan P dalam Bak
Pemeliharaan Udang Vaname Litopenaeus vannamei

Amal Aqmal, Ambo Tuwo, Haryati 94 - 102


Analisis Hubungan antara Keberadaan Alga Filamen Kompetitor Terhadap Pertumbuhan dan
Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus sp. di Provinsi Sulawesi Selatan

Muhammad Hendra, Rajuddin Syamsuddin, Muchlis Syamsuddin, Inayah Yasir 103 - 107
Pengaruh Pupuk Organik Cair yang Mengandung Vitamin Terhadap Pertumbuhan Bibit
Kappaphycus alvarezii yang Dipelihara dalam Sistem Resirkulasi

Rizal Pribadi, Edison Saade, Haryati Tandipayuk 108 - 116


Pengaruh Metode Pengerasan Terhadap Kualitas Fisik dan Kimiawi Pakan Gel Ikan Koi Cyprinus
carpio haematopterus Menggunakan Tepung Rumput Laut Kappaphycus alvarezii sebagai Pengental

Supriadi, Rajuddin Syamsuddin, Abustang, Inayah Yasir 117 - 122


Pertumbuhan dan Kandungan Karotenoid Lawi-Lawi Caulerpa racemosa yang Ditumbuhkan pada
Tipe Substrat Berbeda

Uswaton Khasanah, Muhammad Farid Samawi, Khairul Amri 123 - 131


Analisis Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii di Perairan
Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo

Asmaul Husna, Metusalach, Fachrul 132 - 142


Fisika Kimia Karaginan Kappaphycus alvarezii Hasil Ekstraksi Menggunakan Natrium Hidroksida
(NAOH) dan Penjendal Isopropil Alkohol (IPA) dan Etanol

Anda mungkin juga menyukai