Anda di halaman 1dari 5

Resume

Pengertian OJK

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan dari pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan dan penyelidikan. Sesuai dengan pengertian OJK sebagai lembaga,
maka OJK termasuk kedalam pengertian Badan menurut UU N0.36 Tahun 2008 tentang
pajak penghasilan. Objek pajak dalam penghasilan OJK adalah sisa pemanfaatan pungutan
industri keuangan sebesar 5%. Namun dalam pelaksanaannya terdapat inkonsistensi status
OJK dari segi subjek pajak badan dan objek pajak penghasilannya.

Berdasarkan Undang Undang No. 21 tahun 2011, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,yang mempunyai
fungsi,tugas,dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan,danpenyidikan.OJK
mempunyai visi untukmenjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang
terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dan mampu mewujudkan
industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global
serta dapat memajukan kesejahteraan umum.Sedangkan misi Otoritas Jasa
Keuangan yaitu mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mewujudkan sistem keuangan
yang tumbuhsecara berkelanjutan dan stabil, serta melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat.

Pada tahun 2015, OJK meminta kepada Kementerian Keuangan agar dikecualikan
dari subjek pajak dengan dasar bahwa pungutan yang dilakukan oleh OJK memiliki
kedudukan yang sama dengan pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Diketahui pula pada saat itu OJK memiliki utang pajak sebesar Rp1,3 Triliun, yang
menurut OJK utang pajak tersebut termasuk utang pajak tahun 2014, 2015 dan rencana
anggaran utang pajak 2016 termasuk denda perpajakannya.3Namun, permohonan
tersebut ditolak oleh Kementerian Keuangan melalui surat yang dijawab oleh Menteri
Keuangan pada saat itu, Bambang Brodjonegoro. Dalam surat tersebut dijelaskan
bahwa OJK adalah termasuk kedalam pengertian Badandan tidak memenuhi kriteria
sebagai badan pemerintah yang dikecualikan dari subjek pajak.4Sehingga, pada awal
2016 OJK menyatakan telah melunasi kewajiban perpajakannya selama 2014.5Tidak
selesai di situ, pada tahun 2018 ini, tepatnya bulan Oktober, BPK mendapatkan temuan
mengenai utang pajak yang masih harus dibayar oleh OJK per 31 Desember 2017, yaitu
sebesar Rp901,10 miliar dan belum dilunasi.6OJK pun memberikan tanggapan bahwa angka
tersebut merupakan akumulasi utang pajak tahun 2015, 2016, dan 2017, sedangkan OJK telah
melakukan pembayaran atas kewajiban perpajakannya untuk tahun 2014 dan 2015
sebesar Rp836,72 miliar dan berencana membahas skema perpajakannya dengan
Direktorat Jenderal Pajak.7Maka, dari kasus tersebut.
Laporan Keuangan di Indonesia

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), komponen laporan keuangan yang lengkap terdiri
atas:

1) Laporan Posisi Keuangan


2) Laporan Laba Rugi
3) Laporan Perubahan Ekuitas
4) Laporan Arus Kas
5) Catatan atas Laporan Keuangan

Ketentuan Serbanes

Sarbanes-Oxley Act memiliki dasar hukum pada tahun 2002, yang secara signifikan
memperluas persyaratan AS dalam perusahaan pemerintah, penjelasan dan laporan, serta
regulasi audit profesi. Di antara semuanya yang paling penting adalah pembentukan PCAOB
yaitu sebuah organisasi non-profit yang diawasi langsung oleh SEC. PCAOB memiliki
tanggung jawab sebagai berikut:

a. Menerapkan audit, pengendalian kualitas, etika, kemandirian, dan standardisasi lainnya


yang berhubungan dengan persiapan untuk laporan audit perusahaan agar aman diketahui
publik.
b. Mengawasi subjek audit perusahaan publik terhadap keamanan hukum.
c. Memeriksa akuntansi firma public yang telah terdaftar.
d. Mendukung akuntansi firma public, serta memberikan kasus kepada SEC atau badan lain
untuk menginvestigasi lebih lanjut.

Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full
adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard
(IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP
(United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah
mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini
sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi). Era globalisasi saat ini menuntut
adanya suatu sistem akuntansi internasional yang dapat diberlakukan secara internasional di
setiap negara, atau diperlukan adanya harmonisasi terhadap standar akuntansi internasional,
dengan tujuan agar dapat menghasilkan informasi keuangan yang dapat diperbandingkan,
mempermudah dalam melakukan analisis kompetitif dan hubungan baik dengan pelanggan,
supplier, investor, dan kreditor. Namun proses harmonisasi ini memiliki hambatan antaralain
nasionalisme dan budaya tiap-tiap negara, perbedaan sistem pemerintahan pada tiap-tiap
negara, perbedaan kepentingan antara perusahaan multinasional dengan perusahaan nasional
yang sangat mempengaruhi proses harmonisasi antar negara, serta tingginya biaya untuk
merubah prinsip akuntansi.
Indonesia perlu mengadopsi standar akuntansi international untuk memudahkan
perusahaan asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya. Namun demikian
untuk mengadopsi standar international itu bukan perkara mudah karena memerlukan
pemahaman dan biaya sosialisasi yang mahal. Indonesia sudah melakukannya namun sifatnya
baru harmonisasi dan selanjutnya akan dilakukan full adoption atas standar internasional
tersebut. Adopsi standar akuntansi international tersebut terutama untuk perusahaan publik.
Hal ini dikarenakan perusahaan publik merupakan perusahaan yang melakukan transaksi
bukan hanya nasional tetapi juga secara internasional. Jika terjadi jual beli saham di
Indonesia atau sebaliknya, tidak akan lagi dipersoalkan perbedaan standar akuntansi yang
dipergunakan dalam penyusunan laporan. Ada beberapa pilihan untumelakukan adopsi,
menggunakan IAS apa adanya, atau harmonisasi. Harmonisasi adalah kita yang menentukan
mana saja yang harus diadopsi , sesuai dengan kebutuhan.

Pokok Pengaturan OJK

POJK ini merupakan amandemen dari POJK No.19/POJK.03/2014 tentang Layanan

Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Adapunpenerbitan
POJK ini dilatarbelakangi oleh terdapatnya kebutuhan untuk:

a. menyesuaikan pengaturan dengan perkembangan kondisi perbankan serta regulasi


yang terkait dengan penyelenggaraan Laku Pandai.
b. optimalisasi Laku Pandai dalam mendukung penyaluran program pemerintah (bantuan
sosial secara nontunai).
c. meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan Laku Pandai.

