Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
Pembubaran perseroan karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar
telah berakhir Pembubaran Perseroan terjadi karena hukum apabila jangka waktu berdirinya
Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir. Sehubungan dengan hal tersebut
maka dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah jangka waktu berdirinya
Perseroan berakhir RUPS menetapkan penunjukan likuidator. Dalam kondisi ini, Direksi tidak
boleh melakukan perbuatan hukum baru atas nama Perseroan setelah jangka waktu berdirinya
Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir.
Berdasarkan Penetapan Pengadilan.
Pembubaran perseroan karena penetapan pengadilan Menurut Pasal 146 UUPT, Pengadilan
Negeri dapat membubarkan perseroan atas:
permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau
perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam
akta pendirian;
permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan
tidak mungkin untuk dilanjutkan. Dalam penetapan pengadilan ditetapkan juga penunjukan
likuidator.
Proses pembubaran karena harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya
kepailitan.
Secara lengkap ketentuan Pasal 142 Ayat (1) huruf d menyebutkan bahwa, "Dengan dicabutnya
kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan". Bertolak dari
ketentuan tersebut, cara pembubaran yang diatur di dalamnya, berkaitan dengan Pasal 17 ayat
(2) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disbut "UU KPKPU"). Pasal 17 Ayat (2) UU KPKPU,
Majelis Hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit juga menetapkan biaya kepailitan
dan imbalan jasa kurator. Biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator menurut Pasal 17 Ayat (3)
UU KPKPU, dibebankan kepada "pihak termohon" pernyataan pailit atau kepada pemohon pailit
dan Debitur dalam perbandingan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim tersebut. Dan untuk
pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator, Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan Penetapan Eksekusi atas permohonan kurator. Berkaitan dengan pembayaran
biaya kepailitan dan imbalasan jasa kurator yang dikemukakan di atas, Pasal 18 UU KPKPU
mengatur tata cara "pencabutan putusan pernyataan pailit" sebagai berikut.
Majelis hakim dapat mencabut putusan pernyataan pailit;
Majelis menetapkan jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator;
Ketua Pengadilan negeri mengeluarkan penetapan eksekusi.
Proses pembubaran karena harta pailit yang telah dinyatakan dalam keadaan insolvensi.
Secara lengkap ketentuan Pasal 142 Ayat (1) huruf e UU PT menyebutkan bahwa, "Karena harta
pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana
diatur dalam UU KPKPU". Proses cara pembubaran karena harta pailit Perseroan berada dalam
keadaan insolvensi, berkaitan dengan ketentuan Pasal 187 UU KPKPU. Menurut pasal ini,
setelah harta pailit berada dalam keadaan insolvensi maka Hakim Pengawas dapat mengadakan
suatu Rapat Kreditor pada hari, jam dan tempat yang ditentukan. Tujuan rapat adalah untuk
mendengar mereka seperlunya mengenai cara pemberasan harta pailit dan jika perlu
mengadakan pencocokan piutang yang dimasukkan setelah berakhirnya tenggang waktu.
Bertolak dari ketentuan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 142 Ayat (1) huruf e UU
KPKPU, terhitung sejak Perseroan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, perseroan telah
berada dalam keadaan "insolvensi". Berarti, sejak saat itu terjadi pembubaran Perseroan sesuai
dengan ketentuan pasal UU PT di atas. Oleh karena itu, RUPS menunjuk likuidator untuk
melakukan likuidasi.
Proses pembubaran karena izin usaha dicabut.
Secara lengkap ketentuan Pasal 142 Ayat (1) huruf f UU PT menyebutkan bahwa, "Karena
dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Penjelasan pasal ini mengatakan, yang
dimaksud dengan "dicabutnya usaha perseroan sehingga mewajibkan perseroan melakukan
likuidasi", adalah ketentuan yang tidak memungkinkan perseroan untuk berusaha dalam bidang
lain setelah izin usahanya dicabut, misalnya izin usaha perbankan atau izin usaha perasuransian
dicabut. Dengan demikian, tidak mungkin lagi berusaha dalam bidang yang lain, misalnya
perdagangan atau kontraktor. Terjadinya pembuburan perseroan jika izin usahanya dicabut,
bersifat imperatif yaitu perseroan "wajib" melakukan likuidasi.
Sumber : BMP EKMA4316
Menurut peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) No. 56/POJK.03/2016 batas maksimum
kepemilikan saham pada Bank berdasarkan apa? Analisis berapa maksimum yang ditetapkan
untuk kepemilikan sahamnya?
Dalam rangka penataan struktur kepemilikan, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan batas
maksimum kepemilikan saham pada Bank berdasarkan:
kategori pemegang saham
keterkaitan antar pemegang saham.
Batas maksimum kepemilikan saham pada Bank bagi setiap kategori pemegang saham
ditetapkan:
a. 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa badan
hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank;
b. 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa badan
hukum bukan lembaga keuangan; dan
c. 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank, untuk kategori pemegang saham perorangan.
Sumber : peraturan otoritas jasa keuangan nomor 56 /pojk.03/2016 tentang kepemilikan saham bank umum