Soetomo Surabaya
(Andy A P et al.)
ABSTRAK
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu masalah kesehatan utama baik pada negara maju maupun
berkembang, termasuk Indonesia. IMA merupakan suatu keadaan terjadinya kematian sel miokardium
karena terjadinya penyumbatan pada arteria koronaria. Penyumbatan tersebut sebagian besar disebabkan
oleh plak aterosklerosis. Keberhasilan terapi penderita IMA sangat ditentukan oleh jenis maupun waktu
penanganannya. Dimana upaya utama yang dilakukan adalah dengan melancarkan kembali aliran darah
arteri koronaria yang tersumbat yaitu dengan terapi reperfusi baik dengan PCI maupun dengan fibrinolitik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pasien infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST (STEMI) yang memperoleh terapi reperfusi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian ini
menggunakan data rekam medis pasien STEMI dengan terapi reperfusi yang MRS pada tahun 2013 di IRNA
Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Metode sampling
yang digunakan adalah total sampling, dimana jumlah sampel yang diperoleh yaitu 104 sampel. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis dengan metode statistik deskriptif. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pasien STEMI yang memperoleh terapi reperfusi baik PCI maupun fibrinolitik di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya pada tahun 2013 sebesar 41% dari total 251 pasien STEMI. Pasien STEMI yang memperoleh PCI
sebesar 28 % (29 pasien), sedangkan terapi fibrinolitik sebesar 78 % (75 pasien). Adapun mortalitas pasien
STEMI dengan terapi reperfusi di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2013 yaitu 12 % (13 pasien).
Mortalitas dengan PCI sebesar 7 % (2 pasien), sedangkan terapi fibrinolitik sebesar 15% (11 pasien).
ABSTRACT
Acute myocardial infarction (AMI) is one of the major health problems in both developed and developing
countries, including Indonesia. AMI is a state of myocardial cell death caused by occlusion in the coronary
artery. The occlusion is mostly caused by atherosclerotic plaque. The therapeutic efficacy is determined by
type and time of the treatment. The main goal of the treatment is revascularization of the occluded coronary
artery by reperfusion therapy with PCI or fibrinolytic agent. The purpose of this study is to understand the
description of the STEMI patients with reperfusion therapy in RSUD Dr. Soetomo Surabaya. This study used
the medical record of STEMI patients with reperfusion therapy, who was hospitalized in the ward of
cardiovascular department RSUD Dr. Soetomo Surabaya in 2013. The sampling method used is total
sampling, with 104 samples in total. The data is analyzed with descriptive statistical methods. The result of
this study shows that there were 41% STEMI patients who have had reperfusion therapy with either PCI or
fibrinolytic agent of total 251 STEMI patients in RSUD Dr. Soetomo Surabaya in 2013. STEMI patients with
reperfusion therapy who have had PCI was 28% (29 patients), while the rest 72% (75 patients) of the
patients was treated with fibrinolytic agent. The mortality rate of STEMI patients with reperfusion therapy in
RSUD Dr. Soetomo Surabaya in 2013 is 12 % (13 patients). The mortality rate with PCI is 7% (2 patients)
and with fibrinolytic agent is 15% (11 patients).
17
1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
2
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Tingkat Mortalitas Terapi Reperfusi Pada Penderita STEMI Di RSSUD Dr. Soetomo Surabaya
(Andy Anthony Parung, et al.)
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) tahun Foundation (ACCF), PCI merupakan rekomendasi
2007 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit utama terapi reperfusi pada pasien IMA dengan
jantung di Indonesia yaitu 7,2 % per 1000 syarat dilakukan oleh tenaga professional pada
penduduk. Dan penyakit jantung koroner (PJK) RS yang mampu melaksanakan PCI. Namun
menjadi salah satu penyebab utama kematian di pemilihan terapi tersebut sangat bergantung pada
Indonesia, jumlahnya mencapai 5,1%. Sehingga lamanya waktu sejak onset dari simptom sampai
PJK ini menjadi salah satu masalah kesehatan memperoleh terapi reperfusi, kontraindikasi dan
nasional saat ini [1]. efek samping perdarahan pada pasien serta
lamanya waktu yang diperlukan untuk merujuk
Penyakit jantung koroner ini terjadi karena pasien menuju sarana kesehatan yang mampu
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen melaksanakan PCI [6, 7, 8].
