TINJAUAN TEORITIS
EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
Oleh:
MUHAMMAD RAZI
NIM 41203401130016
PROGRAM PASCASARJANA
ILMU EKONOMI KONSENTRASI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA
UNIVERSITAS NUSA BANGSA
BOGOR
2015
i
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1. Latar Belakang.............................................................................................1
2. Dua pandangan terhadap Sumber Daya Alam.............................................1
3. Klasifikasi Sumber Daya Alam....................................................................3
4. Pengukuran Ketersediaan Sumber Daya Alam............................................4
5. Pengukuran Kelangkaan Sumber Daya Alam..............................................6
II. EKONOMI SUMBER DAYA TANAH.............................................................8
1. Aspek Ekonomi Sumber Daya Tanah..........................................................9
2. Sewa Tanah (Land Rent) sebagai Surplus Ekonomi....................................9
3. Teori Sewa Tanah David Ricardo..............................................................11
4. Teori Sewa Tanah Von Thunen..................................................................12
5. Faktor-faktor yang Menentukan Harga Tanah...........................................13
III. EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN...........................................................15
1. Konsep Ekonomi Sumber Daya Hutan......................................................15
2. Fungsi Hutan..............................................................................................19
3. Peranan Sumber Daya Hutan dalam Perekonomian...................................20
4. Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan.........................21
IV. EKONOMI SUMBER DAYA AIR..................................................................27
1. Pengertian...................................................................................................27
2. Kondisi Sumber Daya Air..........................................................................28
3. Siklus Air di Alam......................................................................................32
4. Air sebagai Sumber Daya Ekonomi...........................................................35
5. Pengelolaan Sumber Daya Air...................................................................38
6. Strategi Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Air.........................39
V. VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN.....42
1. Konsep Valuasi ESDAL.............................................................................42
2. Nilai Ekonomi Total SDAL.......................................................................44
3. Metode Valuasi Ekonomi SDAL...............................................................45
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................51
i
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) yang meliputi air,
udara, tanah, hutan, barang tambang dan lainnya adalah hal esensial bagi
kelangsungan hidup manusia. Kerusakan atau kehilangan SDAL akan menimbulkan
kerugian dan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu,
pengelolaan SDAL yang baik mampu memberikan manfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia. Pembangunan ekonomi di satu sisi diakui telah mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain dewasa ini dikhawatirkan
menimbulkan kerusakan ekosistem yang mengancam kelangsungan hidup manusia.
Persoalan mendasar adalah bagaimana mengelola SDAL agar memiliki
manfaat besar bagi kehidupan manusia tapi dengan tidak mengorbankan kelestarian
SDAL itu sendiri. Untuk mendukung hal tersebut, maka diperlukan wawasan yang
luas tentang Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESDAL).
Kebijakan penggunaan, pengelolaan serta konservasi SDA harus ditangani
secara komprehensif karena sistem SDA sangat luas, kompleks dan saling tergantung
satu sama lain. Perubahan komponen SDA secara individu dalam satu ekosistem
dapat merubah sistem secara menyeluruh.
Perubahan penggunaan tanah dapat meningkatkan produksi pertanian di satu
sisi, tapi memiliki pengaruh terhadap tata air serta kualitas air dan udara di sisi
lainnya. Berbagai disiplin ilmu diperlukan dalam alokasi dan pemanfaatan SDA.
Pendekatan pemanfaatan sumber daya yang akan digunakan didekati melalui
teori ekonomi tanpa menghilangkan analisis ilmu yang lain yang relevan. Masalah
pemanfaatan dan alokasi sumber daya mencakup apa, berapa, metode/teknik serta
untuk kepentingan siapa barang tersebut dihasilkan.
1
tumbuh secara eksponensial. Produksi SDA akan mengalami “Diminishing
Return”, dimana output per kapita akan cenderung mengalami penurunan
sepanjang waktu. Ketika terjadi diminishing return, standar hidup manusia akan
menurun sampai ke tingkat subsiten. Tingkat subsiten merupakan batas garis
kemiskinan. Kondisi ini akan terus berlangsung sampai terwujud ekonomi dalam
kondisi keseimbangan (steady state).
(2) Pandangan Ekploitatif (perspektif Ricardian):
Eksploitasi / Pemanfaatan
Tidak
Pengurangan Ekstraksi > Pemanfaatan Lestari
Tingkat Pengurasan Daya Dukung
Ya
Pengurasan SDA
Kelangkaan SDA
2
intensifikasi (eksploitasi SDA secara intensif) atau cara ekstensifikasi
(memanfaatkan SDA yang belum dieksploitasi). Bila terjadi kelangkaan SDA,
akan tercermin pada dua indikator ekonomi: meningkatnya harga input dan
output yang menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang dan jasa yang
dihasilkan SDA. Namun peningkatan harga output akan menimbulkan insentif
bagi produsen SDA sehingga produsen akan berusaha meningkatkan suplai.
Ketersediaan SDA yang terbatas, maka kombinasi harga input dan output akan
menimbulkan insentif untuk melakukan substitusi dan peningkatan daur ulang.
Kelangkaan SDA akan menimbulkan insentif untuk mengembangkan inovasi
seperti pencarian deposit, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan teknologi
daur ulang, sehingga mengurangi tekanan terhadap pengurasan SDA.
3
Dikelompokkan menjadi: material metalik dan material non metalik.
2) Sumber Daya Energi:
Digunakan untuk menggerakan energi melalui proses transformasi
panas maupun transformasi energi lainnya;
Termasuk dalam kelompok SDA ini: energi surya, angin, minyak.
Sumber Daya
Alam
Skala Waktu
Kegunaan Akhir
Pembentukan
4
2) Sumber Daya Spekulatif: mengukur deposit yang mungkin ditemukan
ditemukan pada daerah yang sedikit dieksplorasi, dimana menurut
kondisi geologi yang ada kemungkinan besar ditemukan deposit.
3) Cadangan Kondisional: deposit sudah diketahui atau ditemukan dengan
teknologi dan harga yang pada saat ini belum bisa dimanfaatkan secara
ekonomis (belum memiliki nilai ekonomis).
4) Cadangan Terbukti: SDA sudah diketahui dan secara ekonomi dapat
dimanfaatkan dengan teknologi, harga dan permintaan pada saat ini.
B. Pengukuran Ketersediaan SDA yang Dapat Dibarukan (Renewable):
1) Potensi Maksimum:
Didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui kapasitas SDA yang
digunakan untuk menghasilkan barang/jasa dalam waktu tertentu.
Pengukuran didasarkan pada perkiraan ilmiah atau teoritis.
Pengukuran ini lebih didasarkan kepada kemampuan biofisik alam
tanpa mempertimbangkan kendala sosial ekonomi yang ada.
2) Kapasitas Lestari:
Konsep pengukuran berkelanjutan.
Ketersediaan SDA diukur berdasarkan kemampuannya untuk
menyediakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi
mendatang.
Pada sumber daya perikanan dikenal dengan istilah Sustainable
Yield¸ yaitu: secara teoritis, alokasi produksi dapat dilakukan
sepanjang waktu, jika tingkat eksploitasi dikendalikan
3) Kapasitas Penyerapan:
Kemampuan SDA untuk dapat pulih seperti sediakala setelah
menyerap limbah akibat aktivitas manusia.
Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca dan
internal manusia.
4) Kapasitas Daya Dukung (Carrying Capacity): dimana didasarkan pada
pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas untuk mendukung
pertumbuhan organisme, misalnya ikan di kolam yang tumbuh
berkembang secara positif jika daya dukung lingkungan masih besar.
5
5. Pengukuran Kelangkaan Sumber Daya Alam
Aspek kelangkaan SDA menjadi penting karena terkait dengan munculnya
persoalan tentang bagaimana mengelola SDA yang optimal. Hanley et al. (1997)
menggunakan 3 (tiga) cara dalam mengukur kelangkaan SDA, sebagai berikut:
A. Pengukuran berdasarkan Harga Riil:
Dapat diterima oleh banyak pihak.
Tingginya harga SDA mencerminkan tingkat kelangkaan dari sumber
daya tersebut (teori ekonomi klasik).
Kelemahan pengukuran: kenaikan harga juga dipicu oleh distorsi pasar,
harga riil hanya mencerminkan harga pasar, tapi tidak mencerminkan
harga atas adanya biaya kesempatan (opportunity cost) sosial dari
kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekstraksi SDA tersebut.
B. Pengukuran berdasarkan Biaya per Unit (Unit Cost):
Didasarkan kepada prinsip: jika sumber daya menjadi langka, maka biaya
ekstraksi SDA tersebut meningkat, yang berarti biaya per unit meningkat.
C. Pengukuran berdasarkan Rente Kelangkaan (Scarcity Rent):
Didasarkan teori kapital sumber daya: rate of return
Scarcity Rent: selisih antara harga per unit output dengan biaya ekstraksi
marginal atau harga bersih (net price).
Manfaat yang diperoleh dari aset SDA harus setara dengan opportunity
cost dari aset yang lain, seperti saham.
6
Sumber Daya Alam dan Lingkungan
I1 I2
Produksi I3 Konsumsi
D2 D1
Limbah
D3
Residual
Gambar 3. Bagan Keterkaitan antara Sumber Daya Alam dan Aktifitas Ekonomi
7
II. EKONOMI SUMBER DAYA TANAH
Tanah merupakan sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup
manusia, karena merupakan masukan (input) yang diperlukan untuk setiap bentuk
aktifitas manusia seperti: pertanian, perindustrian, pemukiman, transportasi, rekreasi.
