Anda di halaman 1dari 45

MODUL IV

EKSRESI URIN

I. Tujuan Percobaan
- Mengukur konsentrasi obat dalam ekskresi urin dan mengetahui
parameter-parameter lain yang dapat dihitung.
- Memahami cara mengukur konsentrasi obat dari sampel urin.

Prinsip Percobaan
Prinsip kerja dari praktikum ini adalah sebelum sukarelawan
meminum obat diambil urin blanko. Selanjtnya diberikan obat dan diambil
urin pada rentang waktu tertentu selama 24 jam. Sampel urin yang diperoleh
diukur menggunakan sistem HPLC kemudian dihitung konsentrasi dan
parameter farmakokinetiknya menggunakan metode laju ekskresi dan
metode sigma minus. Pada metode laju eksresi digunakan persamaan ln
du/dt = ln ke. DBo – ktmid dan pada metode sigma minus digunakan
persamaan ln (Du~-Du) = ln Du~ - kt.

II. Teori Dasar


II.1 Sistem Kemih

Sistem kemih (urinaria) terdiri dari organ-organ yang memproduksi


urin dan menyalurkannya keluar tubuh. Komponen dari sistem kemih terdiri
dari:

a. Ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ yang berbentuk seperti kacang,
berwarna merah tua, terletak di belakang rongga abdomen. Satu berada
di setiap sisi kolumna vertebralis dekat dengan garis pinggang dan dua
pasang iga terakhir. Ginjal dipasok oleh arteri renalis dan vena renalis.
Ginjal kanan terletak agak di bawah dibanding dengan ginjal kiri. Hal
ini karena pada sisi kanan terdapat hati. Panjang ginjal sekitar 12,5 cm
dan tebal 2,5 cm. Ginjal laki-laki memiliki berat sekitar 125-175 gr dan
pada perempuan sekitar 115-155 g.

Fungsi spesifik dari ginjal meliputi:

- Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh


- Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian ion-ion penting
- Memelihara volume plasma yang sesuai
- Membantu memelihara keseimbangan asam-basa tubuh
- Memelihara osmolaritas darah
- Mengekskresikan produk-produk sisa dari metabolisme tubuh
- Mengekskresikan banyak senyawa asing
- Mensekresikan eritropoietin
- Mensekresikan renin
- Mengubah vitamin D dalam bentuk aktifnya

(Sheerwood, 2011 : 552)

b. Ureter
Ureter adalah sebuah duktus berdinding otot polos yang keluar dari
batas medial dekat pangkal arteri dan vena renalis. Terdapat dua buah
ureter yang mengalirkan urin dari masing-masing ginjal ke kandung
kemih.

(Sheerwood, 2011 : 552)

c. Kandung Kemih

Kandung kemih (vesika urinaria) yaitu suatu kantung rongga


yang berfungsi menyimpan urin secara temporer. Dapat direnggangkan
dan volumenya disesuaikan kontraktil otot polosnya.

(Sheerwood, 2011 : 552)

d. Uretra
Secara berkala, kandung kemih dikosongkan. Urin dikeluarkan
keluar tubuh melalui uretra. Uretra wanita berbentuk pendek dan lurus
langsung dari leher kandung kemih keluar tubuh. Uretra pria jauh lebih
panjang dan melengkung melewati kelenjar prostat dan penis. Uretra
pria mempunyai dua fungsi, yaitu sebagi saluran untuk mengeluarkan
urin dan saluran untuk semen.

Selain beberapa komponen di atas, ada pula satuan fungsional ginjal


yang juga sangat berpengaruh dalam sistem kemih, yaitu nefron. Satu ginjal
bisa terdapat 1-4 juta nefron yang disatukan oleh jaringan ikat. Nefron
mempunyai satu komponen vaskular dan satu komponen tubular, terletak di
dalam ginjal memebentuk dua daerah khusus. Daerah sebelah luar tampak
granuler yaitu di korteks ginjal dan daerah dalam yang berupa segitiga-
segitiga bergaris yaitu di piramida ginjal. Secara kolektif semua itu sebagai
medula. Nefron merupakan unit terkecil pembentuk urin. Karena fungsi
utama dari ginjal sendiri adalah memproduksi urin (Sheerwood, 2011 : 552).

II.2 Urin
Secara umum urin berwarna kuning, Interpretasi warna urin dapat
menggambarkan kondisi kesehatan organ dalam seseorang.(Sheerwood,
2011) :
a. Keruh.
Kekeruhan pada urin disebabkan adanya partikel padat pada urin seperti
bakteri, sel epithel, lemak, atau Kristal-kristal mineral.
b. Pink, merah muda dan merah.
Warna urin seperti ini biasanya disebabkan oleh efek samping obat-
obatan dan makanan tertentu seperti bluberi dan gula-gula, warna ini
juga bisa digunakan sebagai tanda adanya perdarahan di system urinaria,
seperti kanker ginjal, batu ginjal, infeksi ginjal, atau pembengkakkan
kelenjar prostat.
c. Coklat muda seperti warna air teh warna ini merupakan indicator adanya
kerusakan atau gangguan hati seperti hepatitis atau serosis.
d. Kuning gelap Warna ini disebabkan banyak mengkonsumsi vitamin B
kompleks yang banyak terdapat dalam minuman berenergi.

II.3 Proses Pembentukkan Urine


a. Filtrasi Glomerulus

Adalah perpindahan (filtrasi) cairan dan zat terlarut dari kapiler


glomerular menuju kapsul bowman dengan gradien tekanan tertentu. Cairan
yang difiltrasi hartus melewati tiga lapisan yang membentuk membran
glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler
(membran basal), dan lapisan dalam kapsul bowman. Pada dinding kapiler
glomerulus memiliki lubang-lubang dengan banyak pori-pori besar
(fenestra) yang membuatya seratus kali lebih permeabel. Membran basal
terdiri dari glikoprotein dan kolagen. Terselip di antara glomerulus dan
kapsul bowman. Glikoprotein ini berfungsi menghambat filtrasi protein
plasma kecil. Dan lapisan terakhir yaitu lapisan dalam kapsul bowman.
Terdiri dari podosit (sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulus.
Setiap podosit memiliki tonjolan memanjang yang saling menjalin dengan
tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit diantara tonjolan yang
berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk
keluar dari kepiler glomerulus dan masuk ke lumen kapsul bowman. Faktor
yang membantu filtrasi ini karena membran kapiler glomerular lebih
permeabel dibanding kapiler lain dalam tubuh, tekanan darah dalam kapiler
glomerular lebih tinggi dikarenakan diameter arteriol eferen lebih kecil
dibanding diameter arteriol aferen (Sheerwood, 2011 : 553)

Filtrasi glomerulus disebabkan oleh adanya gaya-gaya fisik pasif


yang serupa dengan gaya-gaya yang terdapat di kapiler tubuh lainnya.
Terdapat tiga gaya fisik yang terlibat dalam filtrasi yaitu tekanan darah
kapiler glomerulus, tekanan osmotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik
kapsul bowman. Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan
yang ditimbulkan oleh darah. Bergantung pada jontraksi jantung dan
resistensi arteriol aferen dan eferen terhadap aliran darah. Tekanan osmotik
koloid plasma yang ditimbulkan oleh distribusi protein plasma yang tidak
seimbang dan tekanan hidrostatik kapsul bowman yang cenderung
mendorong cairan keluar dari kapsul bowman ini melawan filtrasi. Tekanan
osmotik yang melawan filtrasi rata-rata besarnya 30 mmHg. Tekanan
hidrostatik kapsul bowman diperkirakan besarnya sekitar 15 mmHg. Gaya
total yang mendorong filtrasi sebesar 55 mmHg, sedangkan jumlah kedua
gaya yang melawan arus filtrasi sebesar 45 mmHg. Perbedaan netto yang
mendorong filtrasi sebesar 10 mmHg disebut sebagai tekanan filtrasi netto.
Komposisi filtrat dalam kapsul bowman identik dengan filtrat plasma
yang berupa air dan zat terlarut dengan berat molekul rendah seperti,
glukosa,natrium, klorida, kalium, urea, fosfat, asam urat, dan kreatinin.
Sejumlah kecil albumin plasma dapat terfiltrasi namun sebagian besar
diabsorpsi lagi. Sedangkan sel darah merah dan protein tidak difiltrasi
(Sheerwood, 2011 : 552)
b. Reabsorpsi Tubulus

Bahan-bahan esensial yang difiltrasi perlu dikembalikan ke darah


melalui proses reabsorpsi tubulus. Reabsorpsi tubulus merupakan suatu
proses yang sangat selektif. Hanya sebagian kecil, itupun kalau ada, dari
filtrat yang masih bermanfaat bagi tubuh ditemukan dalam urin. Hali ini
karena sebagian besar telah diabsorpsi dan dikembalikan ke darah melalui
difusi pasif gradien kimia, transpor aktif, atau difusi terfasilitasi. Sekitar
85% filtrat diabsorpsi dalam tubulus kontortus proksimal, walaupun
reabsorpsi berlangsung pada semua bagian nefron. Beberapa zat yang
terabsorpsi yaitu:

- Ion natrium
Ditranspor pasif melalui difusi terfasilitasi dan ditranspor aktif dengan
pompa natrium kalium.
- Ion klor dan ion negatif lain
- Ditasnpor pasif dengan difusi.
- Glukosa, froktosa, dan asam amino
Melalui kotranspor. Maksimum transporuntuk glukosa adalah jumlah
maksimum yang dapat ditranspor per menit, yaitu sekitar 200 mg
glukosa/100 ml plasma. Jika melebihi, maka glukosa muncul di urin.
- Air
- Urea
50% urea diabsorpsi secara pasif dan 50% diekskresi dalam urin.
- Ion organik lain
Berupa kalium, kalsium, fosfat, sulfat, dan sejumlah ion lain ditranspor
aktif.

