Anda di halaman 1dari 5

ABAH DAN UMI, MAAFKAN PUTRAMU INI HARUS PERGI

KARYA PURNAMA

Rintik gerimis sahdu, menderu pelan di atas mobilku yang merapat sayu di sisi
trotoar. Aku menunggu Lani di depan Gereja Santa Ana. Gereja Katolik berarsitektur
spanyol. Patung lelaki berjenggot tebal berdiri agung di atas beranda gereja, basah kuyub
oleh percikan gerimis. Lani menyebut lelaki itu dengan nama Yesus Kristus, sedangkan aku
menyebutnya Isa Al masih, al-Masih al-Isra’ili bin Maryam. Ia hadir dalam kitab suciku dan
ia juga hadir dalam kitab suci Lani. Pria dari Nazaret itu dahulu mengorbankan jiwa raganya
di bukit Gorgota demi manusia, begitu tutur Lani yang meyakini lelaki itu sebagai Tuhan.
Sedangkan aku menyakini pria itu sebagai Nabi utusan Tuhan. Ya, suatu perbedaan
transenden dalam hubungan cinta kami.

Francisca Meilani, gadis katolik yang telah mematri hatiku pada batang salib
cintanya. Merentangkanya dalam buaian asmara yang mengoda. Yang membuatku terpaku
untuk tidak meninggalkanya. Menderaku dengan siksaan rindu dan menancapkan mahkota
duri-duri cemburu kala tak bertemu. Gadis sederhana dengan berjuta pesona. Pesona dalam
teguhnya satu komitmen dalam dua perbedaan yang dalam. Kurasakan ruh keselarasan dalam
harmoni perbedaan. Ruh yang menghidupkan satu kebersamaan, ruh yang menjiwai satu
tujuan satu kasih. Ruh yang akan tetap melangkahkan dua hati dalam satu jiwa.

Wipper di kaca depan mobilku menyapu pelan, terus berusaha menyingkirkan bintik-
bintik gerimis yang memburamkan bening kaca. Bergerak beriring kearah horizontal dan
vertikal, seperti gerak syaraf otakku yang terus berusaha menyapu kegelisahan hati.
Kegelisahan tentang rencana pernikahanku dan Lani, rencana masa depan dengan satu jurang
perbedaan yang dalam. Sudah hampir tiga tahun kami berpacaran, perbedaan itu tidak pernah
mengusik jalinan cinta kami. Karena saling mengerti dan memahami keyakinan masing-
masing. Lani gadis Katolik yang taat, tak pernah sedikitpun aku memintanya untuk
mengganti keyakinannya untuk sama dengan keyakinanku. Begitu juga Lani yang tetap
menghargai keyakinanku. Setelah sekian lama berpacaran kami memantapkan hati untuk
melanjutkan ke jenjang pernikahan. Satu moment sakral yang dinanti-nanti dalam cerita cinta
dua anak manusia.

Walau kami sudah memiliki tekad bulat yang satu. Namun colective consainess tak
selamanya sejalan dengan keinginan individu. Dalam agamaku dan agamanya tak ada celah
untuk membangun jembatan yang menghubungkan cinta dalam perbedaan keyakinan.
Jembatan indah yang menghubungkan antara dua hamparan benua hati yang terpisahkan oleh
luas dan dalamnya samudara keyakinan. Apalagi hukum negeri ini. Hukum negeri ini hanya
melegalkan suatu perkawinan hanya dengan cara satu agama saja. Setelah menemui jalan
buntu dari sisi agamaku. Agamaku hanya mengizinkan jika Lani menjadi mualaf. Namun aku
tidak setuju. Karena jika toh nanti Lani masuk Islam, itu bukan dari keyakinanya. Karena aku
tahu betul tingkat keimanan Katoliknya. Lani berusaha mencari cara dalam cara agamanya.
Berdiskusi dengan Pastor di Paroki untuk meminta dispensasi. Agama dengan segala
eklusifitas hukumnya tak bisa di ganggu gugat. Mempertanyakan hukum agama berarti kafir
dengan sederet ancaman dosa. Entah mengapa, jikalaupun kita berkeyakinan dengan tulus
adanya Tuhan, tentunya kita tidak perlu lagi memikirkan ancaman neraka, dosa, siksa alam
baka. Kita ikhlas dengan Tuhan tanpa adanya janji surga dan neraka. Yang terpikir adalah
segala tindakan kita menuju ke muara kebaikan. Ketakutan kita hanya satu perbuatan
kejahatan berarti menghianati Tuhan. Salahkah aku jika hendak mempersunting gadis lain
keyakinan? Jahatkah aku jika kelak hendak beristri gadis lain keyakinan?

