Anda di halaman 1dari 17

DISKURSUS MENGENAI PENGETAHUAN

A. Pengetahuan dan Ilmu (Sains)


1. Pengetahuan

Sejak awal sejarah kehidupan ini, ternyata sikap iman yang penuh takwa tidak dapat
menahan manusia (dengan akal budi dan pikirannya) untuk mencari tahu apa sebenarnya
yang ada di balik dan di belakang kenyataan (realitas) itu. Proses mencari tahu tersebut
menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan,
maka lahirlah ilmu pengetahuan. Soemargono (1980) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang telah disusun secara metodis, sistematis dan koheren (“bertalian")
tentang suatu bidang pengetahuan tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut. Makin
ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas),
makin nyata dan konkrit pula tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan
(realitas).1

Secara etimologis pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
“knowledge”. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan
adalah kepercayaan yang benar. Sementara secara terminologi akan dikemukakan beberapa
definisi tentang pengetahuan. Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui
atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf,
mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian,
pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Dalam kamus filsafat
dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia
secara langsung dari kesadarannya sendiri. Orang pragmatis, terutama John Dewey tidak
membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara knowledge dengan truth). Jadi,
pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi.2

Pengetahuan, baik perorangan maupun kolektif menurut C. Verhaak dan R. Haryono,


berlangsung dalam dua bentuk dasar yang berbeda yang sulit ditentukan mana yang asli,
paling berharga dan paling manusiawi. Model yang pertama ialah mengetahui hanya untuk
sekedar tahu. Yang kedua, pengetahuan yang digunakan dan diterapkan, seperti melindungi

1
Yosephus Sudiantara, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Bagian pertama, Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan,
(Semarang: Unika Soegijapranata, 2019), h. 1
2
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor : IPB Press, 2016), h. 21
diri memperbaiki tempat tinggal mempermudah pekerjaan dan lain-lain. 3 Masalah
pengetahuan manusia telah menjadi polemik yang cukup panjang di kalangan para filosof,
baik di dunia Barat maupun dunia Islam. Polemik itu berkisar pada masalah: apakah justru
pengetahuan itu ada atau tidak (kaum sofis; pecinta kebijaksanaan seperti Georgias, Pyrho);
pengetahuan ada kalau kita berpikir (Rene Descartes dengan Cogito Ergosum-nya), Keraguan
adalah kendaraan yang mengantarkan kepada keyakinan (Imam Al-Ghazali yang pernah
meragukan keberadaan realitas). Dalam bahasa Arab padanan bagi kata pengetahuan adalah
al'irfan. Pengetahuan manusia berasal dari Allah dan sangat terbatas. Allah memberi
pengetahuan kepada Nabi Adam as. dan mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya
dengan kalam. Yang diketahui oleh manusia karena kehendak Allah jua. Manusia dilahirkan
tanpa ilmu atau tidak mengetahui sesuatu pun, diberi-Nya pendengaran agar memperoleh
ilmu dengan pendengaran, diberi-Nya penglihatan agar memperoleh ilmu dengan melihat
kenyataan, dan diberinya hati atau akal agar memperoleh ilmu dengan penalaran atau proses
memahami.4

Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan maka
di dalam kehidupan manusia dapat memiliki pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin Salam
mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat jenis.

1. Pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah
common sense, sering diartikan dengan Good sense karena seseorang memiliki
sesuatu dimana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu
merah karena memang itu merah, benda itu panas karena memang dirasakan panas
dan sebagainya.
2. Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science yang pada prinsipnya
merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense,
suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti
menggunakan berbagai metode. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara
objektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna
terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya
melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisis ilmu itu objektif dan

3
C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 5.
4
Ahmad Taufiq Nasution, Filsafat Ilmu: Hakikat Mencari Pengetahuan, (Yogyakarta: Deepublish,
2016), h. 2-3
menyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral dalam arti tidak
dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian karena dimulai dengan fakta.
3. Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang
kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu
bidang pengetahuan yang sempit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan
mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis
sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
4. Pengetahuan agama, yaitu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para
utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para
pemeluknya.5
2. Ilmu (Sains)

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau
kepandaian (baik tentang segala yang masuk jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan
keadaan alam dan sebagainya). Adapun dalam Oxford English Dictionary terdapat tiga arti
dari ilmu, yaitu: (1) informasi dan kecakapan yang diperoleh melalui pengalaman dan
pendidikan; (2) keseluruhan dari apa yang diketahui; dan (3) kesadaran atau kebiasaan yang
didapat melalui pengalaman akan suatu fakta atau keadaan. Kemudian ada juga yang
berpendapat, Dalam bahasa Arab, kata ilmu jamaknya 'ulum diartikan ilmu pengetahuan.
Adapun pengetahuan adalah tahu, atau hal mengetahui sesuatu; segala apa yang diketahui;
kepandaian atau segala apa yang diketahui atau akan diketahui berkenaan dengan sesuatu hal
(mata pelajaran). Ilmu pada hakikatnya berasal dari pengetahuan, namun sudah disusun
secara sistematik dan diuji kebenarannya menurut metode ilmiah dan dinyatakan valid atau
shahih. Adapun pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, namun belum disusun
secara sistematik dan belum diuji kebenarannya menurut metode ilmiah, dan belum
dinyatakan valid atau shahih. Dengan demikian, ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang
sudah bersifat ilmiah.6

