Anda di halaman 1dari 12

Penugasan Blok Infeksi (2.

2)

Referat

Penyakit Infeksi Loiasis

Disusun oleh:

Rahma Ayu Maeka Putri (19711061)

Tutorial 9

Pembimbing:

dr. Alfan Nur Asyhar

Prodi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran UII

2020
Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................................................................................. i

Pendahuluan ........................................................................................................................... 1

Tinjauan Pustaka .................................................................................................................... 2

A. Etiologi........................................................................................................................ 2

B. Karakteristik morfologi/struktur ................................................................................. 2

C. Transmisi/siklus hidup ................................................................................................ 3

D. Patogenesis.................................................................................................................. 5

E. Manifestasi Klinis/diagnosis ....................................................................................... 5

a) Calabar swelling (pembengkakan Calabar) (6) ....................................................... 6

b) Eye worm(5)............................................................................................................ 6

Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 8

i
Pendahuluan

Loiasis merupakan penyakit infeksi tropis bawaan vektor yang tidak diperhatikan
(neglected) dan disebabkan oleh cacing filarial Loa loa yang berpindah melalui gigitan
vektor yaitu lalat tabanid (1). Loiasis secara geografis endemis di 11 negara dengan area
hutan hujan di Afrika bagian tengah serta barat karena keberadaan vector (1). Meskipun
angka kesakitan Loiasis cenderung rendah, terdapat 14 juta orang berisiko terkena Loiasis
dengan prevalensi 40% di negara-negara berisiko tinggi, serta 15 juta orang berisiko terkena
Loiasis dengan prevalensi 20% di negara-negara beresiko sedang (1). Loiasis disebabkan
karena infeksi mikrofilaria Loa loa yang ditransmisikan oleh vektor lalat tabanid ke tubuh
manusia, lalu memulai siklus hidupnya (2). Infeksi Loa loa ini direspons oleh sistem imun
humoral dan seluler pada tubuh sehingga dapat mencetuskan beberapa manifestasi klinis
umum Loiasis seperti pembengkakan Calabar (angioedema) dan pergerakan cacing Loa loa
di sub-konjungtiva (3). Beberapa komplikasi seperti ensefalitis, nefropati, dan kardiomiopati
dapat timbul tergantung jumlah mikrofilaria di darah perifer (4).

1
Tinjauan Pustaka

A. Etiologi

Loiasis merupakan infeksi sistemik yang endemik di hutan hujan Afrika


Tengah dan Afrika Barat disebabkan oleh cacing filaria kelas Nematoda yaitu Loa loa
yang berpindah melalui adanya gigitan lalat Chrysops (tabanid) (2). Loa loa biasanya
ditemukan di bawah konjungtiva mata penderita sehingga penyakit ini disebut juga
African eye worm disease (5). Adanya mikrofilaria Loa loa yang bergerak di bawah
kulit dapat menyebabkan lesi sehingga timbul salah satu tanda Loiasis yaitu
pembengkakan Calabar (6). Infeksi dapat timbul ketika terdapat mikrofilaremia yaitu
mikrofilaria Loa loa dengan jumlah lebih dari 3000 mikrofilaria (Mf)/ml di dalam
darah perifer (3).

