Anda di halaman 1dari 11

Di Zawiyyah Sebuah Masjid Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi

diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di


zawiyyah sebuah masjid. Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir,
melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah
terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren. "Agar manusia di muka
bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak Kiai kepada
santri pertama, "apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?"
"Agama," jawab santri pertama. "Berapa jumlahnya?" "Satu." "Tidak dua atau tiga?" "Allah tak
pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan
mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan." ** Kepada
santri kedua Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?"
"Islam." "Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?" "Sejak Ia mengajari Adam
nama benda-benda." "Kenapa kau katakan demikian?" "Sebab Islam berlaku sejak awal mula
sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam
hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam." "Kalau demikian, seorang Muslimkah
Adam?" "Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia." ** Pak Kiai
beralih kepada santri ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda," katanya, "bahasa apa
yang digunakan?" Dijawab oleh santri ketiga, "Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai
bahasa Al-Qur'an." "Bagaimana membuktikan hal itu?" "Para sejarahwan bahasa dan para
ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka
takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia
telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal
mereka buta sama sekali terhadap masa silam." "Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?"
"Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang
terdapat dalam kehendak Allah." "Maksudmu, Nak?" "Allah memerintahkan manusia
bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil 'alamin,
berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang
kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia.
Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari
semua bahasa yang ada di muka bumi." ** "Temanmu tadi mengatakan," berkata Pak Kiai
selanjutnya kepada santri keempat, "bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana
engkau menjelaskan hal itu?" "Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan," jawab
santri keempat, "Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau
proses pertumbuhan." "Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain
Islam?" "Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah." "Apakah itu
berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?" "Aku mengakui nilai-nilai yang
termuat dalam yang disebut agama-agama itu --sebelum dimanipulasikan-- sebab nilai-nilai itu
adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disermpurnakan oleh Allah melalui
Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu
dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama --dengan, ternyata, berbagai penyesuaian,
penambahan atau pengurangan-- sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan
agama Allah, melainkan rekayasa manusia." ** Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke
wajah santri kelima sambil bertanya, "Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman
sebelum Muhammad?" "Islam, Kiai." "Apa agama Ibrahim?" "Islam." "Apa agama Musa?"
"Islam." "Dan agama Isa?" "Islam." "Sudah bernama Islamkah ketika itu?" "Tidak mungkin,
demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-
kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api
dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya.
Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala
pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum." ** "Maka apakah gerangan arti yang
paling inti dari Islam?" Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.
"Membebaskan," jawab santri itu. "Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!"
"Menyelematkan, Kiai." "Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa
dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?" "Allah menyelamatkan
manusia, diaparati oleh para khulafa' atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber
dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah.
Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam --sistem nilai hasil karya
Allah yang dahsyat itu-- dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu
yang bukan Allah." "Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?"
"Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu.
Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu
dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah." ** Pak Kiai
menuding santri ketujuh, "Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?" "Benar, Kiai," jawabnya,
"Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak
Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah."
"Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?" "Dengan memedomani ayat-
ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapata dalam diri manusia, di
alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah
tawaran pencarian yang tak ada hentinya." "Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan
makna pasrah?" "Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang
kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di
dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang,
sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin
terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri
mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban
mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke
dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya." **
"Cahaya Islam. Apa itu gerangan?" Santri ke delapan menjawab, "Pertama-tama ialah ilmu
pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang
kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra'. Itulah cahaya
Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal
budi yang bernama manusia." "Pemikiranmu lumayan," sahut Pak Kiai, "Cahaya Islam tentunya
tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita
memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai
barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?" "Ya, Kiai." "Sesudah engkau
sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?" "Dinihari rekayasa teknologi." "Dari Nuh?"
"Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah." "Hud?" "Kebangunan kembali menuju salah
satu puncak peradaban dan teknologi canggih." "Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap
terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?"
"Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman
secara lebih detil." "Pada Ismail?" "Pengurbanan dan keikhlasan." "Ayyub?" "Ketahanan dan
kesabaran." "Dawud?" "Tangis, perjuangan dan keberanian." "Sulaiman?" "Ke-waskita-an,
kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan." "Sekarang sebutkan
yang engkau peroleh dari Musa!" "Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga
kedunguan dalam kepandaian." "Dari Zakaria?" "Dzikir." "Isa?" "Kelembutan cinta kasih, alam
getaran hub." "Adapun dari Muhammad, anakku?" "Kematangan, kesempurnaan, ilmu
manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya." **
Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan
dewasa ini?" "Tak menentu, Kiai," jawab sanri terakhir itu, "Terkadang, atau bahkan amat
sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami
adalah Ayyub --tetapi-- yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang
amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan
dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa
ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa
kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-
sawah Fir'aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu." Pak Kiai
tersenyum, dan santri itu meneruskan, "Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami
tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami."
"Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai
hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari
perut ikan." Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh. "Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa
ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15
abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera."
"Anakku," Pak Kiai menyela, "pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam
rasa putus asa." "Insyaallah tidak, Kiai," jawab sang santri, "Cara yang terbaik untuk menjadi
kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami
kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru
Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan
kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana
Fir'aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada
Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati
kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar
memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf
mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami
telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan
unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku
dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak
dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang." ** Betapa tak terbatas apabila
perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.
"Sampai tahap ini," kata Pak Kiai, "cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini
kalian jawab." "Kami berusaha, Kiai," jawab mereka. "Bagaimana kalian menghubungkan
keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?"
"Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan
gerak perjuangan," berkata salah seorang. "Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata
Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang," sambung lainnya. "Muhammad juga
mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat," sambung yang lain
lagi. "Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu
lintas situasi dan peta sejarah." "Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan." "Hikmah,
maw'idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan." "Makan hanya ketika lapar, berhenti makan
sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun
proses sejarah." "Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali
ke Makkah untuk kemenangan." "Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur
beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah." Pak Kiai tersenyum, "Apa titik tengah
di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?" "Lentur, Kiai!" kesembilan santri itu
menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan
dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu. "Fal-yatalaththaf!" ucap
Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, "titik pusat Al-
Qur'an!" 1987 Emha Ainun Nadjib

Assalamualaikum wr wb 'Nduk Fara (saya ngikuti Pak Lek, nih), Mengenai kebenaran science
dan kebenaran Al Quran, menurut saya perlu dicari psoitioning yg lebih pas. Soalnya yg satu
karya Allah, yg satu karya manusia dalam memahami karya Allah yang lain. Pertanyaan-2 anda
itu juga pertanyaan2 saya dulu. Penafsiran Quran secara scientific itu biasanya disebut sbg
Bucaillisme. Ini merefer ke Maurice Bucaille yg menulis kesesuaian AlQuran dengan ilmu
pengetahuan modern, terutama dalam penciptaan alam, seperti sesuainya ayat-ayat AlQuran
dengan teori big bang. Ada yg mengkritisi, science itu kan relatif. Dulu Newtonian dianggap
paling benar, sebelum Enstein mencetuskan teorinya. Lha nanti kalau teori big bang nanti
terbukti salah, apa nanti Quran juga salah? Pemahaman yg ingin saya share begini (Maaf, saya
ndak bermaksud menggurui). Allah itu kan menciptakan dua ayat, ayat kauniyyah (alam
semesta) dan ayat tanziliyyah (Kitab Suci/AlQuran). Sebagai muslim kita diminta untuk berfikir
atas kedua jenis ayat ini. Memikirkan ayat kauniyyah dapat meningkatkan pemahaman kita atas
ayat tanziliyyah. Sebaliknya melalui bbrp ayat tanziliyyah, Allah juga menggambarkan
kenyataan kauniyyah (spt penciptaan alam, penciptaan manusia/janin, ttg lebah, gunung, dsb)
dan menekankan beberapa kali agar kita memikirkannya. Dari mikir ayat kauniyyah, lahirlah
science. Namun kebenaran science itu tidaklah mutlak. Kata para ilmuan, science itu hanyalah
penyederhanaan atau abstraksi dari realitas yg sebenarnya, bukan realitas itu sendiri. Science pun
terus berkembang, sebuah teori yg dominan (paradigm) suatu saat akan mengalami falsifikasi
oleh temuan2 kecil yang akhirnya akan melahirkan suatu teori dominan baru (new paradigm),
dst...dst... Dari memahami ayat tanziliyyah (kitab suci) lahirlah tafsir. Kebenaran tafsirpun
sifatnya tidak mutlak karena itu hanya pikiran manusia dalam memahami 'maksud' Allah.