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, “’alima, ya'lamu, 'ilman dengan wazan fa'ila, yaf
‘alu yang berarti mengerti, memahami benar-benar." Padanan dalam bahasa Inggrisnya
adalah, Science, dan bahasa Latin scientia (pengetahuan) -scire (mengetahui). Sinonim yang
paling dekat dalam bahasa Yunani adalah episteme karenanya, pada pembahasan selanjutnya,

5
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu,. h. 23
6
Abudin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Prenadamedia, 2018), h. 8
filsafat tentang ilmu pengetahuan disebut juga sebagai epistemologi yang berarti ilmu tentang
ilmu.7 Ilmu adalah pengetahuan. Namun, ada berbagai macam pengetahuan. Dengan
“pengetahuan ilmu” dimaksud pengetahuan yang pasti, eksak, dan betul-betul terorganisir.
Jadi, pengetahuan yang berasaskan kenyataan dan tersusun baik. Ilmu mengandung tiga
kategori, yaitu hipotesis, teori, dan dalil hukum. Ilmu haruslah sistematis dan berdasarkan
metodologi, ia berusaha mencapai generalisasi. Dalam kajian ilmiah, kalau data yang baru
terkumpul sedikit atau belum cukup, ilmuwan membina hipotesis. Hipotesis ialah dugaan
pikiran berdasarkan sejumlah data. Hipotesis memberi arah pada penelitian dalam
menghimpun data. Data yang cukup sebagai hasil penelitian dihadapkan pada hipotesis.
Apabila data itu mensahihkan (valid)/menerima hipotesis, hipotesis menjadi tesis atau
hipotesis menjadi teori. Jika teori mencapai generalisasi yang umum, menjadi dalil ia dan bila
teori memastikan hubungan sebab-akibat yang serba tetap, ia akan menjadi hukum.8

Adapun pengertian ilmu dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah Pengetahuan tentang
suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan. Mulyadhi
Kertanegara mengatakan, "bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains tidak
berbeda, terutama sebelum abad ke-19. Tetapi setelah sains lebih terbatas pada bidang-bidang
fisik atau inderawi, sementara ilmu melampauinya pada bidang nonfisik seperti metafisika.
Ilmu pengetahuan atau sains adalah suatu pengetahuan ilmiah yang memiliki syarat-syarat:
(1) dasar pembenaran yang dapat dibuktikan dengan metode ilmiah dan teruji dengan cara
kerja ilmiah; (2) sistematik, yaitu terdapatnya sistem yang tersusun dan melalui proses,
metode, dan produk yang saling terkait. (3) intersubyektif, yaitu terjamin keabsahan atau
kebenarannya. Sedangkan Sifat ilmu yang penting: (1) universal, yaitu berlaku umum, lintas
ruang dan waktu yang berada di bumi ini; (2) communicable yaitu dapat dikomunikasikan
dan memberikan pengetahuan baru kepada orang lain; (3) progresif yaitu adanya kemajuan
perkembangan, atau peningkatan yang merupakan tuntutan modern.9 Berikut ini macam-
macam jenis ilmu.

1. Ilmu praktis, ia tidak hanya sampai kepada hukum umum atau abstraksi, tidak hanya
terhenti pada suatu teori, tetapi juga menuju kepada dunia kenyataan. Ia mempelajari
hubungan sebab-akibat untuk diterapkan dalam alam kenyataan.

7
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1998), hlm. 324.
8
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu,. h. 20
9
Ahmad Taufiq Nasution, Filsafat Ilmu: Hakikat Mencari Pengetahuan,. H. 4
2. Ilmu praktis normatif, ia memberi ukuran-ukuran (kriterium) dan norma-norma.
3. Ilmu praktis positif, ia memberikan ukuran atau norma yang lebih khusus daripada
ilmu praktis normatif. Norma yang dikaji ialah bagaimana membuat sesuatu atau
tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai hasil tertentu.
4. Ilmu spekulatif ideografis, yang tujuannya mengkaji kebenaran objek dalam wujud
nyata dalam ruang dan waktu tertentu.
5. Ilmu spekulatif nomotetis, bertujuan mendapatkan hukum umum atau generalisasi
substantif.
6. Ilmu spekulatif teoretis, bertujuan memahami kausalitas. Tujuannya memperoleh
kebenaran dari keadaan atau peristiwa tertentu.10
3. Perbedaan Pengetahuan dan Ilmu

Dari sejumlah pengertian yang ada, sering ditemukan kerancuan antara pengertian
pengetahuan dan ilmu. Kedua kata tersebut dianggap memiliki persamaan arti, bahkan ilmu
dan pengetahuan terkadang dirangkum menjadi kata majemuk yang mengandung arti sendiri.
Hal ini sering kita jumpai dalam berbagai karangan yang membicarakan tentang ilmu
pengetahuan. Namun, jika kedua kata ini berdiri sendiri akan tampak perbedaan antara
keduanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu disamakan artinya dengan
pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya, kita dapat ketahui bahwa
pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu
diambil dari kata science dan peralihan dari kata arab alima (ilm). Untuk memperjelas
pemahaman kita perlu juga dibedakan antara pengetahuan yang sifatnya pra ilmiah dan
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan pra ilmiah ialah pengetahuan yang belum memenuhi
syarat-syarat ilmiah pada umumnya. Sebaliknya, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan
yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah. Pengetahuan pertama disebut sebagai
pengetahuan biasa dan pengetahuan kedua disebut pengetahuan ilmiah.11

Adapun syarat-syarat yang dimiliki oleh pengetahuan ilmiah adalah:

1. harus memiliki objek tertentu (objek formal dan materil)


2. harus bersistem
3. memiliki metode tertentu
4. sifatnya umum.

