Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Masa kehamilan

merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh

kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Kekurangan

gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR),lahir premature,
sehingga bisa berdampak pada rendahnya status gizi pada bayi. Bayi merupakan salah satu

kelompok rawan gizi. Kekurangan gizi pada masa bayi dapat menimbulkan gangguan tumbuh

kembang secara fisik, mental, social, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa

sampai anak menjadi dewasa. Selain itu kekurangan gizi dapat menyebabkan terjadinya

penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Badan kesehatan dunia

WHO dan UNICEF menyatakan terjadinya gagal tumbuh akibat kurang gizi pada masa bayi

mengakibatkan terjadinya penurunan IQ 11 point lebih rendah dibanding anak yang tidak kurang

gizi.

Gizi kurang dan gizi buruk saat ini terjadi hampir di semua Kabupaten dan Kota di

Indonesia yaitu 110 Kabupaten/Kota dari 440 Kabupaten/Kota di Indonesia dengan prevalensi di

atas 30%. Kondisi gizi buruk berpotensi terhadap angka kematian. Hal ini dilihat dari tingginya

jumlah kasus gizi buruk yang meninggal di Indonesia selama tahun 2005 yaitu 286 balita. Angka

ini diperkirakan lebih tinggi dari yang sebenarnya karena data ini berdasarkan laporan yang

terdata dari 7 propinsi. Kasus-kasus kematian balita akibat gizi buruk yang tidak dilaporkan

diyakini masih banyak.


Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang melalui

pemberian ASI dan MPASI. Pada bayi pemberian ASI dan MPASI yang tidak benar ditengarai

sebagai penyebab tingginya angka kesakitan dan gizi kurang. Manfaat ASI untuk pertumbuhan

dan perkembangan bayi sudah dibuktikan secara akurat yaitu untuk imunitas tubuh, ekonomis,

psikologis, praktis dan lain-lain. Pemberian ASI secara eksklusif yaitu pemberian ASI saja tanpa

makanan lain direkomendasikan selama 6 bulan. Sedangkan MPASI direkomendasikan setelah

usia bayi 6 bulan seiring dengan bertambahnya kebutuhan gizi bayi dan menurunnya produksi

ASI.

Usia 0-24 bulan ( 1.000 hari pertama kehidupan) merupakan masa pertumbuhan dan

perkembangan yang pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode

kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi memperoleh asupan gizi yang

sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila pada masa ini bayi tidak memperoleh

asupan makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode

kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya.

Gizi yang terkandung pada seorang ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi

pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama

hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat dengan berat badan normal. Dengan

kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan

selama hamil.

Cara yang dapat digunakan untuk menilai kualitas bayi adalah dengan mengukur berat bayi pada

saat lahir. Seorang ibu hamil akan melahirkan bayi yang sehat bila tingkat kesehatan dan gizinya

berada pada kondisi yang baik. Namun sampai saat ini masih banyak ibu hamil yang mengalami

masalah gizi khususnya gizi kurang seperti Kurang Energi Kronis (KEK) dan Anemia gizi. Hasil

SKRT 1995 menunjukkan bahwa 41 % ibu hamil menderita KEK dan 51% yang menderita
anemia mempunyai kecenderungan melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Anemia atau kurang darah sering dikaitkan dengan kondisi lemah, letih, dan lesu akibat

kurangnya kandungan zat besi di dalam darah. Anemia bisa disebabkan kondisi tubuh

memerlukan zat besi dalam jumlah tinggi, seperti saat hamil, menyusui, masa pertumbuhan anak

dan balita, serta masa puber. Sebab lainnya adalah terjadinya gangguan penyerapan zat besi di

dalam tubuh.

Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar

terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka

mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat

persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami

gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam

tekanan lingkungan yang baru. Sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan

perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga akan

meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran

pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku dan lain sebagainya (Depkes RI,

1998).

Sejarah klasik tentang dampak kurang gizi selama kehamilan terhadap outcome
kehamilan telah didokumentasikan oleh (Stein & Susser 1975). Masa paceklik di Belanda "The
Dutch Fainine" yang berlangsung pada tahun 1944-1945, telah membawa dampak yang cukup
serius terhadap outcome kehamilan. Fenomena the Dutch Famine menunjukkan bahwa bayi-bayi
yang masa kandungannya (terutama trimester 2 dan 3) jatuh pada saat-saat paceklik mempunyai
rata-rata berat badan, panjang badan, lingkar kepala, dan berat placenta yang lebih rendah
dibandingkan bayi-bayi yang masa kandungannya tidak terpapar masa paceklik dan hal ini
terjadi karena adanya penurunan asupan kalori, protein dan zat gizi essential lainnya. (Stein &
Susser 1975).
Saat ini kualitas Indonesia dibanding negara-negara lain cukup memprihatinkan.
Berdasarkan laporan UNDP, Human Development Index (HDI) Indonesia pada 2006, menempati
peringkat 106 dari 173 negara yang diteliti. Bahkan rangking Indonesia jauh di bawah negara
ASEAN lainnya. Padahal pada 1995, Indonesia berada pada rangking ke-104. Ibu mempunyai
andil yang amat besar dalam meningkatkan kualitas Indonesia yang saat ini masih terpuruk.
Terdapat tiga masa penting dalam kehidupan manusia yang ternyata menjadi penentu kualitas
hidup manusia selanjutnya yaitu masa janin, masa menyusui 0-2 tahun dan masa anak berumur
4-6 tahun. Peran ibu sangat dominan dan menentukan pada masa penting tersebut.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
            Untuk mengetahui pengaruh akibat dari kekurangan gizi pada ibu hamil terhadap janin
dan kondisi kesehatannya pada usia dewasa.

2.  Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui penyakit kronis pada usia dewasa akibat kurang gizi pada janin
b. Untuk mengetahui kebutuhan zat gizi ibu hamil
           
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
Kehamilan merupakan masa awal yang penting dan menentukan selanjutnya. Kualitas
janin yang dilahirkan sangat ditentukan kualitas kehamilan yang dijalankan ibu selama
kehamilan. Sesayang apapun sang ayah pada janin namun hanya ibulah yang mempunyai
hubungan langsung dengan janin karena secara biologis anak dikandung selama 9 bulan di
rahim ibu dan setelah dilahirkan akan disusui dan diasuh oleh ibu. Melalui ibulah anak
mendapatkan nutrisi untuk kehidupannya, untuk pembentukan otaknya, untuk menumbuhkan
seluruh organ tubuhnya. Bahkan melalui komunikasi ibu dan janin yang berkualitas selama
kehamilan akan menstimulasi kecerdasan intelektual, emosi dan spiritual anak. Selama
sembilan bulan ibu tak terpisahkan dari janinnya. Setiap helaan nafasnya, setiap suara yang
diucapkannya, setiap pangan yang dikonsumsinya akan langsung diterima janin dalam
kandungan.
Michael-Crawford, seorang profesor asal skotlandia yang telah meneliti lebih dari
sepuluh tahun tentang pengaruh nutrisi pada pertumbuhan otak bayi dan janin menyatakan:
"Setiap kali kami menemukan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), lingkar
kepala kecil dan intelegensi rendah, kami pasti menemukan ibunya mengalami kekurangan
sejumlah besar zat gizi, sebelum dan selama kehamilan. Janin cukup umur, bukan prematur,
yang BBLR mengindikasikan kehamilan yang kurang berkualitas. Menurut Depkes, janin
dikategorikan BBLR jika berat lahirnya di bawah 2500 gram. Kasus BBLR masih cukup
tinggi di Indonesia berkisar antara 7-16 persen selama periode 1986-1999.
Demikian juga dari studi terserak yang menunjukkan angka BBLR antara 10-16 persen.
Jika proporsi ibu hamil yang akan melahirkan bayi adalah 2,5 persen dari total penduduk,
maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 dari 5 juta bayi lahir dengan kondisi
BBLR. Kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang pada ibu sebelum dan selama
kehamilan.
Berbagai penelitian sudah membuktikan dampak negatif BBLR terhadap kualitas bayi
selanjutnya. IQ anak BBLR pada usia 6-8 tahun lebih rendah sekitar 10-13 point dibandingkan
anak seusianya dengan berat lahir normal dan juga menunjukan kemampuan dasar yang rendah
dalam membaca huruf dan berhitung bahkan juga ditemukan anak BBLR dapat menderita
gangguan neurologik seperti hiperaktif.
 Pertumbuhan bayi BBLR lebih lambat dibanding bayi normal sehingga anak tumbuh
menjadi lebih kurus dan lebih pendek. Tidak hanya berdampak pada kecerdasan dan hambatan
pertumbuhan, ternyata bayi BBLR juga mempunyai respon imunitas yang sangat rendah
sehingga bayi BBLR lebih rentan sakit.
Dampak yang serius dapat berkesinambungan sampai usia dewasa. Penyakit kronik
degeneratif seperti diabetes dan jantung koroner pada usia dewasa ternyata telah diprogram sejak
janin dalam kandungan dan hasil penelitian Barker (1996) menemukan ternyata bayi BBLR
mempunyai resiko 2-18 kali lebih besar dibanding bayi lahir dengan berat normal. Keadaan gizi
ibu yang kurang baik sebelum hamil dan pada waktu hamil cenderung melahirkan BBLR,
bahkan kemungkinan bayi meninggal dunia. Sejak anak dalam kandungan hingga berumur 2
tahun merupakan masa emas yang merupakan masa kritis untuk tumbuh kembang fisik, mental
dan sosial.
Pada masa ini tumbuh kembang otak paling pesat (80%) yang akan menentukan kualitas
SDM pada masa dewasa. Sehingga potensi anak dengan IQ yang rendah sangat memungkinkan.
Lebih jauh lagi dampak yang diakibatkan adalah meningkatnya kejadian kesakitan bahkan
kematian. Mereka yang masih dapat bertahan hidup akibat kekurangan gizi yang bersifat
permanen kualitas hidup selanjutnya mempunyai tingkat yang sangat rendah  dan tidak dapat
diperbaiki meskipun pada usia berikutnya kebutuhan gizinya sudah terpenuhi. Istilah “generasi
hilang” terutama disebabkan pada awal kehidupannya sulit memperoleh pertumbuhan dan
perkembangan secara optimal.
Kecerdasan, penyakit dan gangguan fisik manusia setelah lahir, yang merupakan bagian
dari kualitas SDM ternyata telah diprogram sejak janin. Ibu yang berkualitas yang didukung
dengan suami dan keluarga yang penuh kasih, program pemerintah yang peduli pada ibu hamil
serta lingkungan yang sehat akan menghasilkan bayi yang berkualitas yang pada akhirnya
bermuara pada peningkatan kualitas SDM.
Perubahan pada status gizi dan endokrin janin akan mengakibatkan perkembangan yang
secara permanen yang dapat mengubah anatomi, fisiologi dan metabolisme sehingga dapat
menjadi faktor awal untuk terjadinya penyakit kardiovaskular, matabolik dan endoktrin pada usia
dewasa.
Jaringan dan organ tubuh janin sangat ditentukan oleh status gizi ibu yang baik pada waktu
hamil sehingga pada saat bayi dilahirkan dalam keadaan normal dan dapat mencegah sedini
mungkin terjadinya penyakit-penyakit yang timbul pada usia dewasa. Sebagai contoh berat
badan lahir rendah ada hubungannya dengan peningkatan terjadinya kasus penyakit jantung
koroner dan kelainan yang berkaitan seperti stroke, hipertensi dan diabetes tipe 2.
Keadaan dimana janin tidak mendapatkan kebutuhan gizi yang sesuai dengan kebutuhannya
padahal di saat itulah periode awal kehidupan yang kritis dan sensitif yang dapat memberikan
efek yang permanen terhadap anatomi, fisiologi dan metabolisme janin di dalam kandungan ibu,
maka oleh karena itu perlunya program janin yang terkontrol, baik mencakup keseimbangan diet
selama kehamilan maupun keadaan status gizi ibu itu sendiri.
Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa perubahan status gizi ibu dapat memberikan
efek jangka panjang terhadap bayi yang terkait pada penyakit kronis pada usia dewasa. Efek
jangka panjang perubahan status gizi ibu meliputi perubahan pada struktur dan fungsi vaskular,
sekresi insulin, perkembangan renal dan metabolisme glukosa serta kolesterol.
Pada kekurangan asupan mineral seng (zinc) dalam kehamilan misalnya, dapat berakibat
gangguan signifikan pertumbuhan tulang. Pemberian asam folat tidak saja berguna untuk
perkembangan otak sejak janin berwujud embrio, tetapi menjadi kunci penting pertumbuhan
fungsi otak yang sehat selama kehamilan (Christiansen, M. and E. Garne 2005).
Kasus-kasus gangguan penutupan jaringan saraf tulang belakang (spina bifida) dan
kondisi dimana otak janin tidak dapat terbentuk normal (anencephaly) dapat dikurangi hingga
50% dan 85% jika ibu hamil mendapat asupan cukup asam folat sebelum dia hamil. Ibu hamil
harus mendapatkan asupan vitamin yang cukup sebelum terjadinya kehamilan karena
pembentukan otak janin dimulai pada minggu-mingu pertama kehamilan, justru pada saat Sang
ibu belum menyadari dirinya telah hamil (Obeid, R. and W. Herrmann 2005)( Wen, S. W. and
M. Walker 2005).
Pada kasus-kasus dimana janin mengalami defisiensi asam folat, sel-sel jaringan utama
(stem cells) akan cenderung membelah lebih lambat daripada pada janin yang dikandung ibu
hamil dengan asupan asam folat yang cukup. Sehingga stem cells yang dibutuhkan untuk
membentuk jaringan otak juga berkurang. Selain itu, sel-sel yang mati juga akan bertambah, jauh
lebih besar daripada yang seharusnya (Santoso, M. I. and M. S. Rohman, 2005).
Meski dalam jumlah terminimum sekalipun, keterbatasan nutrisi kehamilan (maternal)
pada saat terjadinya proses pembuahan janin dapat berakibat pada kelahiran prematur dan efek
negatif jangka panjang pada kesehatan janin. Sekitar 40 % wanita yang melahirkan prematur
disebabkan oleh faktor yang tak diketahui (idiopatik). Penelitian pada hewan uji kemudian
membuktikan adanya korelasi antara kelahiran prematur dengan kekurangan nutrisi sebelum
kehamilan dimulai. Pada kehamilan normal, janin sendiri yang akan menentukan kapan dirinya