Seorang astronom dalam memahami ayat2 ttg penciptaan alam mungkin mampu menafsirkan
dengan baik dengan posisi ilmunya saat itu. Demikian pula seorang dokter ketika memahami
ayat2 ttg penciptaan manusia dalam janin; atau seorang ahli bahasa ketika melihat tatabahasa AL
Quran; atau seorang ahli sejarah ketika membaca qashash/kisah2 dalam Al Quran. Namun sekali
lagi, hasilnya tidaklah mutlak kebenarannya. Yang penting bagi manusia dalam mendekati
kebenaran ini, menurut saya, adalah bagaimana proses ini bisa bermanfaat bagi manusia, atau
bisa bermanfaat dalam meningkatkan ketaqwaan manusia sbg hakikat penciptaannya. Apa
salahnya kalau ada orang yg terinspirasi setelah membaca ayat alQuran, kemudian membuktikan
kebenaran ilmiahnya untuk sesuatu yg bermanfaat bagi ummat manusia. Sebaliknya apa salahnya
kalau seseorang berusaha memahami ayat-ayat AlQuran dengan pengetahuan scientificnya, kalau
itu dapat meningkatkan ketaqwaannya. Yang diperlukan, menurut saya, ketika manusia merasa
menemukan/mendapatkan/meyakini suatu kebenaran, adalah sekedar kerendahan hati, bahwa
semua itu hanyalah interpretasi atas kebenaran, bukan kebenaran yg sebenar-benarnya. Kita
maksimal hanya bisa menjadi 'aalim (tahu), sedangkan hanya Allah lah yg Maha 'Aliim. Para
ahli tafsir biasanya mengakhiri tafsirannya dengan: Wallahu A'lam (Allah yg lebih tahu).
Selamat menikmati ayat-ayat Allah. Wallahu a'lam. Salam, Aji Hermawan Manchester School of
Management UMIST

HAKIKAT IBADAH HAJI DAN UMRAH Oleh : Al'Habib Faridhal Attros Al'Kindhy " Dan
dirikan ibadah haji dan umrah karena Allah ". (Q.S : 2 : 196) Manusia berada di antara dua dunia
kesunyian, yang dalam hal tertentu berarti ganda dan tidak diketahuinya. Yang pertama adalah
masa sebelum lahir, dan yang kedua masa setelah kematian. Kehidupan manusia berada di antara
keduanya yang hanya sekejab seperti tangisan sesaat yang secara tiba-tiba memecahkan
kesunyian abadi sekadar untuk bersatu dengan-NYA. Seperti halnya salah satu ibadah Islam,
yakni ; melakukan Haji ke Baitullah yang menjadi perjalanan akhir daripada rukun Islam yang
kelima. Ibadah haji hukumnya wajib bagi ummat Islam dan mampu membawa manusia meraih
ketenteraman dan kedamaian yang tersembunyi di pusat wujudnya. Dan pencapaiannya dapat
dilakukan setiap muslim, pada setiap kesempatan. Pengertian Al'Hajj atau Al'Hijj itu sendiri
adalah ; bertujuan ; tujuan untuk menuju (mengunjungi) Baitullah atas panggilan Tuhan untuk
menunaikan Manasik Haji. Ibadah Haji itu sendiri bertujuan pula untuk membawa manusia dari
dunia bentuk ke dunia ruh ; namun karena dia tinggal di dunia bentuk (material) dan pada awal
perjalanan spiritual tidak-lah terlepas darinya, maka dengan menggunakan dunia bentuk
sedemikian rupa, maka ibadah haji mengarahkan perhatian manusia ke dunia spiritual. Bentuk
adalah selubung dunia spiritual, namun bersamaan dengan itu sekaligus juga merupakan simbol
dan tangga untuk dapat mencapai persatuan antara seorang hamba kepada Tuhan-NYA. Ibadah
Haji ialah keyakinan ilahiah yang berasal dari karunia Tuhan dan terletak di dalam inti ajaran
Islam. Ia merupakan sebuah kunci yang diberikan kepada manusia agar dapat menguak rahasia
kehidupannya sendiri dan memperoleh harta masa lampau warisan Adam As, warisan Ibrahim