10
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu,. H. 21
11
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu,. H. 23
Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengetahuan berbeda dengan ilmu. Perbedaan itu
terlihat dari sifat sistematisnya dan cara memperolehnya. Dalam perkembangannya,
pengetahuan dengan ilmu bersinonim arti, sedangkan dalam arti material keduanya
mempunyai perbedaan.12

B. Sumber Pengetahuan

Sumber pengetahuan dalam Islam terbagi menjadi dua sumber pengetahuan, yaitu
ilahi dan insani. Memanfaatkan rasio dan indra sebagai sarana mencari pengetahuan
(achievement). Kadang-kadang, beberapa jenis pengetahuan rasio sendiri berperan menjadi
sumber, dan Islam dengan kekomprehensifan dan keuniversalannya tidak mengabaikan salah
satu sumber dari sumber-sumber pengetahuan, baik itu dengan melupakannya maupun
dengan tidak menempatkannya pada posisi yang layak. Begitu juga dengan karakter
keseimbangannya, Islam tidak membiarkan "tirani" dari salah satu sumber pengetahuan
terhadap sumber lainnya. Contohnya wahyu, meskipun ia merupakan sumber pengetahuan
yang paling autentik dan paling kuat, tetap mempunyai arena dan tempat sendiri, punya posisi
dan hegemoni sendiri. Begitu juga alam, kehidupan, dan makhluk hidup sebagai sumber
pengetahuan setelah wahyu juga mempunyai arena, tempat, posisi, dan hegemoni tersendiri.
Pada semua sumber pengetahuan inilah manusia diarahkan dalam menerima pengetahuannya.
Manusia dituntut untuk menerima pengetahuannya dari Kitab Allah yang diturunkan kepada
Rasulullah, yaitu Al-Qur'an dan kitab Allah yang terbuka, yaitu alam semesta secara serasi
dan seimbang, tidak terkotorkan oleh pengkontradiksian dan pemolarisasian. Sebab,
menjadikan wahyu Ilahi sebagai asal yang autentik dan dominan sebagai salah satu sumber
pengetahuan, tidak berarti menghapus peran akal manusia dan tidak mencekal peran usaha
pengetahuan manusiawi. Sebagaimana adanya alam semesta tidak menghapus peran rasio,
justru membuka pintu yang luas bagi pengetahuan yang tidak mudah dihitung.13

Diawali dengan wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi kekuatan
yang sangat besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan berbagai
bentuk ajaran normatif-doktriner menjadi teori-teori yang bisa diandalkan. Di samping itu,
wahyu memberikan bantuan intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan
empiris. Wahyu bisa juga dijadikan sebagai sumber pengetahuan, baik pada saat seseorang
menemui jalan buntu ketika melakukan perenungan secara radikal maupun dalam kondisi

12
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu,. H. 25
13
Abdul Majid An-Najjar, Khilafah : Tinjauan Wahyu dan Akal, (Jakarta : Gema Insani, 1999), H. 5
biasa. Artinya wahyu bisa dijadikan sebagai rujukan pencarian pengetahuan kapan saja
dibutuhkan, baik yang bersifat inspiratif maupun terkadang ada juga yang bersifat eksplisit.14

Pertama, Al-qur’an sebagai sumber pengetahuan pertama

Allah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini
bisa dibuktikan dengan turunnya surat yang pertama kali yang menyeru kepada manusia
untuk membaca, mengajarkan ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya serta menunjukkan
kedudukan kalam (pena), yaitu alat yang digunakan oleh Allah mengajar manusia untuk
menulis. Di samping Al-Qur'an memotivasi umatnya untuk mencari pengetahuan, Al-Qur'an
juga merupakan sumber pengetahuan bagi umat Muslim, karena ia memberikan pesan-pesan
intelektual, baik yang berkaitan dengan keimanan, ritual, hubungan sosial, dan disiplin ilmu
pengetahuan lainnya. Di dalamnya terkandung benih-benih ilmu pendidikan, ilmu hukum,
sosiologi, sejarah, ekonomi, teologi, sains, dan sebagainya. Al-Qur'an memang bukan buku
ilmiah, melainkan guidance book (buku petunjuk) bagi manusia dalam beragama,
bermasyarakat, dan berbangsa. Oleh karena itu, Al-Qur'an sengaja tidak memberikan rumus-
rumus ilmu pengetahuan secara mendetail dan matang dengan tujuan agar umat Muslim
berupaya secara maksimal menggunakan akalnya untuk menemukan pengetahuan yang
selama ini belum terungkap. Ia memberikan inspirasi ilmiah atau dorongan kepada pemikir
Muslim yang mencakup berbagai disiplin ilmu.15

Kedua, al-Sunnah sebagai sumber pengetahuan kedua.

