Anda di halaman 1dari 7

Mencarinya

Oleh: Gabriella Pauline Djojosaputro 11 Technology

Kisah ini bercerita tentang perjuangan sepasang suami istri yang terpisah karena penculikan

pada masa penjajahan Jepang untuk bersatu kembali. Sang suami dipekerjakan sebagai romusha,

sedangkan sang istri dijadikan jugun ianfu, yaitu orang-orang yang dipaksa untuk melayani nafsu seksual

para tentara.

***

Angin malam yang beku menyapu wajah Aliyah. Ia berbaring di dalam lubang

persembunyian yang gelap, menghiraukan dentuman meriam serta rentetan senjata. Pada hari-

hari biasa, ia akan memeluk dirinya sendiri erat-erat hingga tertidur. Hari ini, ya hanya untuk

hari ini, dia tidak akan memedulikan itu semua. Aliyah hanya ingin memejamkan mata dan

segera menyambut hari esok, satu-satunya hari di mana ia bisa bahagia sejak Jepang datang.

Sepi dan ngeri tidak akan menghampirinya lagi. Esok, Aliyah dan teman kecilnya, Hasan, akan

mengucapkan janji suci dan mereka akan bersama hingga ajal menjemput mereka.

***

Hasan tak memiliki baju yang bagus, tapi ia tak peduli. Kaos lusuh yang bolong di sana-

sini dan celana kain selutut peninggalan ayahnya ini satu-satunya baju layak yang ia miliki.

Pada hari-hari biasa, ia hanya bertelanjang dada dan menggunakan celana dari karung goni

yang gatal. Hari ini, ya hanya untuk hari ini, dia akan menggunakan baju ayahnya yang

kebesaran itu. Hasan tak dapat bersabar menunggu melihat senyum Aliyah yang berseri,

hingga rasanya seluruh dunia ikut tersenyum bersamanya. Hari ini, 23 Januari 1944, adalah

hari yang bersejarah karena ia akan mengucapkan janji suci untuk menjaga Aliyah selamanya.

Hanya maut yang dapat memisahkan mereka.

***

“Sah?”
“Saaahh!” Seiring dengan suara saksi yang membahana, senyum Aliyah dan Hasan

merekah. Hasan mengecup lembut kening pujaan hatinya.

“Damare1! Ada apa ini ribut-ribut?” Hening mencekam menjalari setiap manusia yang

hadir di sana. Suara Budanco2 Nagata seolah merobek setiap harapan yang baru saja

digantung di udara. Mereka tahu, ini akhirnya. Mereka tahu.

“Semua pria di bawah berusia 15 hingga 60 tahun, ikut Budanco Akashi! Semua wanita

berusia 10 hingga 30 tahun, ikuti saya!”

“Tidakkk! Nduuukkk3!” teriak seorang bapak sembari berusaha mencegah saat anak

gadisnya yang masih belia itu ditarik paksa oleh anak buah Budanco Nagata.

“Diam! Bapak ikut saya!” Budanco Akashi yang serak dan berat mengingatkan bapak

tersebut akan banyaknya senapan yang mengarah padanya. Tertunduk lesu, pria paruh baya itu

tak punya pilihan selain diam dan menuruti perintah tentara Jepang.

Isak tangis dan teriakan tidak rela itu tenggelam dalam bentakan tentara yang

menggelegar. Orang-orang berusaha melarikan diri, tapi upaya tersebut tidak membuahkan

hasil karena jumlah tentara yang berjaga terlalu banyak. Di antara mereka, ada sepasang

manusia yang berpelukan dan menangis tersedu-sedu.

“Maafkan aku, Aliyah. Maaf,” Hasan berujar di sela isaknya. Tangannya yang berbalut

kulit sawo matang mendekap gadis yang lemas tak berdaya itu seolah mereka tidak akan

pernah bertemu lagi. Aliyah membenamkan wajahnya dalam pelukan suaminya. Menangis.

Meratap.

1 Bentuk kasar untuk menyuruh diam dalam bahasa Jepang

2 Panggilan untuk komandan regu

3 Panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa


“Aah, utsukushii4 … kita dapat permata di sini.” Budanco Nagata memanggil

pasukannya dengan siulan nakal.

“Persetan dengan kau. Dia milikku.” Mata Hasan bersinar nyalang penuh kemarahan.

Semakin erat ia merengkuh istrinya, berusaha memberikan rasa aman di tengah situasi yang

mencekam. Namun, tubuh Hasan yang kurus kering tentu saja bukan tandingan untuk sang

tentara Jepang yang kekar dan gagah. Dengan sekali sentakan, Budanco Nagata berhasil

melepaskan Aliyah dari pelukan Hasan dan membawanya pergi.

***

Bau apak dan keringat terus memenuhi hidung Hasan ke mana pun ia menoleh.