dengan suplai yang diperoleh jantung melalui
arteri koronaria. Hal ini disebabkan oleh adanya Berdasarkan komitmen global dalam sidang The
hambatan pada sirkulasi koroner, yang umumnya World Health Assembly (WHA) ke 53 pada tahun
disebabkan oleh adanya penimbunan lemak pada 2004 yang telah menetapkan salah satu solusi
dinding pembuluh darah koronaria yang disebut untuk meningkatkan derajat kesehatan
plak. Plak yang timbul disebabkan oleh berbagai masyarakat dengan pencegahan dan
faktor yang seluruhnya merupakan faktor risiko penanggulangan penyakit tidak menular, salah
dari PJK. Hambatan tersebut akan menyebabkan satunya adalah IMA. Untuk itu diperlukan upaya
jantung kekurangan oksigen, sehingga dalam mengendalikan faktor risiko maupun
metabolisme jantung akan terganggu yang penanganan terhadap IMA tersebut sehingga
mengakibatkan munculnya rasa nyeri pada dada dapat menurunkan angka kesakitan, kecacatan,
apabila kerja jantung mulai meningkat. Kondisi dan kematian akibat IMA [1].
tersebut disebut sebagai iskemia miokardium [2,
3, 4]. Keberhasilan terapi pasien IMA sangat ditentukan
oleh jenis maupun waktu penanganannya,
Terjadinya rupture dari plak akan mengaktivasi sehingga dengan dasar tersebut peneliti
platelet yang akan menyebabkan agregasi dan terdorong untuk melakukan penelitian tentang
meningkatkan pembentukan trombin yang pada terapi reperfusi pada pasien Infark miokard akut
akhirnya akan membentuk trombus yang dapat dengan elevasi segmen ST (STEMI) di RSUD Dr.
menyumbat pembuluh darah, sehingga kebutuhan Soetomo Surabaya. Hasil penelitian ini
oksigen tidak terpenuhi. Apabila oklusi yang diharapkan dapat menjadi masukan untuk
terjadi tidak segera ditangani dapat menyebabkan meningkatkan mutu pelayanan pada pasien pada
kematian miokardium yang disebut sebagai Infark pasien IMA, sehingga dapat menurunkan angka
miokard akut (IMA) yang pada EKG memberikan mortalitas dan morbiditas pada pasien IMA.
gambaran elevasi segmen ST, yang disebut
sebagai STEMI (ST-wave elevation myocardial Penelitian ini akan melihat tingkat keberhasilan
infarction) [5, 6]. terapi reperfusi pada pasien pasien STEMI di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tujuan penelitian
Terapi yang diberikan pada pasien IMA bertujuan ini melihat persentase jumlah pasien STEMI yang
untuk meminimalkan infark yang terjadi, memperoleh terapi reperfusi, persentase jumlah
mencegah komplikasi, menghambat progresivitas pasien STEMI yang memperoleh terapi PCI
iskemia miokardium, dan mencegah kematian. maupun terapi fibrinolitik, dan persentase jumlah
Upaya utama yang dilakukan setelah serangan mortalitas pasien STEMI dengan terapi PCI
IMA adalah melancarkan kembali aliran darah maupun terapi fibrinolitik di RSUD Dr. Soetomo
pembuluh darah koronaria yang tersumbat Surabaya pada tahun 2013.
dengan terapi reperfusi, sehingga dapat kembali
menyeimbangkan antara kebutuhan dan suplai
oksigen miokardium sehingga akan METODE
meminimalkan infark yang terjadi dan fungsi
miokardium dapat dipertahankan. Terapi reperfusi Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
yang dilakukan pada pasien IMA dapat berupa dengan menggunakan data sekunder berupa
percutaneous coronary intervention (PCI) atau rekam medis pasien. Dalam penelitian ini, sampel
dengan menggunakan fibrinolitik [5, 7, 8]. yang akan digunakan adalah pasien STEMI yang
MRS selama periode Januari 2013 sampai
Sesuai dengan pedoman penatalaksaan terapi dengan Desember 2013 yang memperoleh terapi
pasien IMA oleh American Hearth Association reperfusi baik PCI maupun fibrinolitik di IRNA
(AHA) dan American Collage of Cardiology Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan
18
Tingkat Mortalitas Terapi Reperfusi Pada Penderita STEMI Di RSSUD Dr. Soetomo Surabaya
(Andy Anthony Parung, et al.)
