Anda di halaman 1dari 7

Arti Menafsir

Istilah eksegese berarti ‘membawa keluar’ atau mengeluarkan. Apabila dikenakan pada tulisan,
maka kata tersebut berarti membaca atau menggali arti tulisan-tulisan tersebut.
Beberapa faktor kerumitan proses penafsiran Kitab suci:
1. Sudut pandang ketiga
2. Persoalan bahasa asli.
3. Kesenjangan budaya.
4. Kesenjangan sejarah.
5. Adakalanya teks-teks Kitab Suci merupakan produk atau hasil perkembangan historis dan
kolektif.
6. Ada banyak varian teks dari dokumen yang sama.
Yang positif, sudah ada banyak penelitian dan penafsiran yang telah berlangsung berabad-abad
lamanya tentang studi Kitab Suci. Yang negatif, studi Kitab Suci tersebut malah bisa
membentengi Kitab Suci dengan pelbagai tradisi dan penafsiran tradisional. Penafsir sering
tergoda untuk membaca teks dalam terang tradisi, tanpa penilaian kritis apapun atas tradisi itu
atau tanpa pernah membiarakan teks berbicara sesuai dengan maksudnya sendiri.
Tujuan eksegese adalah untuk memperoleh pemahaman yang tepat dan memadai atas sebuah
teks. Tapi, hal ini tidak berarti bahwa seorang penafsir berusaha untuk menentukan satu-satunya
arti dari teks tersebut. Sebab, teks Kitab Suci itu sendiri memiliki beragam aspek, dan pelbagai
pendekatan eksegese yang berlainan pun bisa dipakai untuk meneliti, menafsirkan, dan
memeroleh pengertian yang tepat dari aspek-aspek Kitab Suci tersebut.
Setiap pendekatan yang ada dipandang sebagai satu jenis kritik. Istilah ini mau menyatakan
adanya proses pemikiran dan pertimbangan sebelum penafsiran final atas sebuah teks diambil.

1. Kritik Teks: mencari susunan kata yang asli

Persoalan: ada banyak varian teks dalam beberapa terjemahan yang ada. Misalnya, dalam
beberapa terjemahan, pada Kej 10:5, ditambahakan kata ‘inilah anak-anak Yafet. Sementara,
Kitab Suci bahasa Ibrani sama sekali tidak memuat kata tersebut. Tambahan tersebut sebenarnya
didasarkan pada anggapan bahwa pernyataan itu, dengan menarik kesamaannya dengan ayat 20
dan 32, telah hilang dari teks.
Adanya varian teks2 Kitab Suci, terutama teks2 kuno, seringkali disebakan oleh ‘kerusakan’ teks
itu sendiri. Secara umum, ada dua macam kerusakan yang dapat terjadi:
1. Kerusakan yang tidak disengaja, mencakup kesalahan2 yang dibuat para penyalin, baik
karena salah mendengar teks ataupun karena salah membaca teks.
2. Kerusakan yang disengaja. Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, penyalin bisa
dipaksa untuk memperbaiki ejaan atau tata bahasa dari sebuah naskah yang disalinnya,
tanpa mempersoalkan apakah perbaikkannya tepat atau tidak. Kedua, penyalin dapat
juga memutuskan untuk menyusun ulang susunan kata-kata, kalimat-kalimat, atau bahkan
alinea-alinea, dan sesekali menambahkan sesuatu jika dirasakan ada kebutuhan untuk itu,
untuk menghasilkan uraian yang lebih terpadu dan dengan urutan yang logis. Ketiga,
para penyalin juga bisa mengubah teks dengan sengaja karena pertimbanagn teologis atau
doktrinal, dibuat sejalan dengan posisi yang lebih ortodoks.
Pada hakekatnya, kritik teks bertujuan untuk: (a) menentukan proses penerusan teks dan
timbulnya bentuk2 varian teks yang beragam, (b) menentukan susunan kata yang asli, jika dinilai
mungkin, dan (b) menentukan bentuk dan susunan kata yang terbaik dari teks.
Tolak ukur untuk menilai beragam varian yang ada bisa diperoleh dengan cara ‘bekerja mundur,’
dari varian2 ke bentuk teks yang asli. Salah satu dari sekian aksioma yang mendasar yang
dipakai dalam kritik teks adalah: ‘bacaan yang lebih sukar, itulah yang dipilih.’ Sebab, penyalin
condong untuk memudahkan kesulitan ketimbang menciptakannya. Ketentuan yang lain adalah:
‘bacaan yang lebih pendek, itulah yang dipilih.’ Sebab, para penyalin cenderung bersikap
ekspansionis (membuat tambahan terhadap teks) daripada reduksionis (mengurangi teks). Tolak
ukur ini merupakan pertimbangan-pertimbangan yang diambil dari dalam teks (bukti internal).
Sementara itu, ada juga pertimbangan-pertimbangan yang diambil dari luar teks (bukti
eksternal). Bukti eksternal ini mencakup soal-soal sekitar waktu penulisan dan sifat-sifat naskah
salinan sebagai saksi, penyebaran secara geografis dari teks2 tersebut, dan asal-usul rumpun teks
yang beragam.
Disini, jenis-jenis penyebaran yang dipakai juga sering menyangkut kronologi. Jika
terdapat suatu varian bacaan, pertanyaan pertama yang harus dimunculkan adalah: kapankah
varian ini masuk ke dalam tradisi naskah penulisan? Apakah varian itu asli atau tidak? Jika tidak,
apakah itu perubahan kemudian atau lebih awal?
Ada beberapa prosedur yang dapat diikuti bagi kita yang baru mulai belajar dalam
menghadapi masalah-masalah kritik teks.
Pertama, teks-teks dan catatan-catatan kaki di dalam suatu terjemahan modern, harus diperiksa.
Kedua, kita harus memahami jenis dan sifat permasalahan yang dihadapi.
Ketiga, dalam melakukan langkah-langkah tadi, kita harus juga memperhatikan sebuah buku
komentar kritis atas bagian kitab suci yang tengah diteliti.
Keempat, mendaftar semua varian yang ada.
Kelima, menerapkan tolah ukur internal dan eksternal.

