Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS

POST OP EVD + ICH DI RUANG ICU RSUD dr. DORIS


SYLVANUS PALANGKA RAYA

OLEH :
Depranata
NIM : (2021-01-14901-013)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI NERS
TAHUN 2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Intra cerebral hematoma adalah perdarahan kedalam substansi otak.
Hemoragi ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah
kecil dapat terjadi pada luka tembak, cidera tumpul (Suharyanto, 2017). Ini
merupakan kasus yang mengakibatkan hal yang fatal bila tidak bisa ditangani
maka akan mengakibatkan hal yang beresiko menyebabkan kematian, pada kasus
post operasi craniotomy pasien akan mengalami resiko yang besar mengalami
penurunan kesadaran, craniotomy merupakan tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan masa atau perdarahan yang terjadi di bagian otak, misalkan ada
benturan atau stroke hemoragik yang menyebabkan Intra cerebral hematoma
yang mengakibatkan hal yang sangat buruk pada pasien yang kasusini.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa,
seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. Kemungkinan
seseorang tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan
terganggu atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi
lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak normal besar atau kecil, mual, muntah,
serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam
hitungan detik sampai menit.
Perawatan pasien dengan ICH dilakukan dengan intensif dan dilakukan di
ruang ICU, jadi selama perawatan kita melakukan pelayanan keperawatan kritis
menyeluruh baik dari segi kebutuhan dasar hingga hal yang paling mengancam
nyawapasien.
Diharapkan selama praktek di ruangan ICU perawat mampu melakukan
asuhan keperawatan kritis dan melakukan pendokumentasian secara
komprehensif serta mampu menjalankan semua asuhan yang dibuat agar bisa
membantu dalam pelayanan pasein selama dirawat di ICU.
1.2 Tujuan Umum
Tujuan yang ingin dicapai dalam laporan ini adalah untuk membuat
laporan dan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan benar pada kasus
Dengan diagnose post Op+ICH diruang ICU Dr Doris Sylvanus
Palangka Raya
1.2.1 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian pada pasien dengan masalah kasus ICH diruang ICU
dr Doris Sylvanus Palangka Raya
2. Menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan kasus ICH diruang
ICU dr Doris Sylvanus Palangka Raya
3. Menyusun intervensi keperawatan pasien dengan kasus ICH diruang ICU dr
Doris Sylvanus Palangka Raya
4. Melakukan Implementasi Keperawatan pada pasein dengan kasus ICH
diruang ICU dr Doris Sylvanus Palangka Raya
5. Melakukan evaluasi pada pasien dengan masalah kasus ICH diruang ICU dr
Doris Sylvanus Palangka Raya
1.3 Manfaat Penulisan
Diharapkan memberikan kontribusi dalam asuhan keperawatan keperawatan
dasar pada pasien dengan kasus ICH diruang ICU dr Doris Sylvanus Palangka
Raya, dengan dibuat laporan ini mahasiswa mampu merencanakan asuhan secara
menyeluruh baik dari aspek kebutuhan dasar serta kebutuhan yang lain pada
pasien dengan kasus ICH diruang ICU dr Doris Sylvanus Palangka Raya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Intracerebral Hematoma (ICH)


2.1.1 Definisi Intracerebral Hematoma (ICH)

Gambar 2.1 Gambar Intracerebral Hematoma (ICH)


Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara
klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi,pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang
indikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm, perifer adanya
pergeseran garis tengah, secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah
evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang
menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan
prognose perdarahan subdural (Paula, 2017).
Intra cerebral hematoma adalah perdarahan kedalam substansi otak.
Hemorragi ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah
kecil dapat terjadipada luka tembak, cidera tumpul (Suharyanto, 2017).
Intra cerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri.
Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala
terbuka. Intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik
akibat melebarnyapembuluh nadi. (Corwin, 2017)
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Intra secerebral
hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri. Hal ini dapat timbul
padacidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala terbuka, biasanya akibat
robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
2.1.2 Etiologi
Menurut Paula (2012) ada beberapa penyebab dari intracerebral
hematoma(ICH) yaitu sebagai berikut :
1) Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala
2) Fraktur depresi tulang tengkorak
3) Hemoragic
4) Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba
5) Cedera penetrasi peluru
6) Jatuh
7) Kecelakaan kendaraan bermotor
8) Hipertensi
9) Malformasi arteri venosa
10) Aneurisma
2.1.3 Manifestasi Klinis
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah
orang, hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas.
Meskipunbegitu, pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak
ada. Dugaan gejalaterbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk
sebagaimana peluasan pendarahaan.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa,
seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. Kemungkinan
seseorang tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan
terganggu atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi
lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak normal besar atau kecil, mual, muntah,
serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam
hitungan detik sampai menit. MenurutCorwin (2017) manifestasi klinik dari dari
Intra cerebral hematom yaitu :
1) Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom.
2) Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
3) Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
4) Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
5) Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakanmotorik dapat timbul segera atau secara lambat.
6) Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan
peningkatantekanan intra cranium.
2.1.4 Patofisiologi
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteri
serebri yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari
pembuluh darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau
didekatnya, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan.
Darah yang keluar dari pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga
mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar perdarahan, spasme ini dapat
menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi, perdarahan aneorisma-
aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang menonjol pada
arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan kadang-
kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menitper 100 gr jaringan otak.
Bila aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan
menjadi penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik,
sehingga gejala ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak
sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2
dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat.
Bila suplai O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih
lama dari 6- 8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi (ireversibel) dan
kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan intrakranial dan
menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga dapat
berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal.
Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa
menit, jam bahkan beberapa hari (Corwin, 2017).
Trauma kepala, Fraktur depresi tulang tengkorak, Hipertensi, Malformasi Arteri
Venosa,
2.1.5 WOC (web Of Caution)
Pecahnya pembuluh darah
otak (perdarahan
intracranial)
WOC (Web Of Caustion) Darah masuk ke dalam jaringan otak

ICH

B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone)


B2 (Blood)
B1 (Breathing)
Fungsi otak menurun
Darah Darah membentuk massa/ hematoma
Darah membentuk massa/ hematoma
Darah Gangguan aliran
membentuk massa/ hematoma Renal Fungsi otak menurun
flow Kerusakan neuromotorik
membentuk darah dan O2 ke
Reflek menelan menurun
ADH/retensi Na
Vasodilatasi pembuluh darah Kelemahan otot
Penekanan progresif
Tidak Luka insisi pembedahan
pada Penekanan
ada pada
Peningkata kompensa Kel volume cairan Anoreksia
n TIK Peningkatan Port d’entri mikroorganisme Luka insisi pelaksanaan EVD
Peningkatan TIK tidak merata
TIK Deficit nutrisi Gangguan mobilitas fi
Fungsi
Gangguan /intoleransi aktifitas fis
Otak Resiko infeksi
aliran darah dan
Reflek batuk oksigen
Penurunan kapasitas Adaptif keotak
Intrakranial
Menurun
Gangguan
Produksi secret perfusi
meningkat jaringan
serebral
Bersihan jalan nafas tidak
efektif Nyeri akut (Corwin, 2017)
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari intracerebral hematoma (ICH) menurut
Sudoyo (2016)adalah sebagai berikut :
1) Angiografi cerebral
Membantu menentukan penyebab dari ICH secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurismatau malformasi vaskular.
2) Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragik pada subarakhnoid atau perdarahan
pada intrakranial.
3) CT-Scan (Computerized Tomografi Scan)
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya
secara pasti.
4) MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan basar
terjadinya perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami
lesi dan infark akibat dari hemoragik.
5) EEG (Electroencephalogram)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infrak sehingga menurunnya impuls listrik dalam
jaringan otak.
2.1.7 Penatalaksanaan
Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke
ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada
orang yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah
orang yang mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari.
Mereka yang bertahan hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak
bersamaan dengan waktu. Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh
seluruhnya fungsi otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-
obatan antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat
pendarahan
makin buruk.Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang
mengeluarkan darah, mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu
penggumpalan darah seperti :
1) Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
2) Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah
dan pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
3) Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam
darah yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan
di dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang
dilakukan karena operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan
penumpukan darah bisa memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak
menimbulkan kecacatan yang parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan
efektif untuk pendarahan pada kelenjar pituitary atau pada cerebellum. Pada
beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah mungkin.
Menurut Corwin (2017) menyebutkan penatalaksanaan untuk intra
cerebral hematoma adalah sebagai berikut :
1) Observasi dan tirah baring lama.
2) Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom
secarabedah.
3) Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
4) Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
5) Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk
pemberiandiuretik dan obat anti inflamasi.
6) Pemeriksaan Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan
laboratoriumlainnya yang menunjang.
2.2 Konsep Dasar EVD (External Ventricular Drainage)
2.2.1 Defnisi EVD (External Ventricular Drainage)

Gambar 2.7 Gambar Operasi External Ventricular Drainage (EVD)

External ventricular drainage (EVD) adalah pemasangan kateter kedalam


ventrikel lateral melalui lubang yang dibuat pada tengkorak untuk drainase
cairan serebrospinal yang disebut juga ventrikulostomi. Drainase CSF dari
ventrikulostomi adalah metode sementara untuk mengurangi tekanan
intracranial secara cepat dan dapat membantu pasien mendapatkan tekanan
intrakranial yang stabil atau selama hidrosefalus akut yang berkaitan dengan
perdarahan sub arakhnoid (sub arachnoid hemorrhage) (Kirkness C, 2012).
Kateter ventrikulostomi disambungkan dengan kantong drainase.
Ventrikulostomidapat dipasang hanya untuk selama drainase cairan serebrospinal
atau kantong drainase dapat disambungkan kesistem untuk memonitor tekanan
intracranial dalam ventrikel yang mempunyai kemampuan untuk drainase CSF
(Addison C, 2012).
Ketika akan melakukan drainase CSF, perawat dapat mengalirkan cairan
serebrospinal secara periodik sesuai permintaan dokter. Walaupun ini bukan
batas target sesungguhnya, cara ini dibutuhkan untuk menurunkan tekanan
intrakranial, data saat ini membantu 20 hingga 25 mmHg sebagai batas atas
tertinggi yang mana terapi untukmenurunkan tekanan intra cranial dapat dimulai.
Ketika tekanan intra cranial sampai atau melebihi batas yang ditetapkan oleh
dokter (misalnya, 20 atau 25 mmHg) stopcock dibuka dan cairan serebro spinal
dialirkan berdasarkan permintaan dokter (misalnya, 5menit) (March K, 2010).
2.2.2 Tujuan
Menurut Addison (2012) berikut adalah tujuan pengeringan dan
pemantauan aliranCSF dari system ventrikel :
1) Untuk mengontrol dan mengurangi ICP
2) Untuk mengevaluasi CSF sitology dan kimia dan untuk memantau
3) Untuk memberikan jalan keluar sementara CSF dalam keadaan
malfungsi atauterinfeksi CSF shunts
Kondisi klinis umum yang memerlukan penempatan suatu EVD adalah
sebagaiberikut :
1) Trauma kepala berat
2) Perdarahan sub arachnoid
3) Perdarahan intraventrikular
4) Akut hidrosefalus etiologi apapun
2.2.3 Indikasi
Menurut Addison (2012) berikut ini adalah indikasi untuk pemantauan
ICPadalah sebagai berikut :
• Cedera kepala berat
• Hydrocephalus
• Perdarahan intrakranial
• Ensefalopati tertentu, seperti sindrom reye
• Kelas yang lebih tinggi perdarahan subarachnoid
• Reseksi dari space-occupying lession, baik sebelum operasi dan pasca
operasi,terutama pada pasien dipertahankan pada sedasi
2.2.4 Kontraindikasi
Menurut March (2010) berikut ini adalah kontraindikasi untuk
perangkat drainaseeksternal CSF:
• Pasien yang menjalani terapi antikoagulan pada pasien dengan gangguan
sirkulasi

• Infeksi pada atau dekat lokasi proyeksi penempatan, termasuk kulit


kepala,jaringan subkutan, tulang, atau ruang epidural.
• Ketidakmampuan untuk memberikan pengawasan yang ketat terus menerus
• Noncommunicating hidrosefalus
• Besar lesi massa intrakranial, dan hematoma
• Oklusi CSF mengalir keruang subarachnoid karena trauma, hematoma,
fraktur,atau tumor.
2.2.5 Manifestasi Klinis
Menurut March (2010) peningkatan cairan intracranial jika lebih dari 15
mmHg,maka tanda-tanda klinis umum yang akan muncul adalah sebagai berikut :
1) Muntah
2) Sakit kepala
3) Fotopobia
4) Lemas
5) Nistagmus
6) Diplopia
Pada beberapa peningkatan darah intracranial terjadi kesadaran menurun,
perubahan reflek anggota tubuh berubah, pupil melebar, gerakan spontan tubuh
menurun dan reaksi pupil pada cahaya menurun. Tanda yang muncul terjadi
secara unilateral atau bilateral tergantung penyebab peningkatan tekanan
intracranial.
Berikut adalah pre-morbid level tekanan intracranial :
1) Pernafasan spontan terdespressed
2) Terjadi hipertensi
3) Detak jantung melambat
2.2.6 Komplikasi
Menurut March (2010) komplikasi drainase eksternal cairan cerebrospinal
(CSF)adalah sebagai berikut :
1) Infeksi, terutama meningitis, ventriculitis, dan infeksi luka, membatasi
durasi pemantauan dari situs tunggal untuk kurang dari 5 hari
meminimalkan risiko infeksi
2) Perdarahan intracranial dan defisit neurologis permanen karena CSF
berlebih
3) Perdarahan intra serebral dan edema, mengarah kepeningkatan lebih lanjut
dalam ICH, yang disebabkan oleh tusukan otak sering selama penyisipan
ventrikel kateter, meminimalkan jumlah tusukan membantu mencegah
komplikasi ini
4) Runtuhnya dinding ventrikel, pada pasien mengakibatkan obstruksi kateter
dan predisposisi herniasitentorial, CSF rilis berlebihan sebelum kateter
sistem melekat pada garis pasien harus dihindari untuk mencegah
komplikasi ini