(Sheerwood, 2011)

c. Sekresi Tubular

Adalah proses aktif yang memindahkan zat keluar dari darah dalam
kapiler peritubular melewati sel-sel tubular menuju cairan tubular untuk
kemudian keluar bersama urin. Beberapa zat yang disekresikan berupa:

- Ion hidrogen, kalium, amonium kreatinin, asam hipurat, serta obat-


obatan tertentu aktif disekresi ke tubulus.
- Ion hidrogen dan amonium diganti debgan ion natrium dalam tubulus
kantortus distal dan tubulus pengumpul.
(Sheerwood, 2011)

II.4 Larutan

Larutan merupakan campuran homogen dari dua macam zat atau


lebih. Dalam berbagai percobaan sering digunakan larutan baku yang terdiri
atas larutan baku primer dan sekunder. Larutan baku primer adalah larutan
yang dijadikan acuan untuk penetapan konsentrasi larutan lain. Larutan
baku sekunder adalah larutan yang konsentrasinya distandarisasi terhadap
larutan baku primer (Wirjosoemarto, 2000 : 23). Dari larutan kita dapat
membuat larutan induk dimana larutan induk merupakan larutan baku kimia
yang dibuat dengan kadar tinggi dan akan digunakan untuk membuat larutan
baku dengan kadar lebih tinggi dan kemudian dapat dibuat larutan stok,
larutan stok merupakan larutan yang berisi satu atau lebih komponen media
yang konsentrasinya lebih tinggi daripada konsentrasi komponen tersebut
dalam formulasi media yang akan dibuat. Larutan stok biasanya dibuat
dengan konsentrasi 10, 100 atau 1000 kali lebh pekat. Jika larutan stok
dibuat, pembuatan media dapat dilakukan dengan cara mengambil sejumlah
larutan stok sehingga konsentrasinya menjadi sesuai dengan yang terdapat
pada formulasi media yang dikehendaki (Wirjosoemarto, 2000).

Dalam pembuatan larutan stok yang perlu diperhatikan adalah


penyatuan beberapa koponen media sekaligus dalam suatu larutan stok dan
harus mempertimbangkan kecocokan dan kestabilan dari sifat kimianya.
Pembuatan larutan stok dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
pekerjaan dalam pembuatan media selanjutnya antara lain:

a. Menghemat pekerjaan menimbang bahan media setiap kali ingin


membuat media
b. Mengatasi kesulitan penimbangan dalam jumlah yang sangat kecil
c. Mengurangi kerusakan bahan kimia akibat terlalu sering dibuka dan
ditutup
(Wirjosoemarto, 2000)
II.4.1Pengenceran
Pengenceran adalah mencampur larutan pekat (konsentrasi tinggi)
dengan cara menambahkan pelarut agar diperoleh volume akhir yang lebih
besar (Khopkar, 1990). Pengenceran yaitu suatu metode yang diterapkan
pada suatu senyawa dengan jalan menambahkan pelarut yang bersifat netral,
lazim dipakai yaitu akuades dalam jumlah tertentu. Penambahan suatu
pelarut dalam suatu senyawa dan berakibat menurunya kadar kepekatan atau
tingkat konsentrasi dari senyawa yang dilarutkan atau diencerkan (Brady,
1999). Dalam hal ini konsentrasi yang digunakan adalah molaritas (M) pada
proses pengenceran volume dan molaritas berubah, sedangkan jumlah
molnya tetap.

V1.M1 =V2.M2

Keterangan :
V1 = Volume larutan sebelum diencerkan (L atau mL)
M1 = Molaritas larutan sebelum diencerkan
V2 = Voleme larutan setelah diencerkan (L atau mL)
M2 = Molaritas larutan setelah diencerkan
II.5 Analisis Obat dalam Urin

Urin merupakan suatu larutan yang kompleks dan mengandung


bermacam – macam bahan organik maupun anorganik. Susunanya
tergantung dari bahan – bahan yang dimakan, keadaan metabolisme tubuh,
kemampuan ginjal untuk mengadakan seleksi. Pemeriksaan urin sangat
penting dilakukan karena dapat memberikan fakta – fakta tentang ginjal dan
saluran kemih. Adanya unsur atau bahan abnormal dalam urin yang
merupakan efek langsung dari ginjal dan saluran kemih dapat dideteksi
melalui pemeriksaan urin. Pemeriksaan urin telah lama dilakukan dan
sekarang pemeriksaan urin menjadi lebih mudah, cepat dan praktis dengan
menggunakan carik celup (Gandasoebrata, 1992). Selain dapat mendeteksi
efek dari kandung kemih dan efek ginjal pemeriksaan urin dapat digunakan
sebagai analisis obat yang melewati urin, data ekresi obat lewat urin dapat
dipakai untuk memperkirakan bioavailabilitas. Laju eksresi obat dalam urin
menunjukan konsentrasi obat dalam plasma faktor – faktor yang
mempengaruhi konsentrasi obat dengan plasma yaitu fungsi ginjal untuk
obat – obat yang mengalami eliminasi dengan cara ekresi melalui ginjal,
fungsi hati untuk obat – obat yang mengalami metabolisme di hati, fungsi
jntung menentukan besar volume distribusi obat, ineteraksi obat dan ikatan
protein mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh (Shargel, 2004). Agar
dapat diperkirakan dengan valid, obat harus diekresi dengan jumlah yang
bermakna di dalam urin dan cuplikan urin harus dikumpulkan secara
lengkap. Jumlah kumulatif obat yang diekresi dalam urin secara langsung
berhubungan dengan jumlah total obat yang terabsorbsi. Dalam percobaan,
cuplikan urin dikumpulkan secara berkala setelah pemberiaan produk obat.
Tiap cuplikan ditetapkan kadar obat bebas dengan cara yang spesifik.
Kemudian dibuat grafik yang menghubungkan kumulatif obat yang diekresi
terhadap jarak waktu pengumpulan (Shargel dan Yu, 2005).

Pengujian analisis obat dalah urin dapat dilakukan menggunakan dua


metode yakni metode laju ekskresi urin dan metode sigma minus. Pada
metode laju ekresi urin, tetapan laju eliminasi, K, dapat dihitung dari data
eksresi urin. Dalam perhitungan ini, laju ekresi obat dianggap sebagai orde
kesatu. Kₑ adalah tetapan laju ekresi ginjal, Dᵤ adalah jumlah obat yang
diekresi dalam urin, dan DB adalah jumlah obat didalam tubuh.

dDᵤ
=Kₑ DB
dt
Dari persamaan tersebut, DB disubstitusi dengan D⁰B e⁻ᵏͭᶵ
dDu
= Kₑ D⁰ B e⁻ᵏᶵ
dt

Dengan memakai logaritma natural untuk kedua sisi dari persamaan


tersebut dan kemudian diubah ke logaritma biasa, diperoleh:

dDu −kt
log = + log Kₑ D⁰B
dt 2,3

Du
dengan menggambarkan log d terhadap waktu diperoleh suatu
dt
garis lurus, slop = -K/2,3 dan intersep y =log Kₑ D⁰B.
(Sumber : Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. (Ed. Ke-2),
1985)

Oleh karena eliminasi suatu obat biasanya dipengaruhi oleh ekresi


ginjal atau metabolisme (biotranformasi), maka dapat digunakan
persamaan :
K = Kᵐ + Kₑ

Kᵐ adalah laju proses metabolisme orde kesatu dan Kₑ adalah laju


proses eksresi orde kesatu. Maka waktu paruh dihitung mengikuti kinetika
orde satu, yakni :
t1/2 = ln2/k

Laju eksresi obat lewat urin (dDᵤ/dt) tidak dapat ditentukan melalui
percobaan segera setelah pemberian obat. Dalam praktel, urin
dikumpulkan pada jarak waktu tertentu dan konsentrasi obat dianalisis.
Kemudian laju ekskresi urin rata – rata dihitung untuk tiap waktu
pengumpulan. Harga dDᵤ/dt rata – rata gambar pada suatu skala
semilogaritma terhadap waktu merupakan harga tengah (titik tengah)
waktu pengumpuln.

Selama waktu pengumpulan urin, banyak faktor yang berpotensi


mengganggu kestabilan urin yang akan dianalisis, beberapa diantaranya
adalah proliferasi bakteri, pH urin yang semakin basa, oksidasi pigmen
empedu, dan evaporasi keton. Pencegahan ketidakstabilan urin dapat
dilakukan dengan penyimpanan urin pada suhu 4°C atau penggunaan
pengawet urin (toluen, kloroform, atau formalin). Penggunaan pengawet
urin tidak sepenuhnya memuaskan dalam menjaga kestabilan urin, dan
analisis urin yang benar – benar valid dilakukan samapi 2 jam setelah
pengumpulan.