akan memulai proses kelahiran. Pada hewan uji, telah diketahui kalau proses ini dimulai dari
aktivasi kelenjar adrenal untuk memproduksi akumulasi mendadak cortisol di dalam darah.
Akibatnya, terjadilah proses berantai yang berujung pada proses kelahiran, dan hal yang sama
pula dianggap terjadi pada manusia (Challis, J. R, S. J. Lye, et al. 2001).
Problemnya adalah jika kehamilan terjadi prematur. Pada kasus ini paru-paru dan organ-
organ penting hanya memilik kemampuan minimum untuk berkembang dalam rahim guna
mempersiapkan kehidupan di luar rahim nantinya. Para peniliti mempercayai bahwa cortisol dari
kelenjar adrenal juga memacu pematangan dari sistem organ tubuh janin seperti paru-paru,
dimana penting bagi bayi agar dapat langsung bernafas dengan mengembangkan paru-parunya
seketika lahir. Jika tidak terdapat cukup cortisol untuk mematangkan paru-paru di dalam rahim,
bayi yang lahir akan mengalami sindrom gawat nafas (respiratory distress syndrome) dan
berlanjut pada keadaan asfiksia (lemas) dan kemudian meninggal. Ini adalah momok
menakutkan dari kelahiran prematur (Challis, J. R., S. J. Lye, et al. 2001).
Status gizi wanita merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Rendahnya status
gizi dapat mengakibatkan kualitas fisik yang rendah dan berpengaruh pada efisiensi reproduksi.
Semakin tinggi status gizi seseorang, maka semakin baik pula kondisi fisiknya, sehingga secara
tidak langsung mempengaruhi efisiensi reproduksi. Status gizi wanita, terutama pada usia subur,
merupakan elemen pokok dari kesehatan reproduksi sebelum dan selama hamil yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dikandungnya, yang pada akhirnya
berdampak terhadap masa dewasanya. Bila status gizi ibu normal sebelum dan selama hamil
kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal
bila tingkat kesehatan (kondisi fisik) dan gizinya berada pada kondisi yang baik, karena janin di
dalam kandungan merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dan lingkungan introuterin
(Krisdinamurtirin, 1990).
Pada umumnya, ibu hamil dengan kondisi kesehatan yang baik, dengan sistem reproduksi
yang normal, tidak sering menderita sakit dan tidak ada gangguan pada masa pra-hamil maupun
pada saat hamil, akan menghasilkan bayi yang lebih besar dan sehat dari pada ibu yang
kondisinya tidak seperti itu. Kurang gizi kronis pada masa anak-anak dengan atau tanpa sakit
yang berulang, akan menyebabkan bentuk tubuh yang stunting atau kuntet pada masa dewasa.
Ibu yang kondisi seperti ini sering melahirkan bayi BBLR, vitalitas rendah dan kematian tinggi,
lebih lagi jika si ibu menderita anemia. Perbaikan gizi dan kesehatan pada ibu-ibu dinegara maju
terlihat dalam pertambahan tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) orang dewasa dibandingkan
dengan negara berkembang. Keadaan ini mempengaruhi berat lahir bayi yang berbeda secara
bermakna (Soetjiningsih, 1998).
Salah satu teori yang menjelaskan tentang pengaruh status gizi ibu hamil terhadap janin
yang dikandungnya adalah teori yang dikenal dengan nama “Fetal Programming”. Menurut
teori tersebut, seorang ibu hamil yang mengalamimalnutrisi atau kekurangan gizi akan
menyebabkan fetus yang dikandungnya mendapat asupan makanan yang kurang terhadap
pertumbuhannya. Ibu yang kurang gizi pada umumnya mempunyai kapasitas fisik yang kurang
optimal yang akan berpengaruh terhadap kapasitasnya dalam memberikan pelayanan secara
optimal pada keluarga terutama janin yang dikandungnya. Hal ini dapat menimbulkan penyakit
yang kronis yang diderita si kecil pada masa depan.Penyakit penyakit seperti jantung koroner,
hipertensi, kolesterol, gangguan toleransi glukosa dan diabetes biasa ditemui dari para bayi yang
dilahirkan oleh para ibu yang mengalami masalah malnutrisi pada masa kehamilan. Saat seorang
wanita menjalani kehamilan, akan terjadi perubahan fisiologis, berat badan dan basal
metabolisme tubuh akan meningkat. Bersamaan itu, akan terjadi mekanisme adaptasi di dalam
tubuh ibu. Penambahan berat badan di masa akhir kehamilan biasanya disebabkan karena
pertumbuhan fetus (e.g. 3 kg), pertumbuhan ditubuh ibu yang meliputi uterus, plasenta, air
ketuban, air dan darah (e.g. 4 kg) dan persediaan lemak (e.g. 3 kg) (Inayati, 2006).
Di Negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah gizi masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang utama dan merupakan penyebab kematian ibu dan anak secara tidak
langsung yang sebenarnya masih dapat dicegah. Angka kematian ibu dan bayi serta bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) yang tinggi pada hakekatnya juga ditentukan oleh status gizi
ibu hamil. Ibu hamil dengan status gizi buruk atau mengalami KEK (kurang energi kronis)
cenderung melahirkan bayi BBLR dan dihadapkan pada resiko kematian yang lebih besar
dibanding dengan bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan berat badan yang normal. Beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap berat badan bayi antara lain faktor demografi, perilaku dan
lingkungan, pelayanan medis dan faktor biomedis yaitu berat badan ibu, tinggi badan ibu, lingkar
lengan atas (LILA) ibu, umur ibu, paritas, riwayat kelahiran terdahulu, kadar Hemoglobin (Hb)
dan tekanan darah ibu sewaktu hamil (Latief, 1997).
Mahadevan (1986) mengatakan bahwa kondisi psikologis status gizi, perubahan berat
badan ibu dan pertumbuhan fisiknya berpengaruh besar pada hasil dari kehamilannya dan pada
akhirnya berpengaruh pada kelangsungan hidup bayi tersebut.
Selama ini cara yang dipergunakan untuk mengukur status gizi ibu hamil atau merupakan
indikator status gizi ibu hamil adalah pertambahan berat badan selama kehamilan, yang berkisar
pada masa tubuh ibu sebelum hamil. Pundyastuti (1995) menyatakan bahwa berat badan bayi
dipengaruhi pula oleh status gizi ibu.
Bayi Berat Lahir Rendah dipengaruhi dari beberapa faktor.   Faktor-faktor yang berkaitan
dengan ibu seperti: umur ibu, umur kehamilan, paritas, berat badan dan tinggi badan, status gizi
(nutrisi), anemia, kebiasaan minum alkohol dan merokok, penyakit-penyakit keadaan tertentu
waktu hamil (misalnya anemia, perdarahan dan lain-lain), jarak kehamilan, kehamilan ganda,
riwayat abortus (Rochjati, et al, 1986)
.
B.  Pengamatan ekologis
            Pada permulaan abad ke 20, insiden Penyakit Jantung Koroner meningkat dengan tajam
di negara-negara Barat dan menjadi penyebab kematian yang paling sering ditemukan. Di
banyak negara Barat, peningkatan yang tajam tersebut diikuti oleh penurunan insiden selama
beberapa dasawarsa terakhir yang bukan karena oleh perubahan gaya hidup orang dewasa.
            Sebuah petunjuk penting bahwa penyakit jantung koroner mungkin berawal pada masa
perkembangan janin datang dari penelitian terhadap angka kematian di antara bayi-bayi baru
lahir di Inggris pada awal tahun 1900. Penyebab kematian bayi baru lahir pada waktu itu adalah
berat badan lahir rendah (BBLR). Angka kematian dalam periode bayi yang baru lahir sangat
berbeda antara bagian negara yang satu dengan yang lainnya dan angka tertinggi terlihat pada
beberapa kota industri di sebelah utara dan di daerah pedesaan yang lebih miskin pada kawasan
utara dan barat Inggris.
            Pola geografis angka kematian tersebut sangat mirip dengan luasnya variasi yang terdapat
saat ini pada angka kematian karena penyakit jantung koroner, yaitu variasi yang membentuk
salah satu aspek terbaginya permasalahan kesehatan antara kawasan utara dan selatan yang terus
berlanjut di Inggris.
            Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari pengamatan ini adalah bahwa rendahnya
angka pertumbuhan sebelum lahir sangat berkaitan dengan terjadinya kasus penyakit jantung
koroner pada kehidupan dewasa. Pandangan mengenai keadaan terjadinya kekurangan gizi pada
janin dapat mempengaruhi patogenesis penyakit jantung koroner bukanlah pandangan yang baru.

