Anda di halaman 1dari 8

RANGKUMAN SKEMA PELAKSANAAN IMPOR

1. Hal-hal yang berkenaan denagn Ketentuan barang kiriman/ impor tertuamg dalam
PMK-199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas
Barang Impor Kiriman adalah:
1. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Termasuk didalamnya adalah memasukkan barang melalui mekanisme
barang kiriman.
2. Barang Kiriman adalah barang yang dikirim melalui Penyelenggara Pos sesuai
dengan peraturan perundangundangan di bidang pos.
3. Perusahaan Jasa Titipan (PJT) adalah Penyelenggara Pos yang memperoleh
ijin usaha dari instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat, dokumen,
dan paket sesuai peraturan perundangundangan di bidang pos.
4. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) adalah pemberitahuan pabean untuk
pengeluaran barang impor yang diimpor untuk dipakai.
5. Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) adalah pemberitahuan pabean
untuk pengeluaran barang impor tertentu yang dikirim melalui
Penyelenggara Pos.
6. Consignment Note adalah dokumen dengan kode CN22/CN-23 atau
dokumen sejenis yang merupakan dokumen perjanjian pengiriman barang
antara pengilim barang dengan Penyelenggara Pos untuk mengirimkan
Barang Kiriman kepada Penerima Barang

2. Terhadap Barang Kiriman dilakukan pemeriksan pabean secara selektif berdasarkan


manajemen risiko meliputi pemeriksaan fisik barang dan penelitian dokumen;
Pemeriksaan fisik barang dilakukan melalui:
1. dengan menggunakan alat pemindai elektronik; dan/atau
2. oleh Pejabat Bea dan Cukai yang menangani Barang Kiriman.

3. Komponen biaya impor produk dari Cina yanga kan masuk ke Indonesia:
1. Bea Masuk (BM)
Komponen pertama dari biaya impor yang berupa pajak dengan tarif yang tidak
tetap, tergantung pada jenis barang yang akan diimpor berdasarkan klasifikasi HS
Code. Contohnya produk blus wanita (gambar sebelah) dengan HS Code
6211.42.90 dikenakan BM sebesar 25%, namun jika produk dari China dan
memiliki Certificate of Origin (COO) berupa Form E, maka BM akan dikenakan
0%.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Komponen kedua dari biaya impor yang berupa pajak dengan tarif 10% dari nilai
impor dengan terms CIF(Cost+Insurance+Freight)
3. Pajak Penghasilan Impor (PPh Pasal 22)
Komponen ketiga dari biaya impor yang berupa pajak dengan tarif 2.5% dari nilai
impor (CIF) pada umumnya, namun menurut Peraturan Menteri Keuangan No.
107/PMK.010/2015, ada beberapa produk yang dikenakan tarif yang lebih tinggi,
yakni sebesar 7.5% atau 10%.
4. Freight
Komponen keempat dari biaya impor yang terdiri atas biaya asuransi, biaya
pengapalan kontainer, biaya dokumen, dan biaya bongkar muat kontainer. Biaya
ini mengikuti volume atau berat dari produk yang diimpor.

4. Keseluruhan harga barang yang diimpor adalah Rp 283.500,00.


Perhitungannya Harga Barang Setelah Bea dan Pajak Impor adalah:
Harga Barang : Rp 283.500,00 
Bea Masuk       : 7,5% x Harga Barang
                              : Rp 21.262,50 dibulatkan menjadi Rp 22.000,00. 
PPN                     : 10% x (Harga Barang + Bea Masuk) 
                               : 10% x (Rp 283.500,00 + Rp 22.000,00)
                               : 10% x Rp 305.500,00
                               : Rp 30.550,00 atau dibulatkan menjadi Rp 31.000,00.
PPh :                    : Rp 0,00

Harga Barang Setelah Bea dan Pajak Impor : Rp 283.500,00 + Rp 22.000,00 + Rp


31.000,00
                               : Rp 336.500,00.

5. Untuk memudahkan penerima barang dalam melakukan pengecekan status barang


kiriman, DJBC telah membuat satu halaman khusus pelacakan melalui:
Penerima barang dapat melakukan pengecekan secara mandiri atas barang kiriman
melalui tautan www.beacukai.go.id/barangkiriman

Informasi yang tersedia pada laman pengecekan meliputi :


• Pergerakan barang kiriman secara realtime
• Status barang kiriman
• Jumlah pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor *)
*) Jumlah pembayaran yang anda lakukan ke Perusahaan Jasa Titipan mungkin berbeda
dengan jumlah yang tertera. Hal ini disebabkan perusahaan jasa titipan yang anda
gunakan mungkin menambahkan biaya lain lain dalam proses pengiriman barang
dimana biaya tersebut BUKAN dipungut oleh bea cukai dan TIDAK masuk kedalam Kas
Negara

