Anda di halaman 1dari 127

Paper Kebijakan

Pengelolaan
Penerimaan Negara
Bukan Pajak Secara
Terpusat Pada BPN RI
Sebagai Alternatif
Optimalisasi Penyerapan
Anggaran

DITERBITKAN OLEH:
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI
2013
PAPER KEBIJAKAN
PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK SECARA TERPUSAT PADA BADAN
PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI
PENYERAPAN ANGGARAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
2013
Pusat Penelitian dan Pengembangan
ii BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
ABSTRAK

D
alam Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Hibah pada Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia tiga tahun terakhir tidak memenuhi target penerimaan yaitu pada:
tahun anggaran 2009 (71.79%), tahun anggaran 2010 (83,69%) dan tahun anggaran
2011 (84,42%), begitupun dalam penggunaannya terjadi trend penurunan penyerapan
anggaran/realisasi belanja setiap tahun baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni (RM)
maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Berdasarkan data penyerapan anggaran tahun 2009 (72,27%), tahun 2010 (72,80%) dan tahun 2011
(71,47%), atau rata-rata hanya sebesar 46,90% (Puslitbang BPN RI, 2012), dimana semakin tinggi
tingkat pelayanan pertanahan akan semakin tinggi tingkat penerimaan PNBP, maka yang terjadi adalah
semakin rendah penyerapan PNBP pelayanan pertanahan, dengan kondisi penyerapan yang rendah
tersebut akan mengurangi pelayanan pertanahan dan kinerja BPN RI. Berkaitan dengan latar belakang
masalah tersebut, maka bilamana optimalisasi pengelolaan PNBP BPN RI dilaksanakan secara terpusat
dalam usaha mengoptimalkan peng­gunaan, peningkatan kinerja pelayanan per­­­tanahan dan bagaimana
mekanisme penyem­pur­naan pengelolaan PNBP BPN RI yang dilaksanakan secara terpusat.

Sisa maksimal pencairan PNBP BPN RI hasil rekonsiliasi pada tahun 2011 sebesar 524.260.633.871
(47,14%) dan pada tahun 2012 481.384. 349.217 (36,70%). Sedangkan menurut sistem perencanaan
penganggaran dari tahun 2006-2012 rata realisasi sisa PNBP yang disetorkan Rp.4.137.182.852.491
(55,59%), terjadi sisa anggaran yang rata-rata setiap tahun dikarenakan: Pertama, mekanisme
penganggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran antar satuan kerja. Kondisi ini secara nasional
menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP sehingg menyebabkan proses pelayanan tidak
dapat mem­berikan kelancaran dan kepastian waktu yang dapat dipertanggung jawabkan. Kedua,
pelayanan pertanahan yang dilaksanakan tidak men­capai tingkat yang optimal, sehingga menye­babkan
hak pelanggan tidak dapat terpenuhi terutama pada penerimaan PNBP menjelang akhir tahun (bulan
November dan Desember). Ketiga, kekurangan sarana dan parasana dan pengetahuan pengelolaan
keuangan bagi SDM bidang teknis dalam penyusunan perencanaan dalam mengestimasi penerimaan
PNBP. Keem­pat, tidak dapat terpenuhinya peningkatan dan pengadaan fasilitas sarana dan prasarana
fisik yang sebagaian besar sangat memprihatinkan, dimana kondisi asset BPN RI di seluruh Indonesia
untuk kantor 30 unit masih milik Pemda dan 32 unit sewa/pinjam bahkan belum memiliki kantor, kondisi
kantor 69 rusak ringan dan 27 rusak berat. Status tanah kantor 378 milik sendiri, 81 milik Pemda, dan
18 sewa/pinjam. Rumah dinas baru ada 41 unit sisanya 361 unit masih sewa/pinjam, dengan kondisi 13
unit rusak ringan dan 14 unit rusak berat.

Dalam meminimalisir sisa anggaran PNBP pada BPN RI regulasi kebijakan adalah sebagai berikut:
Pertama, kegiatan pelayanan pertanahan harus memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
Oleh karena itu untuk memberikan kelancaran dan kepastian waktu dalam pelayanan pertanahan
yang dapat dipertanggung jawabkan diperlukan pengelolaan PNBP secara optimal dengan cara secara
terpusat dengan alokasi penggunaan yang tepat terutama untuk peningkatan kualitas pelayanan
pertanahan secara nasional. Kedua, regulasi penggunaan anggaran PNBP secara subsidi silang antar
satker yang penerimaan dan pelayanan pertanahan sangat tinggi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera ke
wilayah Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang sarana dan prasana
fisik pendukung pelayanan pertanahannya sangat tidak memadai.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN iii
Daftar Isi

ABSTRAK iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 2
B. Identifikasi Masalah 4
C. Tujuan dan Kegunaan 4
1. Tujuan 4
2. Kegunaan 3
D. Metoda 4
1. Pendekatan Penelitian 4
2. Teknik Pengumpulan Data 5
a. Metode Kajian Kepustakaan 5
b. Metode Studi Dokumen 6
c. Konsinyering penyusunan konsep Paper Kebijakan 7
d. Focus Group Discution Penyusunan draft Paper Kebijakan 7
E. Definisi Operasional 7
F. Tim Penyusun 9

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
A. Keuangan Negara 12
B. Asas-Asas Keuangan Negara 14
C. Ruang Lingkup Keuangan Negara 15
D. Perspektif Undang-Undang Keuangan Negara 17
1. Hak-hak Negara dalam pengertian keuangan negara 17
2. Hak negara mengedarkan uang 19
3. Hak negara melakukan pinjaman 20
4. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga 20
5. Penerimaan/Pendapatan Negara 20
6. Pengeluaran negara 20
7. Penerimaan daerah 21
8. Pengeluaran daerah 21
9. Kekayaan negara/daerah 21
E. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara 22
F. Perumusan Keuangan Negara 23
G. Pengelolaan Keuangan Negara 24
H. Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation) 26
I. Penerimaan Negara Bukan Pajak 29
J. Pendekatan Konsepsional Keuangan Negara 30
1. Prinsip keadilan 30
2. Mengandung hak dan kewajiban Negara 31
3. Pengeluaran merupakan fungsi penerimaan 32
K. Pendekatan Praktis 32
1. Aspek yuridis-administratif 32
2. Aspek implementatif 33
3. Harga Pelayanan Publik yang Dibebankan Masyarakat 33
4. Penentuan Harga dan Pasar yang Kompetitif untuk Barang dan Jasa Sektor Publik 34
5. Pentingnya Kebijakan Netralitas Kompetisi yang Sehat 34
6. Argumen terhadap Pembebanan Tarif Pelayanan 35
a. Kesulitan administrasi dalam menghitung biaya pelayanan 35
b. Yang miskin tidak mampu membayar pelayanan 35
c. Adanya eksternalitas, merit good, dan persyaratan legal. 35
7. Prinsip dan Praktik Pembebanan 36
8. Kegunaan Pembebanan dalam Praktik 36

Pusat Penelitian dan Pengembangan


iv BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
9. Pelayanan Publik yang dapat dijual 37
10. Efisiensi Ekonomi 38
11. Prinsip Keuntungan 38
L. Teknik Dasar Penilaian Inventasi Publik 39
1. Identifikasi kebutuhan investasi yang mungkin dilakukan 39
2. Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang akan dilaksanakan
(cost/benefit relationship). 40
3. Menghitung manfaat dan biaya dalan rupiah 40
4. Memilih proyek yang memiliki manfaat terbesar dan efektivitas biaya yang tinggi 40
a. Net present benefit (NPB) 40
b. Analisis Payback Period 40
c. Anlisis biaya-manfaat (Cost Benefit Analysis) 41
d. Analisis efektivitas biaya (cost-effectiviness analysis) 41
M. Dasar Hukum Pengolaan Keuangan Negara 42
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara 42
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara 43
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak 44
4. Analisis Kebijakan Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia 44
N. Anggaran Berbasis Kinerja 46
1. Manfaat Pengukuran Kinerja 48
2. Rencana Pembangunan Nasional 49
3. Rencana Kerja Pemerintah 51
4. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional 53
5. Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Tahun 2010-2014 53
6. Sasaran Strategis Pengelolaan Pertanahan 55
7. Arah Kebijakan dan Strategis Pengelolaan Pertanahan Nasional 57
8. Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara 59
O. Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja 69
1. Tingkatan Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja 69
2. Sumber Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 69

BAB III PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK


A. Gambaran Umum Penerimaan dan Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Badan Pertanahan Nasional republik Indonesia 91
B. Permasalahan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia 91
a. Analisis Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri 91
b. Analisis Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran 92
c. Permasalahan Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Analisis Kantor
Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan pada Focus Group Discution 94
d. Implikasi Penerapan Mekanisme Subsidi Silang pada Badan Pengawas Obat dan
Makanan 94
e. Analisis Permasalahan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Direktorat
Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan 94
f. Kompetensi Sumberdaya Manusia Perencana dan Pengelola Keuangan Hasil
Penelitian Puslitbang BPN RI 99
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran 101
1. Perencanaan Anggaran Kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak 101
2. Kegiatan Pelaksanaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 ttg Penggunaan Dana
Penerimaan Negara Bukan Pajak 102
D. Saran Pelaksanaan Kegiatan 103

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN v
BAB IV FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN ANGGARAN
A. Sistem Perencanaan Kegiatan dan Pengelolaan Keuangan Penerimaan Negara
Bukan Pajak 106
B. Strategi Perencanaan Kegiatan dan Penggunaan Anggaran Penerimaan Negara
Bukan Pajak 107
1. Alokasi Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak 112

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 116
B. Rekomendasi 117

DAFTAR PUSTAKA 119

Daftar Tabel
Tabel 1 Perencanaan Laporan Realisasi PNBP 73
Tabel 2 Pengaturan Pembayaran dan Penyetoran PNBP Terutang 75
Tabel 3 Perolehan Hak-hak Penyetor PNBP 76
Tabel 4 Simulasi Perencanaan anggaran PNBP BPN RI Berdasarkan Perauran Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2010 93
Tabel 5 Realisasi PNBP BPN RI Pertahun Pendapatan Pelayanan Pertanahan/Fungsional 95
Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Penggunaan PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012 96
Tabel 7. Kondisi Asset Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dalam Status
Kepemilikan dan Kelayakan 98
Tabel 8 Kompetensi Perencana Kegiatan dan Pengelola Keuangan di Lokasi Penelitian 100
Tabel 9. Model Alokasi Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN RI 107
Tabel 10 . Model Perencanaan Alokasi Biaya Operasional Pelayanan Pertanahan dari Pagu
Belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak 108

Daftar Gambar
Gambar 1 Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Pengelolaan
Keuangan Penerimaan Negara Bukan Pajak 46
Gambar 2 Hirarki Perencanaan Pembangunan Nasional 50
Gambar 3 Alur Perencanaan Kegiatan Kementrian/Lembaga Pemerintah Pusat dan
Daerah 51
Gambar 4 Penyusunan Pagu Indikatif 62
Gambar 5 Penyusunan Pagu Anggaran 64
Gambar 6 Penyusunan Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga (Pagu Definitif) 66
Gambar 7 Tingkatan Penerapan Anggaran berbasis Kinerja 69
Gambar 8 Optimalisasi Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun anggaran
2009-2011 90
Gambar 9 Relisasi Penerimaan dan Belanja PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012 97
Gambar 10 Sisa PNBP BPN RI Tahun 2006 sampai dengan 2012 98
Gambar 11 Rata-rata Realisasi dan Penggunaan PNBP BPN RI tahun Anggaran 2012 106
Gambar 12 Strategi Perencanaan Pengelolaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak 109
Gambar 13. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional RI 110

Pusat Penelitian dan Pengembangan


vi BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BAB I
Pendahuluan

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 1
PENDAHULUAN

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor


17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004,
dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) dengan memperhitungkan ketersediaan anggaran.

A. LATAR BELAKANG
Rencana Kerja Pemerintah merupakan pen­jabaran dari RPJM Nasional yang memuat prioritas
pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian
secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program kementerian/lembaga,
lintas kementerian/lembaga, kewilayahan da­lam bentuk kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif. Rencana Kerja Pemerintah kemudian dijabarkan lebih lanjut
ke dalam Rencana Kerja K/L (Renja K/L). Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagai
lembaga pelayanan di bidang pertanahan, dalam menyusun Rencana Kerja Anggaran K/L (RKA
K/L) mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah untuk sumber dana Rupiah Murni (RM) dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional sebagai salah satu sum­ber
penerimaan negara perlu dikelola dan dimanfaatkan sebagai sarana peningkatan pelayanan
kepada masyarakat, untuk melak­sanakan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010
tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan
Nasional. Dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Hibah pada Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia tiga tahun terakhir tidak memenuhi target penerimaan yaitu pada: tahun
anggaran 2009 (71. 79%), tahun anggaran 2010 (83,69%) dan tahun anggaran 2011 (84,42%),
begitupun dalam penggunaannya terjadi trend penurunan penyerapan anggaran/realisasi
belanja setiap tahun baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni (RM) maupun Penerimaan
Negara Bukan Pajak. Berdasarkan data penyerapan anggaran tahun 2009 (72,27%), tahun 2010
(72,80%) dan tahun 2011 (71,47%). Rendahnya penyerapan anggaran disebabkan antara lain
adanya pemblokiran1, hal ini dikarenakan belum mendapat persetujuan DPR RI, belum adanya
pembahasan dengan kementerian keuangan RI dan atau kurang lengkapnya data pendukung2
yang diperlukan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia3.

1. Tahun Anggaran 2012 berdasarkan data Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran blokir belanja pada BPN RI sebesar Rp. 2.
625,9 Milyar (66,3%) diantaranya RP. 44. 327,37 Juta (1,12%) untuk pengadaan tanah dan gedung.
2. Dokumen/data Pendukung sekurang-kurangnya: 1) TOR dan RAB setiap Output Kegiatan yang ditandatangani oleh penanggung jawab
Kegiatan atau pejabat lain yang berwenang; 2) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang ditandatangani oleh KPA
(sebagaimana lampiran Bab ini) apabila rincian biaya yang tercantum dalam KK RKA-KL tidak terdapat dalam Standar Biaya; 3) Arsip data
komputer (ADK) RKA-KL dan KK RKA-KL Satuan kerja; 4) Hasil kesepakatan dengan DPR; 5) Daftar alokasi Pagu masing-masing Unit Eselon I
yang dirinci berdasarkan Program, Satuan kerja dan Sumber Pendanaan;
3. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2011.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


2 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Menurut beberapa ahli, rendahnya penyerap­an APBN 2011 ini ditenggarai karena perumusan APBN-
Perubahan yang memakan waktu cukup lama, buruknya perencanaan anggaran sehingga gagap
dalam pelaksanaan, terlalu berhati-hatinya birokrasi dalam mengeksekusi proyek tertentu4, prosedur
yang sulit dalam proses pengadaan barang dan jasa dengan nilai yang besar5, dimutasikanya pegawai
yang mempunyai sertifikat pengadaan barang dan beberapa kendala teknis lainnya.

Menurut Tim Evaluasi dan Pengawasan Pe­nyerapan Anggaran, beberapa perma­sa­lah­an dalam
penyerapan anggaran diantaranya:
1. Uang persediaan di awal tahun pengajuannya menunggu penyelesaian pertanggungjawaban
tahun sebelumnya sampai dengan proses rekonsiliasi dengan KPKN, yang paling cepat dapat
diselesaikan pada minggu kedua, sehingga dana kegiatan tahun berjalan baru dapat dibiayai
pada minggu kedua bulan Januari, meskipun DIPA diterima bulan Desember;
2. Proses revolving uang persediaan bari dapat dilaksanakan setelah pertanggung jawaban
mencapai nilai minimal 75% dari Uang Persediaan yang diterima;
3. Adanya kebijakan clesarence untuk pengadaan tanah dan bangunan yang harus disetujui oleh
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PAN dan RB, serta BPKP yang menyebabkan
masih terdaoatnya beberapa K/L yang belum mendapatkan persetujuan clesarence sehing­ga
anggarannya (DIPA) masih diblokir;
4. Pemblokiran anggaran pada K/L karena memerlukan persetujuan komisi terkait di DPR yang
harus ditandatangani oelh ktua dan semua wakil ketua komisi;
5. Belum adanya aplikasi perbendaharaan yang seragan di seluruh K/L dan terintegrasi dengan aplikasi
yang dibuat oleh Kementerian Keuangan (seperti aplikasi SAI, Gaji, DIPA, RAKA-KL, dan SPM);
6. Kompleksitas kebijakan realokasi anggaran diantaranya berasal dari penghematan dan
proses on top dari BA 999 ke BA sektoral K/L;
Kendala dan hambatan tersebut mengakibatkan penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak
BPN RI pada lokasi penelitian rata-ata hanya sebesar 46,90%, dimana semakin tinggi tingkat
pelayanan pertanahan akan semakin tinggi tingkat penerimaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak, maka yang terjadi adalah semakin rendah penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak
pelayanan pertanahan, dengan kondisi penyerapan yang rendah tersebut akan mengurangi
pelayanan pertanahan dan kinerja BPN RI. Walaupun dalam Pasal 119 ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN, dimana dalam
perhitungan batas maksimum pencairan dana, setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
belum digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran, dapat dipergunakan untuk membiayai
kegiatan tahun anggaran berikutnya setelah diterimanya DIPA, hal ini berlawanan dengan Pasal
162 ayat (1), dimana sisa pagu DIPA yang tidak terealisasi sampai akhir tahun anggaran berakhir
tidak dapat digunakan pada periode tahun anggaran berikutnya.

Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada awal tahun anggaranpun sangat terbatas,
sepaerti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK. 05/2012 tentang
Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan APBN, dimana penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak dapat diberikan Uang Persediaan sebesar 20% (dua puluh persen) dari
realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, jika belum memperoleh Maksimum Pencairan

4. Menteri Keuangan, Martowardoyo dalam www. mediaindonesia. com, 21 Desember 2011.


5. 21 Desember 2011, Doddy Arifianto, Ekonom Universitas Ma Chung Malang, Kabarbisnis. com, 21 Desember 2011.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 3
PENDAHULUAN

(MP) Penerimaan Negara Bukan Pajak hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu
seperduabelas) dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp.
200. 000. 000,- (dua ratus juta rupiah) atau memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan
Pajak paling sedikit sebesar UP yang diberikan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, untuk mengoptimalkan peng­gu­naan,


peningkatan kinerja pelayanan per­tanahan, dan administrasi diperlukan peninjauan dan
penyempurnaan peraturan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN RI.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bilamana optimalisasi pengelolaan Pene­ri­maan Negara Bukan Pajak BPN RI dilaksanakan secara
terpusat untuk mengoptimalkan penggunaan, pe­ning­katan kinerja pelayanan pertanahan?
2. Bagaimana mekanisme penyempurnaan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI
yang dilaksanakan secara terpusat?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN


1. Tujuan
a) Mengetahui sistem dan persyaratan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI
dilaksanakan se­cara terpusat untuk mengoptimalkan penggunaan, peningkatan kinerja
pelayanan pertanahan.
b) Mengetahui mekanisme penyempur­naan pengelolaan Penerima­an Negara Bukan Pajak
BPN RI dilaksanakan secara terpusat.
2. Kegunaan
a) Menemukenali sistem dan persyarat­an pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN
RI yang dapat dilaksanakan secara terpusat untuk mengoptimalkan penggunaan, pe­ning­­­
katan kinerja pelayanan pertanahan.
b) Membuat suatu mekanisme penyem­pur­naan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak BPN RI dilaksanakan secara terpusat.

D. METODA
1. Pendekatan Penelitian
Metodelogi penelitian ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang
yang ada. Penelitian ilimah sendiri adalah6 penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris dan
kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis
tentang hubungan yang dikira terdapat antara fenomena-fenomena itu.

Metode penelitian dalam penelitian kualitatif cenderung bersifat deskriptif, naturalistik, dan
berhubungan dengan ”sifat data” yang murni kualitatif, metode penelitian kualitatif tersebut juga
metode fenomenologis karena lebih berdasarkan pada filsafat fenomelogis yang mengutamakan
penghayatan atau pemahaman yang mendalam (verstehen) karena mempertanyakan makna
suatu objek secara mendalam dan tuntas. Peneliti berorientasi kepada fenomenologis yang
menekankan kepada aspek subyektif dari tingkah laku manusia7. Pendapat lain mengatakan

6. Fred N Kerlinger, dalam andung R Simatupang, Asas-asas penelitian behavioral, hal 17


7. Geertz,1973 Thick Description, Toward and Interpretive Theory odf Culture. In the Interpretation of Culture, Basic Book, New York yang
dikutip pada buku Penelitian Kualitatitif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu sosial, Dr Prasetya Irawan, MSc,2007, hal 11

Pusat Penelitian dan Pengembangan


4 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
bahwa metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati8.

Pendekatan penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif,
yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku
manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri. Responden dalam
metode penelitian kualitatif berkembang terus secara bertujuan (purposive) sampai data
yang dikumpulkan dianggap memuaskan dari hasil Focus Group Discution, Konsinayering, dan
Seminar. Alat pengumpul data atau instrumen penelitian merupakan instrument pokok dan
dalam pengumpulan datanya, peneliti akan terlibat secara aktif dalam kegiatan pengumpulan
data tersebut. Instrumen pengumpulan data dalam metodelogi penelitian kualitatif tidak bersifat
terstruktur, terfokus, kaku atau rigid, dan spesifik seperti dalam penelitian kuantitatif tetapi
bersifat lebih longgar, fleksibel dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada kebutuhan.
pendekatan terhadap obyek penelitian ini dengan terfokus pada:
a. Besaran penyerapan anggaran pada tahun berjalan pada periode 3-5 tahun, hal ini
berkenaan dengan trend besaran penyerapan pada sumber penerimaan Rupiah Murni (RM)
dan Penerimaan Negara Bukan Pajak kegiatan pengelolaan pertanahan di daerah.
b. Pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan keuangan dan teknis pelaksanaan
kegiatan pada masing-masing satuan kerja. Kebijakan tersbut sesuai dengan paket perundang-
undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara, serta peraturan pemerintah dan peraturan menteri keuangan yang
berkaitan dengan sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia.
c. Mekanisme dan penyusunan anggaran berbasis kinerja, berdasarkan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Kerja dan
Anggaran K/L Negara (RKA-KL) sampai dengan penetapannya oleh lembaga legislatif.
d. Kendala-kendala dan masalah yang mungkin timbul dalam penyerapan anggaran pada
masing-masing satuan kerja dan teknis pelaksanaan kegiatannya.
e. Strategi dan model kegiatan guna memberikan solusi dalam meningkatkan penyerapan
anggaran yang berbasis kinerja. Berkenaan dengan penyusunan strategis dan model ini
dilakukan penelitian kebijakan empiris dan studi pustaka terhadap penyerapan anggaran
berbasis kinerja.

2. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang akan dilakukan peneliti terdiri dari
empat macam, yaitu observasi langsung terhadap objek penelitian, wawancara mendalam, studi
dokumentasi dan kesan visual (visual image). Dalam memperoleh hasil yang diinginkan dalam
penelitian ini akan menggunakan keempat metode tersebut dengan teknik pengumpulan data
sebagai berikut:
a. Metode Kajian Kepustakaan,
Kajian kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara menganalisis
isi (content analysis) yaitu suatu teknik analisis terhadap berbagai sumber informasi

8. Bogdan dan Taylor yang dikutip dalam buku Moleong, Alex J, 2000, Metodelogi Penelitian Kualitiatif, hal 3.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 5
PENDAHULUAN

termasuk bahan cetak/bacaan seperti buku, artikel, dan jurnal ilmiah yang terkait dengan
permasalahan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap
konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian. Prosedur menganalisa isi tersebut dengan
melaksanakan langkah-langkah diantaranya adalah:
1) menentukan tujuan analisis dengan mengidentifikasi dengan cara menurunkannya dari
fokus penelitian
2) mengumpulkan data dengan mem­baca, mengkaji dan mencatat data-data yang diambil
dari berbagai sumber;
3) mengidentifikasian bukti-bukti kons­tek­tual yang memulainya dengan mencari hubungan
antara data dengan realitas;
4) mereduksi data dengan melakukan sortiran terhadap data yang dikumpulkan yang akan
digunakan dan yang tidak digunakan;
5) memberi kode pada data;
6) menganalisis dan menafsirkan data.

b. Metode Studi Dokumen,


Studi dokumen adalah suatu teknik pengumpulan data dengan melakukan kajian terhadap
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian diantaranya:
1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
2) Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
3) Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
4) Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan;
5) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara;
6) Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional,
7) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 tentang Penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak;
8) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP);
9) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, serta peraturan/dokumen lainnya yang dinilai
relevansi dengan penelitian;
10) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak;
11) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2007 tentang Peraturan Pemerintah Nomor
73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Bersumber dari Kegiatan Tertentu;
12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional;
13) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah,
Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak;
14) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

Pusat Penelitian dan Pengembangan


6 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
15) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Taris atas Jenis
Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPN RI;
16) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK. 05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran
dalam Rangka Pelaksanaan APBN;
17) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per. 17/PB/2013 tentang Ketentuan
Lebih Lanjut Tata Cara Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Beban APBN;
18) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
19) Referensi Buku, Laporan Hasil Penelitian, Majalah, Surat Kabar Harian, dan Jurnal Ilmiah,
internet, media cetak dan elektronik yang berkaitan dengan topik kajian.

c. Konsinyering penyusunan konsep Paper Kebijakan


Konsinyering adalah diskusi dalam rangka pengumpulan, pengolahan, dan penyusunan
data yang bersifat mendesak dengan mengundang beberapa nara­sumber, para pakar, dan
undangan lainnya di suatu tempat selama 3 (tiga) hari untuk bekerja secara intensif yang
sifatnya dan tidak dapat dikerjakan di kantor.

d. Focus Group Discution Penyusunan draft Paper Kebijakan


Focus Group Discussion (FGD) adalah suatu kegiatan pengumpulan data kualitatif melalui
dalam memberikan kemudahan dan peluang bagi peneliti untuk menjalin keterbukaan,
kepercayaan, dan memahami persepsi, sikap, serta pengalaman yang dimiliki informan. FGD
memungkinkan peneliti dan informan berdiskusi intensif dan tidak kaku dalam membahas
isu-isu yang sangat spesifik. FGD juga memungkinkan peneliti mengumpulkan informasi
secara cepat dan konstruktif dari peserta yang memiliki latar belakang berbeda-beda dan
memberikan informasi yang penting, menarik.

E. Definisi Operasional
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Anggaran terpadu adalah anggaran yang terintegrasi seluruh proses perencanaan dan
penganggaran di lingkungan kementerian negara/lembaga untuk menghasilkan dokumen
Rencana Kerja dan Anggaran KementerianNegara/Lembaga (RKA-KL) dengan klasifikasi
anggaran belanja menurut visi dan misi organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
3. Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran
K/L, adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada K/L
berdasarkan hasil pembahasan Rancangan APBN yang dituangkan dalam berita acara
hasil kesepakatan Pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR.
4. Berbasis kinerja adalah kegiatan dengan menggunakan tolok ukur untuk mengukur
kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik. Pendekatan ini sangat
menekankan pada konsep dan kinerja berdasakan keluaran hasil (output).
5. Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang
selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA-K/L per
program dalam suatu K/L yang telah ditetapkan dari proses penelaahan.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 7
PENDAHULUAN

6. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan dengan
DIPA) adalah suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan
Lembaga atau Satuan Kerja yang disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau
Kepala Kanwil DJPb atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dokumen
pelaksanaan pembiayaan kegiatan.
7. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemeritahan di bidang tertentu yang dilaksanakan
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
8. Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan yang
dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.
9. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari
kegiatan dalam satu program.
10. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan
kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dengan
mengerahkan segala sumber daya (personil, teknologi, dana, dll) untuk menghasilkan
keluaran (output) dalam bentuk barang dan jasa.
11. Kementerian Negara yang selanjutnya disingkat Kementerian, adalah perangkat
Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
12. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik Negara.
13. Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu
program dengan kualitas dan kualitas terukur.
14. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran
yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
15. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk
mewujudkan visi.
16. Optimalisasi anggaran adalah penggunaan anggaran untuk kegiatan pembangunan
dengan melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting) dan kompetisi tender.
17. Pagu Indikatif adalah ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada K/L sebagai
pedoman dalam penyusunan Renja-K/L.
18. Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L,
adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada K/L dalam rangka penyusunan
RKA-K/L
19. Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaanPemerintah Pusat yang
tidak berasal dari penerimaan perpajakan (Pasal 1angka 1 UU No. 20 Tahun 1997).
20. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) adalah Menteri/Pimpinan
Lembaga atau kuasanya yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada K/L
yang bersangkutan.
21. Penyerapan adalah pengeluaran keuangan untuk digunakan kegiatan dalam rangka
mendukung tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


8 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
22. Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga atau masyarakat yang dikordinasikan
oleh instansi pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi
anggaran.
23. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disingkat RKA-
K/L, adalah dokumen rencana keuangan tahunan K/L yang disusun menurut Bagian
Anggaran K/L
24. Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat RDP-
BUN adalah rencana kerja dan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara
yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun
pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke
daerah yang pengelolaannya dikuasakan oleh Presiden kepada Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara
25. Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara, yang selanjutnya disingkat SPAN adalah
sistem informasi manajemen keuangan yang terintegrasi dari mulai perencanaan
sampai dengan pelaporan, terotomasi secara penuh, serta menggunakan data base
yang terpusat.
26. Satuan Kerja adalah adalah bagian dari suatu unit organisasi pada kementerian negara/
lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program, kegiatan,
dan jenis belanja
27. Strategi adalah langkah-langkah yang berisikan program-program indikatif untuk
mewujudkan visi dan misi.
28. Sub kegiatan adalah bagian dari kegiatan, timbulnya sub kegiatan ini sebagi kosekuensi
adanya perbedaan jenis dan satuan keluaran.
29. Unit Organisasi adalah bagian dari suatu K/L negara yang bertanggung jawab terhadap
pengkoordinasian dan/atau pelaksanaan suatu program.

F. Tim Penyusun terdiri dari, yaitu:


Nara Sumber:
1. Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI
2. Kepala Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI;
3. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Direktorat Jenderal Anggaran;
4. Direktur Sistem Perbendaharaan Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
5. Kepala Biro Keuangan dan Perencanaan Badan POM;
6. Kepala Biro Keuangan dan Barang Milik Negara Sekretarat Jenderal Kementerian Agama RI.
Koordinator :
Munsyarief, A. Ptnh. , M. Si.
Anggota :
1. Umiyati, S. SiT.
2. Melia Yusri , S. P.
3. Dwi Prasetyo, S. P.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 9
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Pusat Penelitian dan Pengembangan


10 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BAB II
Kajian Teoritis dan
Praktek Empiris
Penerimaan Bukan
Pajak Pada Badan
Pertanahan Nasional
Republik Indonesia
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 11
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Menurut Geodhart, keuangan Negara merupakan


keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara
periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk
melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu
dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk
menutup pengeluaran tersebut.

A. KEUANGAN NEGARA
Unsur-unsur keuangan Negara menurut Geodhart meliputi:
1) Periodik
2) Pemerintah sebagai pelaksana anggaran
3) Pelaksanaan anggaran mencakup dua we­wenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang
untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang
bersangkutan
4) Bentuk anggaran Negara adalah berupa suatu undang-undang
Menurut John F. Due, budget keuangan negara adalah suatu rencana keuangan untuk suatu
periode waktu tertentu. Government budget (anggaran belanja pemerintah) adalah suatu
pernyataan mengenai pengeluaran atau belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa
mendatang bersama dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode
mendatang dan periode yang telah lampau. John F. Due menyamakan pengertian keuangan
negara dengan anggaran (budget negara). Mengenai hubungan antara keuangan negara dengan
anggaran negara, Muchsan9 menyatakan bahwa anggaran negara merupakan inti dari keuangan
negara sebab anggaran negara merupakan alat penggerak untuk melaksanakan keuangan
negara.

Menurut Gilldenhuys, anggaran memiliki enam fungsi, yaitu 10:


1) Sebagai kebijakan yang menggambarkan tujuan dan sasaran khusus yang hendak capai
melalui suatu pengeluaran dalam anggaran (a policy statement declaring the goals and
specific objectives an authority wishes to achieve by means of the expenditure concorned);
2) Sebagai sarana redistribusi kekayaan sebagai salah satu fungsi publik yang paling utama dari
anggaran (redistribution of wealth is one of the most important function of a public budget);
3) Sebagai program kerja pemerintah (a work program);
4) Sebagai sumber informasi (as a source of information);
5) Sebagai sarana koordinasi kegiatan pemerintahan (as a coordinating instrument);
6) Sebagai alat pengawasan legislatif terhadap eksekutif (acontrol instrument to be used the
legislative authority over the executive authority and by the executive authority and even for
internal control within a single component of the administrative authority).

9. W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, PT Grasindo, Tahun 2006, hlm. 1-2
10. Penelitian dan Pengkajian Mahklamah Konstitusi Republik Indonesia, Teori Mengenai Anggaran Negara, Sekretariat Jenderal MK-RI, Jakarta,
2005, hlm. 7

Pusat Penelitian dan Pengembangan


12 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Keuangan Negara adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu
baik berupa uang maupun barang dapat dijadikan “hak milik negara”. Keuangan Negara dapat
diartikan juga sebagai suatu bentuk kekayaan pemerintah yang diperoleh dari penerimaan,
hutang, pinjaman pemerintah, atau bisa berupa pengeluaran pemerintah, kebijakan fiscal, dan
kebijakan moneter. Ruang lingkup keuangan Negara meliputi:
1) Penerimaan negara
2) Pengeluaran negara
3) Hutang dan pinjaman negara
4) Kebijakan keuangan yang terdiri dari kebijakan moneter, kebijakan fiscal dan kebijakan
keuangan internasional dan mengelola hutang pemerintah

Definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan
yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses,
dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu
baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/
menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah,
perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi
proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan
objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan,
kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan pengertian keuangan negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan
dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dengan demikian, bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam: subbidang
pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan moneter, dan subbidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan.

Pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal meliputi kebijakan dan kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai
dari penetapan Arah dan Kebijakan Umum (AKU), penetapan strategi dan prioritas pengelolaan
APBN, penyusunan anggaran oleh pemerintah, pengesahan anggaran oleh DPR, pelaksanaan
anggaran, pe­ngawasan anggaran, penyusunan per­hi­tung­an anggaran negara (PAN) sampai

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 13
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

dengan pengesahan PAN menjadi undang-undang. Pengelolaan keuangan negara subbidang


pengelolaan moneter berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sektor perbankan
dan lalu lintas moneter baik dalam maupun luar negeri.

Pengelolaan keuangan negara subbidang kekayaan negara yang dipisahkan berkaitan dengan
kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD)
yang orientasinya mencari keuntungan (profit motive). Berdasarkan uraian di atas, pengertian
keuangan negara dapat dibedakan antara: pengertian keuangan negara dalam arti luas, dan
pengertian keuangan negara dalam arti sempit. Pengertian keuangan negara dalam arti luas
pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya sangat luas, dimana keuangan negara
mencakup kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan. Sedangkan pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya
mencakup pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal saja. Pembahasan lebih
lanjut dalam modul ini dibatasi hanya pada pengertian keuangan negara dalam arti sempit saja
yaitu subbidang pengelolaan fiskal atau secara lebih spesifik pengelolaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).

B. ASAS-ASAS KEUANGAN NEGARA


Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan
bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Aturan pokok Keuangan Negara telah dijabarkan ke dalam asas-asas umum, yang
meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti
asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru
sebagai pencerminan penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan
keuangan negara. Penjelasan dari asas tersebut adalah sebagai berikut:
1) Asas Tahunan, memberikan persyaratan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan yang
harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR).
2) Asas Universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan terjadinya
percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara.
3) Asas Kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua
pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan
anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya.
4) Asas Spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran
tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran
tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti
penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.
5) Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran
wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau kegagalan suatu
program yang menjadi tanggung jawabnya.
6) Asas Profesionalitas mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang
profesional.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


14 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
7) Asas Proporsionalitas; pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-
fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.
8) Asas Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan
dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan
oleh lembaga audit yang independen.
9) Asas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi
kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan
atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip


pemerintahan daerah. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-
undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan
dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

C. RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARA


Ruang lingkup keuangan negara meliputi: hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan
dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; kewajiban negara untuk menyelenggarakan
tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; penerimaan
negara; pengeluaran negara; penerimaan daerah; pengeluaran daerah; kekayaan negara/
kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; kekayaan pihak lain yang dikuasai
oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan
umum; kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah; dan j. kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola
oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan
kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.

Pengertian Perbendaharaan Negara menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 adalah
“pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan
yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah;
pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan; pencarian sumber
pembiayaan yang paling murah; dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan yang dilaksanakan di dunia usaha ke dalam pengelolaan keuangan
pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan sektor pemerintah
dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga
politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik.
Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintah, negara berusaha memberikan jaminan
kesejahteraan kepada rakyat (welfare state).

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 15
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Namun, pengelolaan keuangan sektor publik yang selama ini menggunakan pendekatan
superioritas negara telah membuat aparatur pemerintah yang mengelola keuangan sektor publik
tidak lagi dianggap berada dalam kelompok profesi manajemen oleh para profesional. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan keuangan pemerintah dengan menerapkan
prinsip-prinsip kepemerintahan yang pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan
penyimpangan; pencarian sumber pembiayaan yang paling murah; dan pemanfaatan dana yang
menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Upaya untuk
menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang dilaksanakan di dunia usaha ke dalam
pengelolaan keuangan pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan
sektor pemerintah dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya, negara adalah
suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya, negara tunduk pada tatanan hukum publik.

Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintah, negara berusaha memberikan jaminan


kesejahteraan kepada rakyat (welfare state). Namun, pengelolaan keuangan sektor publik yang
selama ini menggunakan pendekatan superioritas negara telah membuat aparatur pemerintah
yang mengelola keuangan sektor publik tidak lagi dianggap berada dalam kelompok profesi
manajemen oleh para profesional. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan
keuangan pe­me­rintah dengan menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang (APBN/APBD)”.
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan penge­lolaan keuangan negara, dirasakan semakin
pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah
yang terbatas secara efisien.

Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan


negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam pelaksana­an­nya, kekuasaan
presiden tersebut tidak dilaksanakan sendiri oleh presiden. Pengelolaan keuangan negara
secara teknis dilaksanakan melalui dua pengurusan, yaitu pengurusan umum/administrasi
yang mengandung unsur penguasaan dan pengurusan khusus yang mengandung unsur
kewajiban. Pengurusan umum erat hubungannya dengan penyelenggaraan tugas pemerintah
di segala bidang dan tindakannya dapat membawa akibat pengeluaran dan atau menimbulkan
penerimaan negara. Sedangkan pengurusan khusus atau pengurusan kompatabel mempunyai
kewajiban melaksanakan perintah-perintah yang datangnya dari pengurusan umum.

Dikuasakan kepada menteri keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; kepada menteri/pimpinan lembaga negara dan
lembaga pemerintah non kementerian negara, selaku pengguna anggaran/pengguna barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; dan kepada gubernur/bupati/walikota selaku
kepala pelaksanaan dan mewakili kekayaan daerahPelimpahan kekuasaan tersebut tidak
termasuk kewenangan di antara lain mengeluarkan rupiah, moneter serta kelancaran sistem
pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Menteri keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang hakikatnya Pemerintah Republik
tanggung jawab, terlaksananya mekanisme check and balance, untuk pemerintahan daerah
sebagai perwujudan asas desentralisasi, untuk mengelola keuangan daerah pemerintah daerah
dalam kepemilikan yang dipisahkan. bidang moneter, yang meliputi dan mengedarkan uang,

Pusat Penelitian dan Pengembangan


16 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang. Untuk mencapai kestabilan nilai tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengatur dan menjaga keuangan pada adalah Chief
Financial Officer (CFO) Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya
adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip
ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang
dan serta mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas
pemerintahan.

Menteri keuangan selaku pengelola fiskal bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi: pengelolaan
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan,
administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. Kewenangan presiden
terhadap pengelolaan keuangan negara yang dilimpahkan kepada pejabat negara, meliputi
kewenangan yang bersifat umum yang timbul dari pengurusan umum, dan kewenangan yang
bersifat khusus yang timbul dari pengurusan khusus. Kewenangan yang bersifat umum meliputi
kewenangan untuk: Menetapkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU); Menetapkan strategi
dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain menetapkan: pedoman pelaksanaan dan
pertanggungjawaban APBN, pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga,
gaji dan tunjangan, pedoman pengelolaan penerimaan negara. Kewenangan yang bersifat khusus
meliputi kewenangan membuat keputusan/kebijakan teknis berkaitan pengelolaan APBN, antara
lain menetapkan: keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian
APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.

D. PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARA


Sebagai amanat Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, keuangan negara harus diatur dalam undang-
undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalam
Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara. Disamping itu dalam diktum
menimbang undang-undang no 17 tahun 2003 juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan
pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pengertian keuangan negara dalam perspektif
Undang-undang No 17 tahun 2003 dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka (1)
yaitu: ”Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”

Dengan demikian pengertian keuangan negara diatas meliputi hal-hal hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang adalah sebagai berikut:

1. Hak-hak negara dalam pengertian keuangan negara


Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman. Sistem pemungutan pajak di Indonesia menggunakan sistem Self Assessment,
yaitu adalah sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan diberi
kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar serta melaporkan sendiri
jumlah pajak terutangnya pada negara. Tetapi penerapan sistem ini di Indonesia masih mengalami

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 17
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

berbagai hambatan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengerti tata cara
perpajakan secara menyeluruh.

Selain itu, kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak masih kurang. Untuk dapat mencapai
tujuan dari pemungutan pajak, diperlukan beberapa asas pemungutan pajak yaitu asas equality,
certainty, convinience of payment , dan efficiency (Tjahjono & Husein, 2000). Keempat asas ini
sangat penting terutama asas equality (asas keadilan) yaitu pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan Wajib Pajak.

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada
negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah:
a. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu
rakyat harus membayar pajak diibaratkan sebagai seuatu premi asuransi karena memperoleh
jaminan perlindungan tersebut.
b. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan kepada kepentingan (Misalnya perlindungan)
masing-masing orang. Sema­kin kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang
harus dibayarkan.
c. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan
daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan
yaitu: Unsur objektif yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh
seseorang dan Unsur subjektif yaitu memperlihatkan besarnya kebutuhan materil harus dipenuhi.
d. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya Sebagai
warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah
sebagai suatu kewajiban.
e. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti
menarik daya beli dan rumah tangga mayarakat untuk rumah tanggan negara. Selanjutnya
negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

Menurut pendapat beberapa ahli, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan,
pemungutan pajak harus memenuhi syarat agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan,
maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan), sesuai dengan tujuan hukum, yakni
mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan pemungutan haruslah adil. Adil dalam
perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta

Pusat Penelitian dan Pengembangan


18 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni
dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam
pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis, dasar hukum
pemungutan pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan
hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis), pemungutan pajak tidak boleh
menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak
menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil), sesuai dengan fungsi budgetair, biaya
pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana, dimana pemungutan akan memudahkan dan
mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi
oleh undang-undang perpajakan yang baru.

2. Hak negara mengedarkan uang


Mencetak dan mengedarkan uang adalah salah satu hak pemerintah yang paling penting.
Pelaksanaannya diselenggarakan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral. Sedangkan proses
percetakan uangnya dilaksanakan oleh Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia
(Perum Peruri). Menurut Undang-undang Bank Sentral Nomor 13 tahun 1968 pasal 26 ayat 1, Bank
Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang logam dan kertas. Hak tunggal untuk
mengeluarkan uang yang dimiliki Bank Indonesia tersebut disebut hak oktroi atau uang bank.

Uang logam biasanya terbuat dari emas atau perak karena emas dan perak memenuhi syarat-
syarat uang yang efesien. Karena harga emas dan perak yang cenderung tinggi dan stabil, emas dan
perak mudah dikenali dan diterima orang. Di samping itu, emas dan perak tidak mudah musnah.
Emas dan perak juga mudah dibagi-bagi menjadi unit yang lebih kecil. Di zaman sekarang, uang
logam tidak dinilai dari berat emasnya, namun dari nilai nominalnya. Nilai nominal itu merupakan
pernyataan bahwa sejumlah emas dengan berat tertentu terkandung di dalamnya, dimana Nilai
Nominal, yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang.
Misalnya seratus rupiah (Rp. 100,00), stau lima ratus rupiah (Rp. 500,00). Nilai Tukar, nilai tukar
adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli uang).

Uang kertas adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar dan cap tertentu dan merupakan
alat pembayaran yang sah. Menurut penjelasan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
yang dimaksud dengan uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan
kertas atau bahan lainnya (yang menyerupai kertas).

Uang kertas mempunyai nilai karena nominalnya. Oleh karena itu, uang kertas hanya memiliki dua
macam nilai, yaitu nilai nominal dan nilai tukar. Ada 2(dua) macam uang kertas :
a. Uang Kertas Negara (sudah tidak diedarkan lagi), yaitu uang kertas yang dikeluarkan oleh pemerintah
dan alat pembayaran yang sah dengan jumlah yang terbatas dan ditandatangani mentri keuangan.
b. Uang Kertas Bank, yaitu uang yang dikeluarkan oleh bank sentral,

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 19
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

3. Hak negara melakukan pinjaman


Hak negara untuk mengadakan pinjaman meliputi pinjaman dalam negeri maupun pinjaman
luar negeri. Pinjaman dalam negeri dalam hal ini dapat dibedakan atas pinjaman jangka panjang
dan pinjaman jangka pendek. Pinjaman jangka pendek diperoleh dengan mengambil uang muka
pada Bank Indonesia. Sedangkan pinjaman jangka panjang dilakukan dengan menerbitkan
kertas-kertas berharga seperti obligasi, dan menjualnya kepada masyarakat.

4. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;

5. Penerimaan/Pendapatan Negara;
Penerimaan atau pendapatan negara dan hibah didapat dari dua sektor yaitu penerimaan dalam
negri dan hibah. Di penerimaan dalam negri masih dibagi lagi menjadi dua sektor yaitu penerimaan
perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Sedangkan penerimaan perpajakan masih
dibagi menjadi dua sektor lagi yaitu pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak, penerimaan perpajakan memiliki jumlah
yang lebih besar. Hal ini menandakan bahwa pajak merupakan pendapatan terpenting dari
pemerintah. Besar kecilnya pajak yang ditentukan pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap
pendapatan dan pengeluaran pemerintah. Karena besarnya pendapatan baik dari pajak atau
bukan, secara tidak langsung akan mempengaruhi jumlah pengeluaran yang juga akan meningkat.

6. Pengeluaran negara;
Pengeluaran negara adalah pengeluaran pemerintah menyangkut pengeluaran untuk membiayai
program-program dimana pengeluaran itu ditujukan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran
pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan
kebijakan tersebut. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator
besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah. Semakin besar dan
banyak kegiatan pemerintah semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan.
Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari tiga pos utama yang dapat
digolongkan sebagai berikut: (Boediono,1999):
a. Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa.
b. Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai.
Perubahan gaji pegawai mempunyai pengaruh terhadap proses makro ekonomi, di mana
perubahan gaji pegawai akan mempengaruhi tingkat permintaan secara tidak langsung.
c. Pengeluaran pemerintah untuk transfer payment.
Transfer payment bukan pembelian barang atau jasa oleh pemerintah dipasar barang
melainkan mencatat pembayaran atau pemberian langsung kepada warganya yang meliputi
misalnya pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat,
pembayaran pensiun, pembayar­an bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat.
Secara ekonomis transfer payment mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan pos
gaji pegawai meskipun secara administrasi keduanya berbeda.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


20 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
7. Penerimaan daerah;
Penerimaan atau pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melaluim rekening kas
umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu
tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan asli daearah terdiri
dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
1) Hasil pajak Daerah, seperti : pajak hotel, restoran, hiburan, kendaraan bermotor
2) Hasil Retribusi Daerah, seperti: parkir, kebersihan, izin usaha, jasa pariwisata, pasar,
terminal
3) Hasil perusahaan milik Daerah, seperti: dividen, laba dan penjualan saham milik daerah
4) hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
b. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
1) Dana Perimbangan, yaitu dana yang dialokasikan ke daerah untuk pembiayaan keperluan
daerah, seperti untuk: DAU (Dana Alokasi Umum), Dana Bagi Hasil, DAK (Dana Alokasi
Khusus), dan dana kontijensi.
2) Pinjaman Daerah bisa bersumber dari pinjaman dalam negeri, luar negeri;
3) Lain-lain Penerimaan yang sah seperti penjualan aset tetap daerah, jasa giro;

8. Pengeluaran daerah;
a. Belanja administrasi umum, adalah belanja tidak langsung dan tidak menambah aset tetap.
Misalnya belanja gaji pegawai, listrik, air, telepon, dan pemeliharaan kendaraan.
b. Belanja operasional dan pemeliharaan, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi
oleh adanya kegiatan tetapi tidak menambah aset. Misalnya operasi penertiban pedagang
kaki lima.
c. Belanja modal, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi oleh adanya kegiatan
secara langsung dan menambah aset. Misalnya pembangunan gedung, pembelian kendaraan
bermotor, dan pembangunan jalan.
d. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan. Belanja ini bersifat langsung tanpa indikator
kinerja. Misalnya belanja provinsi untuk alokasi bagi hasil. Alokasi tersebut bisa berupa
pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor ke kabupaten atau kota,
bantuan kepada organisasi kemasyarakatan, olahraga, profesi, dan pengeluaran ke desa yang
berasal dari pendapatan bukan pajak..
e. Belanja tidak disangka, dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah yang mendesak
untuk dilaksanakan tetapi belum ada anggarannya.

9. Kekayaan negara/kekayaan daerah


Kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan negara;
a. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaran tugas
pemerintahan dan atau kepentingan umum;
b. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 21
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

E. ASAS-ASAS UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA


Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Sektor Publik menjadi
semakin signifikan. Dalam perkembangannya, APBN telah menjadi instrumen kebijakan multi
fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan bernegara. Hal tersebut terutama
terlihat dari komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan
tujuan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, agar fungsi APBN dapat berjalan secara
optimal, maka sistem anggaran dan pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus
dilakukan dengan cermat dan sistematis.

Sebagai sebuah sistem, pengelolaan anggaran negara telah mengalami banyak perkembangan.
Dengan keluarnya tiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu Undang
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia
terus berubah dan berkembang sesuai dengan dinamika manajemen sektor publik.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,


pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan
bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang
Dasar 1945. Aturan pokok Keuangan Negara telah dijabarkan ke dalam asas-asas umum, yang
meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti
asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru
sebagai pencerminan penerapan kaidah- kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan
keuangan negara. Penjelasan dari asas tersebut adalah sebagai berikut:
1) Asas Tahunan, memberikan persyaratan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan yang
harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR);
2) Asas Universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan
terjadinya percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara;
3) Asas Kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua
pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan
anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya;
4) Asas Spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran
tertentu/tersendiri dan diselenggara­kan secara konsisten baik secara kualitatif maupun
kuantitatif.
Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu
merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui.
Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang
telah ditentukan.
5) Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna
anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau
kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.
6) Asas Profesionalitas mengharuskan pe­nge­lolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga
yang profesional.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


22 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
7) Asas Proporsionalitas; pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada
fungsi-fungsi kemen­terian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin
dicapai.
8) Asas Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan
dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan
oleh lembaga audit yang independen.
9) Asas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi
kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan
atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen. Asas-asas umum
tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan
daerah.

Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di UU No 17 Tahun 2003, pelaksanaan undang-


undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus
dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

F. PERUMUSAN KEUANGAN NEGARA


Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara pada Undang-undang Nomor
17 tahun 2003 ini adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud
dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengna pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi
subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut
di atas yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah,
perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggung jawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi
seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau
penguasaan objek sebagaimana tersebut daitas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam
sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance
dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara
profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan
dalam undang-undang dasar. Sesuai dengan amanat pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam undang-undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi
baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas
tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 23
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan
negara, antara lain:
1. akuntabilitas berorientasi hasil,
2. profesionalitas,
3. proporsionalitas,
4. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara,
5. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri,

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip


pemerintahaan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar
1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang keuangan
negara,pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen
keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

G. PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA


Sejak kemerdekaan dilontarkan para pendiri republik telah memikirkan kemerdekaan secara utuh.
Bukan saja kemerdekaan dari segi fisik, politis, ekonomis, tetapi juga kemerdekaan dalam mengatur
segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, mereka pun telah memikirkan
bagaimana mengelola keuangan Negara yang merupakan darah kehidupan suatu Negara.

Beranjak dari pemikiran tersebut, pada tahun 1945 lahirlah Tim pertama di bawah Achmad
Natanegara yang menggagas perlunya Undang-undang Keuangan Negara. Dari situlah lahir
suatu keinginan untuk mengelola keuangan negara republik yang masih muda pada saat itu
dalam kerangka suatu negara merdeka dengan kelengkapan kelembagaan politisnya, satu
konsep undang-undang pun kemudian dilahirkan oleh suatu Tim di bawah pimpinan Herman
pada tahun 1946. Namun sayang, konsep undang-undang tersebut tidak pernah mendapat
kesempatan untuk dibahas di lembaga legislatif, sudah belasan Tim berganti hingga akhir tahun
90-an ternyata tidak semua mampu menghasilkan konsep undang-undang, hal ini menunjukkan
bahwa masalah keuangan Negara merupakan sesuatu yang sangat rumit. Bahkan dalam suatu
periode sebelum lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, tercetus suatu ikrar
antara pemerintah dan pihak tertentu (Badan Pemeriksa Keuangan), yaitu ‘bersepakat untuk
tidak sepakat’ tentang definisi dan konsep keuangan Negara.

Sementara itu, acuan penyusunan Undang-undang keuangan Negara, yaitu Undang-Undang


Dasar 1945, mengatur masalah keuangan (Negara) dengan sangat idealis dan prinsipil dan hampir
tidak memberikan ruang untuk berpikir secara teknis-operasional. Hal ini dapat diperhatikan
makna yang terkandung dalam pasal 23 yang hanya menyatakan kewenangan lembaga legislatif
dan interaksinya dengan pemerintah dalam penyusunan Undang-Undang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.

Kebutuhan terhadap aturan pengelolaan keuangan semakin hari terasa semakin mendesak.
Indische Comptabiliteits Wet (ICW) yang digagas oleh pemerintahan kolonial pada tahun 1864 dan

Pusat Penelitian dan Pengembangan


24 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
diundangkan pada 1925, peraturan ini pertama diawalai dengan Algemene Rekenkamer (ARK),
yaitu Regeling van dewijze van beheer en verantwoording der geldmiddelen van Nederlandsch
Indie. Peraturan ini ditandatangani oleh Raja Willem III pada 23 April 1864. Dikemudian hari, dengan
berbagai perubahan, peraturan ini diundangkan kembali dengan lembaran negara atau Staatsblad
1925 No. 448, atau dikenal dengan nama Indische Comptabiliteitswet (ICW).

Raja Willem III wafat pada 23 November 1890. Calon penggantinya Wilhelmina. Hanya saja
Wilhelmina ini belum dewasa. Sambil menunggu calon pengganti dewasa, roda kerajaan
dipegang terlebih dahulu oleh istri dari Raja Willem III, Putri Emma. Putri Emma ini yang menjadi
Wali kerajaan Belanda. Semasa menjadi Wali kerajaan, pada 15 Maret 1898, Putri Emma
menandatangani peraturan perundang-undangan baru yang mendukung tugas aRk. Peraturan
tersebut yaitu Instructie en verdure bepalingen voor de Algemene Rekenkamer in Nederlandsche
Indie (IAR). Peraturan ini dimasukkan dalam staatsblad 1898 No. 164. Inilah yang kemudian
dikenal sebagai IaR. IaR inilah yang menjadi undang-undangnya Algemene Rekenkamer. kalau
saat ini sama seperti Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Sementara ICW lebih dulu diterbitkan, merupakan peraturan mengenai penguasaan, pengurus­an,
dan pertanggungjawaban keuang­an Hindia Belanda. Setelah Wilhelmina dewasa dan dinobatkan
menjadi Ratu Belanda, emasanya, IAR ini kemudian disempurnakan lagi dengan peraturan yang
dimasukkan dalam staatsblad 1933 No. 320. Selain itu, pada masa Wilhelmina diberlakukan pula
peraturan Indische Bedrijvenwet yang tertuang di dalam staatsblad 1927 No. 419, peraturan ini
dikenal dengan singkatan IBW.

Peraturan ini mengatur tentang perusahaan-per­usah­aan berbadan hukum. Akhirnya ARK dalam
menjalankan tugasnya berpatokan pada ketiga peraturan tersebut yaitu ICW, IAR, dan IBW.
Berdasarkan ketiga peraturan tersebut, tugas Algemene Rekenkamer, secara umum, yaitu:
1. Melakukan pengawasan atas pengurusan keuangan, baik pengeluaran maupun penerimaan
negara.
2. Melakukan toezicht atau pengawasan atas pengurusan barang negara, baik dalam gudang-
gudang negara maupun di tempat-tempat lainnya.
3. Melakukan pemeriksaan terhadap perhitungan anggaran dan perhitungan bendaharawan.
Sementara, berdasarkan ketiga peraturan itu, secara umum, fungsi ARK, yaitu:
1. Melakukan pemeriksaan terhadap pengurusan (penguasaan, penggunaan, pembukuan) dan
pertanggungjawaban keuangan negara.
2. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah.
3. Menetapkan tuntutan terhadap para bendaharawan yang salah, lalai atau alpa yang melanggar
ICW dan ketentuan lainnya.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, di masa awal BPK, ketiga peraturan ini pula yang digunakan
untuk menjalankan tugasnya. Bahkan, ketiga peraturan produk kolonial Belanda tersebut
digunakan dalam jangka waktu yang sangat lama.

Lahirnya ICW memang bukan dirancang untuk mengelola keuangan Negara, melainkan untuk
mengelola keuangan sebuah wilayah tanpa pemerintahan (Hindia Belanda) yang dikendalikan

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 25
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

oleh negeri penjajah di Eropa. Wilayah tersebut pada saat itu menghadapi dua masalah besar.
Pertama, masalah eksternal dalam hubungannya dengan masyarakat internasional dalam bidang
perdagangan, yaitu dalam bentuk ketiadaan status hukum; kedua, masalah internal, yaitu
maraknya kasus korupsi di tubuh pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Sementara di sisi teknis operasional, karena berbagai situasi dan kelembagaan pemerintah sudah
tidak lagi sesuai dengan masa penjajahan, ICW sehari-hari digantikan oleh keputusan presiden yang
mengatur bukan saja ketentuan tentang kebendaharaan, melainkan juga berbagai ketentuan yang
dahulunya diatur oleh Regelen voor het Administratief Beheer (RAB), yang ditetapkan pada tahun
1933, yang mengatur aspek administratif pengelolaan keuangan yang mencakup kewenangan
otorisasi dan kewenangan ordonansering.

ICW telah mengalami suatu ‘erosi’ substansi. Konsep pengelolaan keuangan Negara (baca:
pelaksanaan anggaran Negara) di Indonesia menjadi rancu dan bias dilihat dari sudut teori.
Berbagai pihak berusaha menyusun konsep terkait dengan masalah pengelolaan keuangan negara
sesuai kebutuhan masing-masing. Pilar-pilar yang menyangga terselenggaranya good governance
dalam pengelolaan keuangan Negara, antara lain prinsip pemisahan kewenangan, terabaikan.
Kurangnya pemahaman berbagai pihak terhadap konsep dasar yang terkandung dalam ICW dan
RAB justru melahirkan sikap bahwa pemikiran yang ada dalam ke dua ketentuan perundang-
undangan tersebut merupakan suatu konsep berpikir yang harus ditinggalkan.

Sementara itu, terjadi kondisi paradoksal. Dalam kondisi yang hampir tidak memiliki nilai
substantif, adalah suatu fakta hukum ICW tetap merupakan hukum positif dalam pengelolaan
keuangan Negara di Indonesia. Oleh karena itu, ICW tetap dijadikan acuan formal dalam berbagai
penyusunan ketentuan perundang-undangan terkait dengan pelaksanaan anggaran Negara di
republik tercinta ini.

H. KEWAJIBAN PELAYANAN PUBLIK (PUBLIC SERVICE OBLIGATION)


Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat Pemerintah mempunyai kewajiban,
dimana kewajiban pelayanan publik (public service obligation) adalah kewajiban Pemerintah
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tarif yang terjangkau, penyelenggaraan
kewajiban pelayanan publik tersebut harus memenuhi standar pelayanan minimum dan
dilokasikan anggaran penyelenggaraannya dalam APBN.

Berkaitan dengan pelayanan masyarakat, dalam menyongsong era globalisasi, pemerintah harus
mempersiapkan seluruh aparatnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan sopan santun
dalam melayani masyarakat. Kemampuan aparat pelayanan dalam menghayati sopan santun
ini merupakan syarat mutlak untuk menjaga citra instansinya. Oleh karena itu perlu dijaga agar
jangan sampai terjadi hal-hal yang bisa menyinggung perasaan masyarakat yang dilayaninya.

Setiap orang menginginkan jasa pelayanan yang diterima dan yang dirasakan sesuai dengan
harapannya. Secara umum masyarakat menginginkan pelayanan yang sama dari aparatur
pemerintah, sebab warga negara yang mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum

Pusat Penelitian dan Pengembangan


26 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
berhak mendapatkan pelayanan yang sama. Pelayanan yang bersahabat dan profesional sudah
menjadi suatu syarat yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara pekerjaan administrasi
negara (Waworuntu, 1997:18).

Sianipar (1998:4), mengatakan bahwa pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan
atau mengurus keperluan seseorang atau kelompok orang. Melayani adalah meladeni/
membantu mengurus keperluan atau kebutuhan seseorang sejak diajukan permintaan sampai
penyampaian atau penyerahannya. Menurut Moenir (1998:26), pelayanan umum adalah
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material
melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan
orang lain sesuai haknya.

Pelayanan umum adalah segala bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan (Anonim,
1993:21). Sedangkan Kottler (dalam Supranto, 2001:227) mengatakan bahwa jasa/pelayanan
merupakan suatu kinerja penampilan, tidak terwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan
dari pada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berperan aktif dalam proses mengkonsumsi jasa
tersebut. Yoeti (2000:9), mengemukakan bahwa pelayanan itu diberikan kepada dua macam
pelanggan, yaitu internal customer (orang yang terlibat dalam proses produksi produk dan jasa
yang kita hasilkan) dan external customer (mereka yang berada di luar organisasi yang menerima
barang atau jasa dari pemberi pelayanan).

Dalam memberikan layanan sangat terkait kepada siapa yang kita berikan layanan tersebut, dalam
hal ini adalah pelanggan. Menurut Wijono (2000:17), pelanggan adalah seorang yang terkena
dampak produk atau proses, dimana pelanggan dapat dilihat dari dua aspek yaitu pelanggan
internal adalah mereka yang terkena dampak produk dan anggota perusahaan yang disebut
pelanggan tetapi bukan pembeli, tetapi bukan anggota dari perusahaan yang menghasilkan
produk tersebut, dan pelanggan external meliputi para pembeli dan yang berkepentingan
lainnya, dapat perusahaan lain, instansi pemerintah, masyarakat dan lain-lain.

Pelayanan pada hakekatnya berkaitan dengan perwujudan fungsi negara/pemerintahan


untuk mengatur, mengendalikan dan mengawasi, membina serta mengarahkan setiap aspek
kehidupan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang aman tertib, dinamis dan sejahtera
dalam bernegara dan berbangsa (Trenggono, 1997:38). Dengan demikian pelayanan merupakan
implementasi dari pada hak dan kewajiban antara negara/pemerintah dan masyarakat yang
harus diwujudkan secara berimbang dalam penyelenggaraan pemberian pelayanan oleh
aparatur negara/pemerintahan.

Pelayanan dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana,
terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur
dasar, sebagai berikut:
a. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum harus jelas dan diketahui
secara pasti oleh masing-masing pihak.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 27
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

b. Mutu proses dari hasil pelayanan harus diupayakan agar dapat memberikan keamanan,
kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
(Menpan, 1993:4).

Untuk dapat melihat dan merasakan baik tidaknya layanan yang diberikan kepada pelanggan,
maka sangat terkait penilaian atau perasaan pelanggan yang biasa disebut kepuasan pelanggan.
Menurut Irawan (2002:2), kepuasan adalah persepsi terhadap produk atau jasa yang telah
memenuhi harapan, pelanggan merasa puas jika persepsinya sama atau lebih dari yang
diharapkan. Disini terlihat bahwa kepuasan adalah respon permulaan dari konsumen, hasil
penilaian dari konsumen bahwa produk atau pelayanan telah memberikan tingkatan kenikmatan
dimana tingkat pemenuhannya bisa lebih atau kurang.

Sedangkan menurut Gerson (2002:5), kepuasan pelanggan adalah sebuah produk/jasa


memenuhi atau melampaui harapannya. Selanjutnya Kottler (dalam Supranto, 2001:230),
mengemukakan bahwa kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul
setelah membandingkan antara persepsi (kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan
harapan-harapannya).
Menurut Supriyanto dan Sugiyanti (2001:38), pelayanan sebagai upaya untuk membantu,
menyediakan atau mengurus keperluan orang lain. Keperluan atau sesuatu yang disampaikan,
disajikan atau dlakukan oleh pihak yang melayani kepada pihak yang dilayani dinamakan layanan.
Layanan yang diberikan pelanggan dapat berupa:
a. Barang-barang nyata (tangible), misalnya: buku, komputer, kendaraan, dan sebagainya.
b. Barang-barang tak nyata (intangible) seperti informasi, misalnya: keterangan cuaca, daftar
menu makanan di restaurant, dan sebagainya.
c. Jasa dalam bentuk keahlian atau ketrampilan untuk mengurus keperluan dari pihak yang
dilayani, misalnya: layanan yang diberikan seorang teknisi, dosen, pengemudi, konsultan,
pelawak, penyiar radio, pengacara, notaris, dan lain-lain.

Pelanggan yakni pihak-pihak yang dilayani didalam kegiatan pelayanan dan menurut status
keterlibatan dengan lembaga yang melayani, pelanggan dibedakan 2 golongan: Pelanggan
eksternal yaitu semua pelanggan yang berasal dari luar organisasi bukan warga organisasi.
Pelanggan internal yaitu para karyawan atau unit-unit lain di dalam organisasi yang memperoleh
pelayanan dari unitnya. (Supriyanto dan Sugiyanti, 2001:39)
Sesuai SK Menpan Nomor 61 Tahun 1993 memuat pedoman dasar bagi tata laksana pelayanan
umum oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat. Semua layanan umum diharapkan dapat
mengandung unsur-unsur:
a. Kesederhanaan: pelayanan umum harus mudah, cepat, lancar, tidak berbelit-belit, mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan.
b. Kejelasan dan kepastian: dalam hal prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, unit dan
pejabat yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban petugas maupun pelanggan, dan
pejabat yang menangani keluhan.
c. Keamanan: proses dan hasil pelayanan harus aman dan nyaman, serta memberikan
kepastian hukum.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


28 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
d. Keterbukaan: segala sesuatu tentang proses pelayanan harus disampaikan secara terbuka
kepada masyarakat, diminta atau tidak diminta.
e. Efisien:tidak perlu terjadi duplikasi persyaratan oleh beberapa pelayanan sekaligus.
f. Ekonomis: biaya pelayanan ditetapkan secara wajar dengan mempertimbangkan nilai
layanan, daya beli masyarakat, dan peraturan perundangan lainnya.
g. Keadilan:pelayanan harus merata dalam hal jangkauan dan pemanfaatannya.
h. Ketepatan waktu: tidak perlu berlama-lama.

Pelayanan publik adalah dapat diartikan melayani kepentingan masyarakat umum dalam sebuah
negara. Pelayanan publik artinya memberikan pelayanan (melayani) keperluan masyarakata
umum dalam sebuah negara (The Liang Gie 1997: 15). Menurut Moenir (2000: 26) pelayanan
publik adalah seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem,
prosedur dan metode tertentu melalui kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Sedangkan
Islamy (2002: 4) mengemukakan bahwa pemberian pelayanan harus berlandaskan pada beberapa
prinsip pelayanan prima sebagai berikut di bawah ini meliputi:
a. Appropriateness, setiap jenis, produk, dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah harus
relevan dan signifikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat;
b. Accesibility, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan harus dapat di
akseskan sedekat dan sebanyak mungkin oleh pengguna pelayanan;
c. Continuity, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
harus secara terus-menerus tersedia bagi masyarakat pengguna jasa layanan;
d. Tehnicality, setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan perintah harus
ditangani oleh petugas yang benar-benar memiliki kecakapan teknis pelayanan tersebut
berdasarkan kejelasan, ketetapan dan kemantapan aturan, sistem, prosedur dan instrumen
pelayanan yang baku;
e. Profittability, setiap, jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
harus benar-benar dapat memberikan keuntungan ekonomi dan sosial dan masyarakat;
f. Equitabily, setiap, jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
harus tersedia dan dapat diakses dan diberikan secara adil dan merata kepada segenap
anggota masyarakat tampa kecuali;
g. Transprancy, setiap, jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
dilakukan secara transparan sehingga masyarakat pegguna jasa layanan dapat menggunakan hak
dan kewajiban atas pelayanan tersebut dengan baik dan benar;
h. Accountabiliy, setiap jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan pemerintah
harus dilaksanankan secara berhasil dan berdaya guna serta sesuai dengan biaya dan
mamfaat sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat;
i. Effictiveness, and Efficienciy, setiap jenis produk, proses dan mutu pelayanan yang disediakan
oleh pemerintah harus dilaksanakan secara berhasil dan berdaya guna serta sesuai dengan
biaya dan manfaat sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat;

I. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK


Luasnya penerapan lingkup penerimaan bukan pajak pada saat ini di Indonesia serta pola
penggunaannya yang tampaknya sangat bervariasi telah menimbulkan pertanyaan pada setiap

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 29
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

orang tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan penerimaan negara bukan pajak. Mengapa
penerimaan negara jenis itu diadakan? Dan bagaimana pengelolaannya?

Untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan mendasar dimaksud, tampaknya kita harus
kembali mencermati pemikiran yang terkandung dalam teori Ilmu Keuangan Negara. Uraian yang
disajikan di bawah ini akan difokuskan pada masalah penerimaan bukan pajak (PNBP), khususnya
yang berasal dari pemberian fasilitas tertentu kepada kelompok tertentu. Untuk memudahkan
pemahaman terhadap praktek yang ditrapkan dalam sistem pengelolaan keuangan negara di
Indonesia, penyajian dilakukan melalui pendekatan konsepsional (conceptional approach) dan
pendekatan praktis (practical aprroach) sebagai dasar acuan sebelum dilakukan analisis terhadap
implementasinya di Indonesia.

J. PENDEKATAN KONSEPSIONAL KEUANGAN NEGARA


Bila kita mengamati teori keuangan negara, akan terlihat beberapa pola klasifikasi, baik di sisi
pengeluaran maupun di sisi penerimaan negara. Khusus di sisi penerimaan negara dapat dilihat
antara lain pengklasifikasian dalam penerimaan negara dari sektor perpajakan dan dari sektor
bukan perpajakan. Secara historis, klasifikasi penerimaan negara dimaksud merupakan klasifikasi
yang paling awal ketika gagasan tentang pengelolaan keuangan negara mulai dikembangkan.
Klasifikasi ini semula diilhami oleh perdebatan di dalam lembaga perwakilan rakyat tentang
besaran kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat, dalam bentuk kewajiban perpajakan
dan kewajiban lainnya yang terkait dengan layanan masyarakat tertentu dalam rangka
pelaksanaan pembiayaan kegiatan pemerintahan negara.

Sektor penerimaan negara yang terkait dengan layanan masyarakat tertentu yang menjadi
tanggungjawab pemerintah, menurut kepustakaan, semula dikenal dengan istilah revenue
domanial, yaitu merupakan pendapatan negara yang pada hakekatnya bersumber dari
semua milik negara, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan tertentu yang dalam
pelaksanaannya dapat menghasilkan penerimaan negara. Secara konkrit, penerimaan dimaksud
berasal dari penjualan hasil kekayaan alam dan kekayaan yang menjadi milik negara. Disamping
itu, penerimaan ini juga berasal dari hasil pemberian fasilitas atau ijin kepada kelompok
masyarakat tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu. Oleh karena itu, bila diperhatikan,
penerimaan jenis ini terserak di berbagai kementrian tergantung pada tugas dan fungsi
kementrian yang bersangkutan.

Dari segi gagasan, munculnya penerimaan negara bukan pajak jenis ini ditopang oleh tiga
pertimbangan, yaitu: pertama, pertimbangan keadilan; kedua, pertimbangan bahwa dalam
pemungutan tersebut terkandung hak dan kewajiban pemerintah yang terkait secara langsung;
dan ketiga, pertimbangan bahwa pengeluaran yang dilakukan pemerintah merupakan fungsi
dari penerimaannya.

1. Prinsip keadilan
Penyediaan layanan dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, yang dikenal
dengan istilah public goods, pada prinsipnya merupakan kewajiban Pemerintah yang harus
disediakan secara cuma-cuma (free of charge). Layanan dasar tersebut, menurut berbagai

Pusat Penelitian dan Pengembangan


30 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
kepustakaan, berupa keamanan dan ketertiban, kesehatan, pendidikan, keadilan, dan semua
layanan yang tergabung dalam kelompok pekerjaan umum pemerintah.

Kewajiban inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan darimana pendanaan untuk


pembiayaan penyediaan layanan tersebut dapat diperoleh. Respon yang kemudian lahir adalah
diciptakannya berbagai pungutan pemerintah yang bersifat memaksa dan tanpa diberikan
imbalan, yang selanjutnya kita kenal dengan pungutan pajak. Pungutan yang bersifat memaksa
tersebut dirasakan wajar. Hal ini mengingat public goods memiliki ciri utama yang berupa non
excludability, yang artinya tidak seorangpun dapat dikecualikan untuk menikmati layanan
tersebut. Oleh sebab itulah pungutan pajak itupun secara prinsip bersifat non excludable, artinya
tidak seorang pun dapat dikecualikan dari pungutan pajak.

Disamping layanan dasar yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya, terdapat pula layanan
semi dasar yang hanya dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Sebagaimana halnya
layanan dasar, penyediaan layanan semi dasar ini pun pada hakekatnya merupakan kewajiban
pemerintah. Hanya karena sifatnya yang agak eksklusif, sehingga tidak semua masyarakat
membutuhkannya, secara teori, dipandang tidak adil bila layanan semi dasar ini harus dibiayai
melalui penerimaan perpajakan yang ditanggung oleh seluruh masyarakat.

Atas dasar pemikiran di atas, penyediaan layanan semi dasar tersebut kemudian dilakukan melalui
pola cost sharing. Artinya, masyarakat pengguna layanan semi dasar pemerintah tersebut diwajibkan
membiayai sebagian dana yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk penyediaan layanan dimaksud.