B. Karakteristik morfologi/struktur

Loa loa merupakan cacing filaria kelas Nematoda yang diklasifikasikan


dalam keluarga besar Filaroidea, genus Loa, dan spesies Loa loa (Gambar 1) (7).
Larva Loa loa berukuran 2 mm x 25 µm, motil, dan tumbuh menjadi cacing Loa loa
dewasa berwarna putih dalam waktu 6-12 bulan yang hidup di jaringan subkutan
manusia (10). Cacing Loa loa dewasa berbentuk bulat dan tipis (3). Ukuran panjang
dan diameter cacing jantan dewasa sekitar 3 cm x 0,4 mm dan cacing Loa loa betina
dewasa yaitu 5-7 cm x 0,5 mm (3). Cacing betina dewasa dapat mengeluarkan
mikrofilaria di darah perifer dengan ciri-ciri berukuran 205-300 x 6-8 µm, lekuk tubuh
kaku, memiliki sarung yang tidak dapat ternoda pengecatan Giemsa, ujung ekor
membulat dan memiliki inti teratur sampai ujung ekor (8). Mikrofilaria mengalami
periodisitas diurnal dengan konsentrasi puncak di siang hari. Cacing Loa loa dewasa
dapat hidup sampai 20 tahun (9).
Adanya cacing Loa loa ditularkan ke manusia melalui gigitan vektor lalat
betina genus Chrysops berasal dari ordo Diptera dan famili Tabanidae (6). Lalat
tabanid genus Chrysops tersebut adalah Chrysops silacea dan Chrysops dimidiata
(Gambar 2) (3). Lalat tabanid menyimpan telurnya di sungai dan rawa berlumpur (3).
Lalat tabanid memiliki mata warna-warni (8). Lalat tabanid yang hinggap di zona
habitatnya di hutan biasanya tertarik dengan asap kebakaran hutan, warna kulit atau

2
pakaian yang gelap, dan adanya pergerakan manusia (10). Lalat tabanid menggigit
dan menghisap darah manusia di tempat teduh dan dalam ruangan (10). Lalat tabanid
memiliki aktivitas diurnal dengan puncak di pagi hari dan sore hari (9). Beberapa
spesies lalat tabanid lain menggigit primata dan tidak se-infeksius C. silacea dan C.
dimidiate (9).

1 2

Gambar 1. Penampakan mikrofilaria Loa loa pada apusan darah tipis (11)

Gambar 2. Chrysops silacea sedang menggigit kulit manusia (11)

C. Transmisi/siklus hidup

Loa loa ditransmisikan oleh lalat tabanid genus Chrysops yang menggigit
host definitif yaitu manusia (4). Transmisi biasanya terjadi saat musim hujan karena
lalat tabanid menyimpan telurnya di tepi sungai dan rawa-rawa yang dipenuhi lumpur
yang terdapat di hutan hujan (4). Beberapa orang yang dapat beresiko terkena gigitan
lalat tabanid yaitu orang-orang yang hidup di dekat hutan hujan Afrika Barat dan
Timur serta pelancong yang sedang berada di area endemis selama 14-30 hari atau
lebih lalu menerima gigitan beberapa kali (11). Transmisi ini berkaitan dengan
frekuensi larva tahap ke 3 (L₃) yang terdapat di kepala vektor dan densitas gigitan
lalat tabanid (9).
Siklus hidup Loa loa terbagi menjadi 2 tahapan yaitu human stages dan fly
stages (Gambar 3) (11). Human stages dimulai ketika lalat tabanid yang terinfeksi
menggigit lalu menghisap darah manusia dan mentransmisikan L₃ melalui luka
gigitannya ke dalam lapisan subkutan (11). L₃ yang menembus lapisan subkutan host
tumbuh menjadi cacing dewasa dalam tahap diagnostik yaitu 6-12 bulan dan hidup
sampai 17 tahun (10). Cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria Loa loa yang
mempunyai periodisitas diurnal yaitu dapat ditemukan di aliran darah perifer di siang

3
hari, sama seperti aktivitas diurnal lalat tabanid dan ditemukan di paru-paru ketika
malam hari (8). Selain itu mikrofilaria dapat ditemukan di sputum, urin, dan cairan
tulang belakang (11).
Kemudian, fly stages dimulai ketika terjadi gigitan dan penghisapan darah
selanjutnya dari lalat tabanid (11). Adanya penghisapan darah membuat lalat tabanid
menelan mikrofilaria Loa loa dan terjadi pelepasan sarung mikrofilaria (11).
Mikrofilaria yang telah berada di tubuh lalat memasuki dinding perut lalat lalu
bergerak ke otot thorax lalat tabanid (3). Di otot thorax inilah mikrofilaria
berkembang menjadi larva tahap 1 (L₁) (8). L₁ selanjutnya berkembang menjadi L₃
yang infeksius dalam waktu 8-12 hari dan bergerak menuju kepala serta bagian
proboscis lalat tabanid (8). Ketika lalat tabanid menghisap darah manusia, lalat
tersebut dapat kembali mentransmisikan L₃ ke host dan memulai siklus hidup Loa loa
selanjutnya (4).