6. Dasar perhitungan bea masuk dan PDRI meliputi:


o Nilai pabean adalah nilai transaksi. Nilai pabean = CIF (Cost, Insurance, Freight) x
NDPBM (Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk). NPDBM adalah kurs resmi yang
dikeluarkan Kementerian Keuangan.
o Cost/FOB (Free on Board) atau harga barang adalah nilai barang yang sebenarnya
dibayar atau yang seharusnya dibayar.
o Insurance (asuransi) adalah yang tercantum dalam polis asuransi, yaitu jumlah
biaya pertanggungan asuransi yang dikenakan terhadap sebuah barang yang
masuk ke dalam negeri. Apabila asuransi ditutup di dalam negeri, maka asuransi
dianggap nihil (importir wajib melampirkan polis asuransi). Lazimnya biaya
asuransi adalah 0,5% x (harga barang + ongkos kirim).
o Freight adalah ongkos angkut atau ongkos kirim sampai pelabuhan tujuan yang
ditunjukkan dengan bill of leading (B/L), air way bill (AWB) atau dokumen
lainnya. Untuk angkutan laut, lazimnya ongkos kirim dari negara ASEAN 5% x
FOB; dari negara Asia non-ASEAN atau Australia 10% x FOB; dan dari negara lain
15% x FOB. Untuk angkutan udara ditentukan berdasarkan Tariff International Air
Transport Association (IATA).

7. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PP No. 1 Tahun 1982 Jo. SK Menteri Perdagangan dan
Koperasi No. 27/1/1982. tata cara pembayaran dalam transaksi ekspor impor dapat dil
aksanakan dengan :
o Pembayaran dimuka (Advance Payment)
o Perhitungan kemudian (Open Account)
o Wesel Inkaso (Collection Draft)
o Konsinyasi (Consigment)
o Letter Of Credit (L/C)
o Cara pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan luar negeri sesuai dengan
kesepakatan antara penjual dan pembeli.
8. Tata cara pembayaran dengan L/C:
1. Importir meminta kepada banknya (bank devisa) untuk membuka suatu L/C
untuk dan atas nama eksportir. Dalam hal ini, importir bertindak sebagai
opener. Bila importir sudah memenuhi ketentuan yang berlaku untuk impor
seperti keharusan adanya surat izin impor, maka bank melakukan kontrak
valuta (KV) dengan importir dan melaksanakan pembukaan L/C atas nama
importir. Bank dalam hal ini bertindak sebagai opening/issuing bank.
Pembukaan L/C ini dilakukan melalui salah satu koresponden bank di luar
negeri. Koresponden bank yang bertindak sebagai perantara kedua ini
disebut sebagai advising bank atau notifiying bank. Advising bank
memberitahukan kepada eksportir mengenai pembukaan L/C tersebut.
Eksportir yang menerima L/C disebut beneficiary.
2. Eksportir menyerahkan barang ke Carrier, sebagai gantinya Eksportir akan
mendapatkan bill of lading.
3. Eksportir menyerahkan bill of lading kepada bank untuk mendapatkan
pembayaran. Paying bank kemudian menyerahkan sejumlah uang setelah
mereka mendapatkan bill of lading tersebut dari eksportir. Bill of lading
tersebut kemudian diberikan kepada Importir.
4. Importir menyerahkan bill of lading kepada Carrier untuk ditukarkan dengan
barang yang dikirimkan oleh eksportir.

9. Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) meliputi PPN impor, PPnBM, dan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 22 impor. PDRI ini dihitung berdasarkan Nilai Impor meliputi:
1. Nilai Impor = Nilai Pabean + Bea Masuk
2. PPN = 10% x Nilai Impor
3. PPnBM = % PPnBM x Nilai Impor
4. PPh = 2,5% x Nilai Impor, jika mempunyai Angka Pengenal Impor (API) atau
Angka Pengenal Impor Terbatas (APIT)
5. PPh = 7,5% x Nilai Impor, jika tidak mempunyai API atau APIT.
6. PPh = 10% x Nilai Impor, jika memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
7. PPh = 20% x Nilai Impor, jika tidak memiliki NPWP.

10. Ketentuan baru dalam PMK No. 199 Tahun 2019:


1. Harga barang (cost atau FOB) ≤ USD 3 per penerima per kiriman dibebaskan
dari bea masuk (BM); dipungut PPN 10% atau PPnBM; dan dikecualikan dari
pemungutan PPh.
2. Harga barang (cost atau FOB) > USD 3 ≤ USD 1.500 per penerima per kiriman
dipungut bea masuk (BM) dengan tarif 7,5%; dipungut PPN atau PPnBM; dan
dikecualikan dari pemungutan PPh.
3. Terhadap barang kiriman impor dengan nilai di atas USD 1.500 dikenakan
bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor atau PDRI (PPN impor, PPnBM,
dan PPh Pasal 22 impor).
4. Perhitungan pajak di atas tidak berlaku untuk barang khusus seperti buku,
tas, produk tekstil, dan sepatu.