Dalam beberapa jenis layanan tertentu yang sifatnya lebih eksklusif, masyarakat diwajibkan
membayar sebagian besar biaya layanan diterimanya. Dalam hal yang demikian, pungutan
terhadap masyarakat atas layanan tersebut bukan hanya untuk membiayai proses produksi
jasa dalam penyediaan layanan itu sendiri, tetapi juga merupakan penerimaan Negara dalam
arti sebenarnya yang dalam berbagai kepustakaan tentang Keuangan Negara dikenal sebagai
administrative tax. Namun demikian, yang harus diperhatikan adalah bahwa penerimaan
dimaksud tetap merupakan earmarked revenue, yaitu sejenis penerimaan yang dikaitkan dengan
suatu pengeluaran tertentu.

2. Mengandung hak dan kewajiban Negara


Bila dicermati konsep pemikiran tersebut di atas, kendati tidak harus menanggung pembiayaan
secara keseluruhan, pada hakekatnya, kewajiban menjamin tersedianya layanan tertentu kepada
masyarakat tertentu tersebut ada di tangan Pemerintah. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan
peran pemerintah sebagai otoritas. Oleh karena itu, dengan mengacu pada prinsip cost sharing
dalam penyediaan layanan tertentu kepada masyarakat tertentu tersebut hak Pemerintah untuk
memungut penerimaan dari masyarakat tersebut, di satu sisi, diikuti oleh kewajiban, di sisi
lainnya. Kewajiban dimaksud dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu kewajiban substantif dan
kewajiban teknis atau kewajiban operasional.

Kewajiban substantif adalah kewajiban pemerintah terkait dengan kompetensinya selaku


pemegang otoritas dalam pemerintahan. Kewajiban ini melekat pada pemerintah dan tidak

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 31
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

dapat didelegasikan kepada siapa pun. Secara konkrit, kewajiban substantif ini dilaksanakan
oleh kementrian/ lembaga beserta jajarannya dalam bentuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Sementara itu, kewajiban teknis merupakan kewajiban pemerintah untuk mendukung


terwujudnya layanan yang dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tersebut. Kewajiban
ini dapat berupa kegiatan, penyediaan sarana maupun prasarana yang memungkinkan
proses penyediaan layanan pemerintah dimaksud menjadi lebih mudah. Kewajiban ini,
karena sifatnya merupakan pemberian dukungan (supportive activity), dapat dilakukan oleh
pemerintah sendiri atau dilakukan oleh pihak-pihak lain, sepanjang pemerintah, karena alasan
tertentu, misalnya: ketersediaan alokasi anggaran, teknologi, ataupun alasan efisiensi, belum
dapat melaksanakan sendiri. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa produk yang
mendukung jasa layanan pemerintah tersebut harus sesuai dengan standard, norma, maupun
kebutuhan pemerintah dalam pemberian layanan, dan juga yang lebih penting harus mampu
mendukung peningkatan kualitas layanan itu sendiri.

3. Pengeluaran merupakan fungsi penerimaan


Sebagai earmarked revenue penerimaan negara ini memiliki ciri khusus dibandingkan
dengan penerimaan dari sektor perpajakan. Terkaitnya penerimaan jenis ini dengan
pengeluarannya membawa konsekuensi bahwa setiap terjadi peningkatan dalam
penerimaan akan sekaligus mempengaruhi besaran pengeluaran yang bersangkutan.
Hal ini tentunya dapat dipahami, karena semakin tinggi penerimaan menunjukkan telah
terjadi peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap layanan tertentu dimaksud. Hal
ini membawa konsekuensi bahwa pemerintah harus menambah produksi layanan yang
dibutuhkan. Dan konsekuensinya, kebutuhan anggaran untuk kegiatan tersebut secara
otomatis akan meningkat.

Hal ini berbeda dengan penerimaan dari sektor perpajakan. Meningkatnya penerimaan negara
dari sektor perpajakan belum pasti disebabkan karena adanya peningkatan kegiatan pemerintah
yang dibiayai dari sektor ini, karena penerimaan dari sektor perpajakan tidak dikaitkan secara
langsung dengan pengeluaran tertentu. Oleh karena itu, peningkatan penerimaan di sektor
perpajakan mungkin saja akan meningkatkan pengeluaran pemerintah pada umumnya, atau
kemungkinan akan meningkatkan saldo lebih pada akhir tahun anggaran.

K. PENDEKATAN PRAKTIS
Penerapan konsep tersebut di atas dalam pelaksanaan dapat dilihat melalui dua aspek, yaitu
aspek yuridis-administratif dan aspek implementatif.

1. Aspek yuridis-administratif
Seperti pula halnya semua penerimaan dan pengeluaran negara pada umumnya, penerimaan
negara bukan pajak dan juga pengeluaran yang dibiayai dari penerimaan tersebut, pada
prinsipnya, harus dicatat secara teratur dalam tata pembukuan pemerintah yang dilakukan
di masing-masing kementrian. Disamping itu, penerimaan ini pun harus tunduk pada aturan
baku tentang pengelolaan Keuangan Negara.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


32 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Oleh karena itu, walaupun penerimaan negara bukan pajak dikecualikan dari prinsip non-
affectation, sesuai dengan sifat penerimaan dan pengeluarannya, berbagai prinsip utama dalam
pengelolaan keuangan negara seperti prinsip-prinsip periodisitas, spesialitas, universalitas, dan
prinsip pencatatan secara bruto harus tetap dipertahankan.

Dengan mengacu pada prinsip-prinsip di atas, penerimaan negara bukan pajak wajib disetorkan
ke Kas Negara tepat pada waktunya sesuai dengan jumlah yang diterima, dan hanya dapat
digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah ditentukan dalam periode tahun anggaran
yang sama.

2. Aspek implementatif
Beberapa kritik yang muncul dalam pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak ini antara
lain adalah bahwa penggunaan dana yang diterima dari masyarakat pengguna layanan tertentu
tersebut sering terkendala aturan birokratis. Hal ini pada gilirannya menyebabkan kualitas
layanan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Rendahnya kualitas layanan
pemerintah tersebut bukan saja diwujudkan dalam norma waktu yang relatif lama, tetapi juga
dalam kualitas layanan dalam arti yang sebenarnya.

Hal yang demikian dapat dipahami, mengingat penggunaan penerimaan negara bukan pajak
tetap terikat pada sistem dan prosedur umum yang berlaku dalam pengelolaan keuangan
negara. Ketentuan yang mengharuskan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran Negara
tercatat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, dan baru dapat dipergunakan setelah
diotorisasikan oleh lembaga legislatif membuat penerimaan maupun pengeluaran jenis ini tidak
memiliki perbedaan maupun fleksibilitas sebagaimana diharapkan. Hal tersebut masih ditambah
lagi dengan prosedur pengeluaran negara yang seringkali cukup berbelit.

3. Harga Pelayanan Publik yang Dibebankan Masyarakat


Jika pemerintah membebankan biaya pelayanan pada masyarakat, maka pemerintah dituntut
menentukan harga pelayanan publik yang tepat. Aturan yang biasa dipakai adalah beban
(charge) dihitung sebesar total biaya untuk menyediakan pelayanan tersebut (full cost
recovery). Dalam menghitung besarnya biaya total terdapat beberapa kesulitan seperti:
a. Sulitnya menentukan biaya total (full cost) dalam menyediakan suatu pelayanan
b. Sulitnya menentukan jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi
c. Pembebanan tidak memperhitungkan kemampuan masyarakat untuk membayar
d. Menentukan biaya apa saja yang patut untuk diperhitungkan sebagai total biaya

Ahli ekonomi biasanya menyarankan untuk menggunakan marginal cost pricing, yaitu tarif
yang dipungut sama dengan biaya untuk melayani konsumen. Marginal cost pricing mengacu
pada harga pasar yang seimbang (ceteris paribus) sehingga lebieh efisien dan meningkatkan
output sampai titik dimana marginal cost sama dengan harga jual.

Dalam praktiknya, penerapan pembebanan dengan marginal cost pricing harus memperhatikan
hal-hal seperti:

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 33
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

– Biaya operasional variable (variable operating cost)


– Biaya modal atas aktiva yang digunakan untuk memberi pelayanan (semi variable overhead
cost)
– Biaya penggantian atas asset modal yang digunakan dalam penyediaan pelayanan
– Biaya penambahan asset modal yang digunakan untuk penyediaan pelayanan
Pembebanan biaya untuk penyediaan pelayanan publik memiliki kesulitan dalam menetapkan
tariff. Pemerintah di tuntut untuk tepat dan efektif dalam menentukan tarif. Penetapan harga
didasari pada penyediaan barang dan jasa yang akan diberi, tetapi sangat sulit untuk menentukan
harga yang tepat. Maka dari itu harus ada perhitungan yang tepat dalam menentukan harga
tersebut, bisa melalui biaya produksi, biaya overhead, atau biaya tenaga kerja langsung.

Meskipun sangat sulit mengukur jumlah tarif pelayanan yang dikonsumsi masyarakat namun pada
prinsipnya pembebanan harus merefleksikan biaya total (fullcost) untuk menyediakan pelayanan
tersebut. Sehingga tidak terlihat tindak ketidak adilan dalam pembebanan tarif pelayanan pada
masyarakat.

Dalam pembebanan penetapan harga pelayanan publik tidak memperhitungkan mampu


atau tidaknya masyarakat membayar barang atau jasa dari pelayanan tersebut. Sehingga
masyarakat yang kurang mampu, tidak bisa menggunakan pelayanan tersebut. Oleh karena itu
pemerintah seharusnya memberikan subsidi sehingga masyarakat yang kurang mampu juga
bisa merasakan pelayanan tersebut dalam pemenuhan kebutuhannya.
4. Penentuan Harga dan Pasar yang Kompetitif untuk Barang dan Jasa Sektor Publik
Pasaran bagi barang dan jasa sektor publik tercipta lewat aturan maupun mekanisme yang
diatur Negara, sehingga pelayanan publick tidak beroperasi sebagaimana layaknya barang dan
jasa dipasar umum. Dalam pasar umum, struktur dan operasinya ditentukan oleh teknologi dan
tingkat inovasi, pengetahuan dan pengembangan intelektual, serta penjual dan konsumen dapat
leluasa untuk masuk dan keluar dari pasar. Dalam situasi seperti itu harga merupakan instrument
memaksimalkan keuntungan. Sementara harga barang dan jasa dalam pelayanan sektor publik
bukan untuk mencapai hal yang sama.

Pemerintah tidak bisa berasumsi bahwa penentuan harga untuk pelayanan barang dan jasa
sektor publik akan menciptakan suatu pasar yang kompetitif atas aktivitasnya. Hanya dalam
situasi tertentu harga barang dan jasa pelayanan sektor publik mencerminkan permintaan yang
ada, dikarenakan harga yang dibayar konsumen tidak melebihi seluruh biaya untuk menghasilkan
barang atau jasa tersebut.

5. Pentingnya Kebijakan Netralitas Kompetisi yang Sehat


Penggunaan mekanisme kerjasama maupun kontrak pekerjaan pelayanan kepada pihak swasta
yang selama ini dilakukan sendiri oleh pemerintah, dalam suatu pelelangan yang kompetitif-
pemerintah mendorong pihak swasta untuk ikut serta dalam tender-tender pekerjaan sektor
publik . Dengan cara pelelangan seperti ini pemerintah mengharapkan agen-agen sektor publik ,
seperti badan-badan usaha public misalnya BUMN berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan
swasta agar tercapai penghematan biaya dan perbaikan dalam memberikan pelayanan.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


34 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Agar pihak swasta juga berkompetensi secara sederajat berdasarkan basis yang sama, setiap
keunggulan sektor pemerintah atas swasta perlu dinetralisasi berdasarkan kebijakan netralitas
dalam berkompetisi yang dijamin oleh Negara. Menurut Robinson, ada dua alasan penting
mengapa kebijakan netralitas berkompetisi itu penting ;
a. Tidak adil untuk mengharapkan perusahaan–perusahaan swasta berkom­petisi dengan
badan-badan pemerintah yang secara artificial menikmati keuntungan kompetitif.
b. Suatu keuntungan kompetitif entitas bisnis yang dimiliki pemerintah akibat adanya subsidi
silang pasti bertentangan dengan penyediaan pelayanan oleh sector swasta yang lebih
kompetitif. Jika suatu perusahaan milik pemerintah menawarkan biaya yang lebih murah
dalam penyediaan pelayanan tertentu-pemerintah harus memerhatikan apakah kompetisi
biaya yang ditawarkan lebih rendah itu akibat subsidi atau tidak.

Tujuan kebijakan netralitas adalah untuk menjamin sumber-sumber ekonomi langka yang dapat
dipakai sehingga dapat menghasilkan efek penggunaan terbaik. Oleh karena itu, kebijakan kompetisi
nasional bukan merupakan akhir, melainkan cara yang merupakan patokan dan harus dipatuhi untuk
mencapai tujuan akhir melalui penyediaan pelayanan yang optimal secara efektif dan efisien.

6. Argumen terhadap Pembebanan Tarif Pelayanan


Dalam praktiknya, terdapat argument-argument yang menentang pembebanan tarif pelayanan, disini
kami mencatat ada 3 argument yang paling sering dikeluhkan oleh sebagian masyarakat, seperti:
a. Kesulitan administrasi dalam menghitung biaya pelayanan
Tarif Pelayanan mensyaratkan adanya pencatatan dan penghitungan handal (misal:
meteran air). Hal tersebut membuat adanya penambahan dalam penyediaan pelayanan.
padahal sesungguhnya penghitungan ini lebih mudah dari penghitungan pajak penghasilan
karena hasilnya telah diketahui dengan meteran
b. Yang miskin tidak mampu membayar pelayanan
Kesenjangan ekonomi dan pendapatan lebar menyebabkan orang miskin tidak mampu
membayar pelayanan dasar yang utama seperti pendidikan, kesehatan, air bersih,
transportasi umum bahkan makanan sehat.
c. Adanya eksternalitas, merit good, dan persyaratan legal.
Eksternalitas positif (spillover effects) misalnya tarif pelayanan yang terlalu tinggi
membuat masyarakat tidak terdorong untuk menggunakannya (misal:imunisasi). Barang
yang dianggap merit good diisyaratkan untuk diberi secara gratis contohnya pendidikan.
sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan peme­rintah untuk
menyediakan pelayanan tertentu misalnya wajib blajar 9 tahun. Itu termasuk persyaratan
yang legal sesuai peraturan pemerintah yaitu bebas biaya sekolah selama wajib belajar 9
tahun sampai pada tingkat SMP.

Pembebanan tarif pelayanan memang memiliki banyak kontroversi, dipihak masyarakat


golongan menengah kebawah merata tarif yang di bebankan terasa berat. Dan ingin pelayanan
itu dibebankan pada simpanan negara, sedangkan dari pemerintah bila biaya pelayanan
publik sepenuhnya dibebankan pada simpanan Negara, bila Negara tersebut termasuk Negara
berkembang maka akan terjadi deficit keuangan Negara.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 35
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Cara yang telah dilakukan Negara dengan subsidi telah membantu masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhan sehingga dapat dirasakan masyarakat golongan menengah ke bawah
walaupun tidak sepenuhnya bisa dirasakan oleh masyarakat golongan menengah kebawah.

7. Prinsip dan Praktik Pembebanan


Sebagian barang dan jasa yang disediakan pemerintah lebih sesuai dibiayai secara pembebanan tarif.
Semakin dekat hubungan suatu pelayanan publik dengan barang privat, maka lebih tepat bila barang
tersebut dikenakan tarif. Tetapi terkadang penentuan barang tersebut termasuk jenis privat atau
publik.

Kegagalan dalam menentukan biaya akan membuat masyarakat menjadi bingung dalam memilih
barang publik yang ingin digunakan. Sedangkan Dalam praktiknya permasalahan administrasi
dan pertimbangan social politik lebih diutamakan daripada ke-efisiensi ekonomi, namun perlu
diwaspadai bahwa kesalahan dalam menetapkan tarif pelayanan publik merupakan penyebab
utama deficit anggaran di Negara berkembang. (Devas, 1989)

Sebagian barang dan jasa ada yang dibebankan langsung pada konsumen dan ada juga yang
disediakan oleh pemerintah. Bila barang tersebut termasuk barang privat maka pengenaan
tarif pada konsumen dinilai tepat guna, sedangkan bila barang yang digunakan termasuk
barang publik maka pengenaan tarif pada konsumen dinilai kurang tepat. Maka dari itu barang
yang akan digunakan harusnya diklasifikasikan terlebih dahulu apakah termasuk barang privat
atau barang publik.

Penerapan harga pada suatu barang dan jasa yang termasuk pelayanan publik diharuskan
menerapkan ke-”efisiensi ekonomi” sehingga dapat menentukan harga yang tepat dalam
penyaluran barang dan jasa kepada masyarakat, sehingga pemerintah dapat menentukan harga
dan tidak menebabkan deficit simpanan Negara.

Tetapi dalam praktiknya terdapat penyimpangan. Pelayanan yang gratis seringkali mendapatkan
pelayanan yang kurang memuaskan sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat. Maka dari itu,
pemerintah dapat mingkatkan pelayanan dengan meningkatkan juga kesejahteraan para pegawai.

8. Kegunaan Pembebanan dalam Praktik


Praktik pembebanan pelayanan publik berbeda-beda di tiap Negara dan pembebanan itu sebagai
penerimaan negara, salah satu penerimaan negara adalah charging for service. Penerimaan-
penerimaan Negara berasal dari: Pajak, Pembebanan langsung pada masyarakat (charging for
service), Laba BUMN/BUMD, Penjualan asset milik pemerintah, Utang, dan Pembiayaan deficit
anggaran (mencetak uang).

Pembebanan membantu pemerintah dalam menentukan berapa besarnya anggaran yang


dikeluarkan Negara sebagai subsidi dari simpanan pemerintah yang berasal dari penerimaan-
penerimaan diatas. Pada umumnya hal-hal yang bersifat publik seperti pertahanan, kesehatan
publik, dan jasa kepolisian dibiayai oleh pajak.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


36 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Sedangkan hal-hal yang bersifat privat (individual) seperti listrik, biaya telepon, air, transportasi
umum ditarik tarif sebesar harga total pemulihan biaya (full cost recovery prices). Lalu untuk barang
yang bersifat campuran (merit good) seperti pendidikan menengah atas, penyembuhan kesehatan,
penjagaan kesehatan (sanitasi) disediakan sebagian melalui pajak dan sebagian lagi melalui tarif.

Pembebanan dalam pelayanan publik memang membuat beberapa golongan masyarakat


merasa terbebani akan pembebanan tersebut. Padahal pembebanan terhadap pelayanan
tersebut membantu pemerintah dalam menambah pendapatan Negara sehingga bila dikelola
dengan baik dan benar maka dapat meningkatkan pelayanan publik itu sendiri.

Hanya saja perlu dilakukan managerial yang baik sehingga penerapan pembebanan tepat guna
atau tidak salah dalam meletakkan tingkat harga seperti pengelompokan barang dan jasa yang
termasuk barang privat, barang publik, atau barang merit good. Bila pemerintah dapat menjalankan
tugasnya dengan baik dan dapat melakukan efisiensi ekonomi yang tepat maka dapat mengurangi
pengeluaran dan meningkatkan pelayanan publik serta tidak menutup kemungkinan dapat
mengurangi pembebanan masyarakat terhadap pembebanan tarif.

9. Pelayanan Publik yang dapat dijual


Dalam memberikan pelayanan publik, pemerintah dapat dibenarkan menarik tarif untuk
pelayanan tertentu baik secara langsung maupun tidak melalui perusahaan milik pemerintah.
Beberapa Pelayanan Publik yang dapat dibebankan tarif pelayanan misalnya: Penyediaan air bersih,
Transportasi publik, Jasa pos dan telekomunikasi, Energi dan listrik, Perumahan rakyat, Fasilitas
rekreasi (pariwisata), Pendidikan, Jalan tol, Irigasi, Jasa pemadam kebakaran, Pelayanan kesehatan,
Pengolahan sampah dan limbah, Pelayanan Listrik (PLN), dan lain-lain
Pembebanan tarif pelayanan public kepada konsumen dapat dibenarkan karena beberapa
alasan, yaitu:
a. Adanya Barang Privat vs Barang Publik
Terdapat 3 jenis barang yang menjadi kebutuhan masayarakat, yaitu:
1) Barang privat adalah barang kebutuhan masayarakat yang manfaat barang atau jasa hanya
dinikmati secara individual oleh yang membelinya, sedangkan yang tidak mengkonsumsinya
tidak dapat menikmati barang atau jasa tersebut. Contohnya;makanan listrik, telepon, dll.
2) Barang publik adalah barang-barang kebutuhan masyarakat yang manfaat barang dan
atau jasa trersebut dinikmati oleh seluruh masyarakat secara bersama sama. Contohnya:
pertahanan nasional, pengen­dalian penyakit, jasa polisi, dan sebagainya.
3) Campuran antara barang privat dan barang publik: Dalam praktiknya, terdapat beberapa
barang dan jasa yang merupakan campuran antara barang privat dan publik. Karena, meski
dikonsumsi secara individual, seringkali masyarakat secara umum juga membutuhkan barang
atau jas tersebut. Contohnya adalah pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi publik, dan
persediaan air bersih.

Barang-barang tersebut sering disebut juga merit good yaitu barang yang semua orang
membutuhkannya tetapi tidak semua orang dapat menikmati barang dan jasa tersebut. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut peme­rin­tah biasanya menyediakannya secara lang­sung (direct
public provision), memberi subsidi, atau mengontrakkannya pada pihak swasta.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 37
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Contohnya pendidikan, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan, bisa


disubsidi dengan bantuan BOS sampai pada tingkat Sekolah menengah pertama, atau bisa juga
sektor swasta dapat terlibat dalam penyediaan pelayanan pendidikan tersebut. Jika manfaat
dirasakan secara perorangan, seperti listrik, telpon, dan air bersih, maka untuk memperoleh
barang-barang tersebut masyarakat biasanya dibebani dengan tarif tertentu, sehingga pemerintah
dapat menarik sejumlah tarif untuk penyediaan barang dan jasa tersebut. Sedangkan jika barang
yang dibutuhkan tersebut dirasakan secara umum yang tidak bisa dihilangkan dan pasti ada seperti
pertahanan dan pengendalian kesehatan, maka pendanaan tersebut lebih tepat bila didanai oleh
Pajak. Dalam penyediaan pelayanan publik, hal-hal yang perlu diperhatikan seperti:
1) Indentifikasi barang dan atau jasa (termasuk privat atau publik).
2) Sektor yang lebih berkompeten dalam penyediaan pelayanan publik.
3) Bisa atau tidaknya pelayanan publik tersebut diserahkan pada sektor publik atau sektor ketiga
4) Mengidentifikasi pelayan publik apa saja yang dapat ditangani oleh pihak swasta

10. Efisiensi Ekonomi


Ketika individu bebas menentukan berapa banyak barang/jasa yang mereka konsumsi,
mekanisme harga membantu mengalokasikan sumber daya melalui:
a. Pendistribusian permintaan:siapa yang mendapat manfaat lebih banyak maka dia akan
membayar lebih banyak.
b. Pemberian insentif untuk menghindari pemborosan
c. Pemberian insentif pada supplier berkaitan dengan skala produksi
d. Penyediaan sumber daya pada supplier untuk mempertahankan dan meningkatkan persediaan
jasa (suplly of sevice)

Tanpa adanya suatu mekanisme harga, permintaan dan penawaran tidak mungkin menuju titik
keseimbangan sehingga alokasi sumber daya tidak efisien. Akan tetapi, dalam kenyataannya pasar
sering kali tidak sempurna. Dalam banyak hal pemerintah mungkin menjadi supplier namun tidak
boleh memanfaatkan situasi ini untuk memaksimalkan keuntungan, seperti penyediaan air dan
obat-obatan.

Dalam kondisi tertentu ketika barang dan jasa bersifat public goods (eksternalitas positif)
pemerintah lebih baik menetapkan harganya dibawah harga normal (full price) atau bahkan tidak
dipungut biaya. Pemerintah juga dihadapkan pada masalah pendistribusian pen­dapatan yang
tidak seimbang, artinya golong­an kaya mampu membayar lebih di­banding yang miskin sehingga
mendapat pela­yanan yan lebih baik dari yang kurang mampu.

Pembebanan tarif pelayanan akan mendorong efisiensi ekonomi karena setiap orang akan
dihadapkan pada masalah pilihan karena kelangkaan sumber daya Jadi jika diberlakukan tarif,
maka setiap orang dipaksa berfikir ekonomis dan tidak boros.

11. Prinsip Keuntungan


Pembebanan tarif pada dasarnya menguntungkan juga pemerintah karena dapat digunakan
sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah. Tetapi pemerintah tidak diijinkan untuk

Pusat Penelitian dan Pengembangan


38 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
menarik terlalu banyak, bahkan harus dibawah harga full cost, memberi subsidi, atau memberi
secara gratis.

Charging for service berbeda dengan fee. Fee adalah biaya atas perijinan atau lisensi yang
memberikan pemerintah. Biaya perijinan/lisensi relatip kecil yang meliputi biaya administrasi
dan pengawasan serta pembiayaannya didasari pada kategori perijinan yang diajukan dan
ada tidaknya keuntungan financial yang diperoleh pemegang ijin (lisensi).

Pelayanan publik dapat di jual memiliki 3 jenis barang yaitu barang privat, barang publick
dan campuran (merit good). Barang privat dikenakan tarif, barang publik tidak dikenakan
tarif karena pembayarannya berasal dari pajak, sedangkan merit good tidak dibebankan
secara langsung kepada konsumen tetapi terdapat subsidi dari pemerintah.

Dalam menentukan tarif merit good yang berasal dari bantuan pemerintah, biasanya
pemerintah membagi sepertiga ataupun setengah dari biaya pelayanan public seperti
pendidikan dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Cara ini memang baik dan
membantu, tetapi memiliki kelemahan dalam kinerjanya karena masih seringnya pengaduan
dalam penyelewengan dana BOS. Tapi permasalahan yang lebih besar adalah pelayanan
publik merit good tidak dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat golongan bawah.

Cara yang terbaik dalam penarikan biaya adalah dengan pendataan dengan akurat pada masyarakat
sehingga dapat ditentukan apakah konsumen bisa dikenakan tarif atau tidak.

Kebebasan setiap individu untuk menentukan konsumsi barang dan jasa membuat penentuan
harga dapat memberikan batasan dalam menentukan banyaknya barang dan jasa yang
digunakan. Efisiensi Ekonomi memberi mekanisme penditribusian yang tepat dan merupakan
cara yang baik untuk mengurangi tingkat konsumenisme karena tiap individu dihadapkan
dengan masalah berupa kelangkaan sumber daya membuat individu untuk lebih ekonomis
dan tidak boros.

Pembebanan dalam pelayanan public memang ada juga menguntungkan pemerintah.


Pembebanan tarif ini juga bisa menambah pendapatan Negara, tetapi baiknya penetapan
harga pelayanan publik tidak didasari pada keuntungan semata, tetapi lebih mengutamakan
pelayanan publik daripada keuntungan pemerintah itu sendiri.

L. TEKNIK DASAR PENILAIAN INVENTASI PUBLIK


Terdapat empat langkah utama untuk mengevaluasi suatu proyek investai, yaitu:
1. Identifikasi kebutuhan investasi yang mungkin dilakukan
Organisasi sektor publik seringkali dihadapkan pada banyak alternatif inves­tasi untuk
mencapai tujuan orga­nisasinya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi alternatif-alternatif
yang memungkinkan untuk dianalisis lebih lanjut. Keterkaitan antara satu proyek dengan
proyek yang lain perlu dipertimbangkan untuk mengetahui sejauh mana penerimaan
atau penolakan suatu investasi akan dipengaruhi investasi yang lain.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 39
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

2. Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang akan dilaksanakan (cost/benefit
relationship).
Perhitungan manfaat dan biaya harus pula memasukkan analisis manfaat dan biaya sosial
yang di timbulkan dari investasi publik yang akan dilakukan. Pada organisasi sektor publik
biaya dan manfaat seringkali tidaj dapat secara langsung diukur dengan satuan uang, sehingga
teknik-teknik analisis biaya manfaat sangat cocok untuk diterapkan. Dalam analisis biaya-
manfaat ini, benefit (manfaat) ditekankan pada semua keunggulan ekonomi dan sosial yang
diperoleh, sedangkan untuk cost (biaya) ditekankan pada kelemahan-kelemahan proyek yang
dikuantifikasikan dalam bentuk uang.
3. Menghitung manfaat dan biaya dalam rupiah
Langkah kedua adalah menghitung manfaat dan biaya investasi dalam rupiah. Terkadang
terdapat kesulitan da­lam langkah kedua ini. Kesulitan yang dihadapi adalah apabila biaya dan
manfaat dari suatu proyek tidak dapat diukur dalam bentuk rupiah, misalnya manfaat dan
biaya sosial. Dalam kondisi tersebut, yang dapat dilakukan adalah menghitung nilai manfaat
dari proyek secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan analisis efektivitas biaya (cost-
effectiveness analysis).
4. Memilih proyek yang memiliki manfaat terbesar dan efektivitas biaya yang tinggi
Rasio biaya dan manfaat atau efektivitas biaya merupakan titik awal penentuan penerimaan
proyek, ada banyak ketidak­pas­tian yang dapat mempengaruhi per­hitungan. Tidak smua biaya
dan manfaat sosial dapat dimasukkan dalam perhitungan.
a. Net present benefit (NPB)
NPB merupakan nilai bersih suatu proyek setelah dikurangi seluruh biaya pada satu tahun
tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun yang bersangkutan dan
didiskontokan dengan tingkat bunga yang berlaku.

NPB= Mо-Cо + M-C + M2 + M3 + Mn-Cn


(1+t) (1+t)² (1+t)³ (1+t)ⁿ
NPB= nilai bersih, yaitu manfaat dikurangi dengan biaya pada tahun ke-n
i = tingkat bunga
n = 1,……50th. (umur proyek)
M = manfaat
C = biaya
Catatan: proyek yang dipilih adalah jenis proyek yang memiliki nilai NPB tertinggi.

b. Analisis Payback Period


APP digunakan untuk mengetahui jangka waktu pengembalian investasi.
payback period=investasi awal keuntungan tahunan
Kelemahan payback period, yaitu:
1) Metode ini mengabaikan penerimaan-menerimaan investasi atau proceeds yang
diperoleh setelah payback period tercapai.
2) Metode payback period mengabaikan nilai waktu uang.
3) Metode payback period tidak dapat digunakan untuk pengambilan keputusan investasi
yang bersifat mutually exclusive.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


40 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
c. Anlisis biaya-manfaat (Cost Benefit Analysis)
CBA merupakan cara mengevaluasi suatu proyek dengan membandingkan nilai sekarang
(present value) dari seluruh manfaat/keuntungan yang diperoleh dengan nilai sekarang dari
seluruh biaya proyek tersebut. Proyek yang diterima adalah proyek yang memiliki keuntungan
sosial yang didiskontokan yang lebih besar dari nilai biaya sosial yang didiskontokan .
M= Mо + M1 + M2 + … + Mn
(1-i) (1-i)² (1-i)ⁿ

Menurut dixon, terdapat 3 langkah dalam melakukan analisis biaya-manfaat, diantaranya


yaitu:
1) memutuskan biaya dan manfaat apa saja yang akan dimasukkan.
Hal ini dimaksudkan untuk meng­hin­dari kemungkinan terjadinya double counting, yaitu
satu manfaat atau biaya yang menyebabkan manfaat atau biaya yang lain dimasukkan
secara bersama-sama. Misalnya, jika dengan teknik pencegahan kebakaran tertentu
dapat menyebabkan pengurang­an staf yang dibutuhkan tetapi dinas pemadam
kebakaran memutuskan untuk menggunakan penghematan waktu tersebut untuk
pelatihan staf tambahan, maka dalam analisis biaya-manfaat tidak dapat menhitung
kedua-duanya sebagai manfaat.
2) mengukur dan mengevaluasi biaya dan manfaat.
Manfaat dan biaya yang berwujud lebih mudah untuk dihitung, akan tetapi yang bersifat
tidak berwujud relatif sulit untuk dihitung. Masih dengan menggunakan contoh dinas
pemadam kebakaran diatas, cost of time yang dihabiskan oleh petugas pemadam
kebakaran dan penyediaan alarm kebakaran merupakan bentuk biaya yang sifatnya
berwujud. Namun demikian, jika teknik pemadaman dinilai misalnya dengan jumlah
orang yang terselamatkan dari kebakaran, bagaimanakah kita menilai intangible benefit
tersebut secara kuantitatif? Biasanya untuk mengukurnya digunakan harga bayangan,
misalnya biaya nasional untuk merawat sejumlah x orang yang menjadi korban kebakaran
dan kehilangan pendapatan dan harta benda karena peristiwa tersebut.
3) timing dalam aliran biaya dan manfaat.
Tahap ketiga terkait dengan masalah waktu pengakuan biaya atau manfaat yang terjadi.
Biasanya nilai yang tertinggi dimasukkan dalam biaya atau manfaat yang terjadi lebih
awal. Untuk menyesuaikan nilai biaya dan manfaat yang berbeda karena waktu, maka
digunakan tingkat diskonto (discount rate).

d. Analisis efektivitas biaya (cost-effectiviness analysis)


Dilakukan karena kesulitan dalam meng­hitung biaya dan manfaat sosial secara kuantitatif.
Analisis cost-effectiveness meliputi penilaian terhadap biaya dan manfaat yang dapat
dikuantifikasi, baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang atas suatu proyek
dengan pengaruh atau dampak yang tidak dapat dikuatifikasikan, namun tidak dinilai.
Dengan kata lain, analisa cost-efectiveness memusatkan pada pengukuran suatu yang dapat
diukur.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 41
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Langkah-langkah dalam melakukan analisis efektivitas biaya adalah sebagai berikut:


1) menentukan jumlah dan waktu atas semua biaya modal. Hal tersebut meliputi pula
penentuan biaya bangunan, peralatan, dan tanah. Hal ini penting karena sumber daya
yang diperlukan oleh sebuah proyek harus dinilai pada opportunity cost penuhnya.
Dengan demikian, jika organisasi menggunakan tanahnya sendiri yang mana sebuah
bangunan akan didirikan di atasnya, maka biaya yang dipakai harus dinilai berdasarkan
harga pasar pada saat itu (current market value).
2) membuat estimasi biaya yang akan terjadi (running cost) selama umur yang diharapkan
dari suatu proyek.
3) membuat estimasi output terukur selama umur yang diharapkan dari suatu proyek.
4) membuat estimasi pengaruh biaya dan pendapatan atas aktivitas yang dilakukan.
5) mendiskontokan biaya dan man­faat yang dapat diukur untuk me­mung­kinkan melakukan
perban­ding­an. Pro­se­dur yang bisa dipakai adalah meng­hitung nilai sekarang (present value)
tetapi proyek-proyek yang memiliki umur yang berbeda mungkin lebih tepat dibandingkan
dengan menggunakan biaya tahunan ekuivalen (equivalent annual cost).
6) menjelaskan secara realistis mengenai kemungkinan adanya biaya-biaya dan manfaat
yang tidak dapat dikuantifikasi yang akan muncul dari proyek yang akan dijalankan.

Dalam praktiknya, terdapat beberapa kesulitan dalam melakukan analisis efektivitas biaya.
Kesulitan tersebut terjadi pada waktu membuat estimasi atau perkiraan mengenai waktu
dan besarnya jumlah biaya dan manfaat dimasa datang. Kesulitan juga dialami pada saat
tingkat diskonto yang tepat atau penyesuaian untuk tingkat resiko dan ketidakpastian,
sebagai gambaran dalam seksi pendahuluan pada analisa cost-benefit. Namun demikian,
mekanisme oendiskontoan pada dasarnya tidak berbeda dari yang biasa diterapkan pada
sektor swasta.

M. DASAR HUKUM PENGOLAAN KEUANGAN NEGARA


Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII hal keuangan, antara lain disebutkan bahwa
anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang,
dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini mengenai
keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Tuntutan pembahasan sistem keuangan publik merupakan suatu keharusan,agar pengelolaan
uang rakyat secara transparan, sehingga tercipta akuntabilitas publik. Mengantisipasi tuntutan
tersebut pemerintah dalam pengelolaan keuangan publik mengeluarkan paket undang-undang
yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan publik, yaitu:

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara


Perubahan mendasar dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam
undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum
pengelolaan keuangan negara, kedudukan. Ruang lingkup keuangan negara antara lain: sumber dan
lingkup pendapatan negara; penegasan kewenangan Menteri dan Menteri/Pimpinan Lembaga;

Pusat Penelitian dan Pengembangan


42 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
penekanan konsep penyetoran, pencatatan, pengelolaan, pelaporan dan pertanggungjawaban
yang harus dikelola secara profesional, akuntabel, kredibel dan transparan. Perubahan-perubah­
an konsep mendasar di bidang pengelolaan keuangan negara tersebut dapat mengantisipasi
per­ubah­an standar akuntansi di liingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada
perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional.

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara


sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang
bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam
penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada
Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/
Pengguna Barang kementerian negara/ lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai
pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer
(CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada
hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.

