Anda di halaman 1dari 9

TEORI HUKUM BISNIS DALAM HUKUM PERUSAHAAN

OLEH:
DR. AHMAD REDI, S.H., M.H

A. Mengenai Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas

1. Bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham


pada perseroan terbatas? Diatur dimana peraturan tersebut?

prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham pada perseroan terbatas atau
Separate Legal Entiity diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Pasal 3 ayat (1) UUPT
mengatur bahwa: “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara
pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung
jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.” Prinsip Separate
Legal Entity yaitu merupakan badan hukum yang memiliki identitas hukum
terpisah dari pemegang saham maupun pengurusnya yang hanya
bertanggungjawab sebatas aset atau nilai saham yang dimilikinya dalam modal
badan hukum itu. Prinsip ini juga mendefinisikan hak dan kewajiban suatu PT
terpisah dari hak dan kewajiban Pemegang Saham berikut pengurusnya dalam
hal PT yang bersangkutan mengalami kerugian.

2. Apakah ada pengecualian dari prinsip tanggung jawab terbatas dari


pemegang saham tersebut? dan dalam hal apa pemegang saham dapat
dimintakan pertanggung jawaban pribadinya?
Ada, pengecualian ini dikenal dengan prinsip piercing the corporate veil. Prinsip
piercing the corporate veil atau pengecualian atas tanggung jawab terbatas yaitu
kondisi dimana tanggungjawab PT beralih menjadi tanggung jawab Pemegang
Saham, Dewan Komisaris atau Direksi secara pribadi, yaitu pertanggungjawaban
sampai dengan kekayaan pribadi atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak
yang berkepentingan.
Piercing the corporate veil merupakan tindakan yang membuat pengecualian
terhadap suatu prinsip umum, di mana tanggung jawab Pendiri, dan pengurus
Perusahaan dibatasi kepada jumlah andil yang dapat menyimpang dengan cara
melaksanakan tanggung jawab pengurus perusahaan yang tidak lagi terbatas.
Dengan demikian, Piercing the corporate veil ini pada hakekatnya merupakan
doktrin yang memindahkan tanggung jawab dari perusahaan kepada Pemegang
Saham, Direksi. atau Dewan Komisaris.
Dalam konteks Piercing the Corporate Veil oleh pemegang saham, maka
pemegang saham bertanggung jawab kepada kreditor perseroan, sebagai akibat
tindakan pemegang saham tersebut yang menyebabkan harta perseroan
mengalami kerugian dan tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditor.
Pasal 3 ayat (2) UUPT memberikan kriteria tindakan Pemegang Saham
sebagai Piercing the Corporate Veil.
Pasal 3 ayat (2) UUPT, prinsip "Separate Legal Personality" tidak berlaku
apabila:

a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi


b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang Perseroan.”

3. Apakah pengecualian tanggung jawab terbatas pemegang saham (piercing


the corporate veil) suatu perseroan terbatas adalah sesuai yang diatur
dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (“UUPT”) saja? apakah dimungkinkan pemegang saham
dimintakan tanggung jawab pribadi dengan menggunakan dasar hukum
selain dari yang diatur Pasal 3 ayat 2 UUPT?
Tidak memungkinkan, karena secara yuridis-normatif, hukum positif Indonesia
hanya mengatur bahwa hanyalah sebab yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2)
UUPT saja yang menjadi dasar pengecualian terhadap pengecualian prinsip
tanggung jawab terbatas.

4. Apabila Pasal 3 ayat 2 UUPT tidak pernah dilanggar, apakah pemegang


saham dapat dimintakan pertanggung jawaban pribadinya atas tuduhan
dari pihak ketiga?
Apabila Pasal 3 ayat (2) UU PT tidak pernah dilanggar maka pemegang saham
tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pribadi atas tuduhan pijak ketiga.

5. Bagaimana pendapat , mengenai adanya pendapat yang menyatakan


bahwa pemegang saham mayoritas pasti melakukan tindakan tidak objektif
dalam mengambil keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham?
UU PT mengatur mengenai mekanisme pengambilan keputusan atau aksi
korporasi dalam sebuah PT. Dalam Pasal 71 s.d Pasal 91 UU PT diatur mengenai
prosedur pengambilan keputusan dalam RUPS, yang pada pokoknya mengatur:
a. Usulan Permintaan Penyelenggaraan RUPS.
1) Pemegang Saham 1 (satu) atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10
atau lebih jumlah seluruh saham diajukan ke Direksi.
2) Dewan Komisaris.
b. Pemberitahuan Mata Acara RUPS.
c. Pengumuman RUPS.
1) Pengumuman RUPS kepada pemegang saham paling lambat 14 Hari
sebelum pemanggilan.
2) Informasi pengumuman RUPS.
Ketentuan pemegang saham yang berhak hadir dan mengusulkan mata
acara rapat, tanggal penyelenggaraan dan pemanggilan RUPS.

3) Media pengumuman melalui surat kabar harian, situs Web Bursa Efek
dan Perusahaan.
d. Pemanggilan RUPS.
1) Pemanggilan RUPS kepada pemegang saham paling lambat 21 Hari
sebelum pelaksanaan RUPS.
2) Informasi Pemanggilan RUPS : tanggal, waktu dan tempat RUPS,
ketentuan pemegang saham yang berhak hadir, mata acara termasuk
penjelasan atas setiap mata acara rapat.
3) Media pemanggilan RUPS melalui surat kabar harian, situs Web Bursa
Efek dan Perusahaan.
e. Quorum.
1) RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili,
kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah
kuorum yang lebih besar.
2) Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
dapat diadakan pemanggilanRUPS kedua.
3) Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS
pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.
4) RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam
RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar
menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.
5) Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat
memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Perseroan
agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga.
6) Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua
telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga
akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh
ketua pengadilan negeri.
7) Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
8) Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) harisebelum RUPS kedua atau ketiga
dilangsungkan.
f. Pengambilan keputusan.
1) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak
tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu per dua)
bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali undang-undang
dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika
disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.
3) RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam
rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham

dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah
sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara
yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum
kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS
yang lebih besar.
4) Dalam hal kuorum kehadiran tidak tercapai, dapat diselenggarakan
RUPS kedua.
RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling
sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling
sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali
anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang
pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

6. Merujuk pada UUPT, Pihak manakah yang boleh menggugat pemegang


saham yang diduga melakukan tindakan ultra vires?
Dalam Pasal 92 UU PT diatur:
Pasal 92
(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang
ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar.
Dapat disimpulkan ultra vires itu adalah tindakan Direksi di luar maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang ditentukan dalam AD antara lain
melakukan tindakan yang dilakukan di luar maksud dan tujuan perseroan,
tindakan yang dilakukan demi kepentingannya pribadi, dan tindakan yang
dilakukan berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya, dalam Pasal 61 UUPT diatur bahwa:

Pasal 61

(1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke


pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang
dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS,
Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.

Selanjutnya dalam Pasal 97 ayat (6) UU PT diatur: Atas nama Perseroan,


pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui
pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.

UU PT hanye mangatur mengenai gugatan pemegang saham kepada perseroan


(Pasal 61 ayat (1) UU PT) dan gugatan kepada direksi (Pasal 97 ayat (6) UUPT).

Sedangkan gugatan kepada pemegang saham tidaklah diatur dalam UU PT.


Apabila pemegang saham dianggap melakukan ultravires maka dalam konteks
Pasal 61 ayat (1) UUPT maka hanya pemegang saham-lah yang berhak
mengajukan gugatan kepada Perseroan.

7. Apakah dugaan pelanggaran-pelanggaran pemegang saham masuk dalam


kategori perbuatan melawan hukum atau wanprestasi?

Menurut Prof. Subekti, Wanprestasi terjadi jika salah satu pihak dalam perjanjian
tidak melaksanakan perjanjian, melaksanakan apa yang dijanjikan tapi tidak
sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
dilakukan, serta melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan. Dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Wanprestasi dapat dinyatakan sebagai: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga
karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun
telah dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu
yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”

Sedangkan untuk gugatan Perbuatan Melawan Hukum biasanya diajukan


berdasarkan 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan:“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum, penggugat harus mampu


membuktikan semua unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum selain harus
mampu membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan
dalam gugatan Wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya
Wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar.

Terhadap pelanggaran pemegang saham perseroan maka harus dibuktikan


perjajian mana yang dilanggar sehingga dirinya dapat digugat wanprestasi.
Sedangkan untuk perbuatan melawan hukum maka harus dibuktikan
pelanggaran hukum apa dan kerugian bagaimana yang disebabkan oleh
pemegang saham sehingga menimbulkan kerugian kepada orang lain.

B. Mengenai Tanggung Jawab Direksi

8. Dalam hal apa Direksi dapat dimintakan tanggung jawab pribadinya atas
tugas pengurusan perusahaan?
Dalam Pasal 97 UU PT diatur:

(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan
setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

Jadi, direksi bertanggung bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

9. Apabila direksi dituduh melakukan melanggar fiduciary duty nya, apakah


direksi tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan hak untuk
membuktikan tidak bersalah?bagaimana Pasal 97 ayat 5 UUPT mengatur
mengenai hal tersebut?
Betul. Direksi berhak membutkikan bahwa:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Dalam hal direksi dapat membuktikan hal di atas maka direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan.

