dengan IAS/IFRS. Masalah yang dihadapi Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Australia, Jepang dan
Indonesia berbeda. Adapun permasalahan yang dihadapi di Indonesia, yaitu:
1. Ketidakstabilan nilai Rupiah
Sehubungan dengan nilai Rupiah yang cenderung lemah dipasar valuta asing, dan sering tidak
stabil, maka perubahan IAS 21 mendekati FASB akan berdampak serius dalam penyusunan
laporan keuangan perusahaan yang syarat dengan exposure valuta asing, terutama bila terjadi
devaluasi atau depresiasi Rupiah secara serius, seperti kejadian ditahun 1977 dan 1998.
2. Landasan hukum yang berbeda
Aspek hukum dan peraturan perundangan yang berlaku disuatu negara seringkali merupakan
faktor yang perlu diperhatikan dalam mengadopsi suatu standar akuntansi. Contoh PSAK 1,
didalamnya berisikan peraturan regulator pasar modal untuk entitas yang berada dibawah
pengawasannya. Hal ini berbeda dengan IAS 1 karena disesuaikan dengan UU Pasar Modal
yang berlaku di Indonesia. Contoh lain ISAK 25: Hak Atas Tanah yang diterbitkan DSAK IAI
akibat adanya beragam intrepretasi tentang bagaimana perlakuan tanah berdasarkan kerangka
hukum Indonesia.
3. Profesi penunjang lain yang belum berkembang setaraf internasional
Dalam mengaplikasikan beberapa standar akuntansi memerlukan dukungan dari profesi
penunjang lain, seperti penilai, aktuaris, dll) yang setaraf dengan negara maju. Bila standar
dan praktek profesi penunjang yang diperlukan di Indonesia belum berkembang setaraf
dengan standar internasional, maka jelas kita akan menghadapi kesulitan dalam
mengaplikasikan beberapa standar tertentu. Contohnya IAS 19 Employee Benefit, IAS 26
Accounting and Reporting by Retirement Benefit Plan, IAS 39 Financial instrument:
Recognition and Measurement, IFRS 4: Insurance Contract, IFRS 7 Financial Instrument
(Diclosure) dan IAS 36 Impairments of Assets.
SAK adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Standar Akuntansi
Keuangan (ISAK) yang diterbitkan oleh DSAK dan Dewan Standar Syariah IAI (DSAS IAI) Serta
peraturan regulator pasar modal untuk entitas yang berada dibawah pengawasannya.
Efektif per 1 Januari 2015 yang berlaku di Indonesia secara garis besar akan konvergen dengan IFRS
yang berlaku efektif 1 Januari 2014. DSAK IAI telah berhasil meminimalkan perbedaan antara kedua
standar, dari tiga tahun di 1 Januari 2012 menjadi satu tahun di 1 Januari 2015.
Selain SAK yang berbasis IFRS, DSAK IAI telah menerbitkan PSAK yang merupakan produk non-
IFRS antara lain, separatism PSAK 28 dan PSAK 38, PSAK 45, ISAK 25 dan ISAK 31.
Dengan semakin sedikitnya perbedaan antara PSAK dengan IFRS dapat memberikan manfaat bagi
para perangkat kepentingan di Indonesia. Perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik, regulator
yang berusaha menciptakan infrastruktur pengaturan yang dibutuhkan, khususnya dalam transaksi
pasar modal, serta pengguna informasi laporan keuangan dapat menggunakan SAK sebagai suatu
panduan dalam meningkatkan kualitas informasi yang dihasilkan dalam laporan keuangan.
SAK Umum, SAK ETAP dan SAK EMKM diterbitkan oleh DSAK sedangkan Standar Akuntansi
Syariah diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Syariah. Kedua Dewan Standar tersebut berada
dibawah naungan IAI. Standar Akuntansi Pemerintahan diterbitkan oleh Komite Standar Akuntansi
Pemerintahan, yang berada dibawah Menteri Keuangan.
Dengan disahkannya SAK EMKM, maka standar akuntansi keuangan di Indonesia mengadopsi lebih
lengkap dengan 3 Pilar standar akuntansi keuangan, yaitu SAK Umum yang berbasis IFRS, SAK
ETAP dan SAK EMKM. Masing-masing Pilar Utama tersebut merupakan dukungan infrastruktur
dalam konteks standar akuntansi keuangan yang mencerminkan entitas Dubai usaha di Indonesia,
yaitu:
(1) SAK Umum yang berbasis IFRS, merupakan standar akuntansi keuangan yang mengatur
perlakuan akuntansi untuk transaksi-transaksi yang dilakukan oleh entitas dengan
(2) SAK ETAP, merupakan standar akuntansi keuangan yang dimaksudkan untuk digunakan oleh entitas
tanpa akuntabilitas publik yang signifikan, namun menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum
bagi penggunanya;
(3) SAK EMKM yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pelaporan keuangan entitas mikro, kecil
dan menengah.
Sejak tahun 1991 ketika diadakan Seminar National Prinsip Akuntansi Indonesia, IAI telah
memikirkan apakah perlu dibuatkan dua perangkat standar akuntansi keuangan. Satu perangkat
berlaku bagi perusahaan berskala besar dan menyangkut kepentingan publik dan perangkat lain
adalah perusahaan berskala kecil dan menengah (Usaha Kecil dan Menengah/UKM). Semenjak
Indonesia konvergensi IFRS, maka menjadi makin sulit bagi UKM untuk menyusun laporan
keuangannya berdasarkan SAK yang berkembang semakin kompleks dan komprehensif, padahal
banyak SAK yang tidak relevan bagi entitas yang tidak mengemban akuntabilitas publik. Maka dalam
Kongres X IAI telah diputuskan untuk membentuk Komite Standar Akuntansi Keuangan ETAP
dibawah koordinasi DSAK. Pada tahun 2009 telah berbasis disusun SAK ETAP, yang berlaku efektif
1 Januari 2011.