As, dan warisan Muhammad Rasulullah SAW yang terlupakan dan terabaikan karena
tersembunyi di dalam dirinya. Perintah melakukan ibadah haji bukanlah suatu kebetulan ataupun
historis semata, melainkan perintah langsung dari Tuhan semesta alam untuk dijadikan sebagai
sarana pendakian jiwa manusia menuju dunia transenden, meski hanya bagi mereka yang telah
melewati rintangan kezuhudan dan disiplin spiritual yang tingkatan pertamanya adalah
kepatuhan dan harapan kepada Tuhan. Ketahuilah ..! bahwa Tuhan Yang Maha Agung memiliki
rahasia dalam hati manusia yang tersembunyi sebagaimana api dalam besi. Seperti rahasia api
yang mewujud dan tampak ketika besi dipukul dengan batu, maka seseorang yang menjalankan
ibadah haji karena Allah semata akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan hidup serta
keharmonisan yang menyebabkan esensi manusia bergerak serta mewujudkan sesuatu dalam diri
tanpa disadarinya. Alasan untuk ini adalah ; adanya hubungan antara ibadah haji dengan esensi
hati manusia dengan dunia transenden, yang disebut alam ruh. Dunia transenden adalah dunia
kecantikan dan keindahan, sedangkan sumber kecantikan dan keindahan adalah ; keselarasan
(tanasub). Semua yang selaras mewujudkan keindahan di dunia, karena seluruh kecantikan,
keindahan, dan keselarasan yang dapat diamati adalah pantulan kecantikan dan keindahan dunia
itu sendiri. Dengan alasan yang sama, mereka yang menikmati ibadah haji tanpa melewati
tingkatan pertama dalam perjalanan spiritualnya, tak akan pernah sampai kepermukaan dunia
transenden yang luas tiada batas, dan apabila jiwa mereka mencoba melakukan penerbangan ke
dunia tersebut meski hanya untuk sesaat dengan bantuan panggilan suci itu (panggilan ibadah
haji), maka dia dengan segera akan jatuh kembali begitu panggilan suci itu berakhir (selesai) dan
mereka tidak akan mampu mempertahankan keadaan spiritualnya. Ibadah haji hukumnya fardhu
(wajib) dan mulai difardhukan pada tahun ke enam hijriyah. Dalam tahap pertama beribadah
haji, manusia dipersatukan dengan getaran kehidupan alam, yang di dalam diri seseorang selalu
ada dalam bentuk getaran hati. Kehidupan manusia bersatu dengan kehidupan alam,
mikrokosmos bersatu dengan makrokosmos, sehingga jiwa manusia mengalami perluasan dan
mencapai kebahagiaan dan ektrase yang melingkupi dunia. Sementara bagi manusia yang gagal
untuk merasakannya dalam tahapan pertama ini hanyalah disebabkan kelalaian kepada Tuhan
(Ghaflah). Dalam tahap kedua, manusia akan berada di atas seluruh kenikmatan dan perbedaan
waktu, manusia diputuskan secara tiba-tiba dari dunia waktu ; dia akan merasakan dirinya
berhadap - hadapan dengan wajah Yang Maha Kekal dan untuk sesaat merasakan nikmatnya
peleburan (fana) dan kekekalan (baqa). Pada tahapan terakhir, " manusia tertuntun untuk
menempatkan diri sepenuhnya dalam genggaman Tuhan dan menjadi sumber gita-gita yang
menebarkan kasih sayang dan kebajikan yang luhur serta menuntun orang lain ke tempat
primordial dan kediaman akhirnya ". Pada dasarnya manusia tengah mencari kehidupan spiritual
serta ketenangan dan kedamaian yang tersembunyi dalam substansi ibadah haji yang bersifat
spiritual. mereka tengah mencari rahasia perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan.
Hendaknya tujuan - tujuan suci macam inilah yang melatar belakangi ibadah haji seseorang.