Penggunaan tanah yang paling luas adalah untuk sektor pertanian, terutama di
wilayah pedesaan. Untuk daerah perkotaan, penggunaan tanah yang utama adalah
untuk pemukiman, perkantoran, transportasi, industri dan perdagangan dan lainnya.
Di negara maju penggunaan tanah yang terbaik dan tertinggi adalah untuk industri
dan perdagangan. Selanjutnya disusul oleh pemukiman, kemudian untuk pertanian
dan
terakhir untuk pengembalaan dan tanah dikosongkan (bera).
Penggunaan tanah tergantung pada kemampuan tanah dan lokasi tanah.
Penggunaan tanah yang bergantung kepada kemampuan tanah ditentukan oleh
tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi.
Penggunaan tanah yang tergantung pada lokasi tanah, terutama adalah untuk
pemukiman, industri, rekreasi dan sebagainya. Dengan demikian tanah memiliki nilai
ekonomi dan pasar yang berbeda-berbeda. Tanah di perkotaan memiliki nilai pasar
yang tinggi karena di sana terletak sumber penghidupan manusia yang paling efisien
dan memberikan nilai produksi yang tinggi.
Secara umum, pemilik tanah menggunakan tanahnya untuk tujuan yang
memberikan nilai produksi tertinggi. Namun penggunaan tanah ini tergantung
kepada penilaian sipemilik sendiri apakah dinilai dengan uang atau dengan nilai yang
tidak dapat dijangkau (intangible) seperti nilai sosial.
Penggunaan tanah terbaik dan tertinggi tergantung kepada kapasitas tanah
serta tinggi rendahnya permintaan terhadap tanah itu sendiri. Untuk mengejar
pemenuhan kebutuhan manusia yang terus berkembang dan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, pemanfaatan sumber daya tanah sering kali kurang bijaksana dan untuk
kebutuhan jangka pendek.
Akibat penggunaan tanah yang kurang bijaksana adalah berkurangnya
persediaan tanah yang tinggi kualitasnya. Sehingga manusia akan tergantung kepada
tanah yang semakin rendahnya kualitasnya. Dengan semakin langkanya sumber daya
8
tanah, maka perlu pula pengelolaan sumber daya tanah secara optimal dan lestari
untuk mencapai kesejahteraan sosial yang maksimum.
9
A. Sewa tanah (land rent) ditentukan oleh kesuburan tanah:
Biaya produksi tanah A paling rendah, lebih tinggi pada tanah B, dan paling
tinggi pada tanah C karena kesuburan tanah berbeda. Peningkatan biaya produksi
rata- rata per unit output di tanah B dan C disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah.
Dengan biaya produksi yang rendah, tanah A memberikan land rent tertinggi,
sedangkan tanah B lebih kecil, sementara tanah C tidak menghasilkan land rent sama
sekali, karena tingginya biaya produksi.
Tanah A yang berlokasi paling dekat dari pusat aktifitas manusia, relatif tidak
memiliki banyak biaya dalam penggunaannya, sehingga mampu memberikan land
rent yang paling tinggi.
1
Tanah B berlokasi lebih jauh, menimbulkan biaya transportasi dalam
penggunaannya, sehingga kemampuan memberikan land rent lebih rendah.
Tanah C yang berlokasi paling jauh, menimbulkan biaya transportasi paling
besar dalam penggunaannya, kemampuannya memberikan land rent paling rendah.
1
tanah C mulai memiliki nilai sewa kalau tanah D digunakan untuk perluasan
tanam berikut. Dengan demikian tanah A memiliki nilai sewa tertinggi yang
ditunjukan oleh surplus ekonomi dari tanah D.
Menurut Rircardo, harga produk pertanian ditentukan oleh biaya produksi
yang sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan hasil pertanian. Harga
produk pertanian meningkat seiring perluasan areal pertanian dan penggunaan tanah
subur yang semakin intensif. Teori sewa tanah Ricardo hanya melihat kemampuan
tanah untuk membayar sewa tanah tanpa memperhatikan lokasi tanah.
Di pusat pasar, biaya transportasi nol (0) dan biaya total setinggi OC. Pada jarak
OK km biaya total menjadi KT, karena biaya transportasi meningkat sebesar UT.
Bila harang barang yang diangkut sebesar OP, maka pada jarak OK, tidak lagi
terdapat land rent. Pada hal di titik O (pusat pasar) land rent sebesar CP, artinya
land rent berbanding terbalik dengan jarak lokasi tanah dengan pusat pasar.
1
Ada beberapa hal yang mempengaruhi sewa tanah:
a. Kualitas tanah yang disebabkan oleh kesuburan tanah, pengairan, adanya
fasilitas listrik, jalan dan sarana lainnya;
b. Letaknya strategis untuk perusahaan/industri; dan
c. Banyaknya permintaan tanah yang untuk pabrik, bangunan rumah, perkebunan.
Von Thunen juga mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai
kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi).
Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan
makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan
sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan.
Berdasarkan selisih antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing
jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan.
Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar
kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar.
Dalam model tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut:
a. Wilayah analisis bersifat terisolir, tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain;
b. Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah dan semakin kurang padat
apabila menjauh dari pusat wilayah;
c. Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam;
d. Fasilitas pengengkutan adalah primitif (sesuai dengan zamannya) dan relatif
seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa; dan
e. Kecuali perbedaan jarak ke pasar semua faktor alamiah yang mempengaruhi
penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.
1
semakin rendah biaya transportasi, tetapi harga tanah menjadi tinggi. Saat ini nilai
waktu sangat tinggi, karena itu harga tanah yang berlokasi dekat dari tempat kerja
yang dapat ditempuh dengan waktu singkat terhindar dari kemacetan, akan semakin
tinggi. Disamping itu harga tanah juga berkaitan dengan fasilitas kehidupan yang
tersedia yaitu sarana dan prasarana umum, seperti: jaringan transportasi, alat
transportasi, listrik, air dan fasilitas umum lainnya di dekat lokasi tanah, akan
semakin meningkatkan harga tanah. Pembangunan sarana dan prasarana umum,
akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh sebidang
tanah, yang dibarengi pula oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan tanah
(akibat
peningkatan pendapatan), maka harga tanah akan meningkat pula
Harga tanah yang semakin tinggi dapat pula disebabkan oleh sistem perizinan
yang rumit dan biroratis sehingga menimbulkan biaya pengurusan tanah yang tinggi
dan harga tanah yang tinggi.
Efek dari harga tanah yang semakin tinggi, maka akan terjadi inflasi. Artinya
harga tanah memacu peningkatan harga-harga barang lainnya, karena tanah yang
walaupun tidak produktif sering dapat digunakan sebagai jaminan untuk mendapat
kredit perbankan. Hal ini berarti tanpa menghasilkan apa-apa pun, tanah ternyata
dapat menghasilkan uang baru, karena dengan fasilitas kredit yang sangat besar
dengan tanah sebagai jaminan adalah sama dengan pencitaan uang giral. Harga tanah
yang semakin tinggi dapat mendorong ekonomi biaya tinggi.
Adapun pendekatan yang dapat digunakan untuk memperlambat kenaikan
harga tanah adalah:
1) Mengalihkan dana yang tersedia di masyarakat ke arah investasi yang lebih
produktif, bukan untuk spekulasi tanah.
2) Pengenaan pajak hendaknya disesuaikan dengan peruntukan tanah yang akan
diperjualbelikan di kemudian hari.
3) Tanah yang digunakan untuk kegiatan produktif dikenakan pajak yang relatif
lebih rendah, sedangkan hal ini berlaku sebaliknya pada tanah terlantar.
4) Tanah disamping kenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dikenai pajak
penjualan yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada
saat tanah itu diperjualbelikan dengan besaran yang tinggi.
1
III. EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
1
tersebut menghasilkan suatu "tragedy of the common", yaitu suatu bentuk
kehancuran sumber daya akibat adanya pendayagunaan yang berlebihan.
Common pool resources dapat dibedakan menjadi open access resources dan
common property (common resources). Telaahan kritis terhadap masalah
tersebut menunjukkan, bahwa tragedi menurut terminologi Hardin itu "hanya
terjadi" jika tidak terdapat aturan main yang jelas tentang pendayagunaan
sumber daya yang bersangkutan, sehingga setiap anggota masyarakat berpacu
untuk memaksimumkan pemenuhan kebutuhan individualnya melalui
pendayagunaan sumber daya yang bersangkutan tanpa memperhatikan
kebutuhan anggota masyarakat lainnya maupun daya dukung sumber daya yang
bersangkutan. Kondisi seperti itu hanya cocok bagi open access resources, tapi
tidak lazim terjadi pada common property yang pada umumnya memiliki aturan-
pendayagunaan kolektif yang jelas.
b. State Property Resources
Berangkat dari motivasi yang kuat untuk mengatur pengelolaan sumber daya
hutan, maka pemerintah menetapkan hutan sebagai suatu "state property".