11. Cara memasukan Hewan Penular Rabies (HPR) Apa saja hewan penular rabies? Hewan
Penular Rabies adalah hewan yang dapat membawa dan menularkan virus rabies
yaitu anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya. Hewan sebangsanya adalah semua
hewan dan/atau satwa liar jenis carniora dan/atau jenis kera/primata yang dapat
bertindak sebagai pembawa penyakit rabies, tertular rabies serta menularkan rabies:
Persyaratan Pemasukan HPR dari negara bebas rabies dengan tidak menerapkan
vaksinasi adalah memenuhi :
1. Dilengkapi sertifikat kesehatan hewan yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang di negara asal;
2. Melalui tempat pemasukan yang ditetapkan;
3. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk dilakukan
tindakan karantina.

12. Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang
di negara asal perlu diperiksa memuat pernyataan:
1. HPR dalam kondisi sehat dan layak untuk dilalulintaskan
2. HPR telah dipelihara sejak lahir atau telah berada di negara asal selama tidak
kurang dari 6 (enam) bulan sebelum hari keberangkatan
3. HPR telah divaksin dengan vaksin rabies inaktif di negara asal pada saat
berumur paling kurang 3 (tiga) bulan;
4. HPR memiliki titer antibodi protektif; dan
5. Hasil uji titer antibodi protektif dilampirkan pada sertifikat Kesehatan Hewan.

13. Tata cara menggunakan L/C :


1. Importir meminta kepada banknya (bank devisa) untuk membuka suatu L/C
untuk dan atas nama eksportir. Dalam hal ini, importir bertindak sebagai
opener. Bila importir sudah memenuhi ketentuan yang berlaku untuk impor
seperti keharusan adanya surat izin impor, maka bank melakukan kontrak
valuta (KV) dengan importir dan melaksanakan pembukaan L/C atas nama
importir. Bank dalam hal ini bertindak sebagai opening / issuing bank.
Pembukaan L/C ini dilakukan melalui salah satu koresponden bank di luar
negeri. Koresponden bank yang bertindak sebagai perantara kedua ini
disebut sebagai advising bank atau notifiying bank. Advising bank
memberitahukan kepada eksportir mengenai pembukaan L/C tersebut.
Eksportir yang menerima L/C disebut beneficiary.
2. Eksportir menyerahkan barang ke Carrier, sebagai gantinya Eksportir akan
mendapatkan bill of lading.
3. Eksportir menyerahkan bill of lading kepada bank untuk mendapatkan
pembayaran. Paying bank kemudian menyerahkan sejumlah uang setelah
mereka mendapatkan bill of lading tersebut dari eksportir. Bill of lading
tersebut kemudian diberikan kepada Importir.
4. Importir menyerahkan bill of lading kepada Carrier untuk ditukarkan dengan
barang yang dikirimkan oleh eksportir. Bank opening L/C dimana eksportir
akan menarik wesel berjangka yang disebut time draft yang harus di aksep
oleh bank dan dibayarkan setelah jatuh tempo. Adanya akseptasi ini
memperkuat terlaksananya pembayaran karena akseptasi diatas wesel.
Tetapi ada juga yang tak memakai wesel yang disebut dengan Deffered
payment dimana ada pernyataan akan dibayar kemudian.