1.  Penelitian tentang berat badan lahir rendah dengan penyakit jantung koroner

            Penelitian yang dilakukan di Hertfordshire, Inggris mengenai pria dan wanita yang lahir
dengan ditimbang berat badannya, menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa mereka yang
mempunyai berat badan lahir rendah mengalami peningkatan angka kematian karena penyakit
jantung koroner pada usia dewasa. Sedangkan sebaliknya angka kematian karena penyakit
jantung koroner mengalami penurunan secara progresif dengan terjadinya peningkatan berat
badan lahir pada pria maupun wanita.
            Penelitian lainnya yang dilakukan di Sheffield, Inggris terhadap 1.586 pria dalam kurun
waktu 1907-1925, menunjukkan bahwa anak-anak yang bertubuh kecil pada saat lahir karena
gangguan pertumbuhan dan bukan karena lahir prematur mengalami peningkatan terjadinya
penyakit jantung koroner.
            Berdasarkan hasil penelitian tersebut telah membuat pandangan bahwa pertumbuhan
janin yang rendah berkaitan dengan terjadinya kasus penyakit jantung koroner pada usia dewasa
dapat diterima secara luas. Sebagai contoh ada penelitian mengenai adanya korelasi antara
BBLR dan PJK pada usia dewasa dilakukan di Caerphilly, South Wales terhadap 1.200 orang
laki-laki dan 70.297 orang perawat di Amerika Serikat. Penelitian lainnya dilakukan di Mysore,
India Selatan terhadap 517 orang pria dan wanita dengan hasil prevalensi PJK pada pria dan
wanita yang berumur 45 tahun atau lebih adalah 15 % dengan berat badannya 2,5 kg atau kurang
pada waktu lahir dan 4 % pada mereka yang berat badannya 3,2 kg atau lebih.