Secara etimologi (harfiah), sunah berarti jalan, metode dan program. Adapun secara
terminologi, sunah adalah sejumlah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik
berupa perkataan, perbuatan, peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai dan
dibenci, peperangan, tindak-tanduk dan semua kehidupan Nabi Muhammad saw. Al-Sunnah
sebagaimana Al-Qur'an juga bersumber dari Ilahi. Keberadaan al-Sunnah sebagai sumber
hukum atau sumber pengetahuan yang kedua mempunyai tiga fungsi, yaitu: pertama sebagai
tasyri, yang menunjukkan hukum atau pengetahuan baru contohnya Hadis yang
membicarakan tentang cara mengatasi ketika lalat masuk ke dalam makanan. 16 Kedua sebagai

14
Mahfud Junaedi, Pengembangan Paradigma Keilmuan Perspektif Epistemologi Islam: Dari
Perenialisme hingga Islamisme, Integrasi-Interkoneksi dan Unity of Sciences, (Jakarta : Kencana, 2019), h. 57
15
Mahfud Junaedi, Pengembangan Paradigma Keilmuan Perspektif Epistemologi Islam: Dari
Perenialisme hingga Islamisme, Integrasi-Interkoneksi dan Unity of Sciences,. H. 57-58
16
‫إذا وقع الذباب فى اناء أحدكم فليغمسه كله ثم ليطرحه فان فى أحد جناحيه شفاء وفى االخر داء‬
“Apabila ada lalat yang menghinggapi tempat minum kalian maka celupkanlah seluruh bagian/tubuh
lalat tersebut (terlebih dahulu), (baru) kemudian buanglah lalat tersebut. Karena sesunggungnya pada salah satu
sayapnya mengandung obat dan pada sayap yang lain mengandung penyakit” (HR. Bukhari)
tabyin, yaitu menjelaskan hukum atau pengetahuan yang dijelaskan dalam Al-Qur'an yang
masih bersifat global seperti proses penciptaan manusia. Ketiga berfungsi sebagai taqrir,
yaitu mengulang sesuatu yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an, seperti proses penciptaan
manusia. Al-Sunnah tidak hanya mengkaji tentang hal-hal yang ada di masa sekarang, akan
tetapi juga mengkaji tentang hal-hal yang bersifat transendental, seperti alam gaib yaitu alam
yang tidak dapat ditangkap oleh indra kita. Pengetahuan pokok yang didapatkan dari Al-
Sunnah bukanlah pengetahuan yang bersifat praktis dan berkaitan dengan kemajuan yang
terus berkembang hingga saat ini. Tentang teknis urusan duniawi, al-Sunnah memberikan hak
prerogatif sepenuhnya kepada manusia.17

Ketiga, intuisi sebagai sumber pengetahuan insani

Intuisi merupakan kemampuan manusia yang berada di atas kemampuan akal. Dengan
intuisi, manusia dapat mengenal hakikat setiap sesuatu. Untuk memperoleh intuisi, individu
harus terlebih dahulu memiliki kegiatan batiniah yang tidak disadari dan harus bebas dari
berbagai keinginan pribadi yang mementingkan diri sendiri. Adapun salah satu sifat dari
intuisi adalah deduksi yang dapat secepat kilat sebagai akibat dari pengindraan sekejap. Ini
identik dengan ilmu laduni yang proses penerimaan pelajaran sangat cepat, sehingga seolah-
olah tidak mengalami belajar seperti dialami manusia umumnya. Adapun Syed Naquib al-
Attas berpendapat bahwa intuisi adalah salah satu saluran yang absah dan penting untuk
mendapatkan pengetahuan secara kreatif. Karena pada dasarnya intuisilah yang mampu
mensintesis hal-hal yang dilihat secara terpisah oleh nalar dan pengalaman tanpa mampu
digabungkan ke dalam keseluruhan yang koheren. Intuisi ini datang kepada orang, yang
dengan pencapaian intelektualnya, telah memahami hakikat keesaan Tuhan dan arti keesaan
ini dalam satu sistem metafisika terpadu.18

Keempat, akal pikiran (rasio) yang sehat (al-aql al-salim).

Akal pikiran sehat merupakan salah satu saluran penting bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang jelas, yaitu sesuatu yang dapat dipahami dan dikuasai oleh
akal, dan sesuatu yang dapat diserap oleh indra. Akal pikiran manusia akan mengatur dan
menemukan hubungan yang sesuai dalam setiap ruang ilmu pengetahuan dan hubungan
antara pengetahuan yang satu dan lainnya. Akal pikiran bukan hanya rasio, ia adalah

17
Wan Moh Nor Wan Daud, Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib al-Attas. (Bandung: Mizan. 2003),
hlm. 150-151.
18
Syed Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1998). hlm. 38.
"fakultas mental" yang menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika yang
memungkinkan pengalaman indrawi menjadi sesuatu yang dapat dipahami.

Kelima, pancaindra (al-hawwas al-khamsah).

Iqbal berpendapat bahwa, Islam tidak pernah mengecilkan peranan indra yang pada
dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan
tentang realitas empiris. Bahkan indra berfungsi sebagai instrumen pokok bagi jiwa dalam
mengetahui aspek-aspek tertentu dari sifat dan nama Allah melalui alam ciptaan-Nya. Alla
SWT berfirman :

‫صَٰر َوٱَأْلفْـَِٔدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُرو َن‬ َّ ‫ون َُّأم َٰهتِ ُك ْم اَل َت ْعلَ ُمو َن َشْيـًٔا َو َج َع َل لَ ُك ُم‬
َ ْ‫ٱلس ْم َع َوٱَأْلب‬
ِ ُ‫وٱللَّه َأخرج ُكم ِّم ۢن بط‬
ُ َ َْ ُ َ

Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
(Q.S. An-Nahl : 78)
Pancaindra adalah pintu gerbang bagi pengetahuan untuk berkembang. Oleh karena
itu, Tuhan mewajibkan pancaindra manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.