A. Ketentuan Umum
1. Untuk mewujudkan keuangan inklusif, lembaga jasa keuangan dapat menjadi
penyelenggara Laku Pandai.
2. Lembaga jasa keuangan hanya dapat menjadi penyelenggara Laku Pandai setelah
memperoleh izin dari OJK.
3. Ketentuan dalam POJK ini berlaku bagi penyelenggara Laku Pandai berupa bank.
4. Kewajiban bank untuk menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam
penyelenggaraan Laku Pandai.
B. Produk Laku Pandai
Produk bank yang dapat disediakan oleh bank melalui penyelenggaraan Laku Pandai
terdiri atas: tabungan dasar (Basic Saving Account/BSA), kredit atau pembiayaan mikro,
dan produk bank lainnya berdasarkan izin OJK. Dalam mendukung pelaksanaan program
pemerintah, maka:
1. Batas maksimum saldo dan transaksi BSA.
2. batas kepemilikan rekening BSA.
3. batas maksimum nominal kredit atau pembiayaan mikro, dapat dikecualikan.
C. Persyaratan Bank Penyelenggara Laku Pandai
Bank harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki peringkat profil risiko, tingkat risiko operasional, dan tingkat risiko
kepatuhan dengan peringkat 1, peringkat 2, atau peringkat 3, berdasarkan periode
penilaian terakhir.
2. Memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan layanan perbankan elektronik.
D. Kerja Sama Bank Penyelenggara Laku Pandai dengan Agen Laku Pandai
1. Persyaratan perorangan atau badan hukum yang menjadi agen Laku Pandai.
2. Agen Laku Pandai perorangan tidak dapat bekerja sama dengan lebih dari 1 (satu)
bank penyelenggara Laku Pandai yang kegiatan usahanya sejenis di luar kelompok
usaha bank yang sama.
3. Cakupan layanan agen Laku Pandai ditetapkan berdasarkan klasifikasi agen Laku
Pandai, sebagai berikut:
a. Agen Laku Pandai dengan klasifikasi A memberikan layanan transaksi terkait
BSA, dan dapat memberikan layanan:
1) Transaksi terkait produk uang elektronik dan layanan keuangan digital,
dan/atau.
2) Transaksi terkait produk asuransi mikro.
b. Agen Laku Pandai dengan klasifikasi B memberikan layanan sebagaimana agen
Laku Pandai dengan klasifikasi A, dan dapat memberikan layanan:
1) Transaksi terkait kredit atau pembiayaan mikro,dan/atau.
2) Transaksi terkait tabungan selain BSA, kecuali pembukaan dan penutupan
rekening.
c. Agen dengan klasifikasi C memberikan layanan sebagaimana agen Laku Pandai
dengan klasifikasi B, dan dapat memberikan layanan transaksi terkait produk
keuangan lain.
4. Perubahan klasifikasi agen Laku Pandai dilakukan sesuai dengan kebijakan bank.
5. Layanan transaksi terkait dengan produk keuangan yang diterbitkan oleh lembaga
lain, pada agen Laku Pandai, dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama. Perjanjian
kerja sama dapat dilakukan antara agen Laku Pandai dan lembaga lain atau antara
bank dan lembaga lain.
6. Cakupan wilayah pelayanan oleh agen Laku Pandai.
7. Kewajiban bank dalam melakukan kerja sama dengan Agen Laku Pandai.
8. Kedudukan agen Laku Pandai.
9. Perangkat elektronik dalam menunjang layanan agen Laku Pandai.
E. Penerapan Uji Tuntas Nasabah
1. Uji tuntas nasabah dilakukan sesuai dengan POJK mengenai penerapan anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan.
2. Proses verifikasi calon nasabah dengan menggunakan perangkat elektronik oleh bank
umum dilakukan sesuai dengan POJK mengenai penyelenggaraan layanan perbankan
digital oleh bank umum.
3. Relaksasi persyaratan izin penyelenggaraan layanan perbankan digital untuk
verifikasi menggunakan perangkat elektronik dalam rangka Laku Pandai.
F. Penggunaan Pihak Ketiga
Bank dapat menggunakan pihak ketiga untuk pelaksanaan pekerjaan tertentu, namun
bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga.
G. Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi
1. Kewajiban penerapan prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan transaksi.
2. Kewajiban penerapan paling sedikit 2 (dua) faktor keaslian untuk verifikasi
transaksi.
H. Perlindungan Konsumen
Kewajiban penerapan prinsip perlindungan konsumen.
I. Pelaporan
1. Laporan realisasi disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah
penyelenggaraan Laku Pandai, dengan mengacu pada POJK mengenai
penyelenggaraan produk bank.
2. Laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai disampaikan secara
triwulanan, paling lambat setiap tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya, melalui
sistem pelaporan OJK.
J. Ketentuan Lain-Lain
1. Kewenangan OJK untuk meminta informasi, keterangan, dan/atau data kepada Bank,
termasuk melakukan pemeriksaan terhadap agen Laku Pandai.
2. OJK dapat memerintahkan bank untuk menghentikan kerja sama dengan agen Laku
Pandai.
K. Ketentuan Peralihan
1. Penyesuaian kebijakan dan prosedur dalam penyelenggaraan Laku Pandai.
2. Bank melengkapi dokumen nasabah BSA yang telah menjadi debitur dari bank,
3. Penyesuaian klasifikasi agen Laku Pandai.
L. Ketentuan Penutup
1. Ketentuan pelaksanaan dari POJK No.19/POJK.03/2014, yaitu SEOJK
No.6/SEOJK.03/2015 tentang Laku Pandai tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan POJK ini.
2. POJK No.19/POJK.03/2014 tentang Laku Pandai dicabut dan dinyatakan tidak
Berlaku,
3. POJK ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Judul : ASPEK PAJAK PENGHASILAN OTORITAS JASA KEUANGAN

http://jurnalku.org/index.php/jurnalku/article/view/20

RINGKASAN PERATURAN PTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 1 / POJK.03 / 2022 TENTANG LAYANAN KEUANGAN
TANPA KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF

Anda mungkin juga menyukai