Muntaha*
Abstract
The development of science and technology, in particular in the field of health, has already recently
brought a huge advantage and problem in human life. An example of technological marvel that not only
requires deep legal thoughts but also at the same time solution is the bio-medical technology advancement
of surrogacy. Surrogacy deals with human’s inclination towards reproductive activity. However, it opens
up legal complication, in particular with regards to the potential commission of a criminal action as well
as to the notion of doctor’s liability.
Keywords: surrogate mother, criminal law.
Intisari
Perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan yang semakin maju dan pesat telah membawa
berbagai manfaat dan masalah dalam kehidupan manusia dewasa ini. Salah satu perkembangan yang
tidak hanya membutuhkan pemikiran di bidang hukum, tetapi juga sekaligus solusinya adalah mengenai
kecanggihan teknologi bio-medis surrogate mother. Surrogacy menyentuh sisi kemanusiaan seorang
insan terhadap reproduksi. Akan tetapi, lembaga surrogacy juga membawa komplikasi hukum terutama
terkait dengan potensi tindak pidana dan dengan persoalan tanggung jawab dokter.
Kata Kunci: surrogate mother, hukum pidana.
Pokok Muatan
A. Latar Belakang............................................................................................................................ 77
B. Pembahasan................................................................................................................................ 78
1. Pengertian Hukum Kesehatan ............................................................................................. 78
2. Surrogate Mother ................................................................................................................ 79
3. Surrogate Mother dalam Hukum Pidana.............................................................................. 80
4. Tindakan Dokter dalam Surrogate Mother Menurut Hukum Pidana .................................. 83
C. Penutup....................................................................................................................................... 86
*
Alamat korespondensi: muntmuntaha@yahoo.com
Muntaha, Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia 77
1
Hermien Hadiati Koeswadji, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 17.
78 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 76 - 86
juga pada hukum pidana”. Surrogate mother itu telah terjadi peningkatan taraf kesejahteraan
merupakan bagian dari peningkatan kualitas pe dan kesadaran akan hidup sehat. Dengan adanya
layanan kesehatan yang menggunakan teknologi. peningkatan tersebut mempengaruhi peningkatan
Peningkatan pelayanan kualitas kesehatan kebutuhan pelayanan dan pemerataan yang men-
melalui teknologi seperti dalam surrogate mother cakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah
bagi Indonesia masih merupakan persoalan yang maupun kualitas. Karena itu diperlukan peng
baru, sehingga perangkat instrumen regulasinya aturan untuk melindungi pemberi dan penerima
belum tertata dengan baik, terutama dalam bidang jasa pelayanan kesehatan.
hukum pidana. Hukum pidana yang berlaku sampai Perangkat pengaturan tersebut diperlukan
saat ini masih merupakan warisan dari kolonial dalam rangka memberi kepastian dan perlindung
Belanda yang sudah tentu tidak sesuai lagi dengan an hukum untuk meningkatkan, mengarahkan
perkembangan dinamika masyarakat, terutama dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan,
perkembangan teknologi di bidang kesehatan. oleh karenanya perangkat hukum kesehatan harus
Dalam menganalisis pelayanan kualitas kese senantiasa yang dinamis. Berdasarkan uraian
hatan melalui teknologi pada surrogate mother, latar belakang pemikiran di atas, permasalahan
maka makna hukum sebagaimana yang dikemu- yang timbul dalam surrogate mother ditinjau
kakan oleh Wignjodipuro dengan mengutip pan- dari aspek hukum pidana sebagai berikut; (1)
dangan dari Zinsheimer bahwa makna hukum Apakah tindakan surrogate mother merupakan
pada pokoknya dapat dilihat: suatu tindak pidana? (2) Apakah tindakan seorang
1) Hukum normatif, yaitu yang tampak dalam dokter dalam melakukan surrogate mother dapat
peraturan perundang-undangan dan juga
dikenakan sanksi pidana?
hukum yang tidak tertulis, tetapi ditaati
oleh masyarakat karena keyakinan bahwa
peraturan hidup itu sudah sewajarnya B. Pembahasan
ditaati. 1. Pengertian Hukum Kesehatan
2) Hukum ideal, yaitu hukum yang dicita- Surrogate mother sebagai bagian pelayanan
citakan (ius constituendum).
kualitas kesehatan yang terintegrasi dalam sistem
3) Hukum wajar, yaitu hukum yang terjadi dan
tampak sehari-hari. hukum kesehatan. Hukum kesehatan sebagaima-
Berkaitan dengan surrogate mother, makna na yang dikemukakan oleh H.J.J. Leenen dengan
hukum dapat dilihat pada dua aspek yaitu, aspek menggunakan istilah gezondheidsrecht memberi
makna hukum dalam segi normatif dan aspek batasan bahwa hukum kesehatan sebagai keselu-
hukum dari segi ideal, sehingga pendekatan yang ruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di
dipergunakan adalah pendekatan normatif, dalam bidang pemeliharaan kesehatan beserta studi ilmi-
arti bahwa apakah hukum pidana dapat dijadikan ahnya. Batasan hukum kesehatan Leenen memberi
sebagai pisau analisis untuk menyelesaikan kasus indikasi bahwa surrogate mother dapat didekati
surrogate mother yang dilakukan di luar hubungan dengan hukum pidana, karena hukum kesehatan
nikah, baik laki-laki maupun perempuan. mencakup keseluruhan aktivitas hukum di bidang
Keberhasilan pembangunan diberbagai bi kesehatan. Batasan ini pula memberi ruang ling-
dang, termasuk bidang kesehatan serta kemajuan kup yang lebih luas yang tidak hanya sekedar pro-
ilmu pengetahuan dan teknologi telah mening- fesi medik, melainkan meliputi tidak hanya segi
katkan kualitas hidup masyarakat, di samping curing tetapi juga segi caring; seperti pusat pela
2
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Suatu Pengantar, Rafika Aditama, Bandung, hlm. 11.
3
Syahrul Machmud, 2008, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 6.
4
Ibid., hlm. 8.
Muntaha, Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia 79
yanan kesehatan dan keluarga berencana. Hukum serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan
kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan sendiri.
kualitas kesehatan, Bahder Johan Nasution me
ngatakan bahwa upaya peningkatan kualitas hidup 2. Surrogate Mother
manusia di bidang kesehatan, merupakan suatu Meskipun metode ini masih digolongkan
usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha sebagai metode baru dalam ilmu kedokteran,
tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyara- akan tetapi perkembangannya dewasa ini semakin
kat baik fisik maupun non fisik. pesat, dikarenakan adanya perubahan pola pikir
Van der Mijn memberi pengertian hukum masyarakat dan pengaruh dari berbagai belahan
kesehatan sebagai “As the body of rules that dunia (dampak pengaruh globalisasi). Menurut
relates directly to the care for health as well as Desriza Ratman pengertian surrogate mother
to the application of general civil, criminal and adalah someone who takes the place of another
administration law”. Hukum kesehatan dapat person (seseorang yang memberikan tempat untuk
dirumuskan sebagai kumpulan peraturan yang orang lain). Pengertian ini tidak terbatas apakah
berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga terhadap pasangan suami-istri, melainkan juga
penerapannya kepada hukum perdata, hukum terbuka peluang pada hubungan yang tidak terikat
pidana dan hukum administrasi. Sedangkan perkawinan yang sah, bahkan inilah yang menjadi
C.S.T. Kansil mengatakan bahwa hukum kese problema hukum, dalam hal ini hukum pidana
hatan adalah rangkaian peraturan perundang- Meskipun harus diakui bahwa prokreasi
undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur (vootplanting) atau reproduksi merupakan suatu
pelayanan medik dan sarana medik. Batasan di hak yang secara kodrati untuk melanjutkan ke-
atas terkandung makna bahwa pengaturan hukum turunan di masa yang akan datang, sebagaimana
kesehatan tidak lain adalah untuk kesejahteraan yang dikatakan oleh Ubaedillah A. dan Rozak Ab-
baik fisik maupun jiwa dan sosial. Berbagai batasan dul bahwa reproduksi merupakan suatu kegiatan
hukum kesehatan yang dikemukakan oleh para upaya manusia untuk melanjutkan keturunannya
ahli menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan sebagai suatu hak yang melekat secara kodrati,
tujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan yang merupakan salah satu dari tiga hak orisinil
bagi kesejahteraan masyarakat secara sama dan yang diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
adil. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Sebagai hak yang bersifat kodrati, maka secara
angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, instingtif, setiap manusia ingin memperoleh ketu-
bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dan runan walaupun mungkin ada keterbatasan–keter-
badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap batasan individu, dalam arti ada kekurangan (pe-
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. nyakit yang diderita) sehingga secara normal atau
Begitu pula di dalam ketentuan Pasal 2 Undang- alamiah tidak memungkinkan dirinya mempunyai
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang asas dan keturunan, akhirnya memilih untuk mempergu-
tujuan, dikatakan bahwa pembangunan kesehat nakan teknologi di bidang kedokteran tersebut.
an diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan Surrogate mother secara harfiah disamakan
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan istilah “ibu pengganti” yang menurut Fred
manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan adil, Ameln didefinisikan secara bebas sebagai seorang
dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, wanita yang mengikatkan dirinya melalui suatu
5
Ibid., hlm. 11.
6
Ibid., hlm. 7.
7
Ibid., hlm. 8.
8
Desriza Ratman, 2012, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum, Bolekah Sewa Rahim di Indonesia, Elex Media Komputindo,
Jakarta, hlm. 3.
9
A. Ubaidillah dan Rozak Abduh, 2008, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Masyarakat
Madani, Edisi Ketiga, ICCE UIN, Jakarta, hlm. 45-46.
80 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 76 - 86
ikatan perjanjian dengan pihak lain (biasanya 3. Surrogate Mother dalam Hukum Pidana
suami-istri) untuk menjadi hamil setelah dima Berbagai pandangan dari para pakar
sukannya penyatuan sel benih laki-laki (sperma) hukum telah memberikan batasan terhadap
dan sel benih perempuan (ovum) yang dilakukan hukum pidana yang tujuannya tidak lain hanya
pembuahannya di luar rahim sampai melahirkan semata-mata sebagai pedoman dan/atau standar
sesuai kesepakatan yang kemudian bayi terse- dalam menentukan perbuatan mana yang dapat
but diserahkan kepada pihak suami istri dengan dikenakan sanksi. Simons menyatakan bahwa
mendapatkan imbalan berupa materi yang telah hukum pidana adalah semua tindakan keharusan
disepakati.10 (gebod) dan larangan (verbod) yang dibuat
Dalam perkembangan teknologi kedokteran oleh negara atau penguasa umum lainnya yang
surrogate mother dapat dilakukan dalam berbagai diancam dengan derita khusus; yaitu pidana.11
cara, yaitu: Sedangkan Moeljatno menyatakan bahwa hukum
a) Benih yang akan ditanam berasal dari pidana bagian dari hukum yang mengadakan dasar
pasangan suami istri kemudian ditanam aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan
kembali ke rahim istri; mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang
b) Salah satu benih dari donor (baik sperma dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu
maupun sel telur) yang kemudian ditanam pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar
ke rahim istri; larangan tersebut, kapan dan dalam hal apa kepada
c) Benih berasal pasangan suami istri, tetapi mereka yang melanggar larangan-larangan itu
ditanam pada rahim wanita lain. dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
Berdasarkan cara tersebut di atas, surrogate yang telah diancamkan, dan dengan cara bagaimana
mother dikenal dalam dua tipe, yakni: pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
1) Tipe Gestational Surrogacy, di mana embrio ada orang yang melanggar larangan tersebut.12
berasal dari sperma suami dan sel telur berasal Kedua pandangan tersebut di atas sangat rele
istri yang dipertemukan melalui teknologi van dalam menentukan apakah perbuatan surro-
IVF, ditanam dalam rahim perempuan yang gate mother merupakan suatu delik yang dapat
bukan istri (disewa); dikenakan sanksi pidana. Untuk melihat korelasi
2) Tipe Genetic Surrogacy, dimana sel telur tersebut perlu diketengahkan mengenai pengertian
berasal dari perempuan lain yang bukan delik itu sendiri. Dalam kaitan dengan surrogate
istri, kemudian dipertemukan sperma dari mother rumusan delik yang menurut pandangan
suami yang selanjutnya ditanam dalam rahim penulis mempunyai relevansi yaitu pandangan
perempuan tersebut. yang dikemukakan Simons, di mana dikatakan
Melihat cara-cara untuk melakukan surrogate bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam
mother, maka yang menjadi fokus analisa dalam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum
hukum pidana, yaitu pada penanaman benih yang yang berhubungan dengan kesalahan dan dilaku-
dilakukan tanpa diikat pada hubungan perkawinan kan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.13
yang sah, baik dalam penanaman benih yang Berdasarkan rumusan tersebut, unsur-unsur dari
berasal dari donor kemudian ditanam pada rahim delik meliputi: (1) diancam dengan pidana oleh
istri maupun benih dari suami istri dan ditanam hukum; (2) bertentangan dengan hukum; (3) di-
pada rahim orang lain, ataupun kedua-duanya lakukan oleh orang yang bersalah; (4) orang itu
tidak terikat perkawinan yang sah tempat di mana dipandang mampu bertanggungjawab atas perbu
benih tersebut ditanam. atannya.