Lani terlihat berjalan tenang dari pintu gereja. Berjalan lentik, anggun mempesona.
Perpaduan rok putih berenda bawah lutut dengan atasan batik corak halus, memperindah
gerakan tubuhnya yang langsing. Rambut bleaching tipis yang dibiarkan terurai, dengan agak
blonde yang menggantung pada ujung-ujungnya. Style feminim khas Lani, oh gadisku. tak
bisa aku pungkiri, Sebagai manusia lelaki dengan segala sifat kemanusiaanku, aku
mengagumi fisiknya yang indah, namun bukan itu yang utama, karena fisik bisalah berubah
mengikuti hukum waktu. Segar bisa menjadi layu, muda pada akhirnya menjadi tua. Aku
mencintai Lani dengan ketulusan, atas rasa ikhlasnya yang tetap teguh mempertahankan cinta
dalam perbedaan diantara kami. Keihlasanya mencintaiku menjadi kunci bertahanya cinta ini.
Matanya yang belo’ menyisir jalanan depan gereja mencari keberadaanku. Aku lekas
membuka kaca mobil dan melambaikan tangan kepadanya. Disambutnya aku dengan dengan
senyuman manis, terlihat jelas pesonanya diantara gerimis yang tercecer menyejukan. Dalam
gerimis tipis ia berlari kearahku, agak tergopoh membuka pintu dan masuk ke dalam mobil
menghindari keroyokan partikel-partikel air. Aku memandanginya pelan dengan gesture tak
sabar untuk segera mengetahui hasil diskusinya dengan pastur.

“Gimana sayang, hasil diskusi dengan Romo tadi?”.tanyaku sembari menyodorkan


handuk kecil kepadanya”.

Lani mengusap bintik-bintik air di mukanya yang halus, tersenyum gembira


bercampur resah. Resah jika aku tak sepakat denganya. ia menjelaskan hasil diskusinya
dengan pastur. Ia menuturkan bahwa dalam katolik Perkawinan beda agama bukanlah hal
yang ideal, harus ada izin Uskup kalau seorang Katolik ingin menikah dengan orang yang
beda agama. selain itu masih harus memenuhi syarat, yaitu  Perkawinan dilakukan secara
Katolik, Lani harus tetap mempertahankan iman katoliknya, dan kami harus sepakat bahwa
anak-anak kami kelak akan diBaptis secara Katolik dan dididik dalam iman Katolik, dan Lani
sebagai pihak Katolik harus bersedia berupaya sebisanya untuk ini.

Alhamdullah sedikit titik terang terlihat. Ada celah untuk kami mewujudkan impian
pernikahan. Aku menyanggupi syarat pertama dan kedua. Bukan,.. bukan lantaran aku
menghalakan segala cara untuk mencapai keinginan. Namun hanya inilah jalan satu-satunya
untuk melegalkan pernikahan kami. Aku pun tidak hendak keluar dari keyakinanku. Aku
tetap teguh dalam keyakinanku, begitu juga Lani. Jikalapun pernikahan ini bakal berlangsung
diluar keyakinanku, bukan berarti aku mengingkari keyakinanku. Kurasa Tuhan maha
mengetahui. Aku tetap percaya satu, Tuhanku yang juga Tuhannya Lani. Hanya kendaraan
kami menuju Tuhan yang berbeda. Tentang syarat yang ketiga. Kami sepakat kelak akan
memberikan kebebasan kepada anak-anak kami untuk memilih jalanya sendiri dalam
bimbingan kami. Bukan pula Lani hendak mengkari janjinya pada gereja. Namun itu hanya
pernyataan dalam kesaksian. Dan jika melanggar itu adalah urusan moral dengan gereja.
Hanya Tuhan yang maha mengetahui, Karena keyakinan bukanlah suatu warisan, namun
tumbuh kembang dari hati nurani.

Binar bahagia belumlah terang terwujud. Tantangan selanjutnya yang harus kami
lewati adalah orang tua kami. Manusia-manusia mulia yang tulus ikhlas merawat, mendidik
dan membesarkan kami. Mahluk Tuhan yang mengemban titah sebagai alat untuk
memproduksi daging-daging bernyawa yang disebut manusia. Daging-daging bernyawa yang
menjalankan tugas sebagai punghuni alam raya. Sebagai kalifah Tuhan yang berkuasa atas
mayapada. Orang tua kami masing-masing selama ini hanya mengetahui kalau hubungan ini
hanya sekedar teman biasa. Lantaran perbedaan keyakinan, kami tak memberitahukan bahwa
kami adalah sepasang kekasih. Namun kini sudah tiba saatnya untuk aku dan Lani berterus
terang pada orang tua kami masing-masing.

