Anda di halaman 1dari 50

PRAKTIKUM ONKOLOGI DAN KELAINAN KONGENITAL

Disusun Oleh:

Kelompok 20

Rizsa Aulia Anindhita 30902100203


Safira Putri Aulya 30902100205
Saida Khusnul Khotimah 30902100206
Saikha Nabila Hasna 30902100207
Sally Angelina Darmadeta 30902100208
Salsabila Nur Aurelia Putri 30902100209
Salwa Alya Azzahra 30902100210
Seflyana Ayunda Paradella 30902100211
Selvy Saputri Damayanti 30902100212
Senia Pangestu Luhur Cahya 30902100213

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2021/2022
KANKER GASTROINTESTINAL (KANKER LAMBUNG)

A. PENGERTIAN
Kanker gastrointestinal (kanker lambung) atau juga dikenal sebagai kanker perut
adalah kanker yang terjadi ketika sel-sel abnormal (kanker) tumbuh di lapisan perut.
Sebagian besar kanker lambung adalah adenokarsinoma (sel kanker) yang
mengeluarkan lendir dan cairan lainnya. Kanker lambung juga merupakan
pertumbuhan sel abnormal yang dimulai di perut.
Jenis kanker ini dapat menyerang bagian perut mana pun, tetapi sebagian besar
kanker perut terbentuk di bagian utama perut. Misalnya lambung, organ pencernaan
berbentuk kantong di tengah rongga perut manusia. Jenis kanker ini biasanya tumbuh
perlahan selama beberapa tahun, dimulai di jaringan kelenjar di perut. Gastrointestinal
stromal tumor (GIST), sejenis kanker lambung yang menyerang jaringan ikat atau otot
lapisan lambung.

B. FAKTOR RISIKO
Seperti kanker pada umumnya, tidak jelas apa penyebabnya. Penyebab utamanya
adalah munculnya sel-sel abnormal, yang kemudian berkembang menjadi kanker
dinding perut. Namun, infeksi bakteri yang menyebabkan sakit maag adalah
helicobacter pylori diketahui menyebabkan kanker melalui berbagai proses peradangan
seperti gastritis. Beberapa faktor risiko dianggap berkontribusi terhadap kanker
gastrointestinal, yaitu

1. Usia diatas 55 tahun.


2. Jenis kelamin pria.
3. Golongan darah.
4. Infeksi Helicobacter pylori.
5. Kebiasaan merokok.
6. Orang dengan tukak lambung, anemia pernisiosa atau polip lambung.
7. Diet tinggi garam, acar, makanan olahan, daging merah, tapi rendah serat.
8. Riwayat keluarga kanker lambung.
9. Riwayat operasi lambung.
10. Orang dengan limfoma, kanker sel darah putih, kanker kerongkongan, kanker usus
besar, kanker prostat, kanker serviks dan kanker paru-paru.
C. KLASIFIKASI KANKER GASTROINTESTINAL (KANKER LAMBUNG)
Klasifikasi Stadium Kanker Menurut National Cancer Institute (2006) lambung
adalah sebagai berikut:
1. Stadium 0
Sel kanker hanya ada di lapisan sel dinding lambung. Gejala sulit untuk
mengidentifikasi kanker lambung pada stadium 0, sehingga jika diketahui, semakin
cepat seseorang terkena kanker perut, semakin mereka bisa responnya juga awal.
2. Stadium 1
Jika tidak ada pengobatan yang tepat ditemukan untuk kanker stadium 0, sel
kanker akan terus tumbuh. Perkembangan sel kanker ini menyebabkan tahap 0
meningkat ke tahap 1.
3. Stadium 2
Pertumbuhan sel kanker semakin meningkat dari stadium I ke stadium II mulai
tidak terkendali. Kanker biasanya sudah menyebar kemana-mana seperti ke lapisan
lambung dan kelenjar sekitarnya.
4. Stadium 3
Stadium III adalah salah satu jenis tahapan yang paling umum khawatir. Sel
kanker stadium III yang telah menyebar ke seluruh bagian tubuh dari organ,
kelenjar, bahkan otot.
5. Stadium 4
Pada tahapan kanker ini, biasanya penderita telah mulai tidak bisa melakukan
banyak hal. Aktivitas telah sangat terbatas dan proses pengobatan juga sudah
semakin sulit dilakukan.

D. TANDA DAN GEJALA


Pasien mungkin mengalami berbagai tanda dan gejala kanker lambung, termasuk:
1. Kembung dan sering cegukan.
2. Anemia atau kekurangan sel darah merah.
3. Saya merasa kenyang segera setelah makan.
4. Sering mengalami gangguan pencernaan.
5. Hilangnya nafsu makan.
6. Merasa lelah.
7. Mual dan muntah sampai muntah darah.
8. Nyeri dada.
9. Perut bengkak karena penumpukan cairan.
10. Penurunan berat badan tanpa alasan yang jelas.
11. Mulas atau nyeri di perut.
12. Kesulitan menelan.
13. Tinja berwarna hitam atau darah pada tinja.
14. Menguningnya kulit atau bagian putih mata.
Gejala awal kanker lambung seringkali sulit dikenali karena gejalanya hamper
identik dengan kondisi perut lainnya, seperti tukak lambung.Oleh karena itu,
pemeriksaan dokter diperlukan untuk memastikan diagnosisnya. Jika seseorang
merasakan gejala ini, mereka harus segera dites pergi ke dokter untuk perawatan dini.

E. PENCEGAHAN
Beberapa upaya pencegahan kanker lambung antara lain:
1. Berhenti merokok atau tidak merokok.
2. Menerapkan pola makan sehat dengan mengonsumsi makanan segar yang kaya
serat dan vitamin.
3. Hindari makanan asin dan olahan.
4. Pertahankan berat badan ideal.
5. Jika menggunakan aspirin atau NSAID, bicarakan dengan dokter tentang risiko
obat ini dapat mempengaruhi perut.
6. Infeksi perut diobati dengan antibiotik, ini mengurangi risiko kanker perut.

F. PATOFISIOLOGI KANKER LAMBUNG (GASTROINTESTINAL)


Patofisiologi kanker lambung berkaitan dengan perubahan pada mukosa lambung
yang mengarah pada perkembangan kanker lambung. Secara histologis, kanker
lambung dibagi menjadi dua jenis, satu jenis usus, yang memiliki penampilan
morfologi mirip dengan adenokarsinoma usus terganggu.
Kedua jenis kanker lambung ini memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda,
dengan jenis usus biasanya melalui tahap lesi prakanker, sedangkan jenis difus biasanya
tidak melalui tahap prakanker yang ditentukan.
KANKER SERVIKS

A. PENGERTIAN
Kanker serviks merupakan keganasan primer berasal dari sel epitel skuamosa.
Kanker serviks dapat berasal dari sel serviks, tetapi juga dapat berasal dari sel serviks
atau keduanya. Kanker serviks terjadi pada leher rahim adalah alat reproduksi wanita
masuknya vagina disebabkan oleh sebagian besar papiloma manusia virus.
Kanker serviks juga merupakan kanker yang tumbuh di sel-sel leher rahim. Kanker
ini biasanya berkembang secara perlahan dan gejalanya baru muncul ketika sudah
dalam stadium lanjut. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendeteksi kanker serviks
sejak dini, sebelum terjadi masalah yang serius.

B. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko kanker serviks, antara lain:
1. Usia
Wanita usia 35-50 lebih rentan terkena kanker serviks, terutama mereka yang
melakukan hubungan seks sebelum usia 20 tahun.
2. Ras
Kanker serviks meningkat dua kali lebih tinggi dari orang Afrika-Amerika
dengan orang Amerika-Asia.
3. Infeksi Human Papilloma Virus (HPV)
Penyebab terbesar kanker serviks adalah human papillomavirus.
4. Malnutrisi (gizi buruk)
Orang yang kekurangan gizi lebih mungkin untuk mendapatkan HPV.
5. Seorang wanita yang merokok
Merokok menurunkan sistem kekebalan tubuh. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa merokok meningkatkan risiko kanker serviks.
6. Berhubungan seks dengan lebih dari satu pasangan seksual sebelum usia 20 tahun
meningkatkan risiko kanker serviks.
C. KLASIFIKASI KANKER SERVIKS
Stadium kanker serviks menurut Diananda (2007) sebagai berikut:
1. Stadium I:
Kanker sebagian besar terbatas pada mulut dan leher rahim (serviks). Pada tahap
ini dibagi menjadi dua. Pada stadium I-A, kanker baru ditemukan serviks minimal
invasif dan pada stadium I-B, kanker telah mencapai leher rahim.
2. Stadium II:
Kanker telah mencapai rahim (tubuh) dan sepertiga vagina. Stadium II-A,
kanker belum mempengaruhi jaringan di sekitar rahim(cakupan).
3. Stadium III:
Pada stadium III-A, kanker telah mencapai dinding. Kanker stadium III-B ke
ginjal.
4. Stadium IV:
Pada stadium IV-A, kanker telah menyebar ke organ terdekat, seperti: anus,
kandung kemih, ginjal, dll berada pada stadium IV-B, dan kanker telah menyebar
ke organ jauh seperti hati, paru-paru, otak.

D. TANDA DAN GEJALA


Berikut gejala umum yang sering muncul dan dialami oleh penderita kanker serviks
stadium lanjut:
1. Keputihan tidak normal atau berlebih.
2. Munculnya rasa sakit dan pendarahan saat berhubungan intim (contact bleeding).
3. Pendarahan diluar siklus menstruasi.
4. Penurunan berat badan drastic.
5. Apabila kanker sudah menyebar ke panggul, maka pasien akan menderita keluhan
nyeri panggul.
6. Serta dijumpai juga hambatan dalam berkemih dan pembesaran ginjal.

E. PENCEGAHAN
Perawatan untuk kanker serviks tergantung pada stadium kanker yang dialami pasien
dan kesehatannya. Tindakan yang dilakukan oleh dokter antara lain kemoterapi, terapi
radiasi, pembedahan, atau kombinasi ketiganya.
Pasien kanker serviks memiliki peluang pemulihan yang lebih baik jika kondisi ini
diketahui lebih awal. Oleh karena itu, disarankan agar setiap wanita melakukan skrining
kanker serviks secara teratur sejak usia 21 tahun atau setelah menikah. Selain itu, untuk
mencegah infeksi HPV yang dapat menyebabkan kanker, vaksinasi juga dapat
diberikan mulai usia 10 tahun.