10
Fred Ameln, 1991, Kapita Selekta Hukum Kesehatan,Cet. I, Grafika Tama Jaya, Jakarta, hlm. 117.
11
Erdianto Effendi, Op.cit., hlm. 6-7.
12
Ibid.
13
Andi Hamzah, 2008, Azas-Azas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 88.
Muntaha, Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia 81
Rumusan delik di atas menunjukkan bahwa maupun sanksi pidana jika perbuatan tersebut me-
baik surrogate mother tipe gestational surrogacy menuhi unsur-unsur delik.
maupun tipe genetic surrogacy merupakan suatu Perbuatan surrogate mother berupa mema-
perbuatan yang dapat dikenakan sanksi, karena sukkan sperma laki-laki ke dalam rahim seorang
perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perempuan yang tidak terikat suatu hubungan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perkawinan yang sah, jika dikonstruksikan ke
sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 16 dalam Pasal 284 KUHP dengan menggunakan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang penafsiran ekstensif, menurut pendapat penulis
Kesehatan: dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan per-
1) Kehamilan di luar cara alami dapat dilak zinahan. Pasal 284 KUHP menegaskan bahwa,
sanakan sebagai upaya terakhir untuk mem- “Diancam dengan pidana penjara paling lama
bantu suami istri mendapat keturunan. sembilan bulan; (a) seorang pria yang telah kawin
2) Upaya kehamilan di luar cara alami seba yang melakukan gendak (overspel), padahal dike
gaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat tahui pasal 27 BW berlaku baginya; (b) seorang
dilakukan oleh pasangan suami istri yang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak,
sah dengan ketentuan: padahal diketahuinya bahwa Pasal 27 BW berlaku
a) hasil pembuahan sperma dan ovum baginya; (c) seorang pria yang turut serta melaku-
dari suami istri yang bersangkutan, kan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
ditanamkan dalam rahim istri dari yang turut bersalah telah kawin; (d) seorang wani-
mana ovum verasal; ta yang telah kawin yang turut serta melakukan
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa
mempunyai keahlian dan kewenangan yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW
untuk itu; berlaku baginya.
c) pada sarana kesehatan tertentu. Apabila dikonstruksikan melalui penafsiran
Ketentuan yang sama dipertegas di dalam ekstensif perbuatan menanam sperma seorang
Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 laki-laki ke dalam rahim seorang perempuan yang
yang pada intinya melarang untuk melakukan tidak diikat dengan suatu perkawinan yang sah,
suatu tindakan medik surrogate mother yang tidak dalam arti bukan istri dari laki-laki tersebut adalah
terikat hubungan perkawinan yang sah. Hal ini sama dengan perbuatan overspel sebagaimana
dipertegas di dalam Undang-Undang Nomor 39 yang diatur menurut ketentuan Pasal 284. Dalam
Tahun 1999 pada Pasal 10 ayat (1) bahwa dalam kaitan ini, maka penggunaan penafsiran dalam
upaya melanjutkan keturunan diharuskan melalui suatu undang-undang yang bersifat statis terha-
perkawinan yang sah. dap masalah sosial yang belum jelas aturannya;
Berbagai ketentuan perundang-undangan seperti dalam surrogate mother, merupakan suatu
di atas telah menjelaskan bahwa tindakan medik bagian kebijakan hukum pidana. Mengingat bah-
surrogate mother secara normatif tidak boleh di- wa perkembangan teknologi yang semakin maju
lakukan sepanjang tidak diikat suatu perkawinan tidak selalu diimbangi aturan hukum yang sesuai
yang sah. Konsepsi ini menjelaskan bahwa suatu dengan perkembangan dinamika masyarakat. Se-
tindakan di luar yang dibenarkan oleh suatu aturan bagaimana yang dikemukakan oleh Logeman
undang-undang, apabila dilakukan merupakan bahwa tiap-tiap undang-undang sebagai bagian
suatu pelanggaran hukum yang dapat dikenakan hukum positif, bersifat statis dan tak dapat meng
suatu sanksi, baik berupa sanksi administratif ikuti perkembangan kemasyarakatan, yang me
nimbulkan ruangan kosong.14
14
Andi Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114.