Pembuluh Darah RSUD Dr. Soetomo. Besar Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Dan Usia Pasien
sampel dalam penelitian ini adalah seluruh STEMI Dengan Terapi Reperfusi
sampel pasien STEMI yang MRS selama periode
Januari 2013 sampai dengan Desember 2013
yang memperoleh terapi reperfusi baik PCI
maupun fibrinolitik di IRNA Departemen Ilmu
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah RSUD Dr.
Soetomo.
Tedapat dua kriteria hasil terapi yaitu hidup dan Faktor risiko yang terkait dengan pasien STEMI
meninggal dunia. Dikategorikan hidup apabila dengan terapi reperfusi ditunjukkan pada Tabel 2.
pasien STEMI yang memperoleh terapi reperfusi Pada setiap pasien dapat memiliki faktor risiko
dapat bertahan hidup dalam rentang waktu lebih dari satu. Adapun 4 kelompok faktor resiko
sampai 7 hari setelah pemberian terapi reperfusi, terbesar yang diderita yaitu berupa hipertensi,
sedangkan meninggal dunia apabila pasien merokok, DM tipe II dan dislipidemia.
STEMI yang memperoleh terapi reperfusi
dinyatakan meninggal dunia oleh dokter yang Tabel 2. Faktor Risiko Terkait Pasien STEMI
merawat dalam rentang waktu 7 hari setelah Dengan Terapi Reperfusi
pemberian terapi reperfusi.
19
Tingkat Mortalitas Terapi Reperfusi Pada Penderita STEMI Di RSSUD Dr. Soetomo Surabaya
(Andy Anthony Parung, et al.)
PEMBAHASAN
Gambar 2. Hasil Terapi Reperfusi Pada Pasien Pada penelitian terhadap pasien STEMI di RSUD
STEMI Dr. Soetomo Surabaya yang MRS dalam periode
1 Januari – 31 Desember 2013 menunjukkan 59%
Pada kelompok PCI, seluruh pasien mendapatkan pasien tidak memperoleh terapi reperfusi. Pada
penanganan dalam waktu < 12 jam sejak nyeri penelitian Non Reperfusion Therapies in STEMI,
dirasakan. Terdapat 15 pasien (52%) merupakan menunjukkan pada tahun 2006 hanya 33% pasien
pasien yang datang langsung ke IRD RSUD. Dr. STEMI yang tidak memperoleh terapi reperfusi,
Soetomo Surabaya. Adapun hasil terapi pada PCI dimana presentase tersebut telah mengalami
yaitu 27 pasien (93 %) hidup setelah 7 hari terapi penurunan jika dibandingkan pada tahun 1999
reperfusi dengan lama MRS dalam 5-10 hari. yaitu 40% pasien STEMI tidak mendapatkan
Sedangkan 2 pasien meninggal dalam waktu < 1 terapi reperfusi. Faktor yang dikaitkan tidak
hari setelah dilakukuan PCI. Hasil dari PCI diberikannya terapi reperfusi berdasarkan GRACE
menunjukkan pasien dominan menderita triple 2002 dan TETAMI 2005 yaitu umur > 75 tahun,
vascular disease (TVD) yaitu pada 15 pasien menderita CHF, menderita infark miokard, telah
(52%). mendapatkan terapi bypass arteri koronaria, TD
sistolik < 100 mgHg, keterlambatan penanganan
Tabel 3. Karakteristik Pada Pasien STEMI > 12 jam pasca iskemia [9].
Dengan Terapi Reperfusi
Jika kita membandingkan dengan data hasil
penelitian ini, terdapat perbedaan yang cukup
besar. Pada RSUD Dr. Soetomo, selain
pertimbangan secara medis dimungkinkan
adanya pertimbangan ekonomi, dimana kedua
terapi reperfusi yaitu PCI maupun fibrinolitik
membutuhkan biaya yang cukup besar. Dimana
pada tahun 2013 jaminan kesehatan nasional
(JKN) belum berjalan, sehingga masih ada
kendala biaya bagi sebagian besar masyarakat
dalam melaksanakan terapi reperfusi ini.