F. PATOFISIOLOGI KANKER SERVIKS


Untuk infeksi fulminan, HPV harus mencapai sel basal terlebih dahulu. Rute ini
melalui mikro-abrasi atau melalui epitel skuamosa atau cairan di mukosa epitel yang
dihasilkan selama aktivitas seksual. Ketika mencapai sel basal, terjadi pembelahan sel
yang tidak terkendali yang merusak jaringan hidup lainnya.
Dalam hal ini, sel-sel ini menelan jaringan serviks dengan berbagai cara, termasuk
menyerang atau tumbuh langsung ke jaringan yang berdekatan. Keganasan sel-sel ini
mungkin disebabkan oleh kerusakan DNA yang menyebabkan mutasi pada gen penting
yang mengontrol pembelahan sel, sehingga sel dapat berubah dari normal menjadi
prakanker dan kemudian menjadi kanker.
Kanker serviks merujuk pada berbagai jenis keganasan pada jaringan serviks atau
mulut rahim dengan tipe terbanyak yaitu karsinoma sel skuamosa. Kanker serviks
merupakan kanker terbanyak kedua pada wanita yang menyebabkan angka mortalitas
yang tinggi. Kanker serviks disebabkan oleh virus Human Papilloma Virus (HPV)
terutama tipe 16 dan 18 yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kanker
serviks merupakan kanker yang dapat dicegah dengan melakukan skrining secara rutin
dan melakukan vaksinasi HPV.
Beberapa faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker serviks, di
antaranya faktor genetik, perilaku seksual, dan riwayat infeksi menular seksual.
Pemeriksaan penunjang seperti Pap Smear dan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
dapat membantu menegakkan diagnosis.
PATOFISIOLOGI KANKER KOLON

Patofisiologi kanker kolorektal dimulai dengan transformasi sel epitel kolon normal
menjadi lesi prakanker dan akhirnya menjadi kanker invasif. Variasi genetik somatik dan
herediter dianggap terlibat dalam proses transformasi ini.

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa kanker kolorektal sering diakibatkan oleh polip
adenomatosa yang menjadi invasif dalam waktu 10 hingga 15 tahun. Oleh karena itu,
pengangkatan polip adenomatosa telah dilaporkan dapat mengurangi risiko kanker kolorektal.
Sampai saat ini, ada tiga jalur molekuler utama yang terkait dengan patofisiologi kanker
kolorektal: ketidakstabilan kromosom, perbaikan ketidakcocokan, dan hipermetilasi.

Ketidakstabilan Kromosom
Bukti ilmiah mendukung bahwa kanker kolorektal 85% memiliki ketidakstabilan
kromosom, yang meliputi jumlah kromosom dan perubahan struktur kromosom.
Ketidakstabilan kromosom ini menyebabkan ketidakseimbangan yang berkaitan dengan
onkogen dan penekan tumor, sehingga terjadi pertumbuhan sel yang tidak normal.

Perbaikan Ketidakcocokan
Sel yang kekurangan DNA mismatch repair akan mengalami akumulasi genomic error
yang menyebabkan ketidakstabilan mikrosatelit tingkat tinggi. Ketidakstabilan mikrosatelit
berbeda dari ketidakstabilan kromosom. Ketidakstabilan mikrosatelit ditandai dengan adanya
setidaknya 30% lokus mikrosatelit yang tidak stabil di 5-10 lokus yang terdiri dari bentangan
mono dan dinukleotida.

Hipermetilasi
Hipermetilasi DNA dapat mengaktifkan atau menghambat ekspresi berbagai gen. Pada
kanker kolorektal, gen yang mengalami hipermetilasi adalah BRAF dan MLH1. Kanker usus
besar dan rektum (95%) Adenokarsinoma (timbul dari lapisan epitel usus). Ini dimulai sebagai
polip jinak tetapi dapat menjadi kanker dengan menyerang dan menghancurkan jaringan
normal dan menyebar ke struktur sekitarnya. Sel kanker dapat melepaskan diri dari tumor
primer dan menyebar ke bagian lain dari tubuh (paling sering hati).
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder termasuk obstruksi lumen usus dengan
obstruksi dan ulserasi dinding usus dan perdarahan. Invasi kanker dapat menyebabkan
perforasi dan abses, serta perkembangan metastasis di jaringan lain. Prognosis relatif baik jika
lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseksi, dan jauh lebih buruk jika telah
terjadi metastasis kelenjar getah bening.

Tingakatan kanker kolorektal dari duke sebagai berikut:

1. Stadium 1: terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon).
2. Stadium 2: menembus dinding otot, belum metastase.
3. Stadium 3: melibatkan kelenjar limfe.
4. Stadium 4: metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain.

Kanker kolorektal merupakan salah satu jenis kanker usus besar yang dapat tumbuh secara
lokal dan bermetastasis secara luas. Ada beberapa cara untuk menyebarkan ini. Penyebaran
lokal biasanya melalui lapisan dinding usus ke serosa dan lemak mesenterika, kemudian sel
kanker menyerang organ sekitarnya. Distribusi dalam lumen usus bahkan lebih luas, yaitu
melalui sistem limfatik dan peredaran darah. Ketika sel-sel ini masuk melalui sistem peredaran
darah, sel-sel kanker ini dapat terus melakukan perjalanan ke hati dan kemudian bermetastasis
ke paru-paru. Penyebaran lainnya bisa ke kelenjar adrenal, ginjal, kulit, tulang dan otak. Sel
kanker dapat menyebar ke daerah peritoneum pada saat reseksi tumor. Hampir semua
karsinoma kolorektal berkembang dari polip adenoma vili, tubular, dan vilotubular. Namun,
dari ketiga tipe adenoma, hanya tipe vili dan tubular yang diperkirakan premaligna. Tipe
tubular memiliki struktur bulat dan bertangkai, sedangkan tipe berbulu halus memiliki struktur
seperti sisir dan tidak bertangkai.Kedua jenis tersebut tumbuh seperti kembang kol di usus
besar, sehingga massa menekan dinding mukosa usus. Tekanan yang terus-menerus ini akan
menimbulkan ulserasi pada lesi, yang pada akhirnya akan berkembang menjadi perdarahan
usus. Selain perdarahan, obstruksi terkadang dapat terjadi. Ini hanya lokasi pertumbuhan
adenoma untuk referensi. Ketika adenoma tumbuh di dalam lumen yang luas (ascending dan
transversal), obstruksi jarang terjadi.Hal ini karena isi (tinja masih memiliki konsentrasi air
yang cukup) masih dapat melewati lumen dengan mengubah bentuk (menyesuaikan dengan
kelengkungan lumen karena penonjolan massa). Namun bila adenoma tumbuh dan berkembang
di daerah dengan lumen yang sempit (descending atau inferior), terjadi obstruksi karena tidak
dapat melewati lumen yang telah didorong oleh massa tersebut.
Namun, terjadinya obstruksi bisa total atau sebagian. Secara genetik, kanker usus besar
adalah penyakit yang kompleks, perubahan genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari
lesi ganas (adenoma) menjadi adenokarsinoma invasif. Serangkaian peristiwa molekuler dan
genetik yang mengarah pada transformasi polip adenomatosa ganas. Proses awal adalah mutasi
APC (adenomatous polyposis gene), yang pertama kali ditemukan pada individu dengan
familial adenomatous polyposis (FAP). Protein yang dikodekan APC penting dalam
mengaktifkan pcogene c-myc dan cyclin D1, yang mendorong perkembangan fenotipe ganas.
PATOFISIOLOGI KANKER VESIKA URINARIA

Kandung kemih merupakan organ berotot dan berongga pada perut bagian bawah yg
berfungsi menyimpan urine. Kanker kandung kemih dimulai waktu sel urothelial yg melapisi
bagian pada kandung kemih bermutasi nir terkendali.

Sel-sel urothelial jua ditemukan pada ginjal & ureter, yaitu saluran berbentuk tabung yg
menghubungkan ginjal ke kandung kemih. Mutasi sel kanker sebenarnya jua bisa terjadi pada
ginjal & ureter, tetapi syarat ini lebih tak jarang terjadi pada kandung kemih.

Sebagian besar kanker ini bisa terdeteksi dalam termin awal, yaitu ketika kanker masih
gampang diobati. Meski begitu, kanker kandung kemih stadium awal jua rentan kambuh balik
sehabis pengobatan berhasil dilakukan. Untuk alasan ini, pengidapnya dianjurkan buat
melakukan tes lanjutan selama bertahun-tahun sehabis perawatan guna meminimalisir risiko
kekambuhan.

Menurut Amiruddin, kanker kandung kemih terjadi lantaran beberapa faktor yaitu, usia
Kanker kandung kemih lebih tak jarang terjadi dalam usia pada atas 50 tahun dan jumlah terjadi
pada pria lebih besar daripada perempuan. Usia bisa mengakibatkan imunitas seorang turun
sebagai akibatnya rentan terpapar sang radikal bebas. Selain itu, lifestyle misalnya norma
merokok dan bahan-bahan karsinogenik misalnya pabrik jaket kulit bagian pewarnaan. Kedua
faktor ini akan masuk ke pada aliran darah daan masuk ke pada ginjal yang selanjutnya
terfiltrasi pada glomerulus. Radikal bebas bergabung menggunakan urin secara terus menerus
dan masuk ke kandung kemih. Selanjutnya terjadi kemacetan radikal bebas, radikal bebas
mengikat elektron DNA dan RNA sel transisional sebagai akibatnya terjadi kerusakan DNA.
Jika terjadi kerusakan DNA maka tubuh akan malukan pemugaran DNA apabila berhasil maka
sel akan normal, apabila tidak maka akan terjadi mutasi dalam genom sel somatik. Mutasi
berdasarkan genom sel somatik terdapat tiga hal yang terjadi. Pertama merupakan pengaktifan
onkogen pendorong pertumbuhan, ke 2 perubahan gen yg mengandalikan pertumbuhan dan
yang terakhir merupakan pengnonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tadi menyebabkan
produksi gen regulatorik hilang. Selanjutnya terjadi replikasi DNA yg berlebih. Akhirnya
terjadi kanker dalam kandung kemih.
Tumor urothelial, lebih dari 90% adalah karsinoma sel transisional. Namun, sampai
dengan 5% kanker kandung kemih berasal dari sel skuamosa dan 2% adalah adenokarsinoma.
Tumor kandung kemih non-urothelial primer sangat jarang dan dapat mencakup karsinoma sel
kecil, carcinosarcoma, limfoma primer dan sarkoma. Kanker kandung kemih sering
digambarkan sebagai mutasi poliklonal dengan potensi tinggi untuk transformasi ganas.
Namun, kanker kandung kemih juga merupakan implantasi dan imigrasi dari kanker lainnya.
Setelah muncul riwayat, 55-60% pasien biasanya dirawat secara konservatif dengan reseksi
transurethral dan cytoscopy berkala. Sebanyak 40-45% pasien biasanya diperlakukan
kistektomi radikal.

Berbagai prekursor telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Intisari dari kanker adalah
perubahan fisiologis struktur anatomi suatu organ atau jaringan. Kanker kandung kemih pada
stadium awal biasanya tidak menimbulkan manifestasi klinis yang berarti. Seiring dengan
pertumbuhan jaringan sekitarnya sehingga menimbulkan beberapa tanda dan gejala (nyeri,
hematuri). Pada kondisi inilah klien akan merasakan pada pola eliminasinya.
PATOFISIOLOGI KANKER PARU

Kanker paru primer dibagi menjadi dua jenis, yaitu kanker paru-paru non-sel kecil dan
kanker paru-paru sel kecil. Masing-masing kanker ini memiliki patofisiologi yang berbeda.

Kanker paru bukan sel kecil

Paparan pekerjaan dan lingkungan merupakan salah satu faktor risiko kanker paru-paru.
Di Amerika Serikat, merokok aktif dikaitkan dengan 90% kasus kanker paru-paru. Paparan zat
lingkungan dan pekerjaan dikaitkan dengan 9-15% kasus kanker paru-paru.

