Cepern Sejarah
Cepern Sejarah
Kisah ini bercerita tentang perjuangan sepasang suami istri yang terpisah karena penculikan
pada masa penjajahan Jepang untuk bersatu kembali. Sang suami dipekerjakan sebagai romusha,
sedangkan sang istri dijadikan jugun ianfu, yaitu orang-orang yang dipaksa untuk melayani nafsu seksual
para tentara.
***
Angin malam yang beku menyapu wajah Aliyah. Ia berbaring di dalam lubang
persembunyian yang gelap, menghiraukan dentuman meriam serta rentetan senjata. Pada hari-
hari biasa, ia akan memeluk dirinya sendiri erat-erat hingga tertidur. Hari ini, ya hanya untuk
hari ini, dia tidak akan memedulikan itu semua. Aliyah hanya ingin memejamkan mata dan
segera menyambut hari esok, satu-satunya hari di mana ia bisa bahagia sejak Jepang datang.
Sepi dan ngeri tidak akan menghampirinya lagi. Esok, Aliyah dan teman kecilnya, Hasan, akan
mengucapkan janji suci dan mereka akan bersama hingga ajal menjemput mereka.
***
Hasan tak memiliki baju yang bagus, tapi ia tak peduli. Kaos lusuh yang bolong di sana-
sini dan celana kain selutut peninggalan ayahnya ini satu-satunya baju layak yang ia miliki.
Pada hari-hari biasa, ia hanya bertelanjang dada dan menggunakan celana dari karung goni
yang gatal. Hari ini, ya hanya untuk hari ini, dia akan menggunakan baju ayahnya yang
kebesaran itu. Hasan tak dapat bersabar menunggu melihat senyum Aliyah yang berseri,
hingga rasanya seluruh dunia ikut tersenyum bersamanya. Hari ini, 23 Januari 1944, adalah
hari yang bersejarah karena ia akan mengucapkan janji suci untuk menjaga Aliyah selamanya.
***
“Sah?”
“Saaahh!” Seiring dengan suara saksi yang membahana, senyum Aliyah dan Hasan
“Damare1! Ada apa ini ribut-ribut?” Hening mencekam menjalari setiap manusia yang
hadir di sana. Suara Budanco2 Nagata seolah merobek setiap harapan yang baru saja
“Semua pria di bawah berusia 15 hingga 60 tahun, ikut Budanco Akashi! Semua wanita
“Tidakkk! Nduuukkk3!” teriak seorang bapak sembari berusaha mencegah saat anak
gadisnya yang masih belia itu ditarik paksa oleh anak buah Budanco Nagata.
“Diam! Bapak ikut saya!” Budanco Akashi yang serak dan berat mengingatkan bapak
tersebut akan banyaknya senapan yang mengarah padanya. Tertunduk lesu, pria paruh baya itu
tak punya pilihan selain diam dan menuruti perintah tentara Jepang.
Isak tangis dan teriakan tidak rela itu tenggelam dalam bentakan tentara yang
menggelegar. Orang-orang berusaha melarikan diri, tapi upaya tersebut tidak membuahkan
hasil karena jumlah tentara yang berjaga terlalu banyak. Di antara mereka, ada sepasang
“Maafkan aku, Aliyah. Maaf,” Hasan berujar di sela isaknya. Tangannya yang berbalut
kulit sawo matang mendekap gadis yang lemas tak berdaya itu seolah mereka tidak akan
pernah bertemu lagi. Aliyah membenamkan wajahnya dalam pelukan suaminya. Menangis.
Meratap.
“Persetan dengan kau. Dia milikku.” Mata Hasan bersinar nyalang penuh kemarahan.
Semakin erat ia merengkuh istrinya, berusaha memberikan rasa aman di tengah situasi yang
mencekam. Namun, tubuh Hasan yang kurus kering tentu saja bukan tandingan untuk sang
tentara Jepang yang kekar dan gagah. Dengan sekali sentakan, Budanco Nagata berhasil
***
Bau apak dan keringat terus memenuhi hidung Hasan ke mana pun ia menoleh.