5) Terlalu banyak atau tidak adekuatnya drainase dari CSF disebabkan oleh
ketinggian yang salah buret drainase, pemutusan atau dislogment dari
EVD, bocor disekitar lokasi pembuangan

6) Tidak akurat pengukuran tekanan intrakranial (pembuangan harus ditutup


pada saat pengukuran (ICP)
2.2.7 Monitoring (Follow Up)
Perawatan intensif biasanya diperlukan bagi banyak pasien dengan saluran
ventrikel eksternal (EVD), meskipun pengaturan rumah sakit lainnya, seperti
bangsal bedah atau anak, mungkin cocok untuk pengelolaan beberapa pasien
yang neurologis stabil dan memerlukan drainase eksternal berkepanjangan.
Pemantauan rutin pasien dalam perawatan intensif terutama terdiri dari mencatat
produksi CSF sesering setiap jam. ICP dapat transduced baik terus
menerus atau sebentar- sebentar. Ventriculomegaly mungkin jelas pada
radiografi pada beberapa pasien, dan seri CT scan kepala dapat digunakan untuk
memantau resolusi hidrosefalus akut.
Biasanya, pasien dengan EVD menjalani proses penyapihan, yang
menghasilkan dua hasil potensial. Entah pasien akan mentolerir penghapusan
EVD tanpa mengembangkan gejala hidrosefalus atau pasien akan
membutuhkan pengalihan CSF permanen, yang paling sering memerlukan
pemasangan shunt ventriculoperitoneal.
Untuk mencegah komplikasi, CSF keluar melalui system drainase eksternal
harusdipantau dan disesuaikan untuk menghindari under drainage atau berlebih.
Personil perawatan intensif berpengalaman yang akrab dengan teknik
pemantauan tekanan ICPdan lumbal harus melakukan pemantauan.
Pemantauan ICP telah dikaitkan dengan komplikasi seperti infeksi
intrakranial, meningitis, ventriculitis. Faktor risiko termasuk sering pembukaan
dan pemantauan di perpanjang dari sistem. Pertama, dan yang paling penting,
tempat injeksi harus selalu dibersihkan dengan alkohol, yang harus dibiarkan
kering sebelum penyisipan jarum. Kedua, teknik steril harus digunakan untuk
mengatur sistem dan untuk menempatkan kateter. Ketiga, subgaleal tunneling
dari kateter ventrikel harus diperpanjang kurang lebih 1-2 masuk.
Drainase cepat CSF dapat menyebabkan runtuhnya ventrikel, yang dapat
menyumbat kateter dan melukai pasien, mengakibatkan herniasitentorial. Oleh
karenaitu, maneuver drainase harus dilakukan terhadap kepala tekanan positif
dari 20 cm H2O. Sebuah garis tersumbat atau gelembung udara bersarang di
sistem dapat menyebabkan pembacaan tekanan palsu, menyebabkan perlakuan
yang tidak pantas kepada pasien. Jika gelombang mulai meredam, sistem
pemantauan keseluruhan harus diperiksa, setiap kekusutan di garis pasien harus
dikoreksi dan semua gelembung udara, darah, atau kotoran lain dihapus dari
sistem.
Transduser harus disimpan pada tingkat yang sama seperti sistem ventrikel
pasien untuk memastikan tingkat referensi yang tepat dalam tabung manometer
untuk digunakan dalam prosedur kalibrasi. Pemantauan tekanan dengan
manometer dapat menyebabkan tekanan berlebih dari ventrikel. Tusukan dari
ventrikel atau pembukaandura dapat mengakibatkan perdarahan intrakranial.
2.2.8 Peralatan
1) EVD dengan tekanan tabung koneksi untuk monitor dan sistem drainase
2) Pita pengukur ditandai dalam centimeter
3) Carpenter’s spirit level (waterpas tukang kayu)
4) Order dokter untuk drainase CSF dan tingkat dari ICP dimana untuk
memulaidrainase
2.2.9 Prosedur

