Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kegiatan ekspor impor merupakan faktor penentu dalam menentukan roda perekonomian di
negara Indonesia. Di negara berkembang keseluruhan jumlah biaya mencapai 10-15% dari
Gross Domestic Product atau produk domestik bruto. Seperti halnya penelitian yang pernah
dilakukan di negara Kirgistan, dimana untuk biaya transportasi adalah mencapai mencapai 13
% dari nilai perdagangan ekspor dan 10% dari perdagangan impor. Saat ini, perkembangan
perekonomian dunia dalam era perdagangan internasional dapat dikatakan tanpa batas,
menyebabkan arus lalu lintas barang, penumpang dan dokumen meningkat tajam. Pergerakan
barang dagangan/industri dapat terjadi dari satu negara ke negara lain dalam daerah regional
yang sama maupun antar benua.
Kegiatan ekspor impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar
mandiri, hal ini dikarenakan antara satu negara dengan negara yang lain saling membutuhkan.
Indonesia sebagai negara yang memiliki ribuan kepulauan dengan konsep wawasan nusantara
juga memiliki batasan dengan negara lainnya. Demikian luasnya lingkup daerah pabean ini
merupakan faktor utama yang menjadi kendala pengawasan pihak Bea dan Cukai karena
sangat luas dan tersebarnya daerah yang harus diawasi sedangkan sarana yang dimiliki oleh
pihak Bea dan Cukai memiliki keterbatasan.
Pabean dapat berfungsi ganda yaitu mengawasi keluar masuknya barang dan sebagai aparat
pengaman yang berhubungan dengan keuangan, perdagangan nasional maupun internasional.
Penegakan hukum di bidang pabean perlu dilakukan dalam kaitannya dengan pemasukan
barang dari luar negeri. Selain diawasi juga mewajibkan memenuhi ketentuan pabean yang
ada, karena dengan semakin meningkatnya volume impor dimungkinkan akan semakin
mengundang potensi pelanggaran impor. Peningkatan volume impor dapat dilihat dari
peningkatan yang signifikan dalam hal realisasi penerimaan bea masuk.
Kepabeanan menekankan kepada pelayanan prima, yaitu penyelesaian prosedur yang
sederhana, cepat dan akurat. Pelayanan di bidang kepabeanan ini sangat didambakan oleh
dunia usaha, karena jika barang-barang dapat diurus dengan lancar dan biaya yang
dikeluarkan akan dapat ditekan dan biaya yang tinggi akan dapat dihindari. Pengawasan
terhadap sarana pengangkut dan barang yang diangkutnya merupakan suatu hal yang penting
agar petugas Bea dan Cukai dapat menganalisis dan mengantisipasi kejadian atau risiko yang
akan timbul.
Semua kegiatan di bidang kepabeanan yang terkait dengan impor akan berhubungan dengan
pengangkutan, pembongkaran, penyimpanan serta penimbunan yang wajib dilakukan oleh
orang yang melakukan kegiatan kepabeanan. Pada awal importir melakukan kegiatan impor
harus melewati beberapa prosedur dalam mekanisme impor. Penelitian terkini oleh berbagai
organisasi internasional termasuk oleh Bank Dunia menyarankan bahwa aturan dan prosedure
administratif dalam proses impor mempunyai efek yang penting dalam arus perdagangan
antar negara. Prosedur-prosedur tersebut beserta penerapannya bisa secara nyata digunakan
sebagai pembatas yang signifikan bagi perdagangan internasional.
Mengenai nilai pabean yang merupakan istilah untuk menyebut harga yang digunakan
sebagai dasar menghitung bea masuk atau pungutan dalam rangka impor lainnya diatur dalam
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.7 Ketentuan ini sesuai
dengan ketentuan yang berlaku secara internasional sebagaimana tertuang dalam Agreement
On Implementation of Article VII of the Agreement on Tariff and Trade (GATT Valuation
Agreement).
Nilai pabean ditetapkan berdasarkan tatacara yang konsisten dengan prinsip penetapan nilai
pabean, yaitu mencerminkan keadaan yang sebenarnya, fair, netral dan tidak sewenang-
wenang. Sepanjang penjual dan pembeli memberitahukan secara benar/jujur atas nilai
transaksinya, maka hak penjual dan pembeli serta hak negara atas penerimaan bea masuk
akan terjamin.
Permasalahan akan timbul apabila ternyata penjual dan pembeli melakukan kecurangan
dalam memberitahukan nilai transaksinya. Prinsip yang dianut oleh UU No 17 Tahun 2006
tentang Kepabeanan dalam pembayaran bea masuk adalah self assesment. Dimana dalam
prinsip ini UU No 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan memberikan kepercayaan kepada
importir untuk memberitahukan sendiri harga transaksi yang dilakukan. Untuk pemberitahuan
tersebut importir dituntut jujur dan bertanggung jawab melalui pembayaran bea masuk
sebagai bagian dari kewajiban bernegara.
1.2 Rumusan masalah
1. Jelaskan sejarah sistem nilai pabean di Indonesia
2. Jelaskan kewenangan pabean
3. Jelaskan dasar-dasar penetapan nilai pabean
1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui sejarah sistem nilai pabean di Indonesia
2. Dapat mengetahui kewenangan pabean
3. Dapat mengetahui dasar-dasar penetapan nilai pabean
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Sistem Nilai Pabean di Indonesia