Akuan itu sebenarnya merupakan tafsiran distortif dari konsep "sumber daya
publik". Dalam konteks yuridis, akuan tersebut merupakan tafsiran distortif dari
konstitusi (UUD 45). Dalam konstitusi memang disebutkan, bahwa setiap
sumber daya yang merupakan hajat hidup orang banyak, seperti halnya sumber
daya hutan, dikuasai oleh negara. Di sini terdapat dua distorsi, yaitu: Pertama,
pengertian "dikuasai" itu bias menjadi "dimiliki". Kedua, negara itu
direpresentasikan menjadi pemerintah. Karena itu, negara (baca: pemerintah)
lantas bertindak sebagai pemilik, pengelola, dan pengawas terhadap tindakan
pengelolaan sumber daya yang bersangkutan.
Untuk mengukuhkan akuan tersebut, pemerintah (dan adakalanya para
akademisi) kerap mengutip tesis Hardin di atas. Tragedi pendayagunaan sumber
daya "publik" dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan negara (pemerintah)
untuk menguasai dan mengatur dalam arti yang seluas-luasnya. Pola pengelolaan
seperti itu menimbulkan sejumlah keberatan, antara lain: Pertama, terjadi konflik
kepentingan. Dalam ekonomi pasar, pemerintah (sebagai representasi negara)
memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan layanan. Dengan demikian, jika
pemerintah juga melakukan kegiatan pengelolaan (baca: pengusahaan), maka itu
1
akan bertumburan dengan fungsi tujuan pokoknya untuk memberikan pelayanan.
Kedua, sumber daya hutan sangat berlimpah. Sementara itu pemerintah tidak
memiliki sumber daya (sumber daya manusia, teknologi, dan modal) yang cukup
untuk dapat mendayagunakan sumber daya tersebut secara optimal. Ketiga,
kelembagaan yang melekat pada bentuk pengelolaan sumber daya tersebut
(baca: birokrasi) tidak memiliki keluwesan yang memadai untuk menangkap dan
memahami kepentingan masyarakat.
c. Private Property Resources
Atas dasar keberatan-keberatan di atas, pada masa Orde Baru, sebagian fungsi
pengelolaan sumber daya hutan itu diserahkan kepada swasta, khususnya untuk
hutan produksi. Dengan cara itu, diharapkan terjadi peningkatan produksi hutan
(kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan pengusahaan hutan dan injeksi
investasi oleh swasta. Kebijakan tersebut juga tidak luput dari keberatan-
keberatan, misalnya: (1) Penyerahan kepada swasta dianggap berlebihan. Satu
perusahaan HPH ada yang mengelola kawasan lebih dari sejuta hektar. Padahal
menurut FAO (1996), kemampuan setiap perusahaan untuk mengusahakan hutan
secara optimal adalah mencakup kawasan seluas 150-200 ribu hektar. (2) Karena
fungsi tujuan swasta adalah maksimisasi keuntungan, maka dalam kegiatan
pengusahaan hutannya kerap tidak mengindahkan azas-azas pelestarian
lingkungan. Bagi perusahaan HPH, melakukan tindakan pelestarian senantiasa
berkonotasi peningkatan biaya, dan dengan demikian dianggapnya sebagai
tindakan manajemen yang tidak efisien. (3) Perusahaan swasta tidak adaptif
terhadap kehidupan budaya, kebiasaan, dan tatanilai masyarakat lokal.
Perusahaan tidak jarang melakukan tindakan pencurian (kayu besi dan sarang
burung, yang secara kultural merupakan sumber daya "milik" masyarakat) dan
perampasan (rotan). Karena itu, bagi masyarakat lokal, perusahaan HPH bukan
merupakan "mitra" yang mengerti kepentingannya. (4) Seperti halnya negara,
swasta juga telah membiaskan pengertian penguasaan menjadi "pemilikan",
sehingga dalam praktek pengelolaannya swasta juga kerap berlaku-lajak.
d. Common Property Resources
Pengelolaan sumber daya hutan sebagai "milik negara" maupun "milik swasta"
telah meninggalkan jejak yang sama, yaitu kerusakan lingkungan dan
1
peminggiran masyarakat lokal. Jejak tersebut di tingkat lokal menimbulkan
konflik dengan frekuensi kejadian yang cukup signifikan. Selanjutnya, didukung
dengan ujicoba yang menghasilkan kesimpulan yang positif, maka advokasi
internasional secara tegas menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat lokal yang
seluas-luasnya merupakan solusi optimum terhadap masalah pengelolaan sumber
daya hutan. Di Indonesia telah banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa
masyarakat lokal itu memiliki kemampuan dan kemauan yang baik untuk
mengelola sumber daya hutan secara produktif dan lestari, misalnya seperti yang
dilakukan masyarakat Krui (Lampung Barat) dan masyarakat Meru Betiri (Jawa
Timur). Namun, agaknya, itu belum merupakan pertimbangan yang cukup
signifikan bagi upaya-upaya pelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat.
Para akademisi dan birokrat pada masa Orde Baru, secara terus-terang atau
malu- malu, kerap meragukan keandalan pengelolaan sumber daya hutan oleh
masyarakat. Keraguan itu kerap bersandar pada fenomena yang disebut sebagai
tragedy of the common, yaitu suatu kerusakan sumber daya akibat
pendayagunaan berlebihan tatkala sumber daya tersebut ditetapkan sebagai
"milik umum". Padahal tragedi itu bukan merupakan implikasi logis yang
berlaku umum pada setiap pengelolaan sumber daya milik umum, melainkan
lebih cenderung sebagai fenomena unik tatkala permintaan terhadap sumber
daya tersebut jauh lebih besar dibanding dengan kelimpahan sumber dayanya
(resources endowment) atau tatkala kelembagaan pada masyarakat lokal belum
tertata dengan baik. Pergeseran pola pengelolaan oleh negara, swasta, dan
kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat agaknya merupakan
kebutuhan umum, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Hobley (1996)
melaporkan bahwa di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan
sumber daya hutan: kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan kolaborasi.
Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi, dan populisme.
Penerapan partisipasi masyarakat dalam spektrum yang luas di kedua negara
tersebut ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktifitas tercapai tanpa
mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberadaan masyarakat lokal. India,
Thailand, dan Nepal adalah negara-negara yang sudah cukup maju dalam soal
pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat. Negara percaya bahwa
masyarakat lokal itu memiliki kemampuan, pengetahuan, dan
1
kearifan yang handal untuk mengelola sumber daya hutan secara produktif dan
lestari. Kolaborasi dengan masyarakat merupakan kebutuhan dan keharusan,
karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan
pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif.
Di ketiga negara tersebut, konrol pemerintah dalam hal pengelolaan hutan
masing- masing mencakup 22%, 40%, dan 43% dari total kawasan hutan yang
tersedia (Hobley, 1996). Sementara itu, di Indonesia, Departemen Kehutanan
mengendalikan tidak kurang dari 74% dari kawasan hutan yang tersedia.
Kebanyakan SDH tidak bersifat milik bersama (common property resources).
Hampir sebagian besar hutan dikuasai oleh pemerintah dan hak pengelolaan yang
diberikan kepada individu atau swasta melalui mekanisme perizinan.
Spesifikasi sumber daya hutan memiliki skala waktu (time scale)
pertumbuhan waktu yang sangat panjang mulai dari sejak ditanam sampai ditebang
(panen) pada beberapa jenis pohon tertentu bisa sampai 100 tahun. Lahan yang
ditumbuhi hutan memiliki nilai pilihan (option value).
Sifat-sifat khas SDH menurut Duerr (1962), Leslie (1964), Worrell (1960)
dalam Wirakusumah (2003), yaitu:
1) Proses produksi SDH tergantung alam dan memerlukan waktu lebih lama.
2) Memerlukan media atau persediaan yang cukup besar (luas dan volumenya),
dengan sendirinya menuntut manajemen yang tidak sederhana.
3) Kayu sebagai salah satu produk SDH tidak mudah dibedakan apakah merupakan
produksi akhir atau sebagai modal yang sedang dalam pertumbuhan.
4) Memiliki potensi menghasilkan banyak komoditi berupa barang dan jasa secara
bersamaan (joint products).
5) Belum diukur nilainya secara tepat oleh hukum permintaan dan penawaran.
2. Fungsi Hutan
Beberapa fungsi hutan adalah sebagai berikut:
1) Menyediakan hasil hutan (kayu dan non kayu) untuk keperluan masyarakat pada
umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor
sehingga menunjang pembangunan ekonomi nasional dan daerah.
1
2) Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi serta memelihara
kesuburan tanah.
3) Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik seperti udara
bersih dan segar.
4) Memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar
alam, suaka margasatwa, taman perburuan, taman wisata serta sebagai
laboratorium ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata.
2
antara lain perdagangan hasil hutan, rekreasi hutan, transportasi, pendidikan dan
jasa konsultan pembangunan sektor kehutanan.
5) Selaku penyedia pelayanan jasa lingkungan, dimana keberadaan SDH berfungsi
sebagai perlindungan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, dan nilai-nilai
estetis yang potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan baik.
Pengembangan perekonomian pariwisata terutama ekowisata sangat dipengaruhi
oleh bentang alam, keindahan dan kekhasan SDH. Peranan sumber daya ini tidak
menghasilkan nilai uang langsung, tetapi menghasilkan nilai uang bagi sektor
pariwisata. Di masa depan peranan jasa lingkungan berupa perbaikan tata air,
pembersih udara dan nilai estetika mempunyai peranan yang sangat besar dalam
keberlanjutan ekonomi jangka panjang.