2. Kritik Historis: tempat di dalam ruang dan waktu


Sebuah teks itu bersifat historis, minimal dalam dua pengertian: teks itu berkaitan dengan
‘sejarah dari teks’ dan ‘sejarah di dalam teks.’ Yang pertama merujuk pada tokoh-tokoh,
peristiwa-peristiwa, keadaan-keadaan sosial, ataupun gagasan-gagasan yang digambarkan di
dalam teks. Sedangkan, yang kedua menunjuk pada riwayat atau sejarah teks itu sendiri (tidak
ada sangkut pautnya dengan apa yang dikisahkan/digambarkan dalam teks!), yakni tentang:
bagaimana teks itu muncul, mengapa, kapan, dimana, dan dalam keadaan bagaimana teks itu
ditulis, siapa penulisnya, untuk siapa ditulis, atau juga hal-hal apa saja yang memengaruhi
kemunculan, perkembangan, pemeliharan, dan penyebarluasannya?
Situasi yang pertama jelas lebih harus diperhatikan jika tulisan-tulisan tersebut langsung
berkaitan dengan soal-soal sejarah, seperti Kitab kejadian –II Raja-raja, I dan II Tawarikh, Ezra ,
atau Nehemia. Bahkan, pada kitab-kitab yang tidak berkaitan langsung dengan sejarah, seperti
kitab Amsal dan Mazmur, sebab situasi dan kondisi-kondisi kebudayaan yang tercermin dalam
teks perlu diperhatikan penafsir.
Soal sejarah dari teks. Jelaslah jika teks berisi rujukan-rujukan kepada tokoh-tokoh
tertentu, tempat-tempat dan kebiasaan-kebiasaan yang asing bagi kita, maka kita perlu sekali
mengenal betul periode sejarah atau konteks budaya yang digambarkan dalam teks tersebut,
untuk mengerti apa yang pada dasarnya tengah dikatakannya. Sarana yang paling berguna untuk
mendapatkan keterengan-keterangan mengenai hal-hal tersebut biasanya adalah: kamus-kamus
dan ensiklopedi-ensiklopedi alkitab. Atau juga, buku-buku sejarah, uraian-uraian sosiologis atas
kurun waktu yang digambarkan teks.
Tulisan-tulisan kuno lain yang berasal dari zaman yang kurang lebih sama (sumber
rujukan paralel) dari suatau teks KS dapat memuat pandangan yang serupa, membicarakan
pokok yang sama, atau memuat latar belakang yang berharga. Sebagai contoh, ketika kita
membaca kisah-kisah penciptaan dari kejadian 1-3 bersama-sama dengan kisah-kisah penciptaan
lain dari dunia Timur Dekat kuno, maka kita akan dapat mencatata sekaligus kesamaan dan
perbedaan antarakeduanya, bahakn makin memahami teks Kitab Suci sendiri.
Penulis sebuah teks adakalanya tidak memakai namanya sendiri (pseudonim). Misalnya:
Yesaya, Salomo, dsb. Hal ini bisa terjadi karena di dalam dunia kuno, ada kebiasaan umum
untuk mencantumkan nama seseorang yang dipandang suci dari maa lampau pada sekumpulan
tulisan atau menganggap tulisan2 itu berasal darinya. Untuk mengatasi hal tersebut, kita
hendaknya kembali pada bagian-bagian pengantar buku-buku tafsir alkitab. Dari situ kita dapat
menentukan apakah kitab tersebut termasuk pseudonim ataukah ditulis banyak orang, atau
apakah kurun waktu menunjukkan waktu yang lebih jauh daripada yang digambarkan kitab itu
sendiri.
Aspek lain dari sejarah di luar teks adalah bahwa di dalam bagian2 tertentu teks-teks
Kitab Suci dimasukkan tradisi alkitabiah yang lebih tua dan ditafsirkan kembali dengan
menyajikannya dalam bentuk yang baru dan sudah diubah. Kitab2 Tawarikh dalam Perjanjian
Lama, paling tepat dipahami sebagai penyajian kembali kitab Raja-Raja, tetapi ditulis dalam
sudut pandang lain. Sementara itu, dapat pula dikatakan bahwa para pengarang tulisan-tulisan
alkitabiah bukan hanya menyusun teks-teks baru, tapi seringkali meneruskan dan
menafsirkan teks-teks dan tradisi-tradisi yang lebih tua juga. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa kebanyakan tulisan alkitabiah lahir dari serangkaian penafsiran yang didalamnya para
penulis mengambil alih tradisi-tradisi yang lebih tua dan menafsirkan kembali tradisi-tradisi itu
dengan memperhitungkan situasi mereka sendiri.

