Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN CVA BLEEDING

1.1 Pengertian
CVA (Cerebro Vascular Accident) atau stroke adalah sindrom klinis yang
awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/atau
global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian,
dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik
(Mansjoer, 2000:17).
Stroke hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga
menyebabkan iskemia (penurunan aliran) dan hipoksia di sebelah hilir (Muttaqin
2008: 237-238).
Stroke Hemoragik merupakan stroke yang dapat terjadi apabila lesi vascular
intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak (Price, 2005).

1.2 Etologi
Menurut Corwin (2009) penyebab stroke hemoragik, yaitu:
1) Aneurisme Sakular
Penipisan pembuluh darah, cedera vascular dipicu oleh hipertensi dan
rupture salah satu dari banyak arteri kecil dalam otak.
2) Malformasi arteriovena (MAV)
Jaringan kapiler yang mengalami malformasi congenital. Pembuluh darah
lebar sehingga mengalir diantara arteri bertekanan tinggi dan sistem yang
bertekanan rendah akhirnya dinding venula melemah dan darah dapat keluar
dengan cepat ke jaringan otak.
3) Hipertensi
Pembuluh darah mengalami vasokonstriksi sehingga tekanan dalam darah
meningkat menyebabkan resiko pembuluh darah pecah.
4) Antikoagulan yang terlalu agresif
Apabila embolus lenyap atau dibersihkan dari arteri, dinding pembuluh
darah setelah oklusi mengalami perlemahan.Selama beberapa hari pertama

1
setelah oklusi, jika pemberian antikoagulan berlebih maka dapat terjadi
kebocoran/perdarahan dari dinding pembuluh darah yang lemah ini.
5) Amiloidosis
Amiloidosis otak mempengaruhi orang-orang yang sudah lanjut usia dan
dapat menyebabkan hingga 10% dari perdarahan intraserebral. Jarang,
angiopati amiloid serebral dapat disebabkan oleh mutasi pada protein
prekursor amiloid dan diwariskan dalam mode dominan autosomal
(Liebeskind, 2013)
6) Koagulopati
Koagulopati dapat diakuisisi atau diwariskan. Penyakit hati dapat
mengakibatkan diatesis perdarahan. Kelainan bawaan koagulasi seperti
faktor VII, VIII, IX, X, dan defisiensi XIII dapat predisposisi perdarahan
yang berlebihan, dan perdarahan intrakranial telah terlihat di semua
gangguan ini (Liebeskind, 2013)
7) Vaskulitis (Liebeskind, 2013)
8) Neoplasma intrakranial (Liebeskind, 2013)

1.3 Faktor Resiko


1.3.1 Yang tidak dapat dimodifikasi
1) Usia
Setelah berusia 55 tahun, resiko stroke meningkat dua kali lipat setiap kurun
waktu sepuluh tahun. Namun bukan berarti stroke hanya terjadi pada orang usia
lanjut karena stroke dapat menyerang semua kelompok umur (Liebeskind, 2013).
2) Ras
Orang amerika keturunan afrika memiliki angka kejadian yang lebih tinggi
dari orang kaukasia (Price,2002:1106)
3) Seks
Resiko stroke pada pria 20% lebih tinggi daripada perempuan. Namun
setelah perempuan menopause resikonya justru lebih tinggi daripada laki-laki.
Stroke banyak menyerang laki-laki berkaitan dengan faktor resiko stroke yaitu
kebisaan merokok dan konsumsi alcohol (Price, 2005: 1106)
4) Keturunan (Cruz, 2013)

2
Adanya riwayat stroke pada orangtua meningkatkan faktor resiko stroke.
Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara lain faktor genetic, faktor
life style, penyakit-penyakit yang ditemukan dan Interaksi antara ketiga
mekanisme tersebut. Gangguan spesifik pada gen dengan CVA, merupakan
fenotip yang dapat menunjukkan potensi terjadinya resiko CVA (Cruz, 2013).
1.3.2 Yang dapat dimodifikasi (Cruz, 2013)
1) Hipertensi
Pada pengidap hipertensi rentang otoregulasi meningkat sampai setinggi
180 – 200 mmHg. Apabila tekanan sistemik mendadak didalam rentang fisiologis,
arteriol-arteriol berkontriksi untuk mempertahankan aliran darah ke kapiler otak
walaupun terjadi peningkatan dorongan darah arteri. Hipertensi yang berlangsung
lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol diseluruh
tubuh ditandai dengan fibrasi dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah
2) Penyakit kardiovaskuler
Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan
endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan
menurunkan aliran darah ke otak. Disamping itu dapat terjadi proses embolisasi
yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
(1) Penyakit arteri koronaria
(2) Gagal jantung kongestif
(3) Hipertrofi ventrikel kiri
(4) Abnormalitas irama (khususnya fibrilasi atrium)
(5) Penyakit jantung kongestif
3) Diabetes Melitus
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologi berupa
arterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh
insufiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskuler ini. Gangguan-
gangguan ini berupa sorbitol dalam intima vaskuler, hiperlipoproteinemia dan
kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan
mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Jika mengenai arteri-arteri perifer dapat
mengakibatkan insufiensi serebral dan stroke.
4) Merokok

3
Zat – zat yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan permeabilitas
endotel.
5) Penyalahgunaan obat khususnya kokain dan alkohol
Berbagai obat tersebut (kokain, amfetamin, marijuana) dapat mengganggu
aliran darah, menginduksi vaskulitis, menyebabkan embolisasi, endokarditis
infektif, mengganggu agregasi platelet, dan meningkatkan viskositas darah.
Konsumsi alkohol berlebih akan meningkatkan resiko hipertensi,
hiperkoagulabilitas, mengurangi aliran darah otak, dan meningkatkan resiko atrial
fibrilasi (Goldstein dkk,2006).
6) Obesitas dan kolesterol tinggi
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan
terbentuknya embolus dari lemak.
7) Pemakaian kontrasepsi oral yang lama
Studi epidemiologik menunjukkan adanya hubungan antara obat ini dengan
peningkatan risiko trombosis," kata dr Catharina Suharti SpPD KHOM, Kepala
Sub Bagian Hematologi-Onkologi Medik FK Undip/RSUP Dr Kariadi.

1.4 Klasifikasi
Menurut Price (2005:1120), klasifikasi stroke hemoragik berdasarkan lokasi
perdarahan adalah:
1) Perdarahan intraserebrum (PIS)
Perdarahan intraserebral atau perdarahan di dalam otak ini terjadi kalau
darah dari pembuluh darah yang pecah membajiri jaringan otak dan
merembes ke dalamnya. Perdarahan intraserebrum paling sering terjadi
akibat cedera vaskuler yang dipicu oleh hipertensi dan rupture salah satu
dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam otak.
2) Perdarahan Subaraknoid (PSA)
Pada perdarahan subaraknoid, letak perdarahannya berbeda dengan
perdarahan intraserebrum, pada keadaan ini darah mengalir ke luar diantara
kedua selaput otak. Darah tersebut secara cepat menyebar ke permukaan
otak dan bukan merembes ke dalamnya.

4
Menurut Dewanto (2009:29) Tabel diagnosis, anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan laboratorium dan pencitraan dapat melengkapi evaluasi yang
diperlukan:
Tabel 1.1 Klasifikasi
No Gejala klinis PIS PSA Stroke
. Nonhemoragik
1 Gejala deficit focal Berat Ringan Berat/ringan
2 Awitan (Onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
3 Nyeri Kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tidak ada
4 Muntah pada awalnya Sering Sering Tidak, kecuali lesi
di batang otak
5 Hipertensi Hampir Biasanya Sering
selalu tidak
6 Kaku Kuduk Jarang Biasanya Tidak ada
7 Kesadaran Biasanya Bisa hilang Dapat hilang
hilang sebentar
8 Hemiparesis Sering sejak Awalnya Sering sejak awal
awal tidak ada
9 Deviasi mata Bisa ada Jarang Mungkin ada
10 Liquor Sering Berdarah Jernih
berdarah

1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari stroke hemoragik adalah:
1.5.1 Menurut Dewanto dkk (2009: 26) pemeriksaan diagnosis untuk stroke
meliputi: Skor stroke: skor stroke Siriraj, skor Gadjah Mada (untuk
membedakan antara stroke iskemik dan hemoragik).
Tabel 1.2 Skor Stroke Siriraj
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
diastolik) – (3 x penanda ateroma) – 12
Dimana:
Derajat kesadaran 0 = kompos mentis; 1 = somnolen; 2 = spoor/koma
Muntah 0 = tidak ada; 1 = ada
Nyeri kepala 0 = tidak ada; 1 = ada

5
Ateroma 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih (diabetes,
angina, penyakit pembuluh darah)
Hasil: Skor > 1: perdarahan supratentorial
Skor < -1: infark serebri
Tabel 1.3 Tabel Skor Stroke Gadjah Mada
Penurunan Nyeri Kepala Babinski Jenis Stroke
kesadaran
+ + + Perdarahan
+ - - Perdarahan
- + - Perdarahan
- - + Iskemik
- - - Iskemik
Tabel 1.4 Tabel skor stoke NIHSS
Item pertanyaan penilaian
1A : Tingkat Kesadaran 1) Waspada, tajam responsif 0
(Jika diintubasi / sulit untuk 2) Tidak Waspada, tapi arousable oleh stimulasi kecil 1
menilai, membuat tebakan 3)  Tidak Waspada, memerlukan stimulasi berulang
terbaik, tapi hanya memilih untuk membangkitkan 2
3 jika sikap / responsif) 4) Tidak Siaga / Obtunded, Membuat Mutasi untuk
Nyeri 2
5) Postur atau tidak responsif untuk Nyeri 3

1) Kedua Pertanyaan yang Tepat 0


1B: Tanyakan Bulan dan 2) Jawaban 1 Pertanyaan Kanan 1
Usia 3) Jawaban 0 Pertanyaan yang Tepat 2
4) Dysarthric, intubasi, Trauma, Bahasa Barrier 1
5) Aphasic 2
1C: Katakan Pasien Untuk 1) Melakukan Tugas Kedua benar 0
Buka dan Tutup Mata, 2) Melakukan Satu Tugas benar 1
maka Tangan Grip Squeeze 3) Melakukan 0 Tugas benar 2
(Pengganti / Pantomime
Commands jika Bahasa
Barrier / Kebingungan)
2: Uji Mutasi extraocular 1) Gerakan extraocular Normal 0
Horizontal 2) Parsial Gaze Palsy: Bisa Mengatasi 1
3) Parsial Gaze Palsy: Memperbaiki dengan
Oculocephalic Reflex 1
4) Paksa Gaze Palsy: Tidak Dapat Mengatasi 2

3: Uji Visual Fields 1) Tidak Visual Rugi 0


2) Partial hemianopia 1
3) Lengkapi hemianopia 2
4) Pasien bilateral Blind 3
5) Bilateral hemianopia 3
4: Uji Palsy Wajah 1) Gerakan simetris Normal 0
(Gunakan meringis jika 2) Kelumpuhan ringan (flat nasolabial lipat, senyum
sadar) asymetry) 1

6
3) Kelumpuhan parsial (total / nyaris total wajah
kelumpuhan rendah) 2
4) Kelumpuhan Lengkap unilateral (ada gerakan wajah
atas / wajah bagian bawah) 3
5) Kelumpuhan Lengkap Bilateral (ada gerakan wajah
atas / wajah bagian bawah) 3
5A: Uji Waktu Lengan 1) Tidak ada Drift selama 10 detik 0
motor Drift 2) Drift, tetapi tidak memukul tidur / support 1
3) Drift, tapi hit tidur / support 2
4) Beberapa Upaya Anti-Gravity 2
5) Tidak Upaya Melawan Gravitasi 3
6) Tidak ada Gerakan 4
7) Amputasi / Joint Fusion Tidak
1) Tidak ada Drift selama 10 detik 0
5B: Uji Kanan Arm motor 2) Drift, tetapi tidak memukul tidur / support 1
Drift 3) Drift, tapi hit tidur / support 2
4) Beberapa Upaya Anti-Gravity 2
5) Tidak Upaya Melawan Gravitasi 3
6) Tidak ada Gerakan 4
7) Amputasi / Joint Fusion Tidak
6A: Uji Kaki Kiri motor 1) Tidak ada Drift selama 5 detik 0
Drift 2) Drift, tetapi tidak memukul bed 1
3) Drift, tapi hit tidur / support 2
4) Beberapa Upaya Anti-Gravity 2
5) Tidak Upaya Melawan Gravitasi 3
6) Tidak ada Gerakan 4
7) Amputasi / Joint Fusion Tidak
1) Tidak ada Drift selama 5 detik 0
6B: Uji Kanan Leg motor 2) Drift, tetapi tidak memukul bed 1
Drift 3) Drift, tapi hit tidur / support 2
4) Beberapa Upaya Anti-Gravity 2
5) Tidak Upaya Melawan Gravitasi 3
6) Tidak ada Gerakan 4
7) Amputasi / Joint Fusion Tidak
7: Uji Limb Ataxia 1) Tidak ada Ataksia 0
(FNF / Heel-Shin) 2) Ataksia dalam 1 Limb 1
3) Ataksia di 2 Limbs 2
4) Tidak Mengerti 0
5) Lumpuh 0
6) Amputasi / Joint Fusion Tidak
8: Uji Sensasi 1) Normal, ada kehilangan sensori 0
2) Ringan-Sedang Loss: Kurang Tajam / Lebih kusam
1
3) Ringan-Sedang Loss: Bisa Merasakan Menjadi
Tersentuh 1
4) Lengkap Loss: Tidak dapat Merasakan Menjadi
Tersentuh Pada Semua 2
5) Tidak Respon dan tunadaksa 2

7
6) Coma / tdk 2
9: Tes Bahasa / Aphasia 1) Normal, ada aphasia 0
(Jelaskan lokasi kejadian, 2) Ringan-Sedang Aphasia: Beberapa Perubahan Jelas,
nama kata-kata, membaca Tanpa Batasan Signifikan 1
kalimat.) 3) Parah Aphasia: Expression terpisah-pisah, Inference
Needed, tidak bisa Identifikasi Bahan 2
4) Mute / global Afasia: Tidak Usable Pidato /
Pemahaman 3 Auditory
5) Coma / tdk 3
10: Uji Dysarthria 1) Normal 0
(Baca kata-kata.) 2) Ringan-Sedang Dysarthria: slurring tetapi dapat
dipahami 1
3) Parah Dysarthria: Unintelligble slurring atau Out of
Proporsi untuk Disfasia 2
4) Mute / Anarthric 2
5) Diintubasi / Tidak dapat Uji PBB
11: Uji Kepunahan / 1) Tidak ada abnormailty 0
kekurangan perhatian 2) Visual / taktil / pendengaran / spasial / kurangnya
perhatian pribadi 1
3) Kepunahan stimulasi simultan bilateral 1
4) Mendalam hemi-kurangnya perhatian (ex: tidak
mengenali tangan sendiri) 2
5) Kepunahan untuk> 1 modalitas 2
Hasil Skor NIHSS 1) Dinyatakan menderita deficit neurologis ringan bila
nilai skor NIHSS < 5
2) Dinyatakan menderita deficit neurologis sedang bila
nilai skor NIHSS 5-14
3) Dinyatakan menderita deficit neurologis berat bila
nilai skor NIHSS 15-24
4) Dinyatakan menderita deficit neurologis sangat berat
bila nilai skor NIHSS >2 5

1.5.2 Vertebro basilaris (sirkulasi posterior) manifestasi biasanya bilateral (Price


2005:1118):
1) Kelumpuhan di satu tempat sampai keempat ekstremitas
2) Peningkatan refleks tendon
3) Ataksia (kegagalan koordinasi otot, ketidakteraturan kerja otot)
4) Tanda babinski bilateral
5) Gejala-gejala serebelum seperti tremor intention, vertigo
6) Disfagia (gangguan menelan)
7) Disartria (bicara pelo atau cadel)
8) Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan, diorientasi.

8
9) Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralysis satu mata).
10) Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
1.5.3 Arteri Karotis Interna (Price 2005:1118)
1) Kebutaan Monokular disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke
retina
2) Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi
arteria serebri media
3) Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau
arteria serebri media. Gejala mula-mula di ekstremitas atas (misalnya tangan
lemah, baal) dan mungkin mengenai wajah
1.5.4 Arteri Serebri Anterior (Price 2005:1118)
1) Gejala paling primer adalah kebingungan
2) Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai
3) Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang
4) Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu
5) Gangguan sensorik kontra lateral
6) Dimensi reflek mencengkeram dan refleks patologis
1.5.5 Arteri Serebri Posterior (Price 2005:1118)
1) Koma
2) Hemiparesis kontralateral
3) Afasia visual atau buta kata (aleksia)
4) Kelumpuhan saraf kranial ketiga – hemianopsia, koreo – athetosis
1.5.5 Arteri Serebri Media (Price 2005:1118)
1) Mono paresis atau hemiparesis kontra lateral (biasanya mengenai lengan)
2) Kadang-kadang heminopsia kontralateral (kebutaan)
3) Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena)
4) Gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan
komunikasi
5) Disfagia

9
1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik stroke bleeding meliputi:
1.6.1 Laboratorium
1) Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, hitung jenis, trombosit dan laju
endap darah. Hitung darah lengkap untuk mengidentifikasi kemungkinan
penyebab stroke. Hematokrit >60%. Leukosit > 150.000/mm3. Trombosit >
1 juta/mm3 atau < 20.000/mm3. Laju endap darah meningkat pada tumor,
infeksi, vaskulitis Dewanto dkk (2009: 26). Hitung darah lengkap (CBC)
dengan trombosit: Monitor untuk infeksi dan menilai jumlah hematokrit dan
trombosit untuk mengidentifikasi risiko dan komplikasi hemoragik. waktu
protrombin (PT)/diaktifkan tromboplastin parsial waktu (aPTT): identifikasi
koagulopati. Kimia darah termasuk elektrolit dan osmolaritas: kaji gangguan
metabolik, seperti hiponatremia, dan memantau osmolaritas untuk
bimbingan diuresis osmotik. Toksikologi dan tingkat alkohol serum jika
penggunaan narkoba atau konsumsi alkohol yang berlebihan diduga:
mengidentifikasi racun eksogen yang dapat menyebabkan perdarahan
intraserebral (Liebeskind, 2013).
2) Gula darah
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai
250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali (George,
2009).
3) Profil lipid dan kolesterol, asam urat.
1.6.2 Radiologi
1) CT Scan untuk menentukan jenis CVA (Ischemia atau hemorrhagic) dan
membantu lokasi kerusakan jaringan otak.
2) MRI/MRA: untuk menentukan lokasi, jenis (stroke iskemik atau
hemoragik), dan komplikasi stroke (Goldszmidt, 2011: 5).
3) Ultrasonografi seperti transkranial dopler
4) Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab dari stroke secara
spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya rupture dan untuk
mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler
(Doenges, 2000).

10
5) Thorax foto bisa ditemukan pembesaran jantung pada pasien dengan riwayat
hipertensi.

1.7 Penatalaksanaan
1.1.7 Menurut Mansjoer (2000:22) protokol penatalaksanaan stroke hemoragik:
1) Kendalikan hipertensi
2) Pertimbangkan konsultasi bedah saraf bila perdarahan sereblum diameter >
3cm atau volume > 50ml
3) Pertimbangkan angiografi untuk menyingkirkan aneurisme atau malformasi
arteriovenosa
4) Berikan manitol 20% (1kgBB, intravena dalam 20-30 menit) untuk pasien
dengan koma dalam atau tanda-tanda tekanan intracranial yang meninggi
atau ancaman herniasi
5) Pertimbangkan fenitoin (10-20mg/KgBB intravena, kecepatan maksimal
50mg/menit, atau peroral) pada pasien dengan perdarahan luas dan derajat
kesadaran menurun.
6) Perdarahan intraserebral dilakukan: obati penyebabnya, berikan
neuroprotektor, tindakan bedah.
7) Kontrol adanya peningkatan tekanan intracranial
Tanda-tanda peringatan peningkatan intracranial (trias chusing) adalah:
(1) Hipertensi
(2) Bradikardi
(3) Pernapasan tidak beraturan
8) Tekanan Intrakranial yang meninggi pada pasien dapat diturunkan dengan
salah satu cara/gabungan berikut ini:
(1) Manitol bolus, 1gr/KgBB dalam 20-30 menit kemudian dilanjutkan dengan
dosis 0,25-0,5g/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48jam. Target
osmolaritas= 300-320mosmol/liter.
(2) Furosemid 1mg/KgBB intravena
(3) Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik sampai
PCO2= 29-35mmHg
9) Tindakan pembedahan

11
Indikasi pembedahan:
(1) Pasien dengan perdarahan serebral > 3cm yang secara neurologis memburuk
atau yang mengalami kompresibatang otak dan hidrosefalus akibat
obstruksi ventrikuler
(2) Perdarahan intrasebral dengan lesi atau angioma kavernosa dapat diangkat
jika keadan pasien stabil
(3) Pasien usia muda dengan perdarahan lobus yang sedang atau besar yang
secara klinis memburuk
1.7.2 Menurut Liebeskind (2013) penatalaksanaan CVA Bleeding yaitu:
1.7.2.1 Kontrol tekanan darah
Ketentuan penggunaan obat antihipertensi :
1) Jika tekanan darah sistolik lebih dari 200 mm Hg atau rata tekanan arteri
(MAP) di atas 150 mm Hg, kemudian mempertimbangkan pengurangan
agresif BP dengan IV infus kontinu, periksa BP setiap 5 menit
2) Jika tekanan darah sistolik lebih dari 180 mmHg atau MAP adalah lebih dari
130 mm Hg tekanan intrakranial dan mungkin meningkat, kemudian
mempertimbangkan pemantauan tekanan intrakranial dan mengurangi BP
menggunakan obat intravena intermiten atau kontinu, sambil
mempertahankan tekanan perfusi serebral dari 60 mm Hg atau lebih tinggi
3) Jika tekanan darah sistolik lebih dari 180 atau MAP adalah lebih dari 130
mm Hg dan tidak ada bukti peningkatan tekanan intrakranial, kemudian
mempertimbangkan pengurangan sederhana BP (target MAP dari 110 mm
Hg atau target BP 160/90 mm Hg) menggunakan intermiten atau kontinu
obat intravena untuk mengendalikan itu, dan melakukan pemeriksaan ulang
klinis pasien setiap 15 menit
4) Pada pasien dengan tekanan darah sistolik 150-220 mm Hg, akut
menurunkan tekanan darah sistolik sampai 140 mm Hg mungkin aman
Jenis obat yang digunakan untuk mengurangi tekanan darah untuk
mencegah eksaserbasi perdarahan intraserebral:
(1) Labetalol (Normodyne, Trandate)
Antagonizes reseptor adrenergik, sehingga mengurangi tekanan darah.
(2) Nicardipine (Cardene, Cardene SR)

12
Calcium channel blocker. Potensi onset cepat tindakan, kemudahan titrasi,
dan kurangnya metabolit toksik. Pengalaman dilaporkan efektif namun
terbatas dalam hipertensi ensefalopati.
1.7.2.2 Kontrol kejang
Antikonvulsan digunakan secara rutin untuk menghindari kejang yang
mungkin disebabkan oleh kerusakan kortikal. Fosphenytoin (Cerebyx): difosfat
garam ester fenitoin yang bertindak sebagai prodrug larut air dari fenitoin. Setelah
pemberian, esterase plasma mengkonversi fosphenytoin untuk fosfat,
formaldehida, dan fenitoin. Fenitoin pada gilirannya menstabilkan membran
neuronal dan aktivitas kejang menurun.
1.7.2.3 Kontrol tekanan intracranial
Diuretik osmotik seperti manitol, dapat digunakan untuk menurunkan
tekanan intrakranial. Manitol (Osmitrol, Resectisol) berguna untuk mengurangi
edema serebral dengan bantuan pasukan osmotik dan penurunan viskositas darah,
mengakibatkan vasokonstriksi refleks dan menurunkan tekanan intrakranial.
1.7.2.4 Kontrol suhu
Hipertermia dapat memperburuk cedera neurologis, obat yang diberikan
adalah Acetaminophen (Tylenol, Feverall, Aspirin Gratis Anacin) untuk
mengurangi demam, mempertahankan normothermia, dan mengurangi sakit
kepala.

1.8 WOC

13
14
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan stroke meliputi anamnesis, riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial (Muttaqin,
2008: 242).
2.1.1 Identitas
1) Usia: biasanya dialami oleh usia tua namun tidak menutup kemungkinan
terjadi pada usia muda (Muttaqin, 2008: 242). Setelah berusia 55 tahun,
resiko stroke meningkat dua kali lipat setiap kurun waktu sepuluh tahun.
Namun bukan berarti stroke hanya terjadi pada orang usia lanjut karena
stroke dapat menyerang semua kelompok umur (Liebeskind, 2013).
2) Jenis kelamin: pria lebih beresiko terkena stroke daripada perempuan,
namun penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak perempuan
yang meninggal akibat stroke. Resiko stroke pada pria 20% lebih tinggi
daripada perempuan. Namun setelah perempuan menopause resikonya
justru lebih tinggi daripada laki-laki. Stroke banyak menyerang laki-laki
berkaitan dengan faktor resiko stroke yaitu kebisaan merokok dan konsumsi
alcohol (Price, 2005: 1106)
3) Ras atau suku bangsa: berdasarkan data American Heart Association, ras
Afrika-Amerika beresiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan ras
Kaukasia. Dengan kata lain ras kulit hitam lebih beresiko terkena stroke
dibandingkan ras lainnya
2.1.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah,
bahkan kejang sampai tidak sadar selain gejala kelumpuhan separuh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan
pada tingkat kesadaran dalam hal perubahan di dalam intracranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat letargi, tidak responsive dan koma (Muttaqin, 2008: 242-243).

15
2.1.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lam,
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif,
dan kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat anti hipertensi, antilipidemia, penghambat
beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan
penggunaan obat kontrasepsi oral (Muttaqin, 2008: 243)
2.1.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hiperternsi, diabetes mellitus
atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu (Muttaqin, 2008: 243).
2.1.5 Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
1) Pengkajian psikologis: klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif dan perilaku klien. Pola persepsi dan konsep diri yang
didapatkan, klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah,
tidak kooperatif. Pola penanggulangan stres, klien biasanya mengalami
kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya. (Muttaqin, 2008: 243).
2) Pengkajian Sosial: adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
Perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat (Muttaqin, 2008: 243).
3) Pengkajian Spiritual: pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang
melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan
atau kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (Muttaqin, 2008: 243-244).

16
2.1.6 ADL (Activity Daily Life)
1) Nutrisi: kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka mulut,
gangguan pengecapan rasa pahit, asam, asin, dan manis, penurunan
kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, mual muntah karena
peningkatan produksi asam lambung, nafsu makan menurun (Muttaqin,
2008: 246).
2) Eliminasi: adanya perubahan pola berkemih dan BAB (inkontinensia urin
dan alvi), tidak mampu mengkomunikasikan kebutuhan (Muttaqin, 2008:
248).
3) Aktivitas dan istirahat: kesulitan berakitivas karena kelemahan/ hemiparesis
dan kelumpuhan/hemiplegia. Mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat (Muttaqin, 2008: 248).
4) Hygiene Personal: tidak mampu memenuhi kebutuhan hygiene personal
karena kelumpuhan atau kelemahan pada anggota gerak, mengalami
gangguan kontrol motorik volunter sehingga tidak bisa melakukan hygiene
personal sendiri (Muttaqin, 2008: 247).
2.1.7 Pemeriksaan Fisik
2.1.7.1 Sistem Pernapasan
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan bartuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat
kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran komposmentis pada
pengkajian inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi toraks
didapatkan bunyi napas tambahan (Muttaqin, 2008: 244). Terjadi
perubahanan apabila timbul herniasi yaitu tingkat herniasi di thalamus
pernapasan Cheyne-stokes, herniasi di otak tengah pernapasannya
neurogenik sentral, herniasi di pons dan serebelum pernapasannya Biot,
herniasi pada medulla pernafasannya ataksia; apneusis

17
2.1.7.2 Sistem Sirkulasi
Pengkajian pada sistem sirkulasi didapatkan peningkatan tekanan darah,
penurunan nadi (Muttaqin, 2008: 244).
2.1.7.3 Sistem Persarafan
(1) Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan
respon terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk
mendeteksi disfungsi system persarafan. Pada keadaan lanjut, tingkat
kedaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor dan
semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS
sangat penting untuk menilai kesadaran klien dan bahan untuk evaluasi
untuk pemantauan pemberian asuhan (Muttaqin, 2008: 245).
(2) Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik dimana pada
klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan
(Muttaqin, 2008: 245).
(3) Fungsi intelektual: didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung
dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami kerusakan otak yaitu
kesukaran untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu
nyata (Muttaqin, 2008: 245).
(4) Kemampuan bahasa: penurunan kemapuan berbahasa tergantung pada
daerah lesi yang mempengaruhi fungsi serebri. Lesi pada hemisfer yang
dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior didapatkan
difasia reseptif yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau tertulis.
Lesi pada posterior dari girus frontalis inferior didapatkan disfagia ekspresif
dimana klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan
bicaranya tidak lancar (Muttaqin, 2008: 245).
(5) Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila
kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat
ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman,

18
lupa dan kurang motivasi yang menyebabkan klien ini nmengahdapi
masalah frustasi dalam program rehabilitas mereka. Depresi umum terjadi
dan mungkin diperberat oleh respons alamiah klien terhadap penyakit
katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam
dan kurang kerjasama (Muttaqin, 2008: 245).
(6) Hemisfer: stroke infark pada hemisfer kanan menyebabkan hamisfer kiri
tubuh, penilain buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkin terjatuh kesisi yang berlawanan tersebut. Stroke pada
hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat
hati-hati, kelainan lapang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan
mudah frustasi (Muttaqin, 2008: 245-246).
(7) Pengkajian saraf cranial:
(1) Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman (Muttaqin, 2008: 246).
(2) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer di
antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat
memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh (Muttaqin, 2008: 246).
(3) Saraf III, IV, dan VI. Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi
otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit (Muttaqin, 2008: 246).
(4) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan
kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus dan eksternus (Muttaqin,
2008: 246).
(5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris, otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat (Muttaqin, 2008: 246).

19
(6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
(Muttaqin, 2008: 246).
(7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut (Muttaqin, 2008: 246).
(8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
(Muttaqin, 2008: 246).
(9) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi.
Indra pengecapan normal (Muttaqin, 2008: 246).
(8) Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volunteer terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas,
gangguan kontrol motor volunteer pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak (Muttaqin,
2008: 247):
(1) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan
salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
(2) Fasikulasi didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
(3) Tonus otot didapatkan meningkat.
(4) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan nilai kekuatan otot
pada sisi yang sakit didapatkan nilai 0.
(5) Keseimbangan dan koordinasi, mengalami gangguan karena hemiparese dan
hemiplegia.
(9) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
derajat refleks pada respons normal: Pemeriksaan refles patologis, pada fase
akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa
hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks
patologis (Muttaqin, 2008: 247).
(10) Tidak ditemukan adanya tremor, Tic (kontraksi saraf berulang), dan
distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum
terutama pada anak dengan stroke disertai peningkatan suhu tubuh yang
tinggi (Muttaqin, 2008: 247).

20
(11) Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterprestasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan
jaras sensorik primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area
spasial) sering terlihat pada klien dengan hemipleghia kiri. Klien mungkin
tidak dapat mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. Kehilangan sensorik
karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih
berat, dengan kehilangan proprioseptif (kemampuan untuk merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan
stimuli visual, taktil, dan auditorius (Muttaqin, 2008: 247-248).
2.1.7.4 Sistem Perkemihan
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan control motorik
dan postural. Kadang-kadang control sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas
(Muttaqin, 2008: 248).
2.1.7.5 Sistem Pencernaan
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual, dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan
kebutuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
nurologis luas (Muttaqin, 2008: 248).
2.1.7.6 Sistem Muskuloskeletal dan Integumen
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volunteer terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas,
gangguan control motor volunteer pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motor paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi

21
tubuh, adalah tanda lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu
perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol
karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya ksukaran untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik, atau paralisis/hemiplegia,
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat (Muttaqin,
2008: 248).

2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Carpenito (2006:567-568):
1) Resiko peningkatan tekanan intracranial
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi
sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik.
3) Inkontinensia urine: Fungsional berhubungan dengan ketidakmampuan atau
kesukaran untuk mencapai kamar kecil sekunder akibat penurunan
mobilitas atau motivasi.
4) Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan penururnan fungsi motorik
sekunder akibat kerusakan neuron motorik atas
5) Defisit perawatan diri berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik.
6) Hambatan komunikasi berhubungan dengan diartria atau afasia
7) Gangguan sensori perceptual berhubungan dengan hipoksia dan kompresi
atau perubahan letak jaringan otak
8) Resiko cedera berhubungan dengan deficit lapang pandang motorik atau
persepsi.
9) Perubahan perfusi jaringan otak (serebral) berhubungan dengan hemoragi
10) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan paralisis otot
atau paresis sekunder akibat kerusakan neuron motorik atas.

2.3 Intervensi Keperawatan


2.3.1 Resiko peningkatan tekanan intracranial (Carpenito 2006:567-568)
Tujuan: TIK pada klien dapat terkontrol setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil (Wilkinson, 2011:605):

22
- Kesadaran komposmentis
- Tekanan darah: 100/70 – 140/90 mmHg (MAP= (2xSP) + (DP))
3
- Tidak kejang
- Tidak muntah proyektil
- RR teratur, frekuensi 12-20x/menit
- Pasien mengungkapkan tidak nyeri kepala
- Nadi teratur, kuat dan jelas (60-100x/menit)
Intervensi (Muttaqin, 2008:143):
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu /penyebab koma
penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK
R/ deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan
atau tindakan pembedahan
2) Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
R/ suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari
outuregulator kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi lokal
vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah maka
diikuti dengan peningkatan tekanan darah intracranial. Adanya peningkatan
tensi, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan
TIK.
3) Evaluasi pupil
R/ reaksi pupil dan penggerakan kembali dari bola mata merupakan tanda
dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf
antara simpatis dan parasimpatis merupakan respons refleks nervus cranial.
4) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit
bantal yang tinggi pada kepala.
R/ perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada
vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intracranial.

23
5) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur
R/tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek
rangsangan kumulatif.
6) Kolaborasi dalam pemberian:
(1) O2 sesuai indikasi
R/mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi
serebral dan volume darah serta menaikkan TIK
(2) Pemberian obat diuretic osmotik
R/ diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari
brain cells, mengurangi edema serebral dan TIK.
(3) Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan
R/ panas merupakan refleks dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan
metabolism O2 akan menunjang peningkatan TIK

2.3.2 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi
secret dan ketidakmampuan batuk efektif sekunder akibat cedera
serbrovaskuler.
Tujuan :klien mampu meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan
nafas agar bersih dan mencegah aspirasi dengan kriteria hasil:
- Ronkhi tidak terdengar
- Frekuensi nafas 16 -  20 x/menit.
- Tidak ada lagi penumpukan sekter pada jalan napas
Intervensi :
1) Kaji keadaan jalan napas pasien
R/ obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret
2) Lakukan fisioterapi dada dengan postural drainase, perkusi :
R/ mengatur ventilasi segmen-segmen paru dan pengeluaran sekret
3) Atur/ubah posisi secara teratur tiap 2 jam
R/ mengatur pengeluaran secret dan ventilasi segmen paru, mengurangi
resiko ateletaksis
4) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan

24
R/ membantu mengencerkan secret dan mempermudah pengeluarannya.
5) Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk
R/ mulut bersih meningkatkan rasa nyaman dan mencegah bau mulut
6) Kolaborasi dalam pemberian bronkodilator
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan secret karena relaksasi otot
brokosposme.
7) Observasi frekuensi pernapasan, bunyi nafas, ada tanda-tanda sianosis, pucat
dan sputum
R/ frekuensi pernafasan normal dan tidak terdengar bunyi nafas ronkhi dan
klien tidak batuk mengindikasikan keefektifan bersihan jalan napas

2.3.3 Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan penururnan fungsi motorik


sekunder akibat kerusakan neuron motorik atas (Carpenito 2006:567-568)
Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya
Kriteria hasil:
- Mempertahankan posisi optimal dari fungsi dibuktikan oleh tak
adanya kontraktur
- Mendemostrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas.
- Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan dengan cara
teratur.
2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (terlentang atau miring dan sebagainya)
dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi
bagian yang terganggu.
R/ menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemik jaringan. Daerah yang
terkenan mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan
sensasi dan lebih besar menimbulkan kerudakan pada kulit/dekubitus.
3) Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sehari jika pasien
dapat mentoleransi

25
R/ membentu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional tetapi
kemungkinan akan meningkatkan ansietas terutama mengenai kemampuan
pasien untuk bernapas.
4) Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas saat masuk. Anjurkan melakukan latihan seperti latihan
quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari kaki/telapak.
R/ meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah
kontraktur. Menurunkan resiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis
jika masalah utamanya adalah perdarahan.
5) Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong atau
menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan.
R/ dapat berespon dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih
terganggu dan memerlukan dorongan serta latihan aktif untuk menyatukan
kembali sebagai bagian dari tubuhnya sendiri.
6) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan ambulasi
pasien.
R/ program yang khusus dapat bahasa sendiri.

2.3.4 Gangguan sensori perceptual berhubungan dengan hipoksia dan kompresi


atau perubahan letak jaringan otak (Carpenito 2006:567-568)
Tujuan: Meningkatnya persepsi sensorik: perabaan secara optimal dengan
kriteria hasil:
- Memulai/mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perceptual
- Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan
residual
- Mendemostrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap
defisit/hasil.
Intervensi (Doenges, 2000:300):
1) Kaji kesadaran sensori, seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul,
posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian

26
R/ Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan perasaan kinetik
berpengaruh terhadap keseimbangan/posisi dan kesesuaian dari gerakan
yang mengganggu ambulasi, meningkatkan resiko terjadinya trauma.
2) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan, seperti memberikan klien suatu
benda untuk menyentuh, meraba.
R/ Melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan
intepretasi diri. Membantu klien untuk mengorientasikan bagian dirinya dan
kekuatan dari daerah yang terpengaruh.
3) Observasi kemampuan persepsi klien
R/Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidakkonsistenan dari persepsi
dan integrasi stimulus.

2.3.5 Defisit perawatan diri berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik


(Carpenito 2006:567-568).
Tujuan: Terjadi peningkatan perilaku dalam perawatan diri setelah
dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil:
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan
kemampuan klien
- Mengidentifikasi personal/ masyarakat yang dapat membantu
Intervensi (Doenges, 2000:302):
(1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri
R/ Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan
secara individual
(2) Pertahankan dukungan, sikap yang tegas. Beri pasien waktu yang cukup
untuk mengerjakan tugasnya.
R/ pasien akan memerlukan empati tetapi perlu untuk mengetahui
pemberian asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten.
(3) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan
dengan sikap sungguh
R/ Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-menerus
(4) Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri,
tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan

27
R/ Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong
klien untuk berusaha secara kontinyu
(5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
R/ Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi
dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus

2.3.6 Resiko cedera berhubungan dengan deficit lapang pandang motorik atau
persepsi (Carpenito 2006:567-568).
Tujuan: Klien terhindar dari cedera setelah dilakukan tindakan keperawatan
dengan kriteria hasil:
- Memantau faktor resiko perilaku indivudu dan lingkungan
- Mengembangkan strategi pengendalian resiko yang efektif
- Menerapkan strategi pengendalian resiko pilihan
- Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko.
Intervensi (Wilkinson, 2011:430):
1) Peningkatan komunikasi pada klien dengan gangguan pendengaran
R/ membantu dalam menerima dan mempelajari metoda alternative agar
dapat hidup dengan penurunan kemampuan pendengaran
2) Pencegahan pasien jatuh
R/ mempraktikkan tindakan kewaspadaan khusus bersama pasien yang
beresiko terhadap cedera akibat jatuh.
3) Pemberian edukasi kesehatan
R/ mengembangkan dan memberikan bimbingan dan pengalaman belajar
untuk memfasilitasi adaptasi secara sadar perilaku yang kondusif untuk
kesehatan individu, keluarga, kelompok dan komunitas.
4) Surveilans keamanan
R/ mengumpulkan dan menganalisis infosmasi secara terarah mengenai
pasien dan lingkungan untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan dan
memelihara keamanan pasien.

28
2.3.7 Inkontinensia urine: Fungsional berhubungan dengan ketidakmampuan atau
kesukaran untuk mencapai kamar kecil sekunder akibat penurunan mobilitas
atau motivasi (Carpenito 2006:567-568).
Tujuan: Klien mampu mengontrol eliminasi urinya setelah dilakukan
tindakan keperawatan dengan kriteria hasil:
- Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia
- Tidak ada distensi bladder
Intervensi (Muttaqin, 2008):
1) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam
R/ pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enuresis
2) Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kutaneus
dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal).
R/ melatih dan membantu pengosongan kandung kemih.
3) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada
jadwal yang telah direncanakan
R/ kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung
volume urine sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih.
4) Observasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering.
R/ berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung
kemih yang berlebih.

2.3.8 Perubahan perfusi jaringan otak (serebral) berhubungan dengan hemoragi


Tujuan: perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal dengan kriteria
hasil:
- Klien tidak gelisah, mempertahankan, fungsi kognitif dan
motorik/sensori
- Tidak (gelisah, keluhan nyeri kepala,kejang, mual, dan muntah)
- TTV dalam batas normal (nadi: 60-100x/menit, Tekanan darah:
110/70 – 120/90 mmHg.
- Tingkat kesadaran normal (GCS 4-5-6, pupil isokar,reaksi cahaya +/+)

29
Intervensi :
1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab gangguan
perfusi jaringan otak dan akibatnya
R/Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan
2) Baringkan klien dengan posisi tidur terlenang tanpa bantal
R/ perubahan tekanan intracranial akan dapat menyebabkan resiko
terjadinya herniasi otak.
3) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R/ Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan
potensial terjadi perdarahan ulang
4) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
R/ Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan
TIK. Istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan
terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik/ perdarahan lainnya
5) Observasi dan catat tanda-tanda status neurologis dengan GCS, keluahan
nyeri kepala, mual muntah, nadi, dan tekanan darah, haluaran urin.
R/ Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan
untuk penetapan tindakan yang tepat serta dapat mengurangi kerusakan
otak lebih lanjut.

2.3.9 Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek kerusakan pada


hemisfer bahasa atau wicara (kiri atau kanan)
Tujuan: Klien menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi,
mampu mengespresikan perasaanya dengan kriteria hasil :
- Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun
menggunakan bahasa isyarat dengan baik.
Intervensi
1) Kaji tipe disfungsi, misalnya klien tidak mengerti tentang kata-kata atau
masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri.
R/ Membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan
kesulitan klien dengan sebagian atau seluruh proses komunikasi.

30
2) Lakukan metode percakapan yang baik dan lengkap, beri kesempatan klien
untuk mengklarifikasi.
R/ Dengan percakapan yang lengkap dapat merealisasikan pengertian klien
dan dapat mengklarifikasi percakapan.
3) Hindarai ucapan yang terlalu cepat, beri waktu klien untuk merespon dan
hindari berbicara secara sepihak
R/ Memungkinkan klien dihargai karena kemampuan intelektualnya masih.
4) Observasi kemampuan komunikasi verbal dan merespon isi pembicaran
R/ mengetahui perkembangan komunikasi pasien

2.3.10 Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan otot mengunyah dan menelan (Doenges, 2000)
Tujuan: Tidak terjadi gangguan nutrisi dengan kriteria hasil:
- Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan 1 kg
- Hb dan albumin dalam batas normal
- Terdapat kemampuan menelan
- Turgor baik
- Asupan sesuai dengan kebutuha
Intevensi
1) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk
R/ Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien
2) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan
R/ Untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi
3) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut dengan menekan
ringan diatas bibir
R/ membantu dalam melatih kembali sensorik dan meningkatkan control
muskular
4) Berikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat
menelan air
R/ Makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya didalam
mulut, menurunkan terjadinya aspirasi
5) Berikan makan dengan perlahan pada lingkunagn tenang

31
R/ Klien mampu berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
distraksi
6) Anjurkan klien untuk menggunakan sedotan untuk minum\
R/ Menguatakan otot fasial dan otot menelan serta menurunkan resiko
terjadinya tersedak
7) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan ciran melalui iv atau
makanan melalui selang
R/ Untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika klien tidak
mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut
8) Observasi berat badan, Hb dan albumin
R/ mengetahui perkembangan status gizi pasien sekaligus melihat perbaikan
lobus frontal

32
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Alih


bahasa Yasmin Asih. Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. (2008). Buku Saku Patofisiologi. Ed 3. 2009. Alih Bahasa:


Nike Budhi Subekti. (2009). Jakarta: EGC

Doenges, Marylnn.(2000). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian erawatan pasien. Edisi 3. Alih
bahasa: Monica Ester. (1999). Jakarta: EGC

George, Dewanto. 2009. Panduan Praktis Diagnosa Dan Tatalaksana Penyakit


Saraf. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Price, Sylvia A.(2005).Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Alih bahasa Huriawati, Hartanto. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth. edisi 8. Alih Bahasa: Agung Waluyo. (2001).
Jakarta:EGC
Liebeskid, David. (2013) (http://emedicine.medscape.com/article diakses tanggal
15 Mei 2013 pkl 00:05 am)

33

Anda mungkin juga menyukai