14. Peranan Bank dalam Letter of Credit adalah:


1. Issuing Bank
Issuing Bank sebagai bank yang menerbitkan L/C mempunyai kewajiban untuk
melakukan pembayaran atas setiap L/C yang diterbitkannya sepanjang dokumen yang
dipresentasikan sesuai dengan persyaratan L/C.
Issuing Bank mempunyai hak untuk menentukan sendiri apakah menerima atau
menolak untuk membayar setiap penyerahan dokumen yang mengandung
discrepancy/ies (penyimpangan) terhadap syarat L/C, meskipun sekiranya applicant
dapat menerima discrepancy/ies tersebut.
2. Advising Bank
Advising Bank dalam hal meneruskan L/C atau perubahan/amendment L/C
mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa L/C ataupun amendment L/C yang
diterima dari Issuing Bank atau Advising Bank pertama adalah benar-benar otentik,
dalam Advising Bank tidak dapat meyakini otentisitas dari L/C atau amendment L/C
yang diterima, maka Advising Bank berkewajiban untuk memberitahukan beneficiary
atau Advising Bank ke-2 bahwa otentisitas L/C ataupun amendment L/C tersebut
belum diyakini kebenarannya, namun Advising Bank tidak bertanggung jawab
terhadap bonafiditas Issuing Bank.
Advising Bank berhak untuk menagih biaya penerusan L/C atau amendment L/C
(advising commission) kepada beneficiary, dalam hal beneficiary menolak untuk
membayar, maka Advising Bank berhak menagihkannya kepada Issuing Bank atau
pemberi intruksi.
3. Confirming Bank
Bank yang ikut menambahkan konfirmasinya pada L/C yang diterbitkan (ikut
menambahkan jaminan pembayaran).
Confirming Bank berkewajiban untuk melakukan pembayaran atau menegosiasi
sepanjang dokumen-dokumen yang diserahkan kepadanya sesuai dengan
persyaratan L/C.
Pada kondisi normal dalam tataran prakteknya alur dokumen suatu L/C yang
dikonfirmasi (Confirmed L/C) adalah dokumen dari negotiating Bank diserahkan
kepada Confirming Bank dan selanjutnya diserahkan kepada Issuing Bank, sehingga
alur pembayarannya adalah Confirming Bank langsung melakukan pembayaran
kepada Negotiating Bank tanpa menunggu pembayaran dari Issuing Bank, kemudian
baru Issuing Bank membayar kepada Confirming Bank, sehingga apabila Issuing Bank
wanprestasi tidak akan mempengaruhi kewajiban Confirming Bank untuk membayar
kepada Negotiating Bank.

15. Prosedur dalam mengklasifikasi barang menggunakan BTKI adalah:


1. Identifikasi barang yang akan diklasifikasikan
2. Mempelajari jenis, fungsi, bahan baku dan semua informasi mengenai barang
3. Merumuskan identitas atau deskripsi barang tersebut
4. Melihat Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI)

16. Langkah-langkah yang digunakan untuk mengklasifikasi barang:


1. Identifikasi dulu barang dengan mengetahui spesifikasi barang.
2. Pilih bab atau bab-bab yang berkaitan dengan spesifikasi barang tersebut.
3. Perhatikan penjelasan-penjelasan dalam catatan Bagian maupun catatan Bab
yang berkaitan dengan barang yang akan di klasifikasi.
4. Baca dan cermati catatan Bagian atau Bab(catatan Sub-pos dalam hal
tertentu) yang ditunjuk oleh penjelasan pada butir ke 3.
5. Setelah menemukan satu bab yang paling sesuai berdasarkan kajian diatas,
maka kita mulai menelusuri pos-pos yang mungkin mencakup barang yang
akan kita klasifikasikan dalam bab tersebut. Pada tahap ini kadang-kadang
kita sudah dapat menemukan pos yang mencakup barang tersebut dengan
rinci. Bila sudah kita temukan satu pos yang tepat, maka langkah selanjutnya
tinggal menentukan sub-pos (6 digit), sub-pos AHTN(8 digit) dan pos tariff(10
digit) yang sesuai. Ingat, dalam penentuan sub-pos dan pos tariff pun kadang
timbul permasalahan klasifikasi yang sama dengan penentuan pos(4 digit).
Sampai tahap ini sebenarnya kita sedang menggunakan KUM HS 1.
6. Apabila sepintas lalu ada beberapa pos yang sesuai dengan spesifikasi
barang, kita mulai menggunakan KUM HS 2. Ingat, kita baru dapat
menggunakan KUM HS 2 apabila KUM HS 1 benar-benar tidak dapat
digunakan. Cara untuk meyakinkan bahwa KUM HS 1 adalah dengan
berusaha membuktikan bahwa hanya ada satu pos yang sesuai untuk barang
tersebut.
7. Dalam menggunakan KUM HS 3(b), perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud
dengan sifat utama(essential character) meliputi berbagai aspek.Beberapa
aspek yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan sifat utama adalah
fungsi/kegunaan, nilai(value), dan bentuk fisik(appearance).
8. Dalam membandingkan pos-pos, sub-sub pos, atau, pos-pos tariff, harus
selalu diingat bahwa yang dibandingkan adalah pos-pos, sub-sub pos, atau
pos-pos tariff yang setara. Ingat, dalam mengklasifikasi, perbandingan
dimaksud tidak berdasarkan pembebanan impornya.
9. Apabila sudah dipilih satu pos tariff yang benar-benar sesuai dengan uraian
barang, langkah selanjutnya adalah melihat pembebanan Bea Masuk, PPN,
PPNBM, dan Cukai. Ada atau tidak aturan tata niaganya. Karena pembebanan
tersebut sering berubah, jangan luapa selalu menggunakan pembebanan
yang up to date berdasarkan ketentuan yang terbaru.

Anda mungkin juga menyukai