3. Kritik Tata Bahasa : bahasa teks


Kritik tata bahasa berurusan dengan penganalisaan sebuah teks melalui bahasanya. Kritik
bahasa menaruh perhatian bukan hanya perihal bagaimana kata-kata berfungsi sebagai pembawa
atau pengemban arti, tetapi tentang bagaimana kata-kata itu disusun dalam frasa-frasa dan
kalimat-kalimat untuk membentuk unit-unit kalimat yang bermakna. Maksud pendekatan ini
adalah untuk menciptakan kembali alam pemikiran asli dari penulis/teks dan memasukinya
melalui bahasa teks.
Ketika kita membaca sebuah teks, kita sering menjumpai kata-kata atau frasa-frasa yang bagi
kita tidak pahami arti dan rujukannya karena berbeda pemakaiannya antara dulu dengan
sekarang. Lebih-lebih yang memiliki arti-arti khusus di dalam komunitas Israel dan gereja awal
mula, atau pemakaiannya pada tempo dulu berbeda secara mencolok dengan pemakaiannya pada
masa kini.
Acapkali dalam menganalisa teks kita dapat memulainya dengan memilah-milah kata
atau ungkapan-ungkapan yang mencolok yang kitra duga penting, tapi artinya bagi kita tidak
jelas. Misalnya, Yeremia 31:31-34, yang memberitakan datangnya ‘perjanjian baru.’ Istilah ini
terasa begitu sentral. Dengan memberi tekanan pada satu istilah ini dan pemakaiannya yang
bayak kali dalam seluruh alkitab, maka kita dapat mengetahui lebih banyak lagi pengertian umat
Israel mengenai ‘perjanjian.
Dalam mengahadapi kata-kata dan frasa-frasa, ada tiga macam sarana yang dapat digunakan.
Pertama, adalah kamus-kamus dan ensiklopedi-ensiklopedi alkitab.
Kedua, adalah kamus-kamus istilah dan leksikon-leksikon alkitab.
Ketiga, adalah konkordansi alkitab.
Selanjutnya, prinsip-prinsip linguistik tertentu hasrus diingat untuk menghindarkannya
dari penelitian kata yang salah dan dari penarikan kesimpulankesimpulan yang pendasarannya
salah:
1. Kata2 dalam bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani seringkali memiliki arti yang beragam.
Dan, pada umumnya kata2 atau frasa2 sendiri tidaklah punya arti teologis yang khusus.
Istilah ‘perjanjian,’ misalnya, dipakai dalam konteks yang berbeda2 dalam masyarakat
Israel. Dan, bila kata itu muncul dalam sebuah teks, maka tidak dengan sendirinya kata
itu harus dipahami sebagai kata yang menunjuk pada hubungan khusus antara Allah
dengan manusia..
2. Petunjuk yang terbaik untuk mengetahui arti sebuah kata adalah konteks yang di
dalamnya kata itu dipakai, terlebih konteks langsung, yaitu bagian teks Kitab Suci yang
langsung memuat kata itu. Jika sebuah kata memiliki beberapa arti, maka kita harus
menjelajahi dulu kawasan arti kata itu dan melihat bagaimana arti-arti itu cocok atau
tidak cocok dengan konteksnya. Konteks luas sebuah kata adalah seluruh dokumen yang
memuat kata itu. Kita harus menyelidiki bagimana sebuah kata dipakai dan apa arti kata
itu di bagian-bagian lain dokumen itu. Konteks yang lebih luas lagi adalah dokumen2
alkitabiah dan non-alkitabiah yang se-zaman dengan dokumen yang tengah diteliti.
Kritik tata bahasa juga mencakup persoalan-persoalan bahasa, sintaksis, dan tata bahasa. Untuk
itu diperlukan pengetahuan tata bahasa yang baik. Lebih jauh, yang perlu dilakukan adalah
menulis ulang bagian-bagian itu, membuat diagram2nya dengan merangkaikan bagian-bagian
kalimat yang masing-masing berisi pengertian sendiri-sendiri supaya terlihat bagaimana pelbagai
bagian kalimat berhubungan satu sama lain

4. Kritik Sastra : komposisi dan gaya retorik teks


Kritik ini memusatkan perhatiannya secara agak terbatas terutama pada analisa sumber
atau dokumen. Kritik sastra menaruh perhatian pada topik-topik yang luas: struktur tulisan dan
karakter teks, teknik-teknik gaya bahasa, pemakaian gambar-gambar dan simbol-simbol, efek-
efek dramatis dan estetis yang ditimbulkannya.
Yang berkaitan dengan kritik sastra adalah kritik retorika, karena kebanyakan sastra alkitabiah
dapat disebut sebagai tulisan ‘bertujuan.’ Tulisan di dalamnya berupaya untuk mempengaruhi
pembacanya mengenai pandangan-pandangan, kebenaran-kebenaran, dan sikap-sikap hidup
tertentu. Lebih jauh, hampir semua sastra lisan alkitabiah dihasilkan untuk kebutuhan situasi-
situasi yang amat khusus. Nabi-nabi jaman dahulu menyampaikan perkataan-perkataan mereka
untuk kontkes sosial dan historis tertentu. Peristiwa-peristiwa dan konteks-konteks yang khusus
ini dapat disebut sebagai situasi-situasi retorik. Dalam menafsir teks alkitab, kita harus waspada
terhadap dimensi-dimensi sastra dan retotrik teks. Banyak tekanan pada teknik-teknik
penyusunan karangan dan ciri-ciri retorik menolong kita untuk memahami bagaimana sebuah
tulisan dikembangkan, bagaimana struktur dan gayanya mempengaruhi penyajiannya, dan apa
tujuan yang ada dalam pikiran penulis.
Kritik sastra didasarkan pada pandangan bahwa sebuah teks, atau alinea (perikop) pada
umumnya adalah bagian dari keseluruhan tulisan yang lebih besar – yakni dokumennya sendiri.
Maka, cara yang paling baik untuk menafsirkan suatu bagian dari teks adalah dengan
memandangnya sebagai bagian2 dari konteks yang lebih luas. Baik teks yang mendahului dan
bagian sesudahnya, ataupaun kitab2 yang lain.
Ada bermacam-macam teknik untuk menentukan struktur bagian-bagian karangan ataupun juga
keseluruhan karangan. Diantaranya, inclusio, yakni perumusan kembali atau parafrasa atas
gagasan/frasa pendahuluan yang penting pada bagian kesimpulan dengan maksud untuk
menekankan kembali pokok yang diajukan atau sikap yang dipertahankan.
Salahsatau aspek lain dari kritik sastra adalah ‘nada literer.’ Ungkapan kamu telah menjadi kaya!
(1 Kor 4:8), apabila dibaca sebagai kalaimat seru dan langsung akan berlawanan artinya apabila
dibaca sebagai ejekan.