1. Periode s.d 1985
Sebelum tahun 1985, Indonesia menganut sistem harga patokan (dahulu terminologinya
juga disebut 'priscourant') dimana nilai pabean dipatok secara tetap an tertentu selama periode
tertentu.Importir yang memberitahukan nilai pabean lebih rendah dari harga patokan akan
terkena tambahan bayar bea masuk serta terkena sanksi administrasi berupa denda.
Harga patokan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama Menteri Keuangan, Menteri
Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Dalam prakteknya ketiga menteri tersebut sangat
jarang melakukan peninjauan kembali atas harga patokan yang telah ditetapkannya sehingga
keputusan harga cenderung ketinggalan jaman, tidak aktual dan cenderung tidak mengikuti
perkembangan jenis-jenis barang yang kemudian muncul.
Untuk mengatasi hal ini muncul terminologi 'Catatan harga' yang berasal dari Direktur
Jenderal Bea dan Cukai, Kantor Wilayah Bea dan Cukai atau Kantor Inspeksi Bea dan Cukai.
'Catatan Harga' ini kemudian dijadikan dasar penetapan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan
Cukai. Namun tidak semua barang impor mempunyai catatan harga, sehingga sangat muah
bagi Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang dapat
bermuara pada kepentingan-kepentingan pribadi.
2. Periode 1985 - 1995
Pada periode tahuna 1980an, institusi kepabeanan dipandang sebagai institusi yang sangat
tiak efisien, penuh biaya tinggi dan menghambat arus barang impor dan ekspor. akhirnya
dengan instruksi Presiden No 4 Tahun 1985 Pemerintah memberlakukan sistem pemeriksaan
pra-pengapalan (pre-shipment inspection), dimana diatus sebagai berikut :
Impor barang dengan nilai FOB USD 5.000,- atau lebih dilakukan pemeriksaan oleh
surveyor yang ditunjuk (yaitu PT Surveyor Indonesia / SGS) untuk melakukan pemeriksaan
di Negara pengekspor (pre-shipment inspection) ekspor barang tidak dilakukan pemeriksaan
fisik oleh Pejabat PabeanDibidang impor pemeriksaan nilai pabean dilakukan oleh Surveyor
di negara pengekspor yang didasarkan pada harga pasar (prevailing on the market price in the
country of exportation).
Laporan pemeriksaan surveyor (LPS) yang dikeluarkan Surveyor, disamping meliputi
jumlah, jenis dan kualitas barang, juga meliputi harga barang. Jika suatu importasi sudah
dilindungi dengan dokumen LPS maka Pejabat Pabean tidak lagi diperkenankan melakukan
pemeriksaan fisik atau pemeriksaan atas tarif dan nilai pabean.
Untuk importasi barang dengan harga kurang dari FOB USD 5.000,- Pejabat Pabean
masih mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan fisik, tarif dan nilai pabean. Dasar
penetapan nilai pabean adalah harga sebenarnya yang umumnya tercermin pada harga yang
tercantum dalam invoice atas barang yang dijual ke Indonesia. dalam hal harga invoice
diragukan maka digunakan sebagai data pembanding data barang identik atau barang serupa
yang terapat pada Profil Harga I atau Profil Harga II
3. 1995 - sekarang
Putaran Uruguay, Perundingan perdagangan multirateral GATT di Maroko, tanggal 15
Aapril 1994 telah menyetujui terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization). Salah satu agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut adalah
Persetujuan tentang pelaksanaan Article VII GATT (Agreement on Implementation of Article
VII of GATT 1994). Persetujuan ini sering disebut sebagai WTO Valuation Agreement.
Persetujuan ini menggariskan bahwa untuk menetapkan harga pabean harus menggunakan