Manusia-manusia berjejalan di mobil bak militer dengan tampang yang sama. Raut-raut

manusia yang putus asa, kalut, sedih, panik, dan ketakutan.

Di mobil yang berbeda, wanita-wanita juga dijejalkan dalam kondisi yang sama. Namun,

Aliyah tidak ada di sana. Dalam mobil khusus, Aliyah dibawa oleh Budanco Nagata ke barak

militer. Sepanjang jalan, Aliyah hanya dapat memejamkan matanya. Tak berani bersuara, tak

berani bergeming. Ia dapat merasakan jemari Nagata mengusap pipinya lembut, menyusuri

bibirnya yang mungil kemerahan. Kelembutan yang membuatnya semakin bergidik ngeri.

“Sabar, Hime sayang. Kita akan sampai di Surabaya sebentar

lagi.” “Itu bukan namaku!”

Dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, Aliyah menepis tangan dingin

yang bertanggung jawab atas kematian ratusan manusia sebangsanya.

“Oh, itu namamu sekarang.” Budanco Nagata menerawang ke luar jendela mobil sambil

bersiul riang.

***

4 Bahasa Jepang untuk “cantik”


Menuruni mobil bak, Aliyah terpaku. Tak ingin ia masuk ke barak militer yang berdiri

tegak di hadapannya. Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari celah untuk

kabur.

“Cepat! Apa yang sedang kamu lihat?!” Budanco Nagata menarik tangan Aliyah dengan

kasar.

“Lepaskan aku!” Dengan sekuat tenaga Aliyah menarik pergelangannya dari

genggaman komandan Jepang di hadapannya, tapi tenaganya benar-benar bukan tandingan

seorang yang mendapat pelatihan militer dan gizi tercukupi.

Plak! Sebuah tangan yang kasar mendarat di pipi kiri Aliyah. Ia hanya bisa termenung.

Seumur-umur, tak pernah bapak dan ibunya menampar wajah Aliyah.

“Ikut saya. Sekarang.” Tatapan membunuh yang diberikan oleh pria paruh baya di

hadapannya membuat sekujur tubuh Aliyah lemas. Dengan terseok-seok ia mengikuti langkah

pria itu ke dalam sebuah kamar sederhana berisi sebuah ranjang.

Komandan itu mengunci pintu di belakangnya. Aliyah berusaha melepaskan kedua

tangannya dari cengkeraman Budanco Nagata, tapi ia tak cukup kuat. Komandan itu

menggiringnya ke arah tembok, menjepit Aliyah di antara kedua tangan kokohnya. Aliyah

berteriak sekuat tenaga, tapi tak seorang pun datang menolong dirinya.

Teriakan Aliyah seketika lenyap. Bibir gadis itu terbungkam oleh bibir sesosok makhluk

di hadapannya. Semakin keras ia mencoba menolak, semakin ia menyadari bahwa tak ada

jalan keluar. Sorot mata Budanco Nagata semakin liar, tak ubahnya binatang bertemu mangsa.

Oh, Tuhan … jikalau boleh memilih, Aliyah berharap ia mati saja.

Maafkan aku, Hasan. Aku … tak layak mendampingimu lagi. Saat itu, tak ada manusia

yang lebih membenci Aliyah daripada dirinya sendiri.

***
Setiap hari, rutinitas Aliyah tetap sama. Tak henti-hentinya tentara-tentara Jepang silih

berganti memasuki kamarnya. Siang malam tak beda, hingga makan yang dijatah sekali sehari

pun sering tak sempat.

Seratus empat puluh tiga kilometer dari sana, Hasan sedang berpeluh mengangkut batu

besar nan berat. Tugas-tugas melelahkan yang ia terima selama ini tak pernah diimbangi

dengan makanan ataupun istirahat yang cukup. Tubuhnya yang kurus semakin terlihat ringkih,

tak ada satu pun rusuknya yang mampu bersembunyi di balik dagingnya.

Jepang pun tak peduli. Melihat para romusha bergelimpangan karena sakit, kelaparan,

kurang istirahat, mereka tetap bergeming. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya ada dua

pilihan – kerja atau mati.

Tubuh Hasan sesungguhnya telah meronta. Rasanya tak sanggup lagi ia memikul batu

demi batu, tapi Hasan tahu bahwa belum waktunya bagi dia untuk mati. Ia harus bertahan. Ia

harus bertemu pujaan hatinya lagi. Ia harus menyelamatkan Aliyah.

***

“Budanco Akashi, sudahkah kaudengar beritanya?” ujar seorang tentara berkacamata.

“Tentu saja sudah. Rencana Syodanco5 Supriyadi untuk memberontak telah terbongkar

sejak berhari-hari yang lalu. Bagaimana hasilnya? Apakah anggota PETA yang memberontak

telah ditangkap?” Budanco Akashi menjawab tanpa memalingkan mata dari koran yang ia baca.