2
Pengelolaan hutan dapat ditentukan dengan cara memperoleh volume kayu
yang paling maksimum (normal forest), di mana setiap pohon mengalami siklus
hidup yang sama selama periode rotasi, yaitu interval antara periode menebang.
Waktu tebang akan menentukan lamanya periode rotasi setiap pohon. Tujuan
pemanfaatan hutan adalah memilih periode rotasi yang akan menghasilkan produksi
yang lestari. Hal ini merupakan pendekatan Maximum Sustained Yield (MSY).
Pendekatan Produksi Maksimum Kayu Lestari (Maximum Sustained Yield)
dapat digambarkan sebagai berikut:
Kurva MAI (Mean Annual Increament) menggambarkan rata-rata volume
tahunan.
Pengelolaan hutan akan
berusaha memaksimumkan MAI.
((𝑇)/𝑇) (𝑇)𝑇−(𝑇)
= Persamaan (5.1)
𝑇 𝑇2
Disederhanakan menjadi:
(𝑇)
w(𝑇) =
(𝑇) 1 Persamaan (5.2)
𝑇 ↔ (𝑇) = 𝑇
2
Bila digambarkan, rotasi pada MSY dimana MAI maksimum adalah:
Gambar disamping menunjukan bahwa
rotasi pada MSY akan diperoleh pada
saat kemiringan (slope) kurva VAC
sama dengan slope garis lurus produksi
rata- rata (w(T)/T)).
2
Terdapat 2 model dalam Penentuan Rotasi Optimum, yaitu:
(1) Model Fisher untuk Rotasi Tunggal
Misalkan nilai produk akhir hasil hutan yang diperoleh dari penebangan
hutan yang berumur T per hektar adalah R(T), biaya ekstraksi termasuk
biaya penebangan dan investasi adalah C(T), ratio penerimaan dan volume
kayu [R(T)/w(T)] meningkat terhadap T (site premium), sedangkan ratio
biaya ekstraksi dan volume kayu [C(T)/w(T)] menurun terhadap T
(economic of size).
Kedua kondisi tersebut mengimplikasikan kondisi berikut:
𝑅(𝑇) (𝑇)
> Persamaan (5.3)
𝑅(𝑇) (𝑇)
Hal ini berarti laju pertumbuhan penerimaan hasil hutan lebih besar dari
pada persentase laju pertumbuhan volume hutan.
Misalkan pada nilai bersih pemanfaatan hutan didefinisikan sebagai selisih
antara penerimaan dan biaya:
𝑉(𝑇) = 𝑅(𝑇) − 𝐶(𝑇) Persamaan (5.4)
Nilai V(T) sudah termasuk nilai yang diperoleh pemilik lahan (return to
landowner) atau stumpage value dan keuntungan yang diperoleh dari
pengelolaan hutan (return to logger).
Model Fisher melihat lahan yang ditanami pohon produk hutan dan
kemudian menentukan kapan hutan itu harus ditebang. Sekali hutan
ditebang habis (clear cut), maka lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk
pemanfaatan lainnya.
Dengan menggunakan kerangka waktu yang kontinyu, masalah yang
dihadapi oleh pemilik HPH dalam memilih waktu tebang (T) yang tepat
yang akan memaksimumkan fungsi penerimaan dalam present value:
max 𝑃𝑉 = 𝑉(𝑇)e−𝑇 Persamaan (5.5)
dimana e−𝑇 adalah discount rate (suku bunga), PV (present value) adalah
nilai di masa yang akan datang dinilai pada waktu sekarang dengan
menggunakan discount rate.
Pemecahan masalah menurut Persamaan (5.5) adalah dengan menurunkan
persamaan tersebut terhadap T dan menyamakannya dengan nol:
2
𝑃𝑉(𝑇)
= 0 ↔ [𝑉∗(𝑇) − 𝑉(𝑇)e−𝑇 = 0 Persamaan (5.6)
𝑇
2
berurutan. Dengan demikian T1 = T2-T1 = T3-T2 =.....= T, sehingga
Persamaan 5.8 dapat disederhanakan menjadi:
max 𝑃𝑉 = 𝑉(𝑇)[e−1𝑇 + e−2𝑇 + e−3𝑇 + ⋯ ] Persamaan (5.9)
Komponen di dalam kurung [ ] merupakan bilangan urut (series) seperti
halnya proses discounting dengan waktu tak terhingga, sehingga Persamaan
(5.9) dapat disederhanakan menjadi:
𝑃𝑉 = 𝑉(𝑇)e−𝑇 + 𝑉𝑃e−𝑇 = 𝑃𝑉(1 − e−𝑇) = 𝑉(𝑇)e−1𝑇
Persamaan (5.10)
selanjutnya dapat disederhanakan lagi
menjadi:
𝑉(𝑇)−𝑇 𝑉(𝑇)
Persamaan (5.11)
𝑃𝑉 = 1−−𝑇 = −𝑇 −1
2
IV. EKONOMI SUMBER DAYA AIR
1. Pengertian
Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan
dan air laut yang berada di darat. Sumber air adalah empat atau wadah air alami
dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.
Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang
dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan
manusia serta lingkungannya.
Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di
dalamnya. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan,
keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia
dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk
hidup baik pada waktu sekarang maupun pada generasi yang akan datang.
Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan,
penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal,
berhasilguna dan berdayaguna. Pengendalian dan penanggulangan daya rusak air
adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan lingkungan
yang disebabkan oleh daya rusak air yang dapat berupa banjir, lahar dingin, ombak,
gelombang pasang, dan lain-lain. Pengelolaan adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Penatagunaan
sumber daya air adalah upaya untuk menentukan zona pemanfaatan sumber air dan
peruntukan air pada sumber air.
Penyediaan sumber daya air adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan air dan
daya air untuk memenuhi berbagai keperluan dengan kualitas dan kuantitas yang
sesuai. Penggunaan sumber daya air adalah pemanfaatan sumber daya air dan
prasarananya sebagai media dan atau materi. Pengembangan sumber daya air adalah
upaya peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air tanpa merusak
keseimbangan lingkungan. Pengusahaan sumber daya air adalah upaya pemanfaatan
sumber daya air untuk tujuan komersial.
2
Peruntukan air dan daya air adalah penentuan prioritas alokasi air dan daya
air untuk masing-masing keperluan dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai. Hak
guna sumber daya air adalah hak untuk memperoleh dan menggunakan sumber daya
air untuk keperluan tertentu.
Daerah Aliran Sungai (DAS) atau yang disebut dengan Daerah Pengaliran
Sungai (DPS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air ke anak sungai dan sungai utama
yang bermuara ke danau atau laut. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah
pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih Daerah Aliran Sungai dan atau
satu atau lebih pulau-pulau kecil, termasuk cekungan air tanah yang berada di
bawahnya. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas
hidrogeologi dimana semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan,
pengaliran, pelepasan air tanah berlangsung. Air tanah atau air bawah tanah adalah
air yang terdapat dibawah permukaan tanah pada lapisan tanah yang mengandung
air.
Tata Pengaturan Air adalah segala usaha untuk mengatur pembinaan seperti
pemilikan, penguasaan, pengelolaan, penggunaan, pengusahaan dan pengawasan atas
air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam bukan hewani yang
terkandung di-dalamnya, guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam
memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan rakyat.
2
hanya mempunyai
2
empat setengah persen dari total potensi air tawar nasional, namun pulau ini dihuni
oleh sekitar 65 persen total penduduk Indonesia. Kondisi ini menggambarkan potensi
kelangkaan air di Pulau Jawa sangat besar. Jika dilihat ketersediaan air per kapita per
tahun, di Pulau Jawa hanya tersedia sekitar 1.750 meter kubik per kapita per tahun,
masih di bawah standar kecukupan yaitu 2000 meter kubik per kapita per tahun.
Jumlah ini akan terus menurun sehingga pada tahun 2020 diperkirakan hanya
akan tersedia sebesar 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Apabila fenomena ini
terus berlanjut maka akan terjadi keterbatasan pengembangan dan pelaksanaan
pembangunan di daerah-daerah tersebut karena daya dukung sumber daya air yang
telah terlampaui. Potensi krisis air ini juga dikhawatirkan terjadi di Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan .
Masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi lingkungan yang tidak
kondusif sehingga semakin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan
antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai
(DAS) hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis
sudah mencapai 18,5 juta hektar. Disamping itu jumlah DAS kritis yang berjumlah
22 buah pada tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998.
Fenomena degradasi hutan tmenyebabkan turunnya kemampuan DAS untuk
menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin
meningkat. Sedimentasi juga semakin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di
waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada
tahun 1999 terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam
kondisi kritis, yang diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum
sungai- sungai yang sudah jauh melampaui batas normalnya. Keadaan ini
diperparah oleh degradasi dasar sungai akibat penambangan bahan galian
golongan C di berbagai sungai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Sumatera Barat yang telah menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana
dan sarana di sepanjang sungai. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air dan
terjadinya kelangkaan ketersediaan air, orang mulai terpancing untuk berpikir dan
memandang air sebagai barang ekonomi (economic goods). Seperti yang tercantum
dalam Dublin Priciples (1992) Water has an economic value in all its competing
uses and should be recognized as an economic good. Kelangkaan air dianggap
sebagai peluang ekonomi. Buat
3
mereka, kelangkaan air harus diatasi dengan efisiensi pemakaian, yang
ditindaklanjuti dengan pembatasan pemakaian air dengan cara menaikkan nilai
ekonomi air sehingga orang akan berhati-hati memakai air karena mahal. Saat
sebagian orang tertarik untuk menjual air langsung sebagai barang komoditi,
beberapa pemakai air lainnya mulai terganggu, karena bagi budidaya pertanian,
ketersediaan air akan dapat menunjang peningkatan produksi pangan, peningkatan
pendapatan petani, lapangan pekerjaan dan ketahanan pangan.