Prinsip ini perlu dilaksanakan secara kon­sis­ten agar terdapat kejelasan dalam pem­ba­gian
wewenang dan tanggung jawab, ter­laksananya mekanisme checks and balances serta untuk
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penye­lenggaraan tugas pemerintahan
sebagai salah satu amanah yang juga harus dijalankan dalam pengelolaan keuangan Negara.
Begitu juga sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pe­merintahan negara
se­bagian kekuasaan Pre­siden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/ Wali­kota selaku
Pengelola keuangan daerah. Demikian Pula untuk men­capai kestabilan nilai rupiah tugas
mene­tapkan dan melaksanakan kebijakan mone­ter serta mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan


Negara
Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara ini dimaksudkan untuk memberikan landasan
hukum di bidang administrasi keuangan negara. Dalam, Undang-undang Perbendaharaan Negara
ini ditetapkan bahwa Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam
APBN dan APBD. Sesuai dengan pengertian tersebut, dalam Undang-undang Perbendaharaan
Negara ini diatur ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pe­jabat
perbendaharaan negara, pelak­sa­naan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang
negara/ daerah, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang
milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/ APBD, pengen­dalian intern
pemerintah, penyelesaian ke­rugian negara/ daerah, serta pengelolaan keuangan badan layanan
umum.

Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, Undang-undang
Perbendaharaan Negara ini menganut asas kesatuan, asas universalitas, asas tahunan, dan asas

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 43
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

spesialitas. Asas kesatuan menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah
disajikan dalam satu dokumen anggaran. Asas universalitas mengharuskan agar setiap transaksi
keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. Asas tahunan membatasi masa
berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran
yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya. Demikian pula Undang-undang ini memuat
ketentuan yang mendorong profesionalitas serta menjamin keterbukaan dan akuntabilitas
dalam pelaksanaan anggaran serta system pelaporan keuangan pemerintah menghasilkan
statistik keuangan yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah (Government
Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi
fiskal, pengelolaan dan Analisis Perbandingan Antarnegara (Cross Country Studies), kegiatan
pemerintahan, dan penyajian diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang
terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SAP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan
Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara


Bukan Pajak
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan salah
satu Undang-undang di bidang keuangan negara khususnya pendapatan negara yang ditetapkan
dan masih mengacu pada Indische Comptabiliteitswet (Staatblad Tahun 1925 Nomor 448)11.
Konsep kebijakan ini merupakan peninggalan colonial dimana ICW merupakan ketentuan yang
mengatur tentang tata pembukuan yang harus dilakukan oleh pejabat yang melakukan pengurusan
keuangan baik di tingkat Departemen Keuangan maupun di Departemen teknis, dan secara khusus
mengatur kewenangan di sisi kebendaharaan. Pencatatan dan pembukuan yang didasarkan pada
ketentuan ICW diharapkan akan menghindari penggelapan yang berhubungan dengan keuangan
(financial fraud) yang mungkin dilakukan oleh pajabat pada saat itu. Sedangkan RAB yang konsepsi
pengelolaan keuangan ini dikenal pada tahun 1933, yang mengatur sebagian kewenangan
pengelolaan keuangan di tangan administrator atau elbih dikenal dengan kewenangan otorisasi12
dan ordonansering. dan Regelen voor he Administratief Beheer (RAB) sebagaimana hasil perubahan
dari Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968. Padahal saat ini, Indische Comptabiliteitswet telah
digantikan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

4. Analisis Kebijakan Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Anggaran


Pendapatan dan Belanja Negara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dalam Undang-Undang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, merupakan penegasan tujuan dan fungsi penganggaran
pemerintah, peran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah
dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas

11. Reformasi Sistem Pengenggaran, Konsep dan Omplementasi 2005-2007, Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Jakarta,
2008.
12. Indische Comptabiliteitswet (Staatblad Tahun 1925 Nomor 448) . Yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1884 dan mulai diperbaharui pada
tahun 1867, Indische Bedkrijvenwek (IBW) staatblad 1927 No. 419 juncto Staatblad 1936 No. 381. Pemerintah Belanda pada saat itu tampaknya
memberikan penekanan khusus terhadap pentingnya pengelolaan penerimaan dan pengeluaran di Hindia Belanda, hal tersebut dipicu
terutama oleh maraknya korupsi di lingkaran pejabat-pejabat Vereniging Oost Indische Compagnie (VOC). Sementara itu, dalam pelaksanaan
pertanggungjawaban keuangan Negara digunakan Instructie ‘en Verdehe Bepalingen voor de Algemeene Rekenmaker (IAR) Staatblad 1933 No.
320, selanjutnya Indische Comptabiliteitswet (ICW) digunakan sebagai Undang Undang Perbendaharaan Indonesia dan telah diubah dengan
Undang Undang Nomor 9 Tahun 1968 dan terakhir diubah menjadi Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


44 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan
anggaran, dan penggunaan kerangka jangka menengah dalam penyusunan anggaran.

Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan Undang-Undang pelaksanaannya dituangkan


lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai pedoman bagi kementerian negara/
lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam Keputusan Presiden tersebut terutama
menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam Undang-Undang APBN, seperti alokasi anggaran
untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam
belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/
lembaga. Selain itu, penguangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk
provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang
menerima.

Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak seperti apa yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, terdapat beberapa kendala dalam perencanaan dan
penyerapannya, diantaranya adalah:
a. Kesulitan satuan kerja terutama komponen teknis yang mempunyai mata anggaran
dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk mengestimasi penerimaan dari tarif dan
pelayanan;
b. Jika pada akhir tahun terdapat program/kegiatan yang belum selesai dilaksanakan
walaupun ada sisa SSBP tahun lalu, karena realisasi penerimaan telah melampaui target
dan tidak melakukan Revisi Penambahan Pagu DIPA maka tidak dapat digunakan pada
tahun anggaran berjalan karena periode APBN hanya untuk satu tahun anggaran;
c. Kebijakan pemerintah untuk penggunaan sisa SSB Penerimaan Negara Bukan Pajak
tahun sebelum sudah diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Nomor 11/PB/2011 tentang Perubahan Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaqan
Negara Nomor PER-66/PB/2005 tentang Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi mendapat persepsi lain dari Direktorat Jenderal
Anggaran cq. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam pengajuan penggunaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun sebelumnya tidak dapat dibayarkan, akibatnya sisa
pekerjaan tahun lalu membebani anggaran tahun berikutnya, dan akibat pembebanan
anggaran tersebut hendak direvisi maka harus memenuhi persyaratan.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 45
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Pp No 22/2007 tentang
PP No. 73/1999
tentang Tatacara
Penggunaan PNBP
Pp No 52/ 1998 yg bersumber dari Pp No 22/ 2005
tentang Kegiatan tertentu tentang
Penyetoran Pemeriksaan
PNBP PNBP
Pp No 15/2004 Pp No 29/ 2009
tentang Pemeriksaan tentang Tata cara
Pengelolaan dan Penentuan Jumlah,
Tanggungjawab Pembayaran dan
Keuangan Negara Penyetoran BPN

UU No. 1/2004 tentang Pp No 71/ 2010


Perbendaharaan PENGELOLAAN tentang Standar
Negara PNBP BPN RI Akuntansi
Pemerintahan

Pp No 13/ 2010
UU No.17/2003 tentang Jenis dan tarif
tentang Keuangan atas Jenis Penyetoran
Negara yang berlaku pada
PMK_No.190/ BPN
PMK.05/2012 tentang
UU No.20/1997
Perdirjen PB No. Per- Tatacara Pembayaran
tentang PNBP
17/PB/2013 tentang dalam Rangka
Ketentuan lebih lanjut Pelaksanaan APBN
Tatacara Pembayaran
PNBP atas beban
APBN

Gambar 1. Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Pengelolaan


Keuangan Penerimaan Negara Bukan Pajak

N. ANGGARAN BERBASIS KINERJA


Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehuBendahara
Umum Negaragan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur
(Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1). Kinerja mengacu pada suatu hasil yang dicapai
atas kerja atau kegiatan yang telah dilakukan. Dalam konteks pemerintahan, kinerja akan
dinilai sebagai suatu prestasi manakala dalam melaksanakan suatu kegiatan dilakukan dengan
mendasarkan pada peraturan yang berlaku, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral
dan etika (Yusriati, 2008). Dengan demikian, ukuran kinerja dalam anggaran memberikan
dorongan kepada para pelaksana anggaran untuk dapat mencapai hasil yang maksimal sesuai
ukuran kinerja yang ditetapkan. Kegagalan dalam pencapaian kinerja menjadi satu ukuran
untuk melakukan perbaikan pada masa yang akan datang. Sementara keberhasilan atas kinerja
membutuhkan suatu penghargaan untuk dapat meningkatkan produktivitas serta untuk
mendapatkan dukungan publik terhadap pemerintah.

Definisi yang dirumuskan oleh beberapa peneliti mengenai pengukuran kinerja cukup beragam,
namun tetap bermuara pada satu kesepakatan bahwa dengan mengukur kinerja maka proses
pertanggungjawaban pengelola atas segala kegiatannya kepada stakeholders dapat lebih
obyektif. Hatry (1999) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai pengukuran hasil dan efisiensi

Pusat Penelitian dan Pengembangan


46 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
jasa atau program berdasarkan basis regular (tetap, teratur). Dalam konteks pengukuran kinerja
untuk instansi pemerintah, Whittaker (1995) mendefinisikan sebagai suatu alat manajemen
yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam
menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan (program) sesuai dengan sasaran
dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi
pemerintah. Sejalan dengan itu, Smith (1996) menyatakan bahwa system pengukuran kinerja
dapat membantu pengelola dalam memonitor implementasi strategi organisasi dengan cara
membandingkan antara hasil (output) aktual dengan sasaran dan tujuan strategis.

Dengan kata lain, pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang
telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Flynn (1997) manfaat
pengukuran dan manajemen kinerja terutama adalah untuk meningkatkan akuntabilitas dan untuk
menyediakan jasa publik secara lebih baik. Pengertian akuntabilitas lebih luas dari proses untuk
menunjukkan bagaimana penggunaan dana publik. Konsep akuntabilitas mencakup juga proses
untuk menunjukkan apakah dana publik telah digunakan secara efisien dan efektif.

Penyusunan APBN berbasis kinerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja,
analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
memperhatikan keserasi­an huBendahara Umum Negaragan antar susunan pemerintahan. Dalam
penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel
terhadap kepentingan masyarakat (Mardiasmo, 2006).

Anggaran Berbasis Kinerja adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan
berkaitan sangat erat terhadap Visi, Misi dan Rencana Strategis organisasi. Anggaran Berbasis Kinerja
mengalokasikan sumberdaya pada program bukan pada unit organisasi semata dan memakai output
measurement sebagai indikator kinerja organisasi (Bastian, 2006). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005, maka penyusunan APBN dilakukan dengan mengintegrasikan program dan
kegiatan masing-masing satuan kerja di lingkungan pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan
yang ditetapkan di dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian tercipta sinergi dan rasionalitas
yang tinggi dengan mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang tidak terbatas. Hal tersebut juga untuk menghindari duplikasi rencana kerja serta
bertujuan untuk meminimalisasi kesenjangan antara target dengan hasil yang dicapai berdasarkan
tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan.

Penganggaran berbasis kinerja ini berfokus pada efisiensi penyelenggaraan suatu aktivitas
atau kegiatan. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan input. Suatu
aktivitas dikatakan efisien, apabila output yang dihasilkan lebih besar dengan input yang sama,
atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang lebih sedikit. Anggaran ini tidak
hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti yang terjadi pada sistem anggaran
tradisional, tetapi juga didasarkan pada tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya perlu
disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan terukur juga penggunaan
biaya tersebut harus efisien dan efektif.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 47
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Berbeda dengan penganggaran dengan pendekatan tradisional, penganggaran dengan


pendekatan kinerja ini disusun dengan orientasi output. Jadi, apabila kita menyusun anggaran
dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus fokus pada “apa yang ingin dicapai”. Kalau
fokus ke “output”, berarti pemikiran tentang “tujuan” kegiatan harus sudah tercakup di setiap
langkah ketika menyusun anggaran. Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan
sehingga selain efisiensi penggunaan dana juga hasil kerjanya diperiksa. Jadi, tolok ukur
keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran
dengan menggunakan dana secara efisien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran
yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya
keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan.

Indikator kinerja yang ditetapkan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja meliputi
masukan (input), keluaran (output) dan (outcome). Masukan (input) adalah segala sesuatu yang
dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini
merupakan tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber-sumber dana, sumber
daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan
pro­gram atau kegiatan. Dengan meninjau dis­tri­busi sumber daya, suatu organisasi dapat
menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategik
yang telah ditetapkan.

Keluaran (output) adalah produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan dari program atau
kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. Indikator keluaran adalah sesuatu yang
diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau non fisik.
Dengan membandingkan indikator keluaran organisasi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan
terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator keluaran hanya dapat menjadi landasan untuk
menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan
yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Oleh karenanya indikator keluaran harus sesuai dengan
lingkup dan sifat kegiatan instansi.

Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan
pada jangka menengah (efek langsung). Indikator hasil adalah sesuatu manfaat yang diharapkan
diperoleh dari keluaran. Tolok ukur ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan.
Pada umumnya para pembuat kebijakan paling tertarik pada tolok ukur hasil dibandingkan
dengan tolok ukur lainnya. Namun untuk mengukur indikator hasil, informasi yang diperlukan
seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karenanya setiap organisasi perlu
mengkaji berbagai pendekatan untuk mengukur hasil dari keluaran suatu kegiatan.

1. Manfaat Pengukuran Kinerja


Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas
aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi,
1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi
dalam rangka pemenuhan hak hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak
untuk didengar aspirasinya.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


48 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Wayne C. Parker (1996) menyebutkan lima manfaat adanya pengukuran kinerja suatu entitas
pemerintahan, yaitu: (1) Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan, (2)
Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal, (3) Pengukuran kinerja meningkatkan
akuntabilitas publik, (4) Pengukuran kinerja mendukung perencanaan stategi dan penetapan
tujuan, dan (5) Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan
sumber daya secara efektif.

Fokus pengukuran kinerja pada awalnya adalah pada pengukuran tingkat efisiensi. Hal tersebut
berhubungan erat dengan obyek pembahasan pada awalnya yaitu pengukuran kinerja kegiatan
usaha swasta. Ketika kesadaran para pegambil kebijakan muncul bahwa kegiatan pelayanan
publik yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya juga dapat diukur efisiensi dan efektivitasnya,
maka pembahasan yang intensif mengenai pengukuran kinerja pemerintah dimulai. Meskipun
demikian, masalah muncul ketika disadari bahwa untuk pelayanan publik banyak sekali hal-hal
yang bersifat kualitatif.

Mengukur kinerja kegiatan suatu organisasi dapat mencerminkan baik tidaknya pengelolaan
organisasi yang bersangkutan. Pengelola suatu organisasi perlu mengetahui apakah kegiatan
pelayanan yang mereka berikan sudah memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
Hal ini merupakan wujud pertanggungjawaban pengelola kepada para stakeholders. Pengelola
bertanggung jawab tidak hanya sebatas pelayanan fisik, melainkan lebih dari itu, yaitu pada
pengelolaan usaha yang baik.

Selanjutnya, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa kinerja mencerminkan ekonomis, efisiensi


dan efektifnya suatu pelayanan publik. Pengertian ekonomis adalah perbandingan input dengan
output value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Ekonomis terkait dengan sejauh mana
organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan
menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Pengertian efisiensi berhubungan
erat dengan konsep produktivitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan
perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output).
Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu
dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya. Pengertian
efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil
guna). Efektivitas merupakan huBendahara Umum Negaragan antara keluaran dengan tujuan
dan sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dapat dikatakan efektif apabila proses
kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan.

2. Rencana Pembangunan Nasional


Berdasarkan kondisi saat ini serta tantangan dan permasalahan yang akan dihadapi selama
20 tahun mendatang, Visi dari Pembangunan Jangka Panjang 2005-2024 yang dicanangkan
adalah untuk “Mewujudkan Masyarakat Indo­nesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Visi
pembangunan nasional tersebut dijabarkan ke dalam 8 (delapan) misi pembangunan nasional,
yaitu: (i) Mewu­judkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila; (ii) Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (iii) Mewujudkan

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 49
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (iv) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan
bersatu; (v) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (vi) Mewujudkan Indonesia
asri dan lestari; (vii) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat,
dan berbasiskan kepentingan nasional, dan (viii) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam
pergaulan dunia internasional.

Pencapaian visi Pembangunan Jangka Panjang 2005-2024 diukur dari pencapaian sasaran-
sasaran pokok selama 20 tahun mendatang. Untuk mencapai sasaran pokok, maka perlu
ditetapkannya tahapan dan skala prioritas yang dijabarkan dalam agenda pembangunan jangka
menengah. Pembangunan jangka menengah dalam kurun waktu 2010-2014 yang dituangkan ke
dalam RPJMN, Visi pembangunan Jangka Menengah Nasional adalah “Terwujudnya Indonesia
yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan”, dalam rangka mewujudkan visi Indonesia 2014,
maka disusunlah Misi Pembangunan 2010-2014 yang memuat rumusan dari usaha-usaha yang
diperlukan untuk mencapai visi Indonesia 2014, namun tidak dapat terlepas dari kondisi dan
tantangan lingkungan global dan domestik pada kurun waktu 2010-2014 yang mempengaruhinya.
Misi pemerintah dalam periode 2009-2014 diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih
sejahtera, aman dan damai dan meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil
dan demokratis. Usaha-usaha perwujudan visi Indonesia 2014 yang dijabarkan dalam misi
pemerintah tahun 2010-2014, dimana Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia
yang Sejahtera, Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi, dan Misi 3: Memperkuat Dimensi
Keadilan di Semua Bidang.

HIRARKI PERENCANAAN
NASIONAL KEMENTERIAN DAERAH

20
THN RPJP RPJP
NASIONAL KL RPJPD

5
RPJM RENSTRA RENSTRA
THN
NASIONAL KL SKPD

1 RKP RK KL RKPD &


THN RK SKPD

APBN APBN KL APBD

Gambar 2. Hirarki Perencanaan Pembangunan Nasional

Pusat Penelitian dan Pengembangan


50 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
3. Rencana Kerja Pemerintah
Dasar Hukum Rencana Kerja Pemerintah di K/L Pemerintah disesuaikan dengan Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (psl 12 ayat 1), dimana Penyusunan Rancangan
APBN berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya
tujuan bernegara, Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (pasal 6 ayat 2) yaitu Renja-KL disusun dengan berpedoman pada
Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan Nasional dan pagu indikatif, serta
memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Sebagai tindak
lanjut dari Undang-Undang tersebut, peraturan pelaksana yang mendasari perencanaan kerja
pada K/L adalah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
yang termuat dalam Pasal 2 ayat 1 dimana Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (RAPBN) berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan
memperhitungkan ketersediaan anggaran, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, dimana Pasal 26 ayat 4, dimana Renca
Kerja K/L digunakan sebagai pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/
Lembaga, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan.

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka
menengah nasional, memuat rancangan kerangka ekonomi makro yang termasuk didalamnya
arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya,
baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat, sebagaimana terlihat dalam bagan matrik Gambar 3.

PROSES DAN JADUAL PENYUSUNAN RKP2012 (TENTATIVE)


27 Des 2010 - 1 Jan 2011

Telaah buku I, II, III RPJMN


2012--2014 dalam tahun 2012
10 Maret
Pra
Rakernas Temu Konsultasi
Renja K/L Triwulan I- 2011
16-25 Maret
Raker
Bappenas Penyusunan Ranc. Sidkab dan Finalisasi Menghasilkan Ranc Awal
Tema RKP Awal RKP 2012 Ranc. RKP 2012 Pagu Indikatif per K/L
2012 15 Maret

2-23 Februari Forum Konsultasi Publik 2


Penyusunan Rakorbanggus RKP 2012
Awal UPPD
25 Maret
1-23 Januari 30 Maret - 11 April 4 30 Maret - 11 April
13 - 15 April
Penyusunan Ranc. Musrenbang Provinsi
Final UP-PD 2012 Trilateral Meeting
Perundingan UP-PD 30 Maret - 11 April
5 Renja K/L
Penyusunan Ranc. 3
Rakernas K/L
Pra Musrenbangnas Final Renja K/L 2012
30 Maret - 11 April 30 Maret - 11 April
15-26 April 7
6
Musrenbang Nasional Pasca Musrenbang Sidkab Rancangan Penetapan
RKP 2012 Nasional Akhir RKP 2012 RKP 2012
27-28 April 3 Mei 5 Mei 6 Mei

Gambar 3. Alur Perencanaan Kegiatan Kementrian/Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 51
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Renja-K/L merupakan dokumen perencanaan yang berisi program dan kegiatan suatu K/L sebagai
penjabaran dari Renstra K/L yang ber­sangkutan dalam satu tahun ang­gar­an. Pe­nyusunan Renja-K/L
oleh K/L dilak­sa­na­kan setelah dikeluarkannya surat yang ditan­da­tangani oleh BPPN/Ka. Bappenas
bersama Menteri Keuangan tentang Pagu Indikatif K/L yang merupakan pagu anggaran yang
didasarkan atas kebijakan umum serta tema dan prio­ritas pembangunan nasional. Pagu Indikatif
ter­sebut merupakan batas tertinggi alokasi anggar­an yang dirinci menurut program dan ke­giat­an
prioritas yang pendanaannya terdiri atas rupiah murni (RM), Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN), dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Berkenaan dengan telah dilakukannya penerapan PBK dan KPJM secara penuh yang menggunakan
struktur program dan kegiatan hasil restrukturisasi maka mekanisme penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran K/L menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran K/L Tahun 2012 memerlukan pemahaman terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Target kinerja yang ditetapkan merupakan rencana kinerja dari suatu K/L dalam rangka
melaksanakan tugas dan fungsi K/L dan/atau penugasan prioritas pembangunan nasional.
2. Informasi kinerja yang ada dalam Rencana Kerja dan Anggaran K/L meliputi:
a. Visi dan misi Kementerian/Lembaga, sasaran strategis Kepala Kemen terian/Lembaga, visi
dan misi unit eselon I;
b. Program, Outcome Program, Indikator Kinerja Utama Program;
c. Kegiatan, Sasaran Kegiatan, Indikator Kinerja Kegiatan.
d. Perkiraan alokasi pendanaan baik untuk tahun yang direncanakan ramaupun p kiraan
majunya.
e. Informasi kinerja terkait Inisiatif Baru yang telah mendapat persetujuan baik dalam hal
target pencapaiannya maupun kebutuhan pendanaannya.
3. Informasi tersebut merupakan kebijakan kinerja yang ditetapkan dan bersifat baku serta menjadi
referensi dalam menentukan lokasi pendanaannya. Informasi tersebut juga telah tercantum dalam
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Renstra Kementerian/Lembaga.
4. Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh K/L seluruhnya dalam kerangka pelaksanaan
tugas-fungsi K/L dan/atau penugasan prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu
peruntukkan alokasi anggaran harus memperhatikan urutan prioritas sebagai berikut:
a. Program dan kegiatan yang men­dukung pencapaian prioritas pem­ba­ngunan nasional,
prioritas pem­ ba­
ngunan bidang, prioritas pem­bangunan K/L dan/atau prioritas pem­
bangunan daerah (dimensi kewilayahan) yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014,
Renstra Kementerian/Lembaga, Awal Perencanaan;
b. Kebutuhan dana pendamping untuk kegiatan-kegiatan yang anggarannya bersumber
dari pinjaman dan hibah luar negeri;
c. Kebutuhan anggaran untuk kegiatan lanjutan yang bersifat tahun jamak (multiyears);
d. Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan inpres-inpres yang ber­kaitan dengan
percepatan percepatan pembangunan wilayah tertinggal, pemulihan pasca konflik dan
pasca bencana di berbagai daerah;
e. Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan program/kegiatan yang sesuai dengan
peraturan per­undang­an.
Selanjutnya dalam hal pengimplementasikan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun

Pusat Penelitian dan Pengembangan


52 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara, maka dalam penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara harus didasarkan atas hasil kesepakatan dalam
pertemuan 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) yang dilaksanakan sebelumnya. Rencana Kerja dan
Anggaran K/L Negara yang telah disusun K/L Negara. Selajutnya disampaikan oleh Kepala BPN RI/
Pimpinan lembaga kepada Kepala Kementerian PPN/Ka. Bappenas dan Kepala BPN RI Keuangan
sebagai bahan penyempurnaan rencanngan awal RKP dan penyusunan rincian pagu.

4. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional


Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Perpres Nomor 6 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional,
dimana Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b) perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c) koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
d) pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e) penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;
f) pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
g) pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
h) pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
i) penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah be­ker­ja sama
dengan Departemen Keuangan;
j) pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k) kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
l) penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang
pertanahan;
m) pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n) pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
o) pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
p) penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
q) pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;
r) pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
s) pembinaan fungsional lembaga-lem­ba­ga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
t) pembatalan dan penghentian huBendahara Umum Negaragan hukum antara orang, dan/
atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
u) fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Tahun 2010-2014


Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2010-2014 merupakan
pedoman sekaligus kendali dan acuan koordinasi, bagi setiap unit kerja pada semua tingkatan
organisasi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia serta sebagai instrumen dalam
rangka melanjutkan, meningkatkan dan mengembangkan pembangunan pertanahan yang telah

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 53
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

dilaksanakan pada periode sebelumnya. Rencana Strategis BPN-RI 2010 -2014 juga digunakan
sebagai pedoman sekaligus kendali dan acuan koordinasi bagi setiap unit kerja pada semua
tingkatan organisasi BPN-RI. Sebagai komitmen perencanaan, Renstra Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia juga berfungsi sebagai alat bantu dan tolok ukur dalam menjalankan misi,
kebijakan serta program nasional untuk mencapai sasaran - sasaran strategis yang telah ditetapkan.
Berkenaan dengan upaya untuk memberikan dukungan dalam mewujudkan visi dan pelaksanaan
agenda pembangunan nasional, maka dalam rangka pembangunan pertanahan telah ditetapkan
visi pembangunan pertanahan 2010 - 2014 yang merupakan cita-cita yang ingin diwujudkan Badan
Pertanahan Nasional, maka sasaran strategis yang diharapkan adalah sebagai berikut:
a) Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penciptaan
sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan
pendapatan, serta peningkatan ketahanan pangan (Prosperity).
b) Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang
lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan P4T (Equity).
c) Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang
harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh
tanah air serta melakukan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan
sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari (Social Welfare).
d) Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistem kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada
generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat
(Sustainability).

Keempat prinsip pengelolaan pertanahan tersebut diatas, diturunkan dari Pancasila, Pasal 33
ayat (3) UUD 1945, Tap MPR Nomor IX/MPR/2001, Pasal 1 sampai dengan Pasal Undang-Undang
Pokok Agraria, dan peraturan perundang-undangan lain yang langsung mengatur pertanahan.
Dengan terwujudnya kebijakan dan strategi Pengelolaan Pertanahan sebagaimana di uraikan
dalam keempat prinsip tersebut di atas, pada gilirannya akan menguatkan lembaga pertanahan
sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPdan aspirasi rakyat
secara luas.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pertanahan tersebut, Badan Pertanahan Nasional


Republik Indonesia, telah menetapkan 11 agenda prioritas dalam menangani persoalan pertanahan
yang meliputi:
a) Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
(trust building);
b) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertipikasi tanah secara
menyeluruh di seluruh Indonesia;
c) Memastikan penguatan hakhak rakyat atas tanah;
d) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-
daerah konflik di seluruh Indonesia;
e) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara
sistimatik;

Pusat Penelitian dan Pengembangan


54 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
f) Membangun Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan Sistem
Pengamanan Dokumen Pertanahan di seluruh Indonesia;
g) Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pember­dayaan masyarakat;
h) Membangun data base penguasaan dan pemilikan tanah skala besar;
i) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan per­tanah­an yang
telah ditetapkan;
j) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ; dan
k) Membangun dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan pertanahan.

Tujuan pembangunan bidang pertanahan yang akan dicapai tahun 2010-2014 pada dasarnya
adalah “Mengelola Tanah Seoptimal Mungkin Untuk Mewujudkan Sebesar-besar Kemakmuran
Rakyat”. Rincian tujuan pembangunan pertanahan tersebut menunjukkan kondisi yang harus
dilanjutkan di tahun 2010-2014, yaitu:
a) Melanjutkan Pengembangan infrastruktur pertanahan secara nasional, regional dan sektoral,
yang diperlukan bagi seluruh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional RI dan Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia;
b) Tetap berupaya mewujudkan suatu kondisi yang mampu menstimulasi, mendinamisasi dan
memfasilitasi terselenggaranya survei dan pemetaan tanah secara cepat, modern dan lengkap
serta tetap menjamin akurasi di seluruh wilayah Indonesia khususnya wilayah yang memiliki
potensi ekonomi tinggi serta rawan masalah pertanahan;
c) Melanjutkan percepatan pendaftaran tanah dan penguatan hak atas tanah melalui program
legalisasi aset pertanahan dengan biaya yang lebih murah, dengan waktu yang terukur;
d) Melanjutkan Penataan dan mengendalikan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah dan mengokohkan keadilan di bidang sumber daya agraria, mengurangi
kemiskinan, serta membuka lapangan kerja melalui Program Pembaruan Agraria Nasional
(Reforma Agraria);
e) Tetap Mengupayakan pengurangan jumlah konflik, sengketa dan perkara pertanahan serta
mencegah terciptanya konflik, sengketa dan perkara pertanahan baru;
f) Meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan tugas pada semua unit kerja Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia;
g) Melanjutkan peningkatan mutu pelayanan publik di bidang pertanahan agar lebih berkualitas,
terukur, akurat, tepat, transparan dan akuntabel, dengan tetap menjaga kepastian hukum.

6. Sasaran Strategis Pengelolaan Pertanahan


Sasaran pembangunan pertanahan yang akan dicapai dalam tahun 2010 - 2014 pada dasarnya
adalah terwujudnya sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta terlaksananya
penegakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerap¬kan prinsip-prinsip
keadilan, transparansi dan demokrasi. Penjabaran dari masing-masing tujuan pembangunan
pertanahan yang akan dicapai dalam tahun 2010 -2014 mengacu pada beberapa isu strategis
pengelolaan pertanahan terdiri dari:
a) Masih terbatasnya cakupan wilayah yang telah dipetakan kedalam peta dasar, peta tematik,
dan peta nilai tanah sehingga berdampak dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah
tidak dapat dilakukan percepatan karena masih terbatasnya peta dasar, dalam konteks

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 55
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

peta tematik belum dapat memberikan akses informasi yang lebih luas terutama untuk
kepentingan investasi, seperti belum jelasnya batas administrasi wilayah, belum dapat
memberikan informasi yang berkaitan dengan kemampuan tanah, ketersediaan lahan dan
nilai tanah.
b) Masih rendahnya jumlah bidang tanah yang terdaftar atau yang sudah diberikan legalitas
sehingga belum memberikan kepastian hukum atas aset masyarakat, aset pemerintah dan
aset badan hukum yang berdampak rentan terjadinya sengketa pertanahan serta tidak
memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi terutama dalam rangka penguatan
modal usaha sehingga belum maksimal memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
c) Terjadinya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T)
yang berakibat pada terkonsentrasinya aset yang dikuasai oleh pemilik modal sehingga
para petani tidak memiliki lahan untuk kegiatan usahanya, petani hanya menjadi buruh tani
sekalipun petani memiliki tanah, tetapi sangat terbatas sehingga tidak mencukupi untuk
kehidupan keluarganya.
d) Harmonisasi Penataan Ruang Dan Perizinan
(1) Harmonisasi kebijakan penataan ruang di daerah, pulau/kepulauan, kawasan-kawasan
srategis dan penataan ruang nasional agar memberikan misi keadilan spasial bagi
masyarakat miskin dan terpinggirkan dengan menyediakan ruang yang tepat dan layak, serta
memastikan adanya partisipasi masyarakat pada proses penataan ruang dan perencanaan
wilayah dan koordinasi penataan ruang antar wilayah. Sebagai bagian pula dari strategi
ini adalah evaluasi kebijakan penataan ruang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Disamping itu diperlukan koordinasi
untuk penyediaan peta pembangunan fungsi kawasan serta terpadu. Disamping itu
diperlukan koordinasi untuk penyediaan serta penggunaan fungsi kawasan serta terpadu.
(2) Perbaikan sistem dan pelaksanaan perizinan di bidang pertanahan melalui pendataan
perizinan yang dilakukan dengan menghormati prinsip-prinsip keadilan bagi semua
pihak.
e) Banyaknya bidang-bidang tanah hak dengan sekala besar (luas) yang tidak dimanfaatkan
(terlantar), sehingga membatasi akses masyarakat atas tanah dan tanah yang diterlantarkan
tersebut tidak dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja.
f) Banyaknya kasus-kasus pertanahan akibat sengketa dan konflik berpotensi terhadap
timbulnya gejolak/kerawanan sosial sehingga menggangu pertumbuhan iklim investasi,
disisi lain bahwa lahan tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi karena tanah
tersebut tidak produktif.
g) Kurang harmoninya beberapa peraturan perundangan di bidang pertanahan yang juga
dimandatkan sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 yang mengamanatkan
untuk melakukan pengkajian peraturan di bidang pertanahan gunanya untuk memberikan
kemudahan di bidang pelayanan pertanahan, jaminan kepastian berinvestasi dan jaminan
kelestarian lingkungan.
h) Masih sulitnya masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan di bidang pertanahan yang
disebabkan oleh kondisi geografis, sarana transportasi, kemampuan ekonomi masyarakat,

Pusat Penelitian dan Pengembangan


56 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
dan minimnya informasi tentang pelayanan pertanahan, sehingga pemerintah melakukan
pembangunan LARASITA sebagai kantor yang bergerak yang didukung dengan penerapan
Teknologi Informasi untuk mendekatkan pusat-pusat layanan pertanahan kepada masyarakat
termasuk pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan.
i) Rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pertanahan yang berdampak pada
masih rendahnya kinerja pengelolaan pertanahan karena pertumbuhan jumlah kantor
sesuai dengan pertumbuhan wilayah administrasi kabupaten/kota yang jauh melebihi
pertumbuhan jumlah pegawai sehingga pada beberapa kantor kekurangan staf dan terdapat
jabatanjabatan kosong.
j) Peningkatan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Fisik, karena masih terbatasnya
prasarana fisik sebagai penunjang kegiatan. Hal ini sangat mengganggu konsentrasi dalam
bekerja mengingat sangat terbatas sarana dan prasarana kantor, bahkan masih banyak
Satuan Kerja yang tidak memiliki kantor.
7. Arah Kebijakan dan Strategis Pengelolaan Pertanahan Nasional
Visi dan Misi pemerintah 2009-2014 perlu dirumuskan dan dijabarkan lebih operasional ke
dalam sejumlah program aksi prioritas sehingga lebih mudah diimplementasikan dan diukur
tingkat keberhasilannya. Sebelas Program aksi di bawah ini dipandang mampu menjawab
sejumlah tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan negara di masa mendatang. Sebagian besar
sumber daya dan kebijakan akan diprioritaskan untuk menjamin implementasi dari 11 prioritas
nasional yaitu: Prioritas 1: Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, Prioritas 2: Pendidikan, Prioritas
3: Kesehatan, Prioritas 4: Penanggulangan Kemiskinan, Prioritas5: Ketahanan Pangan, Prioritas
6: Infrastruktur, Prioritas 7: Iklim Investasi dan Iklim Usaha, Prioritas 8: Energi, Prioritas 9:
Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, Prioritas 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar,
dan Pasca-Konflik, Prioritas 11: Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi.

Berdasarkan 11 prioritas nasional tersebut di atas, secara rinci telah dibagi bidang penugasan
kepada masingmasing Kementrian/Lembaga, termasuk tugas-tugas bidang pertanahan yang
akan dilaksanakan oleh jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Penjabaran
prioritas-prioritas nasional yang salah satunya menjadi penugasan kepada Badan Pertanahan
Nasional RI adalah sebagai berikut:
a) PrIoritas 4: Penanggulangan Kemiskinan
Dalam usaha penanggulangan kemiskinan tema prioritas pembangunannya adalah:
Penurunan tingkat kemiskinan absolut dari 14,1% pada 2009 menjadi 8-10% pada 2014
dan perbaikan distribusi pendapatan dengan pelindungan sosial yang berbasis keluarga,
pemberdayaan masyarakat dan perluasan kesempatan ekonomi masyarakat yang
berpendapatan rendah.
(1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengelolaan pertanahan provinsi melalui
pelaksanaan redistribusi tanah.
(2) Indikator, terlaksananya redistribusi tanah sebanyak 1. 050. 000 bidang

b) PrIoritas 5: Ketahanan Pangan


Dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan tema prioritas peningkatan ketahanan
pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan,

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 57
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian
lingkungan dan sumber daya alam. Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar
3,7% per tahun dan Indeks Nilai Tukar Petani sebesar 115-120 pada 2014
(1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengembangan Peraturan Perundang-
Undangan Bidang Per­tanah­an dan HuBendahara Umum Negaragan Masyarakat.
(2) Indikator keberhasilan jumlah paket rancangan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang pertanahan dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-undang
Per­lindung­an Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebanyak 5 paket.

c) Prioritas 6: Infrastruktur
Dalam mendukung tema prioritas pembangunan infrastruktur nasional yang memiliki
daya dukung dan daya gerak terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan
dan mengutamakan kepentingan masyarakat umum di seluruh bagian negara kepulauan
Republik Indonesia dengan mendorong partisipasi masyarakat.
(1) Substansi Kegiatan Bidang Pertanahan meliputi pengelolaan pertanahan pro­vinsi melalui
pelaksanaan Neraca Penatagunaan Tanah dan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan dan Pemanfaatan tanah (P4T) dan pengembangan peraturan perundang-
undangan Bidang Per­tanahan dan HuBendahara Umum Negaragan Masyarakat tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
(2) Indikator keberhasilannya:
(a). Tersusunnya Neraca Penata­gunaan Tanah di daerah sebanyak 500 kabupatan/kota
(b). Terlaksananya Inventarisasi P4T 1. 678. 350 bidang
(c). Tersusunnya peraturan per­undang­an pengadaan tanah untuk kepentingan umum
sebanyak 5 paket.

d) PrIoritas 7: Iklim Investasi dan Iklim Usaha


Dalam mendukung iklim investasi dan iklim usaha. tema Prioritas: Peningkatan investasi
melalui perbaikan kepastian hukum, penyederhanaan prosedur, per­baikan sistem informasi,
dan pengem­bangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
(1) Substansi Kegiatan,
(a). Pengelolaan Pertanahan Propinsi melalui peningkatan penyediaan peta pertanahan,
legalisasi aset tanah dan penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan
(b). Pengelolaan Data dan Informasi Pertanahan melalui peningkatan akses layanan
pertanahan dan LARASITA
(2) Indikator keberhasilannya:
(a). Cakupan Peta Pertanahan sebanyak 10. 500. 000 ha
(b). Terlaksananya legalisasi aset tanah sebanyak 4. 063. 430 bidang
(c). Penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan serta mencegah timbulnya
kasus pertanahan baru 13. 955 kasus
(d). Peningkatan akses layanan pertanahan melalui LARASITA sebanyak 1. 832 unit

e) Prioritas 8: Energi
Dalam mendukung ketahanan energi, tema prioritas pencapaian ketahanan energi nasional

Pusat Penelitian dan Pengembangan


58 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
yang menjamin kelang­sung­an pertumbuhan nasional melalui restrukturisasi kelembagaan
dan optimasi pemanfaatan energi alternatif seluas luasnya.
(1) Substansi Kegiatan pengelolaan per­tanahan, melalui Inventarisasi dan identifikasi tanah
terindikasi terlantar.
(2) Indikator, keberhasilannya terlak­sananya Identifikasi dan Penertiban Tanah Terindikasi
Terlantar seluas 379. 500 hektar

f) PrIoritas 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik


Dala mendukung pembangunan daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca-konflik tema
prioritas pengutamaan dan penjaminan pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar
serta keberlangsungan kehidupan damai di wilayah pasca-konflik.
(1) Substansi Kegiatan pengelolaan pertanahan, melalui kegiatan inventarisasi Wilayah
Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan Dan Wilayah Tertentu (WP3WT)
(2) Indikator keberhasilannya:
(a). Tersedianya Data hasil inven­tarisasi Wilayah Perbatasan, Pulau-Pulau Kecil dan Wilayah
Terpencil (WP3WT) sebanyak 885 SP.
(b). Tersusunnya kebijakan pengelola­an Wilayah Perbatasan, Pulau-Pulau Kecil dan
Wilayah Terpencil di bidang pertanahan sebanyak 5 paket.