82 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 76 - 86
Hal ini senada dengan pandangan Van Apel Nomor 36 Tahun 2009, jo. Pasal 10 ayat (1)
doorn yang menyatakan bahwa tujuan dari penaf- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, di mana
siran untuk mencari dan menemukan kehendak pada intinya melarang terhadap tindakan medik
pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan surrogate mother yang dilakukan tanpa diikat
oleh pembuat undang-undang itu secara kurang suatu hubungan perkawinan yang sah. Ketentuan
jelas.15 Merumuskan bunyi suatu undang-undang ini memberi jalan bagi Pasal 284 KUHP, karena
adalah pekerjaan yang berat dan sulit karena yang substansi dari ketentuan Pasal 284 bahwa untuk
dirumuskan bukan suatu kejadian yang konkret, dapat dikatakan memenuhi unsur, maka salah
melainkan sedapat mungkin perumusan harus satunya adalah hubungan yang dilakukan salah
sedemikian rupa sehingga meliputi segalanya dan satunya dan/atau kedua-duanya harus terikat oleh
dalam segala keadaan, agar tiada suatu perbuatan ketentuan Pasal 27 BW, dalam arti bahwa telah
atau kesempatan yang tersisa untuk dapat lolos. terikat oleh suatu hubungan perkawinan yang
Surrogate mother merupakan salah satu con sah.
toh konkret dari permasalahan hukum, dalam Penggunaan konstruksi hukum dalam kaitan
hal ini hukum pidana, dimana pengaturannya se dengan tindakan medik surrogate mother yaitu
cara limitatif belum ada sampai sekarang. Oleh untuk memperjelas secara yuridis bahwa tindakan
karena, untuk mengatasi dan memberi jawaban tersebut merupakan bagian dari suatu perbuatan
atas permasalahan ini diperlukan suatu penemuan perzinahan. Hal mana selaras dengan tujuan
hukum melalui penggunaan penafsiran; seperti konstruksi yang dikemukakan oleh Moeljatno
yang dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo yang bahwa agar apa yang termaktub dalam bentukan
intinya bahwa oleh karena undang-undang tidak itu merupakan pengertian yang jelas dan terang.17
lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari Konstruksi hukum dengan penafsiran eks
hukumnya, harus menemukan hukumnya. Selain tensif menggunakan Pasal 284 KUHP dalam
itu, hakim harus mampu melakukan penemuan kasus surrogate mother tujuan adalah sebagai
hukum.16 pengaman antisipasi ke depan, sebab tujuan hu
Salah satu metode dari penemuan hukum kum pidana tidak hanya memberi sanksi, akan
adalah metode interpretasi (penafsiran hukum). tetapi juga memberi pengamanan. Konsepsi ini
Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk senada dengan pandangan Andi Hamzah yang
melaksanakan ketentuan yang konkret dan bukan mengatakan bahwa tujuan hukum pidana tidak
kepentingan metode itu sendiri. Seperti halnya melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi
dengan surrogate mother, penggunaan penafsiran merupakan upaya represif yang kuat berupa
ekstensif tujuannya tidak semata-mata memberi tindakan-tindakan pengamanan.18
legalisasi boleh tidaknya dilakukan tindakan Penerapan konstruksi hukum atas penaf
medik, tetapi yang lebih penting memberi kepastian siran ekstensif dalam surrogate mother tidak
bahwa secara normatif Pasal 284 KUHP dapat harus dimaknai bertentangan dengan ketentuan
dipergunakan sebagai instrumen untuk melakukan Pasal 1ayat (1) KUHP karena untuk menyatakan
proses terhadap pelaku tindakan surrogate mother bahwa suatu perbuatan termasuk tindak pidana
di Indonesia. tidak hanya bersumber pada asas legalitas
Ketentuan Pasal 16 undang-Undang Nomor formal saja, melainkan juga pada sumber asas
23 Tahun 1992, jo. Pasal 127 Undang-Undang legalitas materiil. Konsepsi legalitas materiil ini
15
Ibid., hlm. 115.