Metode lain untuk perhitungan tetapan laju eliminasi K dari data


ekresi urin dengan metode sigma-minus. Metode sigma minus kadang-
kadang lebih disukai daripada metode sebelumnya . oleh karena fluktuasi
data laju eliminasi diperkecil.

Jumlah obat tidak berubah dalam urin dapat dinyatakan sebagai


fungsi waktu melalui persamaan berikut.

KₑD 0
Dᵤ = (1 - e⁻ᵏ ͭ )
K

Dᵤ adalah jumlah kumulatif obat tidak berubah yang diekresi dalam


urin. Jumlah obat tidak berubah yang akhirnya diekresi dalam urin Dᵤ~.
Dapat ditentukan dengan membuat waktu t tak hingga. Jadi e⁻ᵏ ͭ diabaikan
didapat pernyataan sebagai berikut.

Dᵤ~ - Dᵤ = Dᵤ~ . e⁻ᵏ ͭ


Untuk mendapatkan suatu persamaan linear, persamaan di atas
dapat ditulis dalam bentuk logaritmik.

−Kt
Log (Dᵤ~ - Dᵤ) = log Dᵤ~
2,3
Faktor – faktor tertentu yang dapat mempersulit untuk
mendapatkan data eksresi urin yang sahih. Beberapa faktor tersebut
adalah:

a. Suatu fraksi yang mengandung obat yang tidak berubah (utuh) harus
diekresikan dalam urin
b. Teknik penetapan kadar harus spesifik untuk obat yang tidak berubah
(utuh), dan harus tidak dipengaruhi oleh metabolit – metabolit obat
yang mempunyai struktur kimia serupa
c. Diperlukan pengambilan cuplikan yang sering untuk mendapatkan
gambaran kurva yang baik
d. Cuplikan data urin hendaknya dikumpulkan secara berkala sampai
hampir semua obat dieksresikan.
e. Perbedaan pH urin dan volume dapat menyebabkan perbedaan laju
eksresi urin yang bermakna.
(Shargel dan Yu, 2005)

II.6 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi


II.6.1Pengertian KCKT

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) yang juga dikenal dengan


istilah High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan suatu
teknik pemisahan yang didasarkan pada partisi sampel diantara suatu fasa
gerak dan fasa diam yang berupa cairan maupun padatan dibantu dengan
adanya tekanan tinggi sehingga analit lebih mudah dipisahkan untuk
selanjutnya diidentifikasi dan dihitung berapa konsentrasi dari masing-
masing komponen tersebut. (Putra,E, 2007)

Ciri dari teknik ini adalah penggunaan tekanan yang tinggi untuk
mengirim fase gerak ke dalam kolom. Dengan memberikan tekanan tinggi,
laju dan efisiensi pemisahan dapat ditingkatkan dengan besar.
(Veronika,R.M, 1999)

II.6.2Prinsip KCKT

Prinsip dasar dari KCKT sama dengan prinsip kromatografi pada


umumnya yaitu berdasarkan pada perbedaan sifat dalam distribusi
kesetimbangan (K) dari 2 komponen yang berbeda fasanya (fasa diam dan
fasa gerak). (Ahmad, M., dan Suherman 1995)
Prinsip kerja KCKT yaitu pemisahan absorbsi dan desorpsi yang
berulang kali dari komponen yang dipisahkan. Pemisahan ini terjadi karena
adanya perbedaan kecepatan migrasi dari masing-masing komponen yang
didasarkan oleh adanya perbedaan koefisien distribusi dari komponen
tersebut antara kedua fasa. Selanjutnya komponen diidentifikasi secara
kualitatif dan dihitung berapa konsentrasi dari masing-masing komponen
tersebut secara kuantitatif. (Putra,E, 2007)

II.6.3Kelebihan dan Kekurangan KCKT


a. Kelebihan
1. Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran
2. Resolusinya baik
3. Mudah melaksanakannya
4. Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi
5. Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang
dianalisis
6. Dapat digunakan bermacam-macam detektor
7. Kolom dapat digunakan kembali
8. Mudah melakukan rekoveri cuplikan
9. Tekniknya tidak begitu tergantung pada keahlian operator dan
reprodusibilitasnya lebih baik
10. Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan
kuantitatif
11. Waktu analisis umumnya singkat
12. Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar
13. Ideal untuk molekul besar dan ion (Putra, 2007: 88)
b. Kekurangan
Keterbatasan dalam metode KCKT yaitu
1. untuk menidentifikasi senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan
dengan spektrometer massa (MS).
2. Sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit untuk
diperoleh.   
3. Larutan harus dicari fase diamnya terlebih dulu
4. Hanya bisa digunakan untuk asam organik
5. Harus mengetahui kombinasi yang optimum antara pelarut, analit,
dan gradien elusi
6. Harganya mahal sehingga penggunaannya dalam lingkup
penelitian yang terbatas
(Munson, 1991: 26).
II.6.4Cara Kerja KCKT
Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat
terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini
melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh
distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair
membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi
operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom,
kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Ganjar, 2007).

II.6.5 Komponen KCKT

Gambar 1. Skema alat KCKT


1. Wadah Fase Gerak
Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah pelarut
kosong ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase
gerak. Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2
liter pelarut. (Shettle, F, 1997)
Tempat pelarut biasanya menggunakan suatu botol yang tahan
terhadap pelarut pelarut organik dan larutan yang digunakan untuk KCKT
haruslah terbebas dari partikel-partikel dari gas/udara. Hal ini dikarenakan:
a. Adanya partikel dalam larutan bisa terbawa masuk ke dalam pompa,
hal ini dapat mengakibatkan tersumbatnya aliran pelarut tersebut.
b. Udara yang masuk ke dalam pompa dapat mengganggu kestabilan
pemompaan dan jumlah volume tetap yang dipakai akan terganggu.
Selain itu pada kolom dan detektor akan mengalami gangguan (Bahti,
1998)
 Fase gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut
yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya
elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas
keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-
komponen sampel (Johnson dan Stevenson, 1991).
Terdapat keragaman yang luas dari fase gerak yang digunakan
dalam semua mode KCKT, tetapi ada beberapa sifat-sifat yang
diinginkan yang mana umumnya harus dipenuhi oleh semua fase
gerak.
Ciri-ciri yang harus dimiliki oleh fase gerak pada KCKT :
 Murni; tidak ada pencemar/kontaminan
 Tidak bereaksi dengan pengemas
 Sesuai dengan detektor
 Melarutkan cuplikan
 Mempunyai viskositas rendah
 Mudah rekoveri cuplikan, bila diinginkan
(Johnson dan Stevenson, 1991).

2. Pompa
Untuk mengerakkan fase gerak melalui kolom diperlukan pompa.
Pompa harus mampu menghasilkan tekanan 6000 psi pada kecepatan alir
0,1–10 ml/menit. Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran
fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak
berlangsung secara tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas dari
gangguan.Terdapat 2 jenis pompa yaitu pompa volume konstan dan pompa
tekanan konstan. Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap semua
pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas baja antikarat dan
teflon. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk menghindari
hasil yang menyimpang pada detektor. (Munson, 1991)

3. Injektor
Cuplikan harus dimasukkan kedalam pangkal kolom (kepala
kolom), diusahakan agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada
kemasan kolom (Ahmad, M., dan Suherman. 1995). Terdapat tiga jenis
dasar injektor, yaitu:
a. Hentikan aliran/stop flow
Aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem
tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena
difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak dipengaruhi. (Ahmad, M.,
dan Suherman. 1995)
b. Septum
Injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama
dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat
digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak
tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Disamping itu,
partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat
menyebabkan penyumbatan. (Ahmad, M., dan Suherman. 1995)
c. Katup putaran (loop valve)
Ditunjukkan secara skematik dalam Gambar 2, tipe injektor ini
umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar daripada 10 µl
dan sekarang digunakan dengan cara otomatis (dengan adaptor khusus,
volume-volume lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual). Pada posisi
LOAD, sampel loop (cuplikan dalam putaran) diisi pada tekanan atmosfir.
Bila katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke
dalam kolom. (Ahmad, M., dan Suherman. 1995)

4. Kolom dan Fase diam


Kolom adalah jantung kromatografi, berhasil atau gagalnya suatu
analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang
sesuai. (Kealey, D dan Haines, P.J, 2002). Kolom dapat dibagi menjadi
dua kelompok:
a. Kolom analitik
Diameter khas adalah 2-6 mm. Panjang kolom tergantung pada jenis
kemasan. Untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm.
Untuk kemasan mikropartikel berpori, umumnya 10-30 cm. Dewasa ini
ada yang 5 cm.
Jenis dari kolom analitik : C-18, Sianopropil, Penukar ion
b. Kolom preparatif
Memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang kolom 25-100
cm. Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan
pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi,
terutama untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi.
Kemasan kolom tergantung pada mode KCKT yang digunakan.
 Fase diam
Kebanyakan fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi
secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren
dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena
adanya residu gugus silanol (Si-OH). Silika dapat dimodifikasi secara
kimiawi dengan menggunakan reagen-reagen seperti klorosilan. Reagen-
reagen ini akan bereaksi dengan gugus silanol dan menggantinya dengan
gugus-gugus fungsional yang lain. (Kealey, D and Haines, P.J, 2002)
Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling
banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan
kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi. Oktil atau rantai alkil yang
lebih pendek lagi lebih sesuai untuk solut yang polar. Silika-silika
aminopropil dan sianopropil (nitril) lebih cocok sebagai pengganti silika
yang tidak dimodifikasi. Silika yang tidak dimodifikasi akan memberikan
waktu retensi yang bervariasi disebabkan karena adanya kandungan air
yang digunakan. (Kealey, D and Haines, P.J, 2002)