Manusia-manusia berjejalan di mobil bak militer dengan tampang yang sama. Raut-raut
Di mobil yang berbeda, wanita-wanita juga dijejalkan dalam kondisi yang sama. Namun,
Aliyah tidak ada di sana. Dalam mobil khusus, Aliyah dibawa oleh Budanco Nagata ke barak
militer. Sepanjang jalan, Aliyah hanya dapat memejamkan matanya. Tak berani bersuara, tak
berani bergeming. Ia dapat merasakan jemari Nagata mengusap pipinya lembut, menyusuri
bibirnya yang mungil kemerahan. Kelembutan yang membuatnya semakin bergidik ngeri.
Dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, Aliyah menepis tangan dingin
“Oh, itu namamu sekarang.” Budanco Nagata menerawang ke luar jendela mobil sambil
bersiul riang.
***
tegak di hadapannya. Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari celah untuk
kabur.
“Cepat! Apa yang sedang kamu lihat?!” Budanco Nagata menarik tangan Aliyah dengan
kasar.
Plak! Sebuah tangan yang kasar mendarat di pipi kiri Aliyah. Ia hanya bisa termenung.
“Ikut saya. Sekarang.” Tatapan membunuh yang diberikan oleh pria paruh baya di
hadapannya membuat sekujur tubuh Aliyah lemas. Dengan terseok-seok ia mengikuti langkah
tangannya dari cengkeraman Budanco Nagata, tapi ia tak cukup kuat. Komandan itu
menggiringnya ke arah tembok, menjepit Aliyah di antara kedua tangan kokohnya. Aliyah
berteriak sekuat tenaga, tapi tak seorang pun datang menolong dirinya.
Teriakan Aliyah seketika lenyap. Bibir gadis itu terbungkam oleh bibir sesosok makhluk
di hadapannya. Semakin keras ia mencoba menolak, semakin ia menyadari bahwa tak ada
jalan keluar. Sorot mata Budanco Nagata semakin liar, tak ubahnya binatang bertemu mangsa.
Maafkan aku, Hasan. Aku … tak layak mendampingimu lagi. Saat itu, tak ada manusia
***
Setiap hari, rutinitas Aliyah tetap sama. Tak henti-hentinya tentara-tentara Jepang silih
berganti memasuki kamarnya. Siang malam tak beda, hingga makan yang dijatah sekali sehari
Seratus empat puluh tiga kilometer dari sana, Hasan sedang berpeluh mengangkut batu
besar nan berat. Tugas-tugas melelahkan yang ia terima selama ini tak pernah diimbangi
dengan makanan ataupun istirahat yang cukup. Tubuhnya yang kurus semakin terlihat ringkih,
tak ada satu pun rusuknya yang mampu bersembunyi di balik dagingnya.
Jepang pun tak peduli. Melihat para romusha bergelimpangan karena sakit, kelaparan,
kurang istirahat, mereka tetap bergeming. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya ada dua
Tubuh Hasan sesungguhnya telah meronta. Rasanya tak sanggup lagi ia memikul batu
demi batu, tapi Hasan tahu bahwa belum waktunya bagi dia untuk mati. Ia harus bertahan. Ia
***
“Tentu saja sudah. Rencana Syodanco5 Supriyadi untuk memberontak telah terbongkar
sejak berhari-hari yang lalu. Bagaimana hasilnya? Apakah anggota PETA yang memberontak
telah ditangkap?” Budanco Akashi menjawab tanpa memalingkan mata dari koran yang ia baca.
“Justru itu, kita mendapat perintah dari atas untuk menangkap mereka.”
