Anda di halaman 1dari 5

POST IMPERIALISME, SOSIALISME, DAN REVOLUSI ISLAM IRAN

Mohammad Roofi’i (200101220028)

Mohammadroof327@gmail.com

A. POST IMPERIALISME

Setelah berakhirnya Perang Dunia II muncullah gagasan tentang persatuan Negara


Arab. Gerakan persatuan Arab mengakar pada gerakan nasional Arab Pra-Perang Dunia I dan
juga kegagalan Faysal dalam mendirikan kerajaan Arab di Damaskus. Namun menjelang
Perang Dunia II, karena keinginan untuk mendapatkan dukungan dari bangsa Arab, Inggris
turut memberikan dukungan dalam upaya penyatuan negeri-negeri Arab. Pada tahun 1945
persatuan Negara Arab berhasil dibentuk dibawah kepemimpinan Mesir dan berpusat di Kairo.
Namun hal tersebut mendapat tentangan dari pemimpin Hasyimiyah di Iraq dan TransYordan
yang tidak menyetujui hegemoni pihak Mesir.

Kemudian tahun 1950 dibawah pimpinan Naseer di Mesir Persatuan Negara Arab
berhasil dibentuk kembali oleh partai Ba’th di Syria, dan oleh beberapa kelompok intelegensia
Arab pasca-perang sebagai oposisi terhadap Israel, kolonial, dan dominasi pasca-kolonial oleh
pihak asing, dan elite domestik konservatif yang berpihak pada reformasi sosial dan
pembangunan ekonomi. Dan dalam kepemimpinan Naseer, atas gerakan Persatuan Negara
Arab akhirnya menimbulkan pergolakan yang begitu sengit antar kekuatan domestik dan pihak
asing.

Pada akhir Perang Dunia II Inggris dan Perancis tidak mampu lagi mempertahankan
kedudukannya di Timur Tengah dan harus memberikan kemerdekaan kepada negara-negara
Arab. Kemudian datang Amerika dan Rusia yang tampil dalam memberikan pengaruh mereka
di wilayah ini. Pada akhir tahun 1940-an Turki dan Iran masuk kebawah perlindungan
Amerika, dan tahun 1950-an Amerika berusaha menyatukan negara-negara Arab dibawah
perlindungan Amerika. Amerika mendapat dukungan dari Perdana Menteri Iraq Nuri Al-Sa’id,
yang berusaha menggabungkan Iraq, Turki, dan Inggris, kemudian membawa negara-negara
Arab lainnya kedalamnya. Pada Januari 1955 Adnan Menderes dari Turki dan Nuri Al-Sa’id
dari Iraq memproklamirkan Pacta Baghdad yang menyatakan mereka dibawah perlindungan
Amerika. Namun, Mesir dan Syria menentang inisiatif Iraq ini dan menolak bantuan Amerika.
Setelah Israel menyerang Sinai tahun 1955, Mesir dan Syria secara resmi masuk kedalam
perlindungan dari Rusia.
Pada periode 1950-an, terjadi sebuah krisis yang mengantarkan terbentuknya rezim
baru di Mesir, Syria, dan Iraq. Rezim tersebut memiliki kekuatan yang dominan dan
berkomitmen terhadap kemerdekaan nasional Arab dan modernisasi perekonomian. Prinsip
rezim baru yang terbentuk ini adlah anti-imperialis, anti-israel, dan bersifat netral dalam politik
internasional. Meskipun demikian, tapi rezim ini tidak lantas mengantarkan pada persatuan
negara Arab. Selama masa akhir 1950-1960-an, karena perbedaan kepentingan, dan terjadinya
persaingan sengit antara Mesir, Iraq ,dan Syria maka hal tersebut menjadi penghalang
bersatunya negara-negara Arab. Kemudian dengan dikalahkannya negara-negara Arab oleh
Israel membuat kepemimpinan Naseer menjadi terlecehkan dan negara-negara Arab terhina
sebagai negara yang tidak efektif dan gagasan persatuan Arab kehilangan misi politiknya.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II antara tahun 1941-1953, Iran menjalani


pergolakan politik terbuka antara protektor asing dan sejumlah partai politik internal Iran. Dari
sinilah Amerika Serikat mulai tampil sebagai pelindung utama Iran pasca perang menggantikan
pengaruh Rusia. Amerika Serikat membantu pemerintah Iran dalam mengembangkan
perokonomian, mengorganisir pertahanan negara dan mensuplai bantuan militer.