5. Detektor
Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen
cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Suatu kepekaan yang
rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi
tidak selalu dapat diperoleh. (Meyer, F.R,2004)
Detektor pada HPLC dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu:
detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak
bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks bias
dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor yang spesifik
yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti
detektor UV-Vis, detektor fluoresensi, dan elektrokimia (Meyer,F.R,2004).
Suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel.
b. Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut
pada kadar yang sangat kecil.
c. Stabil dalam pengopersiannya.
d. Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan
pelebaran pita.
e. Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada
kisaran yang luas (kisaran dinamis linier).
f. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.
(Meyer, F.R,2004)
Beberapa detektor yang paling sering digunakan pada HPLC dengan
karakteristik detektor seperti berikut :
Detektor Sensitifitas Kisaran Karakteristik
(g/ml) linier
Absorbansi Uv-vis
Fotometer filter 5 x 10-10 104 Sensitivitas bagus, paling
Spektrofotometer 5 x 10-10 105 sering digunakan, selektif
spektrometer photo- > 2 x 10-10 105 terhadap gugus-gugus
diode array dan struktur-struktur
yang tidak jenuh.
Fluoresensi 10-12 104 Sensitifitas sangat bagus,
selektif, Tidak peka
terhadap perubahan suhu
dan kecepatan alir fase
gerak.
Indeks bias 5 x 10-7 104 Hampir bersifat universal
akan tetapi
sensitivitasnya sedang.
Sangat sensitif terhadap
suhu, dan tidak dapat
digunakan pada elusi
bergradien
Elektrokimia
Konduktimetri 10-8 104 Peka terhadap perubahan
Amperometri 10-12 105 suhu dan kecepatan alir
fase gerak, tidak dapat
digunakan pada elusi
bergradien. Hanya
mendeteksi solut-solut
ionik. Sensitifitas sangat
bagus, selektif tetapi
timbul masalah dengan
adanya kontaminasi
elektroda.
Tabel 1. Jenis dan karakteristik detektor
II.6.6 Tipe teknik KCKT
a. Berdasarkan sifat kepolaran dari fase diam dan fase gerak
1. Kromatografi fasa normal merupakan kromatografi dimana fase diam
lebih polar dibandingkan fase geraknya. Contoh : campuran pelarut-
pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau menggunakan
pelarut-pelarut jenis alkohol. (Kasture, et al, 2006)
2. Kromatografi fasa terbalik merupakan kromatografi dengan fase gerak
lebih polar dibandingkan fase diamnya. Contoh : campuran larutan bufer
dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril. (Kasture, et al,
2006)
3. Berdasarkan prinsip kerja kromatografi
- Kromatografi absorbsi
Pemisahan kromatografi adsorbsi biasanya menggunakan fase
normal dengan menggunakan fase diam silika gel dan alumina,
meskipun demikian sekitar 90% kromatografi ini memakai silika gel
sebagai fase diamnya. Pada silika dan alumina terdapat gugus
hidroksi yang akan berinteraksi dengan solut. Gugus silanol pada
silika mempunyai reaktifitas yang berbeda, karenanya solut dapat
terikat secara kuat sehingga dapat menyebabkan puncak yang
berekor (tailling). Fase gerak yang digunakan untuk fase diam silika
atau alumina berupa pelarut non polar yang ditambah dengan pelarut
polar seperti air atau alkohol rantai pendek untuk meningkatkan
kemampuan elusinya sehingga tidak timbul pengekor puncak,
misalnya n-heksan ditambah dengan metanol (Ganjar, 2007).
- Kromatografi partisi
Teknik ini tergantung pada partisi solute diantara dua pelarut yang
tidak dapat bercampur, salah satu diantaranya bertindak sebagai fase
diam dan yang lainnya sebagai fase gerak (Putra, 2007).
- Kromatografi penukar ion
KCKT penukar ion menggunakan fase diam yang dapat menukar
kation atau anion dengan suatu fase gerak. Ada banyak penukar ion
yang beredar dipasaran, meskipun demikian yang paling luas
penggunaannya adalah polistiren resin. Kebanyakan pemisahan
kromatografi ion dilakukan dengan menggunakan media air karena
sifat ionisasinya. Dalam beberapa hal digunakan pelarut campuran
misalnya air-alkohol dan juga pelarut organik (Ganjar, 2007).
- Kromatografi pasangan ion
Kromatografi pasangan ion juga dapat digunakan untuk pemisahan
sampel-sampel ionik dan mengatasi masalah-masalah yang melekat
pada metode penukaran ion. Sampel ionik ditutup dengan ion yang
mempunyai muatan yang berlawanan. (Meyer, F.R,2004)
- Kromatografi ekslusi ukuran
Fase diam yang digunakan dapat berupa silika atau polimer yang
bersifat porus sehingga solut dapat melewati porus (lewat diantara
partikel), atau berdifusi lewat fase diam. Molekul solut yang
mempunyai berat molekul yang jauh lebih besar, akan terelusi lebih
dahulu, kemudian molekul-molekul yang ukuran medium dan
terakhir adalah molekul yang jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan
solut dengan berat molekul yang besar tidak melewati poros, akan
tetapi lewat diantara partikel fase diam. Dengan demikian dalam
pemisahan dengan ekslusi ukuran ini terjadi interaksi kimia antara
solut dan fase diam seperti kromatografi yang lain (Ganjar, 2007)
- Kromatografi afinitas
Pemisahan terjadi karena interaksi-interaksi biokimiawi yang sangat
spesifik. Fase diam mengandung gugus-gugus molekul yang hanya
dapat menyerap sampel jika ada kondisi-kondisi yang terkait dengan
muatan dan sterik tertentu pada sampel yang sesuai. Kromatografi
jenis ini dapat digunakan untuk mengisolasi protein (enzim) dari
campuran yang sangat kompleks (Meyer, F.R,2004).

3.7 Siprofloksasin

(C17H18FN3O3 ) 1-cyclopropyl-6-fluro 1,4 dihydro-4-0xo-7-(piperazinyl)-


3- quinoline carboxylic acid

Siprofloksasin merupakan anti bakteri golongan flourokuinolon.


Siprofloksasin bekerja dengan menghambat replikasi DNA dengan
mengikat DNA girase dan topoisomerase IV pada bakteri sehingga
menimbulkan efek aktivitas bakterisidal terhadap bakteri yang rentan.
(Katzung, 2013 : 946 ) Siprofloksasin yang merupakan golongan
flourokuinolon mempunyai sifat anti bakteri yang dimiliki florokuinolon
pada umumnya, flurokuinolon semula dikembangkan karena aktivitasnya
yang baik terhadap bakteri aerob gram negatif sedangkan aktivitas
terhadap bakteri aerob gram positif masih terbatas tetapi aktivitas terbaru
dari siprfloksasin menunjukan jika siprofloksasin memiliki aktivitas anti
bakteri gram negatif yang sangat baik dan aktifitas anti bakteri yang
sedang sampai baik pada bakteri gram positif (Katzung, 2013 : 944).

Siprofloksasin yang diberikan dalam dosis 500 mg setelah


pemberian oral siprofloksasin diserap dengan baik dan terdistribusi luas
dicairan dan jaringan tubuh diketahui memiliki waktu paruh 3-5 jam
dengan ketersediaan hayati 70 %, konsentrasi serum pucak 2,4 mcg/mL
dengan rute ekstresi utama adalah ginjal. Penyerapan oral dapat terganggu
oleh kation divalent dan trivalent termasuk yang terdapat dalam antasid,
konsentrasi serum obat yang diberikan secara intravena setara dengan yang
diberikan oral. Obat disekresi oleh ginjal dengan sekresi tubulus maupun
glomerulus (Katzung, 2013: 944).

Pemakaian klinis siprofloksasin digunakan dalam kasus infeksi


saluran kemih, gastroenteritis, osteomyelitis, dan merupakan obat
profilaksis dan terapi antraks, di Amerika siprofloksasin tidak lagi
digunakan terhadap terapi infeksi genokokus karena kasus resistensi. Efek
samping dan toksisitas yang mungkin ditimbulkan adalah gangguan
pencernaan , neurotoksisitas, dan tendonitis. (Katzung, 2013 : 944-945).