“Justru itu, kita mendapat perintah dari atas untuk menangkap mereka.”

Dengan sigap keduanya bangkit dari kursi dan menyiapkan regu masing-masing untuk

melakukan penangkapan. Di tengah hiruk pikuk tentara Jepang yang sibuk bersiap-siap,

seorang pria berhasil menyelinap ke luar barak. Malam demi malam yang telah ia lewatkan

untuk menggali lubang keluar dari barak rupanya tak sia-sia.

Hasan berlari melalui hutan belantara. Kerikil-kerikil yang menusuk kaki telanjangnya tak

ia pedulikan. Ia terlalu bahagia karena akhirnya dapat membebaskan diri, dan sebentar lagi ia
5 Komandan peleton
akan melihat istrinya tercinta. Hasan terus berlari dan mengetuk rumah penduduk pertama yang

ia temui. Pada tanggal 14 Februari 1945, akhirnya Hasan dapat mengecap kembali manisnya

kebebasan.

***

Pos informasi di seantero kota Blitar telah Hasan datangi tanpa membuahkan hasil.

Hingga akhirnya, kabar burung tersiar bahwa pujaan hatinya berada di kota Surabaya. Hasan

tidak membuang waktu untuk berjalan kaki ke sana, mengetahui bahwa itu adalah harapan

terakhirnya.

Setelah berhari-hari berjalan, samar-samar mata Hasan menangkap suatu

pemandangan yang tidak asing – barak militer Jepang. Dengan segenap kekuatan yang tersisa

Hasan berlari menuju barak tersebut.

Kaki Hasan yang kurus memasuki barak dengan langkah gontai. Bila Aliyah tak ada di

sini, tak tahu lagi ke mana ia harus mencari. Memang sejak 2 hari yang lalu, 15 Agustus 1945,

pos-pos informasi Jepang ditutup. Kabar berkata bahwa Jepang telah menyerah pada Sekutu,

sehingga mereka menarik pasukannya dari bumi Nusantara.

“Hasan … maafkan aku,” ujar sebuah suara sembari sesenggukan menangis.

“Aliyah! Kaukah itu?” Hasan memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri untuk mencari

sumber suara. Barak militer yang gelap gulita membuatnya tak mampu melihat dengan baik,

tetapi setelah matanya beradaptasi dengan kegelapan, ia dapat melihat sebuah sosok yang

terduduk di pojok ruangan.

“Ini aku, Sayang. Tenanglah, kau aman bersamaku.” Suara Hasan yang lembut dan

penuh kasih sayang berusaha menenangkan Aliyah yang mulai meraung pilu.

“Aku sudah tak layak lagi jadi istrimu, Mas6. Aku tak mati wae7.”

6 Sebutan untuk laki-laki yang lebih

tua 7 Aku mau mati saja


“Hus. Jangan ngawur8 omonganmu. Aku sayang kamu, Aliyah. Tidak ada yang bisa

mengubah hal itu.”

Hasan terus membelai rambut hitam Aliyah yang tergerai berantakan sembari

memeluknya erat. Hancur hati Hasan melihat pujaan hatinya begitu rupa. Binar mata Aliyah

telah lenyap. Ia seolah raga yang telah kehilangan jiwa. Entah berapa lama waktu yang mereka

habiskan di sana, dan sepanjang itu pula Aliyah tak henti-hentinya menangis dan meminta

maaf. Tak henti-hentinya pula, Hasan menenangkan Aliyah dan mengatakan bahwa ia

mencintai Aliyah.

Tiba-tiba tangis Aliyah terhenti. Berbulan-bulan dipaksa melayani nafsu para tentara

tanpa makan dan istirahat yang cukup telah menggerogoti kesehatannya. Nyawa perempuan itu

telah meninggalkan tubuhnya. Meninggalkan Hasan yang menangis kencang dan mendekap

tubuh Aliyah makin erat saat menyadari hal tersebut.

Tak lama kemudian, dekapan Hasan mengendur. Berbulan-bulan dipaksa bekerja luar

biasa keras tanpa makan dan istirahat yang memadai telah menggerogoti kesehatannya.

Nyawa Hasan telah meninggalkan tubuhnya. Meninggalkan setiap harapan yang pernah

tersemat untuk hidup mereka.

***

Cinta adalah hal yang begitu mudah kita obral saat ini. Sedikit-sedikit bilang cinta, tak lama

kemudian melupakannya. Mencintai sesungguhnya tidak mudah, ada begitu banyak tantangan,

perjuangan, dan masalah yang harus dihadapi. Namun, cinta yang sejati adalah suatu pemberian, bukan

suatu keadaan. Ia tidak bergantung pada sikap, rupa, ataupun kelemahan yang melekat pada seseorang

karena saat memberi cinta, itu adalah suatu pemberian yang cuma-cuma.

8 Sembarangan

Anda mungkin juga menyukai