Diharapakan pada tahun 2014 setelah JKN ini
berjalan, tidak ditemui lagi hambatan pelaksanaan
terapi reperfusi karena kendala biaya. Dan pada
akhirnya, hasil terapi pada penatalaksanaan
STEMI lebih optimal.
Sedangkan pada kelompok fibrinolitik, seluruh Pada penelitian ini, pasien STEMI dengan terapi
pasien memperoleh terapi fibrinolitik dengan reperfusi yang MRS dominan berjenis kelamin
streptokinase. Dimana sebagian besar pasien laik-laki yaitu dengan perbandingan 3:1 dan
yaitu 71 pasien (94%) mendapatkan penanganan berusia ≥ 50 tahun yaitu 78 pasien (75%) dengan
dalam waktu < 12 jam sejak nyeri dirasakan. rerata usia pasien adalah 56,6 ± 9,37 tahun.
Sebanyak 2 orang pasien (3%) dalam jangka Pada penelitian yang dilakukan oleh WHO,
waktu 12-24 jam dan 2 orang pasien pasien (3%) menunjukkan risiko terjadinya serangan pada
dalam jangka waktu > 24 jam. Adapun pasien umur < 50 tahun relatif kecil baik pada pria
yang MRS sebagian besar adalah rujukan dari RS maupun wanita. Sedangkan pada usia 50 – 59
lain dengan perbandingan 2:1. Adapun hasil tahun risiko mengalami serangan pada pria 1.5
20
Tingkat Mortalitas Terapi Reperfusi Pada Penderita STEMI Di RSSUD Dr. Soetomo Surabaya
(Andy Anthony Parung, et al.)
kali lebih tinggi daripada wanita. Dan pada usia ≥ dapat langsung ditransport ke RS dengan
60 tahun risiko wanita mendapatkan serangan kemampuan untuk melaksanakan PCI dalam
semakin meningkat melebihi risiko pada pria [10]. waktu ≤ 90 menit maka dapat langsung
Hal ini terkait dengan faktor risiko pada wanita mendapatkan terapi PCI primer. Namun apabila
menopause karena menurunnya produksi pasien ditransport ke RS tanpa kemampuan
estrogen yang diproduksi tubuh, menyebabkan melaksanakan PCI, maka harus diusahakan
terjadinya penurunan katabolisme LDL dan segera sampai di RS. Kemudian, apabila dapat
ambilan HDL hepatik, sehingga kadar LDL dalam dirujuk ke RS dengan kemampuan melaksanakan
darah akan meningkat yang akan meningkatkan PCI dalam waktu ≤ 30 menit sejak tiba di RS
resiko terjadinya aterosklerosis yang merupakan dengan total waktu ≤ 120 menit sejak awal
penyebab utama terjadinya infark miokardial [11]. penanganan medis, maka dapat dilakukan PCI
primer. Tetapi bila diperlukan waktu > 120 menit,
Faktor risiko yang diderita oleh pasien berupa maka harus segera diberikan terapi reperfusi
hipertensi, merokok, DM tipe II dan dislipidemia. dengan fibrinolitik dalam waktu ˂ 30 menit. Untuk
Hal tersebut sesuai dengan penelitian oleh WHO pasien dengan onset iskemia antara 12-24 jam,
dimana 6 faktor risiko utama dari penyakit PCI masih dapat untuk dilakukan. Sedangkan
kardiovaskular yaitu hipertensi, merokok, kadar pada pasien dengan kerusakan miokardium yang
gula yang tinggi, inaktifitas fisik, obesitas dan luas atau kondisi hemodinamik yang tidak stabil
dislipidemia [10]. Selain itu pada penelitian ini dan terapi PCI tidak tersedia maka terapi
terdapat 9 orang pasien memiliki riwayat keluarga fibrinolitik masih dapat dipertimbangkan untuk
menderita PJK dan pada 2 pasien tidak tercatat dilakukan [8].
faktor risiko yang diderita pada rekam medis.