Absorbsi siprofloksasin secara oral diabsorsi baik melalui saluran


cerna tanpa kehilangan bermakna dari metabolisme lintas pertama.
Distibusi siprofloksasin ke seluruh tubuh menyebabkan konsentrasi dalam
jaringan melebihi konsentrasi dalam serum terutama dijaringan genital
termasuk prostat, siprofloksasin ditemukan dalam bentuk aktif di saliva,
sekret masal dan bronkus, mukosa sinus, sputum cairan gelembung kulit,
limfe, cairan peritoneal, empedu, paru-paru, kulit, jaringan lemak, otot,
kartilago, dan tulang. Obat ini berdifusi ke cairan serebro spinal dengan
konsentrasi di CSS kurang dari 10 % ditemukan pula pada aqueus humor
dan vitreus humor dalam konsentrasi yang rendah. Metabolisme
siproploklasin deketahui dapat di identifikasi di urin manusia sebesar 15 %
dari dosis oral. Ekskresi dari siprofloksasin diketahui sebesar 40-50 % dari
dosis obat yang diminum diekskresikan melalui urin dalam bentuk awal
sebagai obat yang belum diubah, ekskresi siprofloksasin melalui urin akan
lengkap setelah 24 jam klirens ginjal dari siprofloksasin sekitar 300
ml/menit melebihi laju filtrasi glomerulus sebesar 120 ml/menit yang
menandai sekresi tubular aktif memiliki peranan penting dalam eliminasi
siprofloksasin pada manusia dengan klirens ginjal normal. (Katzung,
2013 : 944-945)
III. Alat dan Bahan

Alat Bahan
Neraca analitik Sampel urin
Spatel Siprofloksasin 500 mg
Ball pipet Dapar amonium asetat
Pipet volume Aquadest
Pipet tetes Asetonitril
Labu takar Trietanolamin
Mikro pipet Kertas perkamen
HPLC
Membran filter PTFE 0,45 mikrometer
Gelas kimia
Vial

IV. Prosedur
Pengambilan sampel
Dilakukan pengambilan urine blangko sebelum sukarelawan meminum
obat.

Tablet siprofloksasin 500 mg diminum oleh sukarelawan tepat pada jam


11.00 WIB satu hari sebelum praktikum. Pengambilan sampel urine
dikakukan dalam rentang waktu sebagai berikut

Pengambilan Rentang Waktu Pengumpulan Urin


Ke
1 11.00 -14.00
2 14.00 -17.00
3 17.00 - 20.00
4 20.00 - sebelum tidur
5 Sesaat setelah bangun tidur belum
makan dan minum apapun – 08.00
6 08.00 -11. 00

Urine yang terkumpul ditaruh di dalam botol plastik. Volume dari tiap urin
yang terkumpul pada selang waktu tersebut diukur dan diambil sebanyak
10 mL kemudia disimpan di dalam vial. Sampel urin disimpan di dalam
lemari pendingin dengan suhu – 40C.

Perlakuan sampel
Tiap sampel urin diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam labu
takar 10 mL

Sampel diencerkan dengan dapar amonium asetat hingga volume 10 mL (1


: 100)

Larutan tersebut kemudian disaring dan diinjeksikan ke dalam kolom


HPLC dengan kolom fasa balik oktadesil silane dan fase gerak asetonitril-
air (25:75) dan ditambahkan 0,1 % trietanolamin dengan penyesuaian pH
hingga 2,5 dengan penambahan asam sulfat 1 M, detektor spektrofotometri
UV 280 nm, laju elusi 1 mL/menit.

Luas area siprofloksasin yang diperoleh dicatat


Pengolahan Data
Kurva kalibrasi dibuat dengan cara membuat larutan siprofloksasin dalam
urin blanko dengan konsentrasi siprofloksasin 0,1; 0,5; 1; 5; 10; 20; dan 50
µg/mL

Dihitung luas area dari tiap siprofloksasin di atas dengan sistem HPLC
yang sama. Kurva kalibrasi dibuat berdasarkan rasio luas area antara
siprofloksasin dan standar.

Dengan kurva kalibrasi yang didapatkan konsentrasi siprofloksasin dari


sampel urin dihitung.

Berdasarkan data konsentrasi obat dalam sampel urin dibuat kurva ln dXu/
dt terhadap tmid dan ln ( Xu∞- Xu ) terhadap t dan kemudian ditentukan
konstanta laju eliminasi dan waktu paruh eliminasi dari siprofloksasin.
V. Data Pengamatan dan Perhitungan
VI. Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan penentuan konsentrasi siprofloksasin
dalam ekskresi urin dan parameter farmakokinetika yaitu konstanta laju
eliminasi dan waktu paruh eliminasi. Sampel yang digunakan adalah urin
dari praktikan. Urin tersebut mengandung berbagai komponen senyawa dan
salah satunya adalah senyawa eksogen. Senyawa eksogen merupakan
senyawa yang berasal dari luar tubuh dan sengaja dimasukkan dengan
tujuan tertentu. Senyawa eksogen tersebut adalah siprofloksasin yang
memiliki khasiat antibiotik. Obat akan berinteraksi dengan molekul-molekul
yang penting secara fungsional dalam tubuh (reseptor) sehingga
menghasilkan respon biologis. 
Tujuan analisis dengan data urin adalah untuk memeriksa komponen
yang berbeda dari urine sebagai produk buangan dari ginjal dan untuk
menemukan gejala-gejala penyakit. Keuntungan sampel urin jika digunakan
dalam analisis adalah mudah dilakukan karena pengambilan
sampelnya lebih mudah daripada pengambilan sampel darah. Jumlah sampel
yang didapatkan banyak, lama dan selang waktu penampungan urin sesuai
dengan karakteristik obat yang akan diuji, dan umumnya tidak mengandung
lipid dan protein sehingga mudah untuk diekstraksi menggunakan pelarut
organik. Jenis senyawa yang umum terdapat dalam urin adalah larut air,
sedangkan sebagian besar obat larut lemak, sehingga dapat diekstrasi
dengan pelarut yang sesuai. Sedangkan kekurangan analisis dengan urin
adalah pengosongan kandung kemih sulit dilakukan, dekomposisi selama
penyimpanan, dan kemungkinan terhidrolisisnya konjugat metabolit tak
stabil dalam urin.
Pada praktikum ini sukarelawan mengkonsumsi obat siprofloksasin.
Siprofloksasin adalah suatu antibiotik spektrum luas, golongan fluorokinon
yang biasa digunakan dalam terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri
gram positif maupun gram negatif. Senyawa fluorokinon ini bersifat
membunuh bakteri (bakterisid) dengan cara mengikat enzim DNA gyrase
yang diperlukan DNA untuk berubah dari bentuk spiral ganda menjadi
bentuk spiral tunggal pada saat pembelahan sel (Katzung, 2013).
Satu hari sebelum praktikum dilakukan pengumpulan urin dari
sukarelawan. Syarat dari seorang sukarelawan yaitu harus dalam kondisi
yang sehat, tidak boleh mengkomsumsi obat apapun karena urin dapat
mengandung senyawa lain selain siprofloksasin yang akan mempengaruhi
hasil pengukuran, dan sukarelawan tidak boleh minum teh, susu, atau
alkohol selama pengambilan urin karena minuman tersebut akan
mempengaruhi proses ekskresi. Teh, kopi, atau alkohol dapat menghambat
reabsorpsi ion Na+. Akibatnya ADH berkurang sehingga reabsorpsi air
terhambat dan volume urin meningkat.
Urin dikumpulkan dengan rentang waktu yang telah ditentukan.  Hal ini
bertujuan agar jumlah obat yang diekskresikan memiliki kecepatan
eliminasi yang tetap sehingga data urin yang diperoleh menjadi valid. Urin
yang pertama kali ditampung adalah urin blanko dimana urin tersebut belum
mengandung senyawa siprofloksasin. Urin blanko digunakan untuk
membandingkan antara urin yang mengandung siprofloksasin dengan yang
tidak mengandung siprofloksasin. Urin blanko juga menandakan tidak ada
partikel lain yang akan terukur selain urin itu sendiri.
Pada jam 11 siang, praktikan diberikan obat siprofloksasin dengan dosis
500 mg. Dosis tersebut merupakan dosis lazim dimana dapat memberikan
efek farmakologis sesuai dengan terapi (berada diantara MEC/Minimum
Effective Concentration dan MTC/Minimum Toxic Concentration). Obat
tersebut diminum sehari sebelum percobaan, hal ini bertujuan untuk
memaksimalkan proses biofarmasetik dimana obat tersebut akan diabsorbsi,
didistribusi, dimetabolisme dan diekskresi melalui urin.
Siprofloksasin diserap dengan baik melalui saluran cerna.
Bioavailabilitas absolut siprofloksasin yaitu sekitar 70%, tanpa kehilangan
jumlah yang bermakna dari proses metabolisme lintas pertama. Setelah
administrasi oral, siprofloksasin didistribusikan ke seluruh tubuh.
Konsentrasi jaringan seringkali melebihi konsentrasi serum, terutama di
jaringan genital, termasuk prostat. Waktu paruh eliminasi serum pada subjek
dengan fungsi ginjal normal adalah sekitar 4 jam. Sebesar 40-50% dari dosis
yang diberikan diekskresikan melalui urin dalam bentuk awal sebagai obat
yang belum diubah. Ekskresi siprofloksasin melalui urin akan lengkap
setelah 24 jam. Dalam urin semua fluorokuinolon mencapai kadar yang
melampaui konsentrasi hambat minimal (KHM) untuk kebanyakan
kuman patogen selama minimal 12 jam. Klirens ginjal dari siprofloksasin,
yaitu sekitar 300 mL/menit, melebihi laju filtrasi glomerulus yang sebesar
120 mL/menit. Oleh karena itu, sekresi tubular aktif memainkan peran
penting dalam eliminasi obat ini (Katzung, 2013).
Pada saat pengumpulan urin dilakukan pengukuran volume urin yang
diekskresikan. Pengukuran volume urin tersebut bertujuan agar dapat
ditentukan berapa jumlah obat (siprofloksasin) yang telah diekskresikan
(nilai Du). Berdasarkan hasil pengamatan, volume urin blanko yang
diperoleh adalah 520 ml dan volume urin pada waktu 11.00-14.00 adalah
500 mL, 14.00-17.00 adalah 500 mL, 17.00-20.00 adalah 500 mL, 20.00-
21.30 adalah 500 mL, 04.30-08.00 adalah 500 mL dan 08.00-11.00 adalah
500 mL. Pada orang dewasa, volume urin normal per hari adalah 1500-6000
ml (minimum 30 ml per jam) (Sheerwood, 2011). Volume urin yang
diperoleh masuk dalam rentang nilai normal. Hal ini disebabkan karena
jumlah asupan cairan (air) pada tubuh cukup banyak. Dari tiap sampel urin
yang terkumpul pada selang waktu tersebut diambil sebanyak 10 mL dan
dimasukkan ke dalam vial yang disimpan pada lemari pendingin dengan
suhu -4o C. Hal ini disebabkan apabila urin berada dalam suhu ruangan
untuk periode waktu lama maka kristal urin dan sel darah merah akan
lisis/hancur serta berubah menjadi alkalin.
Selanjutnya dilakukan perlakukan sampel urin. Tiap sampel urin diambil
sebanyak 1 mL dan diencerkan dengan dapar amonium asetat hingga
volume 10 mL. Hal ini bertujuan agar siprofloksasin terlarut sempurna
dalam urin dan mendapatkan konsentrasi urin yang lebih encer. Apabila
konsentrasi urin terlalu pekat maka kelarutan siprofloksasin dalam urin akan
berkurang. Pada percobaan ini terlebih dahulu dibuat larutan seri
siprofloksasin dengan konsentrasi 0,1; 0,5; 1; 5; 10; 20; dan 50 µg/mL dari
larutan stok siprofloksasin dengan konsentrasi 100 ppm. Dibuat larutan seri
siprofloksasin bertujuan untuk membuat kurva kalibrasi.
Kemudian masing-masing larutan seri siprofloksasin dan larutan urin
disaring dengan menggunakan membran filter PTFE ukuran 0,45 µm.
Penyaringan ini bertujuan untuk menyaring pengotor dalam pelarut (reagen)
yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem kromatografi. Adanya suatu
partikel kecil dapat terkumpul dalam kolom sehingga dapat mengakibatkan
kekosongan pada kolom yang dapat menghambat proses pendeteksian
sampel uji (Ganjar, 2007 : 380).
Untuk mengetahui konstanta laju eliminasi dan waktu paruh eliminasi
siprofloksasin maka sampel akan dideteksi dengan menggunakan instrumen
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Kelebihan dari metode KCKT
ini yaitu mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran;
memiliki resolusi yang baik; mudah dilakukan; kecepatan analisis dan
kepekaannya tinggi; dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan
bahan yang dianalisis; dapat digunakan bermacam-macam detektor; kolom
dapat digunakan kembali; tekniknya tidak begitu tergantung pada keahlian
operator dan reprodusibilitasnya lebih baik; instrumennya memungkinkan
untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif; serta waktu analisis
umumnya singkat (Putra, 2007: 88).
Prinsip dasar dari kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) yaitu
pemisahan komponen analit berdasarkan kepolarannya, dimana komponen
pada suatu analit akan terpisah berdasarkan sifat kepolaran masing – masing
komponen dan sampel. Jika kepolaran sampel (analit) lebih mirip dengan
fase diam maka sampel (analit) akan tertinggal di fase diam dan bergerak
lebih lambat. Jika kepolaran sampel (analit) lebih mirip dengan fase gerak
maka sampel (analit) akan bergerak terdistribusi lebih jauh dan lebih cepat.
Dengan bantuan pompa, fase gerak cair dialirkan melalui kolom detektor.
Cuplikan (sampel) dimasukkan ke dalam aliran fase gerak dengan cara
penyuntikkan. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen
campuran. Karena perbedaan kekuatan interaksi antara solut-solut terhadap
fase diam. Solut-solut yang kuat interaksinya dengan fase diam akan keluar
lebih lama. Setiap campuran komponen yang keluar kolom dideteksi oleh
detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram (Hendayana, 2006 :
76)
Teknik kromatografi cair yang digunakan dalam percobaan ini yaitu
kromatografi fase balik dimana digunakan fase gerak yang bersifat polar
dan fase diam nya bersifat kurang polar. Sampel yang bersifat sangat polar
akan terelusi lebih awal karena terdapat interaksi yang kuat antara pelarut
polar dan molekul polar dalam campuran yang melalui kolom pemisahan,
sedangkan sampel yang kurang polar akan lebih lama tertahan dalam fase
diam.
Pada percobaan ini fase diam yang digunakan yaitu ODS (Okta desil
silane). Okta desil silane banyak digunakan dalam kromatografi partisi
karena mampu memisahkan senyawa dari kepolaran yang terendah hingga
tertinggi (Ganjar, 2007 : 379). Pemilihan fase diam ODS ini didasarkan
karena sampel yang akan di analisis yaitu siprofloksasin yang bersifat polar
sehingga dibutuhkan suatu fase diam yang bersifat non polar. Sehingga
sampel (solut) tidak akan tertahan terlalu kuat dalam fase diam dan dapat
ikut terelusi dengan fase gerak yang memiliki kemiripan sifat dengan
sampel (solut) sehingga pelarut yang membawa sampel (solut) dapat keluar
dari kolom dan dapat dideteksi oleh detektor yang akan menghasilkan
respon yang disampaikan pada alat perekam otomatis.
Fase gerak atau eluen berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi
dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase
diam, dan sifat-sifat komponen sampel. Fase gerak yang digunakan adalah
fase gerak yang bersifat polar yaitu asetonitril : aquadest (25 : 75). Pada
aquadest ditambahkan trietanolamin sebanyak 0,1% terhadap air yang
berfungsi untuk menjaga pH (derajat keasaman) larutan agar tetap stabil
pada pH 2,5. pH fase gerak dijaga tetap 2,5 agar tidak merusak kolom fase
balik. Aquadest dan asetonitril ini memenuhi syarat untuk dapat digunakan
dalam kromatografi cair kinerja tinggi yaitu merupakan senyawa dengan
kemurnian yang tinggi; memiliki viskositas yang rendah; tidak
menginterferensi sinyal detektor, dan fase gerak asetonitril : aquadest ini
dapat saling bercampur dengan baik. Sistem elusi yang digunakan pada
percobaan ini yaitu elusi isokratik dimana komposisi fase gerak tetap selama
elusi. Pemilihan fase gerak asetonitril : aquadest (25:75) ini didasarkan
pada sifat siprofloksasin yang merupakan senyawa yang cenderung bersifat
polar. Sehingga agar analit (siprofloksasin) dapat terelusi dengan baik harus
digunakan fase gerak yang memiliki kemiripan sifat kepolaran dengan analit
yaitu asetonitril dan aquadest.
Siprofloksasin merupakan senyawa yang cenderung bersifat polar.
Ketika larutan seri siprofloksasin dan larutan urin yang mengandung analit
siprofloksasin disuntikkan ke dalam instrumen KCKT menggunakan syringe
maka sampel (siprofloksasin) tidak akan tertahan oleh fase diam (okta desil
silika) yang berada didalam kolom dan akan terdesak oleh fase gerak
(asetonitril : aquadest) yang bersifat polar. Sehingga siprofloksasin akan
keluar dari kolom dan terbawa oleh fase gerak yang akan terdeteksi oleh
detektor.
Detektor yang digunakan pada percobaan ini yaitu detektor UV 280 nm.
Suatu detektor harus memiliki karakteristik yaitu mempunyai respon
terhadap solut yang cepat dan reprodusibel; mempunyai sensitifitas yang
tinggi; stabil dalam pengoperasiannya; dan tidak peka terhadap perubahan
suhu dan kecepatan alir fase gerak. Pemilihan detektor UV 280 nm ini
disebabkan karena siprofloksasin memiliki gugus kromofor dan ikatan
rangkap terkonjugasi yang dapat menyerap sinar ultraviolet pada panjang
gelombang 280 nm sehingga respon dapat terbaca oleh detektor UV 280
nm. Panjang gelombang 280 nm ini merupakan panjang gelombang
maksimum siprofloksasin. Dengan panjang gelombang yang maksimum
maka akan didapatkan nilai luas area yang maksimum serta kepekaan dan
presisi yang paling baik sehingga dapat diperoleh nilai penetapan kadar
siprofloksasin yang akurat.
Kemudian diinjeksikan masing-masing larutan siprofloksasin dengan
seri pengenceran 0,1; 0,5; 1; 5; 10; 20; dan 50 µg/mL dan larutan urin ke
dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom
menggunakan sistem suntik katup kitar. Larutan seri siprofloksasin yang
pertama kali diinjeksikan adalah larutan standar dengan konsentrasi
terendah sampai yang tertinggi. Hal ini bertujuan untuk mencegah jika ada
larutan yang tertinggal pada saat sedang dielusi. Dimana jika dilakukan
penginjeksian dari konsentrasi yang paling besar terdapat kemungkinan
adanya sisa konsentrasi dari larutan ini lebih besar sehingga dapat
mempengaruhi konsentrasi larutan yang lebih kecil yang akan diukur. Pada
saat penginjeksian larutan seri siprofloksasin dan larutan urin harus
dilakukan dengan hati-hati dan tidak boleh terdapat gelembung pada
syringe, karena dengan adanya gelembung dapat meningkatkan tekanan
pada pompa sehingga waktu retensi akan bergeser dan hasil analisis menjadi
tidak akurat. Pada saat proses penginjeksian sampel, fase gerak akan
melewati katup kitar dan masuk ke dalam kolom. Di dalam kolom,
komponen-komponen sampel akan dipisahkan berdasarkan kepolarannya.
Siprofloksasin yang bersifat polar akan terelusi bersama dengan fase gerak
dan komponen lain yang bersifat non polar akan tertahan di dalam kolom
(fase diam). Komponen sampel yang keluar dari kolom bersama fase gerak
akan terdeteksi oleh detektor UV 280 nm dan direkam dalam bentuk
kromatogram.
Syarat kromatogram yang baik yaitu harus simetris; memiliki resolusi
yang bagus dimana satu puncak dengan puncak lain tidak boleh berdekatan;
dan sebaiknya tidak terdapat tailing factor. Faktor ikutan atau tailing factor
yaitu terjadinya pengekoran pada kromatogram sehingga bentuk
kromatogram menjadi tidak simetris. Seharusnya, puncak kromatogram
akan memperlihatkan bentuk Gaussian dengan derajat simetris yang
sempurna.
Setelah luas area siprofloksasin yang diperoleh dicatat dan dibuat kurva
kalibrasi. Kurva kalibrasi merupakan kurva yang menyatakan hubungan
antara luas area kromatogram larutan siprofloksasin dengan konsentrasi
larutan siprofloksasin. Kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu sebagai berikut :