8. Rencana Kerja dan Anggaran K/L Negara


a. Sistem Perencanaan Kegiatan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan Pemerintah
untuk menyusun anggaran dengan pendekatan anggaran terpadu (unified budget), kerangka
pengeluaran jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework) dan Penganggaran
Berbasis Kinerja (Perfomance Based Budgeting). Penyusunan anggaran ini dilakukan dengan
menyusun dokumen anggaran yang disebut “Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-KL)”.
Penganggaran terpadu merupakan unsur yang paling rnendasar bagi pelaksanaan elemen
reformasi penganggaran lainnya, yaitu Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) dan Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). Dengan kata lain bahwa pendekatan anggaran terpadu
merupakan kondisi yang harus terwujud terlebih dahulu. Dalam penysusunan anggaran terpadu
dalam RKA-KL berdasarkan:
(1) Penyusunan rencana kegiatan dilakukan pada sekitar bulan Januari hingga bulan April. Satuan
Kerja, penetapan satuan kerja sebagai kuasa pengguna anggaran untuk melaksanakan semua
kegiatan yang ditetapkan Kementerian/pimpinan lembaga. Satuan kerja ini menyusun
Rencana Kerja dan Anggaran K/L (Renja-Kementerian/Lembaga) dengan mengacu pada
prioritas pembagunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan sebelumnya dalam
Surat Edaran Bersama Kementerian Perencanaan dan Menteri Keuangan. Rencana kerja
tersebut memuat kebijakan, program dan kegiatan yang dilengkapi sasaran kinerja dengan
menggunakan pagu indikatif untuk tahun anggaran yang sedang berlangsung/disusun dan
prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya.
(2) Kegiatan, setiap satuan kerja minimal mempunyai satu kegiatan dalam rangka mewujudkan
sebagian sasaran program dari unit organisasi, keluaran kegiatan yang dilaksanakan satuan
kerja mempunyai keluaran yang jelas & tidak tumpang tindih dengan keluaran dari kegiatan

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 59
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

lain, dan jenis belanja dengan kriteria yang sama untuk semua kegiata dalam satu dokumen
perencanaan, satu dokumen penganggaran dan satu dokumen pelaksanaan anggaran untuk
semua jenis Satuan Kerja dan kegiatan
(3) Pada pertengahan bulan Juni, Menteri Keuangan memberikan Surat Edaran Menteri
Keuangan tentang pagu anggaran bagi masing-masing program yang ditetapkan dalam
Renja-K/L kepada Kementerian/Pimpinan Lembaga untuk kemudian disusun Rencana Kerja
dan Anggaran K/L dengan menyesuaikan antara Renja-K/L dengan pagu sementara tersebut.
(4) selambat-lambatnya pada akhir bulan Oktober Menteri Keuangan menghimpun RKA-
K/L yang telah ditelaah untuk selanjutnya bersama-sama dengan nota keuangan dan
Rancangan APBN dibahas dalam Sidang Kabinet. Setelah nota keuangan, Rancangan APBN
beserta himpunan RKA-K/L telah dibahas maka Pemerintah menyampaikannya kepada DPR
selambat-lambatnya pertengahan bulan Agustus untuk dibahas bersama dan lalu ditetapkan
menjadi Undang-Undang APBN.
(5) selambat-lambatnya tanggal 31 Desember RKA-K/L yang telah disepakati DPR tersebut
ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) tentang Rincian APBN selambat-lambatnya
akhir bulan November. Keppres iini lantas menjadi dasar bagi tiap-tiap K/L untuk menyusun
konsep Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang akan disampaikan kepada Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara paling lambat minggu kedua bulan Desember. Dokumen
Pelaksanaan Anggaran ini lantas disahkan oleh Kementerian Keuangan.

b. Proses Penetapan Pagu Belanja Kementerian/Lembaga


Dalam rangka penyusunan APBN, seperti telah diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah
nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/
Lembaga, terdapat tiga kali penetapan pagu dana untuk K/L yaitu pagu indikatif, pagu anggaran,
dan alokasi anggaran. Angka yang tercantum dalam ketiga ketentuan tersebut merupakan angka
tertinggi yang tidak boleh dilampaui oleh K/L sebagi acuan dalam menyusun Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga-nya. Secara garis besar penjelasan tentang ketiga pagu
akan dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pagu Indikatif
Mulai tahun 2012, angka yang tercantum dalam prakiraan maju untuk tahun anggaran
2013 yang dicantumkan pada saat penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga tahun anggaran 2012 akan dijadikan sebagai angka dasar, sebagai salah
satu variabel yang menentukan besarnya pagu indikatif tahun anggaran 2013. Dalam rangka
menyusun pagu indikatif untuk tahun yang direncanakan, melalui proses sebagai berikut:
(a). Presiden menetapkan arah kebijakan dan prioritas pembangunan nasional
Setiap awal tahun, Presiden mene­tap­kan arah kebijakan yang akan dilakukan pada tahun
yang direncanakan, disini Presiden menetapkan prioritas pembangunan nasional yang
akan dilakukan pada tahun yang akan direncanakan. Selain itu Presiden juga menetapkan
prioritas pengalokasian dari anggaran yang dimiliki pemerintah. Arah kebijakan dan
prioritas anggaran ini akan dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah.
(b). K/L mengevaluasi baseline (angka dasar)
Prakiraan maju yang telah dicantumkan pada dokumen perencanaan dan penganggaran

Pusat Penelitian dan Pengembangan


60 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
tahun sebelumnya akan dijadikan angka dasar untuk perencanaan dan penganggaran
tahun anggaran yang direncanakan. Namun demikian, angka yang tercantum dalam
prakiraan maju tersebut harus disesuaikan/direviu terlebih dahulu untuk mendapatkan
angka yang betul dan akan digunakan. Dalam proses reviu tersebut, akan fokus pada
penetapan berlanjut atau berhenti dari suatu output, besarnya volume output, penetapan
sifat dari komponen output (utama atau pendukung), serta evaluasi komponen input
dari output yang dibutuhkan pada tahun yang direncanakan.
(c). K/L dapat menyusun rencana inisiatif baru
Apabila terdapat Program/Kegiatan/Output yang akan dilakukan dan belum dilakukan
pada tahun sebe­lum­nya, K/L dapat mengajukan rencana tersebut dengan mekanisme
inisiatif baru. Inisiatif baru dapat diajukan dalam tiga kali kesempatan, yaitu kesempatan
pertama sebelum penetapan pagu indikatif, kesempatan kedua sebelum penetapan
pagu anggaran, dan kesempatan ketiga se­belum penetapan alokasi anggar­­an. Hal-hal
terkait dengan mekanisme pengajuan usul inisiatif baru ber­pe­doman pada Peraturan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pem­
bangunan Nasional nomor 1 tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Inisiatif Baru.
(d). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian
Keuangan mengevaluasi baseline dan mengkaji usulan inisiatif baru.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas dan Kementerian Keuangan
akan melakukan evaluasi terhadap hasil reviu angka dasar yang telah dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga. Evaluasi ini untuk memastikan bahwa angka dasar yang telah
direviu sudah benar. Selain itu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
dan Kementerian Keuangan juga mengevaluasi atas usulan inisiatif baru yang diajukan
Kementerian/Lembaga. Evaluasi untuk menentukan apakah suatu inisiatif baru layak
untuk disetujui untuk dilaksanakan atau tidak. Disamping itu, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan juga melakukan evaluasi
pelaksanaan Program dan Kegiatan yang sedang berjalan, sebagai pertimbangan dalam
penyusunan Program dan Kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun yang direncanakan
yang nantinya akan tertuang dalam pagu indikatif yang akan ditetapkan.
(e). Kementerian Keuangan menyusun perkiraan kapasitas fiskal
Kementerian Keuangan menyusun per­kiraan kapasitas fiskal untuk penyusun­an Pagu
Indikatif tahun anggar­an yang direncanakan, termasuk penyesuaian indikasi pagu anggaran
jangka me­nengah paling lambat pertengah­an bulan Februari.
(f). Menteri Keuangan dan Menteri Peren­cana­an Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
menyusun Pagu Indikatif
Pagu Indikatif untuk tahun yang direncanakan disusun dengan memperhatikan kapasitas
fiskal dan dalam rangka pemenuhan prioritas pembangunan nasional. Pagu Indikatif
dimaksud dirinci menurut unit organisasi, program, kegiatan, dan indikasi pendanaan
untuk mendukung Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden. Pagu Indikatif
yang sudah ditetapkan beserta prioritas pembangunan nasional yang dituangkan dalam
rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) disampaikan kepada K/L dengan Surat
Edaran Bersama yang ditandatangani Menteri Keuangan bersama Menteri Perencanaan
pada bulan Maret. Pagu indikatif dirinci menurut unit organisasi, Program dan Kegiatan.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 61
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Angka yang tercantum dalam pagu indikatif diperoleh dari angka prakiraan maju yang
sudah dicantumkan tahun sebelumnya yang telah melalui proses penyesuaian ditambah
dengan inisiatif baru pada kesempatan pertama yang diakomodir/disetujui.

Dalam bentuk gambar, proses sampai dengan penetapan pagu indikatif diatas dapat
diilustrasikan sebagai berikut:

Presiden Penyusunan Pagu Indikatif

1. Mengevaluasi pelaksanaan program


Arah Kebijakan dan kegiatan yang sedang berjalan
Bappenas 2. Mengkaji usulan inisiatif baru
3. Penyesuaian baseline
4. Memperhatikan kapasitas fiskal
Kapasitas Fiskal
Kemkeu

Prioritas Pemb
Nasional
Pagu Indikatif
1. Unit Organisasi
2. Program
3. Kegiatan
Dirinci
menurut 1 + 2 + 3 = 4
Catatan:
1. Angka prakiraan maju tahun sebelumnya
2. Penyesuaian Angka Dasar
3. Inisiatif Baru Kesempatan-1
4. Pagu Indikatif

Gambar 4 Penyusunan Pagu Indikatif

2) Pagu Anggaran
a). Menteri/Pimpinan Lembaga menyu­sun Rencana Kerja K/L (Renja-K/L)
Dalam menyusun Renja-Kementerian/Lembaga, K/L berpedoman pada surat mengenai
Pagu Indikatif dan hasil kesepakatan trilateral meeting. Renja-K/L dimaksud disusun
dengan pendekatan berbasis Kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan
penganggaran terpadu yang memuat kebijakan, program dan kegiatan.
b). Trilateral Meeting
Proses penyusunan Renja-K/L dilakukan pertemuan 3 (tiga) pihak antara Kementerian/
Lembaga, Ke­men­teri­an Perencanaan, dan Ke­men­terian Keuangan. Pertemuan ini
dilakukan dimulai setelah ditetap­kannya Pagu Indikatif sampai dengan sebelum batas
akhir penyampaian Renja K/L ke Bappenas dan Kementerian Keuangan. Pertemuan ini
dilakukan dengan tujuan:
(1) Meningkatkan koordinasi dan kesepahaman antara K/L, Kementerian Perencanaan,
dan Kementerian Keuangan, terkait dengan pencapaian sasaran prioritas
pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah;
(2) Menjaga konsistensi kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan
dokumen penganggaran, yaitu antara RPJMN, Rencana Kerja Pemerintah, Renja K/L

Pusat Penelitian dan Pengembangan


62 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
(3) Mendapatkan komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan
terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah, yaitu kepastian mengenai:
kegiatan prioritas; jumlah PHLN; dukungan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS);
Anggaran Responsif Gender (ARG); anggaran pendidikan; Penerimaan Negara Bukan
Pajak/BLU; inisiatif baru; belanja operasional; kebutuhan tambahan rupiah murni;
dan pengaliham Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
c). K/L menyampaikan Renja-K/L kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan
Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan Renja-K/L kepada Kementerian
Perencanaan dan Kementerian Keuangan untuk bahan penyempurnaan Rancangan
Awal Rencana Kerja Pemerintah dan penyusunan rincian pagu menurut unit organisasi,
fungsi, program, dan kegiatan sebagai bagian dari bahan pembicaraan pendahuluan
Rancangan APBN.
d). Pemerintah menetapkan Rencana Kerja Pemerintah
e). Pemerintah menyampaikan pokok-pokok pembicaraan RAPBN yang meliputi:
(1) Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal;
(2) Rencana Kerja Pemerintah;
(3) Rincian unit organisasi, fungsi, program dan kegiatan.
f). Menteri Keuangan menetapkan Pagu Anggaran K/L
Dalam rangka penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga,
Menteri Keuangan menetapkan Pagu Anggaran K/L dengan berpedoman pada kapasitas
fiskal, besaran Pagu Indikatif, Renja-Kementerian/Lembaga, dan mem­­­per­hatikan hasil
evaluasi Kinerja Ke­menterian/Lembaga. Pagu Anggar­an K/L dimaksud meng­gam­barkan
Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden yang dirinci menurut unit organisasi
dan program. Angka yang tercantum dalam pagu anggaran adalah angka di pagu indikatif,
penye­suaian angka dasar (jika diperlukan lagi) ditambah dengan inisiatif baru pada
kesempatan ke-2 yang diakomodir/disetujui. Pagu Anggaran K/L disampaikan kepada
setiap K/L paling lambat pada akhir bulan Juni.

Dalam bentuk gambar, proses penetapan pagu anggaran diatas dapat diilustrasikan
sebagai berikut:

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 63
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Penyusunan Pagu Anggaran

Pembicaraan Pendahuluan Ranc APBN:


DPR-RI 1. KEM dan PPKF Kemenkeu
2. RKP
3. Rincian Pagu menurut Organisasi,
Fungi, Program dan Kegiatan

Pagu Indikatif
1. Unit Organisasi
2. Program
3. Kegiatan
Dirinci
menurut 1 + 2 + 3 = 4

Catatan: Berpedoman
1. Pagu Indikatif
2. Penyesuaian Angka Dasar 1. Kapasitas Fiskal
3. Inisiatif Baru Kesempatan-2 2. Pagu Indikatif
4. Pagu Anggaran K/L 3. Renja K/L
4. Hasil Evaluasi Kinerja K/L
5. Direktif Presiden

Gambar 5 Penyusunan Pagu Anggaran

3) Alokasi Anggaran
a) Menteri/Pimpinan Lembaga menyu­sun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga, di­ma­na Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan:
(1) Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga;
(2) Renja-Kementerian/Lembaga;
(3) Rencana Kerja Pemerintah hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam
pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN; dan
(4) Standar biaya.
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dimaksud
termasuk menampung usulan Inisiatif Baru. Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga me­ru­pakan bahan penyusunan Rancangan Undang-
Undang ten­tang APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan
antara K/L dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Pe­ren­canaan. Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga menjadi bahan penyusunan RUU
APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan antara K/L dengan
Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan.

b) K/L melakukan pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga


dengan DPR

Pusat Penelitian dan Pengembangan


64 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Dalam rangka pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN, K/L melakukan pembahasan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan DPR. Pembahasan
tersebut difokuskan atas usulan Inisiatif Baru.

c) Penyesuaian atas usulan inisiatif baru


Dalam pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan
DPR, dapat dilakukan penyesuaian atas usulan inisiatif baru sepanjang:
(1) Sesuai Rencana Kerja Pemerintah;
(2) Pencapaian sasaran kinerja Kemen­terian/Lembaga;
(3) Tidak melampaui Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga.

d) Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga


Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tersebut
diselesaikan paling lambat akhir bulan Juli. Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga dilakukan secara terintegrasi, yang meliputi:
(1) Kelayakan anggaran terhadap sasaran kinerja;
(2) Konsistensi sasaran kinerja K/L dengan Rencana Kerja Pemerintah.
e) Kementerian Keuangan menghimpun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/
Lembaga hasil penelaahan untuk digunakan sebagai:
(1) Bahan penyusunan Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan RUU APBN;
(2) Dokumen pendukung pembahasan RAPBN.

Setelah dibahas dalam sidang kabinet, Nota Keuangan, RAPBN dan RUU APBN disampaikan
pemerintah kepada DPR paling lambat bulan Agustus. Hasil pembahasan RAPBN dan RUU
APBN dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan RAPBN dan RUU APBN
dan bersifat final. Berita acara hasil kesepakatan pembahasan tersebut disampaikan Menteri
Keuangan kepada Kementerian/Lembaga, untuk dijadikan dasar melakukan penyesuaian
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

f) Hasil penyesuaian Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tersebut


disampaikan kepada Kementerian Keuangan untuk ditelaah dan kemudian dijadikan dasar
menyusun Keputusan Presiden mengenai Alokasi Anggaran K/L dan Bendahara Umum
Negara. Alokasi Anggaran K/L dirinci menurut klasifikasi anggaran. Sedangkan Alokasi
Anggaran Bendahara Umum Negara dirinci menurut:
(1) Kebutuhan Pemerintah Pusat; dan
(2) Transfer kepada daerah.

g) Pemerintah menetapkan Alokasi Anggaran K/L dan Kementerian Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara.
Angka yang tercantum dalam Alokasi Anggaran adalah angka yang tertuang dalam berita acara
hasil kesepakatan pembahasan RUU APBN, penyesuaian angka dasar (jika diperlukan lagi),
ditambah dengan inisiatif baru pada kesempatan ke-3 yang diakomodir/disetujui

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 65
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Selanjutnya Menteri/pimpinan Lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran dengan


berpedoman pada alokasi anggaran yang telah ditetapkan dalam Keppres RABPP, dan kemudian
disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk disahkan. Menteri Keuangan mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran paling lambat tanggal 31 Desember. Dalam bentuk gambar,
proses penetapan alokasi anggaran diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Penyusunan Alokasi Anggaran K/L


(Pagu Definitif)

Pagu Indikatif

DPR-RI RUU APBN 1 + 2 + 3 = 4


1. Berita Acara Hasil Kesepakatan Pembahasan
RUU APBN
2. Penyesuaian Angka Dasar
3. Inisiatif Baru Kesempatan Ke-3
4. Alokasi Anggaran K/L
Kemenkeu K/L
Dirinci menurut klasifikasi
Anggaran Penyesuaian
RKA K/L
K/L Keppres
Dirinci menurut: Alokasi
1. Kebutuhan Pemerintah Pusat Anggaran
2. Transfer ke Daerah BUN

Gambar 6 Penyusunan Alokasi Anggaran K/L (Pagu Definitif)

Tahap selanjutnya adalah Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran


yang disusun oleh Menteri/Pimpinan Lembaga paling lambat tanggal 31 Desember.

c. Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara dan Proses


Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara merupakan dokumen penganggaran
yang khusus disusun oleh Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal dan secara operasional
dilaksanakan oleh unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan sebagai Pembantu
Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara.

Penyusunan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara juga menggunakan


pendekatan penyusunan anggaran dan klasifikasi anggaran sebagaimana digunakan dalam
penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan beberapa
pengecualian/kekhususan. Pengecualian/kekhususan ini berkenaan dengan klasifikasi
anggaran, terutama klasifikasi organisasi dan fungsi.

Berkenaan dengan klasifikasi organisasi, BA Bendahara Umum Negara yang terdapat dalam
dokumen Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara dibagi dalam bagian-bagian

Pusat Penelitian dan Pengembangan


66 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
anggaran. Penanggung jawab masing-masing BA tersebut di atas disebut Pembantu Pengguna
Anggaran (PPA) yang merupakan unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai
dengan tugas-fungsinya. Sedangkan satuan kerja pada masing-masing Pembantu Pengguna
Anggaran adalah Satuan Kerja baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja
yang memperoleh penugasan dari Pembantu Pengguna Anggaran sebagai kepanjangan tangan
Menteri Keuangan. Suatu Pembantu Pengguna Anggaran dalam rangka pengelolaan anggaran
dapat mengusulkan Satuan Kerja baru sebagai KPA untuk melaksanakan kewenangan dan
tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA Bendahara Umum Negara apabila
terdapat penugasan secara khusus dari Pembantu Pengguna Anggaran.

Pembantu Pengguna Anggaran dapat mengusulkan adanya Satuan Kerja baru dalam rangka
pengelolaan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara kepada Direktorat
Jenderal Anggaran c. q. Direktorat Anggaran III. Selanjutnya Direktorat Jenderal Anggaran
memberitahukan persetujuan/penolakan atas usulan dimaksud kepada Pembantu Pengguna
Anggaran yang bersangkutan.

Berkenaan dengan klasifikasi fungsi, penerapan fungsi dan subfungsi dalam kerangka Rencana
Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara mengacu pada tugas-fungsi Kementerian
Keuangan: fungsi 01 (pelayanan umum) dan subfungsi 0101 (Lembaga Eksekutif dan Legislatif,
Masalah Keuangan dan Fiskal, serta Urusan Luar Negeri). Dalam proses penyusunan Rencana
Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara, penerapan fungsi dan sub-fungsi dimaksud
Bendahara Umum Negara dengan kegiatan.

Proses penganggaran Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara dimulai satu


tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan, tepatnya pada awal tahun. Alur proses
penganggarannya meliputi 5 (lima) tahap utama:
a. Penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum
Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara dapat berkoordinasi dengan Menteri/
Pimpinan Lembaga atau pihak lain terkait menyusun indikasi kebutuhan dana pengeluaran
Bendahara Umum Negara untuk tahun anggaran yang direncanakan dengan memperhatikan
prakiraan maju dan rencana strategis yang telah disusun. Indikasi kebutuhan dana merupakan
indikasi dana dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya
hanya ditampung pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Kementerian Keuangan.
Kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara dimaksud antara lain:
1) transfer ke daerah;
2) Bendahara Umum Negara utang;
3) subsidi;
4) hibah (dan penerusan hibah);
5) kontribusi sosial;
6) dana darurat/penanggulangan bencana alam;
7) kebutuhan mendesak (emergency),
8) cadangan untuk mengantisipasi perubahan kebijakan (policy measures);

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 67
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

9) dana transito;
10) cicilan utang;
11) dana investasi Pemerintah;
12) penyertaan modal negara;
13) dana bergulir;
14) dana kontinjensi;
15) penerusan pinjaman (on-lending); dan
16) kebutuhan lain-lain yang tidak dapat direncanakan.

Sedangkan “pihak lain terkait” tersebut di atas yaitu Pemerintah Daerah, Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Lembaga Non-Kementerian yang terkait dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan.

b. Penetapan Pagu Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara


Menteri Keuangan menetapkan pagu dana pengeluaran Bendahara Umum Negara dengan
berpedoman pada:
1) arah kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden;
2) prioritas anggaran;
3) Rencana Kerja Pemerintah hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan
pendahuluan pembahasan Rancangan APBN;
4) indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara; dan
5) evaluasi Kinerja penggunaan dana Bendahara Umum Negara.

c. Penyusunan Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara


Pembantu Pengguna Anggaran-Bendahara Umum Negara yang telah ditunjuk Menteri
Keuangan menyusun Rencana Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara berdasarkan
pagu dana pengeluaran Bendahara Umum Negara dimaksud. Penyusunan Rencana Dana
Pengeluaran-Bendahara Umum Negara dapat dilakukan dengan berkoordinasi dengan K/L
atau pihak lain yang terkait.

d. Pengusulan Alokasi Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara


Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara mengusulkan alokasi dana pengeluaran
Bendahara Umum Negara kepada Menteri Keuangan dengan berpedoman pada Rencana
Dana Pengeluaran-Bendahara Umum Negara yang telah disesuaikan dengan berita acara hasil
kesepakatan pembahasan APBN.

e. Penetapan Alokasi Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara


Menteri Keuangan menetapkan alokasi dana pengeluaran Bendahara Umum Negara
berdasarkan Keputusan Presiden yang ditetapkan paling lambat tanggal 30 November dan
mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran dana pengeluaran Bendahara Umum Negara
sebelum dimulainya tahun anggaran paling lambat akhir bulan Desember. Penetapan alokasi
dana pengeluaran Bendahara Umum Negara tertentu yang alokasi dananya belum dapat
ditetapkan pada saat ditetapkannya APBN dapat dilakukan pada tahun anggaran berjalan.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


68 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
O. PENERAPAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
1. Tingkatan Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja
Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja mengacu pada struktur organisasi Kementerian/
Lembaga. Hubungan antara struktur organisasi dan kinerja yang akan dicapai merupakan kerangka
Penganggaran Berbasis Kinerja sebagaimana Diagram berikut ini:

Level Kementerian/
Nasional Lembaga
Target Kinerja
Total Rupiah
PRIORITAS Indikator Kinerja
Nasional
ESSELON I

Target Kinerja
ESSELON II/SATKER
Fokus Prioritas Total Rupiah
Indikator Kinerja
Nasional Kegiatan Kegiatan
Prioritas Tupoksi
Kegiatan Prioritas

Output Output
dan Jumlah Indikator dan Jumlah Indikator
Volume Rupiah Kinerja Volume Rupiah Kinerja
Output Output

Gambar 7 Tingkatan Penerapan Anggaran berbasis Kinerja

2. Sumber Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


Pelaksanaan APBN dilaksanakan oleh K/L Negara berdasarkan dokumen pelaksanaan anggaran
yaitu DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) dalam satu tahun anggaran yakni dari Januari s.d.
Desember. Sumber dana APBN dalam DIPA terdiri atas 3 (tiga) sumber yaitu Rupiah Murni (RM),
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (Penerimaan Negara Bukan
Pajak). Pembahasan teknis pencairan dana APBN yang bersumber dari Penerimaan Negara
Bukan Pajak. Pengalokasian anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang dananya bersumber dari
Penerimaan Negara Bukan Pajak, tata cara penuangan ke dalam RKA-KL mengacu pada:
− Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Pemerimaan Negara
Bukan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
− Nomenklatur kegiatan yang ada pada tabel referensi aplikasi RKA-KL;
− Rekapitulasi target penerimaan dan pagu penggunaan;
− Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak masing-
masing Kementerian/Lembaga;
− KMK/Surat Menteri Keuangan tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana yang
berasal dari Pemerimaan Negara Bukan Pajak.
− Ketentuan akun untuk pembayaran honor bagi para pengelola Penerimaan Negara Bukan
Pajak (terkait dengan operasional Satuan Kerja menggunakan akun 521115 sedangkan
Non operasional Satuan Kerja menggunakan akun 521213)

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 69
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang merupakan salah satu sumber dana dalam DIPA
dibedakan atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat dan PNPB
yang setorannya secara Tidak Terpusat.
a. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat
1) Penerimaan Negara Bukan Pajak yang setorannya secara Terpusat, yaitu penyetoran,
pencatatan, pembukuan dan pelaporannya dilaksanakan oleh Kantor Pusat suatu K/L
Negara. Penggunaan dana dialokasikan pada kantor-kantor daerah.
2) Untuk Satuan Kerja pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan
dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan Surat
Setor Bukan Pajak.
b. Pengelolaan Pemerimaan Negara Bukan Pajak (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang
setorannya secara Tidak Terpusat.
PNPB yang setorannya secara Tidak Ter­pusat, yaitu penyetoran, pencatatan, pembukuan dan
pelaporannya dilak­sana­kan oleh masing-masing instansi/kantor dan tidak dapat langsung
dipergunakan. Tahap awal dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, sebagaimana
pengelolaan dana APBN pada umumnya, adalah perencanaan yang dituangkan dalam bentuk
Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-KL). Penyusunan RKAKL dilakukan oleh seluruh satuan kerja
yang berada di lingkungan masing-masing Kementerian/Lembaga. Penyusunan RKA-KL Badan
Pertanahan Nasional dilaku­kan oleh seluruh satuan kerja yang berada di lingkungan BPN. Seluruh
satuan kerja yang berada di Kantor Pusat BPN, kantor-kantor wilayah BPN di propinsi, maupun
kantor-kantor Pertanahan di kabupaten/kota melakukan perencanaan dan penganggaran untuk
selanjutnya dikonsolidasikan (bottom up system) menjadi dokumen RKA-KL.

Dalam menyusun RKA-KL, BPN memprediksi target penerimaan yang akan diperoleh
selama satu tahun anggaran dan pagu belanja untuk membiayai rencana kerja yang akan
dilakukan. Target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersifat fungsional
diperoleh dari target fisik pertanahan yang akan dilayani dikalikan dengan tarif pelayanan,
sedangkan pagu belanja berkenaan dengan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang bersifat fungsional adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tentang
Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan
Pertanahan Nasional.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132 Tahun 2010 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan
Nasional, untuk masing-masing kegiatan adalah sebagai berikut:
1) Pelayanan Pendaftaran Tanah, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 81,54%
(delapan puluh satu koma lima puluh empat persen),
2) Pelayanan Pemeriksaan Tanah, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 81, 67%
delapan puluh satu koma enam puluh tujuh persen),
3) Pelayanan Informasi Pertanahan, dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 82,35%
(delapan puluh dua koma tiga puluh lima persen),
4) Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya, dengan izin penggunaan paling tinggi
sebesar 80,50% (delapan puluh koma lima puluh persen),

Pusat Penelitian dan Pengembangan


70 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
5) Pelayanan Redistribusi Tanah Secara Swadaya, dengan izin penggunaan paling tinggi
sebesar 95% (sembilan puluh lima persen), dan
6) Penyelenggaraan Pendidikan Program Diploma I Pengukuran dan Pemetaan Kadasteral,
dengan izin penggunaan paling tinggi sebesar 86% (delapan puluh enam persen).

Seiring dengan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 dan pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, dimana terdapat
perubahan atas jenis-jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPN, Menteri
Keuangan mengatur kembali penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN dengan
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan
Nasional. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010, izin
penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN RI adalah sebagai
berikut:
1) Penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN yang berasal
dari:
a). pelayanan survei, pengukuran dan pemetaan;
b). pelayanan pemeriksaan tanah;
c). pelayanan konsolidasi tanah secara swadaya;
d). pelayanan pertimbangan teknis pertanahan;
e). pelayanan pendaftaran tanah;
f). pelayanan informasi pertanahan;
g). pelayanan lisensi;
h). pelayanan kerjasama di bidang pertanahan yang berasal dari kerjasama dengan
pihak lain;
Untuk kegiatan Pelayanan Pertanahan, dengan izin penggu­naan paling tinggi sebesar
85,54% (delapan puluh lima koma lima puluh empat persen).
2) Penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada BPN yang berasal dari
Pelayanan Pendidikan untuk kegiatan pelayanan pendidikan dengan izin penggunaan
paling tinggi sebesar 90,11% (sembilan puluh koma sebelas persen).

c. Pelaksanaan dalam Rangka Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak


1) Pemberian Pelayanan dan Pemungut­an/Penyetoran Penerima­an Negara Bukan Pajak
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, BPN memberikan berbagai jenis pelayanan di bidang
pertanahan. Jenis-jenis pelayan yang diberikan oleh BPN menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2010 dikelompokkan ke dalam sepuluh jenis kegiatan pelayanan
pertanahan sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Dari berbagai jenis pelayanan di bidang pertanahan tersebut BPN mengenakan tarif
pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian pelayanan oleh Kantor
Pertanahan secara garis besar diawali dengan adanya surat permohonan dari pemegang
hak atau kuasanya disertai dengan dokumen pendukungnya. Atas dasar surat permohonan

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 71
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

tersebut, Kantor Pertanahan memperhitungkan tarif­nya sesuai dengan ketentuan tarif


yang berlaku untuk jenis pelayanan yang diminta dan selanjutnya diterbitkan Surat
Perintah Setor (SPS) kepada pemohon/wajib bayar. Wajib bayar melakukan penyetoran
sebesar jumlah yang tercantum dalam SPS yang harus dibayarkan. Penyetoran oleh
wajib bayar dapat dilakukan melalui dua cara, yakni penyetoran langsung ke rekening Kas
Negara13 melalui bank/pos persepsi14 atau penyetoran melalui Bendahara Penerimaan
pada Kantor Pertanahan untuk selanjutnya disetorkan ke rekening Kas Negara melalui
bank/pos persepsi. Penyetoran ke bank/pos persepsi menggunakan formulir Surat Setoran
Bukan Pajak (Surat Setor Bukan Pajak)15.

Setelah pemohon melunasi pemba­yar­an sesuai dengan SPS serta sejak berkas diterima lengkap
oleh Kantor Pertanahan, penyelesaian pelayanan pertanahan berpedoman pada Peratur­
an Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar
Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Tertentu16.
Persyaratan dan jangka waktu penyelesaian untuk masing-masing jenis pelayanan pertanahan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008.

Sesuai dengan ketentuan dalam per­aturan perundang-undangan, se­lu­­ruh penerimaan


negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Per­tanahan Nasional wajib disetor langsung
secepatnya ke Kas Negara.17 Dalam praktiknya, dengan mem­pertimbangkan kendala
jarak maupun efisiensi dan efektivitas, penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh
Bendahara Penerimaan ke Kas Negara melalui bank/pos persepsi tidak dilakukan setiap
hari kerja. Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah disetorkan ke rekening Kas
Negara, baik disetor langsung oleh wajib bayar maupun yang dipungut oleh Bendahara
Penerimaan, dicatat sebagai realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak. Selain itu juga
terdapat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dipotong langsung melalui penerbitan
Surat Perintah Membayar (SPM)18.

13. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar pengeluaran negara. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Bodul Penerimaan Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 2.
12.
14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka
impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh
Kementerian Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara. Ibid. , Pasal 1 butir 13 dan 15.
15. Sebagai bukti transaksi adanya setoran penerimaan negara ke rekening Kas Negara, bank/pos persepsi menerbitkan Bukti Peneriman Negara
(BPN) yang salah satu lembarnya diserahkan kepada penyetor. Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/
Pos atas transaksi penerimaan negara dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor
Transaksi Pos (NTP) dan dokumen yang diterbitkan oleh KPPN atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM dengan
teraan NTPN dan Nomor Potongan Penerimaan (NPP). NTPN dan NTB/NTP yang terdapat pada BPN merupakan pengesahan atas penerimaan
negara melalui Bank/Pos. Ibid. , Pasal 2 butir 9, Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4).
16 Pelayanan pertanahan untuk jenis pelayanan pertanahan tertentu meliputi: (a) Pemeriksaan (pengecekan) sertipikat, (b) Peralihan hak – Jual
beli, (c) Peralihan hak – Pewarisan, (d) Peralihan hak – Hibah, (e) Peralihan hak – Tukar Menukar, (f) Peralihan hak – Pembagian hak bersama,
(g) Hak tanggungan, (h) Hapusnya hak tanggungan – roya, (i) Pemecahan sertipikat –Perorangan, (j) Pemisahan sertipikat – Perorangan, (k)
PenggaBendahara Umum Negaragan sertipikat – Perorangan, (l) Perubahan hak milik untuk rumah tinggal dengan ganti blanko, (m) Perubahan
hak milik untuk rumah tinggal tanpa ganti blanko, dan (n) Ganti nama. Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala BPN RI tentang
Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Tertentu, Peraturan
Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008, Pasal 1 ayat (2).
17. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan
Pertanahan Nasional, op. cit. , Pasal 26. Ketentuan ini sama dengan ketentuan pada PP Nomor 46 Tahun 2002 yang berlaku sebelumnya,yaitu
pada Pasal 24.
18.Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat
lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 12.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


72 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dipotong melalui SPM biasanya merupakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersifat umum, seperti: pendapatan sewa rumah
dinas, penerimaan kembali belanja pegawai pusat tahun anggaran yang lalu, pendapatan
denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan sebagainya.