Kebutuhan air untuk sektor pertanian di beberapa negara Asia hampir
mencapai 90 persen dari tingkat ketersediaan air, demikian juga di Indonesia. Hal ini
karena sebagian besar masyarakat hidup dari pertanian dan ketahanan pangan
menjadi komponen utama bagi ketahanan bangsa. Semakin meningkatnya persaingan
di antara para pengguna air, maka pertimbangan ekonomis sering menjadi
pertimbangan dalam alokasi air. Air dapat mempunyai nilai ekonomis yang lebih
tinggi apabila dijual langsung sebagai barang komoditi.
Ancaman terhadap alokasi air akibat kesenjangan ini telah mulai terjadi.
Beberapa industri yang mendapatkan air dari saluran irigasi dan air tanah, dengan
cara membeli atau menyewa tanah petani atau mengambil alokasi pergiliran
pemberian air irigasi bagi tanah yang dibeli/disewa tersebut, dan kadang-kadang
masih menambah beberapa pipa pengambilan bahkan dengan pemompaan. Untuk
menambah jumlah air yang dapat diambil, beberapa industri tersebut juga melakukan
pendekatan kepada petani bagian hulu agar dapat merelakan sebagian airnya dengan
imbalan misal dengan pembangunan saluran drainasi. Yang paling dirugikan pada
keadaan ini adalah petani dibagian hilir yang akan kekurangan air. Proses realokasi
air irigasi untuk kepentingan lain, akan memberikan pengaruh negatif pada ekonomi
di pedesaan, berkurangnya air irigasi, akan mengurangi luas tanam dan akan
mengakibatkan hilangnya mata pencaharian, penurunan produksi pangan dan
gangguan sosial lainnya. (Rosegrant and Ringler, 1998). Sebetulnya perubahan
alokasi seperti di atas tidak diperbolehkan, berkenaan dengan Undang-Undang No
7/2004, pasal 29 ayat (3) prioritas pemberian air irigasi lebih tinggi dari pada
pemberian air untuk kepentingan industri, namun dengan pendekatan bahwa alokasi
air itu melekat pada lahan pertanian, maka seseorang yang menyewa atau membeli
tanah pertanian tersebut dapat mengambil air irigasi yang menjadi hak yang melekat
atas lahan itu (Wignyosukarto, 2006).
3
Pengelolaan sumber daya air di Indonesia menghadapi problema yang sangat
rumit dan kompleks, mengingat air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial-
budaya, ekonomi dan lingkungan yang masing-masing dapat saling bertentangan.
Dengan terjadinya perubahan iklim global, semakin meningkatnya jumlah penduduk
dan intensitas kegiatan ekonomi, telah terjadi perubahan SDA yang sangat cepat.
Pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian, pemukiman
dan industri, yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam suatu kerangka
pengembangan tata ruang, telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, erosi,
tanah longsor, banjir. Hal itu telah mengakibatkan terjadinya peningkatan konflik
antara para pengguna air baik untuk kepentingan rumah tangga, pertanian dan
industri, termasuk penggunaan air permukaan dan air bawah tanah di perkotaan. Saat
ini sektor pertanian menggunakan hampir 80% kebutuhan air total, sedangkan
kebutuhan untuk industri dan rumah tangga hanya 20%. Pada tahun 2020,
diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri
sebesar 25% – 30%.
Beberapa daerah aliran sungai di Pulau Jawa telah mengalami degradasi yang
sangat memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah mengakibatkan terjadinya
sedimentasi di beberapa waduk yang telah dibangun di sungai Citarum, Brantas,
Serayu-Bogowonto dan Bengawan Solo. Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia
tampung waduk, usia tampung beberapa waduk tersebut diperkirakan hanya akan
mampu memenuhi kebutuhan air baku hingga tahun 2010 saja.
Pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer di kota-kota besar
di Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya) telah mengakibatkan terjadi intrusi air
laut dan penurunan elevasi muka tanah. Ketidaktersediaan sistem sanitasi dan
pengolah limbah industri yang baik, juga telah mengakibatkan terjadinya
pencemaran air tanah dan sungai oleh buangan air rumah tangga dan industri,
terutama di musim kemarau. Di saat lain, di musim hujan, banjir terjadi di mana-
mana, akibat karena semakin kecilnya daerah resapan, turunnya kapasitas sungai dan
rusaknya sistem drainasi internal.
Fisik dan struktur geologi perbukitan ini, dengan sempurna telah menyimpan
dan memelihara air dalam jumlah dan masa tinggal yang ideal. Sehingga dapat
mencukupi kebutuhan air bagi warga setempat di musim kemarau sampai datangnya
musim hujan berikutnya. “Kemampuan bukit kars dan mintakat epikarst pada
3
umumnya telah mampu menyimpan tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya
musim penghujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air
mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik” (Haryono, 2001).
Mata air epikarst dikenal mempunyai kelebihan dalam hal:
(1) Kualitas air. Air yang keluar dari mata air epikarst sangat jernih karena sedimen
yang ada sudah terperangkap dalam material isian atau rekahan.
(2) Debit yang stabil. Mata air yang keluar dari mintakat epikarst dapat mengalir
setelah 2 - 3 bulan setelah musim hujan dengan debit relatif stabil.
(3) Mudah untuk dikelola. Mata air epi-karst umumnya muncul di kaki-kaki
perbukitan, sehingga dapat langsung ditampung tanpa harus memompa.
Kawasan karst ini menjadi sebuah tandon air alam raksasa bagi semua mata
air yang terletak di kedua kabupaten tersebut. Akifer yang unik menyebabkan sumber
daya air di kawasan kars terdapat sebagai sungai bawah permukaan, mata air, danau
dolin/telaga, dan muara sungai bawah tanah (resurgence). Kawasan karst disinyalir
merupakan akifer yang berfungsi sebagai tandon terbesar keempat setelah dataran
alluvial, volkan dan pantai.
3
Air yang mengalir di sungai juga berasal dari air hujan yang meresap kedalam
tanah, seterusnya menembus lapisan yang mampu menyimpan air yang pada
umumnya merupakan lapisan pasir (disebut lapisan aquifer) dan pada tempat
tertentu memunculkan airnya kembali ke permukaan sebagai sumber atau mata air.
Air dari mata air ini, airnya terus mengalir ke dalam sungai. Sungai dengan segala
sifat- sifatnya, mengalirkan air jauh sampai ke laut. Air laut (biasanya asin) ketika
mendapat energi panas matahari mengalami penguapan, proses penguapan ini
disebut evaporasi. Air laut yang menguap ditiup angin menuju darat, mendaki lereng
sampai ke puncak gunung, mengumpul jadi satu, berubah menjadi embun. Maka
turunlah hujan. Kalau uap air yang naik ke lapisan atmosfeer masih berada di atas
lautan, kemudian mencapai titik jenuh, jatuh kembali ke laut sebagai hujan,
dinyatakan siklus pendek.
DAS adalah suatu lahan yang sekitarnya terjadi aliran air ke sungai. DAS
menutupi permukaan tanah seluruh bumi. Pada DAS terdapat rumah, lingkungan,
kota, hutan, lahan pertanian, dan banyak lagi. DAS datang dalam segala bentuk dan
ukuran dan batas negara bahkan bisa lintas.
Aliran kecil bergabung membentuk sungai. Sebagaimana aliran, DAS yang
lebih kecil akan bergabung bersama-sama membentuk DAS yang lebih besar.
Dikarenakan kita tinggal di suatu DAS, maka berbagai kegiatan kita akan berdampak
langsung terhadap DAS. Semisal, jika ada polusi di area DAS, maka aliran sungai di
DAS tersebut akan terkena polusi akibat adanya aliran permukaan menuju ke sungai.
3
Ilustrasi Pentingnya Vegetasi Pohon dalam Menyimpan Air Hujan.
(Sumber: www.nccwep.org/stormwater/stormwater101/what_is_watershed.php)
Kapasitas infiltrasi tanah tergantung pada tekstur and struktur tanah, serta
pada kadar air tanah terdahulu karena curah hujan sebelumnya atau musim kemarau.
Kapasitas awal (dari tanah kering) yang tinggi tetapi, karena badai terus, hal itu akan
berkurang hingga mencapai nilai stabil disebut sebagai laju resapan akhir.
Skema Ilustrasi Hubungan Antara Curah Hujan, Infiltrasi dan Aliran Permukaan
(Runoff) (Sumber: Linsley et al. 1958).