10. Merujuk pada Pasal 97 ayat 6 dan ayat 7 UUPT, Apakah pihak ketiga (selain
pemegang saham) dapat menggugat Direksi yang diduga melakukan
ultravires?
Pihak ketiga tidak dapat menggugat direksi. Pasal 97 ayat (6( dan ayat (7)
UUPT mengatur:
a. Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat
mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi
yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada
Perseroan.
b. Gugatan oleh pemegang saham tidak mengurangi hak anggota Direksi lain
dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama
Perseroan.

11. Apakah dugaan pelanggaran-pelanggaran direksi masuk dalam kategori


perbuatan melawan hukum atau wanprestasi?

Mengingat untuk dinyatakan sebagai wanprestasi maka harus terlebih dahulu


ada perjanjian yang dilanggar, padahal direksi bukanlah pihak yang membuat
perjanjian pendirian perseroan. Perseroan didirikan oleh subjek hukum bernama
Pendiri, maka Direksi tidak dapat digugat dengan gugatan wanprestasi. Direksi
dapat digugat dengan gugatan perbuatan melawan hukum karena adanya
pelanggaran terhadap hukum yang membuat adanya kerugian kepada
pemegang saham lainnya.

12. Bagaimana tindakan direksi yang telah disetujui oleh seluruh pemegang
saham dan komisaris dan telah diberikan pembebasan dan pelepasan
(acquit et de charge) dari pemegang saham?
Acquit et de diartikan sebagai pelepasan tanggung jawab direksi dari tugasnya.
Pemberian Acquit et de charge dalam oleh para pemegang saham dan komisaris
maka para pemegang saham atau kuasanya secara musyawarah untuk mufakat
telah memutuskan menyetujui pembebasan tanggung jawab sepenuhnya
kepada pengurus atas tindakan pengurusannya yang telah dilakukan. Perlu
diperhatikan bahwa direksi menjalankan tugas dan kewenangan untuk
kepentingan perseroan terbatas dan bukan untuk kepentingan pemegang
saham, sesuai dengan doktrin piercing the corporate veil, dimana terdapat
batasan antara pemegang saham dengan kepentingan perseroan.

13. Bagaimana penerapan teori business judgement rules terhadap direksi


yang dituduh melakukan tindakan ultra vires atau perbuatan melawan
hukum?

Business Judgement Rule diatur dalam Pasal 92 dan 97 UU PT, yaitu sebagai
berikut:
Pasal 92
(1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang
ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar.

Pasal 97
(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan
setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

(4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Directs atau lebih, tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung
renteng bagi setiap anggota Direksi.
(5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
(6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota
Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian
pada Perseroan.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak
anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan
gugatan atas nama Perseroan.

Apabila mencermati Pasal 92 dan Pasal 97 di atas, maka direksi tetap dapat
dilindungi prinsip Business Judgement Rule apabila kebijakan (keputusan)
yang diambilnya dipandang tepat walaupun kemungkinan perseroan
mengalami kerugian. Adapun ukuran kebijakan yang tepat yang diambil
direksi walaupun perseroan mengalami kerugian adalah didasarkan pada
keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang
dimana tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau
anggaran dasar PT. Selain itu, didasarkan pada prinsip kehati-hatikan, itikat
baik, tidak menumbulkan benturang kepentingan serta tidak didasarkan
kepentingan pribadi direksi.

14. Bagaimana batas penerapan teori piercing the corporate veil dengan
membandingkan teori tersebut dengan teori bussiness judgment rules?
Prinsip Piercing the corporate veil dan prinsip bussiness judgment rules sangat
berkaitan. Bedanya Prinsip Piercing the corporate veil Pasal 3 ayat (2) UU PT
yang mengatur mengenai tanggung jawab pemegang saham, sedangkan prinsip
bussiness judgment rules sebagaimana diatur dalam Pasal 97 UUPT mengatur
mengenai tanggung jawab direksi.

15. Bagaimana suatu tindakan direksi terhadap suatu transaksi korporasi


tertentu yang telah mendapatkan persetujuan seluruh organ perseroan,
baik persetujuan pemegang saham dan komisaris perseroan, apakah
tindakan direksi tersebut masih tetap menjadi tanggung jawab direksi

tersebut secara pribadi/individu atau tindakan tersebut telah menjadi


tindakan perseroan?
Apabila tindakan tersebut telah mendapatkan persetujuan organ pereseroan,
maka direksi terbebas dari tanggung jawab secara pribadi/individu.

Anda mungkin juga menyukai