16
Erdianto Effendi, Op.cit., hlm. 86-87.
17
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, hlm. 12.
18
Andi Hamzah, 2008, Op.cit., hlm. 27.
Muntaha, Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia 83
tercantum dalam Pasal 1 ayat (3). Ketentuan Pasal alat kelamin dan alat, tetapi terdapatnya sperma
1 ayat (3) dikonstatir oleh Barda Nawawi Arief laki-laki dalam rahim seorang perempuan yang
bahwa asas legalitas formal, tidak mengurangi tidak diikat oleh suatu perkawinan yang sah,
berlakunya “Hukum yang hidup atau hukum adat sehingga ruang lingkup yuridis perzinahan yang
yang menentukan bahwa seorang patut dipidana termaktub di dalam Pasal 284 KUHP yaitu suatu
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan
peraturan perundang-undangan”.19 yang salah satunya atau kedua-duanya telah ter
Penegasan Pasal 1 ayat (3) KUHP ini memberi ikat suatu perkawinan. Oleh karena itu, perbuatan
penguatan secara yuridis terhadap tindakan medik surrogate mother merupakan suatu perbuatan
surrogate mother bahwa meskipun perbuatan yang menurut pendapat penulis dapat dikenakan
tersebut belum diatur secara formal, namun dan/atau dituntut berdasarkan Pasal 284 KUHP.
perbuatan tersebut menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat menganggap bahwa perbuatan 4. Tindakan Dokter dalam Surrogate Mother
yang dimaksud patut dipidana, maka secara Menurut Hukum Pidana
hukum tidak ada alasan untuk tidak memberi Dalam menentukan hubungan kausal antara
sanksi (pidana). Terkait dengan surrogate mother perbuatan dan larangan harus dilihat pada bahwa
berbagai ketentuan telah menegaskan bahwa larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan (ya
dalam melakukan upaya kehamilan di luar cara itu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan
alami harus dilakukan sesuai dengan ketentuan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pida
peraturan perundang-undangan yang berlaku. nanya ditujukan kepada orang yang menimbulkan
Ketentuan ini memberi larangan bahwa di luar kejadian itu. Secara normatif suatu perbuatan di-
nikah apabila tindakan medik surrogate mother larang karena perbuatan tersebut dianggap mela-
dilakukan berarti telah melanggar hukum dan wan hukum. Melawan hukum tidak saja diartikan
dapat dikenakan sanksi pidana. melanggar undang-undang, melainkan juga me-
Hal ini telah sesuai asas hukum pidana bahwa langgar nilai-nilai yang hidup dan berkembang di
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam masyarakat. Oleh karena itu, unsur melawan
oleh suatu aturan, larangan mana disertai ancaman hukum selalu dikaitkan dengan unsur kesalahan.
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi Kesalahan yang disyaratkan oleh hukum dalam
barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. perbuatan melawan hukum, tidak saja kesalahan
Dalam hubungan dengan perbuatan perzinahan dalam arti kesalahan hukum, tetapi juga kesalahan
Pasal 284 KUHP, di mana pengertian zina adalah sosial. Hukum memberi tafsiran kesalahan sebagai
memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan si-
alat kelamin perempuan yang tidak diikat oleh kap yang ideal, yakni sikap yang biasa dan nor-
hubungan perkawinan yang sah. mal dalam suatu pergaulan masyarakat. Tindakan
Bila dikonstrusikan memasukkan alat ke untuk melakukan surrogate mother adalah suatu
dalam vagina perempuan yang bukan istrinya tindakan yang tidak normal yang merupakan suatu
(tidak terikat perkawinan yang sah) secara mutatis kesalahan moral, meskipun secara hukum tidak
mutandis dengan memasukkan alat kelamin laki- semua kesalahan moral merupakan kesalahan hu-
laki ke dalam vagina perempuan yang bukan kum. Karena itu, dilarangnya suatu perbuatan dan
istrinya yang sah merupakan suatu perbuatan ancaman pidana ada hubungan yang erat, begitu
yang dapat dikualifisir sebagai perzinahan. Sebab pula antara kejadian dan orang yang menimbulkan
hakekat dari perbuatan zina bukan memasukkan kejadian itu ada hubungan yang erat. Surrogate
19
Barda Nawawi Arief, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm.