Berbeda dengan pendapat Jalaludin Rahmat yang mengatakan secara epistemologi Al-
Qur'an memperkenalkan empat sumber pengetahuan manusia, yaitu: (1) Al-Qur'an dan
Sunnah; (2) alam semesta; (3) diri manusia; dan (4) sejarah. 19 Mengenai alat pencapaian
pengetahuan secara umum para pemikir Islam sepakat bahwa ada tiga alat epistemologi yang
dimiliki oleh manusia dalam mencapai pengetahuan, yaitu indra, akal, dan intuisi. Ketiga alat
epistemologi ini kemudian menghasilkan tiga metode dalam pencapaian pengetahuan:

a. Metode observasi sebagaimana dikenal dalam epistemologi Barat atau disebut juga
metode bayani yang menggunakan indra sebagai pirantinya.
b. Metode deduksi logis atau demonstratif (burhani) dengan menggunakan akal.
c. Metode intuitif atau irfani dengan menggunakan hati.
C. Cara Memperoleh Pengetahuan

Pengetahuan atau bisa disebut juga sebagai epistemologi, inti persoalan dalam
epistemologi yaitu cara (the way) memperolehnya yang melibatkan metode-metode untuk
memperoleh pengetahuan, baik yang dapat atau diusahakan dapat diketahui oleh manusia
yang mencakup cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pembahasan dalam
epistemologi terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang
19
Jalaludin Rakhmat, Islam Alternatif, (Bandung : Mizan, 2004), h. 203
kebenaran pengetahuan (the theory of truth). Pembahasan tentang sumber pengetahuan
berkenaaan dengan suatu persoalan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran
semata (rationalism), indra (empiricism), atau intuisi (intuition). Adapun kajian tentang
kebenaran pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi atau
praktis-pragmatis. Dalam epistemologi dibahas tentang sumber pengetahuan, proses dan
metode untuk memperoleh pengetahuan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan,
dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.20

Dari perspektif agama Islam, semua ilmu pengetahuan bersumber pada Allah SWT,
yang diketahui oleh manusia melalui wahyu-Nya yang tercantum dalam kitab suci AlQur'an.
Sebagai sumber pengetahuan yang utama sesungguhnya Al-Qur`an telah memberikan banyak
informasi dan petunjuk mengenai cara manusia memperoleh ilmu pengetahuan. Beberapa
ayat Al-Qur“an mengisyaratkan agar Al Qur'an dijadikan sebagai sumber ilmu dengan
memakai kata-kata antara lain: ya qilun (memikirkan),dan yudabbirun (memperhatikan).
Adapun petunjuk-petunjuk Al- Qur`an tentang cara-cara memperoleh pengetahuan atau
kebenaran pada dasarnya ada 3 macam, yaitu melalui panca indera, melalui akal, dan melalui
wahyu. Dalam Al-Qur`an ada beberapa ayat yang menyuruh manusia menggunakan
inderanya dalam mencari ilmu pengetahuan, yaitu dengan penggunaan kata-kata seperti: qala
(menimbang)21, qadara (ukuran ketentuan), dan lain-lain. Kata-kata itu menisyaratkan bahwa
pengetahuan itu dapat diperoleh melalui observasi terhadap segala sesuatu yang merupakan
dasar dari pemikiran, perhitungan, dan pengukuran. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh indera manusia, adalah diakui bahwa indera memilki kemampuan yang kuat
dalam memperoleh pengetahuan.

Melalui indera dapat dilakukan observasi dan ekperimen. Di dalam Al-Qur'an terdapat
metodologi pengetahuan yang memperkuat adanya pengetahuan indera itu, namun Al-Qur'an
juga mencrangkan keterbatasan indera manusia sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan
yang benar. Al-Qur`an mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk
memperoleh kebenaran, misalnya yang dikisahkan oleh Al-Qur'an tentang kaum Nabi Musa
yang ingin melihat Tuhan secara langsung. Al-Qur`an juga menyebutkan adanya realitas yang
tidak bisa diamati dengan indera, yang menunjukkan bahwa indera itu terbatas jangkauannya
dalam mencapai kebenaran.22
20
Idris, Epistemologi Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadis, dan Ilmu Hukum Islam, (Jakarta : Pranada Media,
2015), h. 7
21
Qala adalah fi’il madhi artinya telah berkata, dalam analisis penulis kata qala yang dimaksud oleh
Ismail Marzuki adalah kata qala dibeberapa ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai baahan pertimbangan.
22
Ismail Marzuki Dkk, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Makassar: UNIFA, 2021), h. 153
D. Hierarki Pengetahuan

Pemikiran al-Ghazali tentang hierarki ilmu pengetahuan dituangkan dalam berbagai


kitabnya secara variatif. Dua kitab utamanya tentang hal ini-Ihya' dan al-Risalah al-
Ladunniyyah-akan dikaji dalam bab ini.23