salah satu cara dari 6 cara atau metode penetapan harga yang tersedia sebagai berikut :
Metode I : Metode nilai transaksi
Metode II : Metode nilai transaksi barang identik
Metode III: Metode nilai transaksi barang serupa
Metode IV: Metode deduksi
Metode V : Metode komputasi dan
Metode VI: Metode fall-back
Indonesia sebagai negara berkembang telah meratifikasi persetujuan pendirian WTO
dengan undang-undang no 7 Tahun 1994. Dengan emikian persetujuan ini mengikat bagi
Indonesia, termasuk segala agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut,
diantaranya adalah Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994.
Konsekuensinya adalah Indonesia harus menyesuaikan segala ketentuan yang berkaitan
dengan nilai pabean sesuai dengan ketentuan agreement di maksud.
Bagi indonesia tidak usah menunggu sampai batas waktu ketentuan WTO (1 Januari 2000)
karena ketentuan penetapan nilai pabean berdasarkan WTO Valuation Agreement telah
dimasukkan di dalam pasal 15 Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang
telah diubah atau ditambah dengan Undang-undang No 17 Tahun 2006. GATT/WTO
Valuation Agreement disusun untuk membangun sebuah sistem internasional untuk
menetapkan nilai pabean barang impor.
Tujuan utama dari WTO Valuation agreement adalah untuk menciptakan sistem penetapan
nilai pabean yang netral, adil dan seragam yang tidak memberikan ruang bagi penggunaan
nilai pabean yang sembarangan atau fiktif. WTO Valuation Agreement juga menghendaki
agar dasar bagi penetapan nilai pabean sedapat mungkin berdasarkan nilai transaksi barang
impor yang bersangkutan yang sedang ditetapkan nilai transaksi barang impor yang
bersangkutan yang sedang ditetapkan nilai pabeannya tersebut. Dengan demikian penerapan
WTO Valuation Agreement memerlukan adanya perubahan pola pikir dunia usaha dan bea
dan cukai.
WTO Valuation Agreement mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 bagi anggota WTO
termasuk tujuh negara anggota ASEAN yang merupakan anggota WTO. Sebagaimana telah
dinyatakan dalam Asean Customs Policy Implementation and work Programe (PIWP), semua
administrasi bea dan cukai di ASEAN telah setuju untuk memasukan WTO Valuation
Agreement ke dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan mereka masing-masing.
Sebagai tindak lanjut pada dalam KTT Asean ke-9 pada tahun 2003 di Bali telah isepakati
pedoman implementasi yang seragam antar negara ASEAN dalam bentuk Asean Customs
Valuation Guide.
Sesuai dengan prinsip utama WTO Valuation Agreement, dasar utama penetapan nilai
pabean adalah nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan. Untuk selanjutnya, maka
dipakai metode-metode lainnya didalam pelaksanaan penetapan nilai pabean. Pasal 15 UU
No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah atau ditambah dengan
Undang-unang no 17 Tahun 2006 telah mengadopsi prinsip-prinsip WTO Valuation
Agreement sebagai berikut :
Metode I : Metode nilai transaksi barang impor yang bersangkutan
Metode II : Metode nilai transaksi barang identik
Metode III : Metode nilai transaksi barang serupa
Metode IV : Metode deduksi
Metode V : Metode komputasi dan
Metode VI : Metode penetapan nilai pabean berdasarkan tatacara yang wajar an
konsisten engan prinsip-prinsip metoe I s/d metode V berdasarkan data yang tersedia di
Daerah Pabean
Metode I sampai dengan Metode VI harus diterapkan secara hierarki penggunaanya.

2.2 Kewenangan Pabean


Sistem kepabeanan di Indonesia menganut asas self assesment, dimana importir diminta
untuk memberitahukan didalam pemberitahuan impor jumlah, jenis dan harga barang.
Dengan emikian semakin besar nilai pabean di pemberitahuan importir semakin besar pula
bea masuk yang harus dibayar importir. Sebaliknya semakin kecil nilai pabean di
pemberitahuan importir semakin kecil pula bea masuk yang dibayar importir.
Karena besar keil pungutan negara sangat tergantung besarnya nilai pabean yang
diberitahukan importir, maka pemberitahuan nilai pabean ini harus diteliti oleh Pejabat Bea
dan Cukai. Tujuannya adalah utuk menghindari pemberitahuan nilai pabean yang lebih
rendah dari seharusnya, sehingga mengakibatkan kerugian penerimaan negara dari sektor bea
masuk, cukai dan pajak dalam rangka impor. Hal ini dalam istilah umum sering disebut under
invoice, yaitu invoice alam banyak hal dibuat sendiri oleh importir yang nakal sekedar
sebagai persyaratan dokumen pelengkap pabean. Dikalangan pejabat Bea dan Cukai, invoice
semacam ini sering disebut sebagai 'invoice pasar pagi'.
Sesuai pasal 16 ayat (2) Undang-undang Kepabeanan, Pejabat Bea dan Cukai berwenang
menetapkan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sebelum atau 30 (tiga puluh) hari
setelah pemberitahuan pabean diserahkan oleh importir. Pejabat Bea dan Cukai yang maksud
adalah Pejabat Fungsional Pemeriksaan okumen atau Kepala Seksi Pabean, Berdasarkan
pasal 16 ayat (4) Undang-undang pabean. Importir yang salah memberitahukan nilai pabean
untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% sampai dengan 1000% dari bea
masuk yang kurang dibayar.
Keputusan Pejabat Pabean tersebut juga masih dapat ditetapkan kembali oleh Direktur
Jenderal Bea dan Cukai alam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pemberitahuan pabean (lihat
pasal 17 UU Kepabeanan). Penetapan kembali Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalat
berakibat kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Dalam hal ini penetapan kembali nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran bea
masuk dan pajak dalam rangka impor, maka importir akan ditagih sesuai kekurangannya.
Sebaliknya dalam hal penetapan kembali nilai pabean mengakibatkan kelebihan
pembayaran bea masuk, maka akan dikembalikan sesuai kelebihannya. Importir yang salah
memberitahukan nilai transaksinya akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
100% sampai dengan 1000% dari kekurangan bea masuk. (pasal 17 A UU Kepabeanan).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan secara eksplisit menyebutkan
bahwa kewenangan DJBC adalah melakukan pengawasan atas lalulintas barang yang
masuk atau keluar daerah pabean, namun mengingat letak geografis Indonesia sebagai negara
kepulauan yang lautnya berbatasan langsung dengan negara tetangga, maka perlu dilakukan
pengawasan terhadap pengangkutan barang yang diangkut melalui laut di dalam daerah
pabean untuk menghindari penyelundupan dengan modus pengangkutan antar pulau,
khususnya untuk barang tertentu. Secara implisit dapat dikatakan bahwa pengawasan
pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean merupakan perpanjangan kewenangan
atau bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan pabean sebagai salah satu instansi
pengawas perbatasan.
Sehubungan dengan hal tersebut masyarakat memandang perlu untuk memberikan
kewenangan kepada DJBC untuk mengawasi pengangkutan barang tertentu yang diusulkan
oleh instansi teknis terkait. Tempat Penimbunan Berikat (TPB) sebagai bentuk insentif di
bidang kepabeanan yang selama ini diberikan, tidak dapat menampung tuntutan investor luar
negeri untuk dapat melakukan pelelangan, daur ulang, dan kegiatan lain karena adanya
pembatasan tujuan TPB hanya untuk menimbun barang impor untuk diolah, dipamerkan,
dan/atau disediakan untuk dijual. Untuk menghindari beralihnya investasi ke negara-negara
tetangga serta sebagai daya tarik bagi investor asing perlu diberikan suatu insentif, kepastian
hukum, dan kepastian berusaha dengan perluasan fungsi TPB.
Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, Undang-Undang kepabeanan
idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan praktek kepabeanan internasional
sehingga perlu melakukan penyesuaian Undang-Undang kepabeanan Indonesia dengan
menambahkan atau mengubah ketentuan sesuai dengan konvensi tersebut.
Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, mengatur lembaga banding. Namun ternyata lembaga tersebut belum dibentuk
dengan pertimbangan telah dibentuk badan penyelesaian sengketa pajak berdasarkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang
kemudian diganti dengan Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak. Kompetensi pengadilan pajak mencakup banding di bidang
kepabeanan sehingga Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan tidak diperlukan lagi dan dihapus.
Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VII of General Agreement on
Trade and Tariff (GATT) 1994, Article 22 menyebutkan bahwa perundang-undangan
nasional harus memuat ketentuan penetapan nilai pabean sesuai World Trade Organization
(WTO) Valuation Agreement.
2.3 Dasar-dasar Penetapan Nilai Pabean
Metode I : Nilai transaksi
Nilai transaksi merupakan harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar
oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke dalam Daerah Pabean
ditambah dengan biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai
transaksi sepanjang biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai tersebut belum termasuk dalam harga
yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar. Nilai transaksi harus berasal dari
suatu transaksi jual beli dalam kondisi persaingan bebas.
Biaya-biaya dan/atau nilai-nilai berupa:
a. Biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam harga yang sebenarnya
dibayar atau yang seharusnya dibayar berupa:
1.Komisi dan jasa perantara, kecuali komisi pembelian;
2.Biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas tersebut menjadi bagian
yang tak terpisahkan dengan barang yang bersangkutan; dan
3.Biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga kerja pengepakan;
b. Nilai dari barang dan jasa berupa:
1.Material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang terkandung dalam barang
impor;
2.Peralatan, cetakan, dan barang-barang yang sejenis yang digunakan untuk pembuatan
barang impor;
3.Material yang digunakan dalam pembuatan barang impor; dan
4.Teknik, pengembangan, karya seni, desain, perencanaan, dan sketsa yang dilakukan
dimana saja di luar Daerah Pabean dan diperlukan untuk pembuatan barang impor,

Yang dipasok secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan syarat barang dan
jasa tersebut:
1.Dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan;
2.Untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor barang impor yang dibelinya;
dan
3.Harganya belum termasuk dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar
dari barang impor yang bersangkutan;
c.Royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak
langsung sebagai persyaratan jual beli barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan
biaya lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar dari barang
impor yang bersangkutan;
d. Nilai setiap bagian dari hasil atau pendapatan yang diperoleh pembeli untuk disampaikan
secara langsung atau tidak langsung kepada penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau
pemakaian barang impor yang bersangkutan (proceeds);
e. Biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekspor ke pelabuhan atau tempat
impor di dalam Daerah Pabean;
f. Biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan dengan pengangkutan
barang impor ke pelabuhan atau tempat impor di dalam Daerah Pabean; dan
g. Biaya asuransi.

Harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar merupakan total pembayaran
atas barang yang diimpor, yang telah dibayar atau akan dibayar oleh pembeli kepada penjual
atau untuk kepentingan penjual. Harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya
dibayar tidak meliputi:
a. Biaya yang terjadi dari kegiatan yang dilakukan oleh pembeli untuk kepentingannya
sendiri;
b. Biaya-biaya yang secara tegas dapat dibedakan dari harga yang sebenarnya dibayar atau
seharusnya dibayar yang terjadi setelah pengimporan barang;
c.Dividen; dan/atau
d.Bunga.
Harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar sebagaimana,
dapatmemperhitungkan unsur diskon sesuai dengan kewajaran dalam praktek perdagangan.

Nilai dapat diterima sebagai nilai pabean sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak terdapat pembatasan-pembatasan atas pemanfaatan atau pemakaian barang impor
selain pembatasan-pembatasan yang:
1.Diberlakukan atau diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di
dalam Daerah Pabean;
2.Membatasi wilayah geografis tempat penjualan kembali barang yang bersangkutan; atau
3. Tidak mempengaruhi nilai barang secara substansial;
b. Tidak terdapat persyaratan atau pertimbangan yang diberlakukan terhadap transaksi atau
nilai barang impor yang mengakibatkan nilai barang impor yang bersangkutan tidak dapat
ditentukan nilai pabeannya;
c.Tidak terdapat proceeds yang harus diserahkan oleh pembeli kepada penjual, kecuali
proceeds tersebut dapat ditambahkan pada harga yang sebenarnya dibayar atau yang
seharusnya dibayar; dan
d.Tidak terdapat hubungan antara penjual dan pembeli, yang mempengaruhi harga barang.
Nilai transaksi tidak digunakan untuk menentukan nilai pabean dalam hal:
a.Barang impor bukan merupakan obyek suatu transaksi jual beli atau penjualan untuk
diekspor ke dalam Daerah Pabean;
b.Nilai transaksi tidak memenuhi persyaratan untuk diterima sebagai nilai pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c.Penambahan atau pengurangan yang harus dilakukan terhadap harga yang sebenarnya atau
yang seharusnya dibayar tidak didukung oleh bukti nyata atau data yang objektif dan
terukur; dan/atau
d.Pejabat Bea dan Cukai mempunyai alasan berdasarkan bukti nyata atau data yang objektif
dan terukur untuk tidak menerima nilai transaksi sebagai nilai pabean.

Metode II : Nilai Transaksi Identik


Nilai transaksi barang identik digunakan sebagai dasar penentuan nilai pabean sepanjang
memenuhi persyaratan:
a. Berasal dari pemberitahuan pabean impor yang nilai pabeannya telah ditentukan
berdasarkan nilai transaksi;
b. Tanggal Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB)-nya sama atau dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sebelum atau sesudah tanggal B/L atau AWB barang impor yang sedang
ditentukan nilai pabeannya; dan
c. Tingkat perdagangan dan jumlah barangnya sama dengan tingkat perdagangan dan jumlah
barang impor yang sedang ditentukan nilai pabeannya.

Pemberitahuan pabean impor harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


a. Pemberitahuan pabean impor diajukan oleh importir dengan bidang usaha yang jelas;
b. Pemberitahuan pabean impor memberitahukan dengan jelas mengenai uraian, spesifikasi
dan satuan barang; dan
c.Pemberitahuan pabean impor tidak diajukan oleh importir yang sama dengan
pemberitahuan pabean impor yang sedang ditentukan nilai pabeannya, kecuali berdasarkan
hasil audit kepabeanan nilai pabean pemberitahuan pabean impor dimaksud ditentukan
berdasarkan nilai transaksi.
Dalam hal terdapat lebih dari satu nilai transaksi barang identik, maka untuk menentukan
nilai pabean digunakan nilai transaksi barang identik yang paling rendah.

Dalam hal tidak terdapat data barang identik, maka digunakan data barang identik dengan
kondisi lain sepanjang dilakukan penyesuaian terhadap:
a. Jumlah barang, dalam hal jumlah barang berbeda tetapi tingkat perdagangan sama;
b. Tingkat perdagangan, dalam hal tingkat perdagangan berbeda tetapi jumlah barang sama;
atau
c.Jumlah barang dan tingkat perdagangan, dalam hal jumlah barang dan tingkat
perdagangan berbeda.
Penyesuaian dilakukan berdasarkan bukti nyata atau data yang objektif dan terukur yang
memungkinkan terlaksananya penyesuaian secara wajar dan tepat. Dalam hal tidak tersedia
bukti nyata atau data yang objektif dan terukur, maka penyesuaian tidak dapat dilakukan dan
nilai transaksi barang identik tidak dapat digunakan untuk menentukan nilai pabean.

Metode III : Metode Nilai Transaksi Serupa


Nilai transaksi barang serupa digunakan untuk dasar penentuan nilai pabean sepanjang
memenuhi syarat:
a. Berasal dari pemberitahuan pabean impor yang nilai pabeannya telah ditentukan
berdasarkan nilai transaksi;
b. Tanggal Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB)-nya sama atau dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari sebelum atau sesudah tanggal B/L atau AWB barang impor yang
sedang ditentukan nilai pabeannya; dan
c.Tingkat perdagangan dan jumlah barangnya sama dengan tingkat perdagangan dan jumlah
barang impor yang sedang ditentukan nilai pabeannya.

Pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. Pemberitahuan pabean impor diajukan oleh importir dengan bidang usaha yang jelas;
b. Pemberitahuan pabean impor memberitahukan dengan jelas mengenai uraian, spesifikasi
dan satuan barang; dan
c.Pemberitahuan pabean impor tidak diajukan oleh importir yang sama dengan
pemberitahuan pabean impor yang sedang ditentukan nilai pabeannya, kecuali berdasarkan
hasil audit kepabeanan nilai pabean pemberitahuan pabean impor dimaksud ditentukan
berdasarkan nilai transaksi.
Dalam hal terdapat lebih dari satu nilai transaksi barang , maka untuk menentukan nilai
pabean digunakan nilai transaksi barang serupa yang paling rendah.
Dalam hal tidak terdapat data barang serupa, maka digunakan data barang serupa dengan
kondisi lain sepanjang dilakukan penyesuaian terhadap:
a. Jumlah barang, dalam hal jumlah barang berbeda tetapi tingkat perdagangan sama;
b. Tingkat perdagangan, dalam hal tingkat perdagangan berbeda tetapi jumlah barang sama;
atau
c. Jumlah barang dan tingkat perdagangan, dalam hal tingkat perdagangan dan jumlah barang
berbeda.
Penyesuaian dilakukan berdasarkan bukti nyata atau data yang objektif dan terukur yang
memungkinkan terlaksananya penyesuaian secara wajar dan tepat.
Dalam hal bukti nyata atau data yang objektif dan terukur tidak tersedia, maka penyesuaian
tidak dapat dilakukan dan nilai transaksi barang serupa tidak dapat digunakan untuk
menentukan nilai pabean.
Metode IV : Metode Deduksi
Metode deduksi adalah metode penentuan nilai pabean barang impor berdasarkan harga
satuan yang terjadi dari penjualan oleh importir di pasar dalam Daerah Pabean atas:
a. barang impor yang bersangkutan;
b. barang identik; atau
c. barang serupa.
Harga satuan yang digunakan sebagai dasar penghitungan metode deduksi, harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Harga satuan diperoleh dari penjualan di pasar dalam Daerah Pabean yang antara penjual
dan pembeli tidak saling berhubungan dan terjadi pada tanggal yang sama atau dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum atau sesudah tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean
impor yang sedang ditentukan nilai pabeannya.
b. Merupakan harga satuan dari barang impor yang bersangkutan, barang identik atau barang
serupa yang terjual dalam jumlah terbanyak.
c. Dalam hal tidak terdapat penjualan yang terjadi dalam jangka waktu, harga satuan
diperoleh dari penjualan yang terjadi setelah tanggal pemberitahuan pabean impor yang
sedang ditentukan nilai pabeannya, paling lama dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak
tanggal pengimporan barang yang harga satuannya akan digunakan untuk menentukan nilai
pabean.
d. Bukan merupakan penjualan di pasar dalam Daerah Pabean atas barang impor yang
bersangkutan, barang identik atau barang serupa kepada pihak pembeli yang memasok nilai
barang dan jasa untuk pembuatan barang impor yang bersangkutan.
Nilai pabean ditentukan dengan mengurangi harga satuan dengan biaya-biaya tertentu yang
terjadi setelah pengimporan, yaitu:
a. Komisi atau keuntungan dan pengeluaran umum atas penjualan barang impor di pasar
dalam Daerah Pabean.
b. Biaya transportasi, asuransi, biaya pemuatan, biaya pembongkaran dan biaya lainnya yang
ditanggung oleh pembeli setelah barang impor tiba di pelabuhan tujuan di dalam Daerah
Pabean.
c. bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor.

Dalam hal barang impor atau barang identik atau barang serupa tidak ada yang dijual dengan
kondisi sebagaimana saat diimpor di negara pengimpor, maka nilai pabean didasarkan harga
satuan barang impor yang dijual setelah mengalami pemrosesan lebih lanjut dalam jumlah
terbesar kepada pembeli yang tidak berhubungan dengan penjual di negara pengimpor
dengan memperhitungkan nilai tambah atas barang tersebut dan unsur-unsur pengurangan.
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan harga satuan dan biaya pengurangan, sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan ini.

Metode V : Metode Komputasi


Metode komputasi adalah metode penentuan nilai pabean dengan cara menjumlahkan unsur-
unsur pembentuk nilai pabean barang impor yang bersangkutan, yaitu:
a. Biaya atau harga bahan baku dan proses pembuatan atau proses lainnya yang dilakukan
dalam memproduksi barang impor yang bersangkutan.
b. Keuntungan dan pengeluaran umum yang besarnya sama atau mendekati keuntungan dan
pengeluaran umum penjualan barang sejenis yang dibuat oleh produsen di negara pengekspor
untuk dikirim ke dalam Daerah Pabean.
c. Biaya transportasi sampai dengan pelabuhan tujuan di dalam Daerah Pabean, termasuk
biaya pemuatan, pembongkaran, penanganan.
d. Biaya asuransi pengangkutan barang sampai dengan pelabuhan tujuan di dalam Daerah
Pabean.
Metode komputasi hanya digunakan dalam hal antara penjual dan pembeli saling
berhubungan, dan produsen atau kuasanya bersedia memberikan informasi kepada Pejabat
Bea dan Cukai mengenai unsur-unsur pembentuk nilai pabean dan bersedia memberikan
fasilitas untuk pemeriksaan lebih lanjut apabila diperlukan.

Metode VI : Metode Pengulangan (Fallback)


Metode pengulangan (fallback) dilakukan dengan cara mengulang kembali prinsip dan
ketentuan. Ketentuan dilakukan dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten,
yang diterapkan secara fleksibel dan berdasarkan data yang tersedia di dalam Daerah Pabean
dengan pembatasan tertentu.
Penentuan nilai pabean menggunakan ketentuan tidak diizinkan dengan mendasarkan pada:
a. Harga jual barang produksi dalam negeri
b. Suatu sistem yang menentukan nilai yang lebih tinggi apabila ada dua alternatif nilai
pembanding
c. Harga barang di pasaran dalam negeri negara pengekspor
d. Biaya produksi, selain nilai yang dihitung berdasarkan metode komputasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 yang telah ditentukan untuk barang identik atau serupa
e. Harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke Daerah Pabean
f. Harga patokan
g. Nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau fiktif.
Dalam hal biaya transportasi belum termasuk dalam nilai transaksi dan bukti nyata atau data
yang objektif dan terukur mengenai besaran biaya transportasi tidak tersedia, maka besaran
biaya transportasi yang digunakan dalam penentuan nilai pabean ditentukan dengan cara
sebagai berikut:
a. Pengangkutan melalui laut:
1. 5% (lima persen) dari nilai Free On Board (FOB) untuk barang yang berasal dari ASEAN
2. 10% (sepuluh persen) dari nilai FOB untuk barang yang berasal dari Asia-non ASEAN
atau Australia
3. 15% (lima belas persen) dari nilai FOB untuk barang yang berasal dari negara selain
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2.
b. Pengangkutan melaui udara ditentukan berdasarkan tarif International Air Transport
Association (IATA).

Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis barang dalam satu pemberitahuan pabean impor,
besaran biaya transportasi untuk tiap-tiap jenis barang ditentukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Perbandingan antara berat atau volume barang dimaksud dengan berat atau volume
keseluruhan barang, dikalikan besaran keseluruhan biaya transportasi
b. Dalam hal penentuan tidak dapat dilakukan, maka ditentukan berdasarkan perbandingan
antara harga barang dimaksud dengan harga keseluruhan barang, dikalikan besaran
keseluruhan biaya transportasi.

Dalam hal biaya asuransi belum termasuk dalam nilai transaksi dan bukti nyata atau data
yang objektif dan terukur mengenai besaran biaya asuransi tidak tersedia, maka besaran biaya
asuransi yang digunakan dalam penentuan nilai pabean adalah 0,5% (nol koma lima persen)
dari nilai Cost and Freight (CFR).
Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis barang dalam satu pemberitahuan pabean impor,
besaran biaya asuransi untuk tiap-tiap jenis barang ditentukan dengan cara sebagai berikut:
a. Perbandingan antara berat atau volume barang dimaksud dengan berat atau volume
keseluruhan barang, dikalikan besaran keseluruhan biaya asuransi; atau
b. Dalam hal penentuan tidak dapat dilakukan, maka ditentukan berdasarkan perbandingan
antara harga barang dimaksud dengan harga keseluruhan barang, dikalikan besaran
keseluruhan biaya asuransi.
Dalam hal biaya asuransi ditutup di dalam Daerah Pabean dengan didasarkan bukti nyata atau
data yang objektif dan terukur, maka besaran biaya asuransi yang digunakan dalam
penentuan nilai pabean dianggap 0 (nol).
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Sejarah sistem penilaian pabean di indonesia pertama kali pada tahun 1985, sampai
dengan sekarang untuk menetapkan harga pabean harus menggunakan salah satu cara dari 6
cara atau metode penetapan harga yang tersedia sebagai berikut: Metode I : Metode nilai
transaksi ; Metode II :Metode nilai transaksi barang identik; Metode III : Metode nilai
transaksi barang serupa; Metode IV : Metode deduksi; Metode V: Metode komputasi dan;
Metode VI : Metode fall-back.
Sistem kepabeanan di Indonesia menganut asas self assesment, dimana importir diminta
untuk memberitahukan didalam pemberitahuan impor jumlah, jenis dan harga barang.
Dengan emikian semakin besar nilai pabean di pemberitahuan importir semakin besar pula
bea masuk yang harus dibayar importir. Sebaliknya semakin kecil nilai pabean di
pemberitahuan importir semakin kecil pula bea masuk yang dibayar importir.
Untuk menetapkan harga pabean harus menggunakan salah satu cara dari 6 cara atau
metode penetapan harga yang tersedia sebagai berikut: Metode I : Metode nilai transaksi ;
Metode II :Metode nilai transaksi barang identik; Metode III : Metode nilai transaksi barang
serupa; Metode IV : Metode deduksi; Metode V: Metode komputasi dan; Metode VI :
Metode fall-back.

Anda mungkin juga menyukai