KURVA KALIBRASI
70,000,000
60,000,000
f(x) = 616663.278094687 x + 29985219.5881429
50,000,000 R² = 0.913019185139826
AUC

40,000,000
30,000,000
20,000,000
10,000,000
0
0 10 20 30 40 50 60
KONSENTRASI (PPM)

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh nilai AUC pada larutan


siprofloksasin 0,1 µg/mL yaitu 28343828; larutan siprofloksasin 0,5 µg/mL
yaitu 32072021; larutan siprofloksasin 1 µg/mL yaitu 35070000; larutan
siprofloksasin 5 µg/mL yaitu 33150159; larutan siprofloksasin 10 µg/mL
yaitu 35084075; larutan siprofloksasin 20 µg/mL yaitu 36220107; dan
larutan siprofloksasin 50 µg/mL yaitu 63359397. Dari data tersebut terjadi
penurunan pada konsentrasi 5 µg/mL, dimana seharusnya semakin tinggi
konsentrasi siprofloksasin maka semakin besar juga nilai AUC. Hal ini
dapat disebabkan karena adanya kesalahan praktikan dalam proses
pengenceran seperti penimbangan siprofloksasin yang kurang akurat,
pemipetan larutan stok yang kurang tepat, atau proses penginjeksian pada
KCKT yang tidak sesuai.
Nilai AUC dari sampel 11.00-14.00 yaitu 19048562; sampel 14.00-
17.00 yaitu 17946926; sampel 17.00-20.00 yaitu 65839563; sampel 20.00-
21.30 yaitu 37288927; sampel 04.30-08.00 yaitu 17477427; dan sampel
08.00-11.00 yaitu 26125561. Dari data tersebut dapat disimpulkan terjadi
kenaikan dan penurunan nilai AUC dimana seharusnya semakin lama waktu
pengambilan sampel maka nilai AUC terus meningkat yang menunjukkan
semakin tinggi konsentrasi siprofloksasin di dalam urin. Kesalahan ini dapat
disebabkan karena adanya kesalahan dalam proses penampungan sampel
ataupun pengenceran sampel seperti pemipetan sampel urin yang kurang
tepat atau proses penginjeksian pada KCKT yang tidak sesuai.
Pada percobaan ini dilakukan penentuan konstanta laju eliminasi (K)
dan waktu paruh eliminasi yang ditentukan dengan dua metode yaitu
metode laju ekskresi dan metode sigma minus. Terdapat perbandingan
metode laju eksresi dengan metode sigma minus, yaitu : Metode laju
ekskresi tidak memerlukan Du ∞, dan hilangnya satu spesimen urin tidak
menghilangkan kesahihan keseluruhan studi ekskresi obat lewat urin.
Metode sigma minus memerlukan penentuan Du ∞ yang teliti, yang
memerlukan pengumpulan urin sampai ekskresi obat lewat urin sempurna,
Satu kesalahan kecil pada penetapan Du ∞ memberikan kesalahan dalam
pembentukkan kurva. Fluktuasi dalam laju eliminasi obat dan kesalahan
percobaan yang meliputi pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna
untuk satu periode pengumpulan menyebabkan ketidaklinieritas pada
penggunaan metode laju ekskresi, sedangkan ketelitian metode sigma minus
kurang dipengaruhi. Metode laju ekskresi dapat diterapkan pada proses
eliminasi obat orde nol, sedangkan metode sigma minus tidak dapat.
Kemudian tetepan kaju ekskresi obat renal dapat diperoleh dari metode laju
ekskresi sedangkan metode sigma minus tidak daapat menentukan laju
ekskresi obat renal. (Shargel dan Yu, 2005).
Pada metode laju ekskresi, ditentukan terlebih dahulu laju ekskresi rata-
rata obat lewat urin, kemudian dibuat kurva antara ln dDu/dt rata-rata
terhadap titik tengah (tmid) dari waktu pengumpulan untuk tiap cuplikan urin.
Persamaan yang digunakan adalah :

ln dDu/dt = ln Ke.D 0B – K.tmid


Dalam perhitungan ini, laju ekskresi urin dianggap mengikuti orde
kesatu. Ke adalah tetapan laju ekskresi ginjal, dan Du adalah jumlah obat
yang diekskresi dalam urin.
d Du
= Ke DB
dt
0 -Kt
DB = DB e
d Du
= Ke D0B e -Kt
dt

Dengan memakai logaritma natural untuk kedua sisi dari persamaan


tersebut dan kemudian diubah ke logaritma biasa diperoleh :
d Du -Kt
log = + log K e D0B. (Shargel dan Yu, 2005)
dt 2,3
d Du
Dengan menggambarkan log terhadap waktu diperoleh suatu garis
dt
lurus, Gradien kurva (slop) = -k/2,3 dan intersep y = K e D 0B. Kemudian
persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi : Ln dDu/dt = ln Ke.D0B –
K.tmid
Laju eksresi obat lewat urin (dDu/dt) tidak dapat ditentukan melalui
percobaan segera setelah pemberian obat. Oleh karena itu, laju ekskresi obat
lewat urin rata-rata, Du/dt digambarkan terhadap waktu rata-rata (t*), untuk
kumpulan cuplikan urin. Dalam percobaan urin dikumpulkan pada jarak
waktu tertentu, kemudian laju ekskresi urin rata-rata dihitung untuk tiap
waktu pengumpulan. Harga dDu/dt rata-rata digambar pada suatu skala
semilogaritmik terhadap waktu yang merupakan nilai tengah (titik tengah)
waktu pengumpulan. (Shargel dan Yu, 2005)
Selanjutnya dilakukan perhitungan farmakokinetika berdasarkan kurva
hubungan antara dXu/dt rata-rata terhadap titik tengah (tmid). Penggunaan
titik tengah dalam metode ini didasarkan karena jumlah sampel urin yang
dieksresikan tiap waktu pengambilan tidak sama, sehingga bisa dianggap
laju eksresinya tidak tetap. Hal ini tentunya akan menyebabkan kesalahan
dalam perhitungan farmakokinetika dari obat tersebut. Titik tengah
merupakan nilai tengah antara interval waktu pengambilan sampel terhadap
sampel sebelumnya dan titik tengah ini dianggap mampu mewakili jumlah
urin yang dieksresikan dalam waktu tertentu. (Hakim, 2011)
Kurva hubungan antara dXu/dt rata-rata terhadap titik tengah (tmid)
adalah sebagai berikut :

KURVA
4
3
2
1
ln Du/t

0
-1 0 2f(x) = − 0.106212440191388
4 6 8 x − 0.334694258373206
10 12 14 16 18
-2 R² = 0.031078537642402
-3
-4
-5
tmid (jam)