Gambar 2.8 Gambar Prosedur External Ventricular Drainage (EVD)

1) Posisi pasien dengan kepala ditinggikan 30-45 derajat atau sesuai yang
diperintahkan
2) Tingkat transduser ke tragus tersebut (external auditory meatus)
3) Puncak posisi drainase ditetapkan pada tingkat sentimeter sesuai yang
diperintahkan ahli bedah syaraf. Ini biasa 5-20cm diatas tingkat tragus.
Untuk menentukan tingkat yang diperlukan, menempatkan pita pengukur
pada tiang IV. Mengukur keatas dari tingkat transducer pada tiang IV.
Ketingkat sentimeter yang memerintahkan, kemudian menandai titik ini.
4) Mengamankan burette ke tiang IV dengan “pressure line” diatas burette
level yang telah ditandai
5) Mendokumentasikan ICP predrainase
6) Menghidupkan keran pada kateter ventrikular dan drainase sistem
7) Meninggalkan keran diposisi ini untuk waktu lama untuk mengeluarkan
CSF
8) Observasi burette untuk meneteskan CSF, jika tidak menetes periksa posisi
keran. Jika kran dalam posisi benar dan tetesan CSF tidak bisa dilihat,
beritahu MO
9) Selama drainase, bentuk gelombang pada monitor tidak mencerminkan ICP
2.2.10 Nursing Care
1) EVD hanya boleh di klem, jika :
a) Permintaan MO
b) Mengukur ICP (hanya sementara). Membaca ICP per jam dengan
memutar keran OFF untuk drainase dan ON untuk catheter dan
transduser. Setelah obsevasi gelombang ICP, dan mendapatkan
pembacaan, putar keran ON untukdrainase
c) Setelah pemberian obat intrathecal
d) Mendapatkan ICP spesimen
2) Catatan ICP tiap jam dengan keran OFF untuk drainase untuk mengambil
pengukuran
3) Catatan jumlah dari drainase per jam
4) Setiap saat tingkat kepala pasien diubah dalam kaitannya dengan ruang
tetes, putar keran OFF untuk drainase sampai dapat kembali ditetapkan.
Lamanya waktu drain diklem harus dijaga ke minimum drainase tergantung
pasien. Memelihara dressing tetap kering di area insersi EVD.

2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian
1) Identitas Pasien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat,
pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian
diambil.

2) Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi,dan penurunan tingkat kesadaran.

3) Riwayat Penyakit Sekarang


Serangan ICH sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam
intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsif, dan koma.

4) Riwayat penyakit dahulu


Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat
antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat- obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya.
Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat
kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakandata dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

5) Riwayat Penyakit Keluarga


Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus,
atau adanya riwayat stroke dan generasi terdahulu.

6) Riwayat Psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien dengan intracerebral hematoma (ICH)
meliputibeberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya,baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecemasan, rasa cemas, rasa tidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan citra tubuh). Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan
bicara. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak
berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dantidak kooperatif. Dalam pola
penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan
masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan
ibadah spritual karena tingkah laku yang tidak stabil dan
kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.

2. Pengkajian Fisik
Keadaan Umum
Mengalami penurunan kesadaran, suara bicara, kadang mengalami
gangguan yaitusukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/afaksia. Tanda-
tanda vital seperti tekanan darah meningkat, dan nadi bervariasi.

1) B1 (breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan obat bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Pada klien dengan tingkat kesadaran somnolen, stopor,
semicoma, coma, peningkatan inspeksi pernafasannya ada gangguan akibat
menurunnya imunitas tubuh, sehingga bias terjadi infeksi pada sistem
pernafasan seperti penyakit pneumonia. Palpasi toraks didapatkan taktil
premitus tidak seimbang kanan dankiri. Auskultasi didapatkan bunyi napas
tambahan ronki dan weezing.

2) B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien dengan ICH. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan
darah >200 mmHg.

3) B3 (Brain)
ICH yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak
yang rusak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya.
4) B4 (Bladder)
Setelah mengalami ICH klien mungkin mengalami inkontinesia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter
urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinesia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah pada pasien akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinesia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.