3.      Jumlah sel darah putih yang tinggi untuk bayi lahir dengan berat rendah
dapat menjelaskan Resiko Penyakit Jantung

                        Penelitian yang dilakukan oleh peneliti studi Dexter Canoy, MD, PhDyang


diterbitkan dalam Journal of Clinical Endocrinology & Metabolismmenunjukkan bahwa bayi
lahir dengan berat rendah dapat meningkatkan resiko penyakit jantung dimasa dewasa, dan
sekarang studi yang baru dapat membantu menjelaskan mengapa itu dapat terjadi. Peneliti
Inggris dari University of Manchester ini melaporkan bahwa orang dewasa muda dalam studi
mereka yang saat lahir berat badannya rendah dan selama masa kanak-kanak memiliki jumlah sel
darah putih yang tinggi, mengindikasikan terjadinya peradangan, daripada  dewasa muda yang
lahir dengan berat normal.  Peradangan yang diyakini memainkan peranan penting dalam
terjadinya penyakit jantung dan vascular serta penyakit kronis lainnya seperti diabetes. Penelitian
ini dilakukan terhadap 5619 penduduk dari utara Finlandia yang baru lahir sampai usia 31 tahun,
dengan menggunakan data dari studi nasional dari bayi yang lahir pada tahun 1966.Mereka
membandingkan berat badan saat lahir dan pada usia 1 tahun untuk menghitung sel darah putih
sampai pada usia 31 tahun.  Bayi dengan berat badan rendah dan mereka yang pertumbuhannya
lebih awal mempunyai jumlah sel darah putih tertinggi. Bahkan penelitian ini juga
menggunakan laporan faktor resiko penyakit jantung dan diabetes seperti tekanan darah,
kolesterol, daya tahan insulin, kegemukan, dan merokok.

4.      ' Thrifty Phenotype' Hipotesis

Dengan pengamatan pada pertumbuhan janin yang buruk berkontribusi untuk penyakit
kronis dimasa dewasa ini pertama kali diusulkan pada tahun 1980-an oleh peneliti Inggris David
J. Barker dari Universitas Southampton.
Biasanya dikenal sebagai " thrifty phenotype" hypothesis, pikirannya adalah adaptasi
metabolisme yang dilakukan dalam menanggapi kehilangan gizi yang terjadi secara permanen,
mengarah ke peningkatan resiko untuk berbagai penyakit kronis dimasa dewasa. 
Puluhan skala besar studi yang dilakukan di Inggris, Amerika Serikat dan di tempat lain
yang menunjukkan hubungan antara pertumbuhan janin yang buruk dan penyakit jantung, stroke,
dan diabetes dalam masa dewasa (Daniel T., DrPH,)
Lackland, yang telah bekerja sama dalam studi dengan Barker pada beberapa
pemeriksaan berat lahir dan penyakit kronis, mengatakan bahwa studi oleh Canoy dan koleganya
membuat hal yang menarik bahwa peradangan memainkan peran penting dalam proses
terjadinya peningkatan kasus penyakit jantung koroner. Lackland adalah seorang profesor dari
Kedokteran epidemiologi di University of South Carolina di Charleston. 
"Studi secara konsisten menunjukkan bahwa bayi yang lebih kecil saat lahir, memiliki
resiko yang lebih besar," kata Lackland. "Itu tidak berarti bahwa seseorang yang lahir kecil itu
pasti akan ada tekanan darah tinggi atau akan memiliki stroke atau serangan jantung. Tapi bahwa
resiko mereka untuk keadaan ini mungkin lebih tinggi." 
5.      Proporsi tubuh saat lahir dengan penyakit kardiovaskular
            Ukuran panjang badan memungkinkan kita untuk membedakan bayi yang kurus dengan
bayi yang gemuk dan pendek.  Dengan ukuran lingkar kepala, bayi yang ukuran badannya kecil
jika dibandingkan dengan ukuran kepalanya sebagai akibat dari pertumbuhan otak dapat
dibedakan pula. Tubuh yang kurus, pendek dan kecil dianggap dapat mencerminkan perbedaan
adaptasi janin terhadap keadaan gizi kurang dan bayi-bayi tersebut memiliki konsekuensi jangka
panjang yang berbeda-beda.
            Angka kematian karena Penyakit Jantung Koroner lebih tinggi pada laki-laki yang saat
lahir memiliki ukuran panjang badan yang pendek. Angka kematian karena PJK pada kelompok
laki-laki dengan panjang ukuran 47 cm atau kurang adalah 138 orang berbanding 98 orang
demikian penelitian di Sheffield, Inggris. Tubuh yang kurus pada saat lahir berdasarkan hasil
pengukuran yang rendah juga memiliki keterkaitan dengan penyakit jantung koroner.
            Penelitian yang dilakukan di Helsinki, Finlandia menunjukkan bahwa meskipun berat
badan lahir rendah berkaitan dengan meningkatnya angka kematian karena PJK, namun terdapat
hubungan yang lebih erat pada tubuh yang kurus saat lahir khususnya pada anak laki-laki. Anak
laki-laki dengan tubuh kurus memiliki angka kematian dua kali lipat dari pada angka kematian
laki-laki dengan tubuh ideal.
            Dengan demikian pola proporsi tubuh saat lahir yang dapat mengakibatkan kematian
karena PJK dapat disimpulkan sebagai lingkar kepala yang kecil, tubuh yang pendek atau kurus
yang mencerminkan penurunan pertumbuhan janin. Pola proporsi tubuh yang kurus atau pendek
terhadap stroke juga dilaporkan tapi tidak memiliki korelasi  jika dibandingkan dengan hubungan
antara berat badan lahir rendah dengan stroke. Sebaliknya insiden stroke tampak meningkat pada
laki-laki yang memiliki rasio berat badan terhadap lingkar kepala yang rendah.
6.      Penelitian tentang berat badan lahir rendah dengan penyakit kardiovaskular dan
metabolik