3
4. Air sebagai Sumber Daya Ekonomi
Dewasa ini air sudah menjadi barang ekonomi dan mahal karena
keberadaannya semakin langka, bahkan banyak yang tercemar bermacam-macam
limbah dari hasil aktivitas manusia dan rumah tangga, limbah pertanian, peternakan,
industri dan lain sebagainya. Indikator atau tanda air telah tercemar adalah perubahan
suhu air, pH atau konsentrasi ion hidrogen, warna, bau dan rasa air, timbulnya
endapan, koloid bahan terlarut, mikroorganisme dan radioaktif air. Wilayah kota dan
kabupaten merupakan wilayah yang memiliki sumber daya air, berupa air permukaan
dan air tanah yang potensial. Hal tersebut nampak dari beberapa sungai yang
berukuran cukup besar dan mata air yang merupakan sumber potensial bagi
penyediaan kebutuhan air baku penduduk. Keseimbangan air tanah (neraca air) di
dapat dibuat berdasarkan besar input dan output yang ada. Input merupakan debit air
sungai yang ada, sedangkan output merupakan total penggunaan air untuk keperluan
domestik (rumah tangga), untuk irigasi dan untuk industri pariwisata.
Keseimbangan penggunaan air di suatu wilayah, seperti Kabupaten Gianyar,
berdasarkan sumbernya yaitu sebesar 3.369.871,8 m3/hari dengan total penggunaan
sebesar 1.759.792,046 m3/hari, sehingga masih terdapat cadangan air untuk wilayah
Kabupaten Gianyar sebesar 1.610.079,754 m3/hari (Made Sudita dan Made Antara,
2006). Surat Keputusan Bupati Gianyar Nomor 4 tahun 2003 tentang Penetapan
Obyek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gianyar, Sumber mata air di Desa
manukaya ditetapkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata. Selain
peninggalan fisik (pura), mata air di Sumber mata air yang dialirkan lewat pancuran
memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang sedang berkunjung.
Air yang bersumber dari mata air ini juga dimanfaatkan untuk air Suci atau
Nunas Tirta, bahan baku air minum oleh PDAM Kabupaten Gianyar sebanyak
330,32 m3/bulan yang bersumber dari tiga titik pengambilan (Made Sudita dan Made
Antara, 2006), kebutuhan air untuk Istana Presiden Tampaksiring, air irigasi subak
Pulagan Kumba seluas 183,5 ha dan untuk membersihkan diri atau melebur. Oleh
masyarakat setempat, dengan mandi (melebur) di pancuran tersebut diyakini dapat
membuang sial dan menyembuhkan penyakit. Wisatawan yang datang untuk mandi
di permandian umum sekitar Sumber mata air dominan wisatawan lokal, yang
sampai saat ini belum
3
dipungut biaya apapun. Padahal ini merupakan aset yang perlu dikelola demi
kelestarian fungsi dan keberlangsungan sumber mata air.
Fluktuasi debit air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi
sangat beragam dan berfluktuasi antar waktu, kondisi rona lingkungan sekitar mata
air sangat mempengaruhi debit air ini. Kecendrungan perubahan tataguna lahan dari
kawasan bukan terbangun menjadi kawasan terbangun dan sistem pengolahan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukan telah mencapai kawasan-kawasan lindung yang
seharusnya dikonservasi, seperti sempadan jurang dan sempadan sungai yang akan
berpengaruh terhadap sistem aliran air pemukaan (runoff) dan infiltrasi. Demikian
pula halnya dengan daerah aliran sungai bagian hulu (kawasan Sumber mata air)
yang merupakan daerah tangkapan hujan, telah mendapat tekanan menjadi daerah
pertanian yang intensif dan perubahan peruntukan dari lahan non terbangun menjadi
kawasan terbangun. Jika fenomena ini dibiarkan berlangsung terus tanpa ada usaha-
usaha menemukan solusinya, dikhawatirkan sumber air di kawasan Sumber mata air
akan semakin menyusut dan mungkin suatu hari akan hilang, sedangkan di pihak lain
sumber mata air dibutuhkan oleh berbabagai pihak untuk berbagai keperluan.
Karenanya, keberadaan air di kawasan Sumber mata air harus dikaji, khususnya
terkait nilai sosial (social benefit), nilai ekonomi total (total economic value) yang
terkandung di dalamnya, dan usaha-usaha pelestarian saat ini yang telah dan perlu
dilakukan oleh berbagai pihak.
3
Istilah runoff berarti limpasan, aliran permukaan, yaitu jumlah total air yang
mengalir ke sungai, atau jumlah limpasan langsung dan aliran dasar. Runoff sering
juga disebut streamflow untuk menyatakan debit aliran pada sungai dan water yield
untuk menyatakan volume air. Sedangkan runoff yang mengalir diatas permukaan
tanah juga disebut overland flow. Runoff terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu:
(1) Surface runoff
(2) Subsurface runoff atau interflow
(3) Baseflow atau groundwater runoff
Surface runoff terdiri dari aliran diatas permukaan tanah (overland flow) dan
air hujan yang langsung masuk ke sungai (channel flow) Penggabungan komponen
surface runoff dan subsurface runoff disebut direct runoff. Surface runoff biasanya
terjadi bila intensitas curah hujan melebihi intersepsi, infiltrasi dan surface storage
(tampungan permukaan). Surface runoff berubah selama hujan berlangsung, dapat
juga hilang selama hujan atau seketika setelah hujan berhenti.
Subsurface runoff adalah bagian curah hujan yang terinfiltrasi yang keluar
secara lateral melalui bagian atas horizon tanah hingga mencapai sungai (stream
channel). Subsurface runoff ini mengalir lebih lambat dari surface runoff dan
bergabung dengan surface runoff selama atau setelah hujan. Proporsi subsurface
runoff ini tergantung pada karakteristik geologi DAS dan sifat ruang-waktu curah
hujan. Fenomena ini biasa dijumpai pada daerah iklim basah dan pada DAS dengan
kapasitas infiltrasi yang tinggi dan DAS dengan lereng sedang sampai curam.
Baseflow adalah bagian air hujan yang terinfiltrasi hingga mencapai muka air
tanah (water table) dan kemudian mengalir ke sungai. Aliran ini berpindah sangat
lambat dan sedikit mempengaruhi puncak banjir (flood peaks) pada DAS yang kecil.
Baseflow tergantung pada permeabilitas tanah.
Komponen-komponen runoff diatas bisa saja tidak muncul secara teratur pada
suatu DAS. Sebagai contoh, pada daerah-daerah kering (arid areas) dari DAS yang
kecil hampir selalu terjadi surface runoff. Pada daerah basah (humid areas),
subsurface runoff lebih dominan. Tetapi, curah hujan terus-menerus dalam jangka
waktu yang panjang, di daerah arid juga dapat menghasilkan subsurface runoff,
bahkan juga baseflow. Oleh karena itu, jenis runoff yang terjadi pada suatu DAS
ditentukan oleh
3
gabungan faktor-faktor berikut: iklim, fisiografik dan karateristik ruang-waktu
(space- time) dari curah hujan.
Untuk menentukan jumlah limpasan tahunan, kurangi jumlah
evapotranspirasi tahunan dari jumlah tahunan curah hujan.
𝑅𝑢𝑛off (𝑅𝑂) = 𝑃𝑟e𝑐𝑝𝑡𝑎𝑡o𝑛 − 𝐸𝑣𝑎𝑝o𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑝𝑟𝑎𝑡o𝑛
𝑅𝑂 = 𝐷𝑅𝑂 + 𝐵𝐹 atau 𝑅𝑂 = 𝑂𝐹 + 𝑆𝑂𝐹 + 𝐼𝐹 + 𝐵𝐹
𝐷𝑅𝑂 = 𝑆𝑅𝑂 + 𝐼𝐹 atau 𝐷𝑅𝑂 = 𝑂𝐹 + 𝑆𝑂𝐹 + 𝐼𝐹
Direct runoff (DRO) adalah jumlah dari surface runoff (SRO) dan interflow (IF),
sedangkan surface runoff (SRO) adalah gabungan dari overland flow (OF) dan
saturation excess overland flow (SOF).
𝑆𝑅𝑂 = 𝑂𝐹 + 𝑆𝑂𝐹
3
6. Strategi Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Air
Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh Indonesia namun juga
dialami negara-negara dibelahan dunia lainnya termasuk Jepang. Dari data yang ada
menunjukan bahwa telah terjadi anomali yang signifikan, khususnya dalam 25 tahun
terakhir seperti meningkatnya temperatur global, naiknya permukaan air laut dan
sering terjadinya kondisi ekstrim seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Bencana alam seperti banjir, typhon juga terjadi di Jepang sebagai salah satu dampak
terjadinya perubahan iklim. Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan
terkena dampak perubahan iklim karenanya perlu disiapkan rencana kegiatan secara
detil dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PU bekerjasama dengan
Japan International Cooperation Agency (JICA) merumuskan sebuah kebijakan dan
strategi pengelolaan SDA menghadapi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia
besama-sama dengan pemerintah Jepang sangat peduli pada perubahan iklim sejak
Protocol Kyoto dengan menyusun beberapa strategi terkait dampak perubahan iklim.
Strategi-strategi tersebut yaitu strategi mitigasi dengan mengelola tata air
pada lahan-lahan gambut (low land) dalam rangka mengurangi kerentanan kebakaran
pada lahan gambut (pengendalian emisi gas rumah kaca) dan mendukung kegiatan
penghijauan di daerah aliran sungai yang kritis dan kawasan hulu sungai.
Selain itu strategi adaptasi yaitu dengan meningkatkan pengelolaan bangunan
infrastruktur sumber daya air untuk mendukung ketahanan pangan, pengembangan
pengelolaan resiko bencana banjir dan kekeringan, pengembangan perlindungan
pantai dari kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara, serta
meningkatkan kampanye hemat air.