Atas realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut, sebagian dananya dapat digunakan
untuk membiayai kegiatan pelayanan pertanahan atau pendidikan. Dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang dapat digunakan adalah dana Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang bersifat fungsional atau yang berasal dari pelayanan yang diberikan oleh BPN sesuai
dengan tugas dan fungsinya di bidang pertanahan. Penggunaan sebagian dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak dilakukan setelah men­dapat persetujuan dari Kementerian Keuangan.

d. Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak


Penerimaan Negara Bukan Pajak dipungut atau ditagih oleh Instansi Pemerintah
(Departemen dan Lembaga Non Departemen) sesuai dengan perintah UU atau PP atau
penunjukan dari Kementerian Keuangan, berdasarkan Rencana Pene­rimaan Negara Bukan
Pajak 19 yang dibuat oleh Pejabat Instansi Pemerintah20 ter­sebut. Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang telah dipungut atau ditagih ter­se­but wajib dilaporkan secara tertulis oleh Pejabat
Instansi Pemerintah kepada Menteri Keuangan dalam bentuk Laporan Realisasi Penerimaan
Negara Bukan Pajak Triwulan yang disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah triwulan
tersebut berakhir, dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

TABEL 1. PERENCANAAN LAPORAN REALISASI PNBP21

NO. PERIODE JANGKA WAKTU BATAS WAKTU PENYERAHAN

1 Triwulan I Jan-Maret 30 April

2 Triwulan II April-Juni 31 Juli


3 Triwulan III Juli-September 31 Oktober

4 Triwulan IV Oktober-Desember 31 Januari


Sumber: Hasil Pengumpulan Data di Lapangan, 2013

Namun dalam perkembangan selanjutnya, menurut Surat Edaran Sekretaris Jenderal Depkeu RI
Nomor: S-389/SJ/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor: SE05/PJ. 12/2006 tentang Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan
Pajak, Instansi Pemerintah me­miliki kewajiban untuk menyampaikan Laporan Bulanan realisasi

19. Rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah hasil penghitungan/penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diperkirakan akan
diterima dalam 1(satu) tahun yang akan datang (Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian
Rencana dan laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak), memuat sekurang-kurangnya mengenai jenis, tarif, periode dan jumlah
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Juli Tahun Anggaran berjalan
20. Sebagai bukti transaksi adanya setoran penerimaan negara Pejabat Instansi Pemerintah adalah Sekretaris Jenderal atau pemegang jabatan
setingkat yang berfungsi sebagai Sekretaris Jenderal pada Instansi Pemerintah (Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor1 Tahun 2004
tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak).
21. Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah daftar yang memuat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah dicapai/diproleh
dalam periode tertentu (Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak).

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 73
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Penerimaan Negara Bukan Pajak setiap tanggal 10 bulan berikutnya kepada Sekretaris Jenderal u. p.
Biro Perencanaan dan Keuangan serta tembusan disampaikan ke­pada Sekretaris Dirjen Pajak u. p.
Kepala Bagian Keuangan22. Walaupun Penerimaan Negara Bukan Pajak memiliki sifat segera harus
di­setorkan ke kas negara, namun sebagian dana dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah
dipungut dapat digunakan untuk kegiatan tertentu23 oleh instansi yang bersangkutan.

Pemberian ijin penggunaan dan besaran jumlah ditentukan oleh Menteri Keuangan melalui
Keputusan Kementerian Keuangan, setelah Pimpinan instansi pemerintah mengajukan permohonan
yang sedikitnya dilengkapi dengan:
1) tujuan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak antara lain untuk me­ning­kat­kan
pelayanan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mening­katkan produktivitas kerja serta
meningkat­kan efisiensi perekonomian;
2) rincian kegiatan pokok instansi dan kegiatan yang akan dibiayai Penerimaan Negara Bukan Pajak;
3) jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak beserta tarif yang berlaku; dan
4) laporan realisasi dan perkiraan tahun anggaran berjalan serta perkiraan untuk 2 (dua) tahun
anggaran mendatang.
Kegiatan penatausahaan sebagian dana dari Penerimaan Negara Bukan Pa­jak ini dilakukan oleh
pimpinan ins­tan­si/bendaharawan penerima dan benda­ha­rawan pengguna, yang ditunjuk setiap
awal tahun anggaran. Apabila terdapat saldo lebih maka pada akhir tahun anggaran wajib disetor
seluruhnya ke Kas Negara.
5) Penerimaan Negara Bukan Pajak Terutang
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dibayar pada suatu saat atau dalam suatu periode
tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku disebut Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Ter­utang. Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang ditentukan
dengan cara:
a). ditetapkan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian paten, pelayanan pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan penjualan karcis masuk; atau
b). dihitung sendiri oleh Wajib Bayar24, antara lain pemanfaatan sumber daya alam.
Juklak Penerimaan Negara Bukan Pajak terutang terdapat dalam Peraturan Peme­rintah Nomor
29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Terutang, dihitung dengan menggunakan tarif:
a). spesifik25;
b). advalorem26 ; atau
c). ketentuan perundang-undangan27.

22. Format Laporan terdapat dalam Lampiran Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-05/PJ. 12/2006 tentang Laporan Realisasi Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
23. Yang dimaksud dengan kegiatan tertentu meliputi bidang-bidang kegiatan: penelitian dan pengembangan teknologi, pelayanan kesehatan,
pendidikan dan pelatihan, penegakan hukum, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, pelestarian sumber daya alam (Pasal 4
ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan
Tertentu).
24. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban membayar menurut peraturan perundan-undangan
yang berlaku (Pasal 1 angka 5 UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak juncto Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang)
25. Tarif spesifik adalah tarif yang ditetapkan dengan nilai nominal uang (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009)
26. Tarif advalorem adalah tarif yang ditetapkan dengan persentase (%) dikalikan dengan satuan nilai (berupa Harga Patokan, indeks harga, kurs,
pendapatan kotor, atau penjualan bersih) yang digunakan sebagai dasar perhitungan.
27. Dalam hal ini penetapan berdasarkan formula, kontrak, putusan pengadilan, dan hasil lelang.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


74 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Sementara pengaturan Pembayaran dan Penye­tor­an Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang
dapat digambarkan sebagai berikut:
TABEL 2 PENGATURAN PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PNBP TERUTANG
NO. INSTANSI PEMERINTAH WAJIB BAYAR

1 pembayaran dilakukan oleh instansi pembayaran dilakukan oleh wajib bayar paling lambat
pemerintah pada waktu yang pada saat jatuh tempo
ditentukan berdasarkan Peraturan
Pemerintah pembayaran dilakukan
oleh wajib bayar paling lambat pada
saat jatuh tempo

2 apabila belum dibayar, penagihan apabila belum dibayar, penagihan wajib dilakukan
dilakukan oleh Pimpinan Instansi oleh Pimpinan Instansi Pemerintah
Pemerintah (Kementerian atau Pim­
pinan Lembaga Non Depar­te­men)
selaku Pengguna Anggaran apabila
belum dibayar, penagihan wajib di­
la­
kukan oleh Pimpinan Instansi
Pemerintah

3 mekanisme penagihan dan/ mekanisme:


atau pemungutan diatur dengan a. Pimpinan Instansi Pemerintah menerbitkan Surat
Peraturan Menteri Keuangan Tagihan Pertama;
mekanisme: b. Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat
Tagihan Pertama, belum dilunasi, Instansi Pemer-
intah menerbitkan Surat Tagihan Kedua;
c. Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat
Tagihan Kedua, belum dilunasi, Instansi Pemerin-
tah menerbitkan Surat Tagihan Ketiga;
d. Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat
Tagihan Ketiga, belum dilunasi, Instansi Pemerin-
tah menerbitkan Surat Penyerahan. Tagihan ke-
pada instansi yang berwenang mengurus piutang
Negara tersebut

Untuk pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak, penyetoran dilakukan menggunakan formulir
SSBP (Surat Setoran Bukan Pajak) dan disampaikan kepada Bendahara Penerimaan Satuan Kerja28.
Wajib bayar yang menghitung sendiri Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang harus
menyampaikan surat tanda bukti pembayaran yang sah kepada Menteri Keuangan c. q. Dirjen
Anggaran. Apabila Wajib Bayar tidak melakukan pembayaran sampai melampaui jatuh tempo, maka
akan dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan dari bagian yang terutang dan bagian dari bulan dihitung
1 (satu) bulan penuh29. Pemberian denda ini juga berlaku dalam hal terjadi keter­lambatan kekurangan
pembayaran Pene­­rimaan Negara Bukan Pajak keterlam­bat­an kekurangan30 pembayaran Penerimaan
Negara Bukan Pajak dan hanya dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Selain
memiliki kewajiban untuk menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak, Wajib Bayar juga memperoleh
hak-hak sebagai berikut:

28. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK. 05/2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan
Penyusunan laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian/Lembaga/ Kantor/Satuan Kerja.
29. Metode perhitungan sanksi administrasi dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang, dan dapat diformulasikan sebagai
berikut: (2%x nilai PNBP yang terutang)+akumulasi denda. Keterlambatan 1 hari tetap diperhitungkan sebagai keterlambatan 1(satu) bulan
penuh
30. Kekurangan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak terjadi karena kesalahan penghitungan tarif, volume, dasar pengenaan tertentu, atau
kesalahan administrasi.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 75
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

TABEL 3 PEROLEHAN HAK-HAK PENYETOR PNBP

NO. BERKAITAN MEKANISME PEMBERIAN HAK BAGI WAJIB BAYAR

1 dalam hal terdapat kelebihan perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang

a. usaha Wajib 1) Wajib Bayar mengajukan permohonan pengembalian kelebihan kepada


Bayar masih Pimpinan Instansi Pemerintah disertai dokumen pendukung lengkap;
berjalan 2) Setelah melalui pertimbangan yang ada, jika disetujui, kelebihan pembayar­
an diperhitung kan sebagai pembayaran dimuka atas Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang terutang pada periode berikutnya.

1) Pimpinan Instansi Pemerintah menyampaikan permohonan pengem­ba­li­an


kelebihan pembayaran kepada Menteri Keuangan disertai rekomendasi
b. usaha Wajib tertulis31;
Bayar 2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, jika disetujui Kepala BPN RI akan
berakhir menerbitkan penetapan persetujuan pengembalian kelebihan pembayaran
secara tunai32;
3) Pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan paling lambat 1 (satu)
bulan terhitung sejak tanggal penetapan persetujuan Kepala BPN RI;
4) Apabila melampaui batas waktu, Wajib Bayar juga memperoleh imbalan
Bendahara Umum Negara 2% per bulan untuk jangka waktu paling lama
24 (dua puluh empat) bulan.

2 dalam kondisi keuangan perusahaan kurang mendukung atau terjadi force majeur (bencana alam)

1) Wajib Bayar mengajukan permohonan mengangsur dan/atau menunda


pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang, secara
tertulis kepada Pimpinan Instansi Pemerintah paling lambat 20 (dua puluh
hari) sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang terutang33; Pimpinan Instansi Pemerintah menyampaikan per­
mohon­an tersebut beserta rekomendasi tertulis kepada Menteri Keuangan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan tersebut diterima
secara lengkap;
2) Setelah melalui pertimbangan tertentu, Kepala BPN RI menerbitkan per­
setujuan atau penolakan permohonan dan menyampai kannya kepada
Pimpinan Instansi Pemerintah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak surat
permohonan dari Pimpinan Instansi Pemerintah diterima;
3) Setelah diterima, Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan persetujuan
atau penolakan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari setelah persetujuan
atau penolakan dari Kepala BPN RI34;

3 dalam hal berkaitan dengan kegiatan sosial, kepentingan keagamaan, kepentingan nasional,
huBendahara Umum Negaragan internasional, Wajib Bayar tidak mampu membayar kewajiban
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, mengalami kerugian, yang dibuktikan dengan
rekomendasi dari instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan.

a) Wajib Bayar mengajukan permohonan untuk dilakukan peninjauan


kembali dari kewajiban Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Terutang dan/atau sanksi administrasi berupa denda, diajukan
secara tertulis kepada Pimpinan Instansi Pemerintah disertai penjelasan,
dokumen, dan data pendukung;
b) permohonan tersebut kemudian diajukan oleh Pimpinan Instansi
Pemerintah kepada Kepala BPN RI dilengkapi dengan rekomendasi
tertulis;

31. Rekomendasi tertulis adalah surat Kepala BPN RI yang menjelaskan bahwa pengakhiran kegiatan usaha karena izin usaha berakhir yang
dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang; atau pailit (dibuktikan dengan putusan pengadilan).
32.Permohonan juga dapat ditolak, dalam hal perusahaan mempunyai tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang, dan setelah
ditolak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran dikembalikan ke Pimpinan Instansi Pemerintah.
33. Permohonan disertai alasan, data pendukung (berupa laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
buku berturut-turut serta data penunjang keuangan lainnya) serta dokumen lainnya berupa surat keterangan dari instansi yang berwenang.
34. Apabila disetujui oleh Kepala BPN RI, maka dalam Surat Persetujuan Kepala BPN RI akan terdapat jumlah dan jangka waktu angsuran atau
penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang. Sementara jika ditolak, Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menagih
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang paling lambat 7 (tujuh) hari sejak Surat Penolakan diterima Wajib Bayar.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


76 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NO. BERKAITAN MEKANISME PEMBERIAN HAK BAGI WAJIB BAYAR

c) Kepala BPN RI kemudian dapat menerbitkan surat persetujuan atau surat


penolakan dan menyampaikan kepada Pimpinan Instansi Pemerintah
yang bersifat final;
d) Oleh Pimpinan Instansi Pemerintah, diberikan persetujuan atau
penolakan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja;
e) Ketentuan mengenai tata cara peninjauan kembali diatur dengan
Peraturan Kepala BPN RI.

4 Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat kelebihan pembayaran Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Terutang

Pimpinan Instansi Pemerintah menerbitkan penetapan atas kelebihan


tersebut yang kemudian diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas
jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang dari Wajib Bayar
yang bersangkutan pada periode berikutnya.

Terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dilakukan pemeriksaan oleh instansi
berwenang untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Instansi yang berwenang adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
dan BPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan adanya kekurangan penerimaan ini, berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Terutang, Pimpinan Instansi Pemerintah akan menerbitkan penetapan atas
kekurangan tersebut, dan wajib untuk dilunasi dengan ditambah sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan sejak Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang wajib untuk dilunasi dengan ditambah
sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kekurangan tersebut untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang.

6) Pencairan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak


Mekanisme pencairan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak di lingkungan BPN RI dapat diuraikan
secara ringkas sebagai berikut.
a) Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP)35 pada Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM), dengan
ketentuan sebagai berikut:
(1) Uang Persediaan (UP)36 /Tambahan Uang Persediaan (TUP)37 untuk Penerimaan Negara Bukan
Pajak diajukan terpisah dari Uang Persedia­an (UP)/Tambahan Uang Persediaan (TUP) lainnya
mengguna­kan akun 825113;

35. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) adalah suatu dokumen yang dibuat/diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan dan disampaikan kepada Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk selaku pemberi kerja untuk
selanjutnya diteruskan kepada pejabat penerbit SPM berkenaan. Ibid. , Pasal 1 butir 11.
36. Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan kepada bendahara
pengeluaran hanya untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. Ibid. ,
Pasal 1 butir 14
37. Tambahan Uang Persediaan (TUP) adalah uang yang diberikan kepada Satuan Kerja untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam satu bulan
melebihi pagu UP yang ditetapkan. Ibid. ,Pasal 1 butir 15.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 77
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

(2) Uang Persediaan (UP) dapat diberikan kepada satuan kerja (Satuan Kerja) pengguna
sebesar 20% dari pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA maksimal
sebesar Rp. 500. 000. 000,- (lima ratus juta rupiah), dengan melampirkan Daftar
Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (Penerimaan Negara Bukan Pajak)
tahun anggaran sebelumnya. Apabila Uang Persediaan (UP) tidak mencukupi dapat
mengajukan Tambahan Uang Persediaan (TUP) sebesar kebutuhan riil satu bulan
dengan memperhatikan maksimum pencairan dana (MP).
(3) Dana yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat dicairkan maksimal
sesuai formula sebagai berikut:
MP = (PPP x JS) – JPS;
Keterangan:
MP = maksimum pencairan dana;
PPP = proporsi pagu pengeluaran terhadap pendapatan;
JS = jumlah setoran;
JPS=jumlah pencairan dana sebelum­nya sampai dengan SPM terakhir yang diterbitkan.

Dalam pengajuan SPM-Tambahan Uang Persediaan (TUP)/GUP/LS Pene­rimaan Negara
Bukan Pajak ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)38, Satuan Kerja
peng­guna harus melampirkan Daftar Per­hitungan Jumlah Maksimum Pencairan Dana.
(4) Untuk Satuan Kerja pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan
dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan Surat
Setor Bukan Pajak.
(5) Satuan Kerja pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat),
pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (Surat Setor Bukan Pajak) yang telah
dikonfirmasi oleh KPPN.
(6) Besaran PPP untuk masing-masing Satuan Kerja pengguna diatur berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku.
(7) Besarnya pencairan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak secara keseluruhan
tidak boleh melampaui pagu Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Kerja yang
bersangkutan dalam DIPA.
(8) Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/Tambahan Uang Persediaan (TUP)
Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Kuasa PA, dilakukan dengan mengajukan SPM ke
KPPN setempat cukup dengan melampirkan SPTB.
(9) Khusus STPN selaku pengguna Penerimaan Negara Bukan Pajak, sisa dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang disetorkan pada akhir tahun anggaran ke rekening Kas Negara
dapat dicairkan kembali maksimal sebesar jumlah yang sama pada awal tahun anggaran
berikutnya mendahului diterimanya DIPA dan merupakan bagian dari target Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran berikutnya.
b). Sisa dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Satuan Kerja pengguna di luar butir i),
yang disetorkan ke rekening kas negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian
realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun anggaran berikutnya dan
dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah diterimanya DIPA.

38. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. kerja lainnya. Ibid. ,Pasal 1 butir 4.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


78 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
c). Sisa Uang Persediaan/Tambahan Uang Persediaan (TUP) dana Penerimaan Negara Bukan
Pajak sampai akhir tahun anggaran yang tidak disetorkan ke rekening kas negara, akan
diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan dana UP tahun anggaran berikutnya.
d). Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/Tambahan Uang Persediaan (TUP) Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Kuasa Pengguna Anggaran, dilakukan dengan mengajukan Surat
Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM-GUP) ISI atau SPM-GUP NIHIL ke
KPPN.
e). Persyaratan Surat Perintah Membayar.
(1) Surat Perintah Membayar (SPM UP) (menggunakan akun 825113), disertai Arsip
Dokumen Kantor SPM
(2) Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM GU) ISI, menggunakan
akun-akun yang diperbolehkan, dengan disertai:
− Arsip Dokumen Kantor SPM;
− SPTB khusus Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM GU) ;
− Copy Faktur Pajak/Surat Setor Pajak yang dilegalisasi KPA dan telah divalidasi oleh
KPPN (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak);
− Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;
− Surat Setor Bukan Pajak bila ada setoran penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
a) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM TUP), menggunakan akun-
akun yang diperbolehkan dan pada potongan SPM menggunakan akun 825113 dengan
disertai:
(1) Arsip Dokumen Kantor SPM;
(2) Surat Pernyataan Tambahan Uang Persediaan (TUP);
(3) Rincian Rencana Penggunaan Dana beserta Sisa Dana atas akun yang digunakan.
(4) Rekening Koran Bendahara Pengeluaran;
(5) Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;
(6) Surat Setor Bukan Pajak bila ada setoran penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
b) Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM GU) NIHIL:
(1) Arsip Dokumen Kantor SPM;
(2) SPTB khusus Surat Perintah Membayar Pengganti Uang Persediaan (SPM GU) ;
(3) Copy Faktur Pajak/Surat Setor Pajak yang dilegalisasi KPA dan telah divalidasi oleh
KPPN (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak);
(4) Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;
− Surat Setoran Bukan Pajak bila ada setoran penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
− Surat Setor Bukan Pajak atas penyetoran ke rekening Kas Negara yang telah
divalidasi KPPN bila Tambahan Uang Persediaan (TUP) tidak habis dipergunakan;
c) Surat Perintah Membayar Langsung (SPM LS):
(1) Arsip Dokumen Kantor SPM;
(2) SPTB khusus Surat Perintah Membayar Langsung (SPM LS);
(3) Resume Kontrak, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas, Daftar Penerima Honor dan Surat
Keputusan Pemberian Honor (tergantung jenis transaksinya).
(4) Faktur Pajak/Surat Setor Pajak (untuk transaksi yang dikenakan pajak-pajak)
(5) Daftar perhitungan jumlah MP sesuai dengan lampiran VIII PER-66/PB/2005;
(6) Surat Setor Bukan Pajak bila ada setoran penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 79
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

2) Setelah menerima SPP, Pejabat Pengujian dan Penandatangan SPM menerbitkan SPM
dengan mekanisme sebagai berikut:
a) Penerimaan dan pengujian SPP Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas
SPP, mengisi check list kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan
penerimaan SPP dan membuat/menandatangani tanda terima SPP berkenaan.
Selanjutnya petugas penerima SPP menyampaikan SPP dimaksud kepada pejabat
penerbit SPM.
b) Pejabat penerbit SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:
(1) Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(2) Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh keyakinan
bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran.
(3) Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan/atau kelayakan hasil kerja yang dicapai
dengan indikator keluaran.
(4) Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:
− Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/ perusahaan,
alamat, nomor rekening dan nama bank);
− Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan/atau kelayakannya dengan
prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak);
− Jadual waktu pembayaran.
c) Memeriksa pencapaian tujuan dan/atau sasaran kegiatan sesuai dengan indikator
keluaran yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan/atau spesifikasi teknis yang
sudah ditetapkan dalam kontrak.
3) Setelah dilakukan pengujian terhadap SPP-Uang Persediaan (UP)/SPP-Tambahan Uang
Persediaan (TUP)/SPP-GUP (UP)/SPPLS, Pejabat Penguji SPP dan penandatangan SPM
menerbitkan SPM Uang Persediaan (UP)/SPM-Tambahan Uang Persediaan (TUP)/SPM-
GUP(UP)/SPM-LS39 dalam rangkap 4 (empat):
a) Lembar kesatu dan kedua disampaikan kepada KPPN;
b) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada Satuan Kerja yang bersangkutan;
c) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada penerbitan SPM.
Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran/ Penanggung jawab Kegiatan/ Pembuat Komitmen beserta dokumen
pendukung40 dan disertai Arsip Data Komputer (ADK)41 berupa soft copy (disket) melalui
loket Penerimaan SPM pada KPPN atau melalui Kantor Pos, kecuali bagi Satuan Kerja
yang masih menerbitkan SPM secara manual tidak perlu Arsip Dokumen Kantor.

39. Terdapat beberapa jenis Surat Perintah Membayar (SPM), di antaranya adalah (1) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) adalah
surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk pekerjaan yang akan dilaksanakan dan
membebani Mata Anggaran Pengeluaran (MAK) transito. (2) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TUP) adalah surat
perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran karena kebutuhan dananya melebihi pagu uang
persediaan dan membebani MAK transito. (3) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-GUP
adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dengan membebani DIPA, yang
dananya dipergunakan untuk menggantikan uang persediaan yang telah dipakai. (4) Surat Perintah Membayar Langsung (SPMLS) adalah surat
perintah membayar langsung kepada pihak ketiga yang diterbitkan Oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atas dasar perjanjian
kontrak kerja atau surat perintah Kerja lainnya. Ibid. , Pasal 1 butir 16--19.
40. Ketentuan selengkapnya mengenai dokumen pendukung untuk masing-masing jenis SPM dapat dibaca pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor Per-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pasal 9.
41. Arsip Data Komputer (Arsip Dokumen Kantor) adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data
transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tentang
Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Bodul Penerimaan Negara, op. cit, Pasal 1 butir 19

Pusat Penelitian dan Pengembangan


80 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
4) SPM yang diajukan ke KPPN dijadikan dasar untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana
(SP2D)42.

Sebelum menerbitkan SP2D, KPPN melakukan pengujian SPM yang mencakup pengujian yang
bersifat substansif dan formal. Pengujian substantif dilakukan untuk:
a). menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
b). menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang ditunjuk dalam
SPM tersebut;
c). menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat Keputusan, Daftar
Nominatif Perjalanan Dinas);
d). menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/Satuan Kerja atau pejabat
lain yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
e). menguji faktur pajak beserta Surat Setor Pajaknya;
Sedangkan pengujian SPM yang men­cakup pengujian yang bersifat formal dilakukan untuk:
a) mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan spesi­men tandatangan;
b) memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf;
c) memeriksa kebenaran dalam penulis­an, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam
penulisan.

Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan penerbitan SP2D bilamana SPM yang
diajukan memenuhi syarat yang ditentukan atau pengembaliaan SPM.43 Surat Perintah
Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa
Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas be­ban APBN berdasarkan
SPM. Direktorat Jen­deral Perbendaharaan, Peraturan Direk­tur Jenderal Perbendaharaan
tentang Me­kanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 13. kepada penerbit SPM, apabila tidak memenuhi
syarat untuk diterbitkan SP2D. Penerbitan SP2D oleh KPPN dilakukan dengan cara:
a) SP2D ditandatangani oleh Seksi Perbendaharaan dan Seksi Bank/Giro Pos atau Seksi
Bendum.
b) SP2D ditebitkan dalam rangkap 3 (tiga) dan dibubuhi stempel timbul Seksi Bank/Giro
Pos atau Seksi Bendum yang disampaikan kepada:
− Lembar 1: Kepada Bank Operasional.
− Lembar 2: Kepada penerbit SPM dengan dilampiri SPM yang telah dibubuhi Cap “
Telah diterbitkan SP2D tanggal …. Nomor .
− Lembar 3: Sebagai pertinggal di KPPN (Seksi Verifikasi dan Akuntansi), dilengkapi
lembar ke-1 SPM dan dokumen pendukungnya.

Dengan diterbitkannya SP2D, bank operasional akan mengkredit sejumlah uang ke nomor
dan nama rekening sesuai yang tertera dalam SP2D.

42. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk
pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, op. cit. , Pasal 1 butir 13.
43. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu, op.
cit. , Pasal 8 ayat (1).

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 81
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

e. Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak


Sebagaimana telah diuraikan sebelum­nya, sebagian dana Penerimaan Negara Bukan
Pajak tersebut dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan tertentu pada
Instansi yang mengelolanya dalam rangka pembiayaan operasional dana pemeliharaan
dan/atau investasi, termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia44. Sebagian
dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat digunakan tersebut ditetapkan oleh
Kementerian Keuangan45.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 77/KMK. 06/2003 tentang Persetujuan
Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan
Nasional, sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari tiap-tiap jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak diizinkan oleh Menteri Keuangan untuk digunakan membiayai masing-
masing kegiatan. Izin penggunaan paling tinggi adalah sebesar persentase tertentu dari
realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari tiap-tiap jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak. Ini berarti bahwa sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari
Pelayanan Pendaftaran Tanah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan dalam
rangka pelayanan pendaftaran tanah, sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berasal dari Pelayanan Informasi Pertanahan hanya dapat digunakan untuk membiayai
kegiatan dalam rangka pelayanan informasi pertanahan, dan seterusnya.

Sementara dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK.


02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak
pada Badan Pertanahan Nasional, yang mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor
77/KMK. 06/2003, sebesar 85,54% dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari berbagai
jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPN, kecuali Penerimaan Negara
Bukan Pajak pada BPN yang berasal dari Pelayanan Pendidikan, dapat digunakan untuk
membiayai pelayanan pertanahan secara fleksibel, yaitu untuk membiayai kegiatan
operasional, pemeliharaan, dan investasi (infrastruktur) dalam rangka:
1) peningkatan pelayanan di bidang pertanahan yang melibatkan kemampuan intelektual
tertentu, yang meliputi survei, pengukuran dan pemetaan, pemeriksaan tanah,
konsolidasi tanah secara swadaya, pertimbangan teknis pertanahan, pendaftaran tanah,
informasi pertanahan, lisensi, dan kerja sama dengan pihak lain;
2) penegakan hukum di bidang pertanahan; serta
3) pendidikan dan pelatihan di bidang pertanahan. Khusus dana Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Pendidikan, sebesar 90,11% dapat digunakan
untuk kegiatan pelayanan pendidikan, yaitu untuk membiayai kegiatan operasional,
pemeliharaan, dan investasi dalam rangka peningkatan pelayanan di bidang pendidikan
pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

f. Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak


Evaluasi terhadap pelaksanaan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan suatu

44. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu, op.
cit. , Pasal 8 ayat (1). 166
45. Ibid. , Pasal 4 ayat (2).

Pusat Penelitian dan Pengembangan


82 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
hal yang semestinya dilakukan dalam tahun anggaran berjalan untuk mengukurefektifitas
kinerja yang telah dilakukan. Evaluasi dilakukan terhadap capaian kinerja realisasi penerimaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak, apakah target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
dialokasikan dalam DIPA akan dapat terpenuhi atau bahkan terlampaui. Evaluasi juga dilakukan
terhadap hambatan-hambatan yang dihadapi dalam mencapai target Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
Dalam buku Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2010 di Lingkungan BPN RI,
Kepala Satuan Kerja diminta untuk melakukan evaluasi secara periodik terhadap penerimaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak. Apabila telah atau diperkirakan akan melampaui pagu yang
tersedia dalam DIPA, Kepala Satuan Kerja segera mengajukan usul revisi penambahan pagu
secara berjenjang kepada BPN Pusat dengan melampirkan:
1) Rincian Penerimaan dan Pengeluaran yang dituangkan dalam aplikasi RKA-KL;
2) Bukti-bukti pendukung, antara lain: Surat Setor Bukan Pajak/rekap Surat Setor Bukan
Pajak yang sudah disahkan oleh KPPN setempat;
3) SPK/Kontrak Kerja/Surat Permohonan dari pihak ketiga yang disertai perhitungan
setoran.

Dalam upaya pencapaian target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, BPN
menghadapi hambatan-hambatan sehingga realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak tidak sesuai dengan target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diharapkan. Tidak
tercapainya target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dialokasikan pada BPN RI tahun
anggaran 2009 disebabkan antara lain46:
1) terdapat beberapa pihak yang belum/tidak menyetor angsuran tuntutan ganti rugi
sebagaimana seharusnya;
2) realisasi pada pendapatan penjualan, sewa, jasa, dan Bendahara Umum Negaraga pada
periode ini tidak sesuai dengan target anggarannya;
3) di beberapa daerah, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengurusan hak atas
tanah yang dikuasainya masih rendah; dan
4) kondisi sosial ekonomi mayarakat yang belum mendukung.
Apabila terdapat satuan kerja yang realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak-nya melampaui target penerimaan, satuan kerja tersebut dapat mengajukan revisi
penambahan pagu belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak. Revisi penambahan pagu
belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan agar sebagian dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berhasil direalisasi dapat dimanfaatkan untuk memberikan
dan meningkatkan pelayanan. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK.
02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan
Pajak pada Badan Pertanahan Nasional, telah menyetujui sebesar persentase tertentu
dari realisasi dana Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk digunakan, namun penggunaan
dana Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak boleh melebihi pagu belanja Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang telah ditetapkan. Realisasi penerimaan Penerimaan Negara

46. Dalam Laporan Realisasi Anggaran Kementerian/Lembaga untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2009 terungkap bahwa BPN tidak mampu
memenuhi target penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun anggaran 2008 dan 2009. Pada tahun anggaran 2008, dari target
penerimaan sebesar Rp. 1. 375. 968. 231. 664,- yang terealisasi sebesar 918. 323. 461. 350,- (66,74%). Sementara pada tahun anggaran 2009,
dari terget penerimaan sebesar RP 1. 392. 973. 187. 105,- yang terealisasi sebesar Rp. 1. 000. 093. 464. 379,- (71. 80%). Badan Pertanahan
Nasional, Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk Periode yang Berakhir 31 Desember 2009 Tahun Anggaran
2009, (Jakarta: BPN RI, 2010), hal. 28.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 83
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Bukan Pajak yang melampaui target penerimaan tidak serta merta menambah pagu
belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak. Jika tidak terdapat revisi penambahan pagu
belanja Penerimaan Negara Bukan Pajak padahal realisasi penerimaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak melampaui target, selisih lebih realisasi penerimaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak dapat diperhitungkan sebagai realisasi penerimaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak tahun anggaran berikutnya dan dapat digunakan pada tahun
anggaran berikutnya.

g. Pembukuan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak


Semua transaksi mengenai dana Penerimaan Negara Bukan Pajak, baik penerimaan maupun
pengeluaran, harus dicatat dan dibukukan sedemikian rupa oleh bendahara. Terdapat dua
macam bendahara berkenaan dengan pengelolaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak,
yakni bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran. Masing-masing bendahara
mempunyai tugas yang berbeda dan kedua jabatan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh
satu orang (rangkap jabatan).
1) Bendahara Penerimaan
Uraian tugas Bendahara Penerimaan berkenaan dengan pembukuan dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak sebagai berikut47.
a) Bendahara Penerimaan wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh
penerimaan dan pengeluaran/penyetoran atas penerimaan, meliputi seluruh
transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan kerja yang berada
di bawah pengelolaannya.
b) Dalam rangka menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, Bendahara Penerimaan wajib menyelenggarakan pembukuan dalam Buku Kas
Umum, buku-buku pembantu, dan Buku Pengawasan Anggaran.
c) Bendahara Penerimaan membukukan seluruh penerimaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak, baik yang disetor langsung oleh wajib setor ke Kas Negara maupun yang
dipungutnya.
d) Buku Pembantu Bendahara Penerimaan terdiri dari Buku Pembantu Kas dan buku
pembantu lainnya sesuai kebutuhan.
2) Bendahara Pengeluaran
Uraian tugas Bendahara Pengeluaran berkenaan dengan pembukuan dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak sebagai berikut48.
a) Bendahara Pengeluaran wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh
penerimaan dan pengeluaran meliputi seluruh transaksi dalam rangka pelaksanaan
anggaran belanja satuan kerja yang berada di bawah pengelolaannya.
b) Dalam rangka menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, Bendahara Pengeluaraan wajib menyelenggarakan pembukuan dalam Buku Kas
Umum, buku-buku pembantu, dan Buku Pengawasan Anggaran.
c) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat menentukan buku-buku
pembantu/register-register di samping Buku Kas Umum.

