Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Tumbang Samba, 19 Desember 2021
RISKA AMELIA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban:
1.a. - Dalam jurnal yang disusun oleh Mirani, K. P,dkk. (2021) mengenai strategi
kebijakan fiskal pemerintah dalam meningkatkan perekonomian Indonesia pada masa
pandemi Covid-19 dengan metode kualitatif deskriptif dengan metode studi pustaka,
dapat disimpulkan bahwa penelitian tersebut menunjukkan beberapa kebijakan fiskal
yang diterapkan pemerintah dalam meningkatkan perekonomian Indonesia pada masa
pandemic dengan melakukan refocusing APBN 2020 sebagai tindakan efisiensi
pengeluaran negara. Serta ditemukan beberapa kecurangan dalam implementasinya,
sehingga perlu dilakukan evaluasi.
- Dalam penelitian yang dilakukan oleh Siti Indayani, Budi Hartono (2020) yang berjudul
Analisis Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi sebagai Akibat Pandemi Covid-19
dengan pendekatan penelitian kualitatif dan kepustakaan, menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi di Indonesia diukur melalui peningkatan Produk Domestik Bruto
(PDB). Pada masa pandemi ini ekonomi Indonesia mengalami kontraksi. Terjadinya
kontraksi menjadikan pengangguran mengalami kenaikan karena banyak pekerja yang
terkena PHK. Sehingga, kenaikan jumlah pengangguran dapat mengakibatkan defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) tahun 2020 hingga menjadi sebesar
6,27% diukur dari produk domestik bruto(PDB).
dengan cara menilai kemungkinan yang akan terjadi terhadap pendapatan nasional dan
kesempatan kerja.
(b) Kebijakan fiskal disengaja, merupakan kebijakan mengubah anggaran belanja secara
sengaja. Kebijakan fiskal disengaja memiliki tiga bentuk yaitu: mengubah pengeluaran
pemerintah, mengubah sistem pemungutan pajak, dan mengubah pengelolaan anggaran
pemerintah dan sistem pemungutan pajak secara bersamaan.
(c) Kebijakan fiskal tidak disengaja, merupakan kebijakan untuk mengendalikan
kecepatan siklus bisnis agar lebih stabil. Contohnya seperti kebijakan harga minimum,
pajak progresif, ataupun proposal.
Kurva IS menunjukkan hubungan negatif antara antara tingkat bunga dan tingkat
pendapatan yang didapatkan dari ekuilibrium pasar barang dan jasa.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
Kurva LM menunjukkan hubungan positif antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan
yang didapatkan dari ekuilibrium pasar uang.
Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun
Anggaran 2020
16) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.02/2020 tentang Petunjuk Teknis
Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi
Utang Pemerintah sampai dengan akhir November 2020 mencapai Rp5,910 triliun
dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 38,13%. Dalam UU 17/2003 dijelaskan bahwa
batas maksimal rasio utang pemerintah adalah 60% terhadap PDB. Oleh karena itu,
posisi utang Indonesia tahun 2020 masih dalam batas aman.
1.b. Kebijakan Fiskal merupakan tindakan yang diambil oleh Pemerintah dalam bidang
perpajakan dan anggaran belanja negara dengan tujuan untuk mempengaruhi
pengeluaran agregat ekonomi. Kebijakan fiskal dapat berupa kebijakan fiskal ekspansif
dan kebijakan fiskal kontraktif. Kebijakan fiskal ekspansif adalah kebijakan fiskal yang
bertujuan meningkatkan output perekonomian. Sebaliknya, kebijakan fiskal kontraktif
bertujuan mengurangi output perekonomian. Oleh karena itu, kebijakan fiskal juga
merupakan instrumen stabilisasi pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi atau peningkatan output perekenomian menurut Solow
dipengaruhi oleh tabungan, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi. Tabungan
merupakan instrumen yang dipengaruhi oleh kebijakan fiskal (penerimaan pajak dan
belanja negara mempengaruhi tabungan nasional). Secara tidak langusung kebijakan
fiskal ikut mengambil peran dalam pertumbuhan ekonomi. Keputusan-keputusan
pemerintah mengenai kebijakan fiskal yang ditempuh suatu negara dapat mengubah
ouput dalam perekonomian, baik bertambah maupun berkurang.Penurunan pajak T
maupun peningkatan belanja G memiliki multiplier effect (efek penggandaan) terhadap
pendapatan (ouput perekonomian) suatu negara. Alasannya ialah pendapatan yang
lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Kenaikan belanja pemerintah
menyebabkan meningkatnya pendapatan, kemudian meningkatkan konsumsi, yang
selanjutnya meningkatkan pendapatan, kemudian meningkatkan konsumsi dan
seterusnya.