Malam selepas isya’, Abah terlihat duduk santai di sofa ruang tamu, membelakangi
pigura kaca bergambar kota suci Mekah,  tenunan karpet Turki berbentuk ka’bah dan masjidil
Haram yang dipenuhi manusia-manusia yang sedang menyempurnakan imanya. Dengan
deretan kaligrafi dari ayat kursi sampai surat Al Fatihah yang mengitari dinding ruangan.
Raut wajah tuanya terlihat cerah oleh bekas air wudlu sholat isya. Berbaju koko dengan peci
haji yang serupa dengan uban yang mulai memenuhi rambutnya. Tangan kirinya memegang
satu kitab bercover ukiran corak arab, dengan tulisan arab yang berlafal ushul fikih al-Syafii.
Memilah-milah halaman demi halaman untuk dibacanya. Ia seorang muslim yang taat. Terus
memperdalam kitab-kitab pengetahuan ilmu agama. Bahkan namaku pun di ambil dari bahasa
arab, Rijal Ar Rafi, yang konon artinya Lelaki yang memuliakan. Dari nama itu Mungkin ia
berharap anak lelakinya ini, sebagai orang yang selalu memuliakan/menghargai orang lain.
Dulu sewaktu kecil aku memanggilnya Ayah dan setelah naik haji, ia lebih suka untuk
dipanggil abah. Semenjak itu, ia semakin gandrung dengan kultur arab. Sampai-sampai
arsitektur pintu rumah di rubah menjadi pelengkung mirip kubah masjid. Ia tak lagi suka
mendengarkan musik campursari  dan berganti gandrung dengan musik sholawat dan
gambus. Ia Nampak menemukan suasana batin yang mempertebal keimananya dalam Islam.
Kendaraan menuju Tuhan yang dinahkodai oleh seorang pria Arab bernama Muhammad.
Nahkoda yang kuagungkan sebagai manusia mulia dengan segenap sifat kemanusiaanya.

Aku menghampiri abah dengan langkah gugup. Ku tindas rasa gugupku dengan
memberi salam dan mencium taksim tangannya.  Ia meletakkan kitab di tanganya ke atas
meja. Menyeka muka dengan dua telapak tangan, dengan suara pelan berdesis hamdallah. Ya,
itulah abahku, muslim taat yang selalu mengawali aktivitas dengan opening basmallah dan
closing hamdallah. Muslim taat yang memaknai tingkah polahnya sebagai ibadah, dengan
peranti pendukung segala sesuatu kultur dimana agamanya lahir. Dengan senyum penuh
wibawa menyambutku, dilanjut dengan sederet perbincangan tentang, hal-hal aktual, aktivitas
dan pekerjaanku. Aku sengaja lebih banyak membahas tentang isu-isu pergeseran kelompok-
kelompok agama yang sering terjadi akhir-akhir ini. Ingin mengetahui kadar tanggapanya
tentang perbedaan keyakinan. Dari konflik Ahmadiyah sampai terror bom. Ia menanggapi
berbagai peristiwa itu dengan penuh rasa penyesalan. Penyesalan atas kekerasan-kekerasan
yang seharusnya tak perlu dilakukan. Penyesalan atas ternodanya citra agamanya karena
tindakan-tindakan tersebut. Abah memang seorang muslim fanatik akan islam dengan segala
pirantinya, namun fanatik yang dibarengi rasa toleransi.

Dalam resah aku mencari celah dan kesempatan untuk menyampaikan niatku untuk
mempersunting Meilani. Lebih tepatnya meminta restu.  Sampai pada akhirnya kutemukan
jeda waktu yang tepat, setelah kurasa abah mulai asik dengan perbincangan ini. Sangat hati-
hati dan sunguh-sungguh kesampaiakn niatku kepadanya. Dalam hati aku mengharap sangat,
dari sifat toleransi beragamanya dari perbincangan pembuka tadi, berharap ia dapat
memahami dan memberikan restu rencana pernikahanku dan Lani.