47. Badan Pertanahan Nasional, Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2010 di Lingkungan BPN RI, (Jakarta: BPN RI, 2010), hal. 23
48. Ibid. , hal. 24 dan 25

Pusat Penelitian dan Pengembangan


84 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
d) Buku pembantu Bendahara Pengeluaran sekurang-kurangnya terdiri dari Buku
Pembantu Kas, Buku Pembantu UP/Tambahan Uang Persediaan (TUP), Buku
Pembantu LS-Bendahara, Buku Pembantu Pajak, dan Buku Pembantu Lain-lain.
e) Pembukuan yang dilakukan oleh bendahara harus dimulai dari Buku Kas Umum,
selanjutnya pada buku-buku pembantu.
f) Setiap transaksi penerimaan dan pengeluaraan harus segera dicatat dalam Buku Kas
Umum sebelum dibukukan dalam buku-buku pembantu/register-register.
g) Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Bendahara Pengeluaran dapat dibantu oleh
satu atau lebih Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP).
h) Dalam hal Bendahara Pengeluaran dibantu oleh BPP, Bendahara Pengeluaran wajib
menyampaikan daftar rincian jumlah Uang Persediaan (UP) yang dikelola oleh masingmasing
BPP pada saat pengajuan Surat Perintah Membayar (SPM UP)/Surat Perintah Membayar
Tambahan Uang Persediaan (SPM TUP) ke KPPN.
i) Bendahara Pengeluaran dapat membukukan transaksi atas dasar nilai yang tertuang
dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) BPP.

h. Pertanggungjawaban Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak


Pengelolaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan bagian dari pelaksaanaan
dana APBN yang harus dipertanggungjawabkan. Tahap akhir dari seluruh rangkaian kegiatan
pengelolaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah pertanggungjawaban dana
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dituangkan dalam laporan keuangan. Penyusunan
laporan keuangan BPN dilakukan secara berjenjang dari semua unit akuntansi kuasa
pengguna anggaran di lingkungan BPN sampai unit akuntansi pengguna anggaran. Kuasa
Pengguna Anggaran harus membuat dan menyampaikan dua jenis laporan keuangan, yaitu
secara manual dan secara aplikasi Sistem Akuntansi Instansi (SAI).
1) Laporan Keuangan Secara Manual
Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk membuat dan menyampaikan
laporan keuangan sebagai berikut:
a) Laporan Keadaan Kredit Anggaran (LKKA) dan Laporan Keadaan Kas (LKK).
b) Laporan Keadaan Kas Uang Penerimaan (LKKUP).
c) Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Pengeluaran dan Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Penerimaan disertai salinan rekening koran
dari bank/pos bulan berkenaan.
d) Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Pengguna Lainnya (seiring dengan
ditiadakannya Dana Bantuan Pengelolaan dan pengadministrasian biaya transportasi
pelayanan pertanah­an, mulai tahun anggaran 2010 BPN tidak menunjuk Bendahara
Pengguna Lainnya).
e) Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak triwulanan dan Laporan perkiraan
realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak sampai dengan triwulan IV.
2) Laporan Keuangan Secara Aplikasi Sistem Akuntansi Instansi
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK. 05/2007 tentang Sistem
Akuntansi Instansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat serta Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor 51/PB/2008 tentang Pedoman Penyusunan Laporan

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 85
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Keuangan dengan Aplikasi Sistem Akuntansi Instansi (SAI) setiap Kepala Kantor sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran wajib membentuk:
a) Kantor Pertanahan membentuk Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA)
yang mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut:
b) memproses dokumen sumber berupa RKA-KL, Surat Setor Pajak (SSP), Surat Setor
Bukan Pajak (SSBP), Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB), DIPA, Revisi DIPA,
SPM, SP2D, dan dokumen lain yang dipersamakan untuk menghasilkan Laporan
Keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Catatan atas
Laporan Keuangan;
c) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor (ADK) setiap bulan
ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan melakukan rekonsiliasi
dengan KPPN setiap bulan;
d) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor hasil rekonsiliasi
dengan KPPN setiap bulan kepada Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran
Wilayah (UAPPA-W) dan Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Tingkat
Eselon I (UAPPA-E1/UAPA); dan
e) menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan disertai dengan Catatan
atas Laporan Keuangan dan Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Satuan
Kerja.
2) Kantor Wilayah BPN di samping sebagai Satuan Kerja (UAKPA) juga wajib membentuk
Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPAW) yang mempunyai
tugas dan kewajiban sebagai berikut:
a) melakukan proses pengga­Bendahara Umum Negaragan laporan keuangan yang
berasal dari UAKPA di wilayah kerjanya termasuk laporan realisasi anggaran
pembiayaan dan perhitungan (bila ada);
b) menyusun laporan keuangan tingkat UAPPA-W berdasarkan hasil penggaBendahara
Umum Negaragan laporan keuangan dari tingkat UAKPA di wilayah kerjanya.
c) menyampaikan laporan keuangan tingkat UAPPA-W beserta Arsip Dokumen
Kantor kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayahnya
masingmasing setiiap bulan dan melakukan rekonsiliasi setiap triwulan;
d) menyampaikan LRA dan Neraca beserta Arsip Dokumen Kantor setiap bulan ke
UAPPAE1/UAPA setiap bulan; dan
e) menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan secara lengkap (disertai
Surat Pernyataan Tanggung Jawab dari Kepala Kantor Wilayah masing-masing).
Laporan keuangan seluruh entitas akuntansi yang berada di bawah BPN RI
selanjutnya dikompilasi menjadi Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia yang selanjutnya akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia. Berdasarkan Laporan Keuangan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia untuk Periode yang Berakhir 31 Desember Tahun Anggaran
berjalan (Final).
3) Membuat Maksimal Pencairan Penerimaan Negara Bukan Pajak melalui Aplikasi SPM.
Aplikasi SPM telah menyediakan fasilitas untuk merekam dan mencetak Maksimal

Pusat Penelitian dan Pengembangan


86 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Pencairan Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak terpusat sesuai dengan lampiran VIII
PER-66/PB/2005 pada Menu Karwas MP Penerimaan Negara Bukan Pajak.
4) Proses perekaman.
a) Melakukan perekaman besaran prosentase MP berdasar surat Keputusan
Kementerian Keuangan;
b) Melakukan perekaman Surat Setor Bukan Pajak, setelah mendapat validasi di KPPN;
c) Melakukan pencetakan jumlah rincian MP;
d) Melakukan pencetakan daftar lampiran Surat Setor Bukan Pajak;
e) Melakukan pencetakan rincian SPM yang akan disampaikan ke KPPN.
5) Output yang dihasilkan.
a). Daftar perhitungan jumlah MP
b). Daftar lampiran Surat Setor Bukan Pajak
c). Daftar rincian SPM yang akan disampaikan ke KPPN

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 87
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Pusat Penelitian dan Pengembangan


88 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BAB III
Praktek Empiris
Penerimaan Negara
Bukan Pajak
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 89
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Penyerapan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak pada


lokasi penelitian rata-ata hanya sebesar 46,90%, dimana
semakin tinggi tingkat pelayanan pertanahan akan semakin
tinggi tingkat penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak,
maka semakin rendah penyerapan Penerimaan Negara
Bukan Pajak pelayanan pertanahan.

Rupiah
700.000.000.000

600.000.000.000

500.000.000.000

400.000.000.000

300.000.000.000

200.000.000.000

100.000.000.000

0
PROV. JABAR PROV. JATENG PROV. SULTRA PROV. KALTENG PROV. BENGKULU
n PENERIMAAN 421.424.853.035 653.090.322.686 172.958.645.961 30.919.784.334 10.707.044.054
n PENYERAPAN 347.342.967.846 622.973.359.278 170.916.642.327 21.550.167.395 7.098.140.421
n SISA PNBP 74.081.885.188 30.215.963.408 2.042.003.634 9.369.616.938 2.808.903.633

Gambar 8 Optimalisasi Penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Tahun Anggaran 2009-2011

Pusat Penelitian dan Pengembangan


90 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
A. GAMBARAN UMUM PENERIMAAN DAN PENGGUNAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Estimasi perencanaan anggaran dan realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
dari Tahun Anggaran 2009-2011 pada seluruh sampel penelitian Kantor Wilayah Provinsi dan
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dengan sampel penelitian Kanwil BPN
Provinsi dan 8 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mempunyai penerimaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak sebesar Rp. 421. 424. 853. 035,- realisasi penggunaan sebesar Rp. 347. 342. 967.
846,- (82,42%), sehingga ada sisa anggaran penerimaan sebesar Rp. 74. 081. 886. 189, untuk
sampel penelitian di Kantor Wilayah BPN Provinsi jawa Tengah dan dan 8 Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah mempunyai penerimaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak Rp. 653. 090. 322. 686,- realisasi penggunaan Rp. 622. 873. 359. 278,- (95,37%),- sisa
anggaran penerimaan sebesar Rp. 30. 216. 963. 408,- untuk sampel penelitian di Kantor Wilayah
BPN Provinsi Sulawesi Tenggara dan 3 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Tenggara mempunyai penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 172. 958. 645. 961,-
realisasi penggunaan Rp. 6170. 916. 642. 327 (98,82%), sisa penerimaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak sebesar Rp. 2. 042. 003. 634, untuk sampel penelitian di Kantor Wilayah BPN
Provinsi Kalimantan Tengah dan 4 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan
Tengah mempunyai penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 30. 919. 784. 334, realisasi
penggunaan Rp. 21. 550. 167. 395 (69,70%), sisa penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
sebesar RP. 9. 369. 616. 939,- dan untuk sampel penelitian di Kantor Wilayah BPN Provinsi
Bengkulu dan dan 3 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu mempunyai
penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 10. 707. 044. 054,- realisasi penggunaan Rp. 7.
898. 140. 421,- (73,77%), sisa penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp. 2. 809.
903. 633,

B. PERMASALAHAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BADAN PERTANAHAN


NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
a. Analisis Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri
Rendahnya penyerapan Penerimaan Negara Bukan Pajak karena lemahnya perencanaan,
disebabkan angka yang dimasukkan dalam perencanaan Target dan Realisasi kurang akurat,
hal ini dikarenakan hampir estimasi perencanaan target dilakukan oleh Bagian atau Sub Bagian
Tata Usaha, dimana komponen teknis kurang memahami tentang perancanaan keuangan
sedangkan Bagian Tata Usaha atau Sub Tata Usaha kurang juga memahami kegiatan teknis.

Dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun
2010 ada penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak besar tetapi penggunaannya hanya
Rp. 42.000,- (85,54% x Rp. 50.000,) karena bersifat administrasi biasa, contohnya adalah
Pendaftaran Hak Tanggungan. Begitu pula adanya penumpukkan Penerimaan Negara Bukan
Pajak dan penyerapan anggaran yang terjadi pada akhir tahun anggaran (antara Agustus dan
Oktober), sehingga terjadi penggunaan anggaran di akhir tahun.

Saat ini sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak yang sudah di Surat Setor Bukan Pajak (SSBP)
hanya bisa digunakan atas saldo pada tahun anggaran berikutnya, tetapi hal ini juga

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 91
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

tidak mudah dikarenakan Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada awal tahun
anggaranpun sangat terbatas, dimana penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat
diberikan Uang Persediaan sebesar 20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara
Bukan Pajak, jika belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) Penerimaan Negara Bukan
Pajak hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabe;as) dari pagu dana
Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp. 200. 000. 000,- (dua ratus juta
rupiah) atau memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar
UP yang diberikan, dan itupun akan membebani anggaran tahun berikutnya.

Seperti kebanyakan kantor pertanahan di kota-kota, sangat tinggi volume pelayanan


pertanahan dan signifikan dengan penerimaan PNBP, tatapi kesulitan dalam penggunaan
penerimaan tersebut, dikarenakan sudah lengkapnya sarana dan prasaran, sangat tingginya
penggunaan untuk pembayaran honor, dan padatnya kinerja sehingga tidak mempunyai
waktu untuk kegiatan yang bersifat pendidikan pelatihan dan penelitian. Oleh karena itu
akan lebih efektif pengelolaan PNBP dilaksanakan secara terpusat, dengan asumsi akan lebih
mengoptimalkan penggunaan PNBP dan memperbaiki kinerja serta dapat menglokasikan
dana PNBP tersbut pada kantor-kantor wilayah dan kantor pertanahan yang sangat minim
sarana dan prasarana fisik serta kesejahteraannya.
Berdasarkan data dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, saat ini Jika
Penerimaan Negara Bukan Pajak terpusat, maka diperlukan;
1) Sosialisasi penyusunan perencanaan kegiatan penggunaan untuk mendapatkan angka
yang tepat;
2) Penunjukkan Bank Persepsi dan diperlukan disiplin dan komunikasi penerimaan dan
penggunaan setiap saat;
3) Pengadaan Sarana dan Prasarana secara teknis diatur secara terpusat namun masuk dlm
DIPA Satuan kerja;
4) Menyiapkan dan menggunakan Sistem Aplikasi pengelolaan keuangan Penerimaan
Negara Bukan Pajak terpusat yang dapat dimonitor setiap saat;
5) Alokasi penggunaan setiap bulan secara terbatas, seperti halnya pada lembaga Kepolisian
Repunlik Indonesia yang mengalokasikan penggunaan 1/12 setiap sebulannya.

b. Analisis Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran


1) Belum maksimalnya penyerapan anggaran yang bersumber dari Penerimaan Negara
Bukan Pajak Pelayanan Pertanahan dikarenakan antara lain:
a) Sampai akhir tahun anggaran masih terdapat dana yang diblokir.
b) Penetapan target/estimasi penerimaan terlalu tinggi, sehingga Maksimum Pencairan
dana Penerimaan Negara Bukan Pajak kurang dari Pagu DIPA, akibatnya realisasi belanja
dibandingkan dengan Pagu DIPA rendah.
c) Kesalahan prediksi perhitungan penerimaan biaya pelayanan pertanahan khususnya
pada kegiatan Non Operasional, akibatnya dana menumpuk/melebihi pagu dan
tidak mampu menyerap.
d) Penerimaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak antar Satuan kerja tidak merata
dan tidak bisa subsidi silang antar Satuan kerja. Ada Satuan kerja yang penerimaannya

Pusat Penelitian dan Pengembangan


92 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
melebihi target penerimaan, ada Satuan kerja yang penerimaannya tidak mencapai
target penerimaan, akibatnya yang penerimaannya melebihi target perlu revisi
penambahan pagu DIPA dan tidak mampu menyerap anggaran, sedangkan yang
penerimaannya tidak mencapai target, kemampuan belanjanya di bawah pagu DIPA.
e) Revisi anggaran perlu waktu lama (Revisi antar program, Revisi antar satuan kerja,
Revisi penambahan pagu).
f) Prosedur penghapusan BMN mem­pengaruhi pelaksanaan peng­a­daan barang/jasa,
sehing­ga belanjanya tidak bisa direalisasikan.
g) Belum semua jenis pelayanan pertanahan mempunyai tamplate/ rincian biaya, sehingga
tidak bisa membelanjakan.
h) Masih terdapat sisa pekerjaan di akhir tahun, sehingga masih terdapat sisa dana.

TABEL 4 SIMULASI PERENCANAAN ANGGARAN PNBP BPNRI BERDASARKAN


PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 13 TAHUN 2010

KEGIATAN PELAYANAN VOL TARIF TARGET MP PAGU OPR NON OPR


DIPA
LAPANGAN UKUR 1 180.000 180.000 85,54 % 153. 972 123.177 30.795

RIK TNH 1 370.000 370.000 85,54 % 316. 498 253.198 63.300

PTP 1 430.000 430.000 85,54 % 367. 822 294.258 73.564

ADMIN PENDF HAK 1 50.000 50.000 85,54 % 42. 770 42.000 770

HAK 1 50.000 50.000 85,54 % 42. 770 42.000 770

TANGGUNGAN 1 200.000 200.000 85,54 % 171. 080 42.000 129.080

1 2. 500.000 2. 500.000 85,54 % 2. 138. 500 42.000 2. 096.500

PERALIHAN 1 550.000 550.000 85,54 % 470. 470 42.000 428.470


INFORMASI 1 50.000 50.000 85,54 % 42. 770 42.000 770

J U M LAH 9 4. 380.000 3. 746. 652 922.633 2.824.019


Sumber: Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI, 2013

2) Alternatif penyelesaian masalah agar pemanfaatan Penerimaan Negara Bukan Pajak


efektif:
a) Perencanaan Estimasi penerima­an, alokasi anggaran dan peman­faatan anggaran
harus riil dan tepat.
b) Tata kelola pemanfaatan dana Non Operasional kegiatan pelayanan yang bersifat
administrasi kantor perlu disempurnakan.
c) Aturan penggunaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak bisa subsidi silang
antar Satuan kerja dg cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara
Terpusat, paling tidak pada kegiatan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Non Operasional
d) Sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak dikompensasi ke dalam DIPA Rupiah Murni
untuk Program Peningkatan Sarana dan Prasarana.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 93
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

c. Permasalahan Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Analisis Kan­tor Wilayah BPN
dan Kantor Pertanahan pada Focus Group Discution.
1) Kanwil Prov DKI: PNBP pelayanan di DKI sangat tinggi tetapi karena penerimaannya lebih
besar pada pertengahan tahun sehingga ada penumpukkan dan penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak pada akhir tahun, selain daripada itu adanya Kegiatan yang diblokir
dan dibuka pada akhir tahun anggaran sulit digunakan karena melalui proses lelang;
2) Kanwil Prov Jabar: Penerimaan Negara Bukan Pajak dr Pelayanan Pendaftaran Hak
Tanggungan mempunyai Penerimaan Negara Bukan Pajak yang besar dari Rp. 50.000,- sd
Rp. 2.5000.000,- tetapi penggunaannya hanya Rp. 43.500,- karena kegiatan tsb bersifat
administrasi, sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut tidak dapat digunakan secara
optimal;
3) Kanwil Prov Jabar: PMK No. 134/PMK. 06/2005 dg Juknis Perdirjen Perbendaharaan No.
66/PB/2005 dipandang lebih fleksibel dalam penggunaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak dibanding dg PMK No. 190/PMK. 05/2012 ttg Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka
Pelaksanaan APBN jo Perdirjen PB No. Per-17/PB/2013 ttg Ketentuan Lebih Lanjut Tata
Cara Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Beban APBN;
4) Kondisi penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pd Satuan kerja BPN permasalahannya
hampir sama, yaitu satu sisi ada Satuan kerja Kantah dg Penerimaan Negara Bukan Pajak
tinggi dan satu sisi ada satu sisi Satuan kerja Kantah yang Penerimaan Negara Bukan Pajak
rendah, diharapkan ada subsidi silang untuk penggunaan antar Satuan kerja;

d. Implikasi Penerapan Mekanisme Subsidi Silang pada Badan Pengawas Obat dan Makanan
1) Mulai terjadi peningkatan realisasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
melebihi target penerimaan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan;
2) Penambahan dan penajaman Catchment Area kegiatan yang didanai dari Penerimaan
Negara Bukan Pajak sehingga meningkatkan mobilitas dan kinerja padar pengelola
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan pelaksana kegiatan;
3) Terpenuhinya kebutuhan minimal pembiayaan kegiatan yang didanai dari Penerimaan
Negara Bukan Pajak, selebihnya berdasarkan pertimbangan prioritas kegiatan yang
memang harus dipenuhi dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak seperti untuk
pembiayaan Diklat dan pengadaan belanja modal;
4) Mulai terwujudnya tertib administrasi penglolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak,
dimana ketersediaan alokasi dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak
menimbulkan fleksibelitas pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mampu
mencegah timbulnya masalah-masalah internal stuan kerja, seperti Penerimaan Negara
Bukan Pajak terlambat/belum disetor ke Kas Negara, pungutan tanpa dasar hukum dan
penggunaan langsung setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.

e. Analisis Permasalahan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Direktorat Jenderal


Anggaran Kementerian Keuangan
1) Mengoptimalkan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak karena beberapa
tahun terakhir penyerapan Tahun 2011 (22%), Tahun 2012 (55%), dan 2013 (Mei 6%),
alternatif lainnya persentase Ijin Penggunaan yang ada selama ini (85,54%). Karena Ijin
penggunaan dapat dilokasikan (%) berbeda pada masing-masing penggunaan kegiatan.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


94 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
2) Alokasi DIPA di BPN RI dalam RM dan APBN terjadi juga alokasi Peningkatan Sarana dan
Prasarana, seharusnya Pembangunan Kantor dlm pembahasan APBN menjadi Prioritas
yang perlu dikomunikasikan dg BAPPENAS.
3) Penerimaan Negara Bukan Pajak BPN RI sebagai Pembiayaan Penunjang dengan sistem
pengelolaan terpusat pada Penggunaan Dana Non Operasional perlu menjadi perhatian,
sbg pembanding Perdirjen PB No. 66/PB/2005 yang dirubah dg Perdirjen PB No. Per-11/
PB/2011 ttg Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran APBN;
4) Mengkaji kembali sistem pengelolaan penggunaan pada Peningkatan Prasarana dan
Prasarana, penerimaan yang meningkat drastis setelah Triwulan Kedua (Bulan Juni), dan
percepatan revisi DIPA.
5) Mengkaji kembali jika pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak terpusat tentang
kesiapan Monitoring penerimaan pada Rekening Tunggal Bank Persepsi dengan 477
Satuan kerja seluruh Indonesia.
TABEL. 5 REALISASI PNBP BPN RI PERTAHUN PENDAPATAN PELAYANAN
PERTANAHAN/FUNGSIONAL

TARGET/ PENGANGGARAN KETERANGAN


PAGU DIPA PENGELOLAAN 2011 2012 PERSENTASE (%) 2011 2012
1.534.345.190.000 Realisasi 1.302.028.822.134 1.534.001.314.440 Sisa Belum 1.906.740.306 595.980.964
Penerimaan: Setor:

SSBP: 1. 300.122.081.828 1.533.405.333.476 Target (%): 84,73% 99,94%

1.312.478.875.000 MP: 1.112.124.428.796 1.311.674.922.255 Pagu DIPA (%): 84,73% 99,94%

Blokir: - 126.748.629.473 Pagu DIPA (%): 0 0,097

Realisasi 587.863.794.925 830.290.573.038 Pagu DIPA (%): 44,79% 63,26%


Belanja:

Sisa MP PNBP: 524.260.633.871 481.384.349.217 Dari MP (%): 47,14% 36,70%

Sumber: Biro Keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI dari Hasil Rekonsiliasi Ditjen
Perbendaharaan Kemenkeu, 2012.

Belum maksimalnya penyerapan anggaran yang bersumber dari PNBP Pelayanan Pertanahan
dikarenakan antara lain49:
1) Sampai akhir tahun anggaran masih terdapat dana yang diblokir.
2) Penetapan target/estimasi penerimaan terlalu tinggi, sehingga Maksimum Pencairan dana PNBP
kurang dari Pagu DIPA, akibatnya realisasi belanja dibandingkan dengan Pagu DIPA rendah.
3) Kesalahan prediksi perhitungan penerimaan biaya pelayanan pertanahan khususnya pada kegiatan
Non Operasional, akibatnya dana menumpuk/melebihi pagu dan tidak mampu menyerap.

Penerimaan dana PNBP antar Satuan Kerja tidak merata dan tidak bisa subsidi silang antar Satuan
Kerja. Ada Satuan Kerja yang penerimaannya melebihi target penerimaan, ada Satuan Kerja yang

49. Makalah Kepala Biro keuangan dan Pengguna Anggaran BPN RI dalam Focus Group Discution di Hotel Akmani Jakarta, 29 Oktober 2013.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 95
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

penerimaannya tidak mencapai target penerimaan, akibatnya yang penerimaannya melebihi


target perlu revisi penambahan pagu DIPA dan tidak mampu menyerap anggaran, sedangkan
yang penerimaannya tidak mencapai target, kemampuan belanjanya di bawah pagu DIPA.

Faktor Penyebab Tidak Optimalnya pemanfaatan dana PNBP BPN RI menurut Kepala Biro
Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, diantaranya adalah:
1) Terdapat kesulitan dalam menetapkan besaran alokasi penggunaan dana tiap satker, karena
kondisi di lapangan yang dinamis, sehingga dalam pelaksanaannya sering ditemui kondisi pagu
penggunaan dan target penerimaan PNBP yang terlalu rendah ataupun terlalu besar. Untuk
mengakomodasi kondisi pagu penggunaan dan target penerimaan yang terlalu rendah harus
dilakukan revisi penambahan target penerimaan dan pagu penggunaan pada setiap satuan
kerja yang memerlukan waktu yang cukup lama.
2) Mekanisme penanggaran DIPA yang ada saat ini memberlakukan bahwa dana penerimaan
dan penggunaan PNBP diperhitungkan langsung dan dialokasikan sekaligus pada DIPA Satker
yang bersangkut­an. Sehingga pada pelaksanaan anggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran
anggaran antar satuan kerja. Sehingga di satu satker memiliki pagu penggunaan yang berlebih
dan di satker yang lain memiliki pagu penggunaan yang terlalu rendah. Kondisi ini secara nasional
menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP
3) Penerimaan yang diterima di akhir tahun tidak dapat diggunakan mengingat batas waktu
pencairan anggaran. Penerimaan PNBP tersebut dapat disetorkan pada tahun anggaran
berikutnya, tetapi penggunaannya tidak dapat dilaksanakan pencairan anggaran.

TABEL 6. REALISASI PENERIMAAN DAN PENGGUNAAN PNBP BPN RI TAHUN


2006 S/D 2012

T.A. PENERIMAAN BELANJA SISA PNBP


PAGU REALISASI % PAGU REALISASI % SISA %
2006 999.997.977.000 671.714.165.319 67,17 569.206.683.000 326.347.932.195 57,33 345. 366. 233. 124 57,33

2007 1.210.483.583.000 797.647.526.886 65,89 683.256.334.000 318.828.476.195 46,66 478. 819. 050. 691 46,66

2008 1.375.968.231.664 926.782.044.167 67,35 582.080.135.000 361.092.705.749 62,03 565. 689. 338. 418 62,03

2009 1.392.973.187.105 1.000.104.152.879 71,8 857.394.856.000 399.871.363.769 46,64 600. 232. 789. 110 46,64

2010 1.434.996.710.872 1.201.372.234.603 83,72 894.941.793.000 481.587.510.075 53,81 719. 784. 724. 528 53,81

2011 1.540.328.409.432 1.300.389.275.753 84,42 1.340.136.897.000 587.805.004.095 43,86 712. 584. 271. 658 43,86

2012 1.700.000.000.000 1.544.997.000.000 90,88 1.452.874.333.000 830.290.555.038 57,15 714. 706. 444. 962 57,15

JUMLAH 9.654.748.099.073 7.443.006.399.607 75,89 6.379.891.031.000 3.305.823.547.116 52,50 4. 137. 182. 852. 491 52,50
Sumber data: Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, 2013.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


96 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Berdasarkan tabel tersebut di atas terlihat bahwa setiap tahun terjadi peningkatan dalam sisa
penerimaan yang rata-rata setiap tahun 55,58% dari realisasi penerimaan. Tetapi di sisi lain
kondisi umum Kantor-Kantor Pertanahan di beberapa daerah masih memprihatinkan sehingga
memerlukan biaya untuk pembangunan dan rehabilitsai sarana dan prasarana fisik.

1.800.000.000.000

1.600.000.000.000

1.400.000.000.000

1.200.000.000.000

1.000.000.000.000

800.000.000.000

600.000.000.000

400.000.000.000

200.000.000.000

0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
n PENERIMAAN n PENERIMAAN n BELANJA n BELANJA
PAGU REALISASI PAGU REALISASI
Gambar 9 Realisasi Penerimaan dan Belanja PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d 2012

Sisi Realisasi Penerimaan PNBP BPN RI terdapat peningkatan yang cukup siginifikan dari tahun
2011 mencapai Rp. 1,3 Trilyun dibandingkan realisasi tahun 2006 sebesar Rp. 671 Milyar
meningkat dua kali lipat, begitu juga dalam penggunaan PNBP terjadi penurunan nilai riil
kemampuan penyerapan penggunaan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 97
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

2012 714.706.444.962

2011 712.584.271.668

2010 719.714.724.528

2009 600.232.489.110

2008 565.689.338.418

2007 478.819.050.691

2006 345.366.233.124

Gambar 10 Sisa PNBP BPN RI Tahun 2006 s/d2012

TABEL 7. KONDISI ASSET BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK


INDONESIA DALAM STATUS KEPEMILIKAN DAN KELAYAKAN
STATUS KEPEMILIKAN STATUS KELAYAKAN
JENIS ASSET SEWA/
SENDIRI PEMDA PINJAM/ BAIK RUSAK RUSAK
RINGAN BERAT
TIDAK ADA
Kendaran Roda 4 698 35 8 254 337 150

Kantor 334 30 32 238 69 27

Rumah Dinas Kakanwil 31 2 1 22 9 2

Rumah Dinas Kakantah 41 1 361 15 13 14

Tanah Kantor 378 81 18 - - -


Sumber data: Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri BPN RI, 2013.

Dengan keterbatasan anggaran di badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, banyak fasilitas
pelayanan pertanahan di satuan kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak terawat dan meminjam dari pemerintah daerah,
bahkan ada kantor gedungnya menyewa (32 unit), begitu juga kendaran dinas dan rumah dinas.
Sebagian besar rumah dinas dan kendaran dinas yang baik dan layak ada di beberapa kantor di
Pulau jawa dan Pulau Sumatera, sedangkan di luar kedua pulau tersebut banyak kantor yang
kondisi fisiknya sangat memprihatinkan.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


98 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Dengan sistem pengelolaan PNBP terpusat diharapkan akan terjadi subsidi silang dalam
pengadaan saran dan prasaran fisik, sehingga akan memberikan pelayanan pertanahan yang
optimal untuk pelanggan dan memberikan rasa nyaman dan aman bagi pelaksana pelayanan.

f. Kompetensi Sumberdaya Manusia Perencana dan Pengelola Keuangan Hasil Penelitian


Puslitbang BPN RI
Pengelola keuangan adalah tenaga administrasi keuangan yang melaksanakan fungsi
pengelolaan keuangan di institusi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki kompetensi
menguasai konsep dan praktek pengelolaan keuangan serta mampu menjalankan tata
aturan yang berlaku guna mewujudkan kinerja yang akuntabel dan transparan. Kompetensi
sumberdaya manusia dalam perencanaan dan pengelolaan keuangan meliputi pengetahuan
dan keterampilan dalam melakukan perencanaan atas mekanisme penyusunan kegiatan
pada tahun yang akan datang sampai dengan kegiatan pelaksanaan keuangan negara,
pengetahuan tersebut diantaranya:
1) pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan dan perundang-undangan,
kebijakan, prosedur, serta mekanisme pengelolaan keuangan negara yang tertuang
dalam (tiga) paket Undang-Undang bidang keuangan negara yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara;
2) pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan dan perundang-undangan, kebijakan,
prosedur, serta mekanisme pengelolaan keuangan negara, mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban pada bi­dang fiskal,
moneter, serta pe­nge­­lolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
3) pengetahuan dan pemahaman mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010
tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan
Pertanahan Nasional;
4) pengetahuan dan pemahaman mengenai penyusunan Rencana Kerja Anggaran K/L (RKA
K/L) mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah untuk sumber dana Rupiah Murni (RM)
dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);

Ketersediaan sumberdaya manusia pelaksana kegiatan di bidang pertanahan pada lokasi


sampel penelitian sebagai Perencana dan Pengelola Keuangan, dimana perencana kegiatan
dan pengelola Keuangan bertugas melaksanakan fungsi administratif seperti pemasok data
untuk perencanaan, pelaksanakan dan pengendalian anggaran, pengelolaan data keuangan,
pelaporan serta pengadministrasian kegiatan pendukungnya. Berdasarkan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Subbagian, Seksi dan
Subbidang di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia merupakan tugas
pokok dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri terdiri dan Biro Keuangan dan Pelaksana
Anggaran, sedangkan di untuk perencanaan kegiatan dan pengelola keuangan di daerah di atur
dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 99
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

TABEL 8. KOMPETENSI PERENCANA KEGIATAN DAN PENGELOLA


KEUANGAN DI LOKASI PENELITIAN
KONDISI SAAT INI STATUS KELAYAKAN STATUS KELAYAKAN
NO RESPONDEN DIKLAT SERT JURU SERT JURU SERT JURU
KEU BEND PBJ UKUR KEU PBJ UKUR KEU PBJ UKUR

1 Kanwil Prov. Jabar 3 1 2 10 5 3 15 2 -5 5


2 Kota Bandung 3 1 2 10 5 6 15 2 4 5
3 Kota Cimahi 4 2 3 8 6 3 12 2 0 4
4 Kab. Bandung Barat 3 2 5 8 5 3 10 2 -2 2
5 Kab. Subang 4 2 3 8 5 3 10 1 0 2
6 Kab. Karawang 3 3 2 10 5 3 15 2 1 5
7 Kab. Bekasi 4 2 4 12 6 4 15 2 0 3
8 Kab. Bogor 6 7 6 19 12 9 40 6 34 21
Rata-rata 4 3 3 11 6 4 17 B 4 6
1 Kanwil Prov. Jateng 14 10 7 15 14 10 15 0 -17 0
2 Kab. Magelang 4 1 1 16 6 3 25 2 2 9
3 Kota Semarang 7 3 1 16 10 3 30 3 2 14
4 Kota Pekalongan 5 0 3 8 8 3 10 3 0 2
5 Kota Magelang 4 0 1 2 6 3 4 2 2 2
6 Kab. Kendal 4 3 3 14 8 4 20 4 1 6
7 Kab. Tegal 4 4 0 13 7 3 13 3 13 0
Rata-rata 6 3 2 12 8 4 17 2 0 5
1 Kanwil Prov. Bengkulu 7 5 4 15 6 3 10 -1 -7 -5
2 Kota Bengkulu 5 1 1 10 18 2 20 13 1 10
3 Kab. Bengkulu 5 3 2 4 6 4 10 1 2 6
4 Kab. Kapahiang 2 1 2 6 4 2 10 2 0 4
Rata-rata 5 3 2 9 9 3 13 4 -1 4
1 Kanwil Prov. Sultra 5 2 1 5 10 5 10 5 -6 5
2 Kota Kendari 7 5 0 5 7 3 12 0 3 7
3 Kab. Konawe 3 1 1 7 7 5 10 4 4 3
4 Kab. Konsel 3 1 1 3 6 3 12 3 2 9
Rata-rata 5 2 1 5 8 4 13 3 1 4
1 Kanwil Prov. Kalteng 6 6 6 8 10 10 20 4 4 12
2 Kota P. Raya 2 2 0 7 3 3 10 1 3 3
3 Kab. Pulang Pisau 2 1 0 6 5 3 5 3 3 -1
4 Kab. Kapuas 5 3 0 6 6 5 8 1 5 2
5 Kab. Gunung Mas 2 2 1 5 3 3 6 1 2 1
Rata-rata 3 3 1 B B 5 13 2 3 4
Rata-rata Kanwil/Kantah 4 3 2 B 5 B 14 2 2 5
Sumber data: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2012.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


100 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Berdasarkan kondisi sumberdaya manusia saat ini dan kebutuhan ideal masing-masing kantor
wilayah dan kantor pertanahan masih memerlukan sumberdaya manusia yang berkompeten sesuai
dengan kebutuhan kaitannya dengan penyerapan anggaran yaitu: bidang keuangan sebanyak 2
orang, bersertipikat pengadaan barang/jasa sebanyak 2 orang dan juru ukur sebanyak 5 orang.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran


1. Perencanaan Anggaran Kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak

PERENCANAAN SESUAI JUKNIS KEGIATAN PENERIMAAN


NO PROVINSI
NEGARA BUKAN PAJAK

1 Jawa Barat 1. Pada tahun 2010 ada beberapa kegiatan yang masuk dalam Penerimaan Negara Bukan
Pajak tidak dapat dilaksanakan diakrenakan setelah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2010 tanggal 22 Januari 2010 dan KMK No. 237/KMK. 022/2010 tanggal 19 Mei
2010 yang penetapan PP dan KMK tersebut pada saat berjalannya tahun anggran, maka
terkendala dalam pelakasnaan kegiatan karena pemberlakuannya setelah dikeluarkannya
KMK tersebut.
2. Pada Tahun 2011 ada kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak Pertimbangan Teknis
Pertanahan dimana petunjuk teknis dalam Perkaban No. 2 Tahun 2011 ttg Pedoman
Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin
Perubahan Penggunaan Tanah tanggal 4 Februari 2011 tidak sinkron antara Petunjuk Teknis
tersebut dengan mekanisme penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak.

2 Jawa Tengah 1. Kurang koordinasi dan komunikasi antar seksi dan tata usaha, sehingga kesulitan dalam
penyusunan perencanaan kegiatan dan anggaran.
2. Tidak adanya parameter atau indikator sebagai penentu besaran anggaran PNB dalam
pelayanan pertanahan
3. Kurangnya data awal dalam menentukan prakiraan penerimaan bukan pajak dari pelayanan
pertanahan.

3 Bengkulu 1. Keterbatasan Sumberdaya Manusia yang kompeten di bidang pengelolaan keuangan


2. Belum tersedianya petunjuk teknik pemetaan tematik
3. Peratuan pengelolaan keuangan yang sering berganti,terutama perubahan kode Mata
Anggaran Kegiatan
4. Perpindahan pegawai antar seksi ataupun antar kabupaten/provinsi

4 Sulawesi Tenggara 1. Kegiatan sekoper yang tidak dapat ditentukan karena jadwal persidangan yang diberitahu
sewaktu-waktu;
2. Seringnya perubahan aturan penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kantor
Perbendaharaan dan belum disosialiasikan ke pengguna anggaran.
3. Kurangnya sosialisasi dalam penyusunan dan perencanaan anggaran antara BPN RI, Kanwil
BPN Provinsi dengan Kantah Kab/Kota.

5 Kalimantan Tengah 1. Adanya perbedaan harga satuan dalam penggunaan anggaran pengukuran dan pemetaan,
dimana jika satuan Orang Kegiatan (OK) penyerapannya lebih kecil dibandingkan Orang
Bidang (OB).
2. Ketidakpahaman dari masing-masing seksi,khususnya seksi SPP dalam menentukan harga
satuan pengukuran bidang tanah.
3. Revisi DIPA yng diajukan ke BPN Pusat tidak keluar sampai akhir tahun anggaran.
4. Aplikasi dalam SIMAK BMN yang sering tidak sinkron antara Kantah dengan Kantor Pelayanan
Perbencaharaan Negara;
5. Usulan kegiatan komponen teknis untuk tahun anggaran yang akan datang tidak diajukan
pada awal tahun, sehingga kesulitan dalam penyusunan rencana kegiatan untuk tahun
anggaran yang akan datang;

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 101
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

2. Kegiatan Pelaksanaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 ttg Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak

PERENCANAAN SESUAI JUKNIS KEGIATAN PENERIMAAN


NO PROVINSI
NEGARA BUKAN PAJAK

1 Jawa Barat 1. Juknis jika ada perubahan pelaksanaan kegiatan pada tahun berjalan
2. Juknis untuk masing-masing kegiatan komponen teknis dan tata usaha
3. Juknis penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pelayanan Pendaftaran Hak
Tanggungan [Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)] dengan Nilai Hak
Tanggungan, dimana besarnya Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Rp. 50. 000,- sampai
dengan Rp. 50. 000. 000,- tetapi penggunaannya hanya pekerjaan administrasi (Honor Terkait
Output Kegiatan MAK 521213) atau hanya berkisar Rp. 50. 000,- sehingga banyak sedikitnya
dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat digunakan (terserap).
4. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA untuk
tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan kegiatan
pada Komponen Teknis yang bersangkutan.
5. Juknis Pertimbangan Teknis Perkaban No. 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan
Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan
Penggunaan Tanah;
6. Juknis Penyuluhan lapang untuk semua kegiatan;
7. Juknis Pembinaan PPAT;
8. Petunjuk teknis kegiatan dari masing-masing komponen teknis yang berkaitan dengan
penggunaan anggaran;
9. Sosialisasi dalam mempercepat pembukaan blokir pada DIPA tahun berjalan.

2 Jawa Tengah 1. Tidak optimalnya penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dari pelayanan
pengukuran karena harga satuan kegiatan pengukuran (OK) yang tidak optimal dalam
penyerapan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
2. Tidak adanya alur kegiatan atau petunjuk pelaksanaan penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak pelayanan pertimbangan teknis pertanahan.

3 Bengkulu 1. Sering perubahan mata anggaran penggunaan


2. Kurang menegertinya pertanggungjawaban pengguna anggaran dalam membantu
adiministrasi pengelolaan keuangan;
3. Tidak dapat dilaksanakannya kegiatan pengadaan karena di blokir (bintang)

4 Sulawesi Tenggara 1. Adanya perubahan struktur anggaran kegiatan operasional dan dukungan operasional.
2. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seharusnya diperlukan petunjuk teknis diantaranya
pengukuran bidang tanah, permberdayaan masyarakat, identifikasi tanah terlantar dan
penyusunan RKAK/L.
3. Karena kekurangan juru ukur, apa dimungkinkan kakantah yang sebelumnya menjadi juru ukur
dapat sebagai koordinator pengukuran serta koordinator kegiatan lainnya.