a.      Hipertensi
Hubungan antara berat badan lahir rendah dan kenaikan tekanan darah pada usia kanak-
kanak dan dewasa banyak terjadi di seluruh dunia. Korelasi antara berat badan lahir rendah dan
kenaikan tekanan darah bergantung pada ukuran tubuh bayi yang kecil jika dilihat dari usianya
sesudah terjadinya penurunan pertumbuhan bayi dan bukanlah pada bayi yang lahir prematur.
Tekanan darah tinggi juga ditemukan pada bayi-bayi yang bertubuh kecil saat lahir tetapi
mengalami kelebihan berat badan pada usia dewasa.
Berat lahir merupakan ukuran kasar untuk menentukan pertumbuhan janin yang tidak
membedakan tubuh kurus atau pendek, perbedaan ukuran kepala ataupun variasi pada
keseimbangan antara besar janin dan plasenta
Sejumlah analisis yang dilaksanakan di Preston Inggris membagi du akelompok bayi
yang mengalami kenaikan tekanan darah. Kelompok pertama memiliki berat plasenta di bawah
rata-rata dan bertubuh kurus serta lingkar kepala di bawah rata-rata. Kelompok kedua memiliki
berat plasenta di atas rata-rata dan panjang badan yang lebih pendek jika dibandingkan dengan
lingkar kepala, bayi-bayi yang pendek cenderung bertubuh gemuk dan dapat memiliki berat lahir
di atas rata-rata.
Berbeda dengan korelasi antara ukuran lahir dan PJK, korelasi antara berat lahir dan
tekanan darah umumnya cukup erat sama seperti korelasi antara tubuh kurus serta pendek
terhadap tekanan darah. Korelasi antara tekanan darah, tubuh yang kurus dan pendek ditemukan
pada sebagian penelitian, tetapi tidak dijumpai pada sebagian penelitian yang lain. Dalam sebuah
penelitian terhadap orang muda di Adelaide, Australia tidak tampak korelasi antara tekanan
darah dan tubuh yang kurus serta pendek pada usia 8 tahun, namun korelasi tersebut baru terlihat
pada usia 20 tahun.
Kenaikan tekanan darah dengan meningkatnya berat plasenta juga ditemukan pada anak-
anak berusia 4 tahun di Salisbury, Inggris dan diantara anak-anak berusia 8 tahun di Adelaide,
Australia. Kendati demikian dalam beberapa penelitian terhadap anak-anak dan dewasa terdapat
ketidakkonsistenan pada korelasi antara pembesaran plasenta dan kenaikan tekanan darah.
Tekanan darah ibu juga memiliki korelasi dengan tekanan darah anaknya. Namun
korelasi antara ukuran serta proporsi tubuh pada saat lahir dan tekanan darah pada usia kanak-
kanan dan dewasa tidak tergantung pada tekanan darah ibu. Dengan demikian masih dapat
diperdebatkan bahwa korelasi antara BBLR dan kenaikan tekanan darah pada usia dewasa itu
mencerminkan suatu korelasi yang kemungkinan bersifat genetik antara tekanan darah ibu dabn
tekanan darah anaknya.
Penjelasan bahwa keadaan gizi kurang selama kehamilan yang dilakukan secara
eksperimental telah menimbulkan argumentasi yang menyanggah interpretasi adanya korelasi
antara BBLR dan tekanan darah ibu. Salah satu kemungkinan yang terjadi adalah bahwa
kenaikan tekanan darah selam hamil itu mencerminkan kegagalan sistem kardivaskular ibu
dalam beradaptasi terhadap kehamilannya, keadaan ini dapat mengurangi aliran darah
uteroplasenta dan pasokan nutrien ke tubug janin sehingga terjadi BBLR serta kenaikan tekanan
darah pada anaknya.

b.      Diabetes tipe 2
Insulin memiliki peran sentral dalam pertumbuhan janin sehingga kelainan pada
metabolisme glukosa serta insulin menunjukkan keterkaitan yang jelas antara pertumbuhan dini
dan penyakit kardiovaskular.
Meskipun obesitas dan gaya hidup dianggap penting dalam proses terjadinya diabetes
tipe 2, namun kedua faktor tersebut nampaknya hanya menimbulkan penyakit pada individu
yang memiliki predisposisi ke arah itu. Penelitian terhadap keluarga dan anak kembar
menunjukkan bahwa predisposisi tersebut bersifat familial kendati sifatnya tidak diketahui.
Penyakit diabetes cenderung diwariskan melalui sisi maternal dalam keluarga.
Beberapa penelitian telah mengonfirmasikan adanya korelasi antara berat lahir dengan
toleransi glukosa terganggu (TGT) serta diabetes tipe 2 yang pertma kali dilaporkan di
Hertfordshire, Inggris. Di Preston Inggris ditemukan bahwa bayi-bayi yabg bertubuh kurus akan
menderita toleransi glukosa terganggu (TGT) dan diabetes pada usia dewasa. Lithell dan rekan-
rekannya (1996) memastikan korelasi dengan tubuh yang kurus di Uppsala, Swedia yang
menunnjukkan prevalensi diabetes tiga kali lebih tinggi pada pria dengan tubuh kurus
dibandingan dengan pria tubuh normal.
Korelasi antara BBLR atau tubuh yang pendek dan kurus pada saat lahir dan metabolisme
glukosa insulin yang berubah ditemukan pada anak-anak di Eropa, India dan Jamaika. Hasil-hasil
ini memberikan dukungan lebih labjut bagi hipotesis yang mengatakan bahwa diabetes tipe 2
berasal dari gangguan pertumbuhan di dalam rahim dan menunjukkan bahwa benih diabetes pada
generasi mendatang sudah tersemai dan akan tumbuh pada anak-anak di saat usia dewasa.

c.       Kolesterol Serum dan Pembekuan Darah


Beberapa penelitian di Sheffield, Inggris memperlihatkan bahwa neonatus yang tubuhnya
pendek dan memiliki BBLR sehubungan dengan ukuran kepalanya, sekalipun masih berada
dalam kisaran berat lahir normal, mengalami gangguan metabolisme kolesterol dan pembekuan
darah yang persisten.
Keadaan yang tidak seimbang akibat kurangnya pasokan nutrisi pada janin dapat
mempengaruhi pertumbuhan hati yang beberapa fungsi hati adalah yang mengatur kadar
kolesterol dan pembekuan darah akan terganggu secara permanen. Gangguan pada metabolisme
kolesterol dan pembekuan darah merupakan ciri penting penyakit jantung koroner.
Pencatatan yang dilakukan dalam penelitian di Sheffield, Inggris meliputi penurunan
ukuran lingkar perut dan panjang badan pada saat lahir. Keadaan ini mencerminkan
berkurangnya ukuran hati yang memprediksikan kenaikan kadar LDL-Kolesterol serum dan
fibrinogen plasma pada usia dewasa.

7.      Perubahan Fisiologi dan BB Selama Kehamilan

Saat seorang wanita menjalani masa kehamilan, basal metabolisme tubuh akan semakin
meningkat. Bersamaan dengan itu terjadi pula mekanisme adaptasi dalam tubuhnya. Penambahan
berat badan di masa akhir kehamilan biasanya disebabkan karena pertumbuhan fetus (ca. 3 kg),
pertumbuhan di tubuh ibu yang meliputi uterus, plasenta, air ketuban, air dan darah (ca. 4 kg)
dan persediaan lemak (ca. 3kg). Tak heran, seorang bumil akan memiliki berat badan yang lebih
dibanding saat ia tak mengandung. Penambahan BB adalah hal yang mutlak!.
Berbeda dari anjuran penambahan BB kehamilan di era 70-80'an, penambahan BB yang
direkomendasikan saat seorang ibu mengandung saat ini biasanya berpatokan pada Body Mass
Index (BMI) yang ibu miliki sebelum mengandung. Semakin rendah BMI yang ibu miliki
sebelum masa konsepsi, semakin tinggi kuantitas pertambahan BB yang diharapkan. Wanita
dengan BMI < 20 dianjurkan untuk menambah BB selama kehamilan sebanyak 12,5 - 18 kg.
Wanita yang BMI sebelum hamilnya normal (20,0-26,0) idealnya bertambah BB saat hamil
sekitar 11,5-16 kg. Sebaliknya, seorang wanita yang terkategori obesitas hanya dianjurkan untuk
mengalami penambahan BB tak lebih dari 6 kg hingga masa akhir  kehamilannya! (Abrams et al
2000).