Setelah kusampaikan niatku. Suasana berubah menjadi beku. Ditariknya nafas dalam-
dalam. Kurasakan mimik mukanya yang agak terkejut. Walau tak Nampak jelas. Sebentar ia
memandangiku, menoleh dan menebar pandang ke dinding-dinding ruang tamu yang penuh
hiasan kaligarfi. Mungkin ia menyadari dan berfikir bahwa putranya sengaja
memperbincangkan masalah perbedaan keyakinan sejak awal, yang pada ujungnya bermuara
pada permasalahan anak lelakinya tersebut. Permasalahan yang menyeret dirinya pada
pergulatan batin. Kalau dalam perbincangan awal tadi posisinya hanya sebagai komentator,
maka kini ia masuk sebagai salah satu aktor dalam lakon perbedaan keyakinan. Aktor yang
tidak hanya mengomentari, tetapi langsung terlibat. Oh, maafkan aku abahku sayang…..

“Nak,…..” dengan suara berat ia memecah kebekuan diantara kami.kemudian melanjutkan


ucapanya. “Sepenuh hati, abah menyadari adanya perbedaan. Sepenuh hati abah menjunjung
toleransi, oleh karenanya abah tak pernah melarangmu bergaul dengan Lani”

Aku hanya terdiam dan berdebar mendengarkan satu-persatu ucapanya. Dan menunggu
kelanjutan perkatanya.

“Abah tidak mempermasalahkan pergaulanmu dengan Lani, tapi hanya untuk ranah
silahturahmi sesama manusia, bukan ranah tauhid, teologi. Kamu tahu nak, apa hukum
pernikahan beda agama dalam agama kita?. Haram nak, haram.. kafir ingatlah itu”. Kini suara
abahku berubah semakin meninggi.

“Maaf abah, bagaimana dengan surat al-Maidah ayat 5? Bukankah seorang laki-laki
muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan ahlul kitab (non-muslim dalam lingkup
agama samawi)”.Aku mencoba memberi dasar atas keputusan yang hendak aku jalani.

Bergegas ia menegakakan duduknya. “benar nak, tapi kau juga harus membaca surat Ali
Imran ayat 113. Ahlul kitab yang bagaimana? itulah yang harus kamu ketahui. Lebih banyak
mafsadatnya dari  pada maslahatnya”.
Ia menambahkan, dan kini kata-katanya keluar dengan suara yang lebih
tegas. “Renungkanlah nak!!!, mau jadi apa rumah tanggamu kelak, dengan perbedaan
keyakinan? Mau jadi apa kau kelak? Mau jadi apa istrimu kelak? Mau jadi apa anak-anakmu
kelak?. Kalian hanya akan jadi manusia-manusia yang tak berprinsip. Manusia-manuisia yang
menanggalkan prinsip demi nafsu keduniawian. Manusia-manusia yang akan menjadikan
keturunanku menjadi manusia tak berprinsip. Atau mungkin kau tak menganggap lelaki tua
ini sebagai abahmu lagi?”.

Umi tergopoh menghampiri kami. Ia terlihat tergopoh dari ruang belakang, lantaran
mendengar suara abah yang tak biasanya menjadi keras. Namun tak ada yang bisa ia perbuat
untuk membelaku dari amukan kata-kata abah. Dari tempat duduknya abah segera berdiri,
dan segera mengajak Umi meninggalkan ruang tamu. Umi sekilas memandangiku iba. Dua
orang manusia yang telah membesarkanku itu Nampak kecewa dengan putranya. Anak lelaki
yang selalu dinanti kehadiranya kala ia masih mendekam dalam rahim. Dididik dan
dibesarkan dengan peluh dan kasih, kini melukai hati mereka. Tak kalah sengit, orang tua
Lani. Ia seraya menangis menelponku,  “terang tak bisa bersatu dengan gelap”. Katanya
menirukan perkataan orang tuanya.

Oh,.. Tuhan ampuni aku. Tak ada maksud aku menyakiti mereka. Tak sedikitpun
tergores niat untuk mengecewakan mereka. Mengecewakan mereka kah jika aku hendak
menunjukkan indahnya perbedaan?. Ya, Perbedaan agama, perbedaan yang menjadi sebab
perang salib harus terjadi, perbedaan yang menjadi sebab serentetan peristiwa terror Bom di
negeri ini, perbedaan yang menjadi sebab orang-orang berjubah dan sok suci petantang-
petenteng, mengkafirkan kelompok lain. Memukul, menghantam dan dengan bringas ingin
memusnahkan manusia-manusia yang dianggapnya kafir. Oh,.. bukan..bukan.. bukan lantaran
agama semua itu terjadi, namun lantaran perebutan kekuasaan. Agama itu suci adanya, sakral
adanya, namun akan menjadi kotor ketika sudah menjelma menjadi kekuasaan. Sumpah
jabatan dibawah kitab suci-pun tak bisa menjadi patokan bagi penguasa untuk tidak lalim.

Anda mungkin juga menyukai