Dengan sigap keduanya bangkit dari kursi dan menyiapkan regu masing-masing untuk
melakukan penangkapan. Di tengah hiruk pikuk tentara Jepang yang sibuk bersiap-siap,
seorang pria berhasil menyelinap ke luar barak. Malam demi malam yang telah ia lewatkan
Hasan berlari melalui hutan belantara. Kerikil-kerikil yang menusuk kaki telanjangnya tak
ia pedulikan. Ia terlalu bahagia karena akhirnya dapat membebaskan diri, dan sebentar lagi ia
5 Komandan peleton
akan melihat istrinya tercinta. Hasan terus berlari dan mengetuk rumah penduduk pertama yang
ia temui. Pada tanggal 14 Februari 1945, akhirnya Hasan dapat mengecap kembali manisnya
kebebasan.
***
Pos informasi di seantero kota Blitar telah Hasan datangi tanpa membuahkan hasil.
Hingga akhirnya, kabar burung tersiar bahwa pujaan hatinya berada di kota Surabaya. Hasan
tidak membuang waktu untuk berjalan kaki ke sana, mengetahui bahwa itu adalah harapan
terakhirnya.
pemandangan yang tidak asing – barak militer Jepang. Dengan segenap kekuatan yang tersisa
Kaki Hasan yang kurus memasuki barak dengan langkah gontai. Bila Aliyah tak ada di
sini, tak tahu lagi ke mana ia harus mencari. Memang sejak 2 hari yang lalu, 15 Agustus 1945,
pos-pos informasi Jepang ditutup. Kabar berkata bahwa Jepang telah menyerah pada Sekutu,
“Aliyah! Kaukah itu?” Hasan memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri untuk mencari
sumber suara. Barak militer yang gelap gulita membuatnya tak mampu melihat dengan baik,
tetapi setelah matanya beradaptasi dengan kegelapan, ia dapat melihat sebuah sosok yang
“Ini aku, Sayang. Tenanglah, kau aman bersamaku.” Suara Hasan yang lembut dan
penuh kasih sayang berusaha menenangkan Aliyah yang mulai meraung pilu.
“Aku sudah tak layak lagi jadi istrimu, Mas6. Aku tak mati wae7.”
Hasan terus membelai rambut hitam Aliyah yang tergerai berantakan sembari
memeluknya erat. Hancur hati Hasan melihat pujaan hatinya begitu rupa. Binar mata Aliyah
telah lenyap. Ia seolah raga yang telah kehilangan jiwa. Entah berapa lama waktu yang mereka
habiskan di sana, dan sepanjang itu pula Aliyah tak henti-hentinya menangis dan meminta
maaf. Tak henti-hentinya pula, Hasan menenangkan Aliyah dan mengatakan bahwa ia
mencintai Aliyah.
Tiba-tiba tangis Aliyah terhenti. Berbulan-bulan dipaksa melayani nafsu para tentara
tanpa makan dan istirahat yang cukup telah menggerogoti kesehatannya. Nyawa perempuan itu
telah meninggalkan tubuhnya. Meninggalkan Hasan yang menangis kencang dan mendekap
Tak lama kemudian, dekapan Hasan mengendur. Berbulan-bulan dipaksa bekerja luar
biasa keras tanpa makan dan istirahat yang memadai telah menggerogoti kesehatannya.
Nyawa Hasan telah meninggalkan tubuhnya. Meninggalkan setiap harapan yang pernah
***
Cinta adalah hal yang begitu mudah kita obral saat ini. Sedikit-sedikit bilang cinta, tak lama
kemudian melupakannya. Mencintai sesungguhnya tidak mudah, ada begitu banyak tantangan,
perjuangan, dan masalah yang harus dihadapi. Namun, cinta yang sejati adalah suatu pemberian, bukan
suatu keadaan. Ia tidak bergantung pada sikap, rupa, ataupun kelemahan yang melekat pada seseorang
karena saat memberi cinta, itu adalah suatu pemberian yang cuma-cuma.
8 Sembarangan