Ikhlash karena Allah semata dan diterima atau tidaknya ibadah tersebut, juga bersumber dari
manusianya itu sendiri. Ikhlash kah .! Atau hanya ingin mendapatkan pujian dari manusia .?.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda dan membayangkan suatu musibah yang bisa saja
terjadi dimana-mana sebagaimana diungkapkannya dalam suatu haditsnya : " Suatu jaman akan
datang atas manusia ketika orang - orang kaya dari ummatku naik haji hanya untuk piknik saja,
orang - orang yang kelas menengah pergi haji hanya untuk berdagang, golongan pelajarnya cuma
sekadar Riya dan bersombong-sombong, sedangkan mereka yang tidak mampu memaksakan diri
guna meminta-minta ". Begitu prihatin Nabi Muhammad SAW terhadap niat hati manusia.
Terutama lantaran beliau menghendaki agar kita jangan merusak makna dari hakikat suatu
ibadah. Jangan Agama dijadikan sumber buat bersombong diri dalam mencari nama dan
mengangkat kedudukan di mata masyarakat. Manusia harus ingat bahwa ibadah yang didasari
Riya demi manusia atau demi nama, maka disamping sia - sia belaka juga akan dituntut
dihadapan persidangan Allah SWT pada hari kiamat kelak. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
" Seperti orang yang mengorbankan hartanya lantaran menginginkan pujian manusia dan Dia
tidak beriman kepada Allah serta hari pembalasan, maka perumpamaannya bagaikan sepotong
batu licin yang diatasnya menempel debu. Apabila datang hujan deras, maka lenyaplah debu itu
dan kembalilah batu tersebut licin seperti semula ". (Q.S : 2 : 264) Maka manusia yang berbuat
seperti itu, berarti ia telah mencabut Agama Islam sebagai salah satu penopangnya yang paling
penting di dunia ini, dan memutuskan masyarakat Islam dari salah satu kesaksian paling nyata
mengenai dimensi spiritual ajarannya. Hal ini harus kita cegah, harus kita hindarkan, jangan
sampai apa yang dibayangkan Rasulullah SAW itu justru menimpa kita, bangsa yang tengah
dilanda krisis kemiskinan (ekonomi), krisis moral dan krisis kepemimpinan. Penghamburan dana
untuk sesuatu yang sia - sia harus dihentikan dan kita salurkan demi Syi'ar-nya Agama Allah,
tegakkan keadilan dan terhindarnya sesama ummat Islam dari kekufuran akibat kemelaratan.
Maka anjuran berbuat baik atau amal ma'ruf harus kita galakkan. Tetapi sebaliknya, melarang
orang dari kesesatan atau nahi munkar pun harus kita korbankan. Dan marilah kita mulai dari diri
kita masing-masing. Manusia mempunyai lebih banyak waktu senggang di siang hari daripada
waktu untuk menunaikan perintah Syari'ah. Perintah - perintah tersebut meliputi shalat, puasa,
haji dan sebagainya ; sedangkan aktivitas lainnya seperti mencari mata pencaharian atau
mengurus keluarga juga merupakan kewajiban religius selama dikerjakan sesuai dengan Syari'ah.
Namun, sudah menjadi sifat manusia, bahwa manusia cenderung melupakan Tuhan dalam
melakukan berbagai aktivitas mulai dari transaksi ekonomi sampai mengisi waktu senggang.