Kedua strategi di atas sangat penting dilakukan karena perubahan iklim juga
dapat berdampak pada terjadinya krisis pangan, krisis air global dan krisis energi
sebagai akibat dari kondisi perubahan iklim yang ekstrem.
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources
Management, IWRM) merupakan suatu proses koordinasi dalam pengembangan dan
pengelolaan sumber daya air dan lahan serta sumber daya lainnya dalam suatu
wilayah sungai, untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan kesejahteraan sosial yang
seimbang tanpa meninggalkan keberlanjutan ekosistem. Pengelolaan sumber daya
air terpadu
4
memfokuskan pada pengelolaan terpadu antara kepentingan bagian hulu dan
kepentingan bagian hilir sungai, pengelolaan terpadu antara kuantitas dan kualitas
air, antara air tanah dan air permukaan, serta antara sumber daya lahan dan sumber
daya air. Konsep IWRM ini diharapkan dapat mengatasi masalah kelangkaan air,
banjir, polusi hingga distribusi air yang berkeadilan.
Perkembangan dan implementasi konsep IWRM, dikenal slogan One River –
One Plan – One Management di Indonesia sangat berliku dan mengalami beragam
kendala. Namun hingga saat ini koordinasi antar sektor yang menguasai empat hal
yang perlu diterpadukan tersebut di atas, belum dapat berjalan dengan baik.
Penebangan hutan terus berlanjut hingga mengakibatkan bencana banjir serta
sedimentasi waduk dan muara sungai, pengambilan air tanah (blue water) yang lebih
sulit diperbaharui terus berlangsung tanpa memperhatikan kemungkinan penurunan
muka tanah dan intrusi air asin, penggalian pasir tidak terkendali, sehingga
mengakibatkan terjadinya degradasi dasar sungai yang membahayakan beberapa
infrastruktur lainnya.
Upaya untuk koordinasi pengelolaan sumber daya air pernah dilakukan oleh
pemerintah pada kesempatan memperingati Hari Air Sedunia XII tahun 2004 pada
tanggal 23 April 2004. Pada saat itu dicanangkan komitmen pemerintah dalam
pengelolaan SDA dengan penandatanganan Deklarasi Nasional Pengelolaan Air yang
Efektif dalam Penanggulangan Bencana oleh 11 menteri dalam koordinasi
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang terdiri dari Menko
Kesra, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Pendidikan Nasional,
Menteri Kesehatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan
Umum, Menteri Kehutanan, Menteri Sosial, Menteri Negara Riset dan Teknologi,
serta Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Melihat kondisi SDA di Indonesia yang sudah mencapai tingkat krisis dan
berpengaruh terhadap kemiskinan, kekurangan pangan, menghambat pertumbuhan
ekonomi sosial budaya bangsa dan terganggunya ekosistem, maka Presiden Susilo
Bambang Yudoyono di Jakarta pada tanggal 28 April 2005 mencanangkan Gerakan
Nasional Kemitraan Penyelematan Air (GN-KPA) guna peningkatan keterpaduan
implementasi kebijakan pengelolaan untuk keberlanjutan fungsi sumber daya air. -
KPA menekankan bahwa urusan air adalah urusan semua pemegang kepentingan
4
(stakeholder) baik masyarakat, pengguna air lainnya dan pemerintah. GN-KPA
memuat 6 komponen strategis, yakni: (1) penataan ruang, pembangunan fisik,
pertanahan dan kependudukan; (2) rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi
SDA;
(3) pengendalian daya rusak air; (4) pengelolaan kualitas dan pengendalian
pencemaran air; (5) penghematan penggunaan dan pengelolaan permintaan air; dan
(6) pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan berkelanjutan.
Bank Pembangunan Asia (ADB) mengimplementasikan Water Financing
Program 2006 – 2010, untuk membantu program IWRM di lima wilayah sungai di
Indonesia, diantaranya wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Ciujung, Progo-
Opak-Oya. ADB mempunyai 25 elemen sebagai indikator kondisi IWRM di sebuah
wilayah sungai, antara lain keberadaan: Organisasi Pengelola Wilayah Sungai
(RBO), partisipasi para pemegang kepentingan, perencanaan wilayah sungai,
kesadaran publik, alokasi air, hak atas air, ijin pembuangan limbah, pembiayaan
IWRM, nilai/harga air, peraturan pengelolaan air, infrastruktur yang mempunyai
multimanfaat, partisipasi sektor swasta melalui program CSR (corporate social
responsibility), pendidikan tentang pengelolaan wilayah sungai, pengelolaan daerah
tangkapan air, kebijakan tentang aliran penyangga kualitas lingkungan, manajemen
bencana, peramalan banjir, rehabilitasi kerusakan akibat banjir, monitoring kualitas
air, upaya perbaikan kualitas air, konservasi lahan basah (rawa), perlindungan dan
peningkatan ikan di sungai, pengelolaan air tanah, konservasi air dan sistem
informasi guna mendukung penentuan kebijakan.
Salah satu upaya untuk mengatasi persoalan kelangkaan air pada musim
kemarau yang kecenderungannya diikuti oleh kekeringan yang berkepanjangan, dan
kelimpahan air pada musim hujan yang diikuti pula oleh banjir dengan skala luas dan
waktu yang cukup lama adalah dengan melindungi sumber daya air. Salah satu upaya
menambah cadangan air tanah adalah dengan menambah kapasitas resapan air
melalui penanaman pohon dan pembuatan sumur resepan.
Tujuan konservasi sumber daya air adalah terlindunginya berbagai sumber
mata air di dalam dan luar kawasan hutan, meningkatkan kuantitas air tanah pada
musim kemarau, serta tertanggulanginya kelimpahan air pada musim hujan pada
daerah-daerah tertentu.
4
V. VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
4
untuk menjelaskan kepada pemangku kepentingan alasan betapa pentingnya
melindungi suatu kawasan hutan dari suatu kegiatan lain yang bersifat kontra
produktif. Hal tersebut sebagian besar timbul oleh anggapan bahwa pengambil
keputusan dan penentu kebijakan lebih memahami simbol-simbol ekonomi karena
berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dibanding teori ekosistem.
Misalnya, dampak negatif perubahan lingkungan menjadi lebih konkrit apabila
perhitungan yang diketengahkan ternyata merupakan nilai intervensi manusia atas
dalih pembangunan yang dapat berakibat menurunnya mata-pencaharian masyarakat
di wilayah tertentu. Namun demikian, disamping popularitas dan semakin
diperlukannya metode ini, debat dan kritik semakin mewarnai pelaksanaannya
khususnya dalam hal bagaimana pendekatan ini melakukan telaah nilai intrinsik
sumber daya alam.
Keberatan dan kritik yang dilontarkan terhadap kajian ekonomi ini dipicu
oleh berbagai alasan yang umumnya dipengaruhi oleh dasar filosofi yang dianut oleh
kalangan tertentu. Misalnya kelompok ekosentris berpendapat bahwa setiap makhluk
bernyawa memiliki hak untuk hidup sehingga manusia tidak sepatutnya memberikan
nilai ekonomi terhadap mereka kalau sekedar demi memuluskan tujuan eksploitasi
SDA. Di lain pihak kalangan antroposentris berargumen bahwa SDA baru berarti bila
mampu memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat.
Pendapat ini tentu saja dibantah oleh kelompok pertama yang bersikeras
bahwa pendapat di atas akan menyebabkan eksploitasi berlebihan. Aliran yang
mempromosikan bahwa SDA dianggap bermanfaat jika sanggup memenuhi
kebutuhan manusia adalah sumber malapetaka kerusakan lingkungan selama ini.
Pendapat ini juga ada benarnya bila kita menilai kebutuhan manusia dalam
pandangan sempit yaitu hanya dari aspek pemenuhan materi.
Oleh karena itu, tujuan valuasi ekonomi SDAL adalah untuk menjamin
tercapainya tujuan maksimalisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan
keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi.
Sedangkan manfaat valuasi ekonomi SDAL adalah untuk mengilustrasikan
hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk
melakukan pengelolaan sumber daya alam yang baik, menggambarkan keuntungan
dan kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program
4
pengelolaan sumber daya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan
dalam distribusi manfaat sumber daya alam.
4
erosi dan sedimentasi, serta pemasok sumber air tanah baik bagi petani maupun
masyarakat lainnya.
Nilai Guna Pilihan (OV): tidak dieksploitasi pada saat ini, tetapi "disimpan"
demi kepentingan yang akan datang. Manfaat ini bersifat bonus dimana konsumen
mau membayar untuk aset yang tidak digunakan, dengan alasan yang sederhana
yakni untuk menghindari risiko karena tidak memilikinya di masa mendatang.
Nilai Keberadaan (EV): muncul dari kepuasan seseorang atau komunitas
atas keberadaan suatu aset, walaupun yang bersangkutan tidak berminat untuk
menggunakannya. Dengan kata lain nilai diberikan seseorang atau masyarakat
kepada SDAL tertentu karena memberikan manfaat spiritual, estetika dan budaya.
Nilai Warisan (BV): diberikan oleh masyarakat yang hidup saat ini terhadap
SDA dan lingkungan tertentu agar tetap ada dan utuh untuk diberikan kepada
generasi akan datang. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang
atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.