6) B6 (Bone)
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga
tanda- tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien
stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karenakelemahan, kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi,
serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
3. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Pada klien lanjut usia tingkat kesadaran klien ICH biasanya berkisar pada
tingkatlatergi, somnolen, stupor, dan semikomantosa.
4. Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
5. Pengkajian Saraf Kranial
Umumnya terdapat gangguan nervus cranial VII dan XII central.
6. Pengkajian Sistem Motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
7. Pengkajian Refleks
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologi akan muncul kembali di dahului dengan
refleks patologis.
8. Pengkajian sistem sensori Dapat terjadi semi hipertensi.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Diagnosa Pre Operasi
1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
2) Defisit perawatan diri: makan, mandi, berpakaian, toileting berhubungan
gangguan neuromuskular.
3) Resiko Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan peningkatan
tekananintracranial.
4) Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi fisik
2. Diagnosa Post Operasi
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret
padajalan nafas

2) Penurunan kapasitas adaptif intracranial berhubungan dengan edema


cerebral
3) Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi post operasi
4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif post operasi
2.3.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Pre Operasi
No Diagnosa Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil

1 Gangguan mobilitas fisik berhubungan (SLKI. L05042. Hal 65) Dukungan Imobilisasi
dengan gangguan neuromuscular. (SDKI. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama (SIKI.I.05173. Hal 30)
D0054 Hal.124) 3x24 jam, diharapkan masalah gangguan Observasi
mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
hasil: fisik lainnya
1. Nyeri pada sendi membaik dengan skor (5) 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
2. Kekakuan sendi meningkat dengan skor (5) pergerakan
3. Gerakan sendi tidak terkordinasi 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan
meningkat dengan skor (5) darah sebelum memulai mobilisasi
4. Gerakan terbatas meningkat dengan skor 4. Monitor kondisi umum selama
(5) melakukan mobilisasi
5. Kelemahan fisik membaik dengan skor (5) Terapeutik
5. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan
alat bantu (misalnya pagar tempat tidur)
6. Fasilitasi melakukan pergerakan fisik
(misalnya ROM aktif/pasif)
7. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien meningkatkanpergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedurmobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (misalnya duduk
ditempat tidur, duduk disisi tempattidur
dan pindah dari tempat tidur ke kursi)

2 Defisit perawatan diri berhubungandengan (SLKI L.11103. Hal 81) Dukungan perawatan diri (SIKI. I
gangguan neuromuskular (SDKI D.0109. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 11348. Hal 36)
Hal 240) 3x24 jam, diharapkan kebutuhan mandiri klien Observasi
terpenuhi, dengan kriteria hasil: 1. Identivikasi kebiasaan aktivitas
1. Kemampuan mandi meningkat dengan skor perawatan diri
(5) 2. Monitor tingkat kemandirian
2. Kemampuan mengenakan pakaian 3. Identiifikasi kebutuhan alat bantu
meningkat dengan skor (5) kebersihan diri, berpakaian, berhias dan
3. Kemampuan makan meningkat dengan skor makan
(5) Terapeutik
4. Kemampuan ketoilet (BAK/BAB) 4. Sediakan lingkungan yang terapeutik
meningkat dengan skor (5) (misalnya suasana hangat, rileks dan
5. Verbalisasi keinginan melakukan perawatan privasi)
diri meningkat dengan skor (5) 5. Siapkan keperluan pribadi (misalnya
6. Minat melakukan perawatan diri meningkat parfum, sikat gigi dan sabun mandi)
dengan skor (5) 6. Dampingi dalam melakukan perawatan
7. Mempertahankan kebersihan diri meningkat diri sampai mandiri
dengan skor (5) 7. Fasilitasi untuk menerima keadaan
8. Mempertahankan kebersihan mulut ketergantungan
meningkat dengan skor (5)
5. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak
mampu melakukan perawatan diri
6. Jadwalkan rutinitas perawatan diri.
Edukasi
1. Ajarkan melakukan perawatan dirisecara
konsisten sesuai kemampuan

3 Resiko gangguan perfusi jaringan serebral (SLKI L.02014. Hal 86) Manajemen peningkatan tekanan
berhubungan peningkatan tekanan Setelah dilakukan tindakan keperawatan intracranial (SIKI I. 06194. Hal 512)
intracranial selama 3x24 jam diharapakan gangguan
(SDKI D.0017. Hal 51) Observasi
perfusi jaringan serebral dapat teratasi dengan
1. Identifikasi penyebab peningkatanTIK
kriteria hasil : 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan
1. Tingkat kesadaran meningkat dengan TIK (misalnya tekanan darah
skor (5) meningkat, tekanan nadi melebar,
2. Tekanan intracranial meningkat dengan bradikardia, pola nafas ireguler,
skor (5) kesadaran menurun)
3. Sakit kepala menurun dengan skor (5) 3. Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
4. Kecemasan menurun dengan skor (5) 4. Monitor CVP (central venous pressure)
5. Demam menurun dengan skor (5) 5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Tekanan darah sistolik dan diastolik 6. Monitor PAP
membaik dengan skor (5) 7. Monitor ICP (intra cranial pressure)
7. Reflek saraf membaik dengan skor (5)
8. Monitor CPP (cerebral perfucion
pressure)
9. Monitor gelombang ICP
Terapeutik
1. Meminimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari maneuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEEP
6. Hindari penggunaan cairan
IV hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
8. Pertahankan suhu tubuh
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian sedasi dananti
konvulsan, jika perlu
10. Kolaborasi pemberian diuretik
osmosis