Gambar 3. Siklus Hidup Loa loa (11)

4
D. Patogenesis

Patogenesis dari penyakit infeksi Loiasis masih kurang dipahami (3). Pada
orang dengan infeksi yang simtomatik, yaitu biasanya terjadi lebih parah pada
pengunjung daerah endemik, adanya pembengkakan Calabar dimediasi respon imun
humoral dan seluler yang kuat terhadap antigen filarial, serta cenderung terdapat
amikrofilaremia (3). Orang dengan infeksi amikrofilaremia, yaitu terdapat cacing Loa
loa dewasa di tubuhnya namun tidak ditemukan mikrofilaria yang berada di darah
perifer, menunjukkan adanya peningkatan titer antibodi IgE serum karena adanya
antigen filarial (3). Adanya antigen filarial dapat menginduksi sekresi IL-4 dan IL-5
oleh sel T CD4+ dan sel mononuklear darah perifer (10). Selain itu, adanya antigen
filarial juga dapat menginduksi sel B dan sel T menghasilkan antibodi IgE serum (10).
Selain itu, pada orang dengan infeksi amikrofilaremia menunjukan adanya eosinofil
yang meningkat (eosinofilia) dan aktif diinduksi oleh IL-5 (10). Eosinofil juga
berperan sebagai kekebalan anti-parasit terhadap infeksi Loa loa (10).
Sedangkan pada orang dengan gejala asimtomatik, biasanya terjadi pada
orang yang telah lama hidup di area endemik, memiliki mikrofilaremia yang tinggi,
yaitu terdapat mikrofilaria dengan jumlah bervariasi di darah perifer (3). Selain itu
orang dengan gejala asimtomatik mikrofilaremia menunjukkan adanya respon selular
yang ditekan terhadap antigen filarial yang melibatkan faktor genetik, adanya
sensititasi terhadap antigen filarial sejak dalam kandungan, dan tingkat paparan tinggi
terhadap parasit sejak masa kecil (10).

E. Manifestasi Klinis/diagnosis

Manifestasi klinis paling umum dari penyakit infeksi Loiasis yaitu


pembengkakan Calabar dan eye worm (6). Mayoritas orang asli dari area endemik
yang terserang Loiasis cenderung tidak menampakkan gejala (asimtomatik) (10).
Sedangkan pendatang/pelancong tempat endemik yang terserang Loiasis sering
menampakkan gejala (simtomatik) (10). Gejala tersebut merupakan gejala yang
mencakup beberapa reaksi alergi seperti pruritus, urtikaria, dan pembengkakan
Calabar (angioedema) muncul 5 bulan setelah terinfeksi (3). Frekuensi kemunculan
eye worm setara pada orang asli dan pendatang di area endemik (10). Pada penemuan

5
laboratorium ditunjukkan adanya peningkatan IgE serum dan eosinofilia di atas
3000/µL (10).

a) Calabar swelling (pembengkakan Calabar) (6)

Pembengkakan Calabar atau angioedema disebabkan karena adanya


hipersensitivitas (alergi) terhadap antigen filarial yang dihasilkan cacing Loa loa
dewasa ketika melewati jaringan subkutan (Gambar 4) (8). Pembengkakan
Calabar muncul dengan berukuran 10-20 cm diikuti pruritis, nyeri lokal, dan gatal
selama 1-2 jam yang biasanya paling umum terjadi di ekstremitas dan wajah,
namun dapat juga terjadi di bagian tubuh mana saja (3). Adanya pembengkakan
rekuren dapat terjadi di tempat yang sama atau di bagian tubuh lain dan dapat
sembuh dalam 2-7 hari (3).