5. Kritik Bentuk : jenis dan kedudukan teks dalam kehidupan


Kritik bentuk /analisis jenis lebih memusatkan diri pada bagian/perikop yang lebih
singkat. Disini kritik bentuk menidentifikasikan pelbagai jenis sastra untuk kemudian
menggolongkan teks atau bagian tertentu sebuah tulisan ke dalam salah satu dari jenis sastra itu.
Selain itu, kritik bentuk juga menaruh perhatian pada usaha untuk menentukan dan menetapkan
‘kedudukan dalam kehidupan, yang di dalamnya dulu jenis-jenis sastra tertentu dihasilkan,
dibentuk, dan dipakai. Dimensi kritik bentuk yang demikian ini menekankan hubungan yang
mata penting antara jenis sastra, lingkungan sosial, serta latarbelakang budaya dari suatu teks.
Kitab mazmur merupakan teks Kitab Suci pertama yang dianalisis dengan memakai pendekatan
ini, sehingga, sekarang mazmur dapat kita golongkan ke dalam jenis-jenis sastra yang berbeda2:
ratapan perseorangan dan komunal, ucapan-ucapan syukur perseorangan dan komunal, serta
madah-madah. Selain itu, kitab Mazmur kini dilihat sebagai kitab doa dan pujian Israel kuno
yang mencerminkan kekayaan dan keragaman kehidupan umat, khususnya kehidupan ibadah
mereka. Begitu juga kitab kejadian, lewat kritik bentuk, mulai dipandang sebagai serita2 yang
muncul dari dan yang mengungkapkan kehidupan rakyat.
Sehingga, jikalau krtik sejarah berhasil menyingkapkan sejarah dokumen-dokumen dan
memungkinkan kita untuk melihat kehidupan umat dalam hubungan dengan pelbagai hal di
dunia sekitarnya (kehidupan liniar umat). Maka, kritik bentuk berhasil menunjukkan dimensi2
sosiologis dan liturgis yang mendasari masing-masing teks dan memungkinkan kita untuk
melihat kehidupan umat dalam hubungannya dengan Tuhan yang mereka percayai (kehidupan
vertikal umat).
Dalam menggolongkan sebuah teks menurut jenis sastranya, kita harus bertanya, teks ini
termasuk jenis sastra apa: apakah cerita pemanggilan kenabian? Ucapan nabi? Amsal? Mazmur
ratapan? dsb. Dengan ini kita akhirnya dapat mengajukan pertanyaan2 mengenai bentuk dan
kedudukan dalam kehidupannya. Jika teks itu dilihat berbentuk mazmur ratapan komunal,
misalnya, maka kita selanjutnya perlu menentukan sesuatu mengenai kedududkan dalam
kehidupan teks itu dengan bertanya, keadaan kehidupan yang bagaimana yang menimbulkan
ratapan demikian itu – keadaan kalah perang, ditimpa bencana alam, dll, dan bagaimana ratapan
itu dipakai dalam kegiatan ibadah dengan pelbagai ragam unsurnya. Ketika jawaban2 tersebut
diperoleh, maka bentuk dan isi bagian kitab itu dan bagaimana harus dibaca dan dipahami, akan
menjadi jelas.