4 Resiko gangguan integritas kulit (SLKI L.14125 Hal 33) Perawatan integritas kulit (SIKI I.11353
berhubungan dengan immobilisasi fisik Setelah dilakukan tindakan perawatan selama Hal 116)
(SDKI D.139. Hal 300) 3x24 jam, diharapkan klien mampu
mengetahui dan mengontrol resiko gangguan Observasi
integritas kulit dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab gangguan
1. Elastisitas meningkat dengan skor (5) integritas kulit (misalnya perubahan
2. Perfusi jaringan meningkat dengan skor (5) sirkulasi, perubahan status nutrisi,
3. Nyeri tekan menurun dengan skir (5) penurunan
4. Kemerahan menurun dengan skorn (5) 2. kelembaban, suhu lingkungan ekstrim
dan penurunan mobilitas)
5. Jaringan parut menurun dengan skor (5) Terapeutik
6. Nekrosis menurun dengan skor (5) 1. Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah
baring
2. Lakukan pemijatan pada area
penonjolan tulang
3. Bersihkan perineal dengan air hangat
4. Gunakan produk berbahan petroleum
dan minyak pada kulit kering
5. Gunakan produk berbahan ringan/
alami dengan hipoalergik pada kulit
sensitif
6. Hindariproduk berbahan dasar alcohol
pada kulit kering
Kolaborasi
7. Anjurkan menggunakan
pelembab (misalnya lotion, serum)
8. Anjurkan minum air yang cukup
9. Anjurkan meningkatkan asupannutrisi
10. Anjurkan meningkatkan asupanbuah
dan sayur
11. Anjurkan menghindari terpaparsuhu
ekstrim
12. Anjurkan mandi dengan
menggunakan sabun secukupnya
Intervensi Post Operasi

No Diagnosa Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil

1 Bersihan jalan nafas tidak efektif (SLKI L.01001 Hal. 18) Manajemen jalan nafas (SIKI
berhubungan dengan penumpukan secret Setelah dilakukan tindakan perawatan selama I.01001 Hal 186)
pada jalan nafas 3x24 jam, diharapkan berseihan jalan nafas Observasi
(SDKI D.001 Hal. 18) kembali efektif dengan kriteria hasil : 1. Monitor pola nafas (frekuensi,
1. Frekuensi nafas membaik dengan skor (5) kedalaaman dan usaha nafas)
2. Pola nafas membaik dengan skor (5) 2. Monitor bunyi nafas tambahan
3. Diapnea menurun dengan skor (5) (misalnya gurgling,
4. Produksi sputum menurun dengan skor (5) mengi,wheezing, ronki kering)
5. Kesulitan bicara menurun dengan skor (5) 3. Monitor sputum (jumlah, warna dan
aroma).
Terapeutik
4. Pertahankan kepatenan jalan nafas
dengan head-tlit dan chin- lift (jaw-
thrust jika curiga traumaservikal)
5. Posisikan semi fowler
6. Berikan minuman hangat
7. Lakukan fisioterapi dada
8. Lakukan penghisapan lender
kurang lebih 15 detik
9. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan endotrakeal
10. Berikan oksigen
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari
2. Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran,mukolitik.

2 Penurunan kapasitas adaptif intracranial (SLKI L.02014. Hal 86) Manajemen peningkatan tekanan
berhubungan dengan edema cerebral Setelah dilakukan tindakan keperawatan intracranial (SIKI I. 06194. Hal 512)
(SDKI D.0066. Hal 149) selama 3x24 jam diharapkan kapasitas
intracranial meningkat dengan kriteria hasil : Observasi
1. Tingkat kesadaran meningkat dengan 1. Identifikasi penyebab peningkatanTIK
skor (5) 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan
2. Tekanan intracranial membaik dengan TIK (misalnya tekanan darah
skor (5) meningkat, tekanan nadi melebar,
3. Sakit kepala menurun dengan skor (5) bradikardia, pola nafas ireguler,
4. Tekanan nadi menurun dengan skor (5) kesadaran menurun)
5. Tekanan darah sistolik dan diastolik 3. Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
membaik dengan skor (5) 4. Monitor CVP (central venous pressure)
5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Pola nafas membaik dengan skor (5)
6. Monitor PAP
7. Reapon pupil membaik dengan skor (5)
7. Monitor ICP (intra cranial
8. Refleks neurologis membaik dengan skor
pressure)
(5)Mempertahankan kebersihan mulut 8. Monitor CPP (cerebral perfucion
meningkat dengan skor (5)
pressure)
9. Monitor gelombang ICP
Terapeutik
1. Meminimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari maneuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEEP
6. Hindari penggunaan cairan
IV hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
8. Pertahankan suhu tubuh
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian sedasi dananti
konvulsan, jika perlu
10. Kolaborasi pemberian diuretik
osmosis