8.      Kebutuhan Energi dan Protein

Kondisi kehamilan memang akan menyebabkan kebutuhan energi dan protein yang
bertambah. Namun hal tersebut bukan berarti mentolerir seorang bumil dapat makan sebanyak
banyaknya dengan alasan "makan untuk dua orang". Penambahan energi yang direkomendasikan
hingga masa akhir kehamilan berdasarkan hasil penelitian terbaru di bidang maternal tak lainnya
hanya sebesar 85.000 kcal. Kcal sebesar 85 ribu ini pun telah mencakup energi yang dibutuhkan
untuk membentuk jaringan baru, supply energi untuk jaringan baru, simpanan dalam bentuk
lemak serta 10% energi yang hilang untuk metabolisme tubuh.
Dengan memperhitungkan masa kehamilan yang hanya 280 hari, rata rata penambahan
kalori yang sebenarnya dibutuhkan oleh bumil hanya sebesar 300 kcal (85.000/280). Jumlah
ekstra kalori tersebut tak lebih dari pengkonsumsian sebuah joghurt 250-300 gr dengan kadar
lemak 3,5%! Itupun sebenarnya ekstra kalori benar benar dibutuhkan khususnya sejak 5 bulan
kehamilan.
Penambahan kebutuhan protein sebenarnya hanya sebesar 0,9-1,0 gr per kg BB per hari.
Meningkatkan konsumsi sumber protein sebanyak mungkin dengan alasan "hamil" juga
sebenarnya bukan merupakan tindakan bijaksana. Jumlah protein yang ditambah sendiri biasanya
hanya dianjurkan bila asupan energi juga cukup. Bila kondisi tersebut tidak dipenuhi, asam
amino akan digunakan terlebih dahulu untuk produksi energi.

9.      Kebutuhan Mikronutrisi: Asam Folat dan Vitamin A

Tambahan asupan mikronutrisi juga dibutuhkan selama masa kehamilan. Asam folat,
Vitamin A, Sodium, Kalsium, Magnesium, Besi, Yodium adalah beberapa mikronutrisi yang
penting dicatat di masa ini.
Asam folat amat dibutuhkan saat terjadinya penambahan jumlah sel di masa awal
kehamilan. Kekurangan asam folat biasanya akan dikaitkan dengan tingginya risiko si bayi
mengalami "neural tube defects", Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan lahir prematur.
Vitamin A dalam bentuk retinol berkontribusi terhadap kualitas pengelihatan si kecil.
Pada daerah dengan masalah defisiensi vitamin A, transfer aktif vitamin A ke fetus akan tetap
terjadi walau sang ibu memiliki serum-vitamin A yang rendah dalam darahnya. Bahkan di tri
semester tiga kehamilan, fetus akan mulai menimbun vitamin A dalam organ hatinya.
Kolostrum yang ibu produksi setelah melahirkan si kecil merupakan sumber makanan
yang kaya akan vitamin A. Namun perlu diperhatikan bahwa seorang ibu yang mengalami
defisiensi vitamin A tidak akan memiliki kuantitas transfer vitamin A yang cukup melalui
plasenta dan ASI.
Ibu menyusui yang berada di daerah endemik defisiensi vitamin A harus mendapatkan
supplementasi vitamin A (200.000 IU) selama masa 8 minggu pertama setelah melahirkan.
Supplementasi vitamin A ini tidak boleh dilakukan saat si ibu hamil mengingat adanya efek
teratogenik yang diamati pada pemberian dosis tinggi vitamin A pada masa kehamilan.

10.  Kebutuhan Sodium, Kalsium, Magnesium

Pengkonsumsian sodium dan kalsium dengan jumlah "sedang" juga diperlukan. Kalsium
berperan penting dalam mekanisme pengaturan selama masa kehamilan dan menyusui. Ia juga
akan meningkatkan absorbsi intestinal yang terjadi. Biasanya, setelah masa 6-12 bulan sang ibu
melewati masa menyusui, depot kalsium di tubuhnya akan kembali terisi. Seorang bumil yang
mengkonsumsi kalsium minimal 1000 mg ca/hari akan kecil memiliki risiko terkena PIH
(Pregnancy Induced Hypertension).
Kekurangan magnesium biasanya dialami oleh 5-30% bumil dengan ditandai adanya
keluhan kram (Nocturnal Systremma). Suplementasi secara oral dari mikronutrisi ini terbukti
akan mengurangi keluhan kram pada ibu yang sedang mengandung.

11.  Kebutuhan Besi dan Iodium

Besi juga merupakan mikronutrisi yang amat diperlukan dalam masa kehamilan. Anemia
saat kehamilan biasanya akan mempertinggi risiko terjadinya BBLR pada bayi, tingginya
insidens kelahiran prematur dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian pada ibu saat
melahirkan. Perlu diingat, anemia tidak selalu disebabkan karena kekurangan besi dalam darah.
Kebanyakan wanita menderita anemia yang disebabkan oleh kombinasi kekurangan besi, asam
folat, vitamin B12 dan vitamin A.

Kekurangan iodium saat masa kehamilan sedapat mungkin harus dihindari. Seorang
bumil idealnya harus memiliki persediaan iodium yang mencukupi agar transfer iodium ke fetus
yang dikandungnya dapat mencukupi. Asupan iodium yang kurang dalam kehamilan dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan otak fetus, BBLR, kretin dan kongenital yang
abnormal. Mengingat pentingnya fungsi iodium dalam masa ini, bumil dianjurkan untuk
mengkonsumsi produk produk fortifikasi iodium seperti garam ber-iodium dan minyak ber-
iodium.