Satu hal yang pasti, di tengah situasi seperti saat ini peran sentral pemerintah dalam
mendorong perekonomian jelas sangat penting. Pasalnya, kegiatan konsumsi (C),
investasi (I), dan perdagangan internasional (X-M) praktis terganggu dan cenderung
menurun. Oleh karena itu, pemerintah melalui berbagai kebijakan, khususnya fiskal,
akan sangat menentukan.Menurut Blanchard (2020), kebijakan fiskal pemerintah di saat
pandemi Covid-19 harus fokus pada tiga hal :
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
1), fokus pada upaya menanggulangi aspek kesehatan masyarakat. Instrumen fiskal bagi
sektor kesehatan harus jadi perhatian dalam rangka mencegah penularan, memonitor,
perawatan, ketersediaan fasilitas, hingga riset pengobatan.
2), instrumen fiskal haruslah berperan sebagai aid atau membantu pihak-pihak yang
terdampak pelemahan ekonomi. Setiap sektor atau kelompok masyarakat kegiatan
ekonominya terpengaruh pandemi harus segera ‘diselamatkan’.
3), perlunya untuk mendorong permintaan total (aggregate demand). Ketersediaan
permintaan dalam masyarakat akan tetap menjamin berputarnya roda
perekonomian.Ancaman resesi menjadi pertimbangan pemerintah di banyak negara
menerbitkan berbagai kebijakan relaksasi pajak. Tujuannya, mencegah pengangguran,
kestabilan investasi, menjaga arus kas sektor usaha, mendorong konsumsi, dan
sebagainya (OECD, 2020). Tidak terkecuali dengan Indonesia. Respons cepat melalui
berbagai relaksasi pajak hadir melalui tujuh belas produk hukum. Peran pajak di era
pandemi saat ini agaknya perlu kita maknai ulang secara mendalam. Ada beberapa hal
penting yang dapat kita jadikan refleksi dan pelajaran berharga. Pertama dan yang
terpenting, adanya perubahan paradigma. Pemerintah bereaksi cepat melakukan
pergeseran paradigma pajak, dari fungsi penerimaan (budgeter) menjadi fungsi
mengatur (regulerend). Ada suatu kerelaan untuk mengorbankan penerimaan pajak
dalam rangka menstabilkan kondisi ekonomi.
Pajak, dengan fungsi regulerend, hadir untuk bahu membahu bersama semua pihak dan
masyarakat Indonesia menghadapi kondisi ekonomi yang tidak mudah akibat Covid-19.
Sekali lagi, pajak kembali menegaskan jati dirinya sebagai urat nadi Indonesia.
Kedua, mengutip profesor hukum pajak dari Polandia Bogumil Brzezinski (2015) bahwa
desain hukum pajak pada dasarnya harus tunduk terhadap apa yang menjadi sasaran
ekonomi. Artinya, hukum pajak harus menyelaraskan dan mendukung kerangka
kebijakan dan tujuan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, hal ini telah ditunjukkan
melalui prinsip ‘relaksasi dahulu, mobilisasi kemudian’. Prinsip ini secara jelas terlihat
dari perubahan postur fiskal maupun kebijakan pajak secara umum.
Ketiga, menurut Wakil Direktur Centre for Tax Policy and Administration OECD Grace
Perez-Navarro seperti dikutip oleh Tax Notes, adanya pandemi justru harus dijadikan
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
momentum dan waktu yang terbaik untuk strategi kebijakan fiskal baru, terutama
pajak.
Menurutnya, belajar dari pengalaman masa lalu, banyak negara justru lebih mudah
mengenalkan jenis pajak baru pada reformasi pajak. Ia memberikan beberapa opsi
seperti ketentuan pajak atas modal serta capital gain. Di Indonesia, momentum ini juga
ditunjukkan dengan adanya pengenaan pajak digital khususnya PPN atas impor produk
digital.
Sebagai informasi, pandemi ini juga turut mendorong diskusi di berbagai negara
mengenai tiga jenis pajak baru. Urgensi pemajakan sektor digital yang didorong oleh
meningkatnya aktivitas ekonomi melalui elektronik, pengenaan pajak karbon untuk
mengantisipasi perubahan iklim dan perbaikan lingkungan, serta optimalisasi
penerimaan pajak dari kelompok high net worth individuals.