Pada penelitian ini, hasil terapi yaitu meninggal
Berdasarkan hasil penelitian oleh Cohen (2010), dunia dalam rentang waktu ≤ 7 hari setelah
kecenderungan pasien STEMI yang mendapatkan pemberian terapi baik pada PCI maupun
terapi reperfusi sejak tahun 1999 – 2006 fibrinolitik secara keseluruhan yaitu sebesar 12%.
mengalami perubahan yang signifikan. Dimana Pada kedua jenis terapi reperfusi tersebut
pada tahun 1999, terapi reperfusi fibrinolitik memberikan hasil terapi yang berbeda yaitu
mendominasi yaitu sebanyak 77 % sedangkan mortalitas pada PCI sebesar 7% sedangkan pada
PCI hanya 23 %. Pada perkembangan dari tahun terapi reperfusi sebesar 15 %. Hasil penelitian ini
ke tahun mengalami kecenderungan perubahan sesuai dengan penelitian Munoz and Granger
terapi, yang pada akhirnya pada tahun 2006 (2011), bahwa hasil terapi baik penurunkan resiko
pasien STEMI yang mendapatkan PCI sebanyak mortalitas, resiko reinfark maupun resiko stroke
74 %, sedangkan yang mendapatkan fibrinolitik yang lebih baik pada PCI dibandingkan fibrinolitik.
hanya 26 % [9]. Fenomena tersebut sebagai Walaupun terdapat perbedaan tingkat mortalitas,
konsekuensi dari penelitian yang menunjukkan dimana pada penelitian Munoz and Granger
bahwa hasil terapi baik penurunkan resiko (2011) mortalitas pada pasien STEMI yang
mortalitas, resiko reinfark maupun resiko stroke mendapat terapi reperfusi dalam waktu < 60 menit
yang lebih baik pada PCI dibandingkan fibrinolitik. dengan PCI sebesar 2,7 % dan dengan fibrinolitik
Walaupun keberhasilan terapi PCI tersebut 7,4 % [13].
sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu sejak
onset dari simptom sampai memperoleh terapi Tingkat keberhasilan terapi kedua terapi reperfusi
reperfusi [12, 13]. Pada penelitian ini, dari 104 tersebut sesuai dengan pedoman
pasien yang mendapatkan terapi reperfusi 72 % penatalaksanaan STEMI yang dikeluarkan oleh
pasien mendapatkan terapi fibrinolitik dan hanya AHA dan ACCF, sangat dipengaruhi oleh lamanya
28 % pasien mendapatkan PCI. Pada pasien waktu sejak sejak onset dari simptom sampai
yang mendapatkan terapi fibrinolitik sebanyak 57 memperoleh penanganan medis awal dan waktu
% menolak untuk dilakukan tindakan PCI. Hal ini sejak penaganan medis awal sampai
sangat terkait dengan faktor ekonomi yaitu biaya, mendapatkan terapi reperfusi. Berdasarkan hasil
dimana biaya yang diperlukan untuk PCI lebih studi meta analisis perbandingan antara PCI dan
besar dibandingkan biaya untuk terapi fibrinolitik. terapi fibrinolitik, menunjukan adanya
keterlambatan melaksanakan PCI lebih dari 60
Sesuai dengan pedoman penatalaksanaan menit sejak penanganan medis awal, maka
STEMI yang dikeluarkan oleh AHA dan ACCF, keuntungan penurunan resiko mortalitas
pasien yang mengalami iskemia dengan onset ˂ dibandingkan terapi fibrinolitik akan hilang. Setiap
12 jam dan pada pemeriksaan EKG mengalami 10 menit keterlambatan melaksanakan PCI akan
elevasi segmen ST direkomendasikan untuk menurunkan 1% efek dari PCI terhadap
memperoleh terapi reperfusi. Apabila pasien IMA penurunan resiko kematian, reinfark atau stroke.
21
Tingkat Mortalitas Terapi Reperfusi Pada Penderita STEMI Di RSSUD Dr. Soetomo Surabaya
(Andy Anthony Parung, et al.)
22
Tingkat Mortalitas Terapi Reperfusi Pada Penderita STEMI Di RSSUD Dr. Soetomo Surabaya
(Andy Anthony Parung, et al.)
23