13.
84 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 76 - 86
mother suatu perbuatan yang dilarang dan antara Kesalahan timbul didasarkan pada dua as-
perbuatan dan larangan mempunyai hubungan pek; yaitu aspek kesengajaan dan aspek kelalaian.
yang signifikan; yaitu di mana surrogate mother Dalam berbagai literatur telah dikemukakan pan-
merupakan suatu keadaan atau kejadian yang dit- dangan tentang kesalahan, seperti Pompe yang
imbulkan oleh kelakuan orang. mengatakan, bahwa kesalahan adalah segi dalam
Kelakuan orang tersebut menimbulkan an yaitu yang bertalian dengan kehendak si pem
caman, karena perbuatannya dilarang oleh suatu buat.20 Lebih lanjut Pompe membagi kesalahan
peraturan perundang-undangan. Pasal 82 ayat (2) dalam dua sudut; yakni menurut akibatnya adalah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 menegas- hal yang dapat dicelakakan dan menurut hakekat-
kan “Barangsiapa dengan sengaja, (a) Melakukan nya adalah hal yang dapat dihindarkan perbuatan
upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak se yang melawan hukum.21 Terkait dengan tindakan
suai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (2), dipidana dokter dalam melakukan surrogate mother dapat
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dilihat dalam dua aspek kesengajaan dan aspek
dan atau denda paling banyak 100.000.000. (se- kelalaian. Untuk menentukan adanya kesenga-
ratus juta rupiah)”. Kemudian dalam Pasal 83 di- jaan dan kelalaian dari tindakan seorang dokter
katakan bahwa, ancaman pidana sebagaimana di- sangat tergantung pada perjanjian terapeutik an-
maksud Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 ditambah tara pasien dan dokter. Perjanjian terapeutik di-
seperempat apabila menimbulkan luka berat atau dasarkan pada syarat perjanjian secara umum di
sepertiga apabila menimbulkan kematian. dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Hukum pidana hanya mengenal pertang Pasal 1320, yang salah satu unsurnya bahwa per-
gungjawaban pidana apabila ada kesalahan, se janjian tersebut harus didasarkan pada sebab yang
hingga dalam hukum pidana disebut asas tiada halal. Tindakan dokter dalam melakukan surro-
pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld; gate mother bila dilihat dari berbagai peraturan
actus non facit reum nisi mens sist rea). Meskipun perundang-undangan yang berlaku terdapat suatu
tidak secara tegas dinyatakan bahwa hukum indikasi yang kuat bahwa surrogate mother ber-
pidana Indonesia menganut asas tiada pidana tentangan peraturan perundang-undangan yang
tanpa kesalahan, penggunaan asas tersebut dalam berlaku di Indonesia, sehingga tindakan dokter
kenyataan di pengadilan tidak dapat dibantah untuk melakukan surrogate mother merupakan
lagi. Penerapan asas ini di dalam sistem peradilan suatu yang menyalahi perjanjian terapeutik karena
pidana diperkuat dengan Undang-Undang Nomor disebabkan oleh perbuatan yang tidak halal.
14 Tahun 1970 jo. Pasal 183 Undang-Undang Hal ini senada dengan pandangan Schaff
Nomor Tahun 1981 jo. Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 meister yang melihat kesalahan sebagai suatu
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang pada yang normatif dengan mengatakan bahwa peng
hakekatnya menyatakan bahwa tiada seorang jua gunaan kesalahan sebagai dasar pemidanaan bu-
pun dapat dipidana kecuali apabila Pengadilan kan keharusan menurut undang-undang yang
karena alat pembuktian yang sah menurut undang- empiris, tetapi asas normatif.22 Adanya tindakan
undang mendapat keyakinan, bahwa seorang yang yang tidak halal menimbulkan kesalahan secara
dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah yuridis, di mana kesalahan yuridis dapat dilihat
atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Unsur dalam dua aspek, sebagaimana yang dikemukakan
kesalahan merupakan suatu anasir untuk dapat oleh Bambang Poernomo, yaitu pemakaian dalam
tidaknya seseorang dimintai pertanggungjawaban arti menerangkan keadaan psyche seseorang yang
secara pidana. melakukan perbuatan yang sedemikian rupa se-
20
Erdianto Effendi, Op.cit., hlm. 120.