Keempat, pemberian insentif pajak di kala pandemi rentan terjadi penyalahgunaan dan
tidak tepat sasaran. Pasalnya, penyusunan kebijakan umumnya dilakukan dalam waktu
relatif singkat serta keterbatasan otoritas pajak dalam melakukan pengawasan di saat
pandemi (OECD, 2020).
Oleh karena itu, prinsip good governance harus tetap diimplementasikan. Dalam
konteks Indonesia, prinsip good governance menjadi salah satu rujukan desain insentif
pajak untuk mengantisipasi dampak Covid-19. Ini dapat ditelusuri dari adanya tata cara
pelaporan dan pengawasan insentif pajak.
Kelima, pemberian insentif pajak, walau berpotensi meningkatkan tax expenditure,
bukan berarti tidak rasional. Adanya insentif pajak pada dasarnya mencegah adanya
PHK, penutupan usaha, maupun meningkatnya sektor informal dalam perekonomian.
Hal-hal tersebut dapat diartikan dengan hilangnya basis pajak pemerintah secara
permanen.
Oleh karena itu, akan masih lebih baik jika di saat pandemi ini pemerintah kehilangan
penerimaan secara temporer daripada harus kehilangan basis pajak yang akan
berakibat bagi sulitnya pemulihan penerimaan pajak pascaresesi.
Keenam, dari studi komparasi yang dilakukan DDTC Fiscal Research (per Agustus
2020), langkah pemerintah sudah sejalan dengan tren global. Sebagai informasi, lebih
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
dari 120 negara di dunia turut menggunakan instrumen pajak untuk mengantisipasi
dampak Covid-19.
Dari data yang dikumpulkan melalui OECD, IMF, IBFD, dan sebagainya, terdapat 1.033
instrumen pajak baru secara global yang dirilis oleh berbagai pemerintah. Dari 122
negara yang diobservasi, tiap negara merilis setidaknya 8 instrumen pajak yang bersifat
merelaksasi, entah melalui kebijakan ataupun administrasi (prosedur).
Mayoritas instrumen pajak bertujuan untuk menjaga likuiditas perusahaan (57%),
termasuk dengan memberikan penangguhan kewajiban pembayaran dan pelaporan
pajak. Dua tujuan dominan lainnya ialah dukungan bagi sektor kesehatan (11%) serta
untuk menjaga arus kas dan daya beli rumah tangga (10%).
Ditinjau dari sisi jenis pajak yang dipergunakan sebagai sarana relaksasi, mayoritas
menggunakan relaksasi prosedur. Di banyak negara, umumnya diberikan melalui
penundaan kewajiban administrasi perpajakan yang diperpanjang antara 1 hingga 6
bulan setelah tenggat waktu. Selain itu, kebijakan di bidang PPh Badan seperti
kompensasi kerugian serta pengurangan angsuran, PPh Orang Pribadi, dan PPN juga
menjadi andalan berbagai negara. Berbagai relaksasi pajak tersebut agaknya terus
berubah seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi tiap negara.
Mencermati international practices tersebut, dapat disimpulkan bahwa langkah Indonesia
selaras dengan tren global. Beberapa kebijakan justru relatif progresif semisal
penurunan tarif PPh Badan, PPh final ditanggung pemerintah (DTP) untuk UMKM, serta
pengenaan PPN digital. Satu hal yang pasti, sama dengan negara lain, perlambatan
ekonomi serta pelebaran tax expenditure juga mengakibatkan terkontraksinya
pertumbuhan penerimaan pajak 2020.
Estimasi dampak pandemi Covid-19 masih beragam, tetapi analisis awal menunjukkan
dampak kontraksi PDB terhadap penerimaan pajak akan sangat signifikan (OECD Tax
Policy Reform 2020). Hal ini juga diperkuat dengan pengalaman krisis sebelumnnya
(2008) yang menunjukkan adanya penurunan tax ratio di saat krisis dan tidak langsung
pulih bahkan di saat ekonomi mulai pulih.
Terakhir, pandemi harus dilihat sebagai momentum solidaritas pajak. Menurut
Vanistendael (2020), dengan adanya pandemi yang memberikan tekanan bagi seluruh
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
sendi perekonomian, diperlukan suatu pendalaman mengenai sejauh mana setiap pihak
telah berkontribusi secara adil. Lebih lanjut lagi, Vanistendael juga menekankan adanya
momentum untuk meninjau ulang ketimpangan sosial-ekonomi di tengah masyarakat
melalui sistem pajak.