5 Kalimantan Tengah 1. Banyaknya anggaran yang dibintang (blokir)


2. Kurangnya SDM dalam pengelolaan keuangan
3. Tidak adanya sosialisasi untuk merevisi DIPA atao POK
4. Tidak adanya sosialisasi tentang mekanisme belanja modal terutama utnuk pengadaan
kendaraan, renovasi bangunan, pembangunan gedung baru dsb.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


102 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
D. Saran Pelaksanaan Kegiatan

PERENCANAAN SESUAI JUKNIS KEGIATAN PENERIMAAN


NO PROVINSI
NEGARA BUKAN PAJAK

1 Jawa Barat 1. Adanya blokir (pemberian bintang dalam DIPA) dalam kegiatan Belanja Barang
2. Pelaksanaan pembayaran struktur kegiatan di akhir tahun (penerimaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak Bulan Nopember dan Desember).
3. Kekurangan SDM dalam pengelolaan keuangan.
4. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA untuk
tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan kegiatan
pada Komponen Teknis yang bersangkutan.
5. Perjalanan Dinas kegiatan pengukuran dalam satuan OH (Orang per-Hari) tidak bisa
dilaksanakan atau akuisisi dalam satuan bidang, seharusnya dalam satuan Orang per-Bidang
(OB).
6. Dalam isian DIPA terutama dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak terlalu detail dalam
rincian kegiatannya.
7. Kontinyunitas pembinaan tentang DIPA dan RKAKL, terutama dalam hal:
a. Jadwal penyusunan anggaran tahun yang akan datang;
b. Penyusunan TOR, merinci biaya per sub kegiatan dan serta kelengkapan dokumen usulan
kegiatan tahun yang akan datangl;
c. Jenis usulan kegiatan dan mekanisme pencairan kegiatan;
8. Merespon usulan-usulan dari daerah.
9. Kendala dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran
a. Kekurangan SDM dalam pengelolaan keuangan
b. Ketidaktahuan SDM komponen teknis dalam membantu menyusun RKAKL dan DIPA
untuk tahun berikutnya, sehingga setelah DIPA ada sering tidak sesuai dengan keinginan
kegiatan pada Komponen Teknis yang bersangkutan.
10. Saran dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran
a. Menambah SDM dalam bidang pengelolaan keuangan atau diperbantukannya SDM dari
komponen teknis untuk sama-sama menyusun RKAKL sehingga APBN untuk tahun depan
dapat sesuai dengan keinginan dari komponen teknis.
b. Komponen teknis untuk segera menyiapkan pencairan dan luncuran Penerimaan Negara
Bukan Pajak pada bulan Januari dan Februari pada penerimaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak bulan Nopember dan Desember tahun sebelumnya, jika ada estimasi
penerimaan dan pengeluaran agar cepat diketahui dan direvisi DIPA yang bersumber dana
dari Penerimaan Negara Bukan Pajak.
c. Sosialisasi bersama teknis perencanaan atau penyusunan RKAKL dari Biro Perendanaan
dan Kerjasama Luar Negeri dengan Biro Keuangan dari BPN RI pada kantor-kantor
pertanahan.
d. Sosialisasi dalam mempercepat pembukaan blokir pada DIPA tahun berjalan, karena
sebagian besar blokir tersebut merupakan kegiatan pengadaan barang dan jasa dan
pembukaan blokir terjadi pada bulan-bulan Oktober sehingga Pejabat ataupun Panitia
Pengadaan Barang dan Jasa tidak dapat melaksanakan kegiatan tersebut karena
pendeknya waktu antara buka blokir dengan pelaksanaan kegiatan
e. Perlunya kebijakan tentang penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pelayanan
Pendaftaran Hak Tanggungan [Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)],
sehingga dapat memperbesar penggunaan dari penerimaan pelayanan tersebut
f. Perlunya sinkronisasi antara petunjuk teknis kegiatan dengan kegiatan yang tersedia dalam
nomenklatur Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) dan Pera turan Menteri
Keuangan tentang Standar Biaya Tahun Anggaran.
g. Sebaiknya pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang setorannya
secara Terpusat sehingga pada kantah dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
besar dapat di serap atau di alokasikan pada kantah-kantah yang penerimaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak-nya kecil.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 103
PRAKTEK EMPIRIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

PERENCANAAN SESUAI JUKNIS KEGIATAN PENERIMAAN


NO PROVINSI
NEGARA BUKAN PAJAK

2 Jawa Tengah 1. Dilakukan sosialisasi dan pembelajaran dalam perencanaan kegiatan dan perencanaan
anggaran;
2. Mengalokasikan kegiatan yang dibiayai oleh Rupiah Murni pada kantor pertanahan yang
volume pelayanannya rendah.
3. Menambah tenaga ukur dan membuat satuan biaya pengukuran yang dapat mengoptimalkan
penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
4. Menyederhanakan sistem pertanggung jawaban penggunaan anggaran, karena dengan
banyaknya kegiatan tidak mempunyai waktu untuk membuat pertanggung jawaban
administrasi.
5. Penglokasian anggaran dari pelayanan pertanahan dapat juga dipergunakan oleh tenaga
honorer, tata usaha, komponen teknis lainnya.

3 Bengkulu 1. Satuan kerja bekerja sesuai dengan jadawal perencanaan yang sudah dibuat dan disepakati.
2. Adanya on job trainig dan pelatihan untuk penyusunan perencanaan kegiatan dan anggaran;

4 Sulawesi Tenggara 1. Diperlukan On Job Training (OJT) untuk penyusunan RKAK/L dan alokasi anggaran kegiatan
dalam perencanaan;
2. Kegiatan yang penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dan RM sebaiknya
disediakan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan penggunaan anggaran;
3. Sebaiknya pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang setorannya secara
Terpusat.
4. Sinkronisasi data antara KKP dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13Tahun 2012,
diantaranya pemetaan tematik, pertimbangan teknis dan lainnya.

5 Kalimantan Tengah 1. Perlunya sosialisasi tentang mekanis revisi DIPA dan POK;
2. Perlunya pembekalan bagi komponen teknis untuk membuat perencanaan anggaran dan
pelaksanaan anggaran;
3. Pembinaan berkala tentang perencanaan dan pelaksanaan anggara ke tiap-tiap kantor
pertanahan pada awal tahun anggaran.
4. Diperlukan petunjuk teknis penggunaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak dari.
untuk kegiatan potensi tanah, tematik dan pertimbangan teknis pertanahan
5. Sosialisasi perubahan pagu anggaran saat perubahan dari pagu indikatif ke pagu sementara
dan dari pagu sementara ke pagu definitif.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


104 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BAB IV
Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi
Penyerapan Anggaran
PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 105
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN

Mekanisme penggunaan kembali PNBP, sebenarnya ini


adalah mengenai insentif, yang salah satu bentuknya berupa
izin untuk menggunakan kembali sebagian PNBP.

A. SISTEM PERENCANAAN KEGIATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN PENERIMAAN


NEGARA BUKAN PAJAK
Kami menekankan bahwa pada prinsipnya apabila sebagian PNBP digunakan kembali maka
penggunannya harus betul-betul tepat, yaitu dalam rangka mendukung tugas-tugas pokok
kementerian/lembaga dalam rangka pelayanan publik dan juga untuk menghasilkan PNBP
yang optimal. Permasalahan utama dalam pengelolaan PNBP BPN RI adalah penumpukkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan penyerapan anggaran yang terjadi pada akhir tahun
anggaran (antara Agustus dan Oktober), sehingga terjadi penggunaan anggaran di akhir tahun,
tetapi pada Saat ini sisa Penerimaan Negara Bukan Pajak yang sudah di Surat Setor Bukan
Pajak (SSBP) hanya bisa digunakan atas saldo pada tahun anggaran berikutnya, tetapi hal ini
juga tidak mudah dikarenakan Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada awal tahun
anggaranpun sangat terbatas, dimana penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat
diberikan Uang Persediaan sebesar 20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara
Bukan Pajak, jika belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) Penerimaan Negara Bukan
Pajak hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabe;as) dari pagu dana
Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) atau memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar
UP yang diberikan, dan itupun akan membebani anggaran tahun berikutnya (lihat Gambar .10

RATA-RATA REALISASI DAN PENGGUNAAN PNBP BPN RI


TAHUN ANGGARAN 2012
1000.000.000.000
900.000.000.000

800.000.000.000

700.000.000.000
600.000.000.000
500.000.000.000
n SSBP PNBP
400.000.000.000
n PENGGUNAAN
300.000.000.000

200.000.000.000

100.000.000.000
0
P. Jawa P. Sumatera P. Kalimantan P. Sulawesi P. Bali dan P. Papua dan
Nusatenggara Maluku
Gambar 11 Rata-rata Realisasi dan Penggunaan PNBP BPN RI tahun anggaran 2012

Pusat Penelitian dan Pengembangan


106 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
B. STRATEGI PERENCANAAN KEGIATAN DAN PENGGUNAAN ANGGARAN PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK
1. Alokasi Penggunaan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak
Perencanaan Jenis Kegiatan Penerimaan Negara Bukan Pajak, adalah untuk merencanakan
kegiatan penerimaan negara yang bersumber dari tarif dan jenis pelayanan pertanahan
berdasarkan Peraruran Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional.

Dalam pengalokasian penggunaan penerimaan negara bukan pajak berdasarkan Maksimal


Pencairan sebesar 85,54% dari Surat Setor Bukan Pajak (SSBP) maka perencanaan
penggunaannya adalah sebagai berikut:

TABEL 9. MODEL ALOKASI PENGGUNAAN DANA PENERIMAAN NEGARA


BUKAN PAJAK BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
237/KMK. 02/2010 TENTANG PERSETUJUAN PENGGUNAAN SEBAGIAN DANA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PADA BPN RI

1. Operasional PELAYANAN LAPANGAN PERLAYANAN ADMINISTRASI


Pelayanan dan ESTIMASI PENERIMAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK: ESTIMASI PENERIMAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK:
2. Program LUAS TARIF RUMUS PORSI PENGGUNAAN RENCANA TARIF RUMUS PORSI PENGGUNAAN RENCANA
Pengelolaan (M2) (RP) 80 % X 85,54 % X SSBP PAGU DIPA (RP) NO. (RP) 100% X 85,54% X RP. 50. 000 PAGU DIPA (RP)
Pertanahan (P3) 100 116. 000 80% x 85,54% x 116.000 79. 381,12 1 50.000 100% x 85,54%x 50.000 42.770

300 148. 000 80% x 85,54% x 148.000 101. 279,36 2 50.000 100% x 85,54% x 50.000 42.770

500 180. 000 80% x 85,54% x 180.000 123. 177,60 3 200 000 100% x 85,54% x 50.000 42.770

600 196. 000 80 % x 85,54 % x 196.000 134. 126,72 4 200.000 100% x 85,54% x 50.000 42.770

1000 260. 000 80% x 85,54% x 260.000 177. 923,20 5 2.500.000 100% x 85,54% x 50.000 42.770

JML 900. 000 80% x 85,54% x 900.000 615. 888,00 5 3.000.000 100% x 85,54% x 250.000 213.850
3. Pegakkan
Hukum, RUMUS RUMUS
4. Pogram (Rp. 900. 000 X 85,54 %) – Rp. 615. 888 (Rp. 3. 000. 000 X 85,54 %) – Rp. 213. 850
Dukungan = Rp. 769. 860 – Rp. 615. 888 = Rp. 2. 566. 200 – Rp. 213 850
Manajemen dan = Rp. 153. 972,- = Rp. 2. 352. 350,-
5. Program Atau Atau
Peningkatan RUMUS RUMUS
Sarana 20 % X 85,54 % X SSBP = 85,54 % X {SSBP – (Rp. 50. 000 x Jml Perm)
Prasarana = 20 % X 85,54 % X Rp. 900. 000 = 85,54 % X {Rp. 3. 000. 000 – (Rp. 50. 000 X 5)}
(PDPS) = Rp. 153. 972,- = 85,54 % X {Rp. 3. 000. 000 – Rp. 250. 000}
Atau = 85,54 % X Rp. 2. 750. 000
RUMUS = Rp. 2. 352. 350,-
= (MP – P3)
= (85,54% X Rp. 900.000) – Rp. 615.888
= Rp. 153.972,-
Rekapitulasi
SSBP = Rp. 900.000,- SSBP= Rp. 3. 000. 000,-
MP = 85,54% x Rp. 900.000 MP = 85,54 % x Rp. 3. 000. 000
= Rp. 769.860,00 = Rp. 2. 566. 200,00
Terdiri dari P3= Rp. 615.888,00 Terdiri dari: P3 (5 permohonan)= Rp. 213. 850,00
PDPS= Rp. 153.972,00 PDPS= Rp. 2. 352. 350,00

Sumber data: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2012.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 107
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN

Alokasi perencanaan estimasi penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan mengacu
pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 237/KMK. 02/2010 tentang Persetujuan Penggunaan
Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia sebesar 85,54%, estimasi penerimaan yang akan disetorkan pada Bank Persepsi
dengan bukti penerimaan Surat Setor Bukan Pajak (SSBP). Rincian rencana pembiayaan pelayanan
operasional lapangan maksimal 80% x (85,54%xSSBP)) sedangkan untuk rencana peningkatan
sarana dan prasarana sebesar 20% x (85,54%xSSBP)). Sedangkan rencana Penerimaan Negara Bukan
Pajak dari pelayanan administrasi sebesar 100% x (85,54% x Rp. 50. 000 x Jml Permohonan)), jika
ada kelebihan dari penerimaan tersebut dapat dipergunakan untuk rencana kegiatan peningkatan
sarana dan prasarana, mekanisme perancanaan tersebut dapat di lihat dalam Tabel 3. di atas.
2. Akurasi Penggunaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Masing-Masing Kegiatan

TABEL 10 . MODEL PERENCANAAN ALOKASI BIAYA OPERASIONAL


PELAYANAN PERTANAHAN DARI PAGU BELANJA PENERIMAAN NEGARA
BUKAN PAJAK

KODE TARGET PENERIMAAN MAKSIMUM PAGU BESARAN DARI


MAP URAIAN KEGIATAN PENCAIRAN BELANJA MAKSIMUM
VOL JUMLAH (85. 54%) (PAGU DIPA) PENCAIRAN (%)
2973 Dukungan Manajemen - - - 2.716.609.000 -
2975 Pengelolaan Sarana dan Prasarana - - - 1.697.881.000 -
2999 Penegakkan Hukum - - - 2.367.306.000 -
Sub Total Unit Pengguna 6.781.796.000 51,11
2999 Survey, Pengukuran Batas Kawasan/

Wilayah, Pemetaan V -
2999 Pengukuran & Pemetaan Bid Tanah V 3.066.069.000 2.622.715.423 2.098.172.000 80,00
2999 Pemeriksaan Tanah V 1.451.410.000 1.241.536.114 993.228.000 80,00
2999 Pertimbangan Teknis Pertanahan V 598.716.600 512. 142. 180 409.713.000 80,00
2999
Konsolidasi Tanah Swadaya - - - - -
2999 Pendaftaran Tanah Pertama Kali V 2.275.200.000 1.946.206.080 - -
2999 Pemeliharaan Data V 7.020.570.000 6.005.395.578 2.121.734.000 -
2999
Hak Tanggungan 0 - - -
2999 Lisensi V 13.750.000 11.761.750 12.082.000 -
2999 Informasi Pertanahan V 1.085.375.450 928.430.160 851.461.000 91,71
Sub Total Unit Penghasil 15.511.091.050 13.268.187.284 6.486.390.000 48,89
Jumlah Total 15.511.091.050 13.268.187.284 13.268.186.000
Sumber: Simulasi Hasil Olahan, 2013.

Pusat Penelitian dan Pengembangan


108 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Penerimaan Negara Bukan Pajak
PP No. 13 Tahun 2010

Pelayanan Lapangan Pelayanan Kantor Administrasi


1. Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah 1. Pendaftaran Tanah
2. Pemeriksaan Tanah 2. Informasi Pertanahan
3. Pertimbangan Teknis Pertanahan 3. Pemberian Lisensi
4. Konsolidasi Tanah Swadaya

SSBP/TARIF Rp50.000 Rp50.000 +


Maksimum
BELANJA/PENGELUARAN Maksimum Maksimum
80%xMP PROGRAM PENGELOLAAN PERTANAHAN 100%xMP 100%xMP
1. Operasional Pelayanan
2. Penegakan Hukum
Maksimum Maksimum
35%xSisa PROGRAM DUKUNGAN MANAJEMEN DAN PELAKSANAAN 35%xSisa
TUGAS TEKNIS LAINNYA
Maksimum 1. Tata Kelola Pertanahan 2. Peningkatan SDM Maksimum
40%xSisa 3. Sosialisasi Peraturan 40%xSisa
4. Lain-lain Kegiatan Dukungan Manajemen

Maksimum PROGRAM PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA Maksimum


25%xSisa 1. Rehab/Pembangunan Gedung/Instalasi 25%xSisa
2. Pengadaan Alat dan Mesin
3. Investasi/Modal Lainnya

Gambar 12. Strategi Perencanaan Pengelolaan Anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak
Sumber data: Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2012.

Dalam upaya melaksanakan APBN secara optimal, ada beberapa langkah-langkah awal yang
harus dilakukan yaitu:
a. Optimalisasi Penyerapan Anggaran DIPA Penerimaan Negara Bukan Pajak
Terdapat perubahan Struktur Penganggaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2002, dimana pengelolaan sebagai berikut:
1) Setiap jenis kegiatan pelayanan berdiri sendiri-sendiri, biaya operasional pelayanan
sebesar Ijin Penggunaan (MP) dengan porsi penggunaan dana untuk Lapangan 60 %,
Pengolahan 20 % dan Pengelolaan 20 %;
2) Revisi penambahan pagu dapat dilakukan untuk masing-masing jenis kegiatan pelayanan
apabila penerimaannya telah melampaui target;

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010, pengelolaan anggaran


Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah sebagai berikut:
1) Semua jenis kegiatan pelayanan merupakan satu kesatuan dalam DIPA, setiap
jenis kegiatan pelayanan untuk kegiatan yang sifatnya lapang boleh menggunakan
biaya operasional maksimum 80 % dari Ijin Penggunaan (MP), sedangkan yang sifat
pekerjaannya administrasi di kantor biaya operasional maksimum 60 % dari tarif Rp. 50.
000,- setiap permohonan. Sisanya (MP – biaya operasional) digunakan untuk membiayai
kegiatan Penegakan Hukum, Program Dukungan Manajemen, dan Program Peningkatan
Sarana dan Prasarana;
2) Revisi penambahan pagu DIPA dapat dilakukan apabila total penerimaan dari setiap
jenis kegiatan telah melampauai target DIPA. Apabila suatu jenis kegiatan pelayanan
penerimaannya telah melampaui target kegiatan yang bersangkutan, tetapi secara
keseluruhan penerimaannya belum melampaui target dalam DIPA, cukup melakukan
revisi penambahan pagu dengan cara pergeseran antar kegiatan;

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 109
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN

b. Penetapan Pejabat Perbendaharaan Satuan Kerja


Keterlambatan penetapan Pejabat Perbendaharaan Satuan kerja adalah merupakan awal
terlambatnya penyerapan anggaran dalam DIPA. Hal ini selalu terulang dari tahun ke
tahun. Satuan kerja yang telah menerima DIPA Tahun Anggaran Berjalan, Kepala Kantor/
Pejabat Berwenang selaku Kuasa Pengguna Anggaran pada tahun anggaran yang lalu
harus segera Pro Aktiv menanyakan kepada Pejabat yang berwenang menetapkan Pejabat
Pengelola Keuangan/Perbendaharaan Satuan kerja (Kuasa Pengguna Anggaran/KPA, Pejabat
Penandatangan SPM/PPSPM dan Bendahara Pengeluaran) baik itu Unit Eselon I K/L maupun
Pejabat Pemerintah Daerah agar segera menerbitkan surat keputusan penetapan pejabat/
pengelola perbendaharaan.

SK penetapan/penunjukan pejabat perbendaharaan satuan kerja yang telah diterbitkan,


segera dikirimkan kepada KPPN setempat beserta contoh specimen tanda tangan pejabat
perbendaharaan. Format surat pemberitahuan yang berisi nama-nama pejabat beserta
specimen tanda tangannya mengikuti format yang ditentukan oleh KPPN setempat.
Nama-nama pejabat dan specimen tersebut menjadi dasar KPPN untuk memproses SPM
dari Satuan kerja, bila tidak sesuai maka SPM akan dikembalikan yang berakibat pada
terhambatnya penyerapan anggaran.

Wajib Bayar/ PP No. 13 Tahun 2010 TARGET/DIPA


Pemohon TAHUN ANGGARAN

Penerimaan HUTANG
NEGARA
Kas SSBP
Negara
SSBP > Target
= Revisi Pagu
85.54%x SSBP
SPM
PENGELUARAN KPPN Pagu DIPA/DIPA Revisi
SP2D SSBP ≤Target
- SSBP
Operasional - Ijin MP
Pelayanan
Pelaporan SSBP Sisa pekerjaan HUTANG
Nov&Des Ke KPPN dan Sisa SSBP NEGARA
Dukungan
Manajemen

Penggunaan Realisasi Nov & Des


Penerimaan Negara Bukan Pajak
Tahun Lalu
70% Target Penerimaan Negara
Bukan Pajak TA Berjalan

Gambar 13. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Pertanahan Nasional RI

Pusat Penelitian dan Pengembangan


110 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
c. Penetapan Petugas Satuan Kerja yang berhubungan dengan KPPN
Kuasa Pengguna Anggaran yang telah ditunjuk oleh pejabat berwenang harus menunjuk
petugas yang akan berhubungan dengan KPPN sesuai dengan persyaratan dalam PER-41/
PB/2011 untuk mendapatkan Kartu Identitas Petugas Satuan kerja (KIPS). Format surat
penunjukan petugas satuan kerja juga telah ditentukan oleh KPPN. Persyaratannya adalah:
1) Maksimal 3 orang (melampirkan fotokopi Identitas & Foto terbaru ukuran 4 X 6);

2) Petugas yang ditunjuk adalah PNS/CPNS (bisa pejabat perbendaharaan ataupun staf)
Satuan kerja bersangkutan yang memahami teknis perbendaharaan baik peraturan-
peraturan maupun aplikasi terkait. Pegawai Satuan kerja yang bukan merupakan PNS/
CPNS (tenaga Honorer) tidak dapat diajukan menjadi Petugas Satuan kerja kecuali
mendapatkan dispensasi dari Direktur Jenderal Perbendaharaan sesuai prosedur yang
diatur dalam PER-41/PB/2011.

KPPN tidak akan melayani SPM Satuan kerja yang dibawa oleh Petugas yang tidak
terdaftar sebagai petugas satuan kerja di KPPN ataupun Petugas Satuan kerja yang
telah terdaftar namun tidak dapat menunjukkan KIPS yang diterbitkan KPPN.

3. Mengecek kesesuaian POK dengan DIPA dan Peraturan-peraturan perbendaharaan


DIPA yang telah diterima bisa jadi memiliki kekeliruan yang dapat menghambat
pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran Satuan kerja. Satuan kerja agar
meneliti DIPA dimaksud untuk memastikan tidak adanya kendala/kesalahan/ kekeliruan.
Kendala/kesalahan/ke­ke­li­ruan yang sering terjadi antara lain: perbedaan antara data-
data/kode-kode dalam DIPA dengan ADK Pagu, kesalahan pembebanan akun (sering
terjadi pada akun 521213, 521115), anggaran yang diblokir, dan lain sebagainya. Satuan
kerja dapat membandingkannya dengan POK dan peraturan-peraturan perbendaharaan
(pembayaran kegiatan-kegiatan ter­ten­tu dan akun-akun tertentu.

Akun Baru dalam DIPA Tahun Anggaran Berjalan. Satuan kerja harus memperhatikan
bahwa terjadi beberapa perubahan akun yang cukup penting dalam DIPA Tahun
Anggaran Berjalan. Satuan kerja agar memperhatikan PER-80/PB/2011 tanggal 30
November 2011 tentang Penambahan dan Perubahan Akun pada Bagan Akun Standard

4. Segera Melakukan Revisi DIPA/POK bila ditemui kesalahan/ketidaksesuaian


Bila menemui kendala/kesalahan/ketidak sesuaian yang dapat menghambat
pelaksanaan kegiatan dan penyerapan anggaran, segera lakukan revisi dan
berkoordinasi dengan KPPN maupun Kanwil DJPB Provinsi setempat.

5. Mempelajari dan menguasai Aplikasi-Aplikasi Perbendaharaan Tahun Anggaran Berjalan


Secara umum aplikasi-aplikasi perbendaharaan Tahun Anggaran Berjalan tidak jauh
berbeda dengan tahun anggaran yang lalu. Namun dengan adanya beberapa perubahan
dalam DIPA Tahun Anggaran Berjalan mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
aplikasi-aplikasi perbendaharaan Tahun Anggaran Berjalan. Tidak perlu kuatir terhadap

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 111
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN

permasalahan aplikasi. Satuan kerja dapat menghubungi KPPN setempat untuk meminta
bantuan teknis terkait aplikasi-aplikasi. KPPN telah menyediakan petugas yang ditunjuk
untuk menangani permasalah aplikasi-aplikasi Tahun Anggaran Berjalan. Selain itu KPPN
akan mengadakan sosialisasi dan bimbingan teknis terkait penggunaan aplikasi-aplikasi
Tahun Anggaran Berjalan khususnya aplikasi SPM Tahun Anggaran Berjalan. Satuan kerja
agar menunjuk Petugas Satuan kerja yang menangani/menggunakan aplikasi-aplikasi
tersebut agar dapat lebih menguasai dan memahami teknis penggunaannya.

6. Mengajukan Uang Persediaan


Setelah Pejabat Perbendaharaan, Petugas Satuan kerja memiliki KIPS, Aplikasi SPM
dan aplikasi-aplikasi lainnya telah siap, maka Satuan kerja dapat mulai mengajukan
pencairan dana berdasarkan DIPA Tahun Anggaran Berjalan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatannya. Hal yang lumrah dalam awal tahun anggaran biasanya adalah
Satuan kerja mengajukan SPM Uang Persediaan (UP) kepada KPPN sebagai penyediaan
uang di kas bendahara pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatan satuan kerja
yang tidak dapat dilaksanakan/tidak memungkinkan dengan SPM LS (Langsung).

Besarnya Uang Persediaan masing-masing satuan kerja telah ditetapkan dalam


peraturan direktur jenderal perbendaharaan (PER-11/PB/2011) berdasarkan pagu
DIPA Satuan kerja. Sistem dalam Aplikasi SPM juga telah membatasi maksimal UP yang
bisa diambil oleh masing-masing satuan kerja. UP yang cair belum membebani APBN,
dan akan membebani APBN saat satuan kerja mengajukan SPM-GUP (Ganti Uang
Persediaan/GU Isi). Pengajuan SPM-GUP yang mensyaratkan 75% penggunaan UP
bukan berarti satuan kerja boleh tidak menggunakan UP tersebut. Satuan kerja tetap
berkewajiban menggunakan UP tersebut seoptimal/secepat mungkin agar terjadi
realisasi anggaran, bila tidak maka keuangan Negara berpotensi mengalami kerugian
karena adanya uang mengangur di kas bendahara pengeluaran.

Selain uang persediaan, satuan kerja sangat dianjurkan untuk melakukan pencairan
dana DIPA melalui SPM-LS untuk mempercepat realiasi anggaran.

7. Membuat Perencanaan Anggaran


Salah satu fungsi keuangan/perbendaharaan negara yang akan mendapat perhatian
penting dalam Tahun Anggaran Berjalan adalah pelaksanaan perencanaan kas.
Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan No. PMK-192/PMK. 05/2009 Satuan kerja
wajib mengajukan perencanaan kas ke KPPN sebelum melakukan pencairan dana/
mengajukan SPM ke KPPN. Perencanaan Kas ini dilaksanakan dengan menggunakan
aplikasi perencanaan kas (aplikasi forecasting satuan kerja/afs). KPPN akan memberikan
sosialisasi, pelatihan dan bimbingan teknis bagi petugas satuan kerja agar terampil
dalam membuat perencanaan kas.

Agar perencanaan kas dapat dilaksanakan dengan baik, maka perlu ditingkatkan
komunikasi antara KPA cq PPK selaku pelaksana kegiatan dengan pejabat penanda

Pusat Penelitian dan Pengembangan


112 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
tangan SPM dan bendahara pengeluaran yang mengatur lalu lintas kebutuhan dana
satuan kerja. Perencanaan kas diajukan dalam waktu-waktu yang ditentukan yang
diatur tidak akan menghambat penyerapan anggaran satuan kerja. Namun kuncinya
adalah kemauan/kedisiplinan satuan kerja dalam melaksanakan perencanaan kas
sesuai dengan peraturan perbendaharaan. Bagi satuan kerja yang tidak mematuhi
perencanaan kas maka pencairan dananya akan tertunda untuk bulan bersangkutan,
namun bisa diajukan lebih cepat dan lebih banyak dibulan selanjutnya setelah
melakukan update perencanaan kas.

8. Melaksanakan Anggaran/Pencairan dana DIPA Tahun Anggaran Berjalan sesuai


peraturan dan ketentuan yang berlaku
Satuan kerja agar menginventarisir kegiatan-kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan
baik berhubungan dengan belanja barang maupun belanja modal. Kegiatan-kegiatan
yang bisa dilaksanakan lebih cepat diawal tahun anggaran agar jangan ditunda-tunda,
terutama kegiatan pembangunan fisik yang memerlukan waktu lebih panjang dalam
persiapan berupa pelelangan barang/jasa hingga pelaksanaan pekerjaan. Waktu satu
Tahun Anggaran seharusnya cukup untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah
direncanakan sejak tahun anggaran yang lalu. Kemauan, komunikasi dan koordinasi
adalah hal-hal yang wajib dilaksanakan demi terlaksananya pelaksanaan anggaran
yang optimal, tepat waktu, efektif dan efisien.
9. Monitoring Pelaksanaan/Penyerapan Anggaran
Idealnya penyerapan anggaran adalah kecil di awal tahun makin membesar hingga
mencapai puncaknya di triwulan III karena pekerjaan banyak yang telah mulai selesai
dan mengecil kembali di triwulan IV hingga akhir tahun anggaran karena semua
kegiatan telah dilaksanakan. Bagi Satuan kerja yang sampai triwulan I penyerapan
anggarannya belum mencapi 20-25% perlu mengambil langkah-langkah lebih
serius dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya agar penyerapan anggaran dapat
dilakukan merata sepanjang tahun anggaran. Dengan demikian diharapkan APBN
dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menggerakkan perekonomian dan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia sebagaimana
yang diamanatkan Presiden RI di awal tahun anggaran saat menyerahkan DIPA kepada
Menteri, Pimpinan Lembaga dan Gubernur se-Indonesia.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 113
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENYERAPAN ANGGARAN

Pusat Penelitian dan Pengembangan


114 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
BAB V
Penutup

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 115
PENUTUP

Pengelolaan PNBP BPN RI dari Tahun 2006 sampai dengan


2012 terjadi peningkatan sisa anggaran yang rata-rata setiap
tahunnya Rp. 591.026. 121.784,- (56,21%) dari realisasi
penerimaan PNBP yang sudah disetorkan (SSBP)

A. KESIMPULAN
Sedangkan menurut sistem perencanaan penganggaran dan realisasi selama 7 (tujuh) tahun
terkahir dari tahun 2006-2012 rata realisasi penerimaan Rp.7.443.006.399.607 (78,5%)
dan realisasi belanja Rp.3.305.823.547.116 (52,50%), dan sisa PNBP yang disetorkan
Rp.4.137.182.852.491 (55,59%). Terjadintya peningkatan sisa anggaran setiap tahun dikarenakan:
a. Mekanisme penganggaran DIPA yang ada saat ini memberlakukan bahwa dana penerimaan
dan penggunaan PNBP diperhitungkan langsung dan dialokasikan sekaligus pada DIPA Satker
yang bersangkutan. Dimana pelaksanaan anggaran tidak dapat dilaksanakan pergeseran
antar satuan kerja. Sehingga di satu satker memiliki pagu penggunaan yang berlebih dan di
satker yang lain memiliki pagu penggunaan yang terlalu rendah. Kondisi ini secara nasional
menyebabkan rendahnya penggunaan dana PNBP, dengan kondisi sistem pengganggaran
seperti itu proses dari hasil pelayanan tidak dapat memberikan kelancaran dan kepastian
waktu yang dapat dipertanggung jawabkan.
b. Pelayanan yang dilaksanakan tidak mencapai tingkat yang optimal (43,79%), dikarenakan
hak dari pelanggan tidak dapat terpenuhi terutama pada penerimaan PNBP menjelang akhir
tahun (bulan november dan desember) yang sudah disetorkan (SSBP) tidak dapat digunakan
untuk pembiayaan pelayanan pertanahan, seperti diketahui bahwa beberapa pelayanan
pertanahan menurut Standar Operasional Pelayanan Pertanahan (SOPP) memerlukan
waktu lebih dari 3 (tiga) bulan, karena untuk penerimaan yang pada akhir tahun tidak
dapat diggunakan mengingat batas waktu penggunaan DIPA sampai dengan 31 Desember.
Sehingga hak dari pelanggan sebagai penerima pelayanan umum tidak jelas dan tidak pasti,
walaupun penggunaannya dapat dilaksanakan pada awal tahun anggaran namun sangat
terbatas, karena:
1) penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat diberikan Uang Persediaan sebesar
20% (dua puluh persen) dari realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak;
2) jika belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) Penerimaan Negara Bukan Pajak
hanya dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu seperduabe;as) dari pagu dana
Penerimaan Negara Bukan Pajak pada DIPA dan maksimal Rp.200. 000. 000,- (dua ratus
juta rupiah); atau
3) memperoleh MP dana Penerimaan Negara Bukan Pajak paling sedikit sebesar UP yang
diberikan, dan itupun akan membebani anggaran tahun berikutnya;
2. Kekurangan sarana dan parasana dan pengetahuan pengelolaan keuangan bagi SDM
bidang teknis dalam penyusunan perencanaan untuk mendapatkan angka yang tepat
dalam mengestimasi penerimaan PNBP, dengan memberikan pelatihan perencanaan dan

Pusat Penelitian dan Pengembangan


116 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
penyusunan RKA-KL. Sehingga diperlukan optimalisasi penggunaan PNBP dengan jenis
kegiatan Penegakkan Hukum, Program Dukungan Manajemen, dan Program Peningkatan
Sarana dan Prasana (PDPS), dengan cara penyempuranaan aturan penggunaan anggaran
PNBP agar dapat disubsidi silang antar Satker atau PNBP dapat dikompensasi ke dalam DIPA
Rupiah Murni untuk pengadaan Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, pelatihan
sumberdaya manusia, penelitian, penegakkan hukum, dan dukungan manajemen. Selain
daripada itu fasilitas sarana dan prasarana fisik sebagaian besar sangat memprihatinkan,
dimana kondisi asset BPN RI di seluruh Indonesia untuk kantor 30 unit masih pinjam Pemda
dan 32 unit sewa/pinjam bahkan belum memiliki kantor dengan kondisi 69 rusak ringan dan
27 rusak berat. Status tanah kantor 378 milik sendiri, 81 milik Pemda, dan 18 sewa/pinjam.
Rumah dinas baru ada 41 unit sisanya 361 unit masih sewa/pinjam, dengan kondisi 13 unit
rusak ringan dan 14 unit rusak berat.

B. REKOMENDASI
1. Baik tidaknya pengelolaan organisasi perlu diketahui kegiatan pelayanan yang sudah
memenuhi prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. Oleh karena itu untuk memberikan
kelancaran dan kepastian waktu dalam pelayanan pertanahan yang dapat dipertanggung
jawabkan diperlukan pengelolaan PNBP secara optimal dengan cara secara terpusat dengan
alokasi penggunaan yang tepat terutama untuik peningkatan pelayanan
2. Mengkaji kembali sistem pengelolaan penerimaan dan penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak, terutama dalam hal;
a. Perbaikan estimasi perhitungan penerimaan biaya pelayanan pertanahan pada
pertengahan dan akhir tahun dan penggunaan utnuk Non Operasional, yang
mengakibatkan penumpukkan dana penerimaan menjelang akhir tahun sehingga tidak
terserap atau melebihi pagu dan tidak ada waktu untuk merevisi sehingga tidak optimal
dalam penggunaan, akibatnya pelayanan pertanahan akan mengalami hambatan dan
kevakuman menjelang akhir tahun;
b. Mengkaji aturan penggunaan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak secara subsidi
silang antar Satuan Kerja yang penerimaan dan pelayanan pertanahan sangat tinggi di
Pulau Jawa dan Pulau Sumatera ke Pulau Kalimantan, Pulau Silawesi, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua yang sarana dan prasana pendukung pelayanan pertanahannya
sangat tidak memadai.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 117
Pusat Penelitian dan Pengembangan
118 BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Daftar Pustaka

Peraturan Perundangan-Undangan:
1. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
2. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
3. Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan dan
Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementeriaan Negara/Lembaga;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaa Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Bersumber Dari Kegiatan Tertentu;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan dan
Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah dan Penyetoran
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terhutang;
13. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian
Keberatan Atas Penetapan PNBP Yang Terhutang;
14. Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga;
15. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.

PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SECARA TERPUSAT PADA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF OPTIMALISASI PENYERAPAN ANGGARAN 119
Ketua
MUNSYARIEF, A.PTNH, M.SI

Sekretaris Anggota

UMIYATI, S.SIT MELIA YUSRI, SP DWI SUPRASTYO, SP

Anda mungkin juga menyukai