21
Ibid.
22
Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan Tinjauan
Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hlm. 2.
Muntaha, Surrogate Mother dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia 85
hingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjaw- umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
abkan kepadanya, dan pemakaian dalam bentuk barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang,
kesalahan dalam undang-undang yang berupa ke- dengan dikehendaki dan diketahui.
sengajaan dan kealpaan.23 Konsepsi di atas memperjelas bahwa tindak
Menurut penulis, kedua aspek di atas dapat an dokter dalam melakukan pelayanan medik
dijadikan sebagai acuan, baik pemakaian pada surrogate mother memenuhi unsur sebagai tin
aspek pertama terhadap tindakan dokter dalam dakan kesengajaan yang dapat dituntut secara
melakukan surrogate mother, karena sebelum pidana. Hukum pidana menganut prinsip da
melakukan tindakan tersebut terlebih dahulu sar bahwa apabila suatu tindak pidana telah
diadakan perjanjian, salah satu syarat sahnya memenuhi unsur, maka tindak pidana tersebut
perjanjian bahwa para pihak yang melakukan harus diproses sesuai dengan norma hukum yang
perjanjian harus mempunyai kecakapan untuk berlaku, dalam arti ada perbuatan dan perbuatan
membuat suatu perjanjian. Begitu pula pada itu terdapat kesalahan yang bersifat melawan
pemakaian kedua, yakni dalam bentuk perundang- hukum, dan orang yang melakukan perbuatan
undangan tindakan seorang dokter dapat dijadikan dapat dipertanggungjawabkan, maka patut diberi
untuk melakukan penuntutan terhadap pemberian sanksi berupa pidana.
tindakan medik dalam upaya kehamilan di luar Adanya unsur kesalahan dalam suatu per
yang alami, dalam arti memberikan pelayanan buatan melahirkan suatu tanggungjawab bagi
medik surrogate mother. seseorang (dokter) yang melakukan kesalahan
Dalam melakukan tindakan medik surrogate tersebut, berupa kewajiban. Dalam kamus besar
mother, dokter mengetahui dan menghendaki per- bahasa Indonesia dikatakan bahwa tanggungjawab
buatan tersebut, sehingga dalam tindakan tersebut adalah keadaan wajib menanggung segala
terdapat unsur kesengajaan. Menurut teori kehen- sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dak bahwa kesengajaan adalah kehendak yang dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Arti
diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti tanggungjawab ini memiliki unsur; pelaku harus
yang dirumuskan dalam undang-undang. Karena mempunyai kecakapan, ada beban kewajiban, dan
itu, perbuatan dan/atau tindakan dokter dalam ada perbuatan yang nyata dilakukan. Perbuatan
melakukan pelayanan medik surrogate mother dokter dalam melakukan tindakan medik surrogate
merupakan tindakan yang dilakukan secara se mother tidak lagi dilihat sebagai perbuatan yang
ngaja, sebab tindakan tersebut dilakukan dengan didasarkan pada perjanjian terapeutik antara pasien
sadar, diinsyafi, dan dikehendaki akan akibat yang dan dokter, melainkan sebagai tindakan yang
mungkin akan terjadi. bersifat hukum publik antara negara dan pelaku.
Di Indonesia penegasan mengenai unsur Oleh karena itu, di dalam hukum pidana tidak
diinsyafi dan dihendaki sebagai bagian dari berlaku asas cogatitionis poenam nemo patitur,
kesengajaan belum diatur secara limitatif dalam sehingga tindakan medik surrogate mother bukan
KUHP, tidak seperti halnya di Swiss, pada merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai
Pasal 18 KUHP mengatur bahwa Barang siapa perbuatan cogatitionis poenam nemo patitur
melakukan perbuatan dengan mengetahui dan melainkan sebagai perbuatan nyata yang dilakukan
menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan oleh orang dan tertuju pada orang, serta dilakukan
itu dengan sengaja. Begitu pula dalam memorie secara sengaja karena kedua pihak mengetahui
van toelicting ditegaskan bahwa pidana pada dan menghendaki tindakan tersebut.
23
Bambang Poernomo, 1994, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 138.
86 MIMBAR HUKUM Volume 25, Nomor 1, Februari 2013, Halaman 76 - 86
DAFTAR PUSTAKA