1. Hierarki Ilmu Pengetahuan dalam Ihya'

Di dalam Ihya', al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan berdasarkan pada


bentuk kewajiban yang dibebankan kepada Muslim dalam dua kategori, yakni:
fardlu 'ain yang dibebankan kepada masing-masing individu untuk
mempelajarinya dan kategori fardu kifayah yang dibebankan kepada komunitas
Muslim.

i. Fardu A’in

Seperti pemahaman ulama ushuliyyîn, al-Ghazali juga


mengatakan bahwa fardlu 'ain merupakan kewajiban yang dibebankan
syâri' kepada mukallaf. Kendatipun para ulama Muslim sepakat dalam
memberikan batasan terhadap fardlu 'ain namun mereka berbeda
pendapat ketika harus menentukan ilmu pengetahuan mana yang
termasuk kategori fardlu 'ain tersebut. Ulama kalam (teolog) mengatakan
ilmu kalamlah yang termasuk ilmu fardu’ain. Ulama tafsir mengatakan
tafsir, ulama Hadis mengatakan Hadis ulama fikih mengatakan fikih dan
sebagainya dengan argumentasi masing-masing. Al-Ghazali dalam hal
ini sependapat dengan Abu Thalib al-Makkiy dalam menentukan
kategori ilmu fardlu ‘ain. Keduanya mendasarkan argumentasinya pada
Hadis Nabi tentang bangunan Islam yaitu:

‫الصالَِة‬ ِ ‫َأن حُم َّم ًدا رسو ُل‬


َّ ‫اهلل َوِإقَ ِام‬ ‫ِإ ِإ‬ ِ ٍ ْ‫اإلسالَ ُم َعلَى مَخ‬
ْ ُ َ َ َّ ‫ َش َه َادة َأ ْن الَ لَهَ الَّ اهللُ َو‬: ‫س‬ ْ َ ‫بُيِن‬
‫ )رواه البخاري و مسلم‬.‫ضا َن‬ ِ ‫ و‬,‫ت‬ ِ ِ َّ ‫وِإيت ِاء‬
َ ‫ص ْوم َر َم‬
َ َ ‫ َو َح ِّج الَْبْي‬,‫الز َكاة‬ َْ َ

"Islam itu ditegakkan atas lima hal yaitu: syahâdah (persaksian)


bahwasannya tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah dan bahwasanya
Muhammad SAW. adalah rasul-Nya, mendirikan salat, menunaikan
zakat, haji, dan puasa Ramadlan."(H.R Bukhori dan Muslim).
23
Ahmad Shodiq, Epistemologi Islam: Argumen Al-Ghazali Atas Superioritas Ilmu Ma'rifat, (Depok:
Kencana, 2017), h. 61
Jadi yang termasuk kategori fardlu 'ain menurut Al-Ghozali
adalah meliputi ilmu-ilmu tentang syahadah, salat, zakat, puasa dan haji.
Jika pembagian al-Ghazali tentang ilmu mukasyafah dan mu'amalah
diikuti maka ilmu yang dimaksud dalam Hadis tersebut adalah termasuk
dalam kategori ilmu muamalah. Ilmu mu'amalah itu sendiri terdiri atas
tiga hal, yaitu: i'tiqâd (keyakinan), fi'il (anjuran), dan tark (larangan).
Yang termasuk dalam i'tiqad adalah pengetahuan tentang dua kalimah
syahadat. Yang termasuk dalam fi'il adalah pengetahuan tentang
thaharah (bersuci), salat, puasa, zakat, dan seluruh aktivitas yang
difungsikan untuk menghilangkan keragu-raguan. Adapun yang
termasuk tark adalah pengetahuan tentang hal-hal yang dilarang oleh
syara' yang tergantung dengan kondisi tertentu. Misalnya orang buta
tidak wajib belajar tentang pandangan yang haram begitu juga yang lain.

Menurut al-Ghazali, seorang Muslim yang telah âqil balligh itu


dituntut untuk mengamalkan ketiga hal yakni i'tiqâd, fi'il dan tark. Ia
mengetakan bahwa bagi seorang yang telah balligh kewajiban pertama
kali yang harus ditunaikan waktu itu adalah i'tiqad. Jadi ia harus
mengetahui makna kalimah syahadat dengan seyakin-yakinnya.
Keyakinan itu dianggap telah memenuhi syarat walaupun hanya sebatas
taqlid pada awalnya. Adapun kewajiban-kewajiban yang lain yang
termasuk dalam kategori fi'il dan tark menyusul secara bertahap.24 Ilmu-
ilmu inilah yang difardukan oleh Hadis:

‫ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم‬ ِ َ‫طَل‬


َ ْ‫ب الْع ْل ِم فَ ِري‬
ُ

Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah
no. 224).
ii. Fardu Kifayah

Al-Ghazali mengatakan bahwa yang termasuk kategori fardu


kifayah ialah semua ilmu yang tidak bisa tidak dibutuhkan dalam
menegakkan permasalahan kehidupan dunia. Seandai-nya dalam satu
daerah tidak ada orang yang mengerti ilmu-ilmu itu, maka seluruh
penduduk daerah tersebut berdosa. Jika telah ada yang menegakkan
24
Imam al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, Juz. 1, (Bandung : Mizan, 2008), h. 14-15.
meski hanya seorang saja, maka gugurlah kewajiban penduduk daerah
tersebut. Ilmu fardu kifayah ini terbagi atas dua bagian yaitu:

1) Ilmu Syariah

Ilmu syariah ini terbagi atas empat bentuk yaitu: pokok (ushul), cabang
(furû), pendahuluan (muqaddimah), dan penutup (mutammimah).

a) Ilmu Ushûl, Adapun yang termasuk dalam ilmu ushul itu adalah
ilmu pengetahuan tentang Kitabullah (Al-Qur'an), sunah, ijma',
dan atsar (statement) sahabat.
b) Ilmu furû', ialah ilmu pengetahuan yang difahami dari Ilmu ushul
bukan dengan kepastian lafal-lafalnya melainkan dengan
pengertian-pengertian yang diketahui akal. Ilmu furû' tersebut
terbagi atas dua hal yaitu: ilmu tentang kemaslahatan dunia
seperti fikih dan ilmu tentang kemaslahatan akhirat yakni ilmu
tentang keadaan hati, akhlak terpuji dan tercela, hal-hal yang
diridhoi Allah dan yang dibenci-Nya. Ilmu-ilmu ini tergolong
dalam ilmu akhlak (etika).
c) Ilmu Muqaddimah atau Ilmu pendahuluan, adalah ilmu-ilmu
yang berfungsi sebagai alat untuk memahami Al-Qur'an dan
alHadis, seperti ilmu lughah (bahasa Arab) dan nahwu
(gramatik)." Ilmu Khat (ilmu menulis bahasa Arab). juga
termasuk dalam kelompok ilmu ini.
d) Ilmu Mutammimah atau Ilmu Penutup. Yang dimaksud dengan
ilmu penutup ialah semua cabang ilmu yang berkaitan dengan
ilmu Al-Qur'an dan Hadis. Adapun ilmu penutup yang berkaitan
dengan Al-Qur'an tersebut terbagi atas: ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan lafal Al-Qur'an seperti ilmu Qira'ah dan Makhârij al-
Khuruf (ilmu tentang daerah artikulasi huruf-huruf Arab). Ilmu
yang berkaitan dengan makna Al-Qur'an yaitu Ilmu Tafsir. Ilmu-
ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum Al-Qur'an yaitu: Ilmu
Ushul Fikh yang mencakup ilmu nasikh-mansukh, âm-khash,
nash-dzahir dan sebagainya. Adapun ilmu Penutup yang
berkaitan dengan Hadis adalah ilmu-ilmu tentang rijal al-Hadis,
al-jarh wa altadlil, dan sanad-matan.25
2) Ilmu non Syariah

Adapun yang termasuk dalam kategori ilmu non syariah


adalah seluruh ilmu umum (science). Berdasarkan sifatnya ilmu ini
terbagi atas tiga bentuk yaitu:

a) Ilmu non-syar'i yang terpuji (mahmûd) seperti ilmu


kedokteran, matematika, perindustrian dan politik.
b) Ilmu non syariah yang tercela (madzmûmah) seperti ilmu
sihir, mantra-mantra, tenung dan sulap.
c) Ilmu non syariah yang netral (mubah) seperti syair (puisi)
yang tidak jorok, sejarah dan sebagainya.26

Klasifikasi ilmu pengetahuan yang ada dalam Ihya'


tersebut menempatkan Ilmu Al-Qur'an dan Hadis pada dua
tempat yaitu: pada kelompok ilmu ushûl dan ilmu mutammimât.
Penempatan ini bukanlah merupakan suatu kontradiksi tetapi
adalah keharusan. Maksudnya jika sudut pandangnya adalah ilmu
pokok (ushul) dan furü', maka ilmu Al-Qur'an-Hadis itu
tergolong dalam kategori ilmu pokok (ushủl). Jika sudut
pandangnya adalah tahapan pengkajian suatu ilmu, maka ilmu
Al-Qur'an-Hadis itu adalah merupakan kelompok ilmu penutup
(mutammimâh) bukan ilmu pendahuluan (muqaddimât). Filsafat
juga tidak dieksplisitkan dalam klasifikasi di atas karena filsafat
menurut al-Ghazali bukan merupakan ilmu yang independen,
setidaknya saat itu. Dalam pandangannya ilmu filsafat terdiri atas
empat bagian yaitu: Ilmu Ukur dan Ilmu Hitung (matematika),
Logika, Teosofi (Ilâhiyyât)', dan Ilmu Alam (Thabi'iyyât).27

Penulis mengutip buku Epistemologi Islam: Argumen Al-


Ghazali Atas Superioritas Ilmu Ma'rifat, yang mengutip pendapat
Ustazah Fathiyah, seorang pakar Ilmu Pendidikan Islam Timur
25
Imam al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, Juz. 1,. H. 16-17
26
Imam al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, Juz. 1,. H. 17
27
Imam al-Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, Juz. 1,. H. 23
Tengah, menyimpulkan bahwa pemikiran al-Ghazali tentang
klasifikasi ilmu yang ada dalam Ihya' itu, jika didasarkan pada
urgensinya bagi kepentingan manusia, terbagi atas empat
tingkatan yaitu:

1) Kelompok ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan


keagamaan dan kehidupan akhirat di samping berguna
untuk mensucikan jiwa memperindah moral dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT serta sebagai
persiapan bagi kehidupan yang abadi. Yang termasuk
dalam kelompok ilmu ini adalah ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lainnya.
2) Ilmu yang berguna bagi manusia karena ia menjadi
prasyarat bagi kelompok ilmu pertama seperti: Ilmu
Lughah dan Nahwu.
3) Ilmu yang berguna bagi kehidupan manusia di dunia
seperti: Ilmu Kedokteran, Matematika, Teknologi, Politik
dan sebagainya.
4) Ilmu yang berguna dari sudut peradaban dan kesenangan
manusia dan kehidupan sosial seperti: Ilmu Sastra (puisi),
Sejarah, dan Etika.
2. Hierarki Ilmu Pengetahuan dalam al-Risalah al-Ladunniyyah

Klasifikasi ilmu pengetahuan dalam kitab al-Risalah alLadunniyyah ini


memiliki nuansa yang agak sama dengan klasifikasi dalam Ihyâ'. Hal yang
membedakan antara keduanya adalah dasar strukturasinya. Jika dalam Ihya'
strukturisasi lebih didasarkan pada kewajiban yang dibebankan pada subjek, maka
dalam kitab ini ditekankan pada nilai ilmu pengetahuan itu sendiri. Kitab tersebut
sebagaimana dinyatakan sendiri oleh al-Ghazali, bahwa sejak dini telah
dimaksudkan untuk tujuan strukturisasi ilmu pengetahuan. Meskipun demikian
struktur yang ada di dalamnya tidak lebih lengkap jika dibanding dengan struktur
yang ada dalam Ihya' Di dalam al-Risalah al-Ladunniyyah itu al-Ghazali membagi
ilmu pengetahuan dalam dua kategori besar yaitu ilmu syar'iy dan ilmu aqliy.28

i. Ilmu Syar’i
28
Ahmad Shodiq, Epistemologi Islam: Argumen Al-Ghazali Atas Superioritas Ilmu Ma'rifat,. h. 70
Al-Ghazali membagi ilmu syar'iy menjadi tiga bagian, yaitu:
al-'ilm al-Ushûl (rumpun ilmu pengetahuan pokok), al-'ilm Ushûl al-
Ushûl dan al-'ilm al-furû' (rumpun ilmu pengetahuan cabang).

1. Ilmu Ushûl (Rumpun Ilmu Pengetahuan Pokok)

Ilmu Ushûl tersebut terdiri atas tiga disiplin ilmu


pengetahuan yaitu Ilmu Tauhid, Tafsir, dan Hadis (Akhbar).

2. Ilmu Ushûl al-Ushûl

Ilmu Ushủl al-Ushûl ini merupakan ilmu prasyarat untuk


menafsirkan dan menta'wilkan Al-Qur'an dan Hadis serta
menyelami kedalaman maknanya. Ilmu-ilmu itu ialah: Ilmu
Lughah, Nahwû, I'rab, dan Ilmu Tashrif. Karena Ilmu bahasa Arab
tersebut harus dikuasai terlebih dahulu sebelum mendalami Al-
Qur'an dan Hadis maka disebut sebagai pokoknya pokok (Ushûl al-
Ushûl).

3. Ilmu Furu' (Rumpun Ilmu Pengetahuan Cabang)

Al-Ghazali membagi ilmu furu' tersebut menjadi tiga


bagian yakni: bagian yang menjadi hak Allah, hak sosial (hamba)
dan bagian yang menjadi hak individu.

1. Hak Allah

Ibadah murni (ibadah mahdlah) seperti:


thahârah, salat, zakat, puasa, hajji, jihad, dzikir, salat
'id, jum'ah, dan tambahan bagi ibadah Sunnah dan
fardlu.

2. Hak Sosial

Adapun ilmu furu' yang menjadi bagian dari


hak sosial terbagi atas dua kategori yaitu: mu'amalah
(perdata)26 dan mu'aqqadah (kontrak sosial). Sebutan
yang dikenakan bagi ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan hak Allah dan hak sosial adalah ilmu fikih.
3. Hak Individu

Hak Individu Ilmu yang menjadi hak individu


itu disebut dengan ilmu akhlak (etika). Pembahasan
tentang akhlak itu dibagi menjadi dua yaitu akhlak
yang tercela yang harus dihilangkan dan akhlak
terpuji yang harus diraih dan dipertahankan guna
menghias diri masing-masing individu.

ii. Ilmu Aqly

Menurut al-Ghazali, ada tiga tingkatan ilmu aqly atau rasional


dalam hierarki ilmu menurut al-Ghazali yaitu: pertama, adalah Ilmu Pasti
dan Logika; kedua adalah Ilmu Alam; dan ketiga adalah ilmu
pengetahuan tentang maujud (eksistensi). Karena kelompok ilmu pasti
dan logika merupakan ilmu-ilmu dasar maka ia diletakkan pada tingkat
pertama. Adapun pembahasan ilmu alam menduduki tingkat menengah.
Ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang eksistensi menduduki
tingkatan tertinggi dalam kategori ilmu rasional. Dalam pandangan al-
Ghazali, ilmu rasional itu secara substansial adalah satu. Dari yang satu
itu dapat ditemukan berbagai kondisi dari alam tunggal. Ilmu yang
bertingkat-tingkat ini melahirkan ilmu pengetahuan yang tak
terbantahkan autentisitas, validitas dan objektivitasnya.

Anda mungkin juga menyukai