Anda di halaman 1dari 4

JAWABAN NO 1

JAWABAN NO 2

A.     Untuk mengubah status Commanditair Venotschap (“CV”) menjadi Perseroan Terbatas (“PT”) yaitu badan
usaha yang berbadan hukum, CV tersebut harus disesuaikan/memenuhi persyaratan pendirian PT sebagaimana
diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas(“UUPT”).

 
Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses penyesuaian CV menjadi PT:

1.      Menyelesaikan terlebih dahulu perikatan yang telah terjadi antara para pengurus CV
dengan pihak ketiga;

2.      Menyesuaikan Anggaran Dasar CV. Hal ini karena pada Anggaran Dasar CV tidak
ada ketentuan mengenai Modal Dasar, Modal Ditempatkan, dan Modal Disetor.
Sedangkan untuk menjadi PT harus memenuhi ketentuan mengenai Modal Dasar PT,
yakni minimal Rp. 50.000.000 (lihat Pasal 32 ayat [1] UUPT), dan 25% dari modal
dasar harus ditempatkan dan disetor penuh (lihat Pasal 33 ayat [1] UUPT). Dengan
demikian, Anggaran Dasar CV harus disesuaikan dengan ketentuan tersebut. Dan
setiap pesero CV yang akan menjadi pendiri PT harus mengambil bagian saham pada
saat PT didirikan (lihat Pasal 7 ayat [2] UUPT);

3.      Membuat Akta pendirian (akta notaris) yang memuat Anggaran Dasar dan keterangan
lain berkaitan dengan pendirian PT (lihat Pasal 7 ayat [1] jo. Pasal 8 ayat [1]
UUPT);

4.      Para pendiri bersama-sama mengajukan permohonan pengesahan badan hukum


melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik
kepada Menteri Hukum dan HAM (lihat Pasal 1 angka 16 jo. Pasal 9 ayat [1]
UUPT);

5.      Setelah dilakukan pengesahan, Menteri akan melakukan pendaftaran PT (lihat Pasal
29 ayat [1] UUPT);

6.      Pengumuman di Tambahan Berita Negara RI oleh Menteri (lihat Pasal 30 ayat [1]
UUPT).

7.      Dalam hal para pendiri hendak mengikutsertakan segala perbuatan hukum yang
terjadi saat badan usaha tersebut masih berbentuk CV ke dalam PT yang akan
didirikan, sehingga perbuatan hukum tersebut mengikat PT yang baru didirikan, Rapat
Umum Pemegang Saham (“RUPS”) pertama harus secara tegas menyatakan
menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan
hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya (lihat Pasal 13 ayat [1]
UUPT).

B.      Mengenai audit oleh akuntan publik untuk menentukan aktiva dan pasiva dalam perubahan status CV menjadi
PT ini sebenarnya dalam ketentuan UUPT tidak disebutkan adanya keharusan untuk itu. Namun, memang ada
baiknya apabila perhitungan aktiva dan pasiva CV dilakukan oleh akuntan publik yang lebih berkompeten.
Sehingga dapat diperoleh jumlah yang pasti dari total aktiva untuk kemudian diambil bagian saham oleh para
pendiri (untuk memenuhi ketentuan poin 2 di atas). Jadi, secara hukum tidak ada keharusan bahwa aktiva dan
pasiva PT diaudit oleh akuntan publik.
C.     Mengenai sertifikat saham yang Anda tanyakan, menurut asumsi kami, adalah bagian saham yang harus diambil
oleh pendiri PT (eks pesero CV). Karena sertifikat saham yang diterbitkan biasanya adalah pada PT Terbuka
(go public). Sedangkan, bagi PT biasa atau PT Tertutup, pendiri hanya perlu mengambil bagian saham yang
kemudian dicantumkan dalam Akta Pendirian PT dan daftar pemegang saham yang disimpan oleh Direktur PT
(lihat Pasal 50 UUPT).

 
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

JAWABAN NO 3

PIERCING THE CORPORATE VEIL 

Di dalam hukum PT, berlaku suatu konsep dimana para pemegang saham tidak
bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak
bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya. Tanggung
jawab terbatas tersebut juga berlaku kepada organ perseroan lainnya, yakni pada anggota
direksi maupun komisaris perseroan.

