Anda di halaman 1dari 3

FASILITASI

Apa fasilitasi itu?1


Satu pertanyaan yang sering ditanyakan kepada kita adalah, “Apa itu fasilitasi? Apakah itu
sebuah falsafah, sebuah keterampilan, sebuah proses, atau sebuah profesi?” Merujuk pada
batasan dari the International Association of Facilitators (IAF), jawaban singkatnya adalah, “Ya,
semuanya itu.”

Fasilitasi adalah sebuah falsafah. Fasilitasi adalah keyakinan mendasar pada kemampuan
alamiah manusia untuk berkolaborasi. Ini adalah pilar filosofis dari semua masyarakat beradab
dan sebagian besar gerakan politik. Ini merupakan kepercayaan pada kearifan dan kemampuan
orang-orang ini juga keyakinan bahwa dua kepala tidak hanya lebih baik daripada satu kepala,
namun bahwa ketika dua orang berbagi ide, 1+1+1≠3. Ini adalah pemahaman bahwa ketika tiga
orang berbagi ide mereka, mereka akan membangun di atas konsep satu sama lain,
mengembangkan pemikiran mereka dan satu sama lain, dan menciptakan ide-ide baru. Ini
adalah keyakinan yang mendalam bahwa 1+1+1=tak berbatas.

Fasilitasi adalah sebuah keterampilan. Sementara semua orang memiliki kemampuan untuk
terlibat dalam percakapan yang otentik dan disengaja, kita tidak selalu melakukannya. Bahkan,
contoh-contoh kekuatan fasilitasi yang disediakan dalam buku The Power of Facilitation
sayangnya merupakan pengecualian ketimbang aturannya. Keterampilan fasilitatif adalah
syarat bagi para pemimpin, komunikator, pendidik, dan politisi. Keterampilan fasilitatif, kendati
demikian, sering dilupakan, dilewati, diabaikan dalam perlombaan akan efisiensi,
kesempurnaan, inovasi, dan indoktrinasi. Keterampilan fasilitatif sering dilihat sebagai
teknik-teknik sederhana yang tidak benar-benar memerlukan training atau latihan, teknik-teknik
yang merupakan tambahan saja dari kemampuan seorang pemimpin atau manajer. Kami ingin
menyanggah bahwa fakta tersebut sangat melenceng dari kebenaran. Sebagaimana
keterampilan lainnya, fasilitasi perlu dipahami, dipelajari, dan dilatih.

Fasilitasi adalah sebuah proses. Untuk membantu orang melakukan kemampuan fasilitatif
alamiah mereka, proses-proses spesifik telah ditemukan dan terus diciptakan, untuk
mendukung orang berpikir bersama. Proses-proses tersebut telah dikembangkan menggunakan
konsep-konsep dari ilmu perilaku dan antropologi. Proses-proses tersebut didasarkan pada
pemahaman dari proses kreatif, dinamika kelompok, dan kekuatan dari pertanyaan-pertanyaan
orisinal untuk menghasilkan ide-ide lebih lanjut. Sering proses-proses ini sederhana dan mudah
diterapkan, begitu basis fenomenologisnya dipahami. Lain waktu, proses-prosesnya lebih subtil
yang, bila tidak dikelola dengan ahli, bisa malah menghambat ketimbang membantu. Beberapa
dari proses-proses ini digambarkan di dalam buku ini. Beberapa perlu bertahun-tahun kajian
dan praktik untuk menyempurnakannya. Namun dengan berkembangnya pengetahuan dalam
fasilitasi, kita berharap bahwa pemahaman dan penggunaan yang tepat dari proses-proses ini
juga berkembang.

1
Diambil dari terjemahan bebas Pengantar buku IAF berjudul The Power of Facilitation.

0
Fasilitasi adalah sebuah profesi. Individu-individu yang memegang falsafah fasilitasi,
kadang-kadang seperti agama, telah menciptakan profesi dengan pengetahuan, kode etik,
kompetensi dan sertifikasi profesional, dengan sebuah badan internasional untuk
menyatukannya. Badan ini adalah International Association of Facilitators (IAF). Anggotanya
mendedikasikan diri mereka untuk seni dan sains mengenai fasilitasi dan memandangnya
persis seperti itu – sebagai seni DAN sains. Fasilitator profesional adalah spesialis dalam
mendapatkan kekuatan fasilitasi untuk membantu individu, kelompok, organisasi, masyarakat
terlibat dalam percakapan yang disengaja, memecahkan masalah-masalah yang tidak bisa
dipecahkan, memecahkan konflik yang sudah berakar mendalam, berinovasi, berkembang, dan
tumbuh.

Fasilitasi Proses Kelompok


Dalam arti lebih sempit fasilitasi adalah proses yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai
facilitation, proses memandu kelompok untuk bisa mengambil keputusan bersama dan
menerapkannya secara efektif sebagai tindak lanjutnya.

Sumber: https://innovationcatalystgroup.com/disruptive-innovation-our-services/graphicfacilitationa/

Mengapa banyak organisasi, bahkan banyak kalangan, belum akrab dengan konsep
fasilitasi yang disebutkan di atas? Kita biasanya hanya kenal terminology narasumber,
moderator, atau ketua rapat, ya bukan? Jawabnya mungkin, karena tidak semua pertemuan
membutuhkan peran fasilitator. Itu terjadi karena pertemuan-pertemuan tersebut sifatnya
rutin dan keputusan yang perlu diambil tidak sulit.

Ketika berhadapan dengan isu yang lebih rumit, lebih kompleks, dan menuntut tindakan
yang tidak rutin, rapat/pertemuan akan mulai menantang. Yang dibutuhkan kelompok bukan
sekedar keputusan atau kesepakatan. Yang kita butuhkan adalah keputusan atau
kesepakatan yang dijalankan dengan efektif dan berkelanjutan. Berkelanjutan bisa
bermacam-macam artinya; namun, kita bisa maknai sebagai, “keputusan rapat dijalankan
meskipun tidak ada yang perlu memberi perintah; keputusan rapat dijalankan karena esensi
dan urgensinya dipahami dan diyakini oleh semua yang terlibat.”

1
Untuk tujuan seperti itu, mulai ada tantangan. Untuk seorang pimpinan, kadang lebih
mudah memberikan perintah, tanpa perlu mendengarkan masukan. Kenapa seorang
pimpinan tidak meminta masukan, kadang karena asumsi bahwa biasanya tidak ada
masukan dari peserta atau masukan yang diberikan tidak akan cukup rinci dan bermanfaat.

Peserta, di sisi lain, juga menyensor diri mereka sendiri. Sebabnya bisa macam-macam:
mereka tidak memahami masalahnya sepenuhnya, kawatir idenya dianggap bodoh, skeptis
bahwa pimpinan akan menerima masukan, atau memilih terima instruksi saja, supaya rapat
tidak lama. Apapun alasan dari masing-masing, ujungnya jelas, masalah tidak dibahas
dengan menyeluruh, dan tindak lanjut yang dilakukan tidak berangkat dari pertimbangan
yang masak dan sudah disepakati semua orang.

Problemnya, jarang sekali solusi datang dengan sekali lontaran. Sebuah solusi lazimnya
datang dari sebuah diskusi dengan masukan dari berbagai penjuru. Proses memberikan
masukan pun, akan menyumbang pada peningkatan kepedulian atas masalah yang
dihadapi dan membangun rasa kepemilikan atas solusi bersama yang akhirnya disepakati.

Proses serupa dibutuhkan untuk isu yang bukan isu rutin, dan masalah yang menantang
anggota kelompok untuk melakukan tindakan baru. Proses seperti inilah yang
membutuhkan keterampilan fasilitasi.

Anda mungkin juga menyukai