B. SOSIALISME

Pada akhir tahun 1950-an rezim free officer Mesir mulai menjalankan ekonomi sosialis.
Hal tersebut dilakukan karena terjadi kemrosotan terhadap standar kehidupan masyarakat
Mesir. Dari tahun 1882 sampai 1960 terjadi ledakan populasi di Mesir yang mengakibatkan
diperlukannya pengembangan pada sektor industrial. Langkah yang diambil oleh Naseer yang
pertama adalah dengan membuat pergolakan dengan elite politik. Partai Wafd dibatasi, Ikhwan
al-muslimin dibubarkan, dan kalangan aristokrat tuan tanah dirugikan dengan reformasi
perundangan tahun 1953,1961, dan 1969. Negara juga meningkatkan pembangunan terhadap
wilayah pedalaman dengan proyek jalan, pendirian sekolah, pusat-pusat kesehatan, industri
rakyat, dan lain sebagainya.

Selain itu, pada periode tahun 1957-1960 pemerintah berhasil menguasai kembali
beberapa Bank besar, menyita kekayaan Inggris, Perancis, Yahudi, dan melancarkan program
reformasi pertanian dan membangun bendungan Aswan. Namun Mesir kekurangan sarana
untuk mewujudkan hal tersebut. Kemudian Mesir mengambil langkah menasionalisasikan
sejumlah Bank dan industri besar pada tahun 1960 dan 1961. Selain sektor tersebut, pemerintah
juga menguasai dalam bidang asuransi, perdagangan luar negeri, transportasi, jasa konstruksi,
dan pabrik industri lainnya.
Di Arab, Partai Ba’th dalam menjalankan manajemen perkonomiannya kemudian
memprakarsai program sosialis. Pada tahun 1958 mulai dilaksanakan reformasi agraria dengan
membebaskan sejumlah tanah dan membatasi kepemilikan tanah maksimal 50 hektar tanah
irigasi dan 300 hektar tanah tadah hujan. Pada tahun 1961 sejumlah tanah diambil alih dan
didistribusikan kepada petani. Pada tahun 1966, sosialisasi pada bidang pertanian mulai
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dengan pembentukan kelompok pertanian,
memonopoli produksi kapas, dan membangun dam Tebke yang diharapkan mampu mengairi
640.000 hektar tanah yang diambil alih di lembah euphrat sehingga dapat dimaksimalkan
menjadi lahan pertanian. Namun pada 1973 Hafi Al-Asad mulai membongkar pertanian negara,
dan mengizinkan kepemilikan tanah pribadi dalam rangka liberalisasi perekonomian dan dalam
rangka menggerakkan pertumbuhan pertanian.

Pada tahun 1951, dibawah pimpinan Muhammad Mosaddeq (pemimpin front Naional)
Iran berusaha merebut kekuasaan atas Anglo-Persian Oil Company dengan dukungan dari
sebuah koalisi yang terdiri dari tuan tanah, tokoh kesukuan, intelektual sayap kiri, pedagang,
dan ulama’ mengajukan nasionalisasi perusahaan minyak melalui parlemen. Hal tersebut
kemudian memicu peperangan selama tiga tahun, dimana pasca peperangan tersebut Amerika
Serikat menolak memberikan dukungannya kepada Iran. Beberapa kekuatan barat juga ikut
memboikot minya Iran sehingga membuat perokonomian Iran hancur dan Mosaddeq hancur
pula.

Setelah tidak memiliki keterikatan lagi dengan pihak Amerika Serikat, Iran bergabung
dengan Baghdad Pact pada tahun 1955 dan Central Treaty Organization pada tahun 1959. Iran
juga mempertahankan hubungan dekatnya dengan Israel. Pada tahun 1970-an Iran membantu
Sultan Oman dalam menekan kekuatan oposisi dan pada tahun 1975 Iran memaksa Iraq untuk
menyelesaikan persengketaan wilayah perbatasan di dataran rendah sampai sungai Euprath.

Dikarenakan pendapatan per kapita pada sektor pertanian menurun, pemerintah Iran
semakin memfokuskan pembangunannya pada sektor industrial, dimana sekitar 50% kekayaan
negara diinvestasikan pada sektor industri. Negara juga mendorong pertumbuhan industri
dengan menaikkan bea cukai, pajak kredit, perizinan, dan beberapa langkah lainnya, serta
memprakarsai ledakan industri karet, baja, bahan kimia,bahan bangunan, dan perakitan
automobile. Pada tahun 1973 penghasilan Iran dari sektor minyak mengalami kemajuan pesat,
namun meskipun begitu industri Iran kalah saing dalam pasar internasional dan mengalami
kemerosotan lantaran tidak didukung dengan manajemen dan tenaga kerja ahli.
C. REVOLUSI ISLAM IRAN

Dalam masa dekade 1960-an dan 1970-an gerakan oposisi terhadap rezim Shah telah
menyebar luas, namun karena kurang terkoordinir dengan baik maka gerakan tersebut bisa
dipatahkan dengan mudah. Partai Tudeh dan Partai Nasional dihancurkan oleh savak. Minoritas
Kurdish, Arab, dan Baluchi juga diserang lantaran ingin membentuk otoritas regional.
Beberapa kelompok gerilya militan seperti Marxis Feda’iyani-i Khalq dan islam haluan kiri
Mojahedin-i Khalq juga menentang nepotisme, imperialisme, dan kapitalisme. Perlawanan
tersebut menimbulkan teror namun masih belum bisa meruntuhkan rezim Shah.

Pada dekade 1960 juga terjadi gerakan oposisi dari kalangan ulama’. Perselisihan antara
negara dan ulama’ mamanas pada tahun 1963 ketika Shah Iran memutuskan sebuah referendum
nasional mengenai reformasi tanah. Akibat dari referendum tersebut dan sikap keras
pemerintah dalam menindak aktivitas ulama’ di Qumm memancing serangkaian aksi
demonstrasi yang dipimpin oleh Ayatollah Khomaeni, yang kemudian pada tahun 1964
ditangkap dan diasingkan di Iraq. Dalam masa pengasingannya di Iraq, Ayatollah Khomaeni
menjadi juru bicara terbesar bagi perlawanan terhadap rezim Shah Iran. Bahkan pada tahun
1971 melalui bukunya yang berjudul Islamic Goverment dengan berhujjah pada prinsip dasar
jihad dan amar ma’ruf, ia berdalih bahwa ulama’ wajib melawan pemerintah despotik.
Ayatollah Khomaeni menegaskan bahwasannya kerajaan merupakan institusi kenegaraan non-
islam dan menyerukan reformasi masyarakat politik secara total yang mana ulama’ haruslah
terlibat langsung dan beperan aktif didalamnya.

Pada tahun 1970-an, selama satu dekade rezim Pahlevi semakin menunjukkan sikap
kesewenagannya. Pasukan militer dan polisi rahasia menjadi sosok yang sangat ditakuti
sekaligus dibenci karena mereka melakukan penyidikan, intimidasi, pemenjaraan, penyiksaan,
dan pembunuhan terhadap musuh-musuh besar rezim Shah. Pemerintah tidak hanya dibenci
karena kediktatorannya, tapi juga karena ketidakmampuannya dalam menjaga perekonomian.
Penghasilan yang besar dari sektor minyak telah habis untuk membeli persenjataan dan untuk
kepentingan pribadi sekelompok elit e pemerintah, sementara itu laju inflasi juga semakin
memperburuk kondisi perekonomian Iran.

Ditengah kondisi ekonomi dan politik yang carut marut ini, sebuah demonstrasi yang
dilakukan oleh para mahasiswa di Qumm untuk mengecam aksi pembunuhan tanpa alasan yang
dilakukan oleh pasukan savak berhasil memicu gelombang demonstrasi yang lain lantaran aksi
penembakan yang dilakukan oleh polisi kepada para demonstran dan membangkitkan gerakan
revolusi. Gerakan demonstrasi yang menyesalkan dan mengelu-elukan para korban semakin
meluas. Setiap hari dalam empat puluh hari terjadi gerakan protes dan demonstrasi dan
skalanya semakin besar hingga akhir tahun 1978. Pada saat itu jutaan rakyat melakukan
demonstrasi massa menentang rezim. Feda’iyan-i Khalq dan Mojahedin-i Khalq kembali
bangkit. Para pekerja minyak melakukan mogok kerja, pedagang pasar menutup toko
mereka,sementara, dalam menghadapi gerakan massa Iran yang dimobilisir oleh koalisi antara
tokoh agama dan tokoh liberal dibawah arahan Ayatollah Khomaeni tersebut pihak militer
tidak mampu dan tidak berdaya.

Gerakan revolusi tersebut akhirnya berhasil menggulingkan kerajaan Shah dan


mendirikan pemerintahan islam di Iran. Revolusi Islam Iran menghasilkan konfigurasi khas
antara negara Iran dan institusi Islam, bahkan peristiwa tersebut merupakan peristiwa terbesar
dalam seluruh sejarah masyarakat Islam. Revolusi Islam Iran menandai berakhirnya
pergolakan antara negara Iran dengan kelompok ulama’ yang telah terjadi selama 200 tahun.

Revolusi Islam Iran 1979 tidak bisa dikatakan hanya sebagai aksi oposisi agama yang
bersifat inheren terhadap otoritas negara, akan tetapi harus dapat dipahami sebagai respon dari
serangkaian situasi spesifik. Invasi yang dilakukan oleh Rusia 1826, Perjanjian Konsesi Reuter,
monopoli tembakau 1891, reformasi undang-undang pertanahan tahun 1960-1963, dan
ketegangan ekonomi dan politik akhir dekade 1970-an mendesak ulama’ untuk mengambil
sikap aktif.

Kritik Terhadap Buku

Penyajian materi historis sudah bagus dan sangat mendetail akan tetapi penggunaan
bahasa yang sulit dimengerti masih bisa ditemuia di beberapa bagian. Dan juga
pengkronologian peristiwa masih ada yang tumpang tindih dalam penyusunan periodisasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Lapidus, Ira, M, 2000, Sejarah Sosial Umat Islam : Bagian Ketiga, Semarang : PT.
RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai