Anda di halaman 1dari 9

Talqin itu ada dua macam: yaitu Talqin sunnah dan Talqin bid’ah

[Pertama] Talqin Sunnah


( 501 ) – ُ‫ { لَقِّنُوا َموْ تَا ُك ْم اَل إلَهَ إاَّل هَّللا ُ } َر َواه‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ َوَأبِي ه َُري َْرةَ َر‬، ‫َوع َْن َأبِي َس ِعي ٍد‬
َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَااَل‬
ُ‫ُم ْسلِ ٌم َواَأْلرْ بَ َعة‬

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ajarilah orang-orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian ucapan laa ilah illallah.” (Ibnu Hajar
dalam Bulughul Maram no 501 mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan kitab hadits
yang empat.” [Nasai, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, pent]”).
Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
“Apa yang perlu dilakukan oleh orang yang duduk di dekat orang yang hendak meninggal dunia? Apakah
membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia adalah amal yang berdasar hadits
yang shahih atau tidak?”.
Jawaban beliau:
“Membesuk orang yang sakit adalah salah satu hak sesama muslim, satu dengan yang lainnya. Orang
yang menjenguk orang yang sakit hendaknya mengingatkan si sakit untuk bertaubat dan menulis wasiat
serta memenuhi waktunya dengan berdzikir karena orang yang sedang sakit membutuhkan untuk
diingatkan dengan hal-hal ini.
Jika si sakit dalam keadaan sekarat dan orang-orang di sekelilingnya merasa yakin bahwa si sakit hendak
meninggal dunia maka sepatutnya orang tersebut ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana perintah Nabi.
Orang yang berada di dekat orang yang sedang sakaratul maut hendaknya menyebut nama Allah (baca:
laa ilaha illallah) di dekatnya dengan suara yang bisa didengar oleh orang yang sedang sekarat sehingga
dia menjadi ingat. Para ulama mengatakan dia sepatutnya menggunakan kalimat perintah untuk keperluan
tersebut karena boleh jadi dikarenakan sedang susah dan sempit dada orang yang sekarat tadi malah tidak
mau mengucapkan laa ilaha illallah sehingga yang terjadi malah suul khatimah. Jadi orang yang sedang
sekarat tersebut diingatkan dengan perbuatan dengan adanya orang yang membaca laa ilaha illallah di
dekatnya.
Sampai-sampai para ulama mengatakan bahwa jika setelah diingatkan untuk mengucapkan laa ilaha
illallah orang tersebut mengucapkannya maka hendaknya orang yang mentalqin itu diam dan tidak
mengajaknya berbicara supaya kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah. Jika orang yang
sedang sekarat tersebut mengucapkan sesuatu maka talqin hendaknya diulangi sehingga kalimat terakhir
yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah.
Sedangkan membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia adalah amalan yang
dianjurkan oleh banyak ulama mengingat sabda Nabi, “Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang
hendak meninggal dunia di antara kalian.”
Akan tetapi derajat hadits ini diperbincangkan oleh sebagian ulama. Jadi kesimpulannya, menurut ulama
yang menshahihkan hadits tersebut maka membaca surat Yasin di dekat orang yang meninggal dunia
adalah amalan yang dianjurkan. Sedangkan menurut ulama yang menilainya sebagai hadits yang lemah
maka perbuatan tersebut tidaklah dianjurkan.” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/40, Asy Syamilah).
[Kedua] Talqin Bid’ah
‫ال ِع ْن َد‬ َ َ‫َأ ْن يُق‬. ُ‫ص َرفَ النَّاسُ َع ْنه‬ ِ ِّ‫ي َعلَى ْال َمي‬
َ ‫ َوا ْن‬، ُ‫ت قَ ْب ُره‬ َ ‫ كَانُوا يَ ْست َِحبُّونَ إ َذا ُس ِّو‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ – َأ َح ِد التَّابِ ِعينَ – قَا َل‬ ِ ‫ب َر‬ ٍ ‫ض ْم َرةَ ب ِْن َحبِي‬ َ ‫َوع َْن‬
– ‫ُور َموْ قُوفًا‬ ٍ ‫ص‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬
َ ُ‫ْن‬ ‫ب‬ ُ
‫د‬ ‫ي‬ ‫ع‬ ‫س‬ ‫ه‬ ‫ا‬
َِ ُ َ َ‫و‬‫ر‬ ، ٌ
‫د‬ ‫م‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ِّي‬
َّ َ ُ ِ َ ُ ‫ي‬ ‫ب‬َ ‫ن‬‫و‬ ، ‫م‬ ‫ْاَل‬
‫س‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ي‬
‫ُ َ ِ ِ ِإْل‬ ‫د‬‫و‬ ، ‫هَّللا‬ ‫ِّي‬ ‫ب‬‫ر‬َ ْ‫ل‬ُ ‫ق‬ : ُ‫ن‬ ‫اَل‬ُ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ،
َ ٍ َ‫ت‬‫َّا‬
‫ر‬ ‫م‬ َ
‫ث‬ ‫اَل‬َ ‫ث‬ ، ُ ‫هَّللا‬ ‫اَّل‬‫إ‬ َ ‫ه‬َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫اَل‬ : ْ‫ل‬ُ ‫ق‬ ، ُ‫ن‬ ‫اَل‬ُ ‫ف‬ ‫ا‬َ : ‫قَب ِْر ِه‬
‫ي‬
ُ ‫ُأ‬
‫ث بِي َما َمةَ َمرْ فوعًا ُمطَ َّواًل‬ ‫َأ‬ َّ
ِ ‫ َولِلطبَ َرانِ ِّي نَحْ ُوهُ ِم ْن َح ِدي‬.
Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabiin, “Mereka (yaitu para shahabat yang beliau jumpai)
menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para pengantar jenazah sudah bubar supaya
dikatakan di dekat kuburnya, ‘Wahai fulan katakanlah laa ilaha illallah 3x. Wahai fulan, katakanlah
‘Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad” [Dalam Bulughul
Maram no hadits 546, Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan oleh Said bin Manshur secara mauquf
(dinisbatkan kepada shahabat). Thabrani meriwayatkan hadits di atas dari Abu Umamah dengan redaksi
yang panjang dan semisal riwayat Said bin Manshur namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi)].
Muhammad Amir ash Shan’ani mengatakan, “Setelah membawakan redaksi hadits di atas al Haitsami
berkata, ‘Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dan dalam sanadnya
terdapat sejumlah perawi yang tidak kukenal’. Dalam catatan kaki Majma’uz Zawaid disebutkan bahwa
dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Ashim bin Abdullah dan dia adalah
seorang perawi yang lemah.”
Al Atsram mengatakan, ‘Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang apa yang dilakukan oleh
banyak orang ketika jenazah telah dimakamkan ada seorang yang berdiri dan berkata, ‘Wahai fulan bin
fulanah’. Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mengetahui ada seorang pun yang melakukannya
melainkan para penduduk daerah Syam ketika Abul Mughirah meninggal dunia. Tentang masalah
tersebut diriwayatkan dari Abu Bakr bin Abi Maryam dari guru-guru mereka bahwa mereka, para guru,
melakukannya”. Menganjurkan talqin semacam ini adalah pendapat para ulama bermazhab Syafii.
Dalam Al Manar Al Munif, Ibnul Qoyyim mengatakan:
“Sesungguhnya hadits tentang talqin ini adalah hadits yang tidak diragukan oleh para ulama hadits
sebagai hadits palsu. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam sunannya dari Hamzah
bin Habib dari para gurunya yang berasal dari daerah Himsh (di Suriah, Syam, pent). Jadi perbuatan ini
hanya dilakukan oleh orang-orang Himsh.”
Dalam Zaadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim juga berkata tegas sebagaimana perkataan beliau di Al Manar Al
Munif. Sedangkan di kitab Ar Ruuh, Ibnul Qoyyim menjadikan hadits talqin di atas sebagai salah satu
dalil bahwa mayit itu mendengar perkataan orang yang hidup di dekatnya. Terus-menerusnya talqin
semacam ini dilakukan dari masa ke masa tanpa ada orang yang mengingkarinya, menurut Ibnul Qoyyim,
sudah cukup untuk dijadikan dalil untuk mengamalkannya. Akan tetapi di kitab Ar Ruuh, beliau sendiri
tidak menilai hadits talqin di atas sebagai hadits yang shahih bahkan beliau dengan tegas mengatakan
bahwa hadits tersebut adalah hadits yang lemah.
Yang bisa kita simpulkan dari perkataan para ulama peneliti sesungguhnya hadits tentang talqin di atas
adalah hadits yang lemah sehingga mengamalkan isi kandungannya adalah bid’ah (amalan yang tidak ada
tuntunannya). Tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang yang mempraktekkannya.” (Subulus Salam
3/157, Asy Syamilah).
Syeikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang kapankah waktu talqin.
Jawaban beliau:
“Talqin itu dilakukan ketika hendak meninggal dunia yaitu pada saat proses pencabutan nyawa. Orang
yang hendak meninggal ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika
pamannya, Abu Thalib hendak meninggal dunia. Nabi mendatangi pamanya lantas berkata, ‘Wahai
pamanku, ucapkanlah laa ilaha illallah, sebuah kalimat kalimat yang bisa kugunakan untuk membelamu
di hadapan Allah’. Akan tetapi paman beliau tidak mau mengucapkannya sehingga mati dalam keadaan
musyrik.
Sedangkan talqin setelah pemakaman maka itu adalah amal yang bid’ah karena tidak ada hadits yang
shahih dari Nabi tentang hal tersebut. Yang sepatutnya dilakukan adalah kandungan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud. Nabi jika telah selesai memakamkan jenazah berdiri di dekatnya lalu
berkata, “Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah agar dia diberi keteguhan dalam
memberikan jawaban. Sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya.”
Adapun membaca Al Qur’an, demikian pula talqin di dekat kubur maka keduanya adalah amal yang
bid’ah karena tidak ada dalil yang mendasarinya” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/42, Asy
Syamilah).

Referensi: https://konsultasisyariah.com/1158-apa-hukum-talqin.html di akses 15 02 2022

Ziarah kubur ialah adalah satu kegiatan yang melekat erat dengan budaya Indonesia, umumnya ziarah
kubur dilakukan pada momen-momen tertentu. Umumya di Indonesia ziarah kubur dilakukan pada saat
menjelang bulan Ramadhan maupun mendekati Idul Fitri.
Hukum Ziarah Kubur
Menurut hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah melakukan ziarah
kubur hukumnya adalah Sunnah, karena ketika melakukan ziarah kubur maka secara tidak langsung akan
mengingatkan kita kepada kematian yang bisa datang kapanpun dan dimanapun.
Waktu Ziarah Kubur
Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang menyebutkan secara spesifik hari dan waktu yang tepat untuk
melakukan ziarah kubur. Namun menurut beberapa ulama, waktu yang tepat untuk melakukan ziarah
kubur adalah pada hari kamis setelah ashar dan pada hari Jumat.
Perlu diketahui, menurut agama Islam hari Jumat merupakan yang paling baik di antara hari-hari lain.
Salah satu hadist menyebutkan barang siapa yang melakukan ziarah ke makam orang tuanya pada setiap
hari Jumat maka Allah akan ampuni dosa-dosanya dan akan dicatat sebagai bentuk bakti kepada orang
tua.
Secara umum, arti dari kata Ziarah adalah menengok. Maka, dapat disimpulkan bahwa ziarah kubur
adalah menengok atau mengunjungi makam untuk memohon ampunan bagi si mayit.
Ziarah kubur termasuk sunah Rasulullah Saw. Disyariatkannya ziarah kubur memiliki tujuan agar kita
bisa mengambil i’tibar atau pelajaran, seperti mengingatkan kita akan alam akhirat, ketika segala amal
perbuatan kita sewaktu di alam dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Zaman dulu, ziarah kubur memang sempat dilarang oleh Nabi Muhammad Saw., karena dianggap bisa
mendatangkan kemudaratan. Kemudian ziarah kubur menjadi diperbolehkan dengan beberapa alasan
yang dapat memberikan dampak manfaat bagi umat.
Sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Buraidah: “Aku pernah
melarang kalian untuk berziarah kubur, maka berziarahlah (sekarang), karena sesungguhnya ziarah kubur
dapat mengingatkan kalian terhadap kematian”.
beberapa hikmah ziarah kubur berikut ini.
1. Mengingatkan akan alam akhirat
Bahwa kelak di alam akhirat manusia yang telah mati itu akan dibangunkan kembali oleh Allah untuk
menerima keadilan dan balasan atas segala amal perbuatan manusia semasa hidup di dunia seperti
sekarang ini, baik itu berupa amal bagus atau amal soleh yang dibalas dengan pahala, maupun berupa
perbuatan manusia yang jelek yang akan dibalas dengan siksa neraka.
Oleh karena itu, sebelum ajal menjemput, manusia seharusnya cepat bertaubat dan mohon ampun atas
segala kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. Sedangkan tiap-tiap manusia pasti akan ditemui ajal,
kalau sudah datang ajal, maka kesempatan untuk beramal telah habis.
2. Untuk dapat berzuhud terhadap dunia
Zuhud terhadap dunia yaitu meninggalkan dunia untuk berbakti kepada Allah Swt. Artinya orang jangan
sampai terpikat hati dan pikirannya dengan tipu daya dunia, tetapi ia dapat menggunakan dan
menyalurkan harta benda yang diperolehnya dengan jalan yang halal untuk kepentingan amal-amal soleh
yang diridai oleh Allah.
Oleh karena itu perlu sekali memanfaatkan harta bendanya untuk amal-amal soleh yang diridhai Allah
sebelum ajal mendatanginya.
3. Untuk diambil Suri Tauladan
Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami seperti kematian yang waktunya tidak dapat diketahui
sebelumnya oleh siapapun, kecuali Allah Swt. Manakala telah datang ajal putuslah segala amalnya,
artinya tidak lagi dapat beramal dan ia pun tak dapat mengubah akan kelakuan-kelakuan yang telah
dikerjakan semasa hidupnya dan ia pun sudah tidak dapat pula bertaubat, mohon ampun kepada Allah
Swt.
Lalu, apa yang harus diperbuat sebelum ajal datang? Tidak lain kecuali memperbanyak amal kebagusan
dan meninggalkan amal kejelekan, segera bertaubat mohon ampun kepada Allah.
7 Tata cara ziarah kubur sesuai sunnah Nabi SAW
Berwudhu.
Mengucapkan salam pada ahli kubur.
Menghadap kiblat saat dzikir.
Mengirimkan doa untuk almarhum.
Membaca ayat pendek.
Jangan duduk atau menginjak bagian atas kuburan.
Jangan melakukan hal yang berlebihan.

https://www.suara.com/news/2021/03/28/123244/ziarah-kubur-hukum-menurut-islam-waktu-tata-cara-
dan-doa-ziarah-kubur
http://kronika.id/hikmah-berziarah-kubur/

Indonesia memiliki tradisi menyiram kuburan dengan air dan menaburinya dengan kembang. Hal ini
biasanya dilakukan setelah mayat baru dikebumikan. Kadang juga dilakukan saat berziarah kubur.
Melihat hal ini, ada sebagian golongan (Salafi Wahabi) yang menuduh tradisi ini tidak boleh dilakukan.
Kata mereka, hukum menyiram kuburan dengan air dan menaburinya dengan bunga adalah haram.
Seperti biasa, alasannya karena bidah, tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Padahal, jika kita mau belajar kitab ulama-ulama salaf, sudah banyak yang menjelaskannya. Menurut para
ulama fikih Syafi’iyah, hukum menyiram kuburan dengan air dan menaburinya dengan bunga itu sunah.
Bukan bidah, apalagi haram.
Dalil Menyiram Kuburan dengan Air
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, menyiram kuburan dengan air dingin itu sunah. Nah, di antara
hikmahnya adalah agar tanah kuburan semakin kokoh, padat, dan bau tidak tercium ke luar kuburan. Al-
Imam ar-Rafi’i menulis dalam al-Aziz Syarh al-Wajiz:
‫ويستحب أن يرش الماء علي القبر ويوضع عليه الحصي روى ذلك عن فعل النبي صلي هللا عليه وسلم بقبر ابنه ابراهيم ورش بالل رضى‬
‫هللا عنه علي قبر النبي صلي هللا عليه وسلم‬
“Dan disunahkan menyiramkan air pada kuburan dan meletakkan kerikil di atasnya. Hal ini sesuai riwayat
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. (dengan menyiramkan air) pada kuburan putra beliau,
Ibrahim. Juga sesuai riwayat bahwa Sahabat Bilal menyirmkan air kepada kuburan Nabi Muhammad
SAW.”
Syekh Nawawi al-Bantani, salah satu ulama Nusantara yang diakui dunia juga menulis dalam kitabnya
Nihayah az-Zain:
‫ويندب رش القبر بماء بارد تفاؤال ببرودة المضجع وال بأس بقليل من ماء الورد ألن المالئكة تحب الرائحة الطيبة‬
“Dan disunahkan menyirami kuburan dengan air yang dingin dengan harapan kuburan ikut dingin. Dan
tidak apa-apa menyirami kuburan dengan sedikit air mawar, karena malaikat menyukai bau yang harum.”
Kemudian apakah ada hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW menyiram kuburan? Di sini
penulis akan menampilkan dua hadis yang menjelaskan hal tersebut. Pertama, Rasulullah SAW
menyiramkan air ke kuburan putra beliau

َّ ِ‫َأ ّن النَّب‬
‫ي صلى هللا عليه وسلم َرشَّ َعلَى قَب ِْر ِإ ْب َرا ِهي َم ا ْبنِ ِه‬
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW menyiramkan air pada kuburan Ibrahim, putra beliau”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam as-Syafi’i dalam al-Um dan Imam al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Imam at-Thabrani dalam kitab al-Ausath. Menurut Syekh al-Albani,
yang menjadi rujukan Salafi Wahabi sendiri, hadis ini memiliki sanad yang kuat.
Kedua, Rasulullah SAW memerintah untuk menyiramkan air pada kuburan Utsman bin Madhun:
‫أن النبي قام على قبر عثمان بن مظعون بعدما دفنه وأمر برش الماء‬
“Sesungguhnya Nabi Saw. berdiri di samping kubur Utsman bin Madhun dan memerintah untuk
menyiramkan air”
Dari penjelasan di atas, bisa kita ketahui bahwa menyiram air pada kuburan itu bukan bidah dan tidak
haram. Menyiramkan air pada kuburan itu sunah, sebagaimana pendapat para ulama.
Dalil Menaburkan Kembang pada Kuburan
Ulama fikih juga berpendapat, menaburkan kembang pada kuburan itu sunah. Jika dilakukan akan
mendapatkan pahala. Tentu, ada hikmah dan tujuan dari kesunahan ini, yaitu agar mayat di dalam kubur
bisa mendapatkan manfaat dari bacaan tasbih kembang-kembang itu. Selain itu, kembang juga disukai
malaikat, sehingga kuburan yang ditaburi kembang akan didatangi para malaikat. Al-Imam Zainuddin al-
Malibari menulis dalam Fath al-Mu’in,
‫يسن وضع جريدة خضراء على القبر لالتباع وألنه يخفف عنه ببركة تسبيحها وقيس بها ما اعتيد من طرح نحو الريحان الرطب ويحرم‬
‫ ما لم ييبسا لما في أخذ األولى من تفويت حظ الميت المأثور عنه صلى هللا عليه وسلم وفي الثانية من تفويت حق الميت‬±‫أخذ شيء منهما‬
‫بارتياح المالئكة النازلين‬
“Disunahkan meletakkan pelepah kurma yang hijau di atas kuburan, karena mengikuti apa yang
dicontohkan oleh nabi dan karena siksaan mayit bisa diringakan berkah tasbih dari pelepah kurma itu.
Disamakan dengan pelepah kurma adalah harum-haruman yang basah (seperti kembang). Dan haram
mengambil sedikitpun dari itu semua selagi tidak kering. Sebab, pelepah kurma basah yang diambil dapat
menghilangkan bagian (keuntungan) mayit yang telah disabdakan oleh nabi. (Dan haram mengambil atau
menyingkirkan kembang-kembang harum yang masih basah) sebab dapat menghilangkan hak mayit yang
berupa kesenangan saat malaikat turun.”
Pendapat al-Malibari di atas memiliki landasan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-
Bukhari:
‫ ِإنَّهُ َما لَـيُ َع ِّذبا َ ِن َوما َ يُ َع ِّذبا َ ِن فِ ْي َكبِي ٍْر َأ َّما َأ َح ُدهُ َما‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأنَّهُ َم َّر بِقَ ْب َر ْي ِن يُ َع ِّذبا َ ِن فَقا َ َل‬
َ ‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما َع ِن النَّبِ ّي‬
َ ُ َ َ َ ُ َ ُ ُ َ ْ َ ً ْ
‫ يا َرسُوْ َل‬:‫ فقالوْ ا‬،‫ ث َّم غ ِرز فِي ك ِّل قب ٍْر َوا ِح َد ٍة‬،‫ بِنَصْ ف ْي ِن‬±‫ ث َّم خ ِذ َج ِر ْي َدة َرطبَة فشقِهَا‬. ‫فَ َكانَ الَ يَ ْستَتِ ُر ِمنَ البَوْ ِل َوَأ َّما ْاآل َخ ُر فَ َكانَ يَ ْم ِش ْي باِلن ِم ْي َم ِة‬
ً ُ ‫َأ‬ ُ َّ
)‫ ( لَ َعلَّهُ َأ ْن يُ َخفَّفَ َع ْنهُ َما َمالَ ْم يَيْـبِ َسا‬:‫صنَعْتَ ٰه َذا ؟ فقا َ َل‬ َ ‫هللاِ لِ َم‬
“Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi
mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat
“Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai
penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba”. Kemudian Rasulullah
SAW menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian
dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau
melakukan hal ini ya Rasulallah SAW? Rasulullah SAW menjawab: Semoga Allah SWT meringankan
siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering.”
Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW meletakkan pelepah kurma yang masih basah (belum
kering) di atas kuburan mayat yang disiksa. Setelah ditanya mengenai tujuannya, Rasulullah SAW
menjawab dengan harapan mudah-mudahan Allah SWT meringankan siksaan mayat itu.
Kemudian, ulama menyamakan (mengqiyaskan) kembang yang harum dengan pelepah kurma di atas.
Selama belum kering, kembang itu akan terus bertasbih. Berkah tasbih itu siksaan yang dirasakan mayat
akan menjadi ringan. Ditambah, kembang yang harum akan disukai malaikat. Mayat pun merasa senang
karena didekati malaikat.

https://al-ibar.net/akidah/246/hukum-menyiram-kuburan-dengan-air-dan-menaburinya-dengan-
kembang#:~:text=Menurut%20para%20ulama%20fikih%20Syafi,Bukan%20bidah%2C%20apalagi
%20haram.&text=%E2%80%9CDan%20disunahkan%20menyiramkan%20air%20pada,dilakukan
%20oleh%20Nabi%20Muhammad%20SAW.
Mengenai hal ini, terdapat pendapat yang berbeda. Semuanya bertujuan untuk mengagungkan dan
mensucikan Allah SWT, walaupun dalam penerapanya berbeda. Yang satu melarang sementara yang lain
memperbolehkannya:
)٢٦٢ ‫ ص‬١ ‫ (الفقه المنهجى ج‬.‫اس ْاليَوْ َم‬
ِ َّ‫يُ ْك َرهُ َك َراهَةَ تَحْ ِري ٍْم تَ ْسنِ ْي ُم ْالقُبُوْ ِر َو ْالبِنَا ُء َعلَ ْيهَا َعلَى نَحْ ِو الَّ ِذي يَ ْف َعلُهُ َكثِ ْي ٌر ِمنَ الن‬
“Makruh tahrim hukumnya membentuk kuburan seperti punuk dan membangun cungkup di atasnya
seperti yang sering dilakukan banyak orang-orang akhir ini.” (Al-Fiqh al-Manhaji, juz I, hal 262)
Hal ini berdasarka Hadits:
)١٦١ . ‫ رقم‬،‫ (صحيح مسلم‬.ُ‫َّص ْالقَ ْبر‬
َ ‫ال نَهَى َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َأ ْن يُ َجص‬
َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬
ِ ‫ع َْن َجابِ ٍر َر‬
“Diriwayatkan dari Jabir RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW melarang mengecat kuburan dengan
kapur.” (Sahih Muslim [1610])
Yang mengatakan boleh-boleh saja, jika bertujuan supaya masyarakat bisa menghomati para ulama dan
auliya tersebut. al-Qadhi Habib al-Haq al-Farmuluwi mengutip kitab Tahrir Syami, (juz I, hal 123)
menyatakan:
‫ب‬ِ ‫ب َعلَى قُبُوْ ِر ْال ُعلَ َما ِء َواَأْلوْ لِيَا ِء َوالصُّ لَ َحا ِء َو َوضْ ُع ال ُّستُوْ ِر َو ْال َع َماِئ ِم َوالثِّيَا‬ ِ ‫ع تُ َس َّمى ُسنَّةً فَبِنَا ُء ْالقُبَا‬ ِ ْ‫ِإ َّن ْالبِ ْد َعةَ ْال َح َسنَةَ ْال ُم َوفِقَةَ لِ َم ْقصُوْ ِد ال َّشر‬
ُ ْ َّ ْ ْ
‫ب القَب ِْر َو َك َذا ِإ ْيقَا ُد القَنَا ِد ْي ِل َوالش ْم ِع ِعن َد قبُوْ ِر‬
َ ‫اح‬
ِ ‫ص‬ َ ‫َعلَى قُبُوْ ِر ِه ْم َأ ْم ٌر َجاِئ ٌز ِإ َذا َكانَ ْالقصْ ُد بِ َذالِكَ التَّ ْع ِظ ْي َم فِ ْي اَ ْعي ُِن ال َعا َّم ِة َحتَّى اَل يُ َحقرُوْ ا‬
ِّ ْ
)١٩ ‫ ص‬،‫ (المسائل المنتخبة فى الر سالة والوسيلة‬.‫ص ٌد َح َس ٌن‬ َ ‫ص ُد فِ ْيهَا َم ْق‬ َ ‫ب التَّ ْع ِظي ِْم َواِإْل جْ الَ ِل َأ ْيظًا لَِأْلوْ لِيَا ِء فَ ْال َم ْق‬
ِ ‫اَأْلوْ لِيَا ِء َوالصُّ لَ َحا ِء ِم ْن بَا‬
“Sesungguhnya bid’ah hasanah yang sesuai dengan tujuan syara’ dinamakan sunnah. Oleh sebab itu,
membangun cungkup di atas kuburan para ulama’, auliya’ dan orang-orang shaleh, juga memasang tabir,
surban dan pakaian di atas kuburan mereka adalah di perbolehkan, jika bermaksud untuk penghormatan di
mata orang-orang awam. Demikian juga (boleh) menyalakan lampu dan lilin (atau listrik di zama ini) di
dekat kuburan para auliya’ dan orang-orang shaleh. Sebab hal itu merupakan penghormatan dan
pengagungan terhadap para wali Allah SWT. Maka tujuan tersebut adalah baik.” (Al-Masa’il al-
Muntakhabah fi al-Risalah wa al-Wasilah, 19)
Kedua pendapat di atas sebetulnya bermuara pada tujuan kita dalam pembuatan cungkup tersebut. jika
hanya untuk bermegah-megahan, maka perbuatan itu jelas dilarang. Tapi, apabila dibuat dengan tujuan
baik, misalnya menghormati orang yang ada dalam kuburan itu, tentu hukumnya juga baik dan tidak
dilarang. Al-Qadhi Habib al-Haq al-Farmuluwi mengatakan:

ِ ‫اج َوال َّش ْم ِع ِحرْ ًزا َواجْ تِنَابًا ع َْن َأ َذى ْال ُمْؤ ِذيَا‬
ِ ْ‫ت َوال ُوقُو‬
‫ع‬ ِ ‫ضوْ ِء الس َِّر‬ َ ِ‫ْض اُأْل ُموْ ِر ْال َم ْذ ُكوْ َر ِة فَ َواِئ ُد لِل َّزاِئ ِر ْينَ بِ ِظ ِّل ْالبِنَا ِء َوا ْستِضْ َواِئ ِه ْم ب‬
ِ ‫َأقُوْ ُل فِ ْي بَع‬
)١٩ ‫ (المسائل المنتجبة في الرسالة والوسيلة ص‬.‫از‬ ْ ْ ‫َأ‬
ِ ‫ اِالَّ َّن هَ َذا ال ُك َّل فِ ْي َمرْ تَبَ ِة ال َج َو‬،‫ت‬ ْ
ِ ‫فِ ْي ال َحفَ َرا‬
“Saya berpendapat bahwa pada sebagian perkara yang tersebut di atas itu (membuat cungkup dan
menyalakan lampu) ada gunanya bagi para penziarah kubur yaitu mereka bisa bernaung di bawah
bangunan tersebut dan mereka bisa mendapatkan penerangan dari sinar lampu dan lilin guna menjaga diri
para pengganggu juga untuk menghindar dari terperosok ke lubang. Hanya saja semua itu adalah boleh.”
(Al-Masa’il al-Muntakhabah fi al-Risalah wa al-Wasilah)
Disamping itu, makam ulama merupakan salah satu syi’ar Allah SWT di bumi yang harus dihormati dan
digunakan. Firman Allah SWT:

ِ ْ‫ض ْم َش َعاِئ َرهللاِ فَاِنَّهَا ِم ْن تَ ْق َوى ْالقُلُو‬


)٢٦ ،‫ (الحج‬.‫ب‬ ِّ ‫َو َم ْن يُ َع‬
“Maka barang siapa yang memuliakan syi’ar Allah, maka itu termasuk bagian dari ketaqwaan hati.” (QS.
Al-hajj, 6)
Menafsirkan ayat ini, Sayyid ‘Abdul Ghani al-Afandi al-Nabulusi, mengatakan:
)١٣ ،‫ (كشف النور عن اصحاب القبور‬.‫ء َوالصَّالِ ِح ْينَ اَحْ يَا ًء َواَ ْم َواتًا َونَحْ َوهُ ْم‬±ِ ‫َو َش َعاِئ ُر هللاِ ِه َي اَأْل ْشيَا ُء الَّتِى تُ ْش َع ُر َأيْ تُ ْعلَ ُم بِ ِه تَ َعالَى ك َْال ُعلَ َما‬
“Yang dimaksud dengan syi’ar Allah SWT adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai tanda atau
petunjuk kebesaran Allah SWT. Seperti ulama, orang shaleh, di waktu hidupnya ataupun ketika telah
meninggal dunia dan semisal mereka.” (Kasyf al-Nur’an Ashhab al-Qubur, 13)
Berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa memasang kain di batu nisan atau
membuat kubah di kuburan, khususnya pada makan para wali, tidak dilarang. Apalagi cungkup tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk membaca al-Qur’an, berdzikir dan berdo’a kepada Allah SWT.
Tentu semua itu sangat dianjurkan.

https://pesantrennuris.net/2017/03/03/hujjah-aswaja-membuat-kubah-dan-meletakkan-kain-di-batu-nisan/

Anda mungkin juga menyukai