Gambar 4. Calabar swelling (3)

b) Eye worm(5)

Adanya cacing Loa loa dewasa yang bergerak melintasi sub-konjungtiva


dapat menyebabkan iritasi (konjungtivitis edema sementara) yang dapat sembuh
tanpa sekuele okular (5). Cacing Loa loa meninggalkan mata dan masuk ke
jaringan subkutan setelah 1 jam. Loiasis dapat disebut African eye worm karena
adanya manifestasi klinis ini (Gambar 5) (3).

6
Gambar 5. Eye worm(3)

Loiasis dapat memunculkan kelelahan, kecemasan, dan arthralgia (3). Beberapa


komplikasi yang dapat muncul seperti ensefalitis, nefropati, dan kardiomiopati timbul
tergantung jumlah mikrofilaria di darah perifer (4). Adanya hipereosinofil yang melepaskan
toksin di darah dapat menyebabkan fibrosis endomiokardial (3). Penegakan diagnosis dapat
dilakukan pada orang yang baru saja kembali dari area endemik yang memperlihatkan
manifestasi klinis Loiasis (10). Penegakan juga didukung dengan identifikasi karakteristik
mikrofilaria dalam darah yang dilakukan dengan uji pengambilan sampel darah (5). Uji
tersebut dapat dilakukan di siang hari karena periodisitas diurnal mikrofilaria di darah perifer
(5). Selain itu dapat dilakukan uji PCR untuk mendeteksi DNA Loa loa dan tes serologi
untuk mendeteksi antibodi yang belum dilakukan secara luas karena mahal (10).

7
Daftar Pustaka

1. Ndzeshang L, Fombad F, Njouendou A, Chunda V, Gandjui N, Akumtoh D, et al.


Generation of Loa loa infective larvae by experimental infection of the vector,
Chrysops silacea. Plos Neg;ected Trop Dis. 2020;14(8).

2. ESPEN - WHO - Loiasis [Internet]. [cited 2020 Nov 22]. Available from:
espen.afro.who.int/diseases/loiasis

3. Farrar J, Hotez P, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White N. Manson’s Tropical


Diseases. 23rd ed. New York: Elsevier; 2014. 758–760 p.

4. Jong EC, Stevens DL. Netter’s Infectious Disease. Philadelphia: Elsevier; 2012.
506–510 p.

5. Saito M, Armstrong M, Boadi S, Lowe P, Chiodini PL, Doherty T. Clinical Features


of Imported Loiasis: A Case Series from The Hospital for Tropical Disease, London.
Am J Trop Med Hyg. 2015;93(3):607–11.

6. Kelly-Hope L, Paulo R, Thomas B, Brito M, Unnasch T, Molyneux D. Loa loa


vectors Chrysops spp.: perspectives on research, distribution, bionomics, and
implications for elimination of lymphatic filariasis and onchocerciasis. Parasit
Vectors. 2017;10:172.

7. Wanji S, Eyong E-E, Tendongfor N, Ngwa C, Esuka E, Kengne-Ouafo A, et al.


Parasitological, Hematological and Biochemical Characteristics of a Model of
Hyper-microfilaraemic Loiasis (Loa loa) in the Baboon (Papio anubis). Plos
Neglected Trop Dis. 2015;9(11).

8. Nabarro L, Morris-Jones S, Moore DAJ. Peter’s Atlas of Tropical Medicine and


Parasitology. 7th ed. London: Elsevier; 2019. 84–97 p.

9. Pion S, Chesnais C. Loiasis. In: Arthropod Borne Disease. Montpellier: Springer


International Publishing Switzerland; 2017. p. 427–31.

8
10. Guerrant RL, Walker DH, Weller PF. Tropical Infectious Disease: Principles,
Pathogens, & Practice. 3rd ed. Edinburgh: Elsevier; 2011. 735–737 p.

11. CDC - Parasites - Loiasis [Internet]. [cited 2020 Nov 22]. Available from:
cdc.gov/parasites/loiasis

9
Bukti Turnitin

10

Anda mungkin juga menyukai