12.  Kebutuhan Kalori

Kebutuhan penambahan energi pada kondisi hamil amat variatif antar satu bumil dengan
yang lainnya. Seorang ibu hamil yang status nutrisi nya sudah baik atau bahkan overweight tidak
perlu meningkatkan asupan energi yang biasa dikonsumsi. Yang diperlukan dalam kondisi ini
adalah konsumsi makanan yang variatif, terutama yang mengandung besi dan mikronutrisi yang
diperlukan selama masa kehamilannya. Buah buahan, sayur mayur, daging, ikan dan produk
turunan dari susu adalah beberapa sumber makanan yang dianjurkan untuk disantap.
Berbeda dengan remaja yang kebetulan mengandung, kebutuhan energi yang harus
dicukupi akan tinggi karenanya asupan makanannya pun harus ditingkatkan. Hal itu perlu
dilakukan karena di kondisi tersebut sang bumil "remaja" masih memerlukan zat zat makanan
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bayinya dan dirinya sendiri.

13.  Konsumsi Kofein, Alkohol dan Nikotin

Tabukah mengkonsumsi kopi selama hamil? Sebenarnya tidak, walaupun akan lebih
bijak bila konsumsi kafein "diliburkan" selama masa kehamilan. Kopi tetap dapat dikonsumsi
dengan jumlah tertentu. Minum 2-3 cangkir kopi per hari biasanya masih ditoleransi karena dari
hasil penelitian terkait, belum ada efek negatif yang ditunjukkan. Sebaliknya, meminum kopi
lebih dari 6 cangkir sehari harus dihindari mengingat asupan kofein yang tinggi akan
memperbesar pengaruh rendahnya BB bayi saat dilahirkan.
Alkohol memang merupakan pantangan selama masa hamil. Dengan efek negatif pada
janin yang nantinya dapat menimbulkan kerusakan syaraf, alkohol memang merupakan barang
yang tabu untuk dikonsumsi. Dari penelitian tema terkait terbukti alkohol dapat menyebabkan
terjadinya fetal alcohol syndrome pada bayi yang dilahirkan.
Bagaimana halnya dengan rokok?. Serupa dengan alkohol, rokok juga merupakan barang
tabu bagi seorang bumil. Merokok saat mengandung si kecil biasanya akan berhubungan dengan
tingginya risiko terjadinya aborsi, kelahiran prematur serta penyakit fatal yang timbul pada si
kecil seperti penyakit pernafasan dan asma.

14.  Pola Konsumsi Makanan Yang Dianjurkan Pada Bumil

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, pola konsumsi makanan yang dianjurkan
pada ibu hamil adalah diet makanan yang seimbang dengan kandungan protein dan mikronutrisi
berkualitas tinggi serta energi yang cukup. Penambahan energi yang tinggi sendiri baru
diperlukan pada tri semester ketiga kehamilan.
Karenanya, tak perlu bumil mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang besar besaran
atau selalu "ngemil" saat masa kehamilan. Yang sebenarnya dibutuhkan oleh tubuh tak lain
kualitas makanan yang variatif. Pun ada penambahan asupan energi di tiga bulan akhir masa
kehamilan, "ekstra" yang diperlukan tak lain hanya tambahan kalori setara dengan 250-300 gr
yoghurt setiap harinya!
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejak dalam kandungan hingga usia 2 tahun, anak masuk dalam periode kritis. Gizi
seimbang pada saat ini terbukti bisa mencegah bayi terkena penyakit degeneratif di kemudian
hari ketika ia dewasa.
Di Indonesia, saat ini piramida gizi seimbang digambarkan oleh sebagian pakar gizi
dalam bentuk tumpeng, bentuk makanan khas masyarakat kita, meski pemerintah tetap
menggunakan gambar piramida gizi seimbang. Pada prinsipnya, penjabaran kedua visualisasi
piramida dan tumpeng gizi seimbang ini sama, yakni pembagian gizi per hari adalah 2 liter air
minum bening, 3-8 porsi karbohidrat, 3-5 porsi sayur dan buah, 2-3 porsi protein hewani dan
nabati, serta minyak, gula dan garam dalam  jumlah seminimal mungkin. Namun, pada
praktiknya, pemberian porsi menu gizi seimbang tersebut pada bayi agak berbeda. Karena, bayi
masih mengonsumsi ASI yang memenuhi sebagian besar kebutuhan tubuhnya, selain fungsi
organ pencernaan dan ginjalnya juga belum optimal.
Menurut hipotesis David Barker yang sekarang telah berubah menjadi Teori Barker,
mengatakan bahwa periode window of opportunity atau kesempatan emas, atau masa kritis, yang
berkisar sejak sebelum hamil hingga bayi usia 2 tahun sangatlah penting. Menurut Prof. Dr. Fasli
Jalal, PhD dalam Media Engagement of Food Security and Nutrition in Indonesia, April 2013,
bahwa gizi yang terpenuhi pada 1000 hari pertama kehidupan, akan mampu mengoptimalkan
perkembangan otak, pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan serta memperlancar
metabolisme glukosa, lemak dan protein. Kekurangan zat gizi di masa ini akan menimbulkan
beban ganda masalah gizi, yaitu bayi kurang gizi, lambat berkembang, mudah sakit, kurang
cerdas, serta ketika dewasa berisiko mengalami kegemukan dan terkena penyakit degeneratif
seperti diabetes mellitus, penyakit jantung dan penyumbatan pembuluh darah pada anak.
Berat badan lahir rendah berkaitan dengan peningkatan angka prevalensi penyakit
  

jantung koroner dan kelainan yang berkaitan dengan penyakit kardivaskular dan metabolik
seperti stroke, hipertensi dan diabetes tipe 2 pada usia dewasa.
Selain BBLR juga ukuran panjang badan bayi dan lingkar kepala juga dapat mengakibatkan
penyakit kronis pada usia dewasa.  BBLR juga dapat meningkatkan jumlah sel darah putih yang
dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner dan penyakit kronis lainnya pada usia dewasa
DAFTAR PUSTAKA

Michael J. Gibney, dkk. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran.


Jakarta. Hal. 372-390.
Arisman, MB. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Hal. 2-28
http://www.blogger.com/Hubungan Status Gizi Ibu, Kondisi Fisik Ibu dan Efesiensi Reproduksi
http://www.ahliwaris.com/news/237/Info-Kesehatan
http://www.bebe17.info/archive/kurang gizi pada ibu hamil : ancaman pada janin
http://rudyet.com/PP5702-ipb/07134/zulhaida_lubis,htm/ status gizi ibu hamil serta pengaruhnya
terhadap bayi yang dilahirkan
http://familiedykes.multiply.com/journal/item/85/Tulisan:HaruskahMengkonsumsi Makanan
Kuantitas Tinggi Saat Berbadan Dua ?
Diposkan oleh Benny Purba di 06.27 

Anda mungkin juga menyukai