Selain itu, adanya pandemi telah mendorong adanya pertanyaan mendasar tentang
pentingnya kegotong royongan (kontribusi) oleh warga negara. Adanya pandemi yang
membuat setiap negara berupaya memberikan pelayanan dan barang publik yang
‘terbaik’ bagi warga harusnya juga menjadi sinyal upaya merestorasi kontrak fiskal
antara negara dan masyarakat. Hubungan timbal balik yang saat ini telah ditunjukkan
dari pengorbanan negara seyogyanya perlu dibalas oleh warga negara melalui kepatuhan
membayar pajak.
otonom dibagi menjadi tiga bagian yaitu provinsi, Kabupaten/Kota dan desa. Faktor
penting yang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah
menyangkut tentang keuangan daerah. Dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 155 ayat 1
disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah. Namun
kenyataan yang ada dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah belum
sepenuhnya mampu melaksanakan tugas pembangunan yang diserahkan pemerintah
pusat ke daerah dengan menggunakan sumber keuangan yang dimilikinya. Oleh karena
itu pemerintah pusat memberikan kebijakan yang dinamakan dengan desentralisasi
fiskal agar daerah dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai daerah otonom.
Kemampuan fiskal daerah masih menjadi trending topic dalam membicarakan perso-
alan otonomi daerah.Implikasi fenomena dana perimbangan yang dilakukan pemerintah
pusat menjadi suatu permasalahan baru yang muncul dari adanya kebijakan
desentralisasi fiskal. Ketergantungan keuangan daerah merupakan realitas hubungan
fiskal pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang ditandai dengan tingginya kontrol
pusat terhadap proses pembangunan daerah (Hanafi et al., 2009). Bertolak dari latar
belakang masalah tersebut, maka pertanyaan panelitianya adalah bagaimana derajat
desentralisasi fiscal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan apa
dampaknya pada tingkat kemandirian daerah dalam pembiayaan pembangunan Dalam
pelaksanaan otonomi daerah ini, daerah harus mampu lebih menggali potensi dan
sumber keuangan yang dimiliki daerah sendiri dalam membiayai segala urusan yang
dimilikinya. Menurut Reksodiprojo (dalam Hanafi, 2009), tingkat kemandirian fiskal
daerah dapat dipelajari dengan melihat besarnya desentralisasi fiskal kepada suatu
daerah dan pengukurannya dapat dilakukan dapat dilakukan dengan meng gunakan
derajat otonomi fiskal atau derajat desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiscal menurut
Rusdianto (tanpa tahun) adalah sebagai penyerahan tanggung jawab fiscal dari
pemerintah pusat kepada tingkatan yang ada di bawahnya.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
Selama ini penggunaan analisis ratio dalam APBD masih sangat sedikit, sehingga secara
teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai kaidah dan nama pengukurannya
(Hanafi, dkk. 2009). Derajat desentralisasi fiskal atau biasa di sebut dengan derajat
otonomi fiskal daerah merupakan aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan
otonomi daerah secara keseluruhan.
Hal ini menurut Radianto (1997) disebabkan derajat otonomi fiskal merupakan
gambaran kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah.