Namun, konsep tersebut tidak tanpa kecuali, karena dalam keadaan tertentu tidak tertutup
kemungkinan dihapusnya tanggung jawab terbatas pada ketiga organ perseroan tersebut.
Dalam hal seperti itu, pengadilan akan mengesampingkan status badan hukum dari suatu PT
dan membebankan tanggung jawab kepada organ PT dengan mengabaikan prinsip tanggung
jawab terbatas yang biasanya melekat kepadanya. Kekebalan (immunity) yang biasa dimiliki
oleh pemegang saham, direksi dan komisaris, yaitu tanggung jawab terbatas, dibuka dan
diterobos menjadi tanggung jawab tidak terbatas hingga kekayaan pribadi mereka dalam hal
terjadi pelanggaran, penyimpangan atau kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan
atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwasanya dapat dimungkinkan untuk
mengoyak/menyingkap tirai/kerudung tabir PT (to pierce the corporate veil). Di dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”),
prinsip piercing the corporate veil tersebut termaktub dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 97
ayat (3).

Black’s Law Dictionary mendefinisikan prinsip piercing the corporate veil sebagai:

Judicial process whereby court disregard usual immunity of corporate officers or entities
from liability for wrongful corporate activities; e.g. when incorporation exists for sole
purpose or perpetrating fraud. The doctrine will holds that the corporate structure with its
attendant limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud or other
wrongful acts done in the name of corporation. The court, however, may look beyond the
corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying injutice.

Piercing the Corporate Veil Terhadap Direksi PT

Pada prinsipnya, organ Direksi dalam suatu PT mempunyai tanggungjawab yang sifatnya
terbatas, namun hal tersebut juga tidak selamanya berlaku mutlak. Dalam hal direksi tidak
menjalankan tugasnya mengurus perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
seperti yang dimuat dalam Pasal 97 ayat (2) jo (3) UUPT, maka pertanggungjawaban atas
kerugian yang diderita perseroan dapat dibebankan hingga kepada harta pribadi yang
bersangkutan.

Berikut ini adalah hal-hal yang dapat membuat seorang direksi dimintai pertanggungjawaban
secara pribadi atas kerugian suatu PT, yakni:

1. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi

Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPT dinyatakan bahwasanya dalam hal
persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi, misalnya anggaran
dasar perseroan belum disahkan atau belum diumumkan dalam berita negara, atau belum
didaftarkan pada pengadilan negeri setempat, maka .seluruh anggota direksi bersama-sama
semua pendiri PT serta seluruh anggota Dewan Komisaris Perseroan bertanggung jawab
secara tanggung renteng atas perbuatan hukum yang dilakukan perseroan.

2. Direksi melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar


perseroan.
3. Direksi melanggar prinsip ultra vires.

Sebagaimana diketahui, setiap perseroan memiliki maksud dan tujuan tertentu dalam
pendiriannya yang dapat terlihat dalam anggaran dasarnya. Maksud dan tujuan tersebut
memiliki peran ganda, yaitu di satu pihak merupakan sebab keberadaan perseroan dan di
pihak lain menjadi pembatasan bagi kecakapan perseroan untuk bertindak. Perbuatan hukum
perseroan menjadi tidak cakap manakala perbuatan tersebut di luar cakupan maksud dan
tujuan perseroan yang disebut dengan ultra vires. Perbuatan ultra vires pada prinsipnya
merupakan tindakan hukum direksi yang tidak mengikat perseroan, karena:

 Tindakan yang dilakukan berada di luar maksud dan tujuan perseroan;


 Tindakan yang dilakukan berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya
berdasarkan undang-undang yang berlaku dan anggaran dasar perseroan.

Dalam hal anggota direksi melanggar prinsip ultra vires di atas, maka yang bersangkutan
demi hukum bertanggung jawah secara pribadi atas kerugian yang diderita perseroan.

4. Direksi melanggar prinsip fiduciary duty.

Dalam hal direksi melanggar prinsip menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab untuk kepentingan dan usaha Perseroan (fiduciary duty), maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 85 ayat (1) dan (2) UUPT, maka setiap anggota direksi perseroan
bertanggung jawab sampai kekayaan pribadinya.

Prinsip fiduciary duty tersebut berlaku juga dalam hal terjadi kepailitan pada perseroan. Hal
ini diatur dalam Pasal 104 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwasanya, apabila terjadi
kepailitan karena kelalaian atau kesalahan direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk
menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut, maka anggota Direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai