Pengelolaan
Penerimaan Negara
Bukan Pajak Secara
Terpusat Pada BPN RI
Sebagai Alternatif
Optimalisasi Penyerapan
Anggaran
DITERBITKAN OLEH:
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI
2013
PAPER KEBIJAKAN
PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK SECARA TERPUSAT PADA BADAN
PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI
PENYERAPAN ANGGARAN
D
alam Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Hibah pada Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia tiga tahun terakhir tidak memenuhi target penerimaan yaitu pada:
tahun anggaran 2009 (71.79%), tahun anggaran 2010 (83,69%) dan tahun anggaran
2011 (84,42%), begitupun dalam penggunaannya terjadi trend penurunan penyerapan
anggaran/realisasi belanja setiap tahun baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni (RM)
maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Berdasarkan data penyerapan anggaran tahun 2009 (72,27%), tahun 2010 (72,80%) dan tahun 2011
(71,47%), atau rata-rata hanya sebesar 46,90% (Puslitbang BPN RI, 2012), dimana semakin tinggi
tingkat pelayanan pertanahan akan semakin tinggi tingkat penerimaan PNBP, maka yang terjadi adalah
semakin rendah penyerapan PNBP pelayanan pertanahan, dengan kondisi penyerapan yang rendah
tersebut akan mengurangi pelayanan pertanahan dan kinerja BPN RI. Berkaitan dengan latar belakang
masalah tersebut, maka bilamana optimalisasi pengelolaan PNBP BPN RI dilaksanakan secara terpusat
dalam usaha mengoptimalkan penggunaan, peningkatan kinerja pelayanan pertanahan dan bagaimana
mekanisme penyempurnaan pengelolaan PNBP BPN RI yang dilaksanakan secara terpusat.
Sisa maksimal pencairan PNBP BPN RI hasil rekonsiliasi pada tahun 2011 sebesar 524.260.633.871
(47,14%) dan pada tahun 2012 481.384. 349.217 (36,70%). Sedangkan menurut sistem perencanaan
penganggaran dari tahun 2006-2012 rata realisasi sisa PNBP yang disetorkan Rp.4.137.182.852.491
(55,59%), terjadi sisa anggaran yang rata-rata setiap tahun dikarenakan: Pertama, mekanisme
penganggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran antar satuan kerja. Kondisi ini secara nasional
menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP sehingg menyebabkan proses pelayanan tidak
dapat memberikan kelancaran dan kepastian waktu yang dapat dipertanggung jawabkan. Kedua,
pelayanan pertanahan yang dilaksanakan tidak mencapai tingkat yang optimal, sehingga menyebabkan
hak pelanggan tidak dapat terpenuhi terutama pada penerimaan PNBP menjelang akhir tahun (bulan
November dan Desember). Ketiga, kekurangan sarana dan parasana dan pengetahuan pengelolaan
keuangan bagi SDM bidang teknis dalam penyusunan perencanaan dalam mengestimasi penerimaan
PNBP. Keempat, tidak dapat terpenuhinya peningkatan dan pengadaan fasilitas sarana dan prasarana
fisik yang sebagaian besar sangat memprihatinkan, dimana kondisi asset BPN RI di seluruh Indonesia
untuk kantor 30 unit masih milik Pemda dan 32 unit sewa/pinjam bahkan belum memiliki kantor, kondisi
kantor 69 rusak ringan dan 27 rusak berat. Status tanah kantor 378 milik sendiri, 81 milik Pemda, dan
18 sewa/pinjam. Rumah dinas baru ada 41 unit sisanya 361 unit masih sewa/pinjam, dengan kondisi 13
unit rusak ringan dan 14 unit rusak berat.
Dalam meminimalisir sisa anggaran PNBP pada BPN RI regulasi kebijakan adalah sebagai berikut:
Pertama, kegiatan pelayanan pertanahan harus memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
Oleh karena itu untuk memberikan kelancaran dan kepastian waktu dalam pelayanan pertanahan
yang dapat dipertanggung jawabkan diperlukan pengelolaan PNBP secara optimal dengan cara secara
terpusat dengan alokasi penggunaan yang tepat terutama untuk peningkatan kualitas pelayanan
pertanahan secara nasional. Kedua, regulasi penggunaan anggaran PNBP secara subsidi silang antar
satker yang penerimaan dan pelayanan pertanahan sangat tinggi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera ke
wilayah Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang sarana dan prasana
fisik pendukung pelayanan pertanahannya sangat tidak memadai.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN iii
Daftar Isi
ABSTRAK iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 2
B. Identifikasi Masalah 4
C. Tujuan dan Kegunaan 4
1. Tujuan 4
2. Kegunaan 3
D. Metoda 4
1. Pendekatan Penelitian 4
2. Teknik Pengumpulan Data 5
a. Metode Kajian Kepustakaan 5
b. Metode Studi Dokumen 6
c. Konsinyering penyusunan konsep Paper Kebijakan 7
d. Focus Group Discution Penyusunan draft Paper Kebijakan 7
E. Definisi Operasional 7
F. Tim Penyusun 9
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
A. Keuangan Negara 12
B. Asas-Asas Keuangan Negara 14
C. Ruang Lingkup Keuangan Negara 15
D. Perspektif Undang-Undang Keuangan Negara 17
1. Hak-hak Negara dalam pengertian keuangan negara 17
2. Hak negara mengedarkan uang 19
3. Hak negara melakukan pinjaman 20
4. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga 20
5. Penerimaan/Pendapatan Negara 20
6. Pengeluaran negara 20
7. Penerimaan daerah 21
8. Pengeluaran daerah 21
9. Kekayaan negara/daerah 21
E. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara 22
F. Perumusan Keuangan Negara 23
G. Pengelolaan Keuangan Negara 24
H. Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation) 26
I. Penerimaan Negara Bukan Pajak 29
J. Pendekatan Konsepsional Keuangan Negara 30
1. Prinsip keadilan 30
2. Mengandung hak dan kewajiban Negara 31
3. Pengeluaran merupakan fungsi penerimaan 32
K. Pendekatan Praktis 32
1. Aspek yuridis-administratif 32
2. Aspek implementatif 33
3. Harga Pelayanan Publik yang Dibebankan Masyarakat 33
4. Penentuan Harga dan Pasar yang Kompetitif untuk Barang dan Jasa Sektor Publik 34
5. Pentingnya Kebijakan Netralitas Kompetisi yang Sehat 34
6. Argumen terhadap Pembebanan Tarif Pelayanan 35
a. Kesulitan administrasi dalam menghitung biaya pelayanan 35
b. Yang miskin tidak mampu membayar pelayanan 35
c. Adanya eksternalitas, merit good, dan persyaratan legal. 35
7. Prinsip dan Praktik Pembebanan 36
8. Kegunaan Pembebanan dalam Praktik 36
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN v
BAB IV FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN ANGGARAN
A. Sistem Perencanaan Kegiatan dan Pengelolaan Keuangan Penerimaan Negara
Bukan Pajak 106
B. Strategi Perencanaan Kegiatan dan Penggunaan Anggaran Penerimaan Negara
Bukan Pajak 107
1. Alokasi Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak 112
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 116
B. Rekomendasi 117
Daftar Tabel
Tabel 1 Perencanaan Laporan Realisasi PNBP 73
Tabel 2 Pengaturan Pembayaran dan Penyetoran PNBP Terutang 75
Tabel 3 Perolehan Hak-hak Penyetor PNBP 76
Tabel 4 Simulasi Perencanaan anggaran PNBP BPN RI Berdasarkan Perauran Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2010 93
Tabel 5 Realisasi PNBP BPN RI Pertahun Pendapatan Pelayanan Pertanahan/Fungsional 95
Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Penggunaan PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012 96
Tabel 7. Kondisi Asset Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dalam Status
Kepemilikan dan Kelayakan 98
Tabel 8 Kompetensi Perencana Kegiatan dan Pengelola Keuangan di Lokasi Penelitian 100
Tabel 9. Model Alokasi Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN RI 107
Tabel 10 . Model Perencanaan Alokasi Biaya Operasional Pelayanan Pertanahan dari Pagu
Belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak 108
Daftar Gambar
Gambar 1 Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Pengelolaan
Keuangan Penerimaan Negara Bukan Pajak 46
Gambar 2 Hirarki Perencanaan Pembangunan Nasional 50
Gambar 3 Alur Perencanaan Kegiatan Kementrian/Lembaga Pemerintah Pusat dan
Daerah 51
Gambar 4 Penyusunan Pagu Indikatif 62
Gambar 5 Penyusunan Pagu Anggaran 64
Gambar 6 Penyusunan Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga (Pagu Definitif) 66
Gambar 7 Tingkatan Penerapan Anggaran berbasis Kinerja 69
Gambar 8 Optimalisasi Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun anggaran
2009-2011 90
Gambar 9 Relisasi Penerimaan dan Belanja PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012 97
Gambar 10 Sisa PNBP BPN RI Tahun 2006 sampai dengan 2012 98
Gambar 11 Rata-rata Realisasi dan Penggunaan PNBP BPN RI tahun Anggaran 2012 106
Gambar 12 Strategi Perencanaan Pengelolaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak 109
Gambar 13. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional RI 110
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rencana Kerja Pemerintah merupakan penjabaran dari RPJM Nasional yang memuat prioritas
pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian
secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program kementerian/lembaga,
lintas kementerian/lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif. Rencana Kerja Pemerintah kemudian dijabarkan lebih lanjut
ke dalam Rencana Kerja K/L (Renja K/L). Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagai
lembaga pelayanan di bidang pertanahan, dalam menyusun Rencana Kerja Anggaran K/L (RKA
K/L) mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah untuk sumber dana Rupiah Murni (RM) dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional sebagai salah satu sumber
penerimaan negara perlu dikelola dan dimanfaatkan sebagai sarana peningkatan pelayanan
kepada masyarakat, untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010
tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan
Nasional. Dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Hibah pada Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia tiga tahun terakhir tidak memenuhi target penerimaan yaitu pada: tahun
anggaran 2009 (71. 79%), tahun anggaran 2010 (83,69%) dan tahun anggaran 2011 (84,42%),
begitupun dalam penggunaannya terjadi trend penurunan penyerapan anggaran/realisasi
belanja setiap tahun baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni (RM) maupun Penerimaan
Negara Bukan Pajak. Berdasarkan data penyerapan anggaran tahun 2009 (72,27%), tahun 2010
(72,80%) dan tahun 2011 (71,47%). Rendahnya penyerapan anggaran disebabkan antara lain
adanya pemblokiran1, hal ini dikarenakan belum mendapat persetujuan DPR RI, belum adanya
pembahasan dengan kementerian keuangan RI dan atau kurang lengkapnya data pendukung2
yang diperlukan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia3.
1. Tahun Anggaran 2012 berdasarkan data Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran blokir belanja pada BPN RI sebesar Rp. 2.
625,9 Milyar (66,3%) diantaranya RP. 44. 327,37 Juta (1,12%) untuk pengadaan tanah dan gedung.
2. Dokumen/data Pendukung sekurang-kurangnya: 1) TOR dan RAB setiap Output Kegiatan yang ditandatangani oleh penanggung jawab
Kegiatan atau pejabat lain yang berwenang; 2) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang ditandatangani oleh KPA
(sebagaimana lampiran Bab ini) apabila rincian biaya yang tercantum dalam KK RKA-KL tidak terdapat dalam Standar Biaya; 3) Arsip data
komputer (ADK) RKA-KL dan KK RKA-KL Satuan kerja; 4) Hasil kesepakatan dengan DPR; 5) Daftar alokasi Pagu masing-masing Unit Eselon I
yang dirinci berdasarkan Program, Satuan kerja dan Sumber Pendanaan;
3. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2011.
Menurut Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran, beberapa permasalahan dalam
penyerapan anggaran diantaranya:
1. Uang persediaan di awal tahun pengajuannya menunggu penyelesaian pertanggungjawaban
tahun sebelumnya sampai dengan proses rekonsiliasi dengan KPKN, yang paling cepat dapat
diselesaikan pada minggu kedua, sehingga dana kegiatan tahun berjalan baru dapat dibiayai
pada minggu kedua bulan Januari, meskipun DIPA diterima bulan Desember;
2. Proses revolving uang persediaan bari dapat dilaksanakan setelah pertanggung jawaban
mencapai nilai minimal 75% dari Uang Persediaan yang diterima;
3. Adanya kebijakan clesarence untuk pengadaan tanah dan bangunan yang harus disetujui oleh
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PAN dan RB, serta BPKP yang menyebabkan
masih terdaoatnya beberapa K/L yang belum mendapatkan persetujuan clesarence sehingga
anggarannya (DIPA) masih diblokir;
4. Pemblokiran anggaran pada K/L karena memerlukan persetujuan komisi terkait di DPR yang
harus ditandatangani oelh ktua dan semua wakil ketua komisi;
5. Belum adanya aplikasi perbendaharaan yang seragan di seluruh K/L dan terintegrasi dengan aplikasi
yang dibuat oleh Kementerian Keuangan (seperti aplikasi SAI, Gaji, DIPA, RAKA-KL, dan SPM);
6. Kompleksitas kebijakan realokasi anggaran diantaranya berasal dari penghematan dan
proses on top dari BA 999 ke BA sektoral K/L;
Kendala dan hambatan tersebut mengakibatkan penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak
BPN RI pada lokasi penelitian rata-ata hanya sebesar 46,90%, dimana semakin tinggi tingkat
pelayanan pertanahan akan semakin tinggi tingkat penerimaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak, maka yang terjadi adalah semakin rendah penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak
pelayanan pertanahan, dengan kondisi penyerapan yang rendah tersebut akan mengurangi
pelayanan pertanahan dan kinerja BPN RI. Walaupun dalam Pasal 119 ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN, dimana dalam
perhitungan batas maksimum pencairan dana, setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
belum digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran, dapat dipergunakan untuk membiayai
kegiatan tahun anggaran berikutnya setelah diterimanya DIPA, hal ini berlawanan dengan Pasal
162 ayat (1), dimana sisa pagu DIPA yang tidak terealisasi sampai akhir tahun anggaran berakhir
tidak dapat digunakan pada periode tahun anggaran berikutnya.
Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada awal tahun anggaranpun sangat terbatas,
sepaerti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK. 05/2012 tentang
Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan APBN, dimana penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak dapat diberikan Uang Persediaan sebesar 20% (dua puluh persen) dari
realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, jika belum memperoleh Maksimum Pencairan
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 3
PENDAHULUAN
(MP) Penerimaan Negara Bukan Pajak hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu
seperduabelas) dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp.
200. 000. 000,- (dua ratus juta rupiah) atau memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan
Pajak paling sedikit sebesar UP yang diberikan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bilamana optimalisasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI dilaksanakan secara
terpusat untuk mengoptimalkan penggunaan, peningkatan kinerja pelayanan pertanahan?
2. Bagaimana mekanisme penyempurnaan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI
yang dilaksanakan secara terpusat?
D. METODA
1. Pendekatan Penelitian
Metodelogi penelitian ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang
yang ada. Penelitian ilimah sendiri adalah6 penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris dan
kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis
tentang hubungan yang dikira terdapat antara fenomena-fenomena itu.
Metode penelitian dalam penelitian kualitatif cenderung bersifat deskriptif, naturalistik, dan
berhubungan dengan ”sifat data” yang murni kualitatif, metode penelitian kualitatif tersebut juga
metode fenomenologis karena lebih berdasarkan pada filsafat fenomelogis yang mengutamakan
penghayatan atau pemahaman yang mendalam (verstehen) karena mempertanyakan makna
suatu objek secara mendalam dan tuntas. Peneliti berorientasi kepada fenomenologis yang
menekankan kepada aspek subyektif dari tingkah laku manusia7. Pendapat lain mengatakan
Pendekatan penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif,
yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku
manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri. Responden dalam
metode penelitian kualitatif berkembang terus secara bertujuan (purposive) sampai data
yang dikumpulkan dianggap memuaskan dari hasil Focus Group Discution, Konsinayering, dan
Seminar. Alat pengumpul data atau instrumen penelitian merupakan instrument pokok dan
dalam pengumpulan datanya, peneliti akan terlibat secara aktif dalam kegiatan pengumpulan
data tersebut. Instrumen pengumpulan data dalam metodelogi penelitian kualitatif tidak bersifat
terstruktur, terfokus, kaku atau rigid, dan spesifik seperti dalam penelitian kuantitatif tetapi
bersifat lebih longgar, fleksibel dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada kebutuhan.
pendekatan terhadap obyek penelitian ini dengan terfokus pada:
a. Besaran penyerapan anggaran pada tahun berjalan pada periode 3-5 tahun, hal ini
berkenaan dengan trend besaran penyerapan pada sumber penerimaan Rupiah Murni (RM)
dan Penerimaan Negara Bukan Pajak kegiatan pengelolaan pertanahan di daerah.
b. Pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan keuangan dan teknis pelaksanaan
kegiatan pada masing-masing satuan kerja. Kebijakan tersbut sesuai dengan paket perundang-
undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara, serta peraturan pemerintah dan peraturan menteri keuangan yang
berkaitan dengan sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia.
c. Mekanisme dan penyusunan anggaran berbasis kinerja, berdasarkan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Kerja dan
Anggaran K/L Negara (RKA-KL) sampai dengan penetapannya oleh lembaga legislatif.
d. Kendala-kendala dan masalah yang mungkin timbul dalam penyerapan anggaran pada
masing-masing satuan kerja dan teknis pelaksanaan kegiatannya.
e. Strategi dan model kegiatan guna memberikan solusi dalam meningkatkan penyerapan
anggaran yang berbasis kinerja. Berkenaan dengan penyusunan strategis dan model ini
dilakukan penelitian kebijakan empiris dan studi pustaka terhadap penyerapan anggaran
berbasis kinerja.
8. Bogdan dan Taylor yang dikutip dalam buku Moleong, Alex J, 2000, Metodelogi Penelitian Kualitiatif, hal 3.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 5
PENDAHULUAN
termasuk bahan cetak/bacaan seperti buku, artikel, dan jurnal ilmiah yang terkait dengan
permasalahan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap
konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian. Prosedur menganalisa isi tersebut dengan
melaksanakan langkah-langkah diantaranya adalah:
1) menentukan tujuan analisis dengan mengidentifikasi dengan cara menurunkannya dari
fokus penelitian
2) mengumpulkan data dengan membaca, mengkaji dan mencatat data-data yang diambil
dari berbagai sumber;
3) mengidentifikasian bukti-bukti konstektual yang memulainya dengan mencari hubungan
antara data dengan realitas;
4) mereduksi data dengan melakukan sortiran terhadap data yang dikumpulkan yang akan
digunakan dan yang tidak digunakan;
5) memberi kode pada data;
6) menganalisis dan menafsirkan data.
E. Definisi Operasional
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Anggaran terpadu adalah anggaran yang terintegrasi seluruh proses perencanaan dan
penganggaran di lingkungan kementerian negara/lembaga untuk menghasilkan dokumen
Rencana Kerja dan Anggaran KementerianNegara/Lembaga (RKA-KL) dengan klasifikasi
anggaran belanja menurut visi dan misi organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
3. Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran
K/L, adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada K/L
berdasarkan hasil pembahasan Rancangan APBN yang dituangkan dalam berita acara
hasil kesepakatan Pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR.
4. Berbasis kinerja adalah kegiatan dengan menggunakan tolok ukur untuk mengukur
kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik. Pendekatan ini sangat
menekankan pada konsep dan kinerja berdasakan keluaran hasil (output).
5. Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang
selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA-K/L per
program dalam suatu K/L yang telah ditetapkan dari proses penelaahan.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 7
PENDAHULUAN
6. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan dengan
DIPA) adalah suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan
Lembaga atau Satuan Kerja yang disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau
Kepala Kanwil DJPb atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dokumen
pelaksanaan pembiayaan kegiatan.
7. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemeritahan di bidang tertentu yang dilaksanakan
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
8. Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan yang
dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.
9. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari
kegiatan dalam satu program.
10. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan
kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dengan
mengerahkan segala sumber daya (personil, teknologi, dana, dll) untuk menghasilkan
keluaran (output) dalam bentuk barang dan jasa.
11. Kementerian Negara yang selanjutnya disingkat Kementerian, adalah perangkat
Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
12. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik Negara.
13. Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu
program dengan kualitas dan kualitas terukur.
14. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran
yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
15. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk
mewujudkan visi.
16. Optimalisasi anggaran adalah penggunaan anggaran untuk kegiatan pembangunan
dengan melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting) dan kompetisi tender.
17. Pagu Indikatif adalah ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada K/L sebagai
pedoman dalam penyusunan Renja-K/L.
18. Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L,
adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada K/L dalam rangka penyusunan
RKA-K/L
19. Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaanPemerintah Pusat yang
tidak berasal dari penerimaan perpajakan (Pasal 1angka 1 UU No. 20 Tahun 1997).
20. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) adalah Menteri/Pimpinan
Lembaga atau kuasanya yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada K/L
yang bersangkutan.
21. Penyerapan adalah pengeluaran keuangan untuk digunakan kegiatan dalam rangka
mendukung tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 9
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
A. KEUANGAN NEGARA
Unsur-unsur keuangan Negara menurut Geodhart meliputi:
1) Periodik
2) Pemerintah sebagai pelaksana anggaran
3) Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang
untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang
bersangkutan
4) Bentuk anggaran Negara adalah berupa suatu undang-undang
Menurut John F. Due, budget keuangan negara adalah suatu rencana keuangan untuk suatu
periode waktu tertentu. Government budget (anggaran belanja pemerintah) adalah suatu
pernyataan mengenai pengeluaran atau belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa
mendatang bersama dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode
mendatang dan periode yang telah lampau. John F. Due menyamakan pengertian keuangan
negara dengan anggaran (budget negara). Mengenai hubungan antara keuangan negara dengan
anggaran negara, Muchsan9 menyatakan bahwa anggaran negara merupakan inti dari keuangan
negara sebab anggaran negara merupakan alat penggerak untuk melaksanakan keuangan
negara.
9. W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, PT Grasindo, Tahun 2006, hlm. 1-2
10. Penelitian dan Pengkajian Mahklamah Konstitusi Republik Indonesia, Teori Mengenai Anggaran Negara, Sekretariat Jenderal MK-RI, Jakarta,
2005, hlm. 7
Definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan
yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses,
dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu
baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/
menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah,
perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi
proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan
objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan,
kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan pengertian keuangan negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan
dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dengan demikian, bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam: subbidang
pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan moneter, dan subbidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan.
Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal meliputi kebijakan dan kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai
dari penetapan Arah dan Kebijakan Umum (AKU), penetapan strategi dan prioritas pengelolaan
APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR, pelaksanaan
anggaran, pengawasan anggaran, penyusunan perhitungan anggaran negara (PAN) sampai
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 13
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Pengelolaan keuangan negara subbidang kekayaan negara yang dipisahkan berkaitan dengan
kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD)
yang orientasinya mencari keuntungan (profit motive). Berdasarkan uraian di atas, pengertian
keuangan negara dapat dibedakan antara: pengertian keuangan negara dalam arti luas, dan
pengertian keuangan negara dalam arti sempit. Pengertian keuangan negara dalam arti luas
pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya sangat luas, dimana keuangan negara
mencakup kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan. Sedangkan pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya
mencakup pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal saja. Pembahasan lebih
lanjut dalam modul ini dibatasi hanya pada pengertian keuangan negara dalam arti sempit saja
yaitu subbidang pengelolaan fiskal atau secara lebih spesifik pengelolaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Pengertian Perbendaharaan Negara menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 adalah
“pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan
yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah;
pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan; pencarian sumber
pembiayaan yang paling murah; dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan yang dilaksanakan di dunia usaha ke dalam pengelolaan keuangan
pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan sektor pemerintah
dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga
politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik.
Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintah, negara berusaha memberikan jaminan
kesejahteraan kepada rakyat (welfare state).
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 15
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Namun, pengelolaan keuangan sektor publik yang selama ini menggunakan pendekatan
superioritas negara telah membuat aparatur pemerintah yang mengelola keuangan sektor publik
tidak lagi dianggap berada dalam kelompok profesi manajemen oleh para profesional. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan keuangan pemerintah dengan menerapkan
prinsip-prinsip kepemerintahan yang pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan
penyimpangan; pencarian sumber pembiayaan yang paling murah; dan pemanfaatan dana yang
menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Upaya untuk
menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang dilaksanakan di dunia usaha ke dalam
pengelolaan keuangan pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan
sektor pemerintah dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya, negara adalah
suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya, negara tunduk pada tatanan hukum publik.
Dikuasakan kepada menteri keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; kepada menteri/pimpinan lembaga negara dan
lembaga pemerintah non kementerian negara, selaku pengguna anggaran/pengguna barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; dan kepada gubernur/bupati/walikota selaku
kepala pelaksanaan dan mewakili kekayaan daerahPelimpahan kekuasaan tersebut tidak
termasuk kewenangan di antara lain mengeluarkan rupiah, moneter serta kelancaran sistem
pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Menteri keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang hakikatnya Pemerintah Republik
tanggung jawab, terlaksananya mekanisme check and balance, untuk pemerintahan daerah
sebagai perwujudan asas desentralisasi, untuk mengelola keuangan daerah pemerintah daerah
dalam kepemilikan yang dipisahkan. bidang moneter, yang meliputi dan mengedarkan uang,
Menteri keuangan selaku pengelola fiskal bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi: pengelolaan
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan,
administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. Kewenangan presiden
terhadap pengelolaan keuangan negara yang dilimpahkan kepada pejabat negara, meliputi
kewenangan yang bersifat umum yang timbul dari pengurusan umum, dan kewenangan yang
bersifat khusus yang timbul dari pengurusan khusus. Kewenangan yang bersifat umum meliputi
kewenangan untuk: Menetapkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU); Menetapkan strategi
dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain menetapkan: pedoman pelaksanaan dan
pertanggungjawaban APBN, pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga,
gaji dan tunjangan, pedoman pengelolaan penerimaan negara. Kewenangan yang bersifat khusus
meliputi kewenangan membuat keputusan/kebijakan teknis berkaitan pengelolaan APBN, antara
lain menetapkan: keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian
APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.
Dengan demikian pengertian keuangan negara diatas meliputi hal-hal hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang adalah sebagai berikut:
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 17
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
berbagai hambatan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengerti tata cara
perpajakan secara menyeluruh.
Selain itu, kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak masih kurang. Untuk dapat mencapai
tujuan dari pemungutan pajak, diperlukan beberapa asas pemungutan pajak yaitu asas equality,
certainty, convinience of payment , dan efficiency (Tjahjono & Husein, 2000). Keempat asas ini
sangat penting terutama asas equality (asas keadilan) yaitu pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan Wajib Pajak.
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada
negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah:
a. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu
rakyat harus membayar pajak diibaratkan sebagai seuatu premi asuransi karena memperoleh
jaminan perlindungan tersebut.
b. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan kepada kepentingan (Misalnya perlindungan)
masing-masing orang. Semakin kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang
harus dibayarkan.
c. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan
daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan
yaitu: Unsur objektif yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh
seseorang dan Unsur subjektif yaitu memperlihatkan besarnya kebutuhan materil harus dipenuhi.
d. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya Sebagai
warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah
sebagai suatu kewajiban.
e. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti
menarik daya beli dan rumah tangga mayarakat untuk rumah tanggan negara. Selanjutnya
negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
Menurut pendapat beberapa ahli, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan,
pemungutan pajak harus memenuhi syarat agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan,
maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan), sesuai dengan tujuan hukum, yakni
mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan pemungutan haruslah adil. Adil dalam
perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta
Uang logam biasanya terbuat dari emas atau perak karena emas dan perak memenuhi syarat-
syarat uang yang efesien. Karena harga emas dan perak yang cenderung tinggi dan stabil, emas dan
perak mudah dikenali dan diterima orang. Di samping itu, emas dan perak tidak mudah musnah.
Emas dan perak juga mudah dibagi-bagi menjadi unit yang lebih kecil. Di zaman sekarang, uang
logam tidak dinilai dari berat emasnya, namun dari nilai nominalnya. Nilai nominal itu merupakan
pernyataan bahwa sejumlah emas dengan berat tertentu terkandung di dalamnya, dimana Nilai
Nominal, yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang.
Misalnya seratus rupiah (Rp. 100,00), stau lima ratus rupiah (Rp. 500,00). Nilai Tukar, nilai tukar
adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli uang).
Uang kertas adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar dan cap tertentu dan merupakan
alat pembayaran yang sah. Menurut penjelasan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
yang dimaksud dengan uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan
kertas atau bahan lainnya (yang menyerupai kertas).
Uang kertas mempunyai nilai karena nominalnya. Oleh karena itu, uang kertas hanya memiliki dua
macam nilai, yaitu nilai nominal dan nilai tukar. Ada 2(dua) macam uang kertas :
a. Uang Kertas Negara (sudah tidak diedarkan lagi), yaitu uang kertas yang dikeluarkan oleh pemerintah
dan alat pembayaran yang sah dengan jumlah yang terbatas dan ditandatangani mentri keuangan.
b. Uang Kertas Bank, yaitu uang yang dikeluarkan oleh bank sentral,
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 19
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
4. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
5. Penerimaan/Pendapatan Negara;
Penerimaan atau pendapatan negara dan hibah didapat dari dua sektor yaitu penerimaan dalam
negri dan hibah. Di penerimaan dalam negri masih dibagi lagi menjadi dua sektor yaitu penerimaan
perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Sedangkan penerimaan perpajakan masih
dibagi menjadi dua sektor lagi yaitu pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak, penerimaan perpajakan memiliki jumlah
yang lebih besar. Hal ini menandakan bahwa pajak merupakan pendapatan terpenting dari
pemerintah. Besar kecilnya pajak yang ditentukan pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap
pendapatan dan pengeluaran pemerintah. Karena besarnya pendapatan baik dari pajak atau
bukan, secara tidak langsung akan mempengaruhi jumlah pengeluaran yang juga akan meningkat.
6. Pengeluaran negara;
Pengeluaran negara adalah pengeluaran pemerintah menyangkut pengeluaran untuk membiayai
program-program dimana pengeluaran itu ditujukan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran
pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan
kebijakan tersebut. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator
besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah. Semakin besar dan
banyak kegiatan pemerintah semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan.
Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari tiga pos utama yang dapat
digolongkan sebagai berikut: (Boediono,1999):
a. Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa.
b. Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai.
Perubahan gaji pegawai mempunyai pengaruh terhadap proses makro ekonomi, di mana
perubahan gaji pegawai akan mempengaruhi tingkat permintaan secara tidak langsung.
c. Pengeluaran pemerintah untuk transfer payment.
Transfer payment bukan pembelian barang atau jasa oleh pemerintah dipasar barang
melainkan mencatat pembayaran atau pemberian langsung kepada warganya yang meliputi
misalnya pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat,
pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat.
Secara ekonomis transfer payment mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan pos
gaji pegawai meskipun secara administrasi keduanya berbeda.
8. Pengeluaran daerah;
a. Belanja administrasi umum, adalah belanja tidak langsung dan tidak menambah aset tetap.
Misalnya belanja gaji pegawai, listrik, air, telepon, dan pemeliharaan kendaraan.
b. Belanja operasional dan pemeliharaan, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi
oleh adanya kegiatan tetapi tidak menambah aset. Misalnya operasi penertiban pedagang
kaki lima.
c. Belanja modal, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi oleh adanya kegiatan
secara langsung dan menambah aset. Misalnya pembangunan gedung, pembelian kendaraan
bermotor, dan pembangunan jalan.
d. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan. Belanja ini bersifat langsung tanpa indikator
kinerja. Misalnya belanja provinsi untuk alokasi bagi hasil. Alokasi tersebut bisa berupa
pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor ke kabupaten atau kota,
bantuan kepada organisasi kemasyarakatan, olahraga, profesi, dan pengeluaran ke desa yang
berasal dari pendapatan bukan pajak..
e. Belanja tidak disangka, dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah yang mendesak
untuk dilaksanakan tetapi belum ada anggarannya.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 21
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Sebagai sebuah sistem, pengelolaan anggaran negara telah mengalami banyak perkembangan.
Dengan keluarnya tiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia
terus berubah dan berkembang sesuai dengan dinamika manajemen sektor publik.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggung jawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi
seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau
penguasaan objek sebagaimana tersebut daitas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam
sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance
dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara
profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan
dalam undang-undang dasar. Sesuai dengan amanat pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam undang-undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi
baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas
tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 23
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan
negara, antara lain:
1. akuntabilitas berorientasi hasil,
2. profesionalitas,
3. proporsionalitas,
4. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara,
5. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri,
Beranjak dari pemikiran tersebut, pada tahun 1945 lahirlah Tim pertama di bawah Achmad
Natanegara yang menggagas perlunya Undang-undang Keuangan Negara. Dari situlah lahir
suatu keinginan untuk mengelola keuangan negara republik yang masih muda pada saat itu
dalam kerangka suatu negara merdeka dengan kelengkapan kelembagaan politisnya, satu
konsep undang-undang pun kemudian dilahirkan oleh suatu Tim di bawah pimpinan Herman
pada tahun 1946. Namun sayang, konsep undang-undang tersebut tidak pernah mendapat
kesempatan untuk dibahas di lembaga legislatif, sudah belasan Tim berganti hingga akhir tahun
90-an ternyata tidak semua mampu menghasilkan konsep undang-undang, hal ini menunjukkan
bahwa masalah keuangan Negara merupakan sesuatu yang sangat rumit. Bahkan dalam suatu
periode sebelum lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, tercetus suatu ikrar
antara pemerintah dan pihak tertentu (Badan Pemeriksa Keuangan), yaitu ‘bersepakat untuk
tidak sepakat’ tentang definisi dan konsep keuangan Negara.
Kebutuhan terhadap aturan pengelolaan keuangan semakin hari terasa semakin mendesak.
Indische Comptabiliteits Wet (ICW) yang digagas oleh pemerintahan kolonial pada tahun 1864 dan
Raja Willem III wafat pada 23 November 1890. Calon penggantinya Wilhelmina. Hanya saja
Wilhelmina ini belum dewasa. Sambil menunggu calon pengganti dewasa, roda kerajaan
dipegang terlebih dahulu oleh istri dari Raja Willem III, Putri Emma. Putri Emma ini yang menjadi
Wali kerajaan Belanda. Semasa menjadi Wali kerajaan, pada 15 Maret 1898, Putri Emma
menandatangani peraturan perundang-undangan baru yang mendukung tugas aRk. Peraturan
tersebut yaitu Instructie en verdure bepalingen voor de Algemene Rekenkamer in Nederlandsche
Indie (IAR). Peraturan ini dimasukkan dalam staatsblad 1898 No. 164. Inilah yang kemudian
dikenal sebagai IaR. IaR inilah yang menjadi undang-undangnya Algemene Rekenkamer. kalau
saat ini sama seperti Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Sementara ICW lebih dulu diterbitkan, merupakan peraturan mengenai penguasaan, pengurusan,
dan pertanggungjawaban keuangan Hindia Belanda. Setelah Wilhelmina dewasa dan dinobatkan
menjadi Ratu Belanda, emasanya, IAR ini kemudian disempurnakan lagi dengan peraturan yang
dimasukkan dalam staatsblad 1933 No. 320. Selain itu, pada masa Wilhelmina diberlakukan pula
peraturan Indische Bedrijvenwet yang tertuang di dalam staatsblad 1927 No. 419, peraturan ini
dikenal dengan singkatan IBW.
Peraturan ini mengatur tentang perusahaan-perusahaan berbadan hukum. Akhirnya ARK dalam
menjalankan tugasnya berpatokan pada ketiga peraturan tersebut yaitu ICW, IAR, dan IBW.
Berdasarkan ketiga peraturan tersebut, tugas Algemene Rekenkamer, secara umum, yaitu:
1. Melakukan pengawasan atas pengurusan keuangan, baik pengeluaran maupun penerimaan
negara.
2. Melakukan toezicht atau pengawasan atas pengurusan barang negara, baik dalam gudang-
gudang negara maupun di tempat-tempat lainnya.
3. Melakukan pemeriksaan terhadap perhitungan anggaran dan perhitungan bendaharawan.
Sementara, berdasarkan ketiga peraturan itu, secara umum, fungsi ARK, yaitu:
1. Melakukan pemeriksaan terhadap pengurusan (penguasaan, penggunaan, pembukuan) dan
pertanggungjawaban keuangan negara.
2. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah.
3. Menetapkan tuntutan terhadap para bendaharawan yang salah, lalai atau alpa yang melanggar
ICW dan ketentuan lainnya.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, di masa awal BPK, ketiga peraturan ini pula yang digunakan
untuk menjalankan tugasnya. Bahkan, ketiga peraturan produk kolonial Belanda tersebut
digunakan dalam jangka waktu yang sangat lama.
Lahirnya ICW memang bukan dirancang untuk mengelola keuangan Negara, melainkan untuk
mengelola keuangan sebuah wilayah tanpa pemerintahan (Hindia Belanda) yang dikendalikan
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 25
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
oleh negeri penjajah di Eropa. Wilayah tersebut pada saat itu menghadapi dua masalah besar.
Pertama, masalah eksternal dalam hubungannya dengan masyarakat internasional dalam bidang
perdagangan, yaitu dalam bentuk ketiadaan status hukum; kedua, masalah internal, yaitu
maraknya kasus korupsi di tubuh pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Sementara di sisi teknis operasional, karena berbagai situasi dan kelembagaan pemerintah sudah
tidak lagi sesuai dengan masa penjajahan, ICW sehari-hari digantikan oleh keputusan presiden yang
mengatur bukan saja ketentuan tentang kebendaharaan, melainkan juga berbagai ketentuan yang
dahulunya diatur oleh Regelen voor het Administratief Beheer (RAB), yang ditetapkan pada tahun
1933, yang mengatur aspek administratif pengelolaan keuangan yang mencakup kewenangan
otorisasi dan kewenangan ordonansering.
ICW telah mengalami suatu ‘erosi’ substansi. Konsep pengelolaan keuangan Negara (baca:
pelaksanaan anggaran Negara) di Indonesia menjadi rancu dan bias dilihat dari sudut teori.
Berbagai pihak berusaha menyusun konsep terkait dengan masalah pengelolaan keuangan negara
sesuai kebutuhan masing-masing. Pilar-pilar yang menyangga terselenggaranya good governance
dalam pengelolaan keuangan Negara, antara lain prinsip pemisahan kewenangan, terabaikan.
Kurangnya pemahaman berbagai pihak terhadap konsep dasar yang terkandung dalam ICW dan
RAB justru melahirkan sikap bahwa pemikiran yang ada dalam ke dua ketentuan perundang-
undangan tersebut merupakan suatu konsep berpikir yang harus ditinggalkan.
Sementara itu, terjadi kondisi paradoksal. Dalam kondisi yang hampir tidak memiliki nilai
substantif, adalah suatu fakta hukum ICW tetap merupakan hukum positif dalam pengelolaan
keuangan Negara di Indonesia. Oleh karena itu, ICW tetap dijadikan acuan formal dalam berbagai
penyusunan ketentuan perundang-undangan terkait dengan pelaksanaan anggaran Negara di
republik tercinta ini.
Berkaitan dengan pelayanan masyarakat, dalam menyongsong era globalisasi, pemerintah harus
mempersiapkan seluruh aparatnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan sopan santun
dalam melayani masyarakat. Kemampuan aparat pelayanan dalam menghayati sopan santun
ini merupakan syarat mutlak untuk menjaga citra instansinya. Oleh karena itu perlu dijaga agar
jangan sampai terjadi hal-hal yang bisa menyinggung perasaan masyarakat yang dilayaninya.
Setiap orang menginginkan jasa pelayanan yang diterima dan yang dirasakan sesuai dengan
harapannya. Secara umum masyarakat menginginkan pelayanan yang sama dari aparatur
pemerintah, sebab warga negara yang mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum
Sianipar (1998:4), mengatakan bahwa pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan
atau mengurus keperluan seseorang atau kelompok orang. Melayani adalah meladeni/
membantu mengurus keperluan atau kebutuhan seseorang sejak diajukan permintaan sampai
penyampaian atau penyerahannya. Menurut Moenir (1998:26), pelayanan umum adalah
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material
melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan
orang lain sesuai haknya.
Pelayanan umum adalah segala bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan (Anonim,
1993:21). Sedangkan Kottler (dalam Supranto, 2001:227) mengatakan bahwa jasa/pelayanan
merupakan suatu kinerja penampilan, tidak terwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan
dari pada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berperan aktif dalam proses mengkonsumsi jasa
tersebut. Yoeti (2000:9), mengemukakan bahwa pelayanan itu diberikan kepada dua macam
pelanggan, yaitu internal customer (orang yang terlibat dalam proses produksi produk dan jasa
yang kita hasilkan) dan external customer (mereka yang berada di luar organisasi yang menerima
barang atau jasa dari pemberi pelayanan).
Dalam memberikan layanan sangat terkait kepada siapa yang kita berikan layanan tersebut, dalam
hal ini adalah pelanggan. Menurut Wijono (2000:17), pelanggan adalah seorang yang terkena
dampak produk atau proses, dimana pelanggan dapat dilihat dari dua aspek yaitu pelanggan
internal adalah mereka yang terkena dampak produk dan anggota perusahaan yang disebut
pelanggan tetapi bukan pembeli, tetapi bukan anggota dari perusahaan yang menghasilkan
produk tersebut, dan pelanggan external meliputi para pembeli dan yang berkepentingan
lainnya, dapat perusahaan lain, instansi pemerintah, masyarakat dan lain-lain.
Pelayanan dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana,
terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur
dasar, sebagai berikut:
a. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum harus jelas dan diketahui
secara pasti oleh masing-masing pihak.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 27
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
b. Mutu proses dari hasil pelayanan harus diupayakan agar dapat memberikan keamanan,
kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
(Menpan, 1993:4).
Untuk dapat melihat dan merasakan baik tidaknya layanan yang diberikan kepada pelanggan,
maka sangat terkait penilaian atau perasaan pelanggan yang biasa disebut kepuasan pelanggan.
Menurut Irawan (2002:2), kepuasan adalah persepsi terhadap produk atau jasa yang telah
memenuhi harapan, pelanggan merasa puas jika persepsinya sama atau lebih dari yang
diharapkan. Disini terlihat bahwa kepuasan adalah respon permulaan dari konsumen, hasil
penilaian dari konsumen bahwa produk atau pelayanan telah memberikan tingkatan kenikmatan
dimana tingkat pemenuhannya bisa lebih atau kurang.
Pelanggan yakni pihak-pihak yang dilayani didalam kegiatan pelayanan dan menurut status
keterlibatan dengan lembaga yang melayani, pelanggan dibedakan 2 golongan: Pelanggan
eksternal yaitu semua pelanggan yang berasal dari luar organisasi bukan warga organisasi.
Pelanggan internal yaitu para karyawan atau unit-unit lain di dalam organisasi yang memperoleh
pelayanan dari unitnya. (Supriyanto dan Sugiyanti, 2001:39)
Sesuai SK Menpan Nomor 61 Tahun 1993 memuat pedoman dasar bagi tata laksana pelayanan
umum oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat. Semua layanan umum diharapkan dapat
mengandung unsur-unsur:
a. Kesederhanaan: pelayanan umum harus mudah, cepat, lancar, tidak berbelit-belit, mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan.
b. Kejelasan dan kepastian: dalam hal prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, unit dan
pejabat yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban petugas maupun pelanggan, dan
pejabat yang menangani keluhan.
c. Keamanan: proses dan hasil pelayanan harus aman dan nyaman, serta memberikan
kepastian hukum.
Pelayanan publik adalah dapat diartikan melayani kepentingan masyarakat umum dalam sebuah
negara. Pelayanan publik artinya memberikan pelayanan (melayani) keperluan masyarakata
umum dalam sebuah negara (The Liang Gie 1997: 15). Menurut Moenir (2000: 26) pelayanan
publik adalah seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem,
prosedur dan metode tertentu melalui kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Sedangkan
Islamy (2002: 4) mengemukakan bahwa pemberian pelayanan harus berlandaskan pada beberapa
prinsip pelayanan prima sebagai berikut di bawah ini meliputi:
a. Appropriateness, setiap jenis, produk, dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus
relevan dan signifikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat;
b. Accesibility, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan harus dapat di
akseskan sedekat dan sebanyak mungkin oleh pengguna pelayanan;
c. Continuity, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
harus secara terus-menerus tersedia bagi masyarakat pengguna jasa layanan;
d. Tehnicality, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan perintah harus
ditangani oleh petugas yang benar-benar memiliki kecakapan teknis pelayanan tersebut
berdasarkan kejelasan, ketetapan dan kemantapan aturan, sistem, prosedur dan instrumen
pelayanan yang baku;
e. Profittability, setiap, jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
harus benar-benar dapat memberikan keuntungan ekonomi dan sosial dan masyarakat;
f. Equitabily, setiap, jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
harus tersedia dan dapat diakses dan diberikan secara adil dan merata kepada segenap
anggota masyarakat tampa kecuali;
g. Transprancy, setiap, jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
dilakukan secara transparan sehingga masyarakat pegguna jasa layanan dapat menggunakan hak
dan kewajiban atas pelayanan tersebut dengan baik dan benar;
h. Accountabiliy, setiap jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
harus dilaksanankan secara berhasil dan berdaya guna serta sesuai dengan biaya dan
mamfaat sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat;
i. Effictiveness, and Efficienciy, setiap jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan
oleh pemerintah harus dilaksanakan secara berhasil dan berdaya guna serta sesuai dengan
biaya dan manfaat sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat;
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 29
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
orang tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan penerimaan negara bukan pajak. Mengapa
penerimaan negara jenis itu diadakan? Dan bagaimana pengelolaannya?
Untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan mendasar dimaksud, tampaknya kita harus
kembali mencermati pemikiran yang terkandung dalam teori Ilmu Keuangan Negara. Uraian yang
disajikan di bawah ini akan difokuskan pada masalah penerimaan bukan pajak (PNBP), khususnya
yang berasal dari pemberian fasilitas tertentu kepada kelompok tertentu. Untuk memudahkan
pemahaman terhadap praktek yang ditrapkan dalam sistem pengelolaan keuangan negara di
Indonesia, penyajian dilakukan melalui pendekatan konsepsional (conceptional approach) dan
pendekatan praktis (practical aprroach) sebagai dasar acuan sebelum dilakukan analisis terhadap
implementasinya di Indonesia.
Sektor penerimaan negara yang terkait dengan layanan masyarakat tertentu yang menjadi
tanggungjawab pemerintah, menurut kepustakaan, semula dikenal dengan istilah revenue
domanial, yaitu merupakan pendapatan negara yang pada hakekatnya bersumber dari
semua milik negara, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan tertentu yang dalam
pelaksanaannya dapat menghasilkan penerimaan negara. Secara konkrit, penerimaan dimaksud
berasal dari penjualan hasil kekayaan alam dan kekayaan yang menjadi milik negara. Disamping
itu, penerimaan ini juga berasal dari hasil pemberian fasilitas atau ijin kepada kelompok
masyarakat tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu. Oleh karena itu, bila diperhatikan,
penerimaan jenis ini terserak di berbagai kementrian tergantung pada tugas dan fungsi
kementrian yang bersangkutan.
Dari segi gagasan, munculnya penerimaan negara bukan pajak jenis ini ditopang oleh tiga
pertimbangan, yaitu: pertama, pertimbangan keadilan; kedua, pertimbangan bahwa dalam
pemungutan tersebut terkandung hak dan kewajiban pemerintah yang terkait secara langsung;
dan ketiga, pertimbangan bahwa pengeluaran yang dilakukan pemerintah merupakan fungsi
dari penerimaannya.
1. Prinsip keadilan
Penyediaan layanan dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, yang dikenal
dengan istilah public goods, pada prinsipnya merupakan kewajiban Pemerintah yang harus
disediakan secara cuma-cuma (free of charge). Layanan dasar tersebut, menurut berbagai
Disamping layanan dasar yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya, terdapat pula layanan
semi dasar yang hanya dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Sebagaimana halnya
layanan dasar, penyediaan layanan semi dasar ini pun pada hakekatnya merupakan kewajiban
pemerintah. Hanya karena sifatnya yang agak eksklusif, sehingga tidak semua masyarakat
membutuhkannya, secara teori, dipandang tidak adil bila layanan semi dasar ini harus dibiayai
melalui penerimaan perpajakan yang ditanggung oleh seluruh masyarakat.
Atas dasar pemikiran di atas, penyediaan layanan semi dasar tersebut kemudian dilakukan melalui
pola cost sharing. Artinya, masyarakat pengguna layanan semi dasar pemerintah tersebut diwajibkan
membiayai sebagian dana yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk penyediaan layanan dimaksud.
Dalam beberapa jenis layanan tertentu yang sifatnya lebih eksklusif, masyarakat diwajibkan
membayar sebagian besar biaya layanan diterimanya. Dalam hal yang demikian, pungutan
terhadap masyarakat atas layanan tersebut bukan hanya untuk membiayai proses produksi
jasa dalam penyediaan layanan itu sendiri, tetapi juga merupakan penerimaan Negara dalam
arti sebenarnya yang dalam berbagai kepustakaan tentang Keuangan Negara dikenal sebagai
administrative tax. Namun demikian, yang harus diperhatikan adalah bahwa penerimaan
dimaksud tetap merupakan earmarked revenue, yaitu sejenis penerimaan yang dikaitkan dengan
suatu pengeluaran tertentu.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 31
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
dapat didelegasikan kepada siapa pun. Secara konkrit, kewajiban substantif ini dilaksanakan
oleh kementrian/ lembaga beserta jajarannya dalam bentuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Hal ini berbeda dengan penerimaan dari sektor perpajakan. Meningkatnya penerimaan negara
dari sektor perpajakan belum pasti disebabkan karena adanya peningkatan kegiatan pemerintah
yang dibiayai dari sektor ini, karena penerimaan dari sektor perpajakan tidak dikaitkan secara
langsung dengan pengeluaran tertentu. Oleh karena itu, peningkatan penerimaan di sektor
perpajakan mungkin saja akan meningkatkan pengeluaran pemerintah pada umumnya, atau
kemungkinan akan meningkatkan saldo lebih pada akhir tahun anggaran.
K. PENDEKATAN PRAKTIS
Penerapan konsep tersebut di atas dalam pelaksanaan dapat dilihat melalui dua aspek, yaitu
aspek yuridis-administratif dan aspek implementatif.
1. Aspek yuridis-administratif
Seperti pula halnya semua penerimaan dan pengeluaran negara pada umumnya, penerimaan
negara bukan pajak dan juga pengeluaran yang dibiayai dari penerimaan tersebut, pada
prinsipnya, harus dicatat secara teratur dalam tata pembukuan pemerintah yang dilakukan
di masing-masing kementrian. Disamping itu, penerimaan ini pun harus tunduk pada aturan
baku tentang pengelolaan Keuangan Negara.
Dengan mengacu pada prinsip-prinsip di atas, penerimaan negara bukan pajak wajib disetorkan
ke Kas Negara tepat pada waktunya sesuai dengan jumlah yang diterima, dan hanya dapat
digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah ditentukan dalam periode tahun anggaran
yang sama.
2. Aspek implementatif
Beberapa kritik yang muncul dalam pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak ini antara
lain adalah bahwa penggunaan dana yang diterima dari masyarakat pengguna layanan tertentu
tersebut sering terkendala aturan birokratis. Hal ini pada gilirannya menyebabkan kualitas
layanan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Rendahnya kualitas layanan
pemerintah tersebut bukan saja diwujudkan dalam norma waktu yang relatif lama, tetapi juga
dalam kualitas layanan dalam arti yang sebenarnya.
Hal yang demikian dapat dipahami, mengingat penggunaan penerimaan negara bukan pajak
tetap terikat pada sistem dan prosedur umum yang berlaku dalam pengelolaan keuangan
negara. Ketentuan yang mengharuskan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran Negara
tercatat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, dan baru dapat dipergunakan setelah
diotorisasikan oleh lembaga legislatif membuat penerimaan maupun pengeluaran jenis ini tidak
memiliki perbedaan maupun fleksibilitas sebagaimana diharapkan. Hal tersebut masih ditambah
lagi dengan prosedur pengeluaran negara yang seringkali cukup berbelit.
Ahli ekonomi biasanya menyarankan untuk menggunakan marginal cost pricing, yaitu tarif
yang dipungut sama dengan biaya untuk melayani konsumen. Marginal cost pricing mengacu
pada harga pasar yang seimbang (ceteris paribus) sehingga lebieh efisien dan meningkatkan
output sampai titik dimana marginal cost sama dengan harga jual.
Dalam praktiknya, penerapan pembebanan dengan marginal cost pricing harus memperhatikan
hal-hal seperti:
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 33
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Meskipun sangat sulit mengukur jumlah tarif pelayanan yang dikonsumsi masyarakat namun pada
prinsipnya pembebanan harus merefleksikan biaya total (fullcost) untuk menyediakan pelayanan
tersebut. Sehingga tidak terlihat tindak ketidak adilan dalam pembebanan tarif pelayanan pada
masyarakat.
Pemerintah tidak bisa berasumsi bahwa penentuan harga untuk pelayanan barang dan jasa
sektor publik akan menciptakan suatu pasar yang kompetitif atas aktivitasnya. Hanya dalam
situasi tertentu harga barang dan jasa pelayanan sektor publik mencerminkan permintaan yang
ada, dikarenakan harga yang dibayar konsumen tidak melebihi seluruh biaya untuk menghasilkan
barang atau jasa tersebut.
Tujuan kebijakan netralitas adalah untuk menjamin sumber-sumber ekonomi langka yang dapat
dipakai sehingga dapat menghasilkan efek penggunaan terbaik. Oleh karena itu, kebijakan kompetisi
nasional bukan merupakan akhir, melainkan cara yang merupakan patokan dan harus dipatuhi untuk
mencapai tujuan akhir melalui penyediaan pelayanan yang optimal secara efektif dan efisien.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 35
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Cara yang telah dilakukan Negara dengan subsidi telah membantu masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhan sehingga dapat dirasakan masyarakat golongan menengah ke bawah
walaupun tidak sepenuhnya bisa dirasakan oleh masyarakat golongan menengah kebawah.
Kegagalan dalam menentukan biaya akan membuat masyarakat menjadi bingung dalam memilih
barang publik yang ingin digunakan. Sedangkan Dalam praktiknya permasalahan administrasi
dan pertimbangan social politik lebih diutamakan daripada ke-efisiensi ekonomi, namun perlu
diwaspadai bahwa kesalahan dalam menetapkan tarif pelayanan publik merupakan penyebab
utama deficit anggaran di Negara berkembang. (Devas, 1989)
Sebagian barang dan jasa ada yang dibebankan langsung pada konsumen dan ada juga yang
disediakan oleh pemerintah. Bila barang tersebut termasuk barang privat maka pengenaan
tarif pada konsumen dinilai tepat guna, sedangkan bila barang yang digunakan termasuk
barang publik maka pengenaan tarif pada konsumen dinilai kurang tepat. Maka dari itu barang
yang akan digunakan harusnya diklasifikasikan terlebih dahulu apakah termasuk barang privat
atau barang publik.
Penerapan harga pada suatu barang dan jasa yang termasuk pelayanan publik diharuskan
menerapkan ke-”efisiensi ekonomi” sehingga dapat menentukan harga yang tepat dalam
penyaluran barang dan jasa kepada masyarakat, sehingga pemerintah dapat menentukan harga
dan tidak menebabkan deficit simpanan Negara.
Tetapi dalam praktiknya terdapat penyimpangan. Pelayanan yang gratis seringkali mendapatkan
pelayanan yang kurang memuaskan sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat. Maka dari itu,
pemerintah dapat mingkatkan pelayanan dengan meningkatkan juga kesejahteraan para pegawai.
Hanya saja perlu dilakukan managerial yang baik sehingga penerapan pembebanan tepat guna
atau tidak salah dalam meletakkan tingkat harga seperti pengelompokan barang dan jasa yang
termasuk barang privat, barang publik, atau barang merit good. Bila pemerintah dapat menjalankan
tugasnya dengan baik dan dapat melakukan efisiensi ekonomi yang tepat maka dapat mengurangi
pengeluaran dan meningkatkan pelayanan publik serta tidak menutup kemungkinan dapat
mengurangi pembebanan masyarakat terhadap pembebanan tarif.
Barang-barang tersebut sering disebut juga merit good yaitu barang yang semua orang
membutuhkannya tetapi tidak semua orang dapat menikmati barang dan jasa tersebut. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah biasanya menyediakannya secara langsung (direct
public provision), memberi subsidi, atau mengontrakkannya pada pihak swasta.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 37
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Tanpa adanya suatu mekanisme harga, permintaan dan penawaran tidak mungkin menuju titik
keseimbangan sehingga alokasi sumber daya tidak efisien. Akan tetapi, dalam kenyataannya pasar
sering kali tidak sempurna. Dalam banyak hal pemerintah mungkin menjadi supplier namun tidak
boleh memanfaatkan situasi ini untuk memaksimalkan keuntungan, seperti penyediaan air dan
obat-obatan.
Dalam kondisi tertentu ketika barang dan jasa bersifat public goods (eksternalitas positif)
pemerintah lebih baik menetapkan harganya dibawah harga normal (full price) atau bahkan tidak
dipungut biaya. Pemerintah juga dihadapkan pada masalah pendistribusian pendapatan yang
tidak seimbang, artinya golongan kaya mampu membayar lebih dibanding yang miskin sehingga
mendapat pelayanan yan lebih baik dari yang kurang mampu.
Pembebanan tarif pelayanan akan mendorong efisiensi ekonomi karena setiap orang akan
dihadapkan pada masalah pilihan karena kelangkaan sumber daya Jadi jika diberlakukan tarif,
maka setiap orang dipaksa berfikir ekonomis dan tidak boros.
Charging for service berbeda dengan fee. Fee adalah biaya atas perijinan atau lisensi yang
memberikan pemerintah. Biaya perijinan/lisensi relatip kecil yang meliputi biaya administrasi
dan pengawasan serta pembiayaannya didasari pada kategori perijinan yang diajukan dan
ada tidaknya keuntungan financial yang diperoleh pemegang ijin (lisensi).
Pelayanan publik dapat di jual memiliki 3 jenis barang yaitu barang privat, barang publick
dan campuran (merit good). Barang privat dikenakan tarif, barang publik tidak dikenakan
tarif karena pembayarannya berasal dari pajak, sedangkan merit good tidak dibebankan
secara langsung kepada konsumen tetapi terdapat subsidi dari pemerintah.
Dalam menentukan tarif merit good yang berasal dari bantuan pemerintah, biasanya
pemerintah membagi sepertiga ataupun setengah dari biaya pelayanan public seperti
pendidikan dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Cara ini memang baik dan
membantu, tetapi memiliki kelemahan dalam kinerjanya karena masih seringnya pengaduan
dalam penyelewengan dana BOS. Tapi permasalahan yang lebih besar adalah pelayanan
publik merit good tidak dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat golongan bawah.
Cara yang terbaik dalam penarikan biaya adalah dengan pendataan dengan akurat pada masyarakat
sehingga dapat ditentukan apakah konsumen bisa dikenakan tarif atau tidak.
Kebebasan setiap individu untuk menentukan konsumsi barang dan jasa membuat penentuan
harga dapat memberikan batasan dalam menentukan banyaknya barang dan jasa yang
digunakan. Efisiensi Ekonomi memberi mekanisme penditribusian yang tepat dan merupakan
cara yang baik untuk mengurangi tingkat konsumenisme karena tiap individu dihadapkan
dengan masalah berupa kelangkaan sumber daya membuat individu untuk lebih ekonomis
dan tidak boros.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 39
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
2. Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang akan dilaksanakan (cost/benefit
relationship).
Perhitungan manfaat dan biaya harus pula memasukkan analisis manfaat dan biaya sosial
yang di timbulkan dari investasi publik yang akan dilakukan. Pada organisasi sektor publik
biaya dan manfaat seringkali tidaj dapat secara langsung diukur dengan satuan uang, sehingga
teknik-teknik analisis biaya manfaat sangat cocok untuk diterapkan. Dalam analisis biaya-
manfaat ini, benefit (manfaat) ditekankan pada semua keunggulan ekonomi dan sosial yang
diperoleh, sedangkan untuk cost (biaya) ditekankan pada kelemahan-kelemahan proyek yang
dikuantifikasikan dalam bentuk uang.
3. Menghitung manfaat dan biaya dalam rupiah
Langkah kedua adalah menghitung manfaat dan biaya investasi dalam rupiah. Terkadang
terdapat kesulitan dalam langkah kedua ini. Kesulitan yang dihadapi adalah apabila biaya dan
manfaat dari suatu proyek tidak dapat diukur dalam bentuk rupiah, misalnya manfaat dan
biaya sosial. Dalam kondisi tersebut, yang dapat dilakukan adalah menghitung nilai manfaat
dari proyek secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan analisis efektivitas biaya (cost-
effectiveness analysis).
4. Memilih proyek yang memiliki manfaat terbesar dan efektivitas biaya yang tinggi
Rasio biaya dan manfaat atau efektivitas biaya merupakan titik awal penentuan penerimaan
proyek, ada banyak ketidakpastian yang dapat mempengaruhi perhitungan. Tidak smua biaya
dan manfaat sosial dapat dimasukkan dalam perhitungan.
a. Net present benefit (NPB)
NPB merupakan nilai bersih suatu proyek setelah dikurangi seluruh biaya pada satu tahun
tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun yang bersangkutan dan
didiskontokan dengan tingkat bunga yang berlaku.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 41
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Dalam praktiknya, terdapat beberapa kesulitan dalam melakukan analisis efektivitas biaya.
Kesulitan tersebut terjadi pada waktu membuat estimasi atau perkiraan mengenai waktu
dan besarnya jumlah biaya dan manfaat dimasa datang. Kesulitan juga dialami pada saat
tingkat diskonto yang tepat atau penyesuaian untuk tingkat resiko dan ketidakpastian,
sebagai gambaran dalam seksi pendahuluan pada analisa cost-benefit. Namun demikian,
mekanisme oendiskontoan pada dasarnya tidak berbeda dari yang biasa diterapkan pada
sektor swasta.
Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian
wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan
sebagai salah satu amanah yang juga harus dijalankan dalam pengelolaan keuangan Negara.
Begitu juga sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/ Walikota selaku
Pengelola keuangan daerah. Demikian Pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, Undang-undang
Perbendaharaan Negara ini menganut asas kesatuan, asas universalitas, asas tahunan, dan asas
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 43
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
spesialitas. Asas kesatuan menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah
disajikan dalam satu dokumen anggaran. Asas universalitas mengharuskan agar setiap transaksi
keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. Asas tahunan membatasi masa
berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran
yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya. Demikian pula Undang-undang ini memuat
ketentuan yang mendorong profesionalitas serta menjamin keterbukaan dan akuntabilitas
dalam pelaksanaan anggaran serta system pelaporan keuangan pemerintah menghasilkan
statistik keuangan yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah (Government
Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi
fiskal, pengelolaan dan Analisis Perbandingan Antarnegara (Cross Country Studies), kegiatan
pemerintahan, dan penyajian diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang
terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SAP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan
Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga.
11. Reformasi Sistem Pengenggaran, Konsep dan Omplementasi 2005-2007, Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Jakarta,
2008.
12. Indische Comptabiliteitswet (Staatblad Tahun 1925 Nomor 448) . Yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1884 dan mulai diperbaharui pada
tahun 1867, Indische Bedkrijvenwek (IBW) staatblad 1927 No. 419 juncto Staatblad 1936 No. 381. Pemerintah Belanda pada saat itu tampaknya
memberikan penekanan khusus terhadap pentingnya pengelolaan penerimaan dan pengeluaran di Hindia Belanda, hal tersebut dipicu
terutama oleh maraknya korupsi di lingkaran pejabat-pejabat Vereniging Oost Indische Compagnie (VOC). Sementara itu, dalam pelaksanaan
pertanggungjawaban keuangan Negara digunakan Instructie ‘en Verdehe Bepalingen voor de Algemeene Rekenmaker (IAR) Staatblad 1933 No.
320, selanjutnya Indische Comptabiliteitswet (ICW) digunakan sebagai Undang Undang Perbendaharaan Indonesia dan telah diubah dengan
Undang Undang Nomor 9 Tahun 1968 dan terakhir diubah menjadi Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak seperti apa yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, terdapat beberapa kendala dalam perencanaan dan
penyerapannya, diantaranya adalah:
a. Kesulitan satuan kerja terutama komponen teknis yang mempunyai mata anggaran
dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk mengestimasi penerimaan dari tarif dan
pelayanan;
b. Jika pada akhir tahun terdapat program/kegiatan yang belum selesai dilaksanakan
walaupun ada sisa SSBP tahun lalu, karena realisasi penerimaan telah melampaui target
dan tidak melakukan Revisi Penambahan Pagu DIPA maka tidak dapat digunakan pada
tahun anggaran berjalan karena periode APBN hanya untuk satu tahun anggaran;
c. Kebijakan pemerintah untuk penggunaan sisa SSB Penerimaan Negara Bukan Pajak
tahun sebelum sudah diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Nomor 11/PB/2011 tentang Perubahan Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaqan
Negara Nomor PER-66/PB/2005 tentang Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi mendapat persepsi lain dari Direktorat Jenderal
Anggaran cq. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam pengajuan penggunaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun sebelumnya tidak dapat dibayarkan, akibatnya sisa
pekerjaan tahun lalu membebani anggaran tahun berikutnya, dan akibat pembebanan
anggaran tersebut hendak direvisi maka harus memenuhi persyaratan.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 45
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Pp No 22/2007 tentang
PP No. 73/1999
tentang Tatacara
Penggunaan PNBP
Pp No 52/ 1998 yg bersumber dari Pp No 22/ 2005
tentang Kegiatan tertentu tentang
Penyetoran Pemeriksaan
PNBP PNBP
Pp No 15/2004 Pp No 29/ 2009
tentang Pemeriksaan tentang Tata cara
Pengelolaan dan Penentuan Jumlah,
Tanggungjawab Pembayaran dan
Keuangan Negara Penyetoran BPN
Pp No 13/ 2010
UU No.17/2003 tentang Jenis dan tarif
tentang Keuangan atas Jenis Penyetoran
Negara yang berlaku pada
PMK_No.190/ BPN
PMK.05/2012 tentang
UU No.20/1997
Perdirjen PB No. Per- Tatacara Pembayaran
tentang PNBP
17/PB/2013 tentang dalam Rangka
Ketentuan lebih lanjut Pelaksanaan APBN
Tatacara Pembayaran
PNBP atas beban
APBN
Definisi yang dirumuskan oleh beberapa peneliti mengenai pengukuran kinerja cukup beragam,
namun tetap bermuara pada satu kesepakatan bahwa dengan mengukur kinerja maka proses
pertanggungjawaban pengelola atas segala kegiatannya kepada stakeholders dapat lebih
obyektif. Hatry (1999) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai pengukuran hasil dan efisiensi
Dengan kata lain, pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang
telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Flynn (1997) manfaat
pengukuran dan manajemen kinerja terutama adalah untuk meningkatkan akuntabilitas dan untuk
menyediakan jasa publik secara lebih baik. Pengertian akuntabilitas lebih luas dari proses untuk
menunjukkan bagaimana penggunaan dana publik. Konsep akuntabilitas mencakup juga proses
untuk menunjukkan apakah dana publik telah digunakan secara efisien dan efektif.
Penyusunan APBN berbasis kinerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja,
analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
memperhatikan keserasian huBendahara Umum Negaragan antar susunan pemerintahan. Dalam
penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel
terhadap kepentingan masyarakat (Mardiasmo, 2006).
Anggaran Berbasis Kinerja adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan
berkaitan sangat erat terhadap Visi, Misi dan Rencana Strategis organisasi. Anggaran Berbasis Kinerja
mengalokasikan sumberdaya pada program bukan pada unit organisasi semata dan memakai output
measurement sebagai indikator kinerja organisasi (Bastian, 2006). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005, maka penyusunan APBN dilakukan dengan mengintegrasikan program dan
kegiatan masing-masing satuan kerja di lingkungan pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan
yang ditetapkan di dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian tercipta sinergi dan rasionalitas
yang tinggi dengan mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang tidak terbatas. Hal tersebut juga untuk menghindari duplikasi rencana kerja serta
bertujuan untuk meminimalisasi kesenjangan antara target dengan hasil yang dicapai berdasarkan
tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan.
Penganggaran berbasis kinerja ini berfokus pada efisiensi penyelenggaraan suatu aktivitas
atau kegiatan. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan input. Suatu
aktivitas dikatakan efisien, apabila output yang dihasilkan lebih besar dengan input yang sama,
atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang lebih sedikit. Anggaran ini tidak
hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti yang terjadi pada sistem anggaran
tradisional, tetapi juga didasarkan pada tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya perlu
disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan terukur juga penggunaan
biaya tersebut harus efisien dan efektif.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 47
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Indikator kinerja yang ditetapkan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja meliputi
masukan (input), keluaran (output) dan (outcome). Masukan (input) adalah segala sesuatu yang
dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini
merupakan tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber-sumber dana, sumber
daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan
program atau kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumber daya, suatu organisasi dapat
menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategik
yang telah ditetapkan.
Keluaran (output) adalah produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan dari program atau
kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. Indikator keluaran adalah sesuatu yang
diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau non fisik.
Dengan membandingkan indikator keluaran organisasi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan
terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator keluaran hanya dapat menjadi landasan untuk
menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan
yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Oleh karenanya indikator keluaran harus sesuai dengan
lingkup dan sifat kegiatan instansi.
Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan
pada jangka menengah (efek langsung). Indikator hasil adalah sesuatu manfaat yang diharapkan
diperoleh dari keluaran. Tolok ukur ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan.
Pada umumnya para pembuat kebijakan paling tertarik pada tolok ukur hasil dibandingkan
dengan tolok ukur lainnya. Namun untuk mengukur indikator hasil, informasi yang diperlukan
seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karenanya setiap organisasi perlu
mengkaji berbagai pendekatan untuk mengukur hasil dari keluaran suatu kegiatan.
Fokus pengukuran kinerja pada awalnya adalah pada pengukuran tingkat efisiensi. Hal tersebut
berhubungan erat dengan obyek pembahasan pada awalnya yaitu pengukuran kinerja kegiatan
usaha swasta. Ketika kesadaran para pegambil kebijakan muncul bahwa kegiatan pelayanan
publik yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya juga dapat diukur efisiensi dan efektivitasnya,
maka pembahasan yang intensif mengenai pengukuran kinerja pemerintah dimulai. Meskipun
demikian, masalah muncul ketika disadari bahwa untuk pelayanan publik banyak sekali hal-hal
yang bersifat kualitatif.
Mengukur kinerja kegiatan suatu organisasi dapat mencerminkan baik tidaknya pengelolaan
organisasi yang bersangkutan. Pengelola suatu organisasi perlu mengetahui apakah kegiatan
pelayanan yang mereka berikan sudah memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
Hal ini merupakan wujud pertanggungjawaban pengelola kepada para stakeholders. Pengelola
bertanggung jawab tidak hanya sebatas pelayanan fisik, melainkan lebih dari itu, yaitu pada
pengelolaan usaha yang baik.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 49
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (iv) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan
bersatu; (v) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (vi) Mewujudkan Indonesia
asri dan lestari; (vii) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat,
dan berbasiskan kepentingan nasional, dan (viii) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam
pergaulan dunia internasional.
Pencapaian visi Pembangunan Jangka Panjang 2005-2024 diukur dari pencapaian sasaran-
sasaran pokok selama 20 tahun mendatang. Untuk mencapai sasaran pokok, maka perlu
ditetapkannya tahapan dan skala prioritas yang dijabarkan dalam agenda pembangunan jangka
menengah. Pembangunan jangka menengah dalam kurun waktu 2010-2014 yang dituangkan ke
dalam RPJMN, Visi pembangunan Jangka Menengah Nasional adalah “Terwujudnya Indonesia
yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan”, dalam rangka mewujudkan visi Indonesia 2014,
maka disusunlah Misi Pembangunan 2010-2014 yang memuat rumusan dari usaha-usaha yang
diperlukan untuk mencapai visi Indonesia 2014, namun tidak dapat terlepas dari kondisi dan
tantangan lingkungan global dan domestik pada kurun waktu 2010-2014 yang mempengaruhinya.
Misi pemerintah dalam periode 2009-2014 diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih
sejahtera, aman dan damai dan meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil
dan demokratis. Usaha-usaha perwujudan visi Indonesia 2014 yang dijabarkan dalam misi
pemerintah tahun 2010-2014, dimana Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia
yang Sejahtera, Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi, dan Misi 3: Memperkuat Dimensi
Keadilan di Semua Bidang.
HIRARKI PERENCANAAN
NASIONAL KEMENTERIAN DAERAH
20
THN RPJP RPJP
NASIONAL KL RPJPD
5
RPJM RENSTRA RENSTRA
THN
NASIONAL KL SKPD
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka
menengah nasional, memuat rancangan kerangka ekonomi makro yang termasuk didalamnya
arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya,
baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat, sebagaimana terlihat dalam bagan matrik Gambar 3.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 51
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Renja-K/L merupakan dokumen perencanaan yang berisi program dan kegiatan suatu K/L sebagai
penjabaran dari Renstra K/L yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran. Penyusunan Renja-K/L
oleh K/L dilaksanakan setelah dikeluarkannya surat yang ditandatangani oleh BPPN/Ka. Bappenas
bersama Menteri Keuangan tentang Pagu Indikatif K/L yang merupakan pagu anggaran yang
didasarkan atas kebijakan umum serta tema dan prioritas pembangunan nasional. Pagu Indikatif
tersebut merupakan batas tertinggi alokasi anggaran yang dirinci menurut program dan kegiatan
prioritas yang pendanaannya terdiri atas rupiah murni (RM), Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN), dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Berkenaan dengan telah dilakukannya penerapan PBK dan KPJM secara penuh yang menggunakan
struktur program dan kegiatan hasil restrukturisasi maka mekanisme penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran K/L menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran K/L Tahun 2012 memerlukan pemahaman terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Target kinerja yang ditetapkan merupakan rencana kinerja dari suatu K/L dalam rangka
melaksanakan tugas dan fungsi K/L dan/atau penugasan prioritas pembangunan nasional.
2. Informasi kinerja yang ada dalam Rencana Kerja dan Anggaran K/L meliputi:
a. Visi dan misi Kementerian/Lembaga, sasaran strategis Kepala Kemen terian/Lembaga, visi
dan misi unit eselon I;
b. Program, Outcome Program, Indikator Kinerja Utama Program;
c. Kegiatan, Sasaran Kegiatan, Indikator Kinerja Kegiatan.
d. Perkiraan alokasi pendanaan baik untuk tahun yang direncanakan ramaupun p kiraan
majunya.
e. Informasi kinerja terkait Inisiatif Baru yang telah mendapat persetujuan baik dalam hal
target pencapaiannya maupun kebutuhan pendanaannya.
3. Informasi tersebut merupakan kebijakan kinerja yang ditetapkan dan bersifat baku serta menjadi
referensi dalam menentukan lokasi pendanaannya. Informasi tersebut juga telah tercantum dalam
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Renstra Kementerian/Lembaga.
4. Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh K/L seluruhnya dalam kerangka pelaksanaan
tugas-fungsi K/L dan/atau penugasan prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu
peruntukkan alokasi anggaran harus memperhatikan urutan prioritas sebagai berikut:
a. Program dan kegiatan yang mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional,
prioritas pem ba
ngunan bidang, prioritas pembangunan K/L dan/atau prioritas pem
bangunan daerah (dimensi kewilayahan) yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014,
Renstra Kementerian/Lembaga, Awal Perencanaan;
b. Kebutuhan dana pendamping untuk kegiatan-kegiatan yang anggarannya bersumber
dari pinjaman dan hibah luar negeri;
c. Kebutuhan anggaran untuk kegiatan lanjutan yang bersifat tahun jamak (multiyears);
d. Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan inpres-inpres yang berkaitan dengan
percepatan percepatan pembangunan wilayah tertinggal, pemulihan pasca konflik dan
pasca bencana di berbagai daerah;
e. Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan program/kegiatan yang sesuai dengan
peraturan perundangan.
Selanjutnya dalam hal pengimplementasikan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 53
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
dilaksanakan pada periode sebelumnya. Rencana Strategis BPN-RI 2010 -2014 juga digunakan
sebagai pedoman sekaligus kendali dan acuan koordinasi bagi setiap unit kerja pada semua
tingkatan organisasi BPN-RI. Sebagai komitmen perencanaan, Renstra Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia juga berfungsi sebagai alat bantu dan tolok ukur dalam menjalankan misi,
kebijakan serta program nasional untuk mencapai sasaran - sasaran strategis yang telah ditetapkan.
Berkenaan dengan upaya untuk memberikan dukungan dalam mewujudkan visi dan pelaksanaan
agenda pembangunan nasional, maka dalam rangka pembangunan pertanahan telah ditetapkan
visi pembangunan pertanahan 2010 - 2014 yang merupakan cita-cita yang ingin diwujudkan Badan
Pertanahan Nasional, maka sasaran strategis yang diharapkan adalah sebagai berikut:
a) Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penciptaan
sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan
pendapatan, serta peningkatan ketahanan pangan (Prosperity).
b) Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang
lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan P4T (Equity).
c) Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang
harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh
tanah air serta melakukan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan
sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari (Social Welfare).
d) Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada
generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat
(Sustainability).
Keempat prinsip pengelolaan pertanahan tersebut diatas, diturunkan dari Pancasila, Pasal 33
ayat (3) UUD 1945, Tap MPR Nomor IX/MPR/2001, Pasal 1 sampai dengan Pasal Undang-Undang
Pokok Agraria, dan peraturan perundang-undangan lain yang langsung mengatur pertanahan.
Dengan terwujudnya kebijakan dan strategi Pengelolaan Pertanahan sebagaimana di uraikan
dalam keempat prinsip tersebut di atas, pada gilirannya akan menguatkan lembaga pertanahan
sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPdan aspirasi rakyat
secara luas.
Tujuan pembangunan bidang pertanahan yang akan dicapai tahun 2010-2014 pada dasarnya
adalah “Mengelola Tanah Seoptimal Mungkin Untuk Mewujudkan Sebesar-besar Kemakmuran
Rakyat”. Rincian tujuan pembangunan pertanahan tersebut menunjukkan kondisi yang harus
dilanjutkan di tahun 2010-2014, yaitu:
a) Melanjutkan Pengembangan infrastruktur pertanahan secara nasional, regional dan sektoral,
yang diperlukan bagi seluruh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional RI dan Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia;
b) Tetap berupaya mewujudkan suatu kondisi yang mampu menstimulasi, mendinamisasi dan
memfasilitasi terselenggaranya survei dan pemetaan tanah secara cepat, modern dan lengkap
serta tetap menjamin akurasi di seluruh wilayah Indonesia khususnya wilayah yang memiliki
potensi ekonomi tinggi serta rawan masalah pertanahan;
c) Melanjutkan percepatan pendaftaran tanah dan penguatan hak atas tanah melalui program
legalisasi aset pertanahan dengan biaya yang lebih murah, dengan waktu yang terukur;
d) Melanjutkan Penataan dan mengendalikan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah dan mengokohkan keadilan di bidang sumber daya agraria, mengurangi
kemiskinan, serta membuka lapangan kerja melalui Program Pembaruan Agraria Nasional
(Reforma Agraria);
e) Tetap Mengupayakan pengurangan jumlah konflik, sengketa dan perkara pertanahan serta
mencegah terciptanya konflik, sengketa dan perkara pertanahan baru;
f) Meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan tugas pada semua unit kerja Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia;
g) Melanjutkan peningkatan mutu pelayanan publik di bidang pertanahan agar lebih berkualitas,
terukur, akurat, tepat, transparan dan akuntabel, dengan tetap menjaga kepastian hukum.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 55
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
peta tematik belum dapat memberikan akses informasi yang lebih luas terutama untuk
kepentingan investasi, seperti belum jelasnya batas administrasi wilayah, belum dapat
memberikan informasi yang berkaitan dengan kemampuan tanah, ketersediaan lahan dan
nilai tanah.
b) Masih rendahnya jumlah bidang tanah yang terdaftar atau yang sudah diberikan legalitas
sehingga belum memberikan kepastian hukum atas aset masyarakat, aset pemerintah dan
aset badan hukum yang berdampak rentan terjadinya sengketa pertanahan serta tidak
memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi terutama dalam rangka penguatan
modal usaha sehingga belum maksimal memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
c) Terjadinya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T)
yang berakibat pada terkonsentrasinya aset yang dikuasai oleh pemilik modal sehingga
para petani tidak memiliki lahan untuk kegiatan usahanya, petani hanya menjadi buruh tani
sekalipun petani memiliki tanah, tetapi sangat terbatas sehingga tidak mencukupi untuk
kehidupan keluarganya.
d) Harmonisasi Penataan Ruang Dan Perizinan
(1) Harmonisasi kebijakan penataan ruang di daerah, pulau/kepulauan, kawasan-kawasan
srategis dan penataan ruang nasional agar memberikan misi keadilan spasial bagi
masyarakat miskin dan terpinggirkan dengan menyediakan ruang yang tepat dan layak, serta
memastikan adanya partisipasi masyarakat pada proses penataan ruang dan perencanaan
wilayah dan koordinasi penataan ruang antar wilayah. Sebagai bagian pula dari strategi
ini adalah evaluasi kebijakan penataan ruang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Disamping itu diperlukan koordinasi
untuk penyediaan peta pembangunan fungsi kawasan serta terpadu. Disamping itu
diperlukan koordinasi untuk penyediaan serta penggunaan fungsi kawasan serta terpadu.
(2) Perbaikan sistem dan pelaksanaan perizinan di bidang pertanahan melalui pendataan
perizinan yang dilakukan dengan menghormati prinsip-prinsip keadilan bagi semua
pihak.
e) Banyaknya bidang-bidang tanah hak dengan sekala besar (luas) yang tidak dimanfaatkan
(terlantar), sehingga membatasi akses masyarakat atas tanah dan tanah yang diterlantarkan
tersebut tidak dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja.
f) Banyaknya kasus-kasus pertanahan akibat sengketa dan konflik berpotensi terhadap
timbulnya gejolak/kerawanan sosial sehingga menggangu pertumbuhan iklim investasi,
disisi lain bahwa lahan tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi karena tanah
tersebut tidak produktif.
g) Kurang harmoninya beberapa peraturan perundangan di bidang pertanahan yang juga
dimandatkan sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 yang mengamanatkan
untuk melakukan pengkajian peraturan di bidang pertanahan gunanya untuk memberikan
kemudahan di bidang pelayanan pertanahan, jaminan kepastian berinvestasi dan jaminan
kelestarian lingkungan.
h) Masih sulitnya masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan di bidang pertanahan yang
disebabkan oleh kondisi geografis, sarana transportasi, kemampuan ekonomi masyarakat,
Berdasarkan 11 prioritas nasional tersebut di atas, secara rinci telah dibagi bidang penugasan
kepada masingmasing Kementrian/Lembaga, termasuk tugas-tugas bidang pertanahan yang
akan dilaksanakan oleh jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Penjabaran
prioritas-prioritas nasional yang salah satunya menjadi penugasan kepada Badan Pertanahan
Nasional RI adalah sebagai berikut:
a) PrIoritas 4: Penanggulangan Kemiskinan
Dalam usaha penanggulangan kemiskinan tema prioritas pembangunannya adalah:
Penurunan tingkat kemiskinan absolut dari 14,1% pada 2009 menjadi 8-10% pada 2014
dan perbaikan distribusi pendapatan dengan pelindungan sosial yang berbasis keluarga,
pemberdayaan masyarakat dan perluasan kesempatan ekonomi masyarakat yang
berpendapatan rendah.
(1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengelolaan pertanahan provinsi melalui
pelaksanaan redistribusi tanah.
(2) Indikator, terlaksananya redistribusi tanah sebanyak 1. 050. 000 bidang
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 57
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian
lingkungan dan sumber daya alam. Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar
3,7% per tahun dan Indeks Nilai Tukar Petani sebesar 115-120 pada 2014
(1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengembangan Peraturan Perundang-
Undangan Bidang Pertanahan dan HuBendahara Umum Negaragan Masyarakat.
(2) Indikator keberhasilan jumlah paket rancangan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang pertanahan dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-undang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebanyak 5 paket.
c) Prioritas 6: Infrastruktur
Dalam mendukung tema prioritas pembangunan infrastruktur nasional yang memiliki
daya dukung dan daya gerak terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan
dan mengutamakan kepentingan masyarakat umum di seluruh bagian negara kepulauan
Republik Indonesia dengan mendorong partisipasi masyarakat.
(1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengelolaan pertanahan provinsi melalui
pelaksanaan Neraca Penatagunaan Tanah dan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan dan Pemanfaatan tanah (P4T) dan pengembangan peraturan perundang-
undangan Bidang Pertanahan dan HuBendahara Umum Negaragan Masyarakat tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
(2) Indikator keberhasilannya:
(a). Tersusunnya Neraca Penatagunaan Tanah di daerah sebanyak 500 kabupatan/kota
(b). Terlaksananya Inventarisasi P4T 1. 678. 350 bidang
(c). Tersusunnya peraturan perundangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
sebanyak 5 paket.
e) Prioritas 8: Energi
Dalam mendukung ketahanan energi, tema prioritas pencapaian ketahanan energi nasional
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 59
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
lain, dan jenis belanja dengan kriteria yang sama untuk semua kegiata dalam satu dokumen
perencanaan, satu dokumen penganggaran dan satu dokumen pelaksanaan anggaran untuk
semua jenis Satuan Kerja dan kegiatan
(3) Pada pertengahan bulan Juni, Menteri Keuangan memberikan Surat Edaran Menteri
Keuangan tentang pagu anggaran bagi masing-masing program yang ditetapkan dalam
Renja-K/L kepada Kementerian/Pimpinan Lembaga untuk kemudian disusun Rencana Kerja
dan Anggaran K/L dengan menyesuaikan antara Renja-K/L dengan pagu sementara tersebut.
(4) selambat-lambatnya pada akhir bulan Oktober Menteri Keuangan menghimpun RKA-
K/L yang telah ditelaah untuk selanjutnya bersama-sama dengan nota keuangan dan
Rancangan APBN dibahas dalam Sidang Kabinet. Setelah nota keuangan, Rancangan APBN
beserta himpunan RKA-K/L telah dibahas maka Pemerintah menyampaikannya kepada DPR
selambat-lambatnya pertengahan bulan Agustus untuk dibahas bersama dan lalu ditetapkan
menjadi Undang-Undang APBN.
(5) selambat-lambatnya tanggal 31 Desember RKA-K/L yang telah disepakati DPR tersebut
ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) tentang Rincian APBN selambat-lambatnya
akhir bulan November. Keppres iini lantas menjadi dasar bagi tiap-tiap K/L untuk menyusun
konsep Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang akan disampaikan kepada Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara paling lambat minggu kedua bulan Desember. Dokumen
Pelaksanaan Anggaran ini lantas disahkan oleh Kementerian Keuangan.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 61
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Angka yang tercantum dalam pagu indikatif diperoleh dari angka prakiraan maju yang
sudah dicantumkan tahun sebelumnya yang telah melalui proses penyesuaian ditambah
dengan inisiatif baru pada kesempatan pertama yang diakomodir/disetujui.
Dalam bentuk gambar, proses sampai dengan penetapan pagu indikatif diatas dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
Prioritas Pemb
Nasional
Pagu Indikatif
1. Unit Organisasi
2. Program
3. Kegiatan
Dirinci
menurut 1 + 2 + 3 = 4
Catatan:
1. Angka prakiraan maju tahun sebelumnya
2. Penyesuaian Angka Dasar
3. Inisiatif Baru Kesempatan-1
4. Pagu Indikatif
2) Pagu Anggaran
a). Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Rencana Kerja K/L (Renja-K/L)
Dalam menyusun Renja-Kementerian/Lembaga, K/L berpedoman pada surat mengenai
Pagu Indikatif dan hasil kesepakatan trilateral meeting. Renja-K/L dimaksud disusun
dengan pendekatan berbasis Kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan
penganggaran terpadu yang memuat kebijakan, program dan kegiatan.
b). Trilateral Meeting
Proses penyusunan Renja-K/L dilakukan pertemuan 3 (tiga) pihak antara Kementerian/
Lembaga, Kementerian Perencanaan, dan Kementerian Keuangan. Pertemuan ini
dilakukan dimulai setelah ditetapkannya Pagu Indikatif sampai dengan sebelum batas
akhir penyampaian Renja K/L ke Bappenas dan Kementerian Keuangan. Pertemuan ini
dilakukan dengan tujuan:
(1) Meningkatkan koordinasi dan kesepahaman antara K/L, Kementerian Perencanaan,
dan Kementerian Keuangan, terkait dengan pencapaian sasaran prioritas
pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah;
(2) Menjaga konsistensi kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan
dokumen penganggaran, yaitu antara RPJMN, Rencana Kerja Pemerintah, Renja K/L
Dalam bentuk gambar, proses penetapan pagu anggaran diatas dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 63
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Pagu Indikatif
1. Unit Organisasi
2. Program
3. Kegiatan
Dirinci
menurut 1 + 2 + 3 = 4
Catatan: Berpedoman
1. Pagu Indikatif
2. Penyesuaian Angka Dasar 1. Kapasitas Fiskal
3. Inisiatif Baru Kesempatan-2 2. Pagu Indikatif
4. Pagu Anggaran K/L 3. Renja K/L
4. Hasil Evaluasi Kinerja K/L
5. Direktif Presiden
3) Alokasi Anggaran
a) Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga, dimana Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan:
(1) Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga;
(2) Renja-Kementerian/Lembaga;
(3) Rencana Kerja Pemerintah hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam
pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN; dan
(4) Standar biaya.
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dimaksud
termasuk menampung usulan Inisiatif Baru. Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga merupakan bahan penyusunan Rancangan Undang-
Undang tentang APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan
antara K/L dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan. Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga menjadi bahan penyusunan RUU
APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan antara K/L dengan
Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan.
Setelah dibahas dalam sidang kabinet, Nota Keuangan, RAPBN dan RUU APBN disampaikan
pemerintah kepada DPR paling lambat bulan Agustus. Hasil pembahasan RAPBN dan RUU
APBN dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan RAPBN dan RUU APBN
dan bersifat final. Berita acara hasil kesepakatan pembahasan tersebut disampaikan Menteri
Keuangan kepada Kementerian/Lembaga, untuk dijadikan dasar melakukan penyesuaian
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
g) Pemerintah menetapkan Alokasi Anggaran K/L dan Kementerian Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara.
Angka yang tercantum dalam Alokasi Anggaran adalah angka yang tertuang dalam berita acara
hasil kesepakatan pembahasan RUU APBN, penyesuaian angka dasar (jika diperlukan lagi),
ditambah dengan inisiatif baru pada kesempatan ke-3 yang diakomodir/disetujui
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 65
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Pagu Indikatif
Berkenaan dengan klasifikasi organisasi, BA Bendahara Umum Negara yang terdapat dalam
dokumen Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara dibagi dalam bagian-bagian
Pembantu Pengguna Anggaran dapat mengusulkan adanya Satuan Kerja baru dalam rangka
pengelolaan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara kepada Direktorat
Jenderal Anggaran c. q. Direktorat Anggaran III. Selanjutnya Direktorat Jenderal Anggaran
memberitahukan persetujuan/penolakan atas usulan dimaksud kepada Pembantu Pengguna
Anggaran yang bersangkutan.
Berkenaan dengan klasifikasi fungsi, penerapan fungsi dan subfungsi dalam kerangka Rencana
Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara mengacu pada tugas-fungsi Kementerian
Keuangan: fungsi 01 (pelayanan umum) dan subfungsi 0101 (Lembaga Eksekutif dan Legislatif,
Masalah Keuangan dan Fiskal, serta Urusan Luar Negeri). Dalam proses penyusunan Rencana
Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara, penerapan fungsi dan sub-fungsi dimaksud
Bendahara Umum Negara dengan kegiatan.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 67
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
9) dana transito;
10) cicilan utang;
11) dana investasi Pemerintah;
12) penyertaan modal negara;
13) dana bergulir;
14) dana kontinjensi;
15) penerusan pinjaman (on-lending); dan
16) kebutuhan lain-lain yang tidak dapat direncanakan.
Sedangkan “pihak lain terkait” tersebut di atas yaitu Pemerintah Daerah, Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Lembaga Non-Kementerian yang terkait dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Level Kementerian/
Nasional Lembaga
Target Kinerja
Total Rupiah
PRIORITAS Indikator Kinerja
Nasional
ESSELON I
Target Kinerja
ESSELON II/SATKER
Fokus Prioritas Total Rupiah
Indikator Kinerja
Nasional Kegiatan Kegiatan
Prioritas Tupoksi
Kegiatan Prioritas
Output Output
dan Jumlah Indikator dan Jumlah Indikator
Volume Rupiah Kinerja Volume Rupiah Kinerja
Output Output
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 69
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang merupakan salah satu sumber dana dalam DIPA
dibedakan atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat dan PNPB
yang setorannya secara Tidak Terpusat.
a. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat
1) Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat, yaitu penyetoran,
pencatatan, pembukuan dan pelaporannya dilaksanakan oleh Kantor Pusat suatu K/L
Negara. Penggunaan dana dialokasikan pada kantor-kantor daerah.
2) Untuk Satuan Kerja pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan
dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan Surat
Setor Bukan Pajak.
b. Pengelolaan Pemerimaan Negara Bukan Pajak (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang
setorannya secara Tidak Terpusat.
PNPB yang setorannya secara Tidak Terpusat, yaitu penyetoran, pencatatan, pembukuan dan
pelaporannya dilaksanakan oleh masing-masing instansi/kantor dan tidak dapat langsung
dipergunakan. Tahap awal dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, sebagaimana
pengelolaan dana APBN pada umumnya, adalah perencanaan yang dituangkan dalam bentuk
Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-KL). Penyusunan RKAKL dilakukan oleh seluruh satuan kerja
yang berada di lingkungan masing-masing Kementerian/Lembaga. Penyusunan RKA-KL Badan
Pertanahan Nasional dilakukan oleh seluruh satuan kerja yang berada di lingkungan BPN. Seluruh
satuan kerja yang berada di Kantor Pusat BPN, kantor-kantor wilayah BPN di propinsi, maupun
kantor-kantor Pertanahan di kabupaten/kota melakukan perencanaan dan penganggaran untuk
selanjutnya dikonsolidasikan (bottom up system) menjadi dokumen RKA-KL.
Dalam menyusun RKA-KL, BPN memprediksi target penerimaan yang akan diperoleh
selama satu tahun anggaran dan pagu belanja untuk membiayai rencana kerja yang akan
dilakukan. Target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersifat fungsional
diperoleh dari target fisik pertanahan yang akan dilayani dikalikan dengan tarif pelayanan,
sedangkan pagu belanja berkenaan dengan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang bersifat fungsional adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tentang
Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan
Pertanahan Nasional.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132 Tahun 2010 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan
Nasional, untuk masing-masing kegiatan adalah sebagai berikut:
1) Pelayanan Pendaftaran Tanah, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 81,54%
(delapan puluh satu koma lima puluh empat persen),
2) Pelayanan Pemeriksaan Tanah, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 81, 67%
delapan puluh satu koma enam puluh tujuh persen),
3) Pelayanan Informasi Pertanahan, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 82,35%
(delapan puluh dua koma tiga puluh lima persen),
4) Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya, dengan izin penggunaan paling tinggi
sebesar 80,50% (delapan puluh koma lima puluh persen),
Seiring dengan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 dan pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, dimana terdapat
perubahan atas jenis-jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPN, Menteri
Keuangan mengatur kembali penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN dengan
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan
Nasional. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010, izin
penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN RI adalah sebagai
berikut:
1) Penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN yang berasal
dari:
a). pelayanan survei, pengukuran dan pemetaan;
b). pelayanan pemeriksaan tanah;
c). pelayanan konsolidasi tanah secara swadaya;
d). pelayanan pertimbangan teknis pertanahan;
e). pelayanan pendaftaran tanah;
f). pelayanan informasi pertanahan;
g). pelayanan lisensi;
h). pelayanan kerjasama di bidang pertanahan yang berasal dari kerjasama dengan
pihak lain;
Untuk kegiatan Pelayanan Pertanahan, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar
85,54% (delapan puluh lima koma lima puluh empat persen).
2) Penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN yang berasal dari
Pelayanan Pendidikan untuk kegiatan pelayanan pendidikan dengan izin penggunaan
paling tinggi sebesar 90,11% (sembilan puluh koma sebelas persen).
Dari berbagai jenis pelayanan di bidang pertanahan tersebut BPN mengenakan tarif
pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian pelayanan oleh Kantor
Pertanahan secara garis besar diawali dengan adanya surat permohonan dari pemegang
hak atau kuasanya disertai dengan dokumen pendukungnya. Atas dasar surat permohonan
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 71
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Setelah pemohon melunasi pembayaran sesuai dengan SPS serta sejak berkas diterima lengkap
oleh Kantor Pertanahan, penyelesaian pelayanan pertanahan berpedoman pada Peratur
an Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar
Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Tertentu16.
Persyaratan dan jangka waktu penyelesaian untuk masing-masing jenis pelayanan pertanahan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008.
13. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar pengeluaran negara. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Bodul Penerimaan Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 2.
12.
14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka
impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh
Kementerian Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara. Ibid. , Pasal 1 butir 13 dan 15.
15. Sebagai bukti transaksi adanya setoran penerimaan negara ke rekening Kas Negara, bank/pos persepsi menerbitkan Bukti Peneriman Negara
(BPN) yang salah satu lembarnya diserahkan kepada penyetor. Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/
Pos atas transaksi penerimaan negara dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor
Transaksi Pos (NTP) dan dokumen yang diterbitkan oleh KPPN atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM dengan
teraan NTPN dan Nomor Potongan Penerimaan (NPP). NTPN dan NTB/NTP yang terdapat pada BPN merupakan pengesahan atas penerimaan
negara melalui Bank/Pos. Ibid. , Pasal 2 butir 9, Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4).
16 Pelayanan pertanahan untuk jenis pelayanan pertanahan tertentu meliputi: (a) Pemeriksaan (pengecekan) sertipikat, (b) Peralihan hak – Jual
beli, (c) Peralihan hak – Pewarisan, (d) Peralihan hak – Hibah, (e) Peralihan hak – Tukar Menukar, (f) Peralihan hak – Pembagian hak bersama,
(g) Hak tanggungan, (h) Hapusnya hak tanggungan – roya, (i) Pemecahan sertipikat –Perorangan, (j) Pemisahan sertipikat – Perorangan, (k)
PenggaBendahara Umum Negaragan sertipikat – Perorangan, (l) Perubahan hak milik untuk rumah tinggal dengan ganti blanko, (m) Perubahan
hak milik untuk rumah tinggal tanpa ganti blanko, dan (n) Ganti nama. Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala BPN RI tentang
Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Tertentu, Peraturan
Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008, Pasal 1 ayat (2).
17. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan
Pertanahan Nasional, op. cit. , Pasal 26. Ketentuan ini sama dengan ketentuan pada PP Nomor 46 Tahun 2002 yang berlaku sebelumnya,yaitu
pada Pasal 24.
18.Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat
lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 12.
Atas realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut, sebagian dananya dapat digunakan
untuk membiayai kegiatan pelayanan pertanahan atau pendidikan. Dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang dapat digunakan adalah dana Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang bersifat fungsional atau yang berasal dari pelayanan yang diberikan oleh BPN sesuai
dengan tugas dan fungsinya di bidang pertanahan. Penggunaan sebagian dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, menurut Surat Edaran Sekretaris Jenderal Depkeu RI
Nomor: S-389/SJ/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor: SE05/PJ. 12/2006 tentang Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan
Pajak, Instansi Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyampaikan Laporan Bulanan realisasi
19. Rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah hasil penghitungan/penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diperkirakan akan
diterima dalam 1(satu) tahun yang akan datang (Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian
Rencana dan laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak), memuat sekurang-kurangnya mengenai jenis, tarif, periode dan jumlah
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Juli Tahun Anggaran berjalan
20. Sebagai bukti transaksi adanya setoran penerimaan negara Pejabat Instansi Pemerintah adalah Sekretaris Jenderal atau pemegang jabatan
setingkat yang berfungsi sebagai Sekretaris Jenderal pada Instansi Pemerintah (Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor1 Tahun 2004
tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak).
21. Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah daftar yang memuat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah dicapai/diproleh
dalam periode tertentu (Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak).
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 73
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Penerimaan Negara Bukan Pajak setiap tanggal 10 bulan berikutnya kepada Sekretaris Jenderal u. p.
Biro Perencanaan dan Keuangan serta tembusan disampaikan kepada Sekretaris Dirjen Pajak u. p.
Kepala Bagian Keuangan22. Walaupun Penerimaan Negara Bukan Pajak memiliki sifat segera harus
disetorkan ke kas negara, namun sebagian dana dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah
dipungut dapat digunakan untuk kegiatan tertentu23 oleh instansi yang bersangkutan.
Pemberian ijin penggunaan dan besaran jumlah ditentukan oleh Menteri Keuangan melalui
Keputusan Kementerian Keuangan, setelah Pimpinan instansi pemerintah mengajukan permohonan
yang sedikitnya dilengkapi dengan:
1) tujuan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak antara lain untuk meningkatkan
pelayanan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan produktivitas kerja serta
meningkatkan efisiensi perekonomian;
2) rincian kegiatan pokok instansi dan kegiatan yang akan dibiayai Penerimaan Negara Bukan Pajak;
3) jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak beserta tarif yang berlaku; dan
4) laporan realisasi dan perkiraan tahun anggaran berjalan serta perkiraan untuk 2 (dua) tahun
anggaran mendatang.
Kegiatan penatausahaan sebagian dana dari Penerimaan Negara Bukan Pajak ini dilakukan oleh
pimpinan instansi/bendaharawan penerima dan bendaharawan pengguna, yang ditunjuk setiap
awal tahun anggaran. Apabila terdapat saldo lebih maka pada akhir tahun anggaran wajib disetor
seluruhnya ke Kas Negara.
5) Penerimaan Negara Bukan Pajak Terutang
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dibayar pada suatu saat atau dalam suatu periode
tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku disebut Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Terutang. Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang ditentukan
dengan cara:
a). ditetapkan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian paten, pelayanan pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan penjualan karcis masuk; atau
b). dihitung sendiri oleh Wajib Bayar24, antara lain pemanfaatan sumber daya alam.
Juklak Penerimaan Negara Bukan Pajak terutang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Terutang, dihitung dengan menggunakan tarif:
a). spesifik25;
b). advalorem26 ; atau
c). ketentuan perundang-undangan27.
22. Format Laporan terdapat dalam Lampiran Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-05/PJ. 12/2006 tentang Laporan Realisasi Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
23. Yang dimaksud dengan kegiatan tertentu meliputi bidang-bidang kegiatan: penelitian dan pengembangan teknologi, pelayanan kesehatan,
pendidikan dan pelatihan, penegakan hukum, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, pelestarian sumber daya alam (Pasal 4
ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan
Tertentu).
24. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban membayar menurut peraturan perundan-undangan
yang berlaku (Pasal 1 angka 5 UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak juncto Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang)
25. Tarif spesifik adalah tarif yang ditetapkan dengan nilai nominal uang (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009)
26. Tarif advalorem adalah tarif yang ditetapkan dengan persentase (%) dikalikan dengan satuan nilai (berupa Harga Patokan, indeks harga, kurs,
pendapatan kotor, atau penjualan bersih) yang digunakan sebagai dasar perhitungan.
27. Dalam hal ini penetapan berdasarkan formula, kontrak, putusan pengadilan, dan hasil lelang.
1 pembayaran dilakukan oleh instansi pembayaran dilakukan oleh wajib bayar paling lambat
pemerintah pada waktu yang pada saat jatuh tempo
ditentukan berdasarkan Peraturan
Pemerintah pembayaran dilakukan
oleh wajib bayar paling lambat pada
saat jatuh tempo
2 apabila belum dibayar, penagihan apabila belum dibayar, penagihan wajib dilakukan
dilakukan oleh Pimpinan Instansi oleh Pimpinan Instansi Pemerintah
Pemerintah (Kementerian atau Pim
pinan Lembaga Non Departemen)
selaku Pengguna Anggaran apabila
belum dibayar, penagihan wajib di
la
kukan oleh Pimpinan Instansi
Pemerintah
Untuk pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak, penyetoran dilakukan menggunakan formulir
SSBP (Surat Setoran Bukan Pajak) dan disampaikan kepada Bendahara Penerimaan Satuan Kerja28.
Wajib bayar yang menghitung sendiri Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang harus
menyampaikan surat tanda bukti pembayaran yang sah kepada Menteri Keuangan c. q. Dirjen
Anggaran. Apabila Wajib Bayar tidak melakukan pembayaran sampai melampaui jatuh tempo, maka
akan dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan dari bagian yang terutang dan bagian dari bulan dihitung
1 (satu) bulan penuh29. Pemberian denda ini juga berlaku dalam hal terjadi keterlambatan kekurangan
pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak keterlambatan kekurangan30 pembayaran Penerimaan
Negara Bukan Pajak dan hanya dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Selain
memiliki kewajiban untuk menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak, Wajib Bayar juga memperoleh
hak-hak sebagai berikut:
28. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK. 05/2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan
Penyusunan laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian/Lembaga/ Kantor/Satuan Kerja.
29. Metode perhitungan sanksi administrasi dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang, dan dapat diformulasikan sebagai
berikut: (2%x nilai PNBP yang terutang)+akumulasi denda. Keterlambatan 1 hari tetap diperhitungkan sebagai keterlambatan 1(satu) bulan
penuh
30. Kekurangan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak terjadi karena kesalahan penghitungan tarif, volume, dasar pengenaan tertentu, atau
kesalahan administrasi.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 75
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
1 dalam hal terdapat kelebihan perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang
2 dalam kondisi keuangan perusahaan kurang mendukung atau terjadi force majeur (bencana alam)
3 dalam hal berkaitan dengan kegiatan sosial, kepentingan keagamaan, kepentingan nasional,
huBendahara Umum Negaragan internasional, Wajib Bayar tidak mampu membayar kewajiban
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, mengalami kerugian, yang dibuktikan dengan
rekomendasi dari instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan.
31. Rekomendasi tertulis adalah surat Kepala BPN RI yang menjelaskan bahwa pengakhiran kegiatan usaha karena izin usaha berakhir yang
dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang; atau pailit (dibuktikan dengan putusan pengadilan).
32.Permohonan juga dapat ditolak, dalam hal perusahaan mempunyai tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang, dan setelah
ditolak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran dikembalikan ke Pimpinan Instansi Pemerintah.
33. Permohonan disertai alasan, data pendukung (berupa laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
buku berturut-turut serta data penunjang keuangan lainnya) serta dokumen lainnya berupa surat keterangan dari instansi yang berwenang.
34. Apabila disetujui oleh Kepala BPN RI, maka dalam Surat Persetujuan Kepala BPN RI akan terdapat jumlah dan jangka waktu angsuran atau
penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang. Sementara jika ditolak, Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menagih
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang paling lambat 7 (tujuh) hari sejak Surat Penolakan diterima Wajib Bayar.
4 Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat kelebihan pembayaran Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Terutang
Terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dilakukan pemeriksaan oleh instansi
berwenang untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Instansi yang berwenang adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
dan BPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya kekurangan penerimaan ini, berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Terutang, Pimpinan Instansi Pemerintah akan menerbitkan penetapan atas
kekurangan tersebut, dan wajib untuk dilunasi dengan ditambah sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan sejak Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang wajib untuk dilunasi dengan ditambah
sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kekurangan tersebut untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang.
35. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) adalah suatu dokumen yang dibuat/diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan dan disampaikan kepada Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk selaku pemberi kerja untuk
selanjutnya diteruskan kepada pejabat penerbit SPM berkenaan. Ibid. , Pasal 1 butir 11.
36. Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan kepada bendahara
pengeluaran hanya untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. Ibid. ,
Pasal 1 butir 14
37. Tambahan Uang Persediaan (TUP) adalah uang yang diberikan kepada Satuan Kerja untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam satu bulan
melebihi pagu UP yang ditetapkan. Ibid. ,Pasal 1 butir 15.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 77
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
(2) Uang Persediaan (UP) dapat diberikan kepada satuan kerja (Satuan Kerja) pengguna
sebesar 20% dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA maksimal
sebesar Rp. 500. 000. 000,- (lima ratus juta rupiah), dengan melampirkan Daftar
Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (Penerimaan Negara Bukan Pajak)
tahun anggaran sebelumnya. Apabila Uang Persediaan (UP) tidak mencukupi dapat
mengajukan Tambahan Uang Persediaan (TUP) sebesar kebutuhan riil satu bulan
dengan memperhatikan maksimum pencairan dana (MP).
(3) Dana yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat dicairkan maksimal
sesuai formula sebagai berikut:
MP = (PPP x JS) – JPS;
Keterangan:
MP = maksimum pencairan dana;
PPP = proporsi pagu pengeluaran terhadap pendapatan;
JS = jumlah setoran;
JPS=jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM terakhir yang diterbitkan.
Dalam pengajuan SPM-Tambahan Uang Persediaan (TUP)/GUP/LS Penerimaan Negara
Bukan Pajak ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)38, Satuan Kerja
pengguna harus melampirkan Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan Dana.
(4) Untuk Satuan Kerja pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan
dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan Surat
Setor Bukan Pajak.
(5) Satuan Kerja pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat),
pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (Surat Setor Bukan Pajak) yang telah
dikonfirmasi oleh KPPN.
(6) Besaran PPP untuk masing-masing Satuan Kerja pengguna diatur berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku.
(7) Besarnya pencairan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak secara keseluruhan
tidak boleh melampaui pagu Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Kerja yang
bersangkutan dalam DIPA.
(8) Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/Tambahan Uang Persediaan (TUP)
Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Kuasa PA, dilakukan dengan mengajukan SPM ke
KPPN setempat cukup dengan melampirkan SPTB.
(9) Khusus STPN selaku pengguna Penerimaan Negara Bukan Pajak, sisa dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang disetorkan pada akhir tahun anggaran ke rekening Kas Negara
dapat dicairkan kembali maksimal sebesar jumlah yang sama pada awal tahun anggaran
berikutnya mendahului diterimanya DIPA dan merupakan bagian dari target Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran berikutnya.
b). Sisa dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Satuan Kerja pengguna di luar butir i),
yang disetorkan ke rekening kas negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian
realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun anggaran berikutnya dan
dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah diterimanya DIPA.
38. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. kerja lainnya. Ibid. ,Pasal 1 butir 4.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 79
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
2) Setelah menerima SPP, Pejabat Pengujian dan Penandatangan SPM menerbitkan SPM
dengan mekanisme sebagai berikut:
a) Penerimaan dan pengujian SPP Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas
SPP, mengisi check list kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan
penerimaan SPP dan membuat/menandatangani tanda terima SPP berkenaan.
Selanjutnya petugas penerima SPP menyampaikan SPP dimaksud kepada pejabat
penerbit SPM.
b) Pejabat penerbit SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:
(1) Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(2) Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh keyakinan
bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran.
(3) Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan/atau kelayakan hasil kerja yang dicapai
dengan indikator keluaran.
(4) Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:
− Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/ perusahaan,
alamat, nomor rekening dan nama bank);
− Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan/atau kelayakannya dengan
prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak);
− Jadual waktu pembayaran.
c) Memeriksa pencapaian tujuan dan/atau sasaran kegiatan sesuai dengan indikator
keluaran yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan/atau spesifikasi teknis yang
sudah ditetapkan dalam kontrak.
3) Setelah dilakukan pengujian terhadap SPP-Uang Persediaan (UP)/SPP-Tambahan Uang
Persediaan (TUP)/SPP-GUP (UP)/SPPLS, Pejabat Penguji SPP dan penandatangan SPM
menerbitkan SPM Uang Persediaan (UP)/SPM-Tambahan Uang Persediaan (TUP)/SPM-
GUP(UP)/SPM-LS39 dalam rangkap 4 (empat):
a) Lembar kesatu dan kedua disampaikan kepada KPPN;
b) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada Satuan Kerja yang bersangkutan;
c) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada penerbitan SPM.
Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran/ Penanggung jawab Kegiatan/ Pembuat Komitmen beserta dokumen
pendukung40 dan disertai Arsip Data Komputer (ADK)41 berupa soft copy (disket) melalui
loket Penerimaan SPM pada KPPN atau melalui Kantor Pos, kecuali bagi Satuan Kerja
yang masih menerbitkan SPM secara manual tidak perlu Arsip Dokumen Kantor.
39. Terdapat beberapa jenis Surat Perintah Membayar (SPM), di antaranya adalah (1) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) adalah
surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk pekerjaan yang akan dilaksanakan dan
membebani Mata Anggaran Pengeluaran (MAK) transito. (2) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TUP) adalah surat
perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran karena kebutuhan dananya melebihi pagu uang
persediaan dan membebani MAK transito. (3) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-GUP
adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dengan membebani DIPA, yang
dananya dipergunakan untuk menggantikan uang persediaan yang telah dipakai. (4) Surat Perintah Membayar Langsung (SPMLS) adalah surat
perintah membayar langsung kepada pihak ketiga yang diterbitkan Oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atas dasar perjanjian
kontrak kerja atau surat perintah Kerja lainnya. Ibid. , Pasal 1 butir 16--19.
40. Ketentuan selengkapnya mengenai dokumen pendukung untuk masing-masing jenis SPM dapat dibaca pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor Per-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pasal 9.
41. Arsip Data Komputer (Arsip Dokumen Kantor) adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data
transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang
Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Bodul Penerimaan Negara, op. cit, Pasal 1 butir 19
Sebelum menerbitkan SP2D, KPPN melakukan pengujian SPM yang mencakup pengujian yang
bersifat substansif dan formal. Pengujian substantif dilakukan untuk:
a). menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
b). menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang ditunjuk dalam
SPM tersebut;
c). menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat Keputusan, Daftar
Nominatif Perjalanan Dinas);
d). menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/Satuan Kerja atau pejabat
lain yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
e). menguji faktur pajak beserta Surat Setor Pajaknya;
Sedangkan pengujian SPM yang mencakup pengujian yang bersifat formal dilakukan untuk:
a) mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan spesimen tandatangan;
b) memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf;
c) memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam
penulisan.
Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan penerbitan SP2D bilamana SPM yang
diajukan memenuhi syarat yang ditentukan atau pengembaliaan SPM.43 Surat Perintah
Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa
Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan
SPM. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 13. kepada penerbit SPM, apabila tidak memenuhi
syarat untuk diterbitkan SP2D. Penerbitan SP2D oleh KPPN dilakukan dengan cara:
a) SP2D ditandatangani oleh Seksi Perbendaharaan dan Seksi Bank/Giro Pos atau Seksi
Bendum.
b) SP2D ditebitkan dalam rangkap 3 (tiga) dan dibubuhi stempel timbul Seksi Bank/Giro
Pos atau Seksi Bendum yang disampaikan kepada:
− Lembar 1: Kepada Bank Operasional.
− Lembar 2: Kepada penerbit SPM dengan dilampiri SPM yang telah dibubuhi Cap “
Telah diterbitkan SP2D tanggal …. Nomor .
− Lembar 3: Sebagai pertinggal di KPPN (Seksi Verifikasi dan Akuntansi), dilengkapi
lembar ke-1 SPM dan dokumen pendukungnya.
Dengan diterbitkannya SP2D, bank operasional akan mengkredit sejumlah uang ke nomor
dan nama rekening sesuai yang tertera dalam SP2D.
42. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk
pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 13.
43. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu, op.
cit. , Pasal 8 ayat (1).
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 81
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 77/KMK. 06/2003 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan
Nasional, sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari tiap-tiap jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak diizinkan oleh Menteri Keuangan untuk digunakan membiayai masing-
masing kegiatan. Izin penggunaan paling tinggi adalah sebesar persentase tertentu dari
realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari tiap-tiap jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak. Ini berarti bahwa sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari
Pelayanan Pendaftaran Tanah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan dalam
rangka pelayanan pendaftaran tanah, sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berasal dari Pelayanan Informasi Pertanahan hanya dapat digunakan untuk membiayai
kegiatan dalam rangka pelayanan informasi pertanahan, dan seterusnya.
44. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu, op.
cit. , Pasal 8 ayat (1). 166
45. Ibid. , Pasal 4 ayat (2).
Dalam upaya pencapaian target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, BPN
menghadapi hambatan-hambatan sehingga realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak tidak sesuai dengan target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diharapkan. Tidak
tercapainya target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dialokasikan pada BPN RI tahun
anggaran 2009 disebabkan antara lain46:
1) terdapat beberapa pihak yang belum/tidak menyetor angsuran tuntutan ganti rugi
sebagaimana seharusnya;
2) realisasi pada pendapatan penjualan, sewa, jasa, dan Bendahara Umum Negaraga pada
periode ini tidak sesuai dengan target anggarannya;
3) di beberapa daerah, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengurusan hak atas
tanah yang dikuasainya masih rendah; dan
4) kondisi sosial ekonomi mayarakat yang belum mendukung.
Apabila terdapat satuan kerja yang realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak-nya melampaui target penerimaan, satuan kerja tersebut dapat mengajukan revisi
penambahan pagu belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak. Revisi penambahan pagu
belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan agar sebagian dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berhasil direalisasi dapat dimanfaatkan untuk memberikan
dan meningkatkan pelayanan. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK.
02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan
Pajak pada Badan Pertanahan Nasional, telah menyetujui sebesar persentase tertentu
dari realisasi dana Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk digunakan, namun penggunaan
dana Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak boleh melebihi pagu belanja Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang telah ditetapkan. Realisasi penerimaan Penerimaan Negara
46. Dalam Laporan Realisasi Anggaran Kementerian/Lembaga untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2009 terungkap bahwa BPN tidak mampu
memenuhi target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun anggaran 2008 dan 2009. Pada tahun anggaran 2008, dari target
penerimaan sebesar Rp. 1. 375. 968. 231. 664,- yang terealisasi sebesar 918. 323. 461. 350,- (66,74%). Sementara pada tahun anggaran 2009,
dari terget penerimaan sebesar RP 1. 392. 973. 187. 105,- yang terealisasi sebesar Rp. 1. 000. 093. 464. 379,- (71. 80%). Badan Pertanahan
Nasional, Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk Periode yang Berakhir 31 Desember 2009 Tahun Anggaran
2009, (Jakarta: BPN RI, 2010), hal. 28.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 83
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Bukan Pajak yang melampaui target penerimaan tidak serta merta menambah pagu
belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak. Jika tidak terdapat revisi penambahan pagu
belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak padahal realisasi penerimaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak melampaui target, selisih lebih realisasi penerimaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak dapat diperhitungkan sebagai realisasi penerimaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak tahun anggaran berikutnya dan dapat digunakan pada tahun
anggaran berikutnya.
47. Badan Pertanahan Nasional, Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2010 di Lingkungan BPN RI, (Jakarta: BPN RI, 2010), hal. 23
48. Ibid. , hal. 24 dan 25
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 85
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Keuangan dengan Aplikasi Sistem Akuntansi Instansi (SAI) setiap Kepala Kantor sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran wajib membentuk:
a) Kantor Pertanahan membentuk Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA)
yang mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut:
b) memproses dokumen sumber berupa RKA-KL, Surat Setor Pajak (SSP), Surat Setor
Bukan Pajak (SSBP), Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB), DIPA, Revisi DIPA,
SPM, SP2D, dan dokumen lain yang dipersamakan untuk menghasilkan Laporan
Keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Catatan atas
Laporan Keuangan;
c) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor (ADK) setiap bulan
ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan melakukan rekonsiliasi
dengan KPPN setiap bulan;
d) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor hasil rekonsiliasi
dengan KPPN setiap bulan kepada Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran
Wilayah (UAPPA-W) dan Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Tingkat
Eselon I (UAPPA-E1/UAPA); dan
e) menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan disertai dengan Catatan
atas Laporan Keuangan dan Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Satuan
Kerja.
2) Kantor Wilayah BPN di samping sebagai Satuan Kerja (UAKPA) juga wajib membentuk
Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPAW) yang mempunyai
tugas dan kewajiban sebagai berikut:
a) melakukan proses penggaBendahara Umum Negaragan laporan keuangan yang
berasal dari UAKPA di wilayah kerjanya termasuk laporan realisasi anggaran
pembiayaan dan perhitungan (bila ada);
b) menyusun laporan keuangan tingkat UAPPA-W berdasarkan hasil penggaBendahara
Umum Negaragan laporan keuangan dari tingkat UAKPA di wilayah kerjanya.
c) menyampaikan laporan keuangan tingkat UAPPA-W beserta Arsip Dokumen
Kantor kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayahnya
masingmasing setiiap bulan dan melakukan rekonsiliasi setiap triwulan;
d) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor setiap bulan ke
UAPPAE1/UAPA setiap bulan; dan
e) menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan secara lengkap (disertai
Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Kantor Wilayah masing-masing).
Laporan keuangan seluruh entitas akuntansi yang berada di bawah BPN RI
selanjutnya dikompilasi menjadi Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia yang selanjutnya akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia. Berdasarkan Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia untuk Periode yang Berakhir 31 Desember Tahun Anggaran
berjalan (Final).
3) Membuat Maksimal Pencairan Penerimaan Negara Bukan Pajak melalui Aplikasi SPM.
Aplikasi SPM telah menyediakan fasilitas untuk merekam dan mencetak Maksimal
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 87
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
Rupiah
700.000.000.000
600.000.000.000
500.000.000.000
400.000.000.000
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
0
PROV. JABAR PROV. JATENG PROV. SULTRA PROV. KALTENG PROV. BENGKULU
n PENERIMAAN 421.424.853.035 653.090.322.686 172.958.645.961 30.919.784.334 10.707.044.054
n PENYERAPAN 347.342.967.846 622.973.359.278 170.916.642.327 21.550.167.395 7.098.140.421
n SISA PNBP 74.081.885.188 30.215.963.408 2.042.003.634 9.369.616.938 2.808.903.633
Gambar 8 Optimalisasi Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun Anggaran 2009-2011
Dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun
2010 ada penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak besar tetapi penggunaannya hanya
Rp. 42.000,- (85,54% x Rp. 50.000,) karena bersifat administrasi biasa, contohnya adalah
Pendaftaran Hak Tanggungan. Begitu pula adanya penumpukkan Penerimaan Negara Bukan
Pajak dan penyerapan anggaran yang terjadi pada akhir tahun anggaran (antara Agustus dan
Oktober), sehingga terjadi penggunaan anggaran di akhir tahun.
Saat ini sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak yang sudah di Surat Setor Bukan Pajak (SSBP)
hanya bisa digunakan atas saldo pada tahun anggaran berikutnya, tetapi hal ini juga
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 91
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
tidak mudah dikarenakan Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada awal tahun
anggaranpun sangat terbatas, dimana penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat
diberikan Uang Persediaan sebesar 20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara
Bukan Pajak, jika belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) Penerimaan Negara Bukan
Pajak hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabe;as) dari pagu dana
Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp. 200. 000. 000,- (dua ratus juta
rupiah) atau memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar
UP yang diberikan, dan itupun akan membebani anggaran tahun berikutnya.
ADMIN PENDF HAK 1 50.000 50.000 85,54 % 42. 770 42.000 770
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 93
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
c. Permasalahan Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Analisis Kantor Wilayah BPN
dan Kantor Pertanahan pada Focus Group Discution.
1) Kanwil Prov DKI: PNBP pelayanan di DKI sangat tinggi tetapi karena penerimaannya lebih
besar pada pertengahan tahun sehingga ada penumpukkan dan penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak pada akhir tahun, selain daripada itu adanya Kegiatan yang diblokir
dan dibuka pada akhir tahun anggaran sulit digunakan karena melalui proses lelang;
2) Kanwil Prov Jabar: Penerimaan Negara Bukan Pajak dr Pelayanan Pendaftaran Hak
Tanggungan mempunyai Penerimaan Negara Bukan Pajak yang besar dari Rp. 50.000,- sd
Rp. 2.5000.000,- tetapi penggunaannya hanya Rp. 43.500,- karena kegiatan tsb bersifat
administrasi, sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut tidak dapat digunakan secara
optimal;
3) Kanwil Prov Jabar: PMK No. 134/PMK. 06/2005 dg Juknis Perdirjen Perbendaharaan No.
66/PB/2005 dipandang lebih fleksibel dalam penggunaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak dibanding dg PMK No. 190/PMK. 05/2012 ttg Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka
Pelaksanaan APBN jo Perdirjen PB No. Per-17/PB/2013 ttg Ketentuan Lebih Lanjut Tata
Cara Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Beban APBN;
4) Kondisi penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pd Satuan kerja BPN permasalahannya
hampir sama, yaitu satu sisi ada Satuan kerja Kantah dg Penerimaan Negara Bukan Pajak
tinggi dan satu sisi ada satu sisi Satuan kerja Kantah yang Penerimaan Negara Bukan Pajak
rendah, diharapkan ada subsidi silang untuk penggunaan antar Satuan kerja;
d. Implikasi Penerapan Mekanisme Subsidi Silang pada Badan Pengawas Obat dan Makanan
1) Mulai terjadi peningkatan realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
melebihi target penerimaan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan;
2) Penambahan dan penajaman Catchment Area kegiatan yang didanai dari Penerimaan
Negara Bukan Pajak sehingga meningkatkan mobilitas dan kinerja padar pengelola
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan pelaksana kegiatan;
3) Terpenuhinya kebutuhan minimal pembiayaan kegiatan yang didanai dari Penerimaan
Negara Bukan Pajak, selebihnya berdasarkan pertimbangan prioritas kegiatan yang
memang harus dipenuhi dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak seperti untuk
pembiayaan Diklat dan pengadaan belanja modal;
4) Mulai terwujudnya tertib administrasi penglolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak,
dimana ketersediaan alokasi dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak
menimbulkan fleksibelitas pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mampu
mencegah timbulnya masalah-masalah internal stuan kerja, seperti Penerimaan Negara
Bukan Pajak terlambat/belum disetor ke Kas Negara, pungutan tanpa dasar hukum dan
penggunaan langsung setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Sumber: Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI dari Hasil Rekonsiliasi Ditjen
Perbendaharaan Kemenkeu, 2012.
Belum maksimalnya penyerapan anggaran yang bersumber dari PNBP Pelayanan Pertanahan
dikarenakan antara lain49:
1) Sampai akhir tahun anggaran masih terdapat dana yang diblokir.
2) Penetapan target/estimasi penerimaan terlalu tinggi, sehingga Maksimum Pencairan dana PNBP
kurang dari Pagu DIPA, akibatnya realisasi belanja dibandingkan dengan Pagu DIPA rendah.
3) Kesalahan prediksi perhitungan penerimaan biaya pelayanan pertanahan khususnya pada kegiatan
Non Operasional, akibatnya dana menumpuk/melebihi pagu dan tidak mampu menyerap.
Penerimaan dana PNBP antar Satuan Kerja tidak merata dan tidak bisa subsidi silang antar Satuan
Kerja. Ada Satuan Kerja yang penerimaannya melebihi target penerimaan, ada Satuan Kerja yang
49. Makalah Kepala Biro keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI dalam Focus Group Discution di Hotel Akmani Jakarta, 29 Oktober 2013.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 95
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
Faktor Penyebab Tidak Optimalnya pemanfaatan dana PNBP BPN RI menurut Kepala Biro
Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, diantaranya adalah:
1) Terdapat kesulitan dalam menetapkan besaran alokasi penggunaan dana tiap satker, karena
kondisi di lapangan yang dinamis, sehingga dalam pelaksanaannya sering ditemui kondisi pagu
penggunaan dan target penerimaan PNBP yang terlalu rendah ataupun terlalu besar. Untuk
mengakomodasi kondisi pagu penggunaan dan target penerimaan yang terlalu rendah harus
dilakukan revisi penambahan target penerimaan dan pagu penggunaan pada setiap satuan
kerja yang memerlukan waktu yang cukup lama.
2) Mekanisme penanggaran DIPA yang ada saat ini memberlakukan bahwa dana penerimaan
dan penggunaan PNBP diperhitungkan langsung dan dialokasikan sekaligus pada DIPA Satker
yang bersangkutan. Sehingga pada pelaksanaan anggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran
anggaran antar satuan kerja. Sehingga di satu satker memiliki pagu penggunaan yang berlebih
dan di satker yang lain memiliki pagu penggunaan yang terlalu rendah. Kondisi ini secara nasional
menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP
3) Penerimaan yang diterima di akhir tahun tidak dapat diggunakan mengingat batas waktu
pencairan anggaran. Penerimaan PNBP tersebut dapat disetorkan pada tahun anggaran
berikutnya, tetapi penggunaannya tidak dapat dilaksanakan pencairan anggaran.
2007 1.210.483.583.000 797.647.526.886 65,89 683.256.334.000 318.828.476.195 46,66 478. 819. 050. 691 46,66
2008 1.375.968.231.664 926.782.044.167 67,35 582.080.135.000 361.092.705.749 62,03 565. 689. 338. 418 62,03
2009 1.392.973.187.105 1.000.104.152.879 71,8 857.394.856.000 399.871.363.769 46,64 600. 232. 789. 110 46,64
2010 1.434.996.710.872 1.201.372.234.603 83,72 894.941.793.000 481.587.510.075 53,81 719. 784. 724. 528 53,81
2011 1.540.328.409.432 1.300.389.275.753 84,42 1.340.136.897.000 587.805.004.095 43,86 712. 584. 271. 658 43,86
2012 1.700.000.000.000 1.544.997.000.000 90,88 1.452.874.333.000 830.290.555.038 57,15 714. 706. 444. 962 57,15
JUMLAH 9.654.748.099.073 7.443.006.399.607 75,89 6.379.891.031.000 3.305.823.547.116 52,50 4. 137. 182. 852. 491 52,50
Sumber data: Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, 2013.
1.800.000.000.000
1.600.000.000.000
1.400.000.000.000
1.200.000.000.000
1.000.000.000.000
800.000.000.000
600.000.000.000
400.000.000.000
200.000.000.000
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
n PENERIMAAN n PENERIMAAN n BELANJA n BELANJA
PAGU REALISASI PAGU REALISASI
Gambar 9 Realisasi Penerimaan dan Belanja PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012
Sisi Realisasi Penerimaan PNBP BPN RI terdapat peningkatan yang cukup siginifikan dari tahun
2011 mencapai Rp. 1,3 Trilyun dibandingkan realisasi tahun 2006 sebesar Rp. 671 Milyar
meningkat dua kali lipat, begitu juga dalam penggunaan PNBP terjadi penurunan nilai riil
kemampuan penyerapan penggunaan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 97
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
2012 714.706.444.962
2011 712.584.271.668
2010 719.714.724.528
2009 600.232.489.110
2008 565.689.338.418
2007 478.819.050.691
2006 345.366.233.124
Dengan keterbatasan anggaran di badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, banyak fasilitas
pelayanan pertanahan di satuan kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak terawat dan meminjam dari pemerintah daerah,
bahkan ada kantor gedungnya menyewa (32 unit), begitu juga kendaran dinas dan rumah dinas.
Sebagian besar rumah dinas dan kendaran dinas yang baik dan layak ada di beberapa kantor di
Pulau jawa dan Pulau Sumatera, sedangkan di luar kedua pulau tersebut banyak kantor yang
kondisi fisiknya sangat memprihatinkan.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 99
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
1 Jawa Barat 1. Pada tahun 2010 ada beberapa kegiatan yang masuk dalam Penerimaan Negara Bukan
Pajak tidak dapat dilaksanakan diakrenakan setelah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2010 tanggal 22 Januari 2010 dan KMK No. 237/KMK. 022/2010 tanggal 19 Mei
2010 yang penetapan PP dan KMK tersebut pada saat berjalannya tahun anggran, maka
terkendala dalam pelakasnaan kegiatan karena pemberlakuannya setelah dikeluarkannya
KMK tersebut.
2. Pada Tahun 2011 ada kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak Pertimbangan Teknis
Pertanahan dimana petunjuk teknis dalam Perkaban No. 2 Tahun 2011 ttg Pedoman
Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin
Perubahan Penggunaan Tanah tanggal 4 Februari 2011 tidak sinkron antara Petunjuk Teknis
tersebut dengan mekanisme penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak.
2 Jawa Tengah 1. Kurang koordinasi dan komunikasi antar seksi dan tata usaha, sehingga kesulitan dalam
penyusunan perencanaan kegiatan dan anggaran.
2. Tidak adanya parameter atau indikator sebagai penentu besaran anggaran PNB dalam
pelayanan pertanahan
3. Kurangnya data awal dalam menentukan prakiraan penerimaan bukan pajak dari pelayanan
pertanahan.
4 Sulawesi Tenggara 1. Kegiatan sekoper yang tidak dapat ditentukan karena jadwal persidangan yang diberitahu
sewaktu-waktu;
2. Seringnya perubahan aturan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kantor
Perbendaharaan dan belum disosialiasikan ke pengguna anggaran.
3. Kurangnya sosialisasi dalam penyusunan dan perencanaan anggaran antara BPN RI, Kanwil
BPN Provinsi dengan Kantah Kab/Kota.
5 Kalimantan Tengah 1. Adanya perbedaan harga satuan dalam penggunaan anggaran pengukuran dan pemetaan,
dimana jika satuan Orang Kegiatan (OK) penyerapannya lebih kecil dibandingkan Orang
Bidang (OB).
2. Ketidakpahaman dari masing-masing seksi,khususnya seksi SPP dalam menentukan harga
satuan pengukuran bidang tanah.
3. Revisi DIPA yng diajukan ke BPN Pusat tidak keluar sampai akhir tahun anggaran.
4. Aplikasi dalam SIMAK BMN yang sering tidak sinkron antara Kantah dengan Kantor Pelayanan
Perbencaharaan Negara;
5. Usulan kegiatan komponen teknis untuk tahun anggaran yang akan datang tidak diajukan
pada awal tahun, sehingga kesulitan dalam penyusunan rencana kegiatan untuk tahun
anggaran yang akan datang;
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 101
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
2. Kegiatan Pelaksanaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 ttg Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak
1 Jawa Barat 1. Juknis jika ada perubahan pelaksanaan kegiatan pada tahun berjalan
2. Juknis untuk masing-masing kegiatan komponen teknis dan tata usaha
3. Juknis penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pelayanan Pendaftaran Hak
Tanggungan [Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)] dengan Nilai Hak
Tanggungan, dimana besarnya Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Rp. 50. 000,- sampai
dengan Rp. 50. 000. 000,- tetapi penggunaannya hanya pekerjaan administrasi (Honor Terkait
Output Kegiatan MAK 521213) atau hanya berkisar Rp. 50. 000,- sehingga banyak sedikitnya
dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat digunakan (terserap).
4. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA untuk
tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan kegiatan
pada Komponen Teknis yang bersangkutan.
5. Juknis Pertimbangan Teknis Perkaban No. 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan
Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan
Penggunaan Tanah;
6. Juknis Penyuluhan lapang untuk semua kegiatan;
7. Juknis Pembinaan PPAT;
8. Petunjuk teknis kegiatan dari masing-masing komponen teknis yang berkaitan dengan
penggunaan anggaran;
9. Sosialisasi dalam mempercepat pembukaan blokir pada DIPA tahun berjalan.
2 Jawa Tengah 1. Tidak optimalnya penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari pelayanan
pengukuran karena harga satuan kegiatan pengukuran (OK) yang tidak optimal dalam
penyerapan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
2. Tidak adanya alur kegiatan atau petunjuk pelaksanaan penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak pelayanan pertimbangan teknis pertanahan.
4 Sulawesi Tenggara 1. Adanya perubahan struktur anggaran kegiatan operasional dan dukungan operasional.
2. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seharusnya diperlukan petunjuk teknis diantaranya
pengukuran bidang tanah, permberdayaan masyarakat, identifikasi tanah terlantar dan
penyusunan RKAK/L.
3. Karena kekurangan juru ukur, apa dimungkinkan kakantah yang sebelumnya menjadi juru ukur
dapat sebagai koordinator pengukuran serta koordinator kegiatan lainnya.
1 Jawa Barat 1. Adanya blokir (pemberian bintang dalam DIPA) dalam kegiatan Belanja Barang
2. Pelaksanaan pembayaran struktur kegiatan di akhir tahun (penerimaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak Bulan Nopember dan Desember).
3. Kekurangan SDM dalam pengelolaan keuangan.
4. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA untuk
tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan kegiatan
pada Komponen Teknis yang bersangkutan.
5. Perjalanan Dinas kegiatan pengukuran dalam satuan OH (Orang per-Hari) tidak bisa
dilaksanakan atau akuisisi dalam satuan bidang, seharusnya dalam satuan Orang per-Bidang
(OB).
6. Dalam isian DIPA terutama dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak terlalu detail dalam
rincian kegiatannya.
7. Kontinyunitas pembinaan tentang DIPA dan RKAKL, terutama dalam hal:
a. Jadwal penyusunan anggaran tahun yang akan datang;
b. Penyusunan TOR, merinci biaya per sub kegiatan dan serta kelengkapan dokumen usulan
kegiatan tahun yang akan datangl;
c. Jenis usulan kegiatan dan mekanisme pencairan kegiatan;
8. Merespon usulan-usulan dari daerah.
9. Kendala dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran
a. Kekurangan SDM dalam pengelolaan keuangan
b. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA
untuk tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan
kegiatan pada Komponen Teknis yang bersangkutan.
10. Saran dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran
a. Menambah SDM dalam bidang pengelolaan keuangan atau diperbantukannya SDM dari
komponen teknis untuk sama-sama menyusun RKAKL sehingga APBN untuk tahun depan
dapat sesuai dengan keinginan dari komponen teknis.
b. Komponen teknis untuk segera menyiapkan pencairan dan luncuran Penerimaan Negara
Bukan Pajak pada bulan Januari dan Februari pada penerimaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak bulan Nopember dan Desember tahun sebelumnya, jika ada estimasi
penerimaan dan pengeluaran agar cepat diketahui dan direvisi DIPA yang bersumber dana
dari Penerimaan Negara Bukan Pajak.
c. Sosialisasi bersama teknis perencanaan atau penyusunan RKAKL dari Biro Perendanaan
dan Kerjasama Luar Negeri dengan Biro Keuangan dari BPN RI pada kantor-kantor
pertanahan.
d. Sosialisasi dalam mempercepat pembukaan blokir pada DIPA tahun berjalan, karena
sebagian besar blokir tersebut merupakan kegiatan pengadaan barang dan jasa dan
pembukaan blokir terjadi pada bulan-bulan Oktober sehingga Pejabat ataupun Panitia
Pengadaan Barang dan Jasa tidak dapat melaksanakan kegiatan tersebut karena
pendeknya waktu antara buka blokir dengan pelaksanaan kegiatan
e. Perlunya kebijakan tentang penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pelayanan
Pendaftaran Hak Tanggungan [Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)],
sehingga dapat memperbesar penggunaan dari penerimaan pelayanan tersebut
f. Perlunya sinkronisasi antara petunjuk teknis kegiatan dengan kegiatan yang tersedia dalam
nomenklatur Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) dan Pera turan Menteri
Keuangan tentang Standar Biaya Tahun Anggaran.
g. Sebaiknya pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang setorannya
secara Terpusat sehingga pada kantah dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
besar dapat di serap atau di alokasikan pada kantah-kantah yang penerimaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak-nya kecil.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 103
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
2 Jawa Tengah 1. Dilakukan sosialisasi dan pembelajaran dalam perencanaan kegiatan dan perencanaan
anggaran;
2. Mengalokasikan kegiatan yang dibiayai oleh Rupiah Murni pada kantor pertanahan yang
volume pelayanannya rendah.
3. Menambah tenaga ukur dan membuat satuan biaya pengukuran yang dapat mengoptimalkan
penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
4. Menyederhanakan sistem pertanggung jawaban penggunaan anggaran, karena dengan
banyaknya kegiatan tidak mempunyai waktu untuk membuat pertanggung jawaban
administrasi.
5. Penglokasian anggaran dari pelayanan pertanahan dapat juga dipergunakan oleh tenaga
honorer, tata usaha, komponen teknis lainnya.
3 Bengkulu 1. Satuan kerja bekerja sesuai dengan jadawal perencanaan yang sudah dibuat dan disepakati.
2. Adanya on job trainig dan pelatihan untuk penyusunan perencanaan kegiatan dan anggaran;
4 Sulawesi Tenggara 1. Diperlukan On Job Training (OJT) untuk penyusunan RKAK/L dan alokasi anggaran kegiatan
dalam perencanaan;
2. Kegiatan yang penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dan RM sebaiknya
disediakan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan penggunaan anggaran;
3. Sebaiknya pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang setorannya secara
Terpusat.
4. Sinkronisasi data antara KKP dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13Tahun 2012,
diantaranya pemetaan tematik, pertimbangan teknis dan lainnya.
5 Kalimantan Tengah 1. Perlunya sosialisasi tentang mekanis revisi DIPA dan POK;
2. Perlunya pembekalan bagi komponen teknis untuk membuat perencanaan anggaran dan
pelaksanaan anggaran;
3. Pembinaan berkala tentang perencanaan dan pelaksanaan anggara ke tiap-tiap kantor
pertanahan pada awal tahun anggaran.
4. Diperlukan petunjuk teknis penggunaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari.
untuk kegiatan potensi tanah, tematik dan pertimbangan teknis pertanahan
5. Sosialisasi perubahan pagu anggaran saat perubahan dari pagu indikatif ke pagu sementara
dan dari pagu sementara ke pagu definitif.
800.000.000.000
700.000.000.000
600.000.000.000
500.000.000.000
n SSBP PNBP
400.000.000.000
n PENGGUNAAN
300.000.000.000
200.000.000.000
100.000.000.000
0
P. Jawa P. Sumatera P. Kalimantan P. Sulawesi P. Bali dan P. Papua dan
Nusatenggara Maluku
Gambar 11 Rata-rata Realisasi dan Penggunaan PNBP BPN RI tahun anggaran 2012
300 148. 000 80% x 85,54% x 148.000 101. 279,36 2 50.000 100% x 85,54% x 50.000 42.770
500 180. 000 80% x 85,54% x 180.000 123. 177,60 3 200 000 100% x 85,54% x 50.000 42.770
600 196. 000 80 % x 85,54 % x 196.000 134. 126,72 4 200.000 100% x 85,54% x 50.000 42.770
1000 260. 000 80% x 85,54% x 260.000 177. 923,20 5 2.500.000 100% x 85,54% x 50.000 42.770
JML 900. 000 80% x 85,54% x 900.000 615. 888,00 5 3.000.000 100% x 85,54% x 250.000 213.850
3. Pegakkan
Hukum, RUMUS RUMUS
4. Pogram (Rp. 900. 000 X 85,54 %) – Rp. 615. 888 (Rp. 3. 000. 000 X 85,54 %) – Rp. 213. 850
Dukungan = Rp. 769. 860 – Rp. 615. 888 = Rp. 2. 566. 200 – Rp. 213 850
Manajemen dan = Rp. 153. 972,- = Rp. 2. 352. 350,-
5. Program Atau Atau
Peningkatan RUMUS RUMUS
Sarana 20 % X 85,54 % X SSBP = 85,54 % X {SSBP – (Rp. 50. 000 x Jml Perm)
Prasarana = 20 % X 85,54 % X Rp. 900. 000 = 85,54 % X {Rp. 3. 000. 000 – (Rp. 50. 000 X 5)}
(PDPS) = Rp. 153. 972,- = 85,54 % X {Rp. 3. 000. 000 – Rp. 250. 000}
Atau = 85,54 % X Rp. 2. 750. 000
RUMUS = Rp. 2. 352. 350,-
= (MP – P3)
= (85,54% X Rp. 900.000) – Rp. 615.888
= Rp. 153.972,-
Rekapitulasi
SSBP = Rp. 900.000,- SSBP= Rp. 3. 000. 000,-
MP = 85,54% x Rp. 900.000 MP = 85,54 % x Rp. 3. 000. 000
= Rp. 769.860,00 = Rp. 2. 566. 200,00
Terdiri dari P3= Rp. 615.888,00 Terdiri dari: P3 (5 permohonan)= Rp. 213. 850,00
PDPS= Rp. 153.972,00 PDPS= Rp. 2. 352. 350,00
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 107
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN
Alokasi perencanaan estimasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan mengacu
pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan
Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia sebesar 85,54%, estimasi penerimaan yang akan disetorkan pada Bank Persepsi
dengan bukti penerimaan Surat Setor Bukan Pajak (SSBP). Rincian rencana pembiayaan pelayanan
operasional lapangan maksimal 80% x (85,54%xSSBP)) sedangkan untuk rencana peningkatan
sarana dan prasarana sebesar 20% x (85,54%xSSBP)). Sedangkan rencana Penerimaan Negara Bukan
Pajak dari pelayanan administrasi sebesar 100% x (85,54% x Rp. 50. 000 x Jml Permohonan)), jika
ada kelebihan dari penerimaan tersebut dapat dipergunakan untuk rencana kegiatan peningkatan
sarana dan prasarana, mekanisme perancanaan tersebut dapat di lihat dalam Tabel 3. di atas.
2. Akurasi Penggunaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Masing-Masing Kegiatan
Gambar 12. Strategi Perencanaan Pengelolaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak
Sumber data: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2012.
Dalam upaya melaksanakan APBN secara optimal, ada beberapa langkah-langkah awal yang
harus dilakukan yaitu:
a. Optimalisasi Penyerapan Anggaran DIPA Penerimaan Negara Bukan Pajak
Terdapat perubahan Struktur Penganggaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2002, dimana pengelolaan sebagai berikut:
1) Setiap jenis kegiatan pelayanan berdiri sendiri-sendiri, biaya operasional pelayanan
sebesar Ijin Penggunaan (MP) dengan porsi penggunaan dana untuk Lapangan 60 %,
Pengolahan 20 % dan Pengelolaan 20 %;
2) Revisi penambahan pagu dapat dilakukan untuk masing-masing jenis kegiatan pelayanan
apabila penerimaannya telah melampaui target;
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 109
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN
Penerimaan HUTANG
NEGARA
Kas SSBP
Negara
SSBP > Target
= Revisi Pagu
85.54%x SSBP
SPM
PENGELUARAN KPPN Pagu DIPA/DIPA Revisi
SP2D SSBP ≤Target
- SSBP
Operasional - Ijin MP
Pelayanan
Pelaporan SSBP Sisa pekerjaan HUTANG
Nov&Des Ke KPPN dan Sisa SSBP NEGARA
Dukungan
Manajemen
Gambar 13. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional RI
2) Petugas yang ditunjuk adalah PNS/CPNS (bisa pejabat perbendaharaan ataupun staf)
Satuan kerja bersangkutan yang memahami teknis perbendaharaan baik peraturan-
peraturan maupun aplikasi terkait. Pegawai Satuan kerja yang bukan merupakan PNS/
CPNS (tenaga Honorer) tidak dapat diajukan menjadi Petugas Satuan kerja kecuali
mendapatkan dispensasi dari Direktur Jenderal Perbendaharaan sesuai prosedur yang
diatur dalam PER-41/PB/2011.
KPPN tidak akan melayani SPM Satuan kerja yang dibawa oleh Petugas yang tidak
terdaftar sebagai petugas satuan kerja di KPPN ataupun Petugas Satuan kerja yang
telah terdaftar namun tidak dapat menunjukkan KIPS yang diterbitkan KPPN.
Akun Baru dalam DIPA Tahun Anggaran Berjalan. Satuan kerja harus memperhatikan
bahwa terjadi beberapa perubahan akun yang cukup penting dalam DIPA Tahun
Anggaran Berjalan. Satuan kerja agar memperhatikan PER-80/PB/2011 tanggal 30
November 2011 tentang Penambahan dan Perubahan Akun pada Bagan Akun Standard
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 111
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN
permasalahan aplikasi. Satuan kerja dapat menghubungi KPPN setempat untuk meminta
bantuan teknis terkait aplikasi-aplikasi. KPPN telah menyediakan petugas yang ditunjuk
untuk menangani permasalah aplikasi-aplikasi Tahun Anggaran Berjalan. Selain itu KPPN
akan mengadakan sosialisasi dan bimbingan teknis terkait penggunaan aplikasi-aplikasi
Tahun Anggaran Berjalan khususnya aplikasi SPM Tahun Anggaran Berjalan. Satuan kerja
agar menunjuk Petugas Satuan kerja yang menangani/menggunakan aplikasi-aplikasi
tersebut agar dapat lebih menguasai dan memahami teknis penggunaannya.
Selain uang persediaan, satuan kerja sangat dianjurkan untuk melakukan pencairan
dana DIPA melalui SPM-LS untuk mempercepat realiasi anggaran.
Agar perencanaan kas dapat dilaksanakan dengan baik, maka perlu ditingkatkan
komunikasi antara KPA cq PPK selaku pelaksana kegiatan dengan pejabat penanda
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 113
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 115
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sedangkan menurut sistem perencanaan penganggaran dan realisasi selama 7 (tujuh) tahun
terkahir dari tahun 2006-2012 rata realisasi penerimaan Rp.7.443.006.399.607 (78,5%)
dan realisasi belanja Rp.3.305.823.547.116 (52,50%), dan sisa PNBP yang disetorkan
Rp.4.137.182.852.491 (55,59%). Terjadintya peningkatan sisa anggaran setiap tahun dikarenakan:
a. Mekanisme penganggaran DIPA yang ada saat ini memberlakukan bahwa dana penerimaan
dan penggunaan PNBP diperhitungkan langsung dan dialokasikan sekaligus pada DIPA Satker
yang bersangkutan. Dimana pelaksanaan anggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran
antar satuan kerja. Sehingga di satu satker memiliki pagu penggunaan yang berlebih dan di
satker yang lain memiliki pagu penggunaan yang terlalu rendah. Kondisi ini secara nasional
menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP, dengan kondisi sistem pengganggaran
seperti itu proses dari hasil pelayanan tidak dapat memberikan kelancaran dan kepastian
waktu yang dapat dipertanggung jawabkan.
b. Pelayanan yang dilaksanakan tidak mencapai tingkat yang optimal (43,79%), dikarenakan
hak dari pelanggan tidak dapat terpenuhi terutama pada penerimaan PNBP menjelang akhir
tahun (bulan november dan desember) yang sudah disetorkan (SSBP) tidak dapat digunakan
untuk pembiayaan pelayanan pertanahan, seperti diketahui bahwa beberapa pelayanan
pertanahan menurut Standar Operasional Pelayanan Pertanahan (SOPP) memerlukan
waktu lebih dari 3 (tiga) bulan, karena untuk penerimaan yang pada akhir tahun tidak
dapat diggunakan mengingat batas waktu penggunaan DIPA sampai dengan 31 Desember.
Sehingga hak dari pelanggan sebagai penerima pelayanan umum tidak jelas dan tidak pasti,
walaupun penggunaannya dapat dilaksanakan pada awal tahun anggaran namun sangat
terbatas, karena:
1) penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat diberikan Uang Persediaan sebesar
20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak;
2) jika belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) Penerimaan Negara Bukan Pajak
hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabe;as) dari pagu dana
Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp.200. 000. 000,- (dua ratus
juta rupiah); atau
3) memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar UP yang
diberikan, dan itupun akan membebani anggaran tahun berikutnya;
2. Kekurangan sarana dan parasana dan pengetahuan pengelolaan keuangan bagi SDM
bidang teknis dalam penyusunan perencanaan untuk mendapatkan angka yang tepat
dalam mengestimasi penerimaan PNBP, dengan memberikan pelatihan perencanaan dan
B. REKOMENDASI
1. Baik tidaknya pengelolaan organisasi perlu diketahui kegiatan pelayanan yang sudah
memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. Oleh karena itu untuk memberikan
kelancaran dan kepastian waktu dalam pelayanan pertanahan yang dapat dipertanggung
jawabkan diperlukan pengelolaan PNBP secara optimal dengan cara secara terpusat dengan
alokasi penggunaan yang tepat terutama untuik peningkatan pelayanan
2. Mengkaji kembali sistem pengelolaan penerimaan dan penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak, terutama dalam hal;
a. Perbaikan estimasi perhitungan penerimaan biaya pelayanan pertanahan pada
pertengahan dan akhir tahun dan penggunaan utnuk Non Operasional, yang
mengakibatkan penumpukkan dana penerimaan menjelang akhir tahun sehingga tidak
terserap atau melebihi pagu dan tidak ada waktu untuk merevisi sehingga tidak optimal
dalam penggunaan, akibatnya pelayanan pertanahan akan mengalami hambatan dan
kevakuman menjelang akhir tahun;
b. Mengkaji aturan penggunaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak secara subsidi
silang antar Satuan Kerja yang penerimaan dan pelayanan pertanahan sangat tinggi di
Pulau Jawa dan Pulau Sumatera ke Pulau Kalimantan, Pulau Silawesi, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua yang sarana dan prasana pendukung pelayanan pertanahannya
sangat tidak memadai.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 117
Pusat Penelitian dan Pengembangan
118 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Daftar Pustaka
Peraturan Perundangan-Undangan:
1. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
2. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
3. Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan dan
Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementeriaan Negara/Lembaga;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaa Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Bersumber Dari Kegiatan Tertentu;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan dan
Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah dan Penyetoran
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terhutang;
13. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian
Keberatan Atas Penetapan PNBP Yang Terhutang;
14. Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga;
15. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 119
Ketua
MUNSYARIEF, A.PTNH, M.SI
Sekretaris Anggota