Hasil rasio:
Rasio ini bertujuan untuk menunjukan seberapa besar komponen PAD dalam Total
Pendapatan Daerah.Hasilnya ternyata, dari 27 kabupaten yang terdapat di Jawa Timur,
hampir 90% rasio PAD terhadap TPD berada pada kisaran kurang dari 10%. Hal tersebut
menandakan derajat desentralisasi fiskal di lihat dari rasio PAD terhadap TPD sangat
rendah sekali. Kabupaten Sidoarjo, Jombang, Tuban, Gresik merupakan empat
kabupaten yang memiliki rata-rata tingkat DDF berada di atas 10% per tahunnya dan 23
kabupaten yang lain dari tahun ke tahun mengalami keragaman perkembangan tingkat
DDF yang rata-rata kurang dari 10% per tahun. sedangkan dari 23 kabupaten yang
memiliki tingkat DDF rata-rata kurang dari 10% per tahun, Ngawi merupakan
kabupaten dengan nilai DDF paling kecil, yaitu rata-rata di bawah 5%
pertahunnya.Untuk daerah Kota di Jawa Timur, perkembangan tingkat DDF terlihat
sebagai berikut. Dari tingkat DDF pada ke Sembilan kota, kota Surabaya merupakan
wilayah yang memiliki tingkat DDF tertinggi di Jawa Timur sebesar 25% (2006); 26%
(2007); 28% (2008); 28% (2009); 29% (2010). Surabaya merupakan ibukota Jawa Timur
sekaligus menjadi pusat perekonomi- an Jawa Timur dengan sumber PAD berada pada
sektor pajak dan Retribusi. Sedangkan tingkat DDF paling rendah terdapat pada kota
Batu. Kota Batu merupakan kota hasil pemekaran dengan Kabupaten Malang pada
tahun 2001.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
3.b. Derajat desentralisasi fiskal yang ke- cil secara langsung juga dipengaruhi oleh
pendapatan asli daerah yang kecil. Dari sisi pemerintah, seharusnya lebih mengoptimal-
kan sumber-sumber pendapatan daerah yang dimiliki. Inovasi dan kreatifitas daerah
san- gat diperlukan sehingga seharusnya kom- ponen pendapatan asli daerah yang
menjadi konsentrasi pemerintah daerah tidak hanya bersumber dari pajak dan retribusi.
Masalah yang terjadi penyebab lemahnya PAD adalah daerah hanya memanfaatkan
kurang dari 20% BUMD yang dimilikinya. Pemerintah daerah harus bisa
mengoptimalkan Badan Usaha Milik Daerah, sehingga sumber pendapatan daerah
sangat variatif.Pemerintah pusat harus membenahi kebijakan tentang dana bagi hasil.
Pandangan yang didapatkan dari penelitian ini adalah jika pengelolaan dana bagi hasil
masih dipegang oleh pemerintah pusat dan daerah hanya diberi proporsi yang
kecil,maka mungkin sampai kapan pun daerah tidak akan memiliki derajat
desentralisasi fiskal yang tinggi.Pemerintah pusat tentunya juga harus lebih
mempertegas fungsi pengawasan dalam hal pemungutan pajak dan retribusi
daerah,sehingga pajak dan retribusi daerah bisa kembali ke fungsinya yang bertujuan
untuk pemerataan dan keadilan, bukan hanya memberatkan rakyat. Kebijakan dana
perimbangan yang terdiri dari DAU,DAK, dan DBH perlu dikaji ulang proporsinya. Hal ini
terlihat dari proporsi Dana Alokasi Umum yang komponennya terdiri dari belanja
pegawai. Secara tidak langsung belanja pegawai inilah yang membuat beban pemerintah
pusat menjadi bertambah, Dan dalam hal ini kiranya pemerintah harus mengkaji ulang
tentang proporsi masing-masing dana perimbangan yang diberikan kepada daerah.
Sebaliknya pemerintah daerah harus dapat meningkatkan kemampuannya untuk
menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD)sehingga ketergantungan
pemerintah daerah dari kucuran dana pemerintah pusat dapat dikurangi.
4.b. PP 24 Basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam LRA
Basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca (Par
39),sedangkan pada PP 71 Terdapat Basis akrual untuk pengakuan pendapatan-LO,
beban, aset, kewajiban, dan ekuitas (Par 42)
Dalam hal anggaran disusun dan dilaksanakan berdasar basis kas, maka LRA disusun
berdasarkan basis kas. Bilamana anggaran disusun dan dilaksanakan berdasarkan
basis akrual, maka LRA disusun berdasarkan basis akrual. (Par 44).
Neraca:
-Aset
-Kewajiban
-Ekuitas Dana (Ekuitas dana lancar, investasi dan dana cadangan)(Par 57-77)
Pada PP 71:
Unsur Laporan Keuangan Laporan Pelaksanaan Anggaran
a. LRA
-Pendapatan
-LRA
-Belanja
-Transfer
-Pembiayaan
b. Laporan Perubahan SAL Laporan Finansial
c. Neraca
- Aset
- Kewajiban
- Ekuitas (Par 60-83)
d. Laporan Operasional (LO)
- Pendapatan-LO - Beban
- Transfer
- Pos Luar Biasa
e. Laporan Perubahan Ekuitas (LPE)
Kenaikan dan penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan tahun sebelumnya
f. Laporan Arus Kas
-Penerimaan Kas - Pengeluaran Kas
g. CalK