Paparan pekerjaan dan lingkungan merupakan salah satu faktor risiko kanker paru-paru.
Di Amerika Serikat, merokok aktif dikaitkan dengan 90% kasus kanker paru-paru. Paparan zat
lingkungan dan pekerjaan dikaitkan dengan 9-15% kasus kanker paru-paru. Asap rokok
mengandung lebih dari 300 jenis zat berbahaya, 40 di antaranya merupakan karsinogen kuat.
Hidrokarbon poliaromatik dan keton nitrosamin yang diturunkan dari nikotin diketahui
menyebabkan kerusakan DNA dan membentuk adukan DNA pada hewan percobaan. Benzo-
a-pyrine juga menginduksi pensinyalan molekuler seperti Akt dan mutasi p53 dan gen penekan
tumor lainnya.

Faktor risiko lingkungan yang paling umum untuk kanker paru-paru adalah asbes.
Menurut penelitian, paparan radon dikaitkan dengan 10% kanker paru-paru dan polusi udara
luar ruangan dikaitkan dengan 1-2% kasus. Penyakit paru-paru seperti penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK), fibrosis paru dan tuberkulosis berhubungan dengan peningkatan insiden
kanker paru-paru.

Kelainan genetik yang paling sering dikaitkan dengan kanker paru-paru non-sel kecil
adalah keluarga onkogen rasial (sarkoma tikus). Onkogen rasial terdiri dari H-ras, K-ras dan
N-ras. Gen-gen ini mengkode protein pada permukaan bagian dalam membran sel melalui
aktivitas guanosin trifosfat (GTP), yang terkait dengan transduksi sinyal. Penelitian pada
manusia telah menemukan bahwa aktivasi ras berkontribusi terhadap perkembangan tumor
pada orang dengan kanker paru-paru. Mutasi pada gen Ras terjadi terutama pada
adenokarsinoma dan ditemukan pada 30% kasus. Mutasi ini tidak ditemukan pada
adenokarsinoma dari pasien yang tidak merokok. Mutasi k-ras merupakan faktor prognostik
independen. Penelitian saat ini berfokus pada pemberian terapi berdasarkan ada atau tidak
adanya mutasi gen ras.
Kanker paru sel kecil

Kanker paru-paru sel kecil adalah karsinoma neuroendokrin yang agresif, tumbuh cepat,
sangat sensitif terhadap kemoterapi dan radiasi, sering bermetastasis pada stadium awal, dan
sering menyebabkan gejala paraneoplastik.

Kanker paru-paru sel kecil asal peribronkial menyerang submukosa bronkus.Metastasis


luas dapat terjadi pada awal penyakit, dengan perluasan paling umum melibatkan kelenjar
getah bening mediastinum, hati, tulang, kelenjar adrenal, dan otak.

Beberapa hormon peptida diproduksi oleh sel kanker dan menyebabkan sindrom
paraneoplastik, sindrom sekresi ADH yang tidak tepat (SIADH) dan sindrom produksi hormon
adrenokortikotropik ektopik menjadi yang paling umum. Fenomena autoimun juga dapat
menyebabkan penyakit neurologis seperti sindrom Lambert-Eaton.
PATOFISIOLOGI BIBIR SUMBING

Patofisiologi sumbing atau celah orofasial, baik di bibir (bibir sumbing atau
labiopalatoschisis), di langit-langit mulut (langit-langit mulut sumbing atau palateoschisis),
atau kombinasi keduanya (bibir sumbing dan langit-langit mulut atau labiopalatoschisis),
berkaitan erat dengan prosesnya pembentukan struktur wajah embriologis. Kegagalan tulang
rahang atas untuk terhubung ke langit-langit dan tulang hidung adalah dasar dari bibir sumbing.

Bila proses di atas terganggu, baik oleh faktor genetik maupun faktor eksternal, akan
terjadi kondisi sumbing. Bibir sumbing dan alveoli terbentuk antara minggu ke-4 dan ke-6,
celah langit-langit antara minggu ke-6 dan ke-12. Luasnya breksi yang terbentuk bergantung
pada waktu, gravitasi, dan jumlah sesar yang terjadi. Periode kritis untuk perubahan ini adalah
sebelum pembentukan palatum primer dan tengah bibir, karena pada saat ini prosesus nasalis
lateral mengalami pertumbuhan mitosis yang cepat.
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

A. PENGERTIAN
Cacat jantung bawaan (PJB) adalah kelainan atau kelainan pada struktur dan fungsi
jantung yang dibawa sejak lahir. Masalah paling umum dengan PJK adalah
pertumbuhan anak yang terhambat. Kondisi ini terjadi karena perkembangan abnormal
dari jantung janin. Cacat jantung bawaan dapat terjadi karena dua faktor, faktor genetik
dan faktor lingkungan. Cacat jantung bawaan dibagi menjadi penyakit jantung sianotik
dan sianotik.Cacat jantung sianotik kongenital ditandai dengan hubungan shunt yang
menyebabkan darah mengalir dari ventrikel kanan ke ventrikel kiri. Sebaliknya,
penyakit jantung bawaan asianotik ditandai dengan hubungan shunt yang menyebabkan
darah mengalir dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan. Prinsip pengobatan kelainan
jantung bawaan adalah pengobatan korektif. Itu bisa diperbaiki dengan operasi. Oleh
karena itu, pasien dengan kelainan jantung bawaan harus dirujuk ke ahli jantung atau
ahli bedah jantung untuk perawatan korektif atau paliatif. Penyakit jantung bawaan
(PJB), atau cacat jantung bawaan, adalah kelainan struktural jantung dan pembuluh
darah yang hadir sejak lahir dan merupakan penyebab utama kematian dari semua
penyakit bawaan. Pada bentuk ringan, seringkali tidak ada gejala dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan klinis. Sedangkan pada penyakit arteri koroner berat,
gejalanya terlihat sejak lahir dan memerlukan tindakan segera.

B. FAKTOR RISIKO
Pada prinsipnya, penyebab pasti dari kelainan jantung bawaan tidak dapat
ditentukan. Namun, ada sejumlah penyakit yang dapat memperburuk cacat jantung
bawaan, yang terutama terjadi pada wanita hamil:

1. Genetik atau diwariskan dari keluarga.


2. Memiliki rubella atau campak jerman selama kehamilan.
3. Memiliki diabetes tipe 1 atau tipe 2 selama kehamilan.
4. Penggunaan obat-obatan tertentu.
5. Mengonsumsi alkohol saat hamil.
6. Seorang ibu yang merokok saat hamil.
7. Mengalami infeksi virus, seperti rubella pada trimester pertama kehamilan.
8. Sering terpapar pelarut organik yang umumnya ditemukan dalam produk cat, cat
kuku, atau lem.
C. KLASIFIKASI PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
Berikut beberapa jenis kelainan jantung bawaan :

1. Sekat jantung berlubang atau cacat septal.


2. Cacat septum antrium.
3. Cacat septum ventrikel.
4. Cacat saluran atrioventrikular.
5. Cacat katup.
6. Tetralogi fallot
7. Lubang di aorta tidak tertutup sempurna.
8. Truncus arteriosus.
9. Transposisi arteri besar.
10. Cacat ventrikel tunggal.

D. GEJALA
Cacat jantung bawaan dapat dideteksi di dalam rahim atau setelah lahir. Salah satu
gejala kelainan jantung bawaan pada janin adalah suara detak jantung yang tidak teratur
(aritmia). Kondisi ini dapat dideteksi selama tes kehamilan rutin menggunakan USG.
Bahkan setelah pemindaian ultrasound rutin, gejala cacat jantung bawaan mungkin
tidak muncul sampai setelah bayi lahir.
Bayi baru lahir dengan kelainan jantung umumnya mengalami gejala berikut:
1. Tampak semburat kebiruan atau kehitaman pada bibir, kulit, atau jari-jari
(sianosis).
2. Tampak kelelahan dan kesulitan bernapas, terutama ketika disusui.
3. Memiliki berat badan rendah.
4. Pertumbuhan terhambat.
5. Terjadi pembengkakan pada tungkai, perut, atau area sekitar mata.
6. Mengalami infeksi paru-paru yang berulang.
7. Sering keringat dingin.
8. Detak jantung tidak beraturan (aritmia).
9. Pusing dan sering merasa kelelahan, terutama saat berolahraga.
10. Kesulitan bernapas atau napas terengah-engah.
E. PENCEGAHAN
Cacat jantung bawaan tidak dapat sepenuhnya dicegah. Namun, ibu hamil dapat
mengurangi risiko bayinya menderita penyakit ini dengan melakukan langkah-langkah
berikut:

1. Melakukan vaksinasi rubella dan flu, jika belum melakukannya.


2. Rajin mengonsumsi asam folat selama trimester pertama kehamilan.
3. Memastikan gula darah terkontrol sebelum dan selama kehamilan, jika menderita
diabetes.
4. Melakukan kontrol kehamilan secara rutin dan selalu berkonsultasi dulu dengan
dokter sebelum mengonsumsi obat, termasuk suplemen dan obat herbal.
5. Menghindari paparan larutan organik secara berlebihan, misalnya pelarut yang
digunakan pada produk pengencer cat atau deterjen.
6. Melakukan skrining genetik jika menderita atau memiliki anggota keluarga yang
menderita penyakit jantung bawaan.

F. PATOFISIOLOGI
Cacat jantung bawaan berkaitan dengan proses perkembangan jantung sejak masa
embrio. Cacat jantung sianotik kongenital terjadi ketika ada pirau untuk memungkinkan
darah mengalir dari ventrikel kanan ke kiri. Sebaliknya, pada penyakit jantung bawaan
asianotik, pirau berjalan dari kiri ke kanan. Perkembangan embrionik kardiovaskular
dimulai dengan migrasi sel progenitor jantung ke dalam epiblas. Sel-sel progenitor ini
berkembang menjadi mioblas jantung. Dalam lapisan splanknik yang sama dari
mesoderm terdapat "pulau darah" yang mengalami vaskulogenesis untuk membentuk
struktur vaskular. Penggabungan pulau-pulau darah membentuk area yang dikenal
sebagai bidang kardiogenik. Bidang kardiogenik awalnya berbentuk tapal kuda dan
dikelilingi oleh mioblas jantung, kemudian berkembang menjadi ventrikel primitif.
Bidang kardiogenik kemudian mengalami rotasi sefalo-kaudal, membentuk tabung
jantung primitif yang menyambung dengan struktur vaskular.
CACAT TABUNG SARAF ATAU SPINA BIFIDA

A. PENGERTIAN
Spina bifida adalah cacat lahir yang diakibatkan oleh terganggunya pembentukan
tabung saraf selama dalam kandungan bayi. Ini menyebabkan celah muncul di tulang
belakang. Spina bifida adalah bentuk cacat tabung saraf, juga dikenal sebagai cacat
tabung saraf. Tabung saraf (tabung) adalah struktur embrio yang berkembang menjadi
otak dan sumsum tulang belakang dan jaringan sekitarnya. Tabung saraf biasanya
terbentuk pada awal kehamilan dan menutup pada hari ke 28 setelah pembuahan.Cacat
tabung saraf termasuk kelainan pada janin yang paling sering terjadi setelah cacat
jantung dan penyakit pada sistem genitourinari. Spina bifida terjadi ketika bagian dari
tabung saraf gagal berkembang dengan baik atau menutup. Spina bifida disebabkan
oleh penyebab multifaktorial, yaitu faktor genetik yang berinteraksi dengan defisiensi
asam folat selama kehamilan. Kondisi ini menyebabkan penyumbatan pada saraf tulang
belakang dan sumsum tulang belakang. Tingkat keparahan spina bifida berkisar dari
ringan hingga berat, tergantung pada jenis kecacatan, ukuran, lokasi, dan
komplikasi.Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala, sementara yang
lain mengalami kelumpuhan di daerah yang dipersarafi oleh sumsum tulang belakang.

B. FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor risiko meliputi:

1. Tidak mendapatkan asupan asam folat yang cukup selama hamil.


2. Memiliki keluarga dengan riwayat spina bifida.
3. Mengonsumsi obat tertentu selama kehamilan.
4. Ibu hamil yang memiliki gula darah tak terkontrol (diabetes).
5. Berat badan berlebih sejak sebelum hamil.
6. Memiliki suhu badan yang meningkat di awal kehamilan.

C. KLASIFIKASI PENYAKIT
Berikut jenis-jenis dari spina bifida:
1. Spina bifida okulta.
2. Spina bifida meningokel.
3. Spina bifida mielomeningokel.
D. GEJALA
Gejala dari spina bifida sangat berfariasi tergantung dari jenisnya, yaitu

1. Spina Bifida Okulta


a. Muncul jambul atau sepetak rambut dibagian punggung.
b. Lesung pipit atau tanda lahir dibagian tubuh yang terdampak.
2. Spina Bifida Meningokel
Munculnya jaringan berbentuk kantung yang berisi cairan dibagian punggung.
3. Spina Bifida Mielomeningokel
a. Pembesaran di kepala akibat penumpukan cairan di otak.
b. Perubahan kognitif dan perilaku.
c. Tenaga tubuh yang menurun.
d. Tubuh menjadi lebih kaku.
e. Kesulitan buang air kecil atau besar.
f. Kelainan system saraf kranial.
g. Sakit punggung.
h. Tubuh lesu.
i. Nafsu makan menurun.
j. Perkembangan tubuh yang melambat.
k. Gerakan tubuh yang sulit diatur.

E. PENCEGAHAN
Berikut hal-hal yang dapat mencegah atau mengurangi resiko terjangkit penyakit
spina bifida, yaitu

1. Minum suplemen asam folat.


2. Konsumsi makanan yang kaya zat gizi.
3. Rutin memeriksa kondisi kesehatan ke dokter selama hamil sesuai jadwal.
F. PATOFISIOLOGI
Spina bifida dikaitkan dengan kegagalan lempeng tuba untuk menyatu dan menutup.
Tabung saraf terbentuk sejak hari ke-22 setelah pembuahan, yang terdiri dari dua tahap
yaitu tahap neurulasi primer dan sekunder. Pada neurulasi primer, tabung saraf menutup
secara dua arah dari otak belakang ke tulang belakang. Pada hari ke 24 proses neurulasi
primer berakhir dengan penutupan sampai ke neuropore rostral dan pada hari ke 26
bukaan atap menutup hingga sakrum superior, khususnya di bagian caudal bukaan atap.
Neurulasi sekunder, juga dikenal sebagai tahap penyaluran, terjadi setelah tahap primer
selesai.Pada tahap ini, sel mesenkim pluripoten blastema berubah menjadi sel epitel
padat berbentuk batang yang mengalami kanalisasi dorsal. Proses ini membentuk
tabung saraf sekunder di sakrum bawah dan tulang ekor, usus belakang, saluran
genitourinari bawah, dan filum terminal.
BAGIAN TUBUH TIDAK NORMAL (KAKI PENGKOR)

A. PENGERTIAN
Clubfoot adalah istilah umum Congenintal Talipes Equino Varus (CTEV) yang
digunakan untuk menggambarkan deformasi umum di mana kaki berubah dari posisi
normalnya. CTEV merupakan fiksasi dari kaki pada posisi varus, supinasi, dan adduksi.
Clubfoot berasal dari kata Latin "talipes" untuk talus, "pes" untuk kaki, dan equinovarus
untuk fleksi dan inversi.
CTEV atau kaki pengkor adalah suatu kondisi kelainan bawaan pergelangan kaki
yang memungkinkan terjadinya perubahan struktur muskuloskeletal jika terdapat gejala
hiperekstensi pergelangan kaki dan tidak segera dikoreksi.

B. ETIOLOGI
Etiologi CTEV belum diketahui secara pasti, namun banyak teori mengenai etiologi
CTEV, termasuk faktor mekanis pada rahim, bahwa tekanan eksternal pada rahim
membuat kaki bayi tetap pada posisi kaki pengkor. Selain itu, meskipun CTEV
disebabkan oleh defek neuromuskular, banyak penelitian menunjukkan bahwa tidak
ditemukan kelainan histologis dan elektromiografi.
Dalam beberapa kasus, kaki pengkor terjadi sebagai bagian dari sindrom yang
mencakup banyak cacat lahir. Misalnya, anak-anak dengan spina bifida (tulang
belakang terbuka) terkadang memiliki kaki pengkor. Hal ini disebabkan oleh rusaknya
saraf tulang belakang yang terjadi di kaki. Dalam kasus lain, kaki normal saat lahir bisa
bengkok akibat kerusakan otot atau saraf.

C. FAKTOR RISIKO
Risiko dari CTEV atau kaki pengkor sebagai berikut.
1. Faktor Mekanik dalam Kandungan
Tekanan dari rahim. Baik tekanan eksternal (trauma) atau tekanan lain (kembar,
oligohidramnion).
2. Defek Neuromuskular
Terjadinya fibrosis dan pemendekan otot tibialis posterior terutama otot betis
seperti otot tibialis posterior.
3. Cacat pada Plasma Nutfah Primer
Gangguan herediter, sekitar 10% di antaranya dimulai sebelum minggu ke-7.
4. Heredity.
5. Perpaduan antara hereditas dan lingkungan.

D. PATOFISIOLOGI
Pada talus, kepala menonjol ke dorsolateral dan leher pendek. Naviculare bergeser
ke kepala medial talus, dan pergeseran dari subluksasi ke dislokasi ini hampir
kompleks. Pergeseran medial os naviculare menyebabkan kuboid dan kalkaneus
bergerak ke medial, dengan perubahan adaptif pada sisi lateral kaki (kalkaneus, kuboid,
tulang metatarsal kelima).

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis diikuti oleh riwayat keluarga kaki pengkor atau gangguan
neuromuskular dan pemeriksaan menyeluruh untuk mengidentifikasi kelainan tersebut.
Tes dilakukan dalam posisi tengkurap dan terlentang dengan telapak kaki terbuka
untuk menilai rotasi internal dan varus. Jika anak sudah bisa berdiri, pastikan kaki
dalam posisi plantigrade dan tumit ditopang terlepas dari apakah tumit dalam posisi
varus, valgus, atau netral.
Malformasi serupa ditemukan pada meningokel dan arthrogryposis. Karena itu,
selalu cari gejala yang berhubungan dengan kondisi tersebut. Kaki drop dan kaki
supinasi (varus) dan adduksi (biasanya kaki bayi dapat membalik dan menyentuh
bagian anterior tibia). Fleksi punggung lebih dari 90° tidak mungkin.
KELAINAN BENTUK DAN LETAK TULANG PANGGUL (DISLOKASI PANGGUL
KONGENITAL)

A. PENGERTIAN
Displasia panggul pada awalnya disebut displasia panggul kongenital (CDH /
Coengenital Dysplasia of Hip) dan diubah menjadi DDH pada tahun 1992 oleh Asosiasi
Ortopedi Anak Amerika Utara.
Hip dysplasia atau DDH (developmental hip dysplasia) adalah perkembangan
abnormal dari panggul berupa displasia panggul, subluksasi, dan dislokasi panggul
pada anak-anak.
Displasia perkembangan sendi panggul (DDH) adalah suatu kondisi di mana kepala
femoralis tidak sejajar dalam acetabulum. DDH juga dapat secara sederhana
didefinisikan sebagai pertumbuhan abnormal sendi panggul. Perkembangan abnormal
sendi panggul termasuk tulang seperti acetabulum dan femur proksimal, serta labrum,
kapsul, dan jaringan lunak lainnya. Kondisi ini dapat terjadi kapan saja dari konsepsi
hingga pematangan tulang. Dengan kata lain, DDH adalah dislokasi spontan sendi
panggul yang terjadi sebelum, selama, atau segera setelah melahirkan.

B. ETIOLOGI
Tidak seperti cacat lahir lainnya, keterlambatan perkembangan panggul adalah hasil
akhir dari kombinasi efek faktor genetik dan lingkungan. Penyebab anomali ini masih
kontroversial karena data yang tidak memadai. Situasi ini terkait dengan beberapa
faktor. Faktor-faktor ini termasuk ras yang sebagian besar ditemukan di penduduk asli
Amerika dan jarang ditemukan di Cina dan kulit hitam. Faktor genetik dengan data
yang menunjukkan kelainan ini lebih sering terjadi pada bayi dengan riwayat keluarga
kelainan perkembangan panggul. Faktor lain termasuk posisi janin dalam kandungan
dan riwayat kelahiran sungsang. Gangguan muskuloskeletal lainnya, seperti adduksi
metatarsal dan tortikolis, juga terkait dengan keterlambatan perkembangan pinggul.
Oligohidramnion juga dikaitkan dengan kelainan ini. Panggul kiri lebih sering terkena,
mungkin karena lokasinya di dalam rahim, yang menghadap sakrum ibu.
C. FAKTOR RISIKO
Insiden DDH lebih tinggi dalam budaya di mana lampin digunakan untuk
memaksimalkan ekstensi ekstremitas bawah dan adduksi. Secara kasar, ada penurunan
prevalensi displasia. Pengalaman serupa tercatat di Jepang dan Turki. Mengurangi
risiko DDH dengan menjaga kaki dalam fleksi dan abduksi secara alami tanpa
membatasi gerakan pinggul.
Faktor risiko paling umum untuk infertilitas wanita adalah kelemahan ligamen, yang
sering disebabkan oleh hormon relaksin ibu. Sebagian besar (60%) kasus terjadi di sisi
kiri, dan 20% di sisi kanan serta 20% bilateral. Sisi kiri lebih sering terjadi, mungkin
karena posisi anterior oksipital kiri sebagian besar bayi baru lahir bukanlah posisi
sungsang, dan bokong bayi diterima oleh tulang belakang ibu, dan ruang abduksi
terbatas. Posisi bokong mungkin merupakan faktor risiko yang penting.

D. PATOFISIOLOGI
Sendi panggul berkembang dengan baik di dalam rahim dalam posisi fleksi tetap.
Saat lahir, 1 dari 80 anak merasakan kelemahan pada panggul, kemungkinan karena
faktor genetik. Jika panggul diregangkan secara pasif saat lahir atau dalam waktu
seminggu, ini adalah tanda kelemahan panggul dan kepala femoralis mungkin terkilir.
Karena itu, menggantung bayi yang baru lahir di pergelangan kaki tidak lagi dapat
diterima. Dislokasi pinggul saat lahir bersifat sementara dan secara alami stabil dalam
2 bulan pertama.
Pinggul dan subluksasi persisten adalah perubahan sekunder di dalam dan di sekitar
pinggul, perkembangan abnormal dari asetabulum, peningkatan anteversi leher femur,
pembesaran kapsul, kontraksi otot yang melewati pinggul terutama otot iliopsoas dan
adduksi. Perubahan sekunder pada panggul membuat sulit untuk mengembalikan
panggul ke keadaan normal. Oleh karena itu, sangat penting untuk dapat mendiagnosis
secara dini untuk menghindari perubahan panggul sekunder. Panggul bayi baru lahir
tidak diregangkan secara pasif, mempertahankan postur tubuh yang panjang selama
bulan pertama persalinan dapat mencegah panggul dan subluksasi.
E. MANIFESTASI KLINIS
Anak perempuan enam kali lebih berisiko daripada anak laki-laki. Sepertiga kasus
melibatkan kedua sendi panggul. Satu atau lebih tanda positif mungkin ada pada bayi
baru lahir dan periode tidak berjalan hingga usia 12 bulan. Asimetri fisik diamati pada
ROM (hanya 10 derajat dianggap penting, terutama panggul terbatas), pantat asimetris
kerut (lebih tinggi di sisi yang terkena), lipatan kulit ekstra besar di paha, atau
inkonsistensi panjang kaki, menjamin evaluasi medis.
Pada anak-anak yang berjalan, displasia bilateral yang tidak dikoreksi dapat
menyebabkan gaya berjalan khas yang dikenal sebagai gaya berjalan Trendelenburg
terkompensasi. Ketika anak mengayunkan tubuhnya dari sisi ke sisi untuk melengkapi
otot gluteus medius yang tidak efektif, anak tersebut memiliki gaya berjalan yang tidak
stabil. Displasia unilateral biasanya ditandai dengan ketimpangan dengan tanda
Trendelenburg positif selama pembentukan tahap gaya berjalan yang terkena. Gerakan
posterior sendi panggul menyebabkan kontraktur fleksi pada sisi yang terkena,
berkontribusi pada lordosis yang nyata dari tulang belakang lumbar.
KELAINAN SALURAN CERNA ATAU PENYAKIT HIRSHSPRUNG

A. PENGERTIAN
Penyakit Hisprung atau Hirschsprung Diease adalah suatu kondisi langka yang
menyebabkan feses menjadi terjebak di dalam usus besar. Bayi baru lahir yang
memiliki Megacolon congenital, nama lain penyakit Hirschsprung, akan mengalami
kesulitan buang air besar, tinja banyak tertahan di dalam usus besar sehingga terlihat
perutnya membuncit.
Penyakit hirschsprung diakibatkan oleh kegagalan migrasi kraniokaudal precursor
sel ganglion di sepanjang saluran cerna selama minggu ke – 5 hingga ke – 12 masa
gestasi. Investasi parasimpatis yang tidak lengkap pada segmen aganglionik
menyebabkan peristaltic abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional.

B. PENYEBAB
Belum diketahui mengapa saraf usus besar pada penyakit Hirschsprung tidak
terbentuk sempurna. Namun, kondisi ini di yakini terkait dengan beberapa faktor antara
lain:
1. Berjenis kelamin laki – laki.
2. Memiliki kelurga yang menderita penyakit Hirschsprung.
3. Menderita penyakit bawaan lain yang diturunkan seperti Down syndrome atau
penyakit jantung bawaan

C. GEJALA
Gejala penyakit Hirschsprung tergantung pada tingkat keparahannya. Umumnya,
gejala sudah dapat dideteksi sejak bayi lahir, yaitu bayi tidak buang air besar (BAB)
dalam 48 jam setelah lahir.
Selain bayi tidak buang air besar, gejala lain penyakit Hirschsprung pada bayi baru
lahir sebagai berikut.
1. Muntah berwarna coklat atau hijau.
2. Perut membesar.
3. Rewel.
4. Demam.
5. Diare cair atau berbau busuk.
Pada penyakit Hirschsprung yang ringan, gejala baru muncul saat anak lebih besar.
Gejalanya antara lain:
1. Mudah lelah
2. Perut kembung dan terlihat buncit
3. Sembelit yang terjadi jangka panjang (kronis)
4. Hilang nafsu makan
5. Berat badan tidak bertambah
6. Gangguan tumbuh kembang

D. PENGOBATAN
Pengobatan penyakit Hirschsprung adalah prosedur pembedahan, yang sifatnya
disesuaikan dengan kondisi anak. Metode tersebut adalah
1. Prosedur penarikan usus (Pull – throught surgery)
Akan dibuangnya bagian dalam dari usus besar yang tidak bersaraf, kemudian
menarik dan menyambungkan usus yang sehat langsung ke dubur atau anus.
2. Ostomi
Ostomi dilakukan pada anak yang kondisinya tidak stabil atau lahir premature.
Pada prosedur ini, akan dipotong bagian usus yang bermasalah, kemudian
mengarahkan usus yang sehat ke lubang (stoma) yang dibuat di perut. Lubang ini
untuk pembuangan feses. Pada awal pemuihan, anak akan merasa sakit saat buang
air bersih dan juga mengalami sembelit.

E. KOMPLIKASI
Penyakit Hirschsprung yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi, seperti
1. Kekurangan gizi dan dehidrasi.
2. Infeksi pada usus (enterocolitis), yang dapat mengancam nyawa.
3. Usus pecah.
Setelah menjalani operasi, anak juga berisiko mengalami buang air besar yang tak
terkontrol (inkotinensia tinja).

F. PENCEGAHAN
Penyakit Hirschsprung sulit dicegah, karena penyebabnya belum diketahui secara
pasti. Namun, jika memiliki kelurga yang menderita kondisi ini, pasien disarankan
untuk berkonsultasi ke dokter sebelum merencanakan kehamilan.
G. PATOFISIOLOGI
Dasar patofisiologi Hirschsprung disease adalah keadaan aganglionik pada
intensital, terutama bagian distal. Kondisi aganglionik usus mengakibatkan
ketidakmampuan untuk rileks, yang menyebabkan perubahan refleks penghambatan
rektoanal yang biasanya terjadi selama buang air besar. Mekanisme disfungsi motilitas
usus pada penyakit Hirschsprung masih belum diketahui.
GANGGUAN FUNGSI OTAK DAN SARAF ATAU SINDROM DOWN

A. PENGERTIAN
Down syndrome adalah kelainan bawaan yang ditandai dengan jumlah kromosom
yang tidak normal, tepatnya 3 kromosom 21, sehingga jumlah total kromosom
mencapai 47 dan merupakan cacat paling umum pada anak-anak di dunia. Pada manusia
normal, jumlah kromosom sel mengandung 23 pasang kromosom. Kelainan kromosom
ini menyebabkan keterlambatan perkembangan pada anak-anak dan dapat
menyebabkan ciri fisik khas sindrom Down.

B. FAKTOR RISIKO
1. Usia
Semakin tua usia ibu saat hamil, semakin tinggi pula risiko memiliki anak
down syndrome.
2. Genetik
Sekitar 4% kasus down syndrome berasal dari hasil genetik warisan salah satu
orang tua.
3. Riwayat Melahirkan Bayi
Ibu hamil yang sebelumnya pernah mengandung bayi dengan down syndrome,
memiliki peluang lebih besar mengandung kembali bayi dengan down syndrome.
4. Kurang Asupan Asam Folat
Kekurangan asam folat pada ibu hamil dapat mengganggu pembentukan
kromosom.
5. Paparan Kimia dan Zat Asing
Telalu banyak paparan kimia dan zat asing yang diterima ibu hamil dapat
meningkatkan resiko bayi terkena down syndrome

C. PENYEBAB
Down syndrome terjadi ketika ada satu salinan ekstra dari kromosom 21.
Sindrom down terbagi dalam 3 jenis, yaitu
1. Trisomi 21
Trisomi 21 merupakan jenis Down syndrome yang paling sering terjadi. Pada
jenis ini, setiap sel tubuh memiliki salinan ekstra kromosom 21.
2. Mosaik
Pada jenis ini, salinan ekstra dari kromosom 21 hanya menempel di beberapa
sel sehingga ciri – ciri Down syndrome pada penderita jenis mosaik tidak terlalu
terlihat jelas seperti pada trisomi 21.
3. Translokasi
Pada jenis ini, salinan ekstra dari kromosom 21 menempel di kromosom lain.
Sindrom down jenis translokasi dapat diturunkan dari orang tua ke anak.

D. GEJALA
Down syndrome dapat menimbulkan gejala berupa kelainan fisik, serta cacat
perkembangan dan intelektual.
Kelainan Fisik
Kelainan fisik pada down syndrome bersifat khas dan dapat terlihat saat lahir, antara
lain:
1. Ukuran kepala lebih kecil.
2. Bagian belakang kepala datar.
3. Hidung dan mulut kecil.
4. Sudut mata luar naik ke atas.
5. Bintik – bintik putih di bagian hitam (iris) mata.
6. Bentuk telinga kecil atau tidak normal.
7. Leher pendek.
8. Kulit di belakang leher kendur.
9. Telapak tangan lebar dan hanya memiliki satu garis tangan.
10. Tungkai kecil dan jari – jari pendek.
11. Otot lemah dan sangat lentur.
Anak-anak dengan sindrom Down cenderung tumbuh lebih lambat daripada teman
sebayanya. Meski demikian, postur tubuhnya tergolong proporsional.
Gangguan Perkembangan dan Kecerdasan
Selain mempengaruhi fisik, down syndrome juga menghambat perkembangan anak
dalam beragam aspek, yaitu
1. Membaca.
2. Berhitung.
3. Berbicara atau berbahasa.
4. Berjalan atau bergerak.
5. Mengingat, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

E. PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN


Pengobatan down syndrome bertujuan untuk mengatasi kondisi yang menyertai dan
membantu penderita dalam beraktivitas. Metode pengobatannya dapat berupa terapi
atau pemberian obat – obatan.
Sindrom down tidak dapat dicegah. Namun, konseling genetic dapat memberitahu
seberapa besar kemungkinan memiliki anak dengan kondisi ini.
Pemeriksaan genetik disarankan bagi pasien yang memiliki kelurga dengan down
syndrome atau merencanakan kehamilan berikutnya setelah memiliki anak yang
menderita kelainan.

F. KOMPLIKASI
Down syndrome dapat memicu beragam komplikasi, yang diantaranya dapat makin
terlihat jelas seiring bertambahnya usia. Komplikasi tersebut antara lain:
1. Sleep Apnea
Kelainan bentuk tulang dan jaringan pada penderita down syndrome bisa
menyumbat saluran napas yang berujung pada sleep apnea.
2. Gangguan Pencernaan
Sebagai anak dengan sindrom down menderita gangguan pencernaan, seperti
penyakit celiac.
3. Gangguan Pendengaran
Sebagian besar anak dengan down syndrome berisiko mengalami tuli atau
hilang pendengaran. Kondisi ini bisa terjadi akibat kelainan bentuk tulang di
bagian dalam telinga atau infeksi telinga.
4. Gangguan Penglihatan
Lebih dari setengah penderita down syndrome mengalami gangguan
penglihatan, seperti katarak, rabun jauh, rabut dekat atau mata juling.
5. Hipotiroidisme
Penderita sindrom down dapat terkena hipotiroidisme, atau kekurangan
hormone tiroid. Kondisi ini dapat terjadi sejak lahir atau berkembang seiring
bertambahnya usia.
6. Penyakit Alzheimer
Saat mencapai usia lanjut, penderita down syndrome cenderung terserang
penyakit Alzheimer.
7. Gangguan Mental
Anak dengan down syndrome berisiko mengalami gangguan mental, seperti
gangguan obsesif – komplusif, autism, depresi dan gangguan kecemasan.
8. Kelainan Jantung
Sekitar setengah dari anak dengan down syndrome diketahui terlahir dengan
penyakit jantung bawaan sehingga harus menjalani operasi.
9. Gangguan Lain
Kondisi lain juga berisiko terjadi pada penderita sindrom down antara lain
leukemia, obesitas, demensia, penyakit autoimun dan epilepsy.

G. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi down syndrome dimulai dengan adanya kromosom ekstra pada
kromosom autosomal 21. Kromosom ekstra dapat timbul ketika kromosom gagal
berpisah selama proses gametogenesis (nondisjunction), karena translokasi, atau
mosaikisme. Dalam kasus yang sangat jarang, trisomi 21 dapat terjadi sebagai akibat
dari isokromosom, suatu kondisi di mana ada duplikasi satu lengan kromosom 21
bersama dengan penghapusan lengan kromosom itu. Ekstra kromosom pada kromosom
21 menyebabkan kelainan ekspresi gen dengan manifestasi yang berbeda pada sistem
organ yang berbeda dan menyebabkan variasi fenotipik pada pasien down syndrome.
GANGGUAN METABOLISME HIPOTIROID FENILKETONURIA

A. PENGERTIAN
Fenilketonuria merupakan gangguan metabolisme langka yang menghipnotis cara
tubuh memecah protein yaitu fenilalanin yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan
dan retardasi mental. Fenilalanin merupakan asam amino esensial yang masih ada
dalam seluruh protein kuliner misalnya daging, telur, ikan, susu, keju serta pada jumlah
yang sedikit dalam sereal, sayuran dan buah. Fenilalanin sangat dibutuhkan tubuh kita
untuk menciptakan protein tubuh. Di dalam saluran pencernaan, protein kuliner dicerna
sebagai asam amino sebelum diserap. Asam amino ini dibutuhkan buat menciptakan
protein tubuh atau diubah sebagai asam amino jenis lain. Fenilalanin selain adalah
bahan standar protein tubuh pula diubah sebagai satu asam amino non esensial yang
dianggap tirosin, yang nantinya pula akan diolah sebagai protein tubuh. Proses
perubahan menurut fenilalanin sebagai tirosin memerlukan enzim yang dianggap enzim
fenilalanin hidroxilase.

B. FAKTOR RISIKO FENILKETONURIA


Beberapa faktor berikut mampu mempertinggi risiko seorang bayi mengidap
fenilketonuria, yaitu

1. Memiliki kedua orang tua dengan kecacatan gen yang menyebabkan


fenilketonuria.
2. Menjadi keturunan etnis tertentu. Cacat gen yang mengakibatkan fenilketonuria
bervariasi tergantung sekumpulan etnis. Fenilketonuria lebih sering terjadi dalam
sekumpulan etnis lain luar Afrika-Amerika.

C. PENYEBAB FENILKETONURIA
Mutasi genetik ringan, sedang, atau berat merupakan penyebab utama
fenilketonuria.Mutasi ini berarti gen fenilalanin hidroksilase dalam tubuh penderita
tidak menghasilkan enzim pendegradasi fenilalanin. Sayangnya, penyebab di balik
mutasi genetik ini belum diketahui secara pasti. Para ahli percaya bahwa kondisi ini
juga erat kaitannya dengan faktor keturunan. Jika Anda memiliki ibu dan ayah yang
dikaruniai fenilketonuria, anak tersebut memiliki kemungkinan sekitar 25 persen untuk
mengembangkan kondisi tersebut.
D. GEJALA FENILKETONURIA
Fenilketonuria biasanya tidak menimbulkan gejala pada bayi baru lahir. Jika kondisi
ini tidak dikenali dan diobati saat lahir, gejalanya mungkin tidak muncul hingga
beberapa bulan kemudian.
Tanda-tanda fenilketonuria yang tidak ditangani pada umumnya meliputi:

1. Kelainan intelektual atau keterbelakangan mental.

2. Gangguan tingkah laku,emosional serta sosial. Misalnya sering uring uringan.

3. Pertumbuhan yang lamban.

4. Epilepsi.

5. Tremor.

6. Sering muntah.

7. Gangguan kulit, Misalnya ruam.

8. Bau apek pada nafas, urine, kulit atau rambut anak.

Jika diobati dini, fenilketonuria jarang muncul dengan gejala di kemudian hari.
Pemeriksaan dini untuk bayi sangat penting. Tidak hanya untuk skrining potensi
fenilketonuria, tetapi untuk berbagai kondisi kesehatan serius lainnya.

E. KOMPLIKASI FENILKETONURIA
Berikut beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat fenilketonuria:

1. Kerusakan permanen pada otak yang dapat menyebabkan ketidakmampuan belajar.

2. Gangguan saraf, seperti tremor atau kejang.

3. Ukuran kepala kecil sehingga terlihat tidak wajar.

4. Cacat lahir atau keguguran.


F. PENGOBATAN FENILKETONURIA
Berikut beberapa pengobatan yang perlu dilakukan pengidap untuk mengatasi
fenilketonuria:

1. Mengonsumsi suplemen asam amino.Langkah ini berguna untuk mencukupi gizi


yang dibutuhkan tubuh dalam pertumbuhan.
2. Menjaga agar kadar fenilalanin dalam tubuh tidak berlebihan.Sebelum mengubah
pola makan,setiap pengidap dianjurkan untuk selalu mendiskusikannya dengan
dokter.
3. Pemeriksaan kondisi kesehatan secara rutin juga dibutuhkan untuk menaggulangi
kemungkinan adanya komplikasi.

G. PENCEGAHAN FENILKETONURIA
1. Melakukan uji enzim.

Pemeriksaan ini merupakan tes darah yang dapat menentukan apakah seseorang
membawa gen cacat yang meyebabkan fenilketonuria atau tidak.

2. Ikuti diet rendah fenilalanin.

Wanita dengan fenilketonuria dapat mencegah cacat lahir dengan mnerapkan


pola makan yang endah protein.

H. PATOFISIOLOGI FENILKETONURIA
Kondisi genetis saat gen PAH yang bertanggung jawab menghasilkan fenilalanin
hidroksilase tidak normal. Saat lahir, bayi memiliki sistem saraf yang normal, lalu dapat
mengidap fenilketonuria stelah terpapar fenilalanin dalam waktu yang lama karena bayi
tidak memiliki sarana untuk melindungi sistem saraf. Fenilketonuria onset dewasa
jarang terjadi karena mereka telah mengembangkan paraparesis spastik progresif.
GANGGUAN PADA INDRA PENGLIHATAN (BUTA)

A. PENGERTIAN
Kebutaan adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat melihat apapun,
termasuk cahaya. Kebutaan dibagi menjadi kebutaan total dan kebutaan sebagian atau
sebagian. Kebutaan sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat melihat objek dengan
jelas atau kabur. Sedangkan kebutaan total menyebabkan korban tidak bisa melihat apa-
apa, termasuk cahaya. Diperkirakan lebih dari dua juta orang di seluruh dunia
mengalami kebutaan atau sebagian terlihat.Sebagian besar kasus kebutaan terjadi pada
orang berusia 50 hingga tahun atau lebih. Namun pada prinsipnya, kebutaan dapat
dialami oleh semua orang dari berbagai kelompok umur.

B. FAKTOR RISIKO TERJADINYA KEBUTAAN

1. Mata malas (ambliopia).

2. Mata juling (strabismus).

3. Trakoma.

4. Kelopak mata terkulai (ptosis).

5. Glaukoma keturunan.

6. Katarak akibat keturunan.

7. Penyumbatan saluran air mata.

C. PENYEBAB KEBUTAAN
Ada banyak penyebab kebutaan, namun umumnya kondisi ini terjadi karena
kerusakan pada mata. Kerusakan itu sendiri dapat disebabkan oleh kondisi medis
tertentu, seperti

1. Katarak.

2. Stroke.

3. Glaukoma.

4. Degenerasi makula.

5. Retinopati diabetik.
6. Kekeruhan kornea.

7. Gangguan refraksi seperti rabun jauh atau rabun dekat yang tidak dikoreksi.

8. Peradangan pada saraf mata (neuritis optik).

9. Tumor pada retina atau saraf mata.

10. Pthisis bulbi.

D. GEJALA KEBUTAAN
Ada banyak penyebab kebutaan, namun umumnya kondisi ini terjadi karena:

1. Lensa mata keruh.

2. Ketajaman penglihatan menurun atau kabur.

3. Mata terasa sakit.

4. Melihat floaters yang makin lama makin mengganggu penglihatan.

5. Rasa tidak nyaman di mata yang berlangsung lama.

6. Mata memerah.

E. KOMPLIKASI KEBUTAAN
Ada banyak penyebab kebutaan, namun umumnya kondisi ini terjadi karena
kerusakan pada mata. Kerusakan itu sendiri dapat disebabkan oleh kondisi medis
tertentu, seperti penurunan kualitas hidup. Misalnya, kesulitan berjalan, tidak bisa
bekerja, dan risiko jatuh atau cedera serius saat bergerak. Padahal, kebutaan juga bisa
menyebabkan masalah kesehatan mental seperti gangguan kecemasan.

F. PENGOBATAN KEBUTAAN
Metode yang digunakan untuk mengobati kebutaan tergantung pada penyebab yang
mendasari dan kondisi pasien, misalnya

1. Pemberian obat obatan pengontrol gula darah untuk mengatasi kebutaan akibat
retinopati diabetik.

2. Prosedur operasi,untuk mengatasi kebutaan akibat katarak.


3. Transplantasi kornea,untuk mengatasi kebutaan akibat kekeruhan atau jaringan
parut pada kornea.

G. PENCEGAHAN KEBUTAAN

1. Menjaga makanan sehat dan bergizi seimbang.

2. Menjaga berat badan agar tetap ideal.

3. Rutin memeriksakan kesehatan mata.

4. Berhenti untuk merokok.

5. Menggunakan alat pelindung diri saat melakukan aktivitas yang berisiko


mengakibatkan cedera.

6. Menggunakan kacamata hitam saat cuaca terik.

7. Beristirahat yang cukup.

H. PATOFISIOLOGI KEBUTAAN
Kebutaan dapat bersifat bawaan atau didapat akibat penyakit tertentu. Karena buta
warna herediter tidak berkembang dan tidak dapat diobati. Pada penyakit makula
(retinitis sentral dan degenerasi makula sentral), gangguan penglihatan warna biru dan
kuning sering terjadi. Sedangkan pada gangguan saraf optik terlihat penglihatan merah
dan hijau.
PATOFISIOLOGI KELAINAN PADA OTOT (DISTROFI OTOT)

Otot sebagai alat gerak aktif dapat terpengaruh. Jika Anda melihat gangguan, kerja otot
bisa terganggu. Perubahan pada otot dapat terlihat, misalnya saat kita bergerak, kita merasakan
nyeri pada betis atau bagian lainnya. Di bawah ini adalah contoh kelainan dan kelainan yang
terjadi pada otot.

Ada tiga jenis otot: polos, jantung, atau tulang. Otot polos dalam sistem pencernaan
berkontraksi dan rileks untuk mendorong makanan ke seluruh tubuh. Otot-otot polos kandung
kemih berkontraksi saat buang air kecil dan rileks saat tiba waktunya untuk menahan urin di
kandung kemih. Wanita hamil juga menggunakan otot polosnya untuk melahirkan. Karena
Anda tidak dapat mengontrol otot-otot ini, mereka juga disebut otot tak sadar. Jantung terdiri
dari otot jantung yang memungkinkan berkontraksi dan rileks saat memompa darah ke seluruh
tubuh. Otot jantung juga tidak disengaja karena Anda tidak dapat mengontrol fungsinya. Otot
rangka bekerja dengan tulang tubuh untuk mengontrol gerakan. Otot-otot ini bersifat sukarela
karena Anda dapat mengontrol gerakannya. Otot terhubung ke tulang oleh tendon, yang
merupakan potongan jaringan padat. Penyakit pada sistem otot mempengaruhi kerja normal
otot-otot tubuh.

Otot adalah bagian penting dari tubuh kita. Tanpa otot, tubuh kehilangan kemampuannya
untuk bergerak dan melakukan berbagai tindakan. Faktanya, kita mungkin tidak dapat bertahan
hidup tanpa sistem otot manusia. Itu karena sebagian besar organ dalam sistem pencernaan
terbuat dari otot, dan bahkan jantung kita terus-menerus memompa darah ke otot. Jika otot
dipengaruhi oleh suatu penyakit atau kelainan, hal ini terkadang menyebabkan masalah
kesehatan yang kurang lebih serius. Gangguan tidak hanya mempengaruhi mobilitas tetapi juga
menyebabkan banyak masalah fungsional lainnya. Penyakit pada sistem otot Sistem otot
manusia terdiri dari lebih dari 650 otot. Setiap otot memiliki fungsi tertentu untuk dilakukan.
Otot-otot ini membantu kita berbicara, berjalan, duduk, berlari, makan, bergerak, memegang
sesuatu, dan yang terpenting, menjaga otot jantung kita tetap memompa agar kita tetap hidup.
Penyakit otot menimbulkan banyak masalah pada tubuh manusia dan mempengaruhi mobilitas
dan fungsi berbagai bagian tubuh.
Distrofin adalah protein sitoplasma dalam membran plasma serat otot dan menghubungkan
sitoskeleton bagian dalam ke matriks ekstraseluler melalui glikoprotein yang melintasi
membran plasma. Protein sitoskeletal memberikan stabilitas struktural dalam kompleks protein
(distroglikan) pada membran sel. Lebih khusus, distrofin adalah pengikat sitoskeleton aktin ke
membran basal di dalam kompleks glikoprotein membran.

Ketika distrofin tidak bekerja dengan baik, perubahan protein kontraktil aktin dan miosin
(terpotong) dapat terjadi. Kelemahan otot dan kerusakan membran sel terjadi kemudian dalam
perkembangan. Fagositosis sel otot yang rusak oleh sel inflamasi menyebabkan jaringan parut
dan gangguan fungsi otot yang lebih parah.

Penghancuran atau hilangnya distrofin pada distrofi otot dapat menyebabkan


penghancuran sarkoglikan, termasuk distroglikan. Hal ini menyebabkan melemahnya
membran dan pada akhirnya menyebabkan kematian sel-sel otot. Otot rangka hampir
sepenuhnya digantikan oleh lemak dan jaringan ikat, dan kerangka akhirnya menjadi
terdistorsi, menyebabkan imobilitas bertahap. Selain otot rangka, proses ini juga dapat terjadi
pada otot jantung dan otot polos saluran cerna. Gagal jantung adalah penyebab utama kematian
pada distrofi otot.
PATOFISIOLOGI KELAINAN PADA DARAH (HEMOFILIA)

A. PENGERTIAN
Hemofilia adalah penyakit yang membuat darah sulit untuk membeku. Gejala
hemofilia dibagi menjadi dua kelompok, tipe A dan B. Hemofilia A terjadi pada sekitar
1 dari 5.000 kelahiran hidup bayi laki-laki. Hemofilia A dan B terjadi pada hampir
semua kelompok ras. Hemofilia A sekitar empat kali lebih umum daripada hemofilia
tipe B.Hemofilia B terjadi pada sekitar 1 dari 20.000-34.000 kelahiran hidup bayi laki-
laki.Kebanyakan pasien hemofilia memiliki kelainan perdarahan di bawah kulit;
memar akibat benturan ringan, atau memar muncul dengan sendirinya jika pasien
melakukan aktivitas berat; Pembengkakan sendi seperti lutut, pergelangan kaki atau
siku. Penderitaan hemofilia dapat mengancam jiwa jika terjadi pendarahan pada organ
vital seperti jantung. B. Pendarahan ke otak.Penyakit ini merupakan penyakit
keturunan.

B. GEJALA
Berat ringannya gejala tergantung pada dampak kelainan genetik yang terjadi pada
aktivitas faktor VII dan faktor IX. Ketika aktivitas kurang dari 1%, perdarahan hebat
dan berulang terjadi tanpa alasan yang jelas. Ketika aktivitas mencapai 5%, gejalanya
ringan. Episode perdarahan yang tidak dapat dijelaskan jarang terjadi, tetapi
pembedahan atau cedera dapat menyebabkan perdarahan yang tidak terkendali yang
dapat berakibat fatal. Episode perdarahan pertama biasanya terjadi sebelum usia 18
bulan, seringkali setelah cedera ringan.Anak mudah memar. Suntikan ke otot juga
dapat menyebabkan perdarahan, yang pada gilirannya menyebabkan memar yang luas
(hematoma). Pendarahan berulang ke dalam sendi dan otot pada akhirnya dapat
menyebabkan deformitas yang melumpuhkan. Pendarahan dapat menyebabkan pangkal
lidah membengkak, menghalangi jalan napas dan menyebabkan masalah pernapasan.
Pukulan ringan di kepala dapat menyebabkan pendarahan di tengkorak, yang dapat
menyebabkan kerusakan otak dan kematian.
C. PATOFISIOLOGI
Pada AHA, autoantibodi imunoglobulin G (IgG) diproduksi secara spontan dan
menargetkan FVIII endogen. Hal ini berbeda dengan hemofilia kongenital, di mana
inhibitor berkembang sebagai respons terhadap terapi penggantian FVIII atau FVIII
eksogen. Timbulnya hemofilia didapat dipengaruhi oleh banyak faktor, kombinasi gen
kerentanan dan faktor lingkungan yang belum sepenuhnya dipahami. Kombinasi
faktor-faktor ini, seiring dengan penuaan sistem kekebalan pada orang tua,
menyebabkan gangguan toleransi sistem kekebalan dan mengarah pada pembentukan
autoantibodi FVIII.
FVIII adalah glikoprotein yang disintesis sebagai protein prekursor 330 kDa dengan
struktur domain A1-a1-A2-a2-B-a3-A3-C1-C2. Dalam kondisi normal, FVIII bekerja
bersama dengan faktor von Willendrand (vWF) dalam jalur intrinsik koagulasi darah
untuk meningkatkan konversi FX menjadi FXa bersama dengan FIXa, ion kalsium, dan
fosfolipid. Sebagian besar inhibitor FVIII mengikat domain A2, A3, atau C2. Antibodi
anti-C2 memblokir pengikatan FVIII ke fosfolipid dan vWF, sementara antibodi
terhadap A2 dan A3 memblokir pengikatan FVIII, FVIII mengganggu FX dan FIXa.
PATOFISIOLOGI HIPOSPADIA

Hipospadia adalah suatu kondisi cacat bawaan yang muncul saat masa embrio selama
Penyebab dari hipospadia belum diketahui dengan jelas dan bisa dihubungkan dengan factor
genetic dan pengaruh hormonal. Pada saat usia gestasi minggu ke VI kehamilan terjadi
pembentukan genital dan pada saat minggu ke VII terjadi agenesis sehingga genital tubercle
tidak terbentuk, bila genital fold gagal Bersatu diatas sinus urogenital maka akan timbul
hipospadia.

Perkembangan uretra, mulai dari kehamilan ke 8-20 minggu. Terjadi perkembangan fusi
mulai dari garis tengah lipatan uretra yang tidak lengkap hingga meatus uretra terbuka dari sisi
vetral penis. Kelainan meatus ini terletak diantara gradular (meatus yang salah padakelenjar),
korona (pada suklus korona), perineum (disepanjang batang penis), penuskrotal (pada
pertrmuan penis dan scrotum) perineal (pada perinium), prepusium tidak ada pada sisi ventral
dan menyeruoai topi yang menutupi darsal gland. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai
chordee, pada siai ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral penis. Sehingga
chordee pada oaring dewasa akan menghalangi hubungan seksual, infertilisasi (hipospadia
penoscrotal) atau (perinal) yang menyebabkan stenosis meatus sehingga mengalami kesulitan
dalam mengatur aliran urin dan sering terjadi kriotorkidisme.

Lengkungan pada penis dan chordee, sering dikaitkan dengan hipospadia, terutama
bentuk-bentuk yang lebih berat, hal tersebut diduga akibat perbedaan pertumbuhan antara
punggung jaringan normal tubuh kopral dan uretra ventral dilemahkan dan jaringan terkait.
Pada keadaan ini lebih jarang, karena kegagalan jaringan spongiosum dan pembentukan fasia
pada bagian distal meatus uretra bisa membentuk balutan berserat yang menarik meatus uretra
hingga memberikan kontribusi untuk terbentunya suatu korda.
PATOFISIOLOGI FIMOSIS

Fimosis dialami oleh Sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adesi antara preputium
dengan kelenjar penis. Hingga usia 3-4 tahun penis akan tumbuh dan berkembang serta debris
yang dihasilkan oleh sel epitel preputium (smegma) akan mengumpul dalam preputium dan
berlahan memisahkan preputium dari kelenjar penis. Ereksi penis terjadi secara berkala
membuat preputium terdilatasi berlahan hingga preputium menjadi retraktil dan bisa ditarik ke
peiksimal.

Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi dikarenakan ruang diantara kutup dan
penis tidak berkembang dengan baik, sehingga menyebabkan kulup menjadi melekat pada
kepala penis hingga sulit untuk ditarik kea rah pangkal. Penyebab lainnya yaitu bawaan dari
lahir atau didapat infeksi atau benturan.

Sehingga dapat disimpulkan Fimosis yang fisiologis adalah hasil dari adhesi lapisan epitel
antara preputium bagian dalam dengan kelenjar penis. Adhesi ini secara spontan akan
menghilang pada saat ereksi dan retraksi preputium secara intermiten, sehingga seiring
bertambahnya usia (masa puber) fimosis fisiologis akan menghilang. Kebersihan yang buruk
pada area sekitar penis dan adanaya balanitis atau balanophitis berulang akan mengarah
terbentuknnya orificium preputium sehingga mengakibatkan luka kecil pada orificio preputium
yang mengarah langsung ke fimosis. Pada orang dewasa yang belum disunat mempunyai resiko
fimosis secara sekunder karena kehilangan elastisitas kulit.
PATOFISIOLOGI HERNIA UMBILIKALIS

Hernia umbilikalis terjadi karena lubang pusar tidak menutup. Hernia pada orang dewasa
sebagian besar berkaitan dengan usia karena otot-otot dinding rongga perut melemah seiring
bertambahnya usia. Seiring bertambahnya usia, organ dan jaringan tubuh mengalami proses
degenerasi. Ketika tekanan cincin hernia (cincin jaringan otot yang dilewati tonjolan)
memotong suplai darah ke segmen usus yang prolaps, usus menjadi menyempit. Situasi ini
adalah darurat bedah karena usus akan cepat menjadi gangren karena kekurangan suplai darah
kecuali diangkat.

Pembedahan sering dilakukan untuk hernia besar atau di mana ada risiko tinggi herniasi.
Dalam kasus heniorrhaphy, cacat pada fasia dijepit. Akibatnya dan kondisi pasca operasi
seperti peradangan, edema dan perdarahan, pembengkakan skrotum sering terjadi setelah
perbaikan hernia inguinalis tidak langsung. Komplikasi ini sangat menyakitkan dan setiap
gerakan akan membuat pasien tidak nyaman, kompres es akan membantu menghilangkan rasa
sakit.

Hernia terjadi ketika tekanan intra-abdomen meningkat, seperti tekanan dari mengangkat
sesuatu yang berat saat buang air besar, atau batuk atau bersin yang parah dan perpindahan
sebagian usus ke otot perut, tekanan berlebihan di daerah perut yang tipis atau kurang kuat di
daerah perut tempat penyakit itu telah ada dari waktu yang lebih lama dari proses
perkembangan muncul, operasi perut dan obesitas. Mula-mula kerusakan pada dinding perut
sangat kecil, kemudian hernia terjadi karena organ selalu banyak bermigrasi dan berlangsung
lama, sehingga menonjol dan menimbulkan kerusakan yang sangat serius, akhirnya
menyebabkan kantong di perut menjadi lemah atau melemah. Jika suplai darah terputus, itu
berbahaya dan dapat menyebabkan gangren.

Operasi biasanya dilakukan pada hernia besar atau hernia dengan risiko komplikasi yang
tinggi, komplikasi ini sangat menyakitkan dan setiap gerakan tidak nyaman bagi pasien.
Daftar Pustaka

Adillani, Muharromah, and M.Fis Dwi Rosella K, S.Fis., Ftr. 2014. “Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Kasus Conginetal Talipes Equino Varus (CTEV) Bilateral Di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.”

Artha, Ida Ayu Ratna Dewi Arrisna. 2012. “DEVELOPMENTAL DISPLACEMENT OF


THE HIP.” 9.

Bakhtiar S. Biologi. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementrian Pendidikan


Nasional.

Burg ML, Chai Y, Yao CA, Magee W, Figueiredo JC. Epidemiology, Etiology, and
Treatment of Isolated Cleft Palate. Front Physiol. 2016; 7:67

Cookson, Maria Dimova, and Peter M.R. Stirk, ‘Penyebab Pasti Dari Kanker Vesika
Urinaria’, 2019, 7–31

Deriano, Benedictus. 2020. “Diagnosis Dini Displasia Panggul.” Cermin Dunia


Kedokteran 46(11): 647–51.

Djer, M. M., & Madiyono, B. (2016). Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Sari Pediatri,
2(3), 155.155-62

Dr. Agnes. T. 2021. ”penyakit/kedokteran-genetika/fenilketonuria.”

Dr. Fadhli Rizal. M. 2022. ”Fenilketonuria.”

Dr. Giovanni Gilberta “Hirschprung”

Dr. Irman Christiono, Sp.OG “Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Siloam
Hospitals TB Simatupang”

Dr. joceylen prima utami. “Patofisiologi Kanker Lambung”.

Dr. Meva Nareza. 2021. “Kanker Serviks-Gejala,penyebab,dan mengobati”.

Dr. Mikhael. Y. 2021. ”Mata Buta:Gejala,Penyebab,Cara Mengobati.”

Dr. Pittara. 2021. ”Buta.”

Dr. Pittara. 2022. ”Sindrom Down”.


Dr. Pittara. 2022. ”Gejala Sindrom Down”.

Dr. Pittara. 2022. ”Komplikasi Sindrom Down”.

Dr. Rizal Fadli. “Kanker Lambung-Gejala,Penyebab,dan Pengobatan”.

Dr. Saphira Evani “Patofisiologi Sindrom Down”

Epidemiologi, Gambaran Klinis Dan Prognosis Kanker Kolorektal Berdasarkan Gender’,


2021, 6

Fadila, Alfianita, Giska Tri Putri, and Eddy Marudut Sitompul. 2017. “Tatalaksana
Congenital Talipes Equino Varus ( CTEV ) Pada Anak Usia 6 Bulan.” Medula 7(4):
64–68.

Fauziyah. B. 2012. Analisis kualitatif fenilalanin secara chromotography kertas dan


chromatography lapis tipis (studi awal pengembangan metode deteksi penyakit
phenylketonuria).Saintis (Jurnal Integrasi Sains dan Islam),1(2),10-18.

Fendi. 2019. “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Fimosis.” Scribd 8, no. 5: 55.

HANDAYANI, ‘SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW : Tinjauan Patomekanisme,

Hidayat, Dian, Melani Rachmawati, Firdah Rohimah, Citra Mutiara, and Aprillya Dewi
Pertiwi. 2018. “MAKALAH KEPERWATAN ANAK TENTANG FIMOSIS,” no.
211116015.

joseph carlos, ‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kanker Kandung Kemih’,
Implementation Science, 39.1 (2014), 1–15

Kemenkes RI, ‘Panduan Penatalaksanaan Kanker Kolorektal’, Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia, 2016, 76

Kirana, D. (n.d.). Penyakit yang Mengganggu Saraf.

Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Kanker Paru. 2017.

Kumala, K., Yantie, N. P., & Hartaman, N. B. (2018). Karakteristik penyakit jantung
bawaan asianotik tipe isolated dan manifestasi klinis dini pada pasien anak di rumah
sakit umum pusat sanglah. E-Jurnal Medika, 7(10), 1–11.
Makalah Poltekkes Denpasar. “BAB II TINJAUAN PUSTAKA-KANKER SERVIKS”.

Makalah Universitas Negeri Yogyakarta. “BAB2_KAJIAN_TEORI”.

Makarim, dr. Fadhli Rizal, ‘KANKER KANDUNG KEMIH’.

Manopo, B. R., Kaunang, E. D., & Umboh, A. (2018). Gambaran Penyakit Jantung Bawaan
di Neonatal Intensive Care Unit. E-Clinic (ECl), 6(2), 87–93.

Muslim, C., & Marnis, M. (2016). Beberapa Kejadian Cacat Bawaan Bayi Lahir Di Rumah
Sakit M. Yunus. 2005, 81–86.

Muttaqin A. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

NCCN. Non-Small Cell Lung Cancer. 2018.

NCCN. Small Cell Lung Cancer. 2018.

Nurapipah, dr. Pepi, ‘Patofisiologi Kanker Kolorektal’.

Nurrahmani, Dyas Prawita, Abdul Chalik Meidian, and Miranti Yolanda Anggita. 2021.
“PENAMBAHAN TIGHTROPE WALKER TERHADAP FRENCH
FUNCTIONAL METHODE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERJALAN PADA ANAK CONGENITAL TALIPES VARUS (CTEV) USIA 2-
5 TAHUN DI RSUD CENGKARENG.”

Oktavian, Andika. (2019). LP Hernia Umbilikal.

Olsa, Edwin Danie. 2014. “Clubfoot Atau Congenital Talipes Equino-Varus (CTEV).”

Permadi, B. anggara. (2011). Asuhan Keperawatan Pada..., BAGAS ANGGARA


PERMADI, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014. 8–23.

Pranajaya Dharma Kadar. 2015. “Displacement of The Hip (DDH).” 7: 1–22.

Pujiwidodo, D. (2016). Patofisiologi Hernia Umbilikalis. III (2), 2016.

Purwanto, Ibnu. 2020. “Tinjauan Terkini Hemofilia A yang Didapat : Aspek Diagnosis dan
Manajemen”.
Rahmatania, Ridha. 2021. “Laporan Kasus Fimosis.” Amenore Primer 21, no. CMML: 30–
37.

Raymanmedula, Rahmatullah, Soraya Rahmanisa, and Giska Tri Putri. "Hubungan Usia
Ibu dengan Kejadian Sindrom Down." Jurnal Medula 7.5 (2017): 144-148.

Retnowati, Pungki, ‘Asuhan Keperawatan Pada..., PUNGKI RETNOWATI, Fakultas Ilmu


Kesehatan UMP, 2015’, Asuhan Keperawatan, 2015

Rofi’atunnisa. (2020). Jurnal Penelitian Perawat Profesional. Nomor, Volume Saraf,


Tabung Janin, Pada, 2(November), 371–380.

Safira, Dr. Fadila. 2018. “Laporan Kasus:” Amenore Primer 21, no. CMML: 30–37.

Saputro, Bayu Eko. 2017. “Congenital Talipes Equino Varus (CTEV)/Club Foot.”

Shkoukani MA, Chen M, Vong A. Cleft lip – a comprehensive review. Frontiers in


Pediatric. 2013

Soetadji, A., & Pratiwi, R. (2018). Perbedaan Pertumbuhan Anak Penyakit Jantung Bawaan
Dengan Kelainan Simpleks Dan Kelainan Kompleks Pada Usia 2-5 Tahun.
Anindita Soetadji, 7(2), 1308– 1321.

Sumarna, Vivi, and Engeline Angliadi. 2015. “Displasia Perkembangan Panggul Awal
(Lahir Hingga Usia 4 Bulan).” Jurnal Biomedik (Jbm) 7(1).

Suryandari, Artathi Eka. "ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


HIRSCHSPRUNG DI RUMAH SAKIT PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO." Bidan Prada (2017).

Tamana, Andi Fira Eka. 2020. "FISIOTERAPI PADA CDH."

TanWW. Non-Small Cell Lung Cancer. In: KarimNA, editors. Medscape [Internet]. July
2018.

TanWW. Small Cell Lung Cancer. In: KarimNA, editors. Medscape [Internet]. May 2018.

Tasmen, Nur’Afifah hakin dan Riri Yulia. 2009. “Makalah Fimosis,” 1–14.

Yelvy Levani .2019. “Kanker Serviks-Patofisiologi,diagnosis,penatalaksaan”.

Anda mungkin juga menyukai