3 Nyeri akut berhubungan dengan lukainsisi (SLKI L.08066. Hal 145) Manajemen nyeri (SIKI I.08238. Hal 201)
post operasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan
(SDKI D.0077. Hal 172) selama 3x24 jam diharapkan nyeri berkurang Observasi
dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun dengan skor (5)
2. Identifikasi skala nyeri
2. Ekspresi merings menurun dengan skor (5)
3. Identifikasi respon nyeri nonverbal
3. Gelisah menurun dengan skor (5)
Terapeutik
4. Frekuensi nadi membaik dengan skor (5)
4. Berikan tehnik nonfarmakologis untuk
5. Pola nafas membaik dengan skor (5)
6. Tekanan darah membaik dengan skor (5) mengurangi rasa nyeri
7. Pola tidur membaik dengan skor (5)
5. kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
6. fasilitasi istirahat dan tidur
7. pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri.
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode
danpemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secaramandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgesic secara tepat
5. Ajarkan tehnik nonfarmakologisuntuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
6. Kolaborasi pemberian analgesic

4 Resiko infeksi berhubungan dengan (SLKI L.14137 Hal. 139) Pencegahan infeksi (SIKI I.14539. Hal
prosedur invasif post operasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 278)
(SDKI D.0142.Hal 304) 3x24 jam di harapkan resiko infeksi tidak
terjadi dengan kriteria hasil : Observasi
1. Monitor tanda dan gejala infeksilokal
1. Demam menurun dengan skor (5)
dan sistemik
2. Kemerahan menurun dengan skor (5)
Terapeutik
3. Nyeri menurun dengan skor (5)
2. Batasi jumlah pengunjung
4. Bengkak menurun dengan skor (5)
3. Berikan perawatan kulit pada areaedema
5. Cairan berbau pada luka menurun dengan
skor (5)
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
5. Pertahankan tehnik aseptic padapasien
beresiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangandengan
benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara memeriksa kondisiluka
atau luka operasi
5. Anjurkan meningkatkan asupannutrisi
6. Anjurkan meningkatkan asupancairan
Kolaborasi
Kolaborasi dalam pemberianantibiotic
2.3.4 Implementasi
Implementasi merupakan tahap ke empat dalam proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat
menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan
keperawatan terhadap pasien. Perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya
bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pasien, teknik komunikasi, kemampuan
dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam
memahami tingkat perkembangan pasien.

2.3.5 Evaluasi
Evaluasi dimaksudkan yaitu untuk pencapaian tujuan dalam asuhan
keperawatan yang telah dilakukan pasien. Evaluasi merupakan langkah terakhir
dari proses keperawatan dan berasal dari hasil yang ditetapkan dalam rencana
keperawatan.
Daftar Pustaka
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC
Dosen Keperawatan Kritis Indonesia. 2017. Rencana Asuhan Keperawatan Medical-
Bedah Diagnosis NANDA –I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta
(ID): EGC
Guyton dan Hall, 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed-12. Jakarta (ID) : EGC
Junquiera dan Carneiro, 2007. Histologi Dasar ed- 5. Jakarta (ID) : Gramedia
Pustaka
Utama
Moore dan Agur, 2013. Anatomi Berorientasi Klinis dialih bahasakan oleh Hartanto.
Jakarta (ID) : Erlangga
Prise dan Wilson. 2012. Pathofiologis : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.
Jakarta (ID): EGC
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan
Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan
Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Rochani, Siti, 2010, Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat Bedah
Saraf Indonesia, Surabaya
Susilo, Hendro, 2010, Simposium Stroke, Patofisiologi Dan Penanganan Stroke,
Suatu Pendekatan Baru Millenium III, Bangkala
Tarwoto, W. &. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salamba Medika.
Traumatic Brain Injury in Adults. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation
and Emergency Medicine. 20 (12): 1-15. doi: 10.1186/1757- 7241-20-12.
.

Anda mungkin juga menyukai