Nilai kemiringan/slope yang diperoleh dibawah 0,9. Hal ini menandakan


bahwa persamaan regresi tersebut tidak linier. Liniearitas memiliki relasi
dengan data yang didapat. Jika data tersebut tidak menaik/menurun dengan
konstan, maka liniearitas akan berkurang.
Dari kurva tersebut diperoleh nilai konstanta laju eliminasi (K) sebesar
0,106/jam, menandakan bahwa tubuh memiliki kecepatan sebesar 0,106/jam
untuk mengeliminasi siprofloksasin dari tubuh, dimana semakin besar
kecepatan eliminasi, maka semakin besar pula laju perubahan obat.
Konstanta eliminasi merupakan nilai tetapan laju eksresi ginjal yang
menunjukan bagaimana obat dimetabolisme dalam ginjal.
Selanjutnya ditentukan waktu paruh eleminasi dengan menggunakan
ln 2
rumus t1/2 ¿ , diperoleh nilai waktu paruh yaitu 6,53 jam, hal tersebut
K
menandakan dibutuhkan waktu 6,53 jam agar obat berkurang menjadi
setengah dari jumlah awal. Waktu paruh juga menentukan seberapa sering
suatu obat diberikan. Waktu paruh merupakan jangka waktu sampai kadar
obat dalam urin menurun menjadi separuh dari harga asalnya. Dengan
mengetahui data konstanta laju eliminasi dan waktu paruh makan akan
mengetahui bagaimana obat diekskresikan dalam urin. (Hakim, 2011)
Pada metode Sigma minus, ditentukan terlebih dahulu jumlah obat yang
tersedia yang akan diekskresikan (Amount Remaining to be Excreted
(ARE)) yang didapat dengan cara menghitung nilai Du ∞-Du, kemudian
dibuat kurva antara d ( Du ∞-Du)/dt terhadap waktu (t). Persamaan yang
digunakan adalah sebagai berikut :

ln ( Du ∞-Du) = ln Du ∞ - k.t
Jumlah obat tidak berubah dalam urin dapat dinyatakan sebagai fungsi
waktu melalui persamaan berikut :
K e D0
Du = ( 1- e-Kt )
K
Du adalah jumlah kumulatif obat tidak berubah yang diekskresi dalam
urin. Jumlah obat tidak berubah yang akhirnya diekskresi dalam urin Du ,
dapat ditentukan dengan membuat waktu t tak terhingga. Jadi e− Kt diabaikan
dan didapat pernyataan sebagai berikut :


K e D0
Du =
K
Du - Du = D u e− Kt

Untuk mendapatkan suatu persamaan linear, persamaan di atas dapat


ditulis dalam bentuk logaritmik
−Kt
log ( D u - D u) = log D u
2,3
Persamaan tersebut menggambarkan hubungan jumlah obat yang tersisa
yang akan diekskresikan ( Du ∞-Du) vs waktu. Suatu kurva linier diperoleh
dengan membuat grafik log jumlah obat tidak berubah yang belum
dieliminasi log ( Du ∞-Du) vs waktu. Kemudian persamaan tersebut dapat
disederhanakan menjadi : ln ( Du ∞-Du) = ln Du ∞ - k.t. (Shargel dan Yu,
2005)
Selanjutnya dilakukan perhitungan farmakokinetika berdasarkan kurva
hubungan antara d ( Du ∞-Du)/dt terhadap waktu (t). Kurva hubungan antara
dXu/dt rata-rata terhadap titik tengah (tmid) adalah sebagai berikut :

KURVA
7
6 f(x) = − 0.699049295774648 x + 8.89591901408451
R² = 0.816919760654177
5
4
ln ARE

3
2
1
0
-1 2 4 6 8 10 12 14 16
-2
Waktu (jam)

Nilai kemiringan/slope yang diperoleh dibawah 0,9. Hal ini menandakan


bahwa persamaan regresi tersebut tidak linier. Liniearitas memiliki relasi
dengan data yang didapat. Jika data tersebut tidak menaik/menurun dengan
konstan, maka liniearitas akan berkurang.
Dari kurva tersebut diperoleh nilai konstanta laju eliminasi (K) sebesar
0,699/jam, menandakan bahwa tubuh memiliki kecepatan sebesar 0,699/jam
untuk mengeliminasi siprofloksasin dari tubuh, dimana semakin besar
kecepatan eliminasi, maka semakin besar pula laju perubahan obat.
Konstanta eliminasi merupakan nilai tetapan laju eksresi ginjal yang
menunjukan bagaimana obat dimetabolisme dalam ginjal
Selanjutnya ditentukan waktu paruh eleminasi dengan menggunakan
ln 2
rumus t1/2 ¿ , diperoleh 0,991 jam, hal tersebut menandakan bahwa obat
K
tereleminasi dalam tubuh dengan cepat karena membutuhkan waktu 0,991
jam sekali untuk siprofloksasin berkurang menjadi setengah dari jumlah
awal. Waktu paruh juga menentukan seberapa sering suatu obat diberikan.
Waktu paruh merupakan jangka waktu sampai kadar obat dalam urin
menurun menjadi separuh dari harga asalnya. Dengan mengetahui data
konstanta laju eliminasi dan waktu paruh makan akan mengtahui bagaimana
onbat diekskresikan dalam urin. (Hakim, 2011)
Siprofloksasin memiliki profil farmakokinetik yang cukup bagus seperti
bioavailabilitas yang tinggi dan waktu paruh yang panjang. Seharusnya,
siprofloksasin memiliki bioavailabilitas 50-70%, waktu paruh eliminasi
pada fungsi ginjal normal adalah sekitar 3-4 jam (Katzung, 2013). Pada
percobaan ini nilai waktu paruh tersebut berbeda dengan nilai yang
diperoleh pada kedua metode, namun metode laju ekskresi memberikan
nilai waktu paruh yang lebih lama dibandingkan dengan metode sigma
minus. Hal ini menunjukkan bahwa metode laju ekskresi memberikan hasil
waktu paruh eliminasi yang lebih mendekati dibandingkan dengan metode
sigma minus.. Adanya perbedaan antara waktu paruh eliminasi yang
diperoleh pada praktikum ini dengan hasil teoritis (Katzung, 2013) dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor (Shargel dan Yu, 2005):
1. Suatu fraksi yang bermakna dari obat tidak berubah harus diekskresi
dalam urin.
2. Teknik penetapan kadar harus spesifik untuk obat tidak berubah, dan
harus tidak dipengaruhi oleh metabolit-metabolit obat yang mempunyai
struktur kimia yang serupa.
3. Diperlukan pengambilan cuplikan yang sering untuk mendapatkan
gambaran kurva yang baik.
4. Sample hendaknya dikumpulkan secara berkala sampai hampir semua
obat diekskresi. Suatu grafik dari kumulatif obat yang diekskresi vs waktu
akan menghasilkan kurva yang mendekati asimtot pada waktu yang tak
berhingga. Dalam praktek diperlukan kurang lebih 7 t1/2 eliminasi untuk
mengeliminasi 99% obat.
5. Perbedaan pH urin dan volume dapat menyebabkan perbedaan laju
ekskresi urin yang bermakna.
VII. Kesimpulan
- Konsentrasi obat dalam ekskresi urin yang diperoleh nilai nya
fluktuatif dimana seharusnya semakin lama rentang pengumpulan
sampel maka semakin tinggi konsentrasi siprofloksasin yang diperoleh.
Parameter farmakokinetik urin dengan metode laju ekskresi yaitu
konstanta laju eliminasi (k) = 0,106/jam dan waktu paruh eleminasi
(t½) = 6,53 jam. Dan parameter farmakokinetik urin dengan metode
sigma minus yaitu konstanta laju eliminasi (k) = 0,699/jam dan waktu
paruh eleminasi (t ½) = 0,991 jam
- Cara mengukur konsentrasi obat dari sampel urin menggunakan dua
metode yaitu metode laju ekskresi dan metode sigma minus.

VIII. Daftar Pustaka


Ahmad, M., Suherman. 1995. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Surabaya :
Airlangga University Press.
Bahti. 1998. Teknik Pemisahan Kimia dan Fisika. Bandung : Universitas
Padjadjaran.
Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Binarupa
Aksara.
Gandasoebrata, R. 1992. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian
Rakyat.
Ganjar, Rohman. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Hakim, Lukman. 2011. Farmakokinetik. Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Hendayana, S. (2006). Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan
Elektroforesis Modern. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Johnson, EL., Stevenson, R. 1991. Dasar Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Bandung : ITB.
Kasture, AV., Wadodkar, SG., Mahadik, KR. 2006. Pharmaceutical
Analysis Volume 1. Nirali Prakashan.
Katzung, Bertram G. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10.
Jakarta : EGC
Kealey, D., Haines, PJ. 2002. Instant Notes: Analytical Chemistry. New
York : BIOS Scientific Publishers Limited.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Meyer, FR. 2004. Practical High Perfomance Liquid Chromatography 4th
edition. New York : John Willey and Sons.
Munson, JW. 1991. Analisis Farmasi Metode Modern. Surabaya: Airlangga
University Press.
Putra, E. 2007. Dasar-dasar Kromatografi Gas dan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi. Medan : Fakultas Farmasi USU.
Shargel, L., Yu., Andrew, BC. 2005. Applied Biopharmaceutical and
Pharmacokinetics fifth edition. New York : The McGraw-Hill
companies.
Shargel, L., Andrew, BC., Sussanna, WU. 2004. Applied Biopharmaceutics
and Biopharmacokinetics fifth edition. Boston : Appletion Century
Croft.
Sheerwood, 2011. Fisiologi Manusia Edisi 6. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC
Shettle, F. 1997. Hanbook of Instrumental thchniques for Analytical
Chemistry. USA : Prentice Hall PTR.
Veronika, RM., John, WS. 1999. Practical High Performance Liquid
Chromatography 3rd edition. ISBN.
Wirjosoemarto, K., Adisendjaja, YH., Supriatno, B., Riandi. 2000. Teknik
Laboraturium. Bandung : Pendidikan Biologi UPI.

Anda mungkin juga menyukai