Ajaran suci dalam Islam adalah sarana yang memungkinkan Ruh Islam menembus segala macam
dan bentuk aktivitas, merasuk ke seluruh kehidupan manusia untuk ; mengingatkannya akan
Kehadiran Tuhan kemanapun dia melangkah pergi. Bagi orang yang senantiasa ingat kepada
Allah, maka ajaran suci Islam selalu akan menjadi pendorong yang sangat bernilai bagi
kehidupan spiritualnya dan sarana untuk merenungkan realitas Tuhan (Al-Haqa'iq). Oleh karena
itu menghancurkan ajaran suci Islam Berarti mengosongkan jiwa pikiran muslim dari kekayaan
kandungan Islam. Kekosongan tersebut kemudian dengan cepat dipenuhi oleh kekacauan,
kegaduhan, dan kebiasaan terburuk dari dunia modern sebagaimana yang dialami oleh
kebanyakan muslim sekarang. Sebagai akibat hilangnya satu bagian dari jiwa mereka, mereka
bukan mengalami kegagalan dan kerugian, namun mereka akan kehilangan keyakinan diri sama
sekali. Begitu pula halnya mengenai ibadah haji yang dilakukan kaum muslim telah memberikan
bentuk-bentuk visual yang aspek-aspek keseluruhannya memantulkan etos Islam yang terdalam,
karena peradaban dan kebudayaan Islam tradisional seluruhnya benar-benar dijiwai oleh nilai-
nilai spiritual Islam yang mengelilingi kaum muslim serta membantunya untuk hidup secara
Islami. Jiwa dan pikiran muslim tradisional dijiwai dan selalu dijiwai oleh kekayaan khazanah
Islam tradisional yang terus tersedia, dan diawali oleh sikap-sikap yang bersumber dari ayat-ayat
Al-Qur'an. Namun, kecepatan proses ini tanpa perlawanan yang berarti sampai sekarang, karena
semua itu adalah akibat pengabaian terhadap signifikansi spiritual ajaran dan budaya Islam oleh
mereka yang berusaha memoderenkan dunia Islam menurut model barat (model asing) maupun
yang ingin memperbaharui dengan kembali ke Islam yang murni menurut dugaannya. Namun,
konsepsi Islam yang murni ini pasti menciptakan kevakuman dalam jiwa kaum muslim dan
sangat menghancurkan kekuatan yang dapat menentang pengaruh budaya asing yang
melemahkan. " Suatu amal perbuatan dapat dikatakan suci, baik dan benar apabila tidak ada
pamrih didalamnya, pada manusia ". Datangnya wahyu secara tiba-tiba seperti kilat. Namun ia
juga dapat disamakan dengan jatuhnya batu disebuah kolam air yang menimbulkan riak-riak
untuk bergerak keluar seperti lingkaran konsentris dari pusat. Al-Qur'an dengan struktur
puitisnya yang berdasarkan irama yang tegas dan pola nada yang sangat halus mengundang
reaksi dalam jiwa masyarakat Islam. Firman Tuhan dalam Al-Qur'an menyebutkan, : " Dan
dirikan ibadah haji dan umrah karena Allah " (Q .S : 2 :196) Al-Qur'an mengembalikan
kesadaran manusia, bahwa alam semesta adalah Qalam Ilahi dan pelengkap ayat-ayat suci
tertulis yang diwahyukan dalam bahasa Arab. Kesadaran ini diperkuat dengan tata cara
beribadah haji yang secara naluriah mengembalikan manusia pada keadaan primordialnya,
dengan menjadikan seluruh alam sebagai tempat ibadah. Terlebih lagi, Rasulullah SAW
menegaskan, bahwa farsy itu tak ubahnya merupakan pencerminan arsyi. Beliau melakukan
ibadah haji di Mekah, kota yang terletak pada alam yang tetap suci dan bersih. Dengan cara
inilah Tuhan melalui utusan-NYA yang terakhir, membangun kembali alam dan tanah sebagai
tempat yang suci dan mensucikan, tempat manusia paling sempurna berdiri secara langsung
dihadapan Tuhan, dan menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu dari inti ajaran Islam
dan perintah kelima dari rukun Islam. Menjalankan ibadah haji di bumi Mekah ini, diantara
berbagai fungsinya, adalah untuk mengembalikan manusia dan alam ke kesucian primordial (Al-
fitrah) saat yang Maha Esa menghadirkan diri-NYA secara lansung di dalam hati manusia dan
mengumandangkan sebuah simfoni abadi dalam keselarasan yang ada pada alam yang suci. Akar
dari ajaran Islam ini ditemukan pada penyucian kembali alam dalam hubungannya dengan
manusia sebagai wujud primordial yang tetap menyadari hubungan batinnya dengan Yang Maha
Esa maupun ciptaan-NYA, yang merupakan pasangan mikrokosmik dari realitas kosmik.