6. Kritik Tradisi : tahap-tahap perkembangan di balik teks


Tradisi yang dimakud disini bisa berupa lisan maupun yang tertulis. Misalnya ada dua
varian yang berbeda soal perintah memelihara hari sabat pada keluaran 20:8-11 dengan Ulangan
5:12-15. Disini, versi kitab keluaran lebih pendek beberapa baris. Alasan keduanya untuk
memlihara hari sabat berbeda. Dalam Ulangan, alasannya didasarkan pada pembebasan dari
mesir, sementara pada kejadian dikaitkan dengan penciptaan dunia. Dari sini, ada beberapa
pertanyaan bisa dimunculkan: bagaimana dua versi dari perintah yang sama itu berkaitan satu
sama lain? Apakah versi yang lebih pendek lebih tua daripada versi ayng lebih panjang? Ataukah
apa versi yang lebih pendek itu penyingkatan dari versi kemudian? Bagaimana harus dijelaskan
adanya dua unsur teologis yang berbeda tersebut? Apakah semula memang ada dua versi ,
masing2 dipelihara dalam bentuknya yang terpisah?atau, apakah semula memang ada 2 situasi
kehidupan berbeda yang melahirkan 2 versi itu? Kritik tradisi mengakui bahwa dua versi dari
perintah yang sama itu merupakan bentuk akhir sastra yang muncul dari suatu proses
pembentukan dan perkembangan yang panjang. Dengan didasarkan pada pengamatan isi,
struktur, dan konteksnya, yang menjadi perhatian kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha
untuk merekonstruksi bagaimana tradisi perintah memelihara hari sabat itu berkembang.
Salah satu tradisi yang paling luas beredar di dalam Perjanjian Lama adalah tradisi tentang
pembebasan dari Mesir. Motif eksodud ini dan tradisi tentang pembebasan dari Mesir muncul
dalam cerita-cerita Perjanjian Lama, mazmur-mazmur, dan kitab para nabi. Tradisi ini bisa
dipakai dalam pelbagai konteks – dalam kitab Hosea kehancuran bangsa dibayangkansebagai
kembalike perbudakan di Mesir, sementara yesaya 40-55 menggambarkan kembalinya umat
Israel dari pembuangan di Babel sebagai eksodus yang baru.
Dengan demikian, kritik tradis menunjukkan kepada kita segi penting dari tulisan2 alkitabiah
tentang bagaimana tulisan-tulisan itu secar abertahap berkembang. Lebih khusus lagi, kritik
tradisi memperlihatkan bahwa dalam banyak tulisan alkitabiah terdapat tradisi-tradisi terdahulu
yangdiambil alih daln dimasukan ke dalamnya

7. Kritik Redaksi :sudut pandang akhir dan teologi


Kesempatan-kesempatan untuk menerapkan pendekatan-pendekatan kritik redaksi muncul dalam
seluruh Perjanjian Lama. Misalnya saja, apa artinya bila dalam kenyataannya Pentateukh
(beserta dengan hukum2nya) berakhir sebelum umat Israel memasuki tanah yang dijanjikan?
Apakah penyuntingan naskah secara demikian itu dimaksudkan untuk memberi tekanna pada
taurat sebagi unsur konstitutif masyarakat? Apakah pentateukh ditujukan kepada suatu
paguyuban yang ada di dalam pembuangan jauh dari kampung halaman mereka? Ataukah untuk
menekankan bahwa ketaaan pada taurat adalah prasyarat untuk memiliki tanah yang dijanjikan?
dsb.
8. Kritik Struktur : hal-hal umum dalam teks
Kritik struktural merupakan sebuah metode mempelajari teks yang tidak memperhitungkan
waktu dan hal-hal kesejarahan. Ditafsir secara struktural, sebuah teks menjadi berdiri sendiri,
tidak peduli bagaimana asal-usul atau masa lampaunya, dan harus ditafsirkan tanpa
memperhatikan apa yang dianggap sebagai maksud semula penulisnya. Yang penting adalah teks
itu berbicara apa untuku saat ini?
Pokok2 penekanan kritik struktural:
1. Sebuah teks harus dipandang sebagai sesuatu yang ahistoris dan atemporal. Penafsiran
harus dilakukan dengan hanya merujuk pada teks itu sendiri. Dua ciri mengenai hal ini:
Pertama, bentuk teks yang dihasilkan paling akhirlah yang menjadi pokok perhatian para
kritikus struktural. Bagaimana sebuh teks sampai pada bentuknya yang sekarang tidaklah
penting, yang penting adalah apa yang terhampar di hadapan kita sebagai sebuah karya
yang sudah rampung, yang menunggu untuk ditafsirkan. Kedua, perhatian terhadap teks
pada dan dari dirinya sendiri digambarkan sebagai analisisi sinkronis. Sebagai contoh,
jika kita tengah melakukan analisisi secara sinkronis atas dua tema/motif sastra, yang satu
dari kitab Kejadian dan yang lain dari kitab Yesaya, maka kita tidak melakukannya
seolah2 yang satu lebih tua dari yang lain, tetapi seolah2 keduanya ada ‘bersamaan
dengan waktu.’
2. Kritikus struktural bekerja dengan konsep bahasa yang dipahami secara luas, mencakup
segala kumpulan simbol yang teratur, berupa kata-kata maupun yang bukan kata-kata,
yang melaluinya makna dinyatakan. Bahasa teks kemudian dibedakan dalam dua bentuk,
yakni: ‘struktur permukaan’ dan ‘struktur dalam.’ Struktur permukaan menunjuk pada
bentuk luar sebuah teks, seperti alur cerita. Sedangkan, struktur dalam merupakan
prinsip-prinsip yang mendasari/mengatur segi2 yang terungkap konkret dalam teks, tapi
sebenarnya tidak disebut dalam teks. Sementara itu, salah satu prinsip fundamental yang
dipakai untuk menafsirkan semua bentuk tingkah laku sosial yang dapat diamati dan
struktur-struktur dalamnya adalah prinsip pasangan pertentangan, seperti terang/gelap,
baik/buruk, ilahi/manusiawi, dsb.