Monetary
Valuation Method
D-Curve Non-D-Curve
Approaches Approaches
Expression Revealed
Dose-Response
Inference Method Preference Method
Method
Contingent
Travel Cost Hedonic Replacement
Valuation Method
Method Pricing Method Cost
Consumer
Welfare Mitigation
Surplus
Measures Behavior
Measures
Opportunity
Cost
4
D-CURVE APPROACHES
1. Expression Inference Method
a. Contingent Valuation Method (CVM)
Metode ini digunakan untuk membuat perkiraan nilai ekonomi untuk hampir
semua ekosistem atau jasa lingkungan. CVM dapat digunakan untuk
memperkirakan nilai-nilai penggunaan dan nilai-nilai non-penggunaan.
Merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan nilai-
nilai non-penggunaan, atau nilai-nlai "penggunaan pasif". Metode ini dilakukan
dengan cara meminta orang untuk langsung menyatakan kesediaan mereka
untuk membayar jasa lingkungan tertentu, berdasarkan skenario hipotetis.
CVM karena bersifat contingent (tergantung) di mana informasi yang diperoleh
sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun.
CVM secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat dalam survei dengan
cara menanyakan kepada masyarakat berapa banyak mereka akan bersedia
membayar untuk jasa lingkungan tertentu. Dalam beberapa kasus, orang
ditanyakan tentang seberapa besar jumlah kompensasi yang bersedia mereka
terima untuk jasa lingkungan tertentu. Hal ini disebut "kontingen" penilaian,
karena orang diminta untuk menyatakan kesediaan mereka untuk membayar,
tergantung pada skenario hipotetis tertentu dan deskripsi jasa lingkungan.
Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan.
Dengan teknik survei.
Didalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap
kegiatan (proses), yaitu sebagai berikut:
Tahap I: membuat hipotesis pasar.
Tahap II: mendapatkan nilai lelang (bids).
Tahap III: menghitung rataan WTP (willingness to pay) dan WTA
(willingness to accept).
Tahap IV: memperkirakan kurva lelang (bid curve).
Tahap V: mengagregatkan data.
4
2. Revealed Preferences Method
a. Travel Cost Method (TCM)
Merupakan metode tertua yang digunakan untuk pengukuran nilai ekonomi
tidak langsung. Metode ini seringkali digunakan untuk menganalisis
permintaan terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation) seperti
memancing, berburu, hiking dan lain sebagainya. Metode ini mengkaji biaya
yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi di
atas. Dengan mengetahui pola ekspenditur dari konsumen ini, maka dapat
dikaji berapa nilai yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan
lingkungan yang dikunjunginya.
Metode TCM ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat:
Perubahan biaya akses (tiket masuk) di suatu tempat rekreasi.
Penambahan tempat rekreasi baru.
Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi.
Penutupan tempat rekreasi yang ada.
Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan
nilai ekonomi berdasarkan TCM yaitu:
Pendekatan sederhana melalui zonasi.
Pendekatan individual TCM menggunakan data sebagian besar dari survei.
4
Tahap I: penentuan variabel kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi
(fungsi HP) dan pengkajiannya memerlukan ketersediaan data spasial dan
data harga suatu objek yang akan dinilai.
Tahap II: penentuan fungsi permintaan dari kualitas lingkungan
berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tahap I. Penentuan fungsi
permintaan ini akan dipengaruhi oleh informasi mengenai sisi penawaran
pasar.
Masalah yang timbul dalam melakukan HP dengan menggunakan metode
regresi sederhana untuk menghitung tingkat permintaan, yaitu:
Ada variabel yang tidak termasuk dalam regresi (omitted variables) saat
pemilihan variabel bebas, di mana ada kemungkinan variabel yang
semestinya mempengaruhi fungsi permintaan tidak dimasukkan ke dalam
model sehingga akan menghasilkan nilai R2 yang kecil dan koefisien yang
bias.
Adanya multi kolinieritas, di mana variabel bebas yang dipilih dalam
model kemungkinan saling terkait satu sama lain sehingga menimbulkan
kolinieritas. Munculnya kolinieritas ini bisa saja menghasilkan tanda yang
salah untuk koefisien peubah bebas.
Pemilihan fungsi HP juga harus diperhatikan sebab apakah sudah tepat jika
fungsi tersebut dimodelkan secara linier dan bukan non-linier. Kesalahan
memilih fungsi ini akan menghasilkan interpretasi yang keliru.
2. Replacement Cost
Damage Cost Method, Replacement Cost, dan Subtitute Cost Method merupakan
metode yang memperkirakan nilai jasa ekosistem berdasarkan biaya untuk
menghindari kerusakan akibat layanan yang hilang terkait, biaya penggantian jasa
ekosistem, atau biaya penyediaan jasa pengganti. Metode ini tidak memerlukan
pengukuran yang ketat dari nilai-nilai ekonomi, yang didasarkan pada kesediaan
masyarakat untuk membayar untuk suatu produk atau jasa. Sebaliknya, mereka
menganggap bahwa biaya untuk menghindari kerusakan atau mengganti
ekosistem atau jasa dengan memberikan perkiraan yang berguna dari nilai
ekosistem atau jasa tersebut. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, jika orang
mengeluarkan biaya untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh layanan
ekosistem hilang, atau untuk mengganti jasa ekosistem, maka layanan tersebut
harus bernilai setidaknya apa yang orang membayar untuk menggantikan mereka.
Dengan demikian, metode ini paling tepat diterapkan dalam kasus di mana
penghindaran kerusakan atau penggantian pengeluaran benar-benar telah dibuat.
3. Mitigation Behavior
Mitigation Behavior (perilaku mitigasi) adalah metode untuk melihat perilaku
masyarakat yang mengalami suatu peristiwa/bencana lingkungan yang belum
pernah dialami sebelumnya, misal bencana banjir. Orang tanpa pengalaman banjir
cenderung meremehkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh peristiwa
semacam itu.
Metode ini digunakan untuk melihat orang-orang yang terkena dampak bencana
banjir yang dibandingkan dengan orang yang tidak terpengaruh, tetapi juga tinggal
di daerah rawan banjir. Metode ini dilakukan dengan wawancara dengan orang-
orang yang terkena bencana (misal banjir). Hasil menunjukkan bahwa orang tanpa
pengalaman banjir yang dibayangkan konsekuensi dari banjir berbeda dari orang-
5
orang yang benar-benar mengalami kerugian parah akibat banjir. Orang-orang
yang tidak terkena banjir akan meremehkan dampak negatif akibat bencana
tersebut. Berdasarkan hasil, dapat disimpulkan bahwa komunikasi risiko tidak
harus fokus hanya pada aspek teknis; untuk memicu motivasi untuk perilaku
mitigasi, komunikasi yang sukses juga harus membantu orang untuk
membayangkan konsekuensi emosional negatif dari suatu bencana alam.
4. Opportunity Cost
Opportunity Cost of Capital (OCC) adalah nilai ekonomi yang hilang akibat
pemilihan penggunaan modal suatu investasi, ketika memilih investasi yang
lainnya. Pada umumnya OCC diukur melalui tingkat IRR (Internal Rate Return)
dari suku bunga pinjaman bank.
Penerapan otonomi daerah memberikan dampak tekanan yang tinggi terhadap
pengelolaan kawasan konservasi. Menimbulkan negoisasi-negoisasi dengan
pemerintah daerah setempat terutama pemanfaatan lahan. Tidak jarang
menimbulkan konflik kepentingan antara pengelola kawasan konservasi dengan
pemerintah daerah setempat dimana secara teritorial kawasan konservasi terletak
di daerah setempat. Apalagi kepentingan mengejar PAD (Pendapatan Asli
Daerah) oleh pemerintah daerah setempat dan pertimbangan OCC kawasan
konservasi yang lebih menguntungkan apabila dapat digunakan sebagai
peruntukan lainnya seperti pertanian.
5
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen Sumberdaya Air. 2004. Sebanyak 65 DAS dalam Kondisi Semakin Kritis.
Harian Kompas tanggal 20 Agustus 2004, hal. 15, Jakarta.
Dudley, N. and Stolton, S. Running Pure: The Importance of Forest Protected Areas
to Drinking Water. http://www.forest-alliance.org.
Fauzi, A., Ph.D. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan
Aplikasi, Cetakan Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Haryono. 2001. Nilai Hidrologis Bukit Kars. Makalah dalam Seminar Nasional Eko
Hidrolik, Teknik Sipil Universitas Gajah Mada.
Pearce David, W. and Turner R. Kerry. 1990. Economic of Natural Resources and
The Environment. Harvester Weatsheaf New York London, Toronto Sydney
Tokyo.
Pearce, D. 1992. Economic Valuation and the Natural World. Working Papers,
World Development Report. Center for Social and Economic Research on the
Global Environment, London and Norwich, UK.
5
Ramdan, H., Yusran dan Dudung Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint,
Jatinangor, Sumedang.
Reksohadiprodjo, Sukanto dan Andreas Budi P.B. 1997. Ekonomi Lingkungan, Suatu
Pengantar, Edisi Pertama, Cetakan Kelima. BPFE. Yogyakarta.
Rosa, H., Kandel, S., dan Dimas L. 2005. Kompensasi untuk Jasa Lingkungan dan
Masyarakat Pedesaan: Pelajaran dari Negara-Negara Amerika. RUPES
Program, ICRAF-SEA Bogor.
WHO. 2003. Right to Water, Health and Human Rights Publication Series no. 3.
World Health Organization.