Sedangkan hubungan ajaran kosmos Islam dengan kaidah-kaidah dan prinsip - prinsip
kosmologisnya digambarkan dengan sangat mengagumkan di dalam Al-Qur'an, yang kemudian
digali secara terperinci selama beberapa generasi di sepanjang sejarah Islam. Ibadah haji yang
dilakukan manusia, mengingatkan manusia akan kepapaannya dihadapan Tuhan Yang Maha Esa,
seperti halnya kehausan spiritual Nabi Muhammad SAW. Serta aspek dalam jiwanya yang penuh
ketundukan, kedamaian, ketenangan dan kerinduan alam kubur. Hal ini pula-lah yang
menegaskan peran Al-Qur'an sebagai petunjuk (Al-Huda), jalan menuju Tuhan. Bagaikan
sepercik cahaya menyinari kegelapan eksistensi manusia di dunia ini. Rasulullah SAW
bersabda : " Barangsiapa pergi haji ke baitullah dengan tidak berbuat maksiat atau berbuat fasiq,
maka terlepaslah ia dari dosa-dosanya sebagaimana pertama kali waktu dilahirkan dari rahim
ibunya ". (H.R. Bukhary - Muslim). Mengenai mereka yang tidak mengetahui prinsip-prinsip ini
dan kurang percaya kepada pandangan dunia islam yang telah membentuk ajaran suci dalam
menjalankan ibadah haji, sehingga bagi mereka yang tidak mampu mengikuti bentuk dan metode
tradisional, merupakan tugas untuk setidak - tidaknya menyadari kekurangan mereka sendiri dan
tidak menyembunyikan ketidaktahuan mereka dengan sebuah kebanggaan untuk menghancurkan
segala sesuatu yang tidak diketahuinya. Kejujuran, yang kini dibicarakan setiap orang, menuntut
supaya seseorang tidak bersifat merusak ibadah hajinya sendiri dikarenakan kebutaannya
terhadap realitas tradisi ajaran islam atau pun karena tindak kreasi jiwa muslim yang telah
kehilangan jati dirinya karena mereka memandang nilai suatu ibadah itu hanyalah sebagai rasa
keinginan tahu belaka dan bersifat ikut - ikutan semata (taqlid). Mengenai dua kasus penilaian
tentang ibadah haji tersebut, sebenarnya banyak dialami kebanyakan orang. Maka untuk
menghindari hal-hal seperti tersebut di atas, kita harus menemukan prinsip suci yang mendasar,
yaitu ; berusaha untuk mengerti dan mengapresiasikan sepenuhnya hal yang suci, termasuk dari
segi niat hatinya. Manusia harus percaya kepada yang suci dan terlibat didalamnya. Kalau tidak,
maka yang suci akan menyembunyikan dirinya dibelakang selubung yang tidak dapat dilalui,
yang pada hakikatnya adalah selubung jiwa rendah manusia yang menyelubungi inti wujud
manusia yang abadi, kemudian memutuskannya dari penglihatan yang suci. Masyarakat Islam
mampu menciptakan tatanan ibadah yang bersifat spiritual sekaligus sensual untuk menyingkap
keindahan dunia ini beserta sifat fananya, dan menjelma dalam bentuk alam transendental yang
indah melalui teofani Tuhan. Ini merupakan warisan yang meskipun terancam punah, tapi tetap
dianggap realitas yang masih hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam dan menjadi nilai
universal bagi seluruh dunia pada saat kebodohan mengancam untuk mencekik spirit itu sendiri.
Masyarakat yang seperti ini tidak akan menghilangkan makna spiritual dalam seluruh aspek
tradisi Islam yang pada umumnya disebabkan oleh kekeliruan interpretasi mengenai lingkungan
tertentu yang akan membatasi Islam hanya pada aspek luarnya dan mengabaikan jurang yang
memisahkan keindahan dari kemudharatan. Seorang muslim dengan rendah hati menyadari ke-
Agungan tradisi yang dapat memberi arah dan orientasi kepadanya. Dalam penyerahan diri dan
bakatnya pada tradisi ini, dia akan menerima banyak daripada yang dia berikan. Sebutir debu
serta kesekejapan hidup diubah melalui tradisi menjadi sebuah bintang dicakrawala, yang
diberkahi dengan kemapanan dan merefleksikan keabadian Tuhan. Kekuatan kreatif seorang
muslim seperti itu jauh dari adanya pencekikkan, ia akan terbebas dari belenggu dan keterbatasan
subyektif dirinya sendiri, memperoleh suatu universalitas dan kekuatan yang luar biasa.

Anda mungkin juga menyukai