9. Kritik Kanonik : teks suci sinagoga dan gereja


Umat beriman sebagai pembaca/penafsir teks. Maka konsekuensinya: Pertama, teks-teks Kitab
Suci dipandang sebagai kebenaran yang penting untuk hidup mereka. Kedua, teks-teks Kitab
Suci menantang pembaca untuk ikut menghayati dunianya dan keyakinan-keyakinan yang
disampaikannya. Jadi, sebuah teks kanonik menghadapkan pendengarnya pada suatu tuntutan
mutlak untuk menerima iman. Ketiga, ketika seseorang membaca tulisan kanonik itu, mereka
membacanya sebagai orang-orang beriman. Ini berarti bahwa mereka telah mengimani apa yang
diberitakan dan di pandang benar oleh tulisan suci itu dan dengan demikian tulisan suci itu
didengar berdasarkan iman yang telah ada sebelumnya.
Beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Pendekatan kanonik bersifat sinkronis. Jadi, menagrahkan perhatiannnya pada hubungan
teks dengan pembaca. Teks yang ditafsirkan adalah teks dalam bentuk akhir, yang telah
bersatus kanonik. Hal ini berarti bahwa penafsir tidak mempedulikan hal-hal yang
menjadi perhatian khusus pendekatan historis– bentuk awal dari teks, maksud semula
dari penulis, peristiwa atau pengalaman2 yang ada di balik teks, atau
kontekspsikologis/sosiologis/historis yang melahirkan teks. Hal-hal ini boleh
dipertimbangkan, tetapi bukan merupakan faktor2 yang menentukann pembacaan dan
pemahaman teks.
2. Pembacaan kanonik atas sebuah teks akan berbeda-beda bergantung pada umat beriman
mana yang sedang membaca dan kanon mana yang tengah dibaca. Misalnya, membaca
alkitab kanon Yahudi jelas berbeda dengan membaca alkitab kanon Kristen. Misalnya,
alkitab Yahudi disusun dalam tiga bagian –taurat, Kitab Nabi-nabi, dan Tulisan-Tulisan.
Dalam pembagian ini, Torah berada di pusat, dan dua bagian yang lain sebagai tafsiran
penjelas yang disusun dengan urutan kewibawaan yang menurun.
3. Kanonisasi membuat arti teks tidak bergantung lagi pada pemakaian kata itu semula atau
pemakainnya dalam sejarahnya. Nubuat seorang Nabi, misalnya, dipahami sebagai
sesuatu yang universal, dengan demikian tujuan semula yang didasarkan pada konteks
keadaan/historis tertentu diabaikan.
4. Pendekatan kanonik menolak untuk menafsirkan teks secara sendiri-sendiri. Sebuah teks
harus dibaca sebagai bagian dari Alkitab secara keseluruhan. Deangan demikian, sebuah
teks Perjanjian Lama yang dibaca di dalam Gereja pun akan didengar dalam
hubungannya dengan Perjanjian Baru.
5. Pendekatan ini jelas bersifat teologis. Teks-teks Kitab Suci harus ditafsir sebagai tulisan-
tulisan suci. Dengan demikian, kritik kanonik memusatkan perhatiannya pada maksud
teks bagi komunitas yang mengkanonsasikannya dan pada artinya untuk masa kini.
Misalnya, Nabi Yesaya tidak lagi muncul sebagai seorang bagi yang tengah berbicara di
tengah orang-orang sezamannya, tetapi sebagi seorang yang tengah berkata-kata
mengenai seseorang yang